You are on page 1of 13

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Luka bakar adalah luka karena kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan
kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, listrik, dan bahan kimia. Luka yang
disebabkan oleh panas api atau cairan yang dapat membakar merupakan penyebab paling banyak
yang mengakibatkan luka bakar.

2.2. Etiologi

Sumber dari luka bakar harus ditentukan terlebih dahulu sebelum dilakukan evaluasi dan
penanganan. Luka bakar dapat dibedakan atas :

1. Paparan api

o Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka, dan menyebabkan
cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat membakar pakaian terlebih dahulu baru
mengenai tubuh. Serat alami memiliki kecenderungan untuk terbakar, sedangkan serat sintetik
cenderung meleleh atau menyala dan menimbulkan cedera tambahan berupa cedera kontak.

o Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan benda panas. Luka bakar
yang dihasilkan terbatas pada area tubuh yang mengalami kontak. Contohnya antara lain adalah
luka bakar akibat rokok dan alat-alat seperti solder besi atau peralatan masak.

2. Scald (air panas)

Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan semakin lama waktu
kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan ditimbulkan. Luka yang disengaja atau akibat
kecelakaan dapat dibedakan berdasarkan pola luka bakarnya. Pada kasus kecelakaan, luka
umumnya menunjukkan pola percikan, yang satu sama lain dipisahkan oleh kulit sehat.
Sedangkan pada kasus yang disengaja, luka umumnya melibatkan keseluruhan ekstremitas dalam
pola sirkumferensial dengan garis yang menandai permukaan cairan.

3. Luka bakar karena bahan kimia seperti berbagai macam zat asam, basa, dan bahan
tajam lainnya. Konsentrasi zat kimia, lamanya kontak dan banyaknya jaringan yang terpapar
menentukan luasnya injuri karena zat kimia ini. Luka bakar kimia dapat terjadi misalnya karena
kontak dengan zat-zat pembersih yang sering dipergunakan untuk keperluan rumah tangga dan
berbagai zat kimia yang digunakan dalam bidang industri, pertanian dan militer

4. Luka bakar karena listrik, baik Alternatif Current (AC) maupun Direct Current (DC).
Luka bakar listrik disebabkan oleh panas yang digerakan dari energi listrik yang dihantarkan
melalui tubuh. Berat ringannya luka dipengaruhi oleh lamanya kontak, tingginya voltage dan
cara gelombang elektrik itu sampai mengenai tubuh.

2.3. Patofisiologi

Luka bakar suhu pada tubuh terjadi baik karena kondisi panas langsung atau radiasi
elektromagnetik. Sel-sel dapat menahan temperatur sampai 440C tanpa kerusakan bermakna,
kecepatan kerusakan jaringan berlipat ganda untuk tiap drajat kenaikan temperatur. Saraf dan
pembuluh darah merupakan struktur yang kurang tahan dengan konduksi panas. Kerusakan
pembuluh darah ini mengakibatkan cairan intravaskuler keluar dari lumen pembuluh darah,
dalam hal ini bukan hanya cairan tetapi protein plasma dan elektrolit. Pada luka bakar ekstensif
dengan perubahan permeabilitas yang hampir menyelutruh, penimbunan jaringan masif di
intersitial menyebabakan kondisi hipovolemik. Volume cairan iuntravaskuler mengalami defisit,
timbul ketidak mampuan menyelenggarakan proses transportasi ke jaringan, kondisi ini dikenal
dengan syok.

Luka bakar juga dapat menyebabkan kematian yang disebabkan oleh kegagalan organ
multi sistem. Awal mula terjadi kegagalan organ multi sistem yaitu terjadinya kerusakan kulit
yang mengakibatkan peningkatan pembuluh darah kapiler, peningkatan ekstrafasasi cairan (H2O,
elektrolit dan protein), sehingga mengakibatkan tekanan onkotik dan tekanan cairan intraseluler
menurun, apabila hal ini terjadi terus menerus dapat mengakibatkan hipopolemik dan
hemokonsentrasi yang mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi jaringan. Apabila sudah
terjadi gangguan perkusi jaringan maka akan mengakibatkan gangguan sirkulasi makro yang
menyuplai sirkulasi orang organ organ penting seperti : otak, kardiovaskuler, hepar, traktus
gastrointestinal dan neurologi yang dapat mengakibatkan kegagalan organ multi sistem.

Mortalitas dan Morbiditas pada pasien luka bakar

Harapan hidup setelah luka bakar sangat erat kaitannya dengan usia penderita, ukuran luka
bakar, dan ada tidak nya cedera inhalasi. Karena banyaknya variabel pada luka bakar termasuk
cedera penyerta, penyakit kronik, lamaya waktu pasca luka bakar sebelum dirawat dirumah sakit
dan kejadian kejadian disekitar luka bakar maka mortalitas secara kasar hanya sedikit bernilai
dan sering kali menyesatkan dalam usaha untuk menilai prognosis pengobatan. Prognosis dan
penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan luasnya permukaan luka bakar, dan
penanganan sejak awal hingga penyembuhan. Selain itu faktor letak daerah yang terbakar, usia
dan keadaan kesehatan penderita juga turut menentukan kecepatan penyembuhan.

Penyulit juga mempengaruhi progonosis pasien. Penyulit yang timbul pada luka bakar
antara lain gagal ginjal akut, edema paru, SIRS, infeksi dan sepsis, serta parut hipertrofik dan
kontraktur.

2.6. Faktor yang berperan dalam morbiditas dan mortalitas pada luka bakar

Tingginya angka mortalitas dan morbiditas akibat luka bakar dilakukan pengamatan
dengan permasalahan terletak pada beberapa faktor yang sangat kompleks, dapat dikelompokkan
antara lain:

Faktor Pasien

Penyebab kematian pada luka bakar :

a. Sepsis

Jaringan yang mengalami koagulasi pada suhu tubuh merupakan media kultur yang sangat
baik bagi pertumbuhan dan perkembangan bakteri. Hal ini menyebabkan berkurangnya sirkulasi
ke jaringan yang berfungsi membawa produk darah yang merupakan bagian dari mekanisme
pertahanan humoral.
b. Usia.

Luka bakar yang bagaimanapun dalamnya luasnya menyebabkan kematian yang lebih
tinggi pada anak dan orang dewasa diatas usia 60 tahun. Kematian pada anak-anak oleh karena
daya kekebalan belum sempurna. Orang dewasa yang lebih tua sering kali menderita penyakit
sampingan yang memperbesar kematian.

Faktor Pelayanan, termasuk disini adalah petugas dan fasilitas pelayanan yang ada.

a. Petugas

Pengetahuan, khususnya mengenai patofisiologi luka bakar dan penatalaksanaan luka


bakar baik pada penatalaksanaan awal maupun penatalaksanaan lanjut (indikasi, kontraindikasi,
timing, prosedur yang disiapkan dan yang penting mengetahui permasalahan yang ada).

b. Fasilitas pelayanan yang kurang atau tidak memadai.

Pada penatalaksanaan luka bakar yang berpengaruh pada Mortalitas dan Morbiditas
dimana sering kali terjadi kondisi-kondisi dimana kasus luka bakar datang dengan kondisi syok
dikirim oleh suatu fasilitas pelayanan kesehatan, tanpa tindakan pertolongan sebelumnya,
khususnya tindakan resusitasi cairan pada fase syok yang sangat menentukan kondisi maupun
tindak lanjut.

Faktor Cedera

a. Jenis-jenis luka bakar dan luasnya lokasi luka bakar.

Penderita dengan luka bakar khusus harus selalu dilakukan penanganan khusus seperti
luka yang disebabkan oleh listrik atau bahan kimia mungkin nampak tidak begitu berat, seakan-
akan luka tersebut hanya ringan tetapi sering kali mengenai struktur yang dalam dan sulit
ditangani.

Luas dan lokasi luka bakar juga merupakan suatu penentu keparahan luka misalnya, luka
bakar pada tangan, walaupun hanya derajat II dapat menunjukkan bekas atau kontraktur yang
Menyebabkan tangan tidak dapat digunakan kecuali kalau pengobatan khusus diberikan sedini
mungkin selanjutnya bahkan luka bakar yang tidak parahpun pada kedua tangan menyebabkan
penderita tidak dapat merawat dirinya sendiri diluar rumah sakit. Penderita dengan luka bakar
perineal harus dirawat di rumah sakit karena besarnya kemungkinan terjadi peradangan.

b. Lama kontak dengan sumber panas

Semakin lama kontak dengan sumber panas, kerusakan jaringan semakin dalam dan luas.

anak-anak oleh karena daya kekebalan belum sempurna. Orang dewasa yang lebih tua
sering kali menderita penyakit sampingan yang memperbesar kematian.

Keadaan yang memperberat luka bakar :

1. Syok hipovolemik

Pada luka bakar yang berat akan mengakibatkan koagulasi disertai dengan nekrosis
jaringan yang akan menimbulkan respon fisiologis pada setiap system organ, tergantung pada
ukuran luka bakar yang terjadi. Destruksi jaringan akan disertai dengan peningkatan permebilitas
kapiler sehingga cairan intravena akan keluar ke interstisial. Hal ini akan disertai dengan proses
evaporasi pada bagian kulit yang rusak sehingga cairan tidak akan bertahan lama. Keadaan ini
selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya syok hipovolemik.

Pada kondisi ini perlu dilakukan resusitasi cairan segera. Selama ini digunakan cairan
isotonik (RL); dengan cara ini cukup efektif menangani syok hipovolemik dan juga dapat
mengurangi kebutuhan terhadap transfuse darah. Cairan koloid lainnya sepert Asetat Ringer
(AR) juga dapat digunakan. Pemberiannya dilakukan dalam waktu cepat, menggunakan beberapa
jalur intravena, bila perlu melalui vascular access (vena seksi dan sebagainya). Jumlah cairan
yang diberikan adalah tiga kali jumlah cairan yang diperkirakan hilang.

Setelah syok teratasi pemberian cairan mengacu kepada regimen resusitasi cairan
berdasarkan formula yang ada. Pada keadaan yang menyertai syok seperti sepsis, hipoksi
jaringan, proses gluko-neogenesis dan oksidasi hepatik yang melemah merupakan faktor-faktor
yang mempengaruhi terjadinya kenaikan laktat dalam plasma (s/d 600%). Kadar laktat plasma
yang meningkat ini berhubungan dengan kerja miokardial rang meningkatkan mortalitas. Dalam
kondisi ini penggunaan RL seringkali tidak memperbaiki keadaan, bahkan membahayakan.
Sebagai alternatif, Asetat Ringer merupakan cairan yang secara fisiologik sama dengan RL ,
tanpa kandungan laktat. Dengan pemberian Asetat ringer ini asetat segera di metabolisme dengan
cepat sehingga akan diikuti dengan perbaikan keseimbangan asam-basa.

2. Infeksi, Sepsis, SIRS, dan MODS

Infeksi luka bakar Jarang terjadi pada partial-thickness burns kecuali jika terdapat
kelalaian dalam penanganan luka bakar derajat II ini. infeksi jaringan invasive sering terjadi pada
pasien dengan luka bakar derajat III yang meliputi lebih dari 30% permukaan tubuhnya. Resiko
terjadinya infeksi pada luka bakar meningkat jika terdapat luka terbuka atau karena
komorbiditas. SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada
pasien luka bakar maupun pasien trauma lainnya. Dalam penelitian dilaporkan bahwa SIRS dan
MODS menyebabkan kematian sebesar 81% pasca trauma.

SIRS

SIRS adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat sistemik terhadap berbagai stimulus
klinik berat akibat infeksi ataupun noninfeksi seperti trauma, luka bakar, reaksi autoimun, sirosis,
pankreatitis, dll.

Respon ini merupakan dampak dari pelepasan mediator-mediator inflamasi (proinflamasi)


yang mulanya bersifat fisiologik dalam proses penyembuhan luka, namun oleh karena pengaruh
beberapa faktor predisposisi dan faktor pencetus, respon ini berubah secara berlebihan
(mengalami eksagregasi) dan menyebabkan kerusakan pada organ-organ sistemik, menyebabkan
disfungsi dan berakhir dengan kegagalan organ terkena menjalankan fungsinya; MODS (Multi-
system Organ Disfunction Syndrome) bahkan sampai kegagalan berbagai organ (Multi-system
Organ Failure/MOF).

SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada pasien luka
bakar maupun trauma berat lainnya. Dalam penelitian dilaporkan SIRS dan MODS keduanya
menjadi penyebab 81% kematian pasca trauma; dan dapat dibuktikan pula bahwa SIRS sendiri
mengantarkan pasien pada MODS.
Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu infection, injury,
inflamation, inadequate blood flow, dan ischemia-reperfusion injury. Kriteria klinik yang
digunakan, mengikuti hasil konsensus American College of Chest phycisians dan the Society of
Critical Care Medicine tahun 1991, yaitu bila dijumpai 2 atau lebih menifestasi berikut selama
beberapa hari, yaitu:

- Hipertermia (suhu > 38C) atau hipotermia (suhu < 36C)

- Takikardi (frekuensi nadi > 90x/menit)

- Takipneu (frekuensi nafas > 20x/menit) atau tekanan parsial CO2 rendah (PaCO2

- Leukositosis (jumlah lekosit > 12.000 sel/mm < 32 mmHg)

3), leukopeni (< 4000 sel/mm3

Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil kultur darah/bakteremia),
maka SIRS disebut sebagai sepsis. SIRS akan selalu berkaitan dengan MODS karena MODS
merupakan akhir dari SIRS. ) atau dijumpai > 10% netrofil dalam bentuk imatur (band).

Pada dasarnya MODS adalah kumpulan gejala dengan adanya gangguan fungsi organ
pada pasien akut sedemikian rupa, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa
intervensi. Bila ditelusuri lebih lanjut, SIRS sebagai suatu proses yang berkesinambungan
sehingga dapat dimengerti bahwa MODS menggambarkan kondisi lebih berat dan merupakan
bagian akhir dari spektrum keadaan yang berawal dari SIRS.

Perjalanan SIRS dijelaskan menurut teori yang dikembangkan oleh Bone dalam beberapa
tahap.

Patofisiologi

Respon inflamasi sistemik didahului oleh suatu penyebab, misalnya luka bakar atau
trauma berat lainnya. Kerusakan lokal merangsang pelepasan berbagai mediator pro-inflamasi
seperti sitokin; yang selain membangkitkan respon inflamasi juga berperan pada proses
penyembuhan luka dan mengerahkan sel-sel retikuloendotelial. Sitokin adalah pembawa pesan
fisiologik dari respon inflamasi. Molekul utamanya meliputi Tumor Necrotizing Factor (TNF),
interleukin (IL

Tahap I

1, IL6), interferon, Colony Stimulating Factor (CSF), dan lain-lain. Efektor selular respon
inflamasi adalah sel-sel PMN, monosit, makrofag, dan sel-sel endotel. Sel-sel untuk sitokin dan
mediator inflamasi sekunder seperti prostaglandin, leukotrien, thromboxane, Platelet Activating
Factor (PAF), radikal bebas, oksida nitrit, dan protease. Endotel teraktivasi dan lingkungan yang
kaya sitokin mengaktifkan kaskade koagulasi sehingga terjadi trombosis lokal. Hal ini
mengurangi kehilangan darah melalui luka, namun disamping itu timbul efek pembatasan
(walling off) jaringan cedera sehingga secara fisiologik daerah inflamasi terisolasi.

Sejumlah kecil sitokin yang dilepaskan ke dalam sirkulasi justru meningkatkan respon
lokal. Terjadi pergerakan makrofag, trombosit dan stimulasi produksi faktor pertumbuhan
(Growth Factor/GF). Selanjutnya dimulailah respon fase akut yang terkontrol secara simultan
melalui penurunan kadar mediator proinflamasi dan pelepasan antagonis endogen (antagonis
reseptor IL

Tahap II

1 dan mediator-mediator anti-inflamasi lain seperti IL4, IL10, IL11, reseptor terlarut TNF
(Transforming Growth Factor/TGF). Dengan demikian mediator-mediator tersebut menjaga
respon inflamasi awal yang dikendalikan dengan baik oleh down regulating cytokine production
dan efek antagonis terhadap sitokin yang telah dilepaskan. Keadaan ini berlangsung hingga
homeostasis terjaga.

Jika homeostasis tidak dapat dikembalikan, berkembang tahap III (SIRS); terjadi reaksi
sistemik masif. Efek predominan dari sitokin berubah menjadi destruktif. Sirkulasi dibanjiri
mediator-mediator inflamasi sehingga integritas dinding kapiler rusak. Sitokin merambah ke
dalam berbagai organ dan mengakibatkan kerusakan. Respon destruktif regional dan sistemik
(terjadi peningkatan vasodilatasi perifer, gangguan permeabilitas mikrovaskular, akselerasi
trombosis mikrovaskular, aktivasi sel leukosit-endotel) yang mengakibatkan perubahan-
perubahan patologik di berbagai organ. Jika reaksi inflamasi tidak dapat dikendalikan, terjadi
syok septik, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), ARDS, MODS, dan kematian.

Tahap III

MODS merupakan bagian akhir dari spektrum klinis SIRS. Pada pasien luka bakar dapat
dijumpai secara kasar 30% kasus mengalami MODS. Ada 3 teori yang menjelaskan timbulnya
SIRS, MODS dan sepsis; yang mana ketiganya terjadi secara simultan.

Teori pertama menyebutkan bahwa syok yang terjadi menyebabkan penurunan penurunan
sirkulasi di daerah splangnikus, perfusi ke jaringan usus terganggu menyebabkan disrupsi
mukosa saluran cerna. Disrupsi mukosa menyebakan fungsi mukosa sebagai barrier
berkurang/hilang, dan mempermudah terjadinya translokasi bakteri. Bakteri yang mengalami
translokasi umumnya flora normal usus yang bersifat komensal, berubah menjadi oportunistik;
khususnya akibat perubahan suasana di dalam lumen usus (puasa, pemberian antasida dan
beberapa jenis antibiotika). Selain kehilangan fungsi sebagai barrier terhadap kuman, daya
imunitas juga berkurang (kulit, mukosa), sehingga mudah dirusak oleh toksin yang berasal dari
kuman (endo atau enterotoksin). Pada kondisi disrupsi, bila pasien dipuasakan, maka proses
degenerasi mukosa justru berlanjut menjadi atrofi mukosa usus yang dapat memperberat
keadaan.

Gangguan sirkulasi ke berbagai organ menyebabkan kondisi-kondisi yang memicu SIRS.


Gangguan sirkulasi serebral menyebabkan disfungsi karena gangguan sistem autoregulasi
serebral yang memberi dampak sistemik (ensefelopati). Gangguan sirkulasi ke ginjal
menyebabkan iskemi ginjal khususnya tubulus berlanjut dengan Acute Tubular Necrosis (ATN)
yang berakhir dengan gagal ginjal (Acute Renal Failure/ARF). Gangguan sirkulasi perifer
menyebabkan iskemi otot-otot dengan dampak pemecahan glikoprotein yang meningkatkan
produksi Nitric Oxide (NO); NO ini berperan sebagai modulator sepsis. Gangguan sirkulasi ke
kulit dan sitem integumen menyebabkan terutama gangguan sistim imun; karena penurunan
produksi limfosit dan penurunan fungsi barrier kulit.
Teori kedua menjelaskan pelepasan Lipid Protein Complex (LPC) yang sebelumnya
dikenal dengan burn toxin dari jaringan nekrosis akibat cedera termis. LPC memiliki toksisitas
ribuan kali di atas endotoksin dalam merangsang pelepasan mediator pro-inflamasi; namun
pelepasan LPC ini tidak ada hubungannya dengan infeksi. Respon yang timbul mulanya bersifat
lokal, terbatas pada daerah cedera; kemudian berkembang menjadi suatu bentuk respon sistemik.

Teori ketiga menjelaskan kekacauan sistem metabolisme (hipometabolik pada fase akut
dilanjutkan hipermetabolik pada fase selanjutnya) yang menguras seluruh modalitas tubuh
khususnya sistim imunologi. Mediator-mediator pro-inflamasi yang dilepas ke sirkulasi sebagai
respon terhadap suatu cedera tidak hanya menyerang benda asing atau toksin yang ada; tetapi
juga menimbulkan kerusakan pada jaringan organ sistemik. Kondisi ini dimungkinkan karena
luka bakar merupakan suatu bentuk trauma yang bersifat imunosupresif.

Penatalaksanaan luka bakar bersifat lebih agresif dan bertujuan mencegah perkembangan
SIRS, MODS, dan sepsis.

Tatalaksana

Pemberian Nutrisi Enteral Dini (NED) melalui pipa nasogastrik dalam 8 jam pertama
pasca cedera. Selain bertujuan mencegah terjadinya atrofi mukosa usus, pemberian NED ini
bertitik tolak mencegah dan mengatasi kondisi hipometabolik pada fase akut / syok dan
mengendalikan status hiperkatabolisme yang terjadi pada fase flow. Pemberian antasida dan
antibiotika tidak dibenarkan karena akan merubah pola / habitat kuman yang mengganggu
keseimbangan flora usus.

Jaringan nekrosis maupun jaringan non vital lainnya yang disebabkan cedera termis harus
segera dilakukan nekrotomi dan debridement, dan dilakukan sedini mungkin (eksisi dini, hari
ketiga-keempat pasca cedera luka bakar sedang, hari ketujuh-kedelapan pada luka bakar berat),
bahkan bila memungkinkan dilakukan penutupan segera (immediate skin grafting) untuk
mengatasi berbagai masalah akibat kehilangan kulit sebagai penutup (mencegah evaporative heat
loss yang menimbulkan gangguan metabolisme), barrier terhadap kuman dan proses inflamasi
berkepanjangan yang mempengaruhi proses penyembuhan, tidak menunggu jaringan granulasi
yang dalam hal ini mengulur waktu dan memperberat stres metabolisme.
Pemberian obat-obatan yang bersifat anti inflamasi seperti antihistamin dianggap tidak
bermanfaat. Pemberian steroid sebelumnya dianggap bermanfaat namun harus diingat saat
pemberian serta efek sampingnya.

Pemberian zat yang meningkatkan imunologik seperti Omega-3 akan menjinakkan


leukotrien (LTB4 yang bersifat maligna) dengan cara mempengaruhi lypoxygenase pathway
pada metabolisme asam arakhidonat, sehingga menghasilkan leukotrien yang lebih benigna.
Pemberian Omega-6 memiliki efek pada cyclo-oxygenase pathway asam arakhidonat, sehingga
menghasilkan tromboksan yang lebih benigna menggantikan tromboksan (ThromboxaneA2)
yang bersifat maligna.

Komplikasi SIRS bervariasi tergantung etiologi. Komplikasi yang mungkin terjadi pada
SIRS adalah gagal napas, Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), dan pneumonia
nosokomial, gagal ginjal, perdarahan saluran cerna dan stres gastritis, anemia, Trombosis vena
dalam (Deep Vein Thrombosis/DVT), hiperglikemia, dan Disseminated intravascular
coagulation (DIC)

Komplikasi

3. Cedera Inhalasi

Konsekuensi klinis dapat berupa edema saluran nafas atas, bronospasm, oklusi saluran
nafas, hilangnya klirens silier, peningkatan ruang rugi, intrapulmonary shunting. Menurunnya
komplaiens dindng dada, tracheobronkitis, dan pneumonia.

Tanda tanda dari keracunan karbondioksida adalah sakit kepala, bingung, koma dan
aritmia.

a. indikasi trauma inhalasi : adanya riwayat trauma pada ruangan tertutup, luka bakar
wajah, bulu hidung/mata terbakar, jelaga pada lubang hidung atau rongga mulut, suara serak
(hoarseness), konjungtivitis, takipnea, sputum berjelaga, meningkatnya level CO dalam darah (
tampak darah lebih merah cerah)
b. Tersangka trauma inhalasi membutuhkan intubasi segera akibat edema jalan napas yang
progresif. Kegagalan dalam mendiagnosis trauma inhalasi dapat berakibat obstruksi jalan nafas,
jika tidak tertatalaksana dapat menyebabkan kematian.

c. X-ray dada dan analisa gas darah dapat digunakan untuk mengeksklusikan trauma
inhalasi.

d. Direk bronchoscopi saat ini digunakan sebagai alat untuk diagnose

Standar prosedur trauma inhalasi di unit luka bakar

Anamnesis

- Riwayat terbakar dalam ruang tertutup

- Riwayat pingsan dalam ruang tertutup yang terbakar

Pemeriksaan fisik

- Luka bakar diwajah

- Rambut / alis/ bulu hidung terbakar

- Jelaga pada rambut / alis/ bulu hidung

- Lidah dan mukosa intraoral bengkak

- Suara serak

- Sesak napas

- Konfirmasi dengan pemeriksaan laringoskop : terdapat hiperemis / edema

Tindakan

- pemasangan ETT disesuaikan dengan usia (dewasa/anak)


- bila ditemukan salah satu atau lebih dari pemeriksaan fisik poin 4,5,6,7 (seperti tertera
diatas) lakukan intubasi segera.

- Bila ditemukan salah satu atau lebih dari pemeriksaan fisik poin 1.2.3 (seperti tertera
diatas) lakukan observasi ketat tanda klinis dan laboratorium , bila observasi ketat tidak dapat
dilakukan maka lakukan intubasi

- Bila usaha intubasi 1 kali gagal dilakukan harus dikonversi ke Trakeostomi

- Bila ditemukan edema massif pada wajah dan leher disertai tanda klinis trauma inhalasi
lakukan Trakeostomi segera.

- Bila timbul keraguan sebaiknya dilakukan intubasi sebelum semuanya terlambat.

4. Stress Ulcer

Stres ulcer tercatat sebagai penyulit pada kasus luka bakar berat dan dikenal dengan
sebutan Curling Ulcer. Enam puluh lima persen kasus luka bakar dengan luas lebih dari 35%
mengalami erosi mukosa usus dan 74% kasus berkembang menjadi stress ulcer.

Stress ulcer ini biasanya terjadi dalam 96 jam pasca cedera termis sedangkan lokasi
anatomic tersering adalah gaster (daerah fundus dan korpus) dan dinding posterior duodenum.
Stress ulcer ini memberikan gejala perdarahan gastrointestinal masif dan memiliki angka
mortalitas yang tinggi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat cedera disertai adanya klinik
hematemesis, cairan hitam pada pipa nasogastrik. Pada pemeriksaan

endoskopik dijumpai keseluruhan mukosa pucat, erosi mukosa akut tanpa indurasi
disekitarnya, dijumpai peteki eritematous dan makula disertai fokus hemoragik pada mukosa.

Pemberian nutrisi parenteral dini ternyata merupakan cara yang efektif dalam mencegah
terjadinya stress ulcer meskipun belum dapat menurunkan angka mortalitas luka bakar secara
keseluruhan. Pemberian antasida sebagai upaya menetralisir asam lambung yang dicurigai terjadi
pada kondisi stress. Pemberian H2 antagonis reseptor seperti ranitidin dan simetidin dilaporkan
memiliki efektifitas yang sama dengan antasida. Pemberian inhibitor H-K ATP ase seperti
omeperazol dan lozoperazol memiliki efektifitas yang baik pada kondisi terjadinya perdarahan.

You might also like