You are on page 1of 24

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kitosan

Kitosan adalah padatan amorf putih kekuningan, tidak beracun dan baik sebagai
flokulan dan koagulan serta mudah membentuk membran atau film (Meiratna,
2008), merupakan polimer rantai panjang yang disusun oleh monomer-monomer
glukosamin (2-amino-2-deoksi-D-glikosa). Biopolimer ini disusun oleh 2 jenis
amino yaitu glukosamin (2-amino-2-deoksi-D-glukosa, 70-80%) dan N-
asetilglukosamin (2-asetamino-2-deoksi-D-glukosa, 20-30%). Semakin sedikit
gugus asetil yang hilang dari polimer kitosan interaksi antar ion dan ikatan
hidrogen dari kitosan akan semakin kuat (Astuti, 2008).

Sifat dari kitosan adalah tidak larut dalam air, memiliki ketahanan kimia
cukup baik, larut dalam larutan asam tetapi tidak larut dalam basa dan ikatan
silang kitosan memiliki sifat tidak larut dalam media campuran asam dan
basa, memiliki reaktivitas kimia yang tinggi karena mengandung gugus OH
dan gugus NH2 (Muzzarelli, 1997). Tetapi menurut (Kumar et al., 2000) kitosan
mempunyai sifat yang lebih spesifik yaitu dengan adanya sifat bioaktif,
biokomposit, pengkelat, antibakteria dan dapat terdegradasi.

Sandford dan Hutchins sebagaimana dikutip Meiratna (2008) menyatakan


sifat kationik, biologi, dan sifat kimia kitosan adalah sebagai berikut :

1. Sifat kationik
Jumlah muatan positif tinggi : suatu muatan per unit gugus glukosamin,
jika banyak material bermuatan negatif (seperti protein) maka muatan
positif kitosan berinteraksi kuat dengan muatan negatif lain (polimer),
flokulan yang baik: gugus NH3+ berinteraksi dengan muatan negatif dari
polimer lain.
2. Sifat biologi
Dapat terdegradasi secara alami, polimer alami, non toksik.
3. Sifat kimia
Linier poliamin (poli D-glukosamin) yang memiliki gugus amino yang baik
untuk reaksi kimia dan pembentukan garam dengan asam, gugus amino
yang reaktif, gugus hidroksil yang reaktif (CH3-OH, C6-OH) yang dapat
membentuk senyawa turunannya.

Proses deasetilasi menggunakan kombinasi perlakuan secara kimiawi


dan enzimatis seperti penelitian yang dilakukan oleh Emmawati (2004) dan
Rochima (2005) merupakan alternatif proses yang baik. Deasetilasi kitin akan
menghilangkan gugus asetil dan menyisakan gugus amino yang bermuatan
positif, sehingga kitosan bersifat polikationik. Rumus umum kitosan adalah
(C6H11NO4)n atau disebut sebagai (1,4)-2-Amino-2-Deoksi-beta-D-Glukosa.
Struktur kitosan dapat dilihat pada Gambar 2.2

Gambar 2.1 Struktur Kitosan

Pelarut yang umum digunakan untuk melarutkan kitosan adalah asam asetat
dengan konsentrasi 12% (Knorr, 1982 sebagaimana dikutip Apriyanto, 2007).
Asam asetat adalah cairan tidak berwarna dengan karakteristik bau yang tajam,
berasa asam, serta larut dalam air, alkohol, dan gliserol. Rumus empirik
asam asetat adalah C2H4O2 dan rumus strukturnya CH3COOH. Asam asetat
mempunyai berat molekul 60, titik didih 118oC, titik beku 16,7oC, dan dapat
digunakaan sebagai penambahan rasa (Dillon, 1992 sebagaimana dikutip Astuti,
2008).
Kitosan atau poli-2-amino-2-deoksi--1,4-D-glukopiranosa dengan rumus
molekul (C6H11O4)n yang dapat diperoleh dari deasetilasi kitin. Kitosan juga
dijumpai secara alamiah di beberapa organisme. Kitosan adalah polisakarida linier
tersusun atas residu : N- asetil glukosamin dan memiliki 2000-3000 monomer
dengan ikatan 1.4-b-gliksida berupa molekul glukosa dengan cabang mengandung
nitrogen (Gagne, 2000). Unit monomer pada chitosan mempunyai rumus molekul
C8H12NO5 dengan kadar C, H, N, dan O masing-masing 47%, 6%, 7%, dan 40%.
Sifat kitosan yang biodegradable ini mempunyai sifat lain diantaranya tidak larut
dalam air, asam organik, encer dan alkalikat, akan tetapi larut dalam asam pekat
seperti asam nitrit, asam sulfat, asam fosfat, dan asam formiat anhidros (Lee dan
Tan, 2002). Chitosan mempunyai sifat penting untuk berbagai aplikasi, yaitu
kemampuannya mengikat minyak dan air karena terdapat gugus hidrofilik dan
hidrofobik, jumlah minyak dan air yang dapat diikat oleh chitosan masing-masing
adalah 315% dan 385%. Berdasarkan sifat biologi dan kimianya maka chitosan
mempunyai sifat yang khas yaitu mudah dibentuk menjadi spons, larutan gel,
pasta, membran, dan serat yang sangat bermanfaat didalam aplikasinya (Irawan,
2007). Disamping itu telah terbukti pada beberapa penelitian bahwa chitosan dapat
meminimalisasikan oksidasi, ditujukan oleh angka peroksida, perubahan warna dan
jumlah mikroba dalam sampel (Yingyuad dkk., 2006).

Sebagai antibakteri, kitosan memiliki sifat mekanisme penghambatan,


dimana kitosan akan berikatan dengan protein membran sel, yaitu glutamat yang
merupakan komponen membran sel. Selain berikatan dengan protein membraner,
kitosan juga berikatan dengan fosfolipid membraner, terutama fosfatidil Colin
(PC), sehingga meningkatkan permeabilitas inner membran (IM). Naiknya
permeabilitas IM akan mempermudah keluarnya cairan sel. Pada E. coli misalnya,
setelah 60 menit, komponen enzim -galaktosidase akan terlepas. Hal ini
menunjukkan bahwa sitoplasma dapat keluar sambil membawa metabolit lainnya,
atau dengan kata lain mengalami lisis, yang akan menghambat pembelahan sel
(regenerasi). Hal ini akan menyebabkan kematian sel (Simpson, 1997).
2.1.1 Sifat Fisik dan Kimia Kitosan

Sifat dan penampilan produk kitosan dipengaruhi oleh perbedaan kondisi, seperti
jenis pelarut, konsentrasi, waktu, dan suhu proses ekstraksi. Kitosan berwarna
putih kecoklatan. Kitosan dapat diperoleh dengan berbagai macam bentuk
morfologi diantaranya struktur yang tidak teratur, bentuknya kristalin atau
semikristalin. Selain itu dapat juga berbentuk padatan amorf berwarna putih
dengan struktur kristal tetap dari bentuk awal chitin murni. Chitin memiliki sifat
biologi dan mekanik yang tinggi diantaranya adalah biorenewable, biodegradable,
dan biofungsional. Kitosan mempunyai rantai yang lebih pendek daripada rantai
kitin. Kelarutan kitosan dalam larutan asam serta viskositas larutannya tergantung
dari derajat deasetilasi dan derajat degradasi polimer. Terdapat dua metode untuk
memperoleh kitin , kitosan dan oligomernya dengan berbagai derajat deasetilasi
(DD), polimerisasi, dan berat molekulnya (BM) yaitu dengan kimia dan enzimatis.
Suatu molekul dikatakan kitin bila mempunyai derajat deasetilasi (DD) sampai
10% dan kandungan nitrogennya kurang dari 7%. Dan dikatakan chitosan bila
nitrogen yang terkandung pada molekulnya lebih besar dari 7% berat dan DD lebih
dari 70% (Muzzarelli,1997). Kitosan kering tidak mempunyai titik lebur. Bila
disimpan dalam jangka waktu yang relatif lama pada suhu sekitar 100 oF maka
sifat keseluruhannya dan viskositasnya akan berubah. Bila kitosan disimpan lama
dalam keadaan terbuka maka akan terjadi dekomposisi warna menjadi kekuningan
dan viskositasnya berkurang. Suatu produk dapat dikatakan kitosan jika memenuhi
beberapa standar seperti tertera pada Table 2.1.
Tabel 2.1. Standard Kitosan
Parameter %
70 % jenis teknis dan
Deasetilasi > 95 % jenis
pharmasikal
Kadar abu Umumnya < 1 %
Kadar air 2 10 %
Kelarutan Hanya pada pH 6
Kadar nitrogen 7 - 8,4 %
Warna Putih sampai kuning
pucat
Ukuran partikel 5 ASTM Mesh
Viskositas 309 cps
E.Coli Negatif
Salmonella Negatif
Sumber : Muzzarelli (1997) dan Austin (1988)

2.1.2. Manfaat Kitosan

Kitosan diketahui mempunyai kemampuan untuk membentuk gel, film dan fiber,
karena berat molekulnya yang tinggi dan solubilitasnya dalam larutan asam encer
(Hirano dkk., 1999). Kitosan telah digunakan secara luas di industri makanan,
kosmetik, kesehatan, farmasi dan pertanian serta pada pengolahan air limbah. Di
industri makanan, kitosan dapat digunakan sebagai suspensi padat, pengawet,
penstabil warna, bahan pengisi, pembentuk gel, tambahan makanan hewan dan
sebagainya. Aplikasi kitosan dalam bidang pangan dapat dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2. Aplikasi kitosan dan turunannya dalam industri pangan

Aplikasi Contoh

Antimikroba Bakterisidal, fungisidal, pengukur kontaminasi jamur


pada komoditi pertanian.
Edible film Mengatur perpindahan uap antara makanan dan
lingkungan sekitar, menahan pelepasan zat-zat
antimikroba, antioksidan, nutrisi, flavor, dan obat,
mereduksi tekanan parsial oksigen, pengatur suhu,
menahan proses browning enzimatis pada buah.
Bahan aditif Mempertahankan flavor alami, bahan Pengontrol
tekstur, bahan pengemulsi, bahan pengental,
stabilizer, dan penstabil warna.
Sebagai serat diet, penurun kolesterol, persediaan
Nutrisi dan tambahan makanan ikan, mereduksi penyerapan
lemak, memproduksi protein sel tunggal, bahan anti
grastitis (radang lambung), dan sebagai bahan
makanan bayi.
(Sumber : Shahidi dkk., 1999)

2.2. Kolagen

Kolagen memegang peranan yang sangat penting pada setiap tahap proses
penyembuhan luka. Kolagen mempunyai kemampuan antara lain hemostasis,
interaksi dengan trombosit, interaksi dengan fibronektin, meningkatkan eksudasi
cairan, meningkatkan komponen seluler, meningkatkan faktor pertumbuhan dan
mendorong proses fibroplasia dan terkadang pada proliferasi epidermis
(Triyono,2005). Manfaat kolagen dalam bidang medis adalah mempercepat
tumbuhnya jaringan baru.

Kolagen adalah protein serabut yang memberikan kekuatan dan fleksibilitas


pada jaringan dan tulang dan ini sangat penting untuk berbagai jaringan lainnya,
termasuk kulit dan tendon. Kolagen digunakan sebagai bahan baku dalam industri
makanan, kosmetik, pembuatan film biomaterial dan biomedis. Bahkan dalam
industri biomedis, kolagen adalah biomaterial alami yang memiliki kandungan
yang unik. Sekitar 30% dari tulang disusun oleh komponen komponen organik
dan 90-95 % diantaranya adalah kolagen , sisanya adalah protein bukan kolagen.
Kolagen merupakan protein yang banyak terdapat dalam tubuh (Chi, et al, 2001).

Kolagen merupakan komponen serat utama dalam kulit, tulang, tendon,


tulang rawan dan gigi. Kolagen merupakan material yang mempunyai kekuatan
rentang dan struktur yang berbentuk serat. Protein jenis ini banyak terdapat
dalam vertebrata tingkat tinggi. Hampir sepertiga protein dalam tubuh
vertebrata berada sebagai kolagen. Semakin besar hewan, semakin besar pula
bagian total protein yang merupakan kolagen. Kolagen juga merupakan
komponen serat utama dalam tulang, gigi, tulang rawan, lapisan kulit dalam
(dermis), tendon (urat daging) dan tulang rawan (Lehninger: 1993).

Gambar 2.2 Struktur kolagen

Kolagen merupakan material yang menarik perhatian dalam hal bahwa


kolagen mempunyai kekuatan rentang, struktur istimewa, dan mengandung
hidroksilisin dan hidroksiprolin yakni asam-asam amino yang terdapat dalam
beberapa protein lain. Satu zat yang diturunkan dari kolagen adalah gelatin. Jika
kolagen dididihkan, struktumya menjadi rusak secara permanen dan
menghasilkan gelatin. Karena adanya sejumlah besar rantai samping yang
hidrofil (suka air) dalam gelatin, maka dalam larutan air membentuk gel
(Wilbraham ,1984).
Dengan demikian kolagen termasuk sebagai jaringan pengikat. Jaringan
pengikat berkolagen terdiri dari serat, struktur ini selanjutnya tersusun atas
fibril kolagen, yang nampak seperti garis melintang. Fibril ini terorganisasi
dengan cara yang berbeda-beda, tergantung pada fungsi biologi jaringan
pengikatnya. Pada urat, fibril kolagen disusun dalam untaian paralel yang
saling berhubungan silang dan berfungsi untuk menghasilkan struktur dengan
kekuatan yang amat tinggi tanpa kemampuan meregang. Fibril kolagen dapat
menyangga sedikit-nya 10.000 kali beratnya sendiri, dan dapat dikatakan
mempunyai kekuatan lenting lebih besar dari penampang silang kawat
tembaga dengan berat yang sama. Pada kulit, fibril kolagen membentuk suatu
jaringan tidak teratur, terjalin dan amat liat. Kulit hampir seluruhnya
merupakan kolagen murni (Page,1989).

Fibroblast bermigrasi ke tempat luka dari jaringan sekitarnya, mulai


mensintesis kolagen dan berkembang biak. Respon PDGF, fibroblast
sementara mensintesis matriks terdiri dari kolagen tipe III,
glycosaminoglycans, dan fibronectin 1 yang menyediakan tempat untuk migrasi
keratinosit. Tipe lain dari fibroblasts "luka fibroblasts" yang sudah ada di
luka. Jenis fibroblasts akan berubah menjadi myofibroblast yang memainkan
peranan pada kontraksi luka (Broughton dkk., 2006).

2.2.1 Sifat Kolagen

Jika di didihkan di dalam air, kolagen akan mengalami transformasi, dari bentuk
untaian, tidak larut dan tidak tercerna menjadi gelatin, yaitu campuran polipetid
yang larut yang merupakan dasar pembentuk gelatin. Perubahan ini melibatkan
hidrolisis beberapa ikatan kovalen pada kolagen, karena kolagen pada jaringan
pengikat dan pembuluh yang menjadikan daging berbentuk liat. Kolagen
mengandung kira- kira 3-5 persen glisin dan kira-kira 11 persen alanin; persentasi
asam amino ini agak luar biasa tinggi. Yang lebih menonjol adalah kandungan
prolindan 4-hidroksiprolin yang tinggi, yaitu asam amino yang jarang ditemukan
pada protein selain pada kolagen dan elastin. Bersama-sama, prolin dan
hidroksiprolin mencapai kira-kira 21 persen dari residu asam amino pada kolagen
(Lehninger, 1993).

2.2.2 Peranan Kolagen dalam Penyembuhan Luka dan Pembentukan


Jaringan

Penyembuhan luka merupakan proses yang kompleks dan berkesinambungan.


Hemostatis atau penghentian pendarahan adalah proses pertama pada
penyembuhan luka. Trombosit dan faktor-faktor pembekuan merupakan faktor
hemostatik intravaskuler yang utama. Kolagen merupakan agen hemostatik yang
sangat efesien, sebab trombosit melekat pada kolagen, kolagen akan membengkak
dan selanjutnya melepaskan substansi yang memulai proses hemostatis. Interaksi
kolagentrombosit tergantung pada polimerisasi dari maturasi kolagen dan
pengaruh positif pada molekul kolagen (www.pasteur. fr/aplications/euroconf/
tissuerepair-microba.pdf).

Kolagen dapat membantu agregasi trombosit karena kemampuannya


mengikat fibronektin. Mekanisme yang pasti dari interaksi kolagen belum
diketahui secara jelas, akan tetapi data yang pasti menunjukkan bahwa interaksi
kolagen dan trombosit merupakan tahap pertama proses penyembuhan luka
(http://www.cyberadsstudio.com/envy/collagen.htm).

2.3. Polivnil Akohol (PVA)

Polivinil alkohol (PVA) dengan rumus kimia [(C2H4OH)x] adalah polimer sintetik
yang diproduksi oleh hidrolisis dari polivinil asetat. PVA bersifat nontoksik dan
larut dalam air, sehingga banyak digunakan di berbagai bidang, antara lain bidang
medis dan farmasi (Theresia,2011) . Produk ini sangat sesuai untuk digunakan
secara komersial dalam skala besar sebagai eksipien dalam berbagai produk
farmasi seperti tablet salut, tetes mata, biofermentasi dan topikal. PVA bersifat
kompatibel secara hayati dan sesuai untuk simulasi jaringan alami. Selain itu, PVA
mempunyai permeabilitas oksigen yang baik, tidak bersifat imunogenik, dan
memiliki sifat yang sangat baik dalam pembentukan film, pengemulsi dan dapat
dilembabkan (Gessner, 1981). PVA berwarna putih, bentuk seperti serbuk, rasa
hambar,tembus cahaya, tidak berbau dan larut dalam air. PVA salah satu polimer
yang mempunyai sifat hidrofolik dan sebagai perekat. PVA dapat digunakan
sebagai lapisan tipis yang sensitif. Struktur Polivinil alkohol dapat dilihat pada
gambar 2.3.

Gambar 2.3 Struktur Polivinil Alkohol

Polivinil alkohol (PVA) merupakan salah satu jenis bahan polimer yang
relatif murah dan tidak toksik. PVA dapat digunakan sebagai bahan dasar
pembuatan hidrogel sebagai matriks untuk mengekang obat dan kemudian obat
tersebut dilepaskan kembali (Zainuddin K.,1994). Menurut Doan Binh, hidrogel
yang transparan, kuat secara mekanik dapat dihasilkan dari campuran PVA dan
kitosan yang diiradiasi sehingga dapat digunakan untuk antibakteri, mencegah
infeksi dan menstimulasi reepitelisasi (Binh,2001).

Polivinil alkohol telah menjadi bahan pengkajian dalam pembuatan fiber


atau film. Pada tahun 1938, Universitas Kyoto, telah mengembangkan serat dengan
bahan dasar polivinil alkohol yang dikenal dengan Synthese I. Kemudian pada
tahun yang sama, Kanebo Co. Ltd telah mengembangkan serat buatan dengan
bahan dasar polivinil alkohol yang dikenal dengan Kanebian (Watanabe 1987).
Selain itu, Hodgkinson dan Taylor (2000) menjelaskan bahwa polivinil alkohol
mempunyai kuat tarik lebih tinggi dibandingkan dengan polivinil klorida (PVC)
sehingga dalam aplikasinya dapat digunakan sebagai composite.
Polivinil alkohol dapat membentuk film yang sangat baik, pengemulsi
dan sifat perekat. PVA juga tahan terhadap minyak, lemak dan pelarut. Memiliki
kekuatan tarik tinggi dan fleksibilitas, serta tinggi oksigen. Namun sifat ini
tergantung pada kelembaban, dengan kata lain, dengan kelembaban yang lebih
tinggi maka lebih banyak yang air diserap, yang bertindak sebagai plasticizer,
maka akan mengurangi kekuatan tarik, tetapi meningkatkan elongasi dan kekuatan
sobek. PVA memiliki titik leleh 180-190C (356-374 derajat Fahrenheit) untuk
nilai sepenuhnya dihidrolisis dan sebagian dihidrolisis masing-masing. Ini terurai
dengan cepat di atas 200 C karena dapat menjalani pirolisis pada suhu tinggi
(Fromageau, J.,2003).

2.4. Luka

Luka didefenisikan sebagai cacat pada kulit yang disebabkan oleh kecelakaan
secara mekanik, terserang listrik, terbakar, terkena tumpahan bahan-bahan kimia
atau akibat tindakan operasi. Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul, yaitu
hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stres simpatis, pendarahan
dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri dan kematian sel. Berdasarkan
kedalaman dan luasnya luka, maka luka dibagi menjadi :

Stadium I : luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit


Stadium II : hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas
dari dermis. Merupakan luka stadium I dan adanya tanda klinis
seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.
Stadium III : hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis
jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak
melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai lapisan
epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka
timbulsecara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau
tanpa
merusak jaringan sekitarnya.
Stadium IV : luka yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan
adanya destruksi/kerusakan yang luas (Walker, V. 1999).

2.4.1 Luka Bakar

Luka bakar adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit (Oswari, 1993).
Luka bakar disebabkan oleh pengalihan energi dari suatu sumber panas kepada
tubuh. Panas dapat dipindahkan lewat hantaran atau radiasi elektromagnetik.
Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul :
a. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
b. Respon stres simpatis
c. Pendarahan dan pembekuan darah
d. Kontaminasi bakteri
e. Kematian sel

Berat ringannya luka bakar tergantung dari lama dan banyaknya kulit
badan yang terbakar. Kerusakan paling ringan akibat terbakar yang timbul pada
kulit adalah warna merah pada kulit. Bila lebih berat, timbul gelembung. Pada
keadaan yang lebih berat lagi bila seluruh kulit terbakar sehingga dagingnya
tampak, sedangkan yang terberat adalah bila otot-otot ikut terbakar (Oswari,2003).
Berdasarkan penyebabnya, luka bakar dibedakan atas beberapa jenis, antara lain:
a. Luka bakar karena api
b. Luka bakar karena air panas
c. Luka bakar karena bahan kimia
d. Luka bakar karena listrik
e. Luka bakar karena logam panas (Djohansjah. 1991)

Berdasarkan kedalam kerusakan jaringan, luka bakar dibedakan atas beberapa jenis
yaitu:
a. Luka derajat I:
1. Kerusakan terbatas pada epidermis
2. Kulit kering, tampak sebagai eritema
3. Penyembuhan terjadi secaraspontan dalam waktu 5-10 hari
b. Luka bakar derajat II:
1. Kerusakan meliputi dermis dan epidermis
2. Dasar luka berwarna merah, terletak lebih tinggi di atas kulit normal
Luka bakar derajat II dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Derajat II dangkal
Kerusakan mengenai bagian dermis. Penyembuhan terjadi
secara spontan dalam waktu 10-14 hari.
b. Derajat II dalam
Kerusakan hampir seluruh bagian dermis. Penyembuhan terjadi
lebih lama, biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari satu
bulan.
c. Luka bakar derajat III
1. Kerusakan meliputi seluruh ketebalan dermis dan lapisan yang lebih
dalam.
2. Kulit yang terbakar berwarna abu-abu.
3. Tidak dijumpai rasa nyeri, bahkan hilang sensasi karena ujung-ujung
saraf sensorik mengalami kerusakan / kematian.
4. Penyembuhan terjadi lama karena tidak ada proses epitelasi spontan
baik dari dasar luka, tepi luka maupun apendises kulit (Moenadjat,
2003).

2.4.2 Penyembuhan Luka

Tindakan yang dapat dilakukan pada luka bakar adalah dengan memberikan terapi
local dengan tujuan mendapatkan kesembuhan secepat mungkin, sehingga jumlah
jaringan fibrosis yang terbentuk akan sedikit dan dengan demikin mengurangi
jaringan parut. Diusahakan pula pencegahan terjadinya peradangan yang
merupakan hambatan paling besar terhadap kecepatan penyembuhan (Ancel,1989)
Proses penyembuhan luka yang dibagi dalam tiga fase yaitu fase inflamasi,
proliferasi dan penyudahan jaringan.

1. Fase inflamasi

Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai hari ketiga.


Pembuluh darah yang terputus pada luka menyebabkan pendarahan dan tubuh
akan berusaha menghentikannya dengan vasokontriksi. Hemostatis terjadi karena
trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling melengket dan bersama dengan
fibrin yang terbentuk membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah.

2. Fase proliferasi

Fase proliferasi disebut juga fibroplasias karena yang menonjol adalah proses
proliferasi fibroblast. Pada fase ini serat dibentuk dan dihancurkan kembali untuk
penyesuaian diri dengan tegangan pada luka yang cenderung mengerut. Sifat ini,
bersama dengan sifat kontraktil miofibroblast, menyebabkan tarikan pada tepi luka.
Pada akhir fase ini kekuatan regangan luka mencapai 25% jaringan normal.
Nantinya, dalam proses penyudahan kekuatan serat kolagen bertambah karena
ikatan intramolekul dan antar molekul. Pada fase fibroplasia ini, luka
dipenuhi fibroblast, dan kolagen, membentuk jaringan berwarna kemerahan
dengan permukaan yang berbenjol halus yang disebut jaringan granulasi. Epitel
tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi
permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari
proses mitosis.

Proses migrasi hanya bisa terjadi ke arah yang lebih rendah atau datar,
sebab epitel tak dapat bermigrasi ke arah yang lebih tinggi. Proses ini baru berhenti
setelah epitel saling menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka. Dengan
tertutupnya permukaan luka, proses fibroplasia dengan pembentukan jaringan
granulasi juga akan berhenti dan mulailah proses pematangan dalam fase
penyudahan.
3. Fase penyudahan

Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan kembali
jaringan yang berlebih, pengerutan dan akhirnya terbentuk kembali jaringan yang
baru. Tubuh berusaha menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal karena
proses penyembuhan. Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis,
dan lemas serta mudah digerakkan dari dasar. Terlihat pengerutan maksimal pada
luka. Pada akhir fase ini, perupaan luka kulit mampu menahan regangan kira kira
80% kemampuan kulit normal (Moenadjat, 2003).

2.5. Pembalut Luka

Pembalut luka adalah bahan yang digunakan untuk menutup luka. Berbagai jenis
luka dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari, misalnya luka akibat benturan
mekanik, seperti lecet-lecet, beragam luka bakar dan disebabkan oleh bahan kimia.
Sejak berabad-abad serat binatang maupun tumbuhan telah digunakan untuk
meneutupi luka guna menghentikan pendarahan, menyerap cairan yang keluar dari
luka/eksudat/nanah, mengurangi rasa sakit dan menyediakan perlindungan untuk
pembentukkan jaringan baru. Saat ini bermacam-macam pembalut luka telah
tersedia dipasaran untuk kepentingan medis atau paska operasi. Fungsi produk ini
antara lain adalah untuk memberikan perlindungan terhadap infeksi, menyerap
darah dan nanah, mempercepat penyembuhan luka dan beberapa diantaranya dapat
mengobati luka. Selain ituproduk tersebut harus mudah digunakan dan dilepaskan.
Pembalut luka dapat berupa produk tenun/woven (kain kasa, kain
pembalut/perban) atau produk nirtenun/nonwoven (membran/komposit).

Selain itu pembalut luka yang sering digunakan adalah berupa bahan
komposit atau nirtenun. Produk komposit adalah produk yang terdiri dari dua atau
lebih materialyang diikat satu sama lain baik secara kimia maupun secara mekanik.
Secara kimia misalnya dengan menggunakan matriks polimer, sebagai ikatan silang
antar muka dari masing-masing material yang digunakan, atau dengan bantuan
perekat (adhesive) dan tekanan. Adanya komposit akan menciptakan bahan baru
yang sifatnya dapat memperkaya jenis bahan yang telah ada di alam (Mutia, T.
2011).

2.5.1 Membran

Kata membran berasal dari bahasa latin yaitu membrane yang berarti potongan
kain. Saat ini istilah membran didefenisikan sebagai lapisan tipis (film) yang
fleksibel, pembatas antara fasa yang bersifat semipermiabel (Jones, 1987).
Membran dapat berupa padatan ataupun cairan dan berfungsi sebagai media
pemisahan yang selektif berdasarkan perbedaan koefisien difusivitas, muatan listrik
atau kelarutan.

Sebenarnya membran sudah merupakan bagian integral dari kehidupan kita


sehari-hari. Seluruh sel-sel penyusun tubuh mahluk hidup, terutama penyusun sel-
sel penyusun tubuh kita dibungkus dengan membran. Membran sel sangat bersifat
selektif sehingga hanya zat-zat tertentu saja yang dapat melaluinya. Pada tahun
1855 membran baru dikembangkan secara kecil-kecilan dalam skala
laboratoriumnya oleh Fick. Pengelompokan membran dapat dilakukan atas dasar
berbagai hal. Atas dasar material yang digunakan membran dapat dikelompokkan
menjadi membran polimer, liquid membran, padatan (keramik) dan membran
penukar ion. Berdasarkan konfigurasinya membran dapat dikelompokkan
memnjadi lembaran, lilitan spiral (spiral warna), tubular dan emulsi (Mulder,1996)

Berdasarkan material yang digunakan dalam pembuatan membran, bahan


pembuat membran dikelompokkkan menjadi membran polimer alam, liquid,
padatan (keramik) dan penukar ion. Membran polimer alam, terbagi menjadi
membran biologis dan membran sintetik. Membran sel termasuk membran
biologis, sedangkan membran sintetik terdiri atas membran organik dan anorganik.
Membran organik antara lain disusun oleh polisakarida-polisakarida yang karena
pengaruh gugus fungsi yang dimilikinya bersifat polikationik maupun polielektrolit
(Zhao, at al., 2002).

2.6. Biomaterial Medis

Biomaterial atau biomedical material dapat didefinisikan secara umum sebagai


suatu material baik natural maupun buatan manusia (sintetis) yang digunakan
sebagai peralatan medis (medical devices) dan berinteraksi dengan sistem biologis
dengan tujuan untuk memperbaiki (repair), memulihkan (restore), mengoreksi
ketidaknormalan, meningkatkan fungsi atau mengganti (replace) bagian tubuh
yang mengalami kehilangan fungsi karena suatu penyakit atau trauma, atau sebagai
interface dengan lingkungan fisiologis (Guelcher,2006 dan Rosiak,2002). Adanya
interaksi dengan sistem biologis mengharuskan setiap bahan biomaterial memiliki
sifat biokompatibilitas yaitu kemampuan suatu material untuk bekerja selaras
dengan tubuh tanpa menimbulkan efek lain yang berbahaya.

Polimer dari bahan terbarukan (renewable matrial) menjadi objek penelitian


yang menarik selama dua dekade akhir ini. Ada dua alasan yang mendasari polimer
tersebut menjadi objek riset, yaitu konsen lingkungan dan realisasi dari sumber
bahan bakar fosil yang terbatas. Diharapkan polimer dari bahan terbarukan adalah
polimer biodegradable, yaitu polimer yang dapat mengalami degradasi secara
alami. Biodegradasi merupakan peristiwa terurainya senyawa menjadi senyawa-
senyawa lain yang lebih sederhana yang terjadi karena sebab-sebab alami, seperti
proses fotodegradasi (degradasi yang melibatkan cahaya dan kalor), degradasi
kimiawi (hidrolisis), degradasi oleh bakteri dan jamur, degradasi enzimatik, dan
degradasi mekanik (disebabkan oleh angin, abarasi), atau gabungan dari beberapa
sebab (Khoerudin, A., 2013).

Salah satu aplikasi polimer biodegradable dalam bidang kedokteran adalah


sistem pengantaran obat Drug Delivery System (DDS). Selain bersifat
biodegradable, polimer yang digunakan dalam bidang medis juga harus bersifat
biocompatible. Sifat biocompatible sangat penting dalam aplikasi ini karena
polimer yang digunakan dalam sistem pengantaran obat (DDS) nantinya akan
dikonsumsi dan masuk kedalam tubuh sehingga tidak memberikan efek buruk
terhadap tubuh. Polimer yang memiliki sifat tersebut banyak bersumber dari alam.
Akan tetapi, sifat mekanik dari polimer biodegradable alami tidak begitu baik
untuk diaplikasikan dalam media biologis. Oleh karena itu, biasanya dilakukan
kombinasi dengan polimer biodegradable lain yang memiliki sifat mekanik baik
sehingga menghasilkan sifat mekanik yang diinginkan dari suatu kombinasi
(Edlund dan albertsson, 2002).

Dewasa ini biomaterials telah banyak digunakan dalam bidang medis


seperti penutup luka (wound dressing), lensa kontak (contact lense), hemodialiser,
kateter, artifical skin, artificial blood vessels, total artificial hearts, pacemakers,
dental fillings, wires plates dan pins for bone repair, total artificial joint
replacements, scaffold in tissue engineering.

Membran didefinisikan suatu lapisan tipis semipermeabel yang berada di


antara dua fasa. Teknologi membran banyak digunakan dalam industri sebagai
alternatif dari teknologi pemisahan konvensional seperti penyulingan, ekstraksi dan
kromatografi. Keuntungan dalam penggunaan teknologi membran adalah dapat
berlangsung pada suhu kamar, tidak destruktif, pemisahan dapat berjalan secara
sinambung dan tidak terlalu banyak membutuhkan energi.

Sifat spesifik membran sangat dipengaruhi jenis polimer dan teknik


pembuatannya. Dan efisiensi membran ditentukan oleh fluks dan koefisien rejeksi.
Dari penelitian terdahulu telah dibuat membran komposit yang terdiri dari dua
polimer yaitu kitosan dan polisulfon yang dibuat dengan metode inverse fasa dan
pencelupan. Membran komposit yang dibuat telah mempunyai kombinasi fluks
dan koefisien rejeksi yang baik yaitu perbandingan membrane pendukung 18:64:18
dan perbandingan khitosan dengan pelarutnya 1:10 w/v. (Erna, M. 2004)
2.7. Hidrogel

Hidrogel dapat didefinisikan sebagai sistem polimer yang tersusun atas network
tiga dimensi antar rantai molekul polimer, bersifat tidak larut dalam air dan dapat
mengabsorb air atau cairan tubuh dan mengembang ( Rosiak, J.M., 2002 dan .
Peppas, N.A., 1996). Sejak beberapa tahun yang lalu, Darmawan dkk. (1993) telah
berhasil mensintesis hidrogel dari polimer hidrofilik polivinil pirolidon (PVP)
menggunakan radiasi gamma dan berkas elektron untuk digunakan sebagai
pembalut luka dan plester penurun demam. Hidrogel yang dihasilkan mempunyai
sifat yaitu memiliki kandungan air sekitar 80-90%, bersifat steril, dapat
mengabsorbsi air, permeabel terhadap udara tetapi tidak dapat ditembus oleh
mikroba, lunak, tidak toksis, mempunyai kemampuan untuk penyembuhan luka,
kuat namun cukup elastik, nyaman dan terasa sejuk pada saat pemakaian, dapat
melekat dengan baik pada daerah luka dan tidak menimbulkan jaringan parut pada
bekas luka, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 2.3.

Gambar. 2.4. Aplikasi Membran Hidrogel


Adanya struktur network tiga dimensi dengan pori yang cukup halus serta
mengandung air dalam hidrogel menyebabkannya mampu berfungsi untuk
mempercepat proses penyembuhan dengan cara memberikan suasana humid pada
daerah luka sehingga proses proliferasi sel dapat berjalan lebih sempurna. Selain
itu pori yang ada pada hidrogel memberikan kesempatan terjadinya aerasi udara
pada daerah luka. Dalam aplikasinya sebagai penurun demam, hidrogel yang
mengandung air cukup tinggi dapat membantu menurunkan suhu tubuh pasien
melalui mekanisme air yang terdapat pada hidrogel akan menyerap panas dari
tubuh dan kemudian menurunkan suhu tubuh melalui evaporasi (Fever Cooling
Pad, 2009).

2.8. Simulated Body Fluid (SBF)

Pada umumnya dilakukan pengujian terhadap biomaterial sintetik agar sesuai


untuk diaplikasikan sebagai bahan implan. Metode pengujian secara in vivo atau in
vitro dilakukan dengan media larutan simulated body fluid (SBF) (Vulelic,
M.,Mitic,Z.,et,.2011). Larutan simulated body fluid (SBF) adalah larutan buatan
yang memiliki komposisi dan konsentrasi ionik yang hampir mirip dengan plasma
darah manusia, pertama kali diperkenalkan oleh Kokubo (Kokubo, T.,1991). Lebih
lanjut Kokubo menjelaskan bahwa syarat terpenting bagi suatu bahan agar dapat
berikatan dengan tulang hidup adalah terbentuknya lapisan apatit mirip tulang pada
permukaan bahan di dalam tubuh dan pembentukan apatit tersebut secara in vivo
dapat diproduksi dalam SBF (Kokubo, T. and Takamada, H.,2006). Setelah
beberapa dekade, para peneliti biomaterial sepakat bahwa pembentukan apatit pada
material yang direndam dalam larutan SBF adalah bukti dari ke-bioaktifan material
tersebut, dan dapat digunakan untuk mengantisipasi kemampuannya berikatan
dengan tulang secara in vivo (Bohner, M. and Lemaitre, J.,2009). Selama
pengujian, biomaterial direndam dalam larutan sintetik yang mensimulasi bagian
anorganik dari plasma darah dengan atau tanpa adanya kultur sel. Metode tersebut
bersifat mudah dan sederhana untuk menguji kestabilan dari material di dalam
tubuh (Muller, L. and Frank, A.M.,2006).
2.8.1. Pembuatan Larutan Simulated Body Fluid (SBF)

Metode yang digunakan untuk membuat larutan SBF adalah metode yang dipakai
oleh Kokubo (Kokubo, T., Kushitani, H et al.,1990 ). Sebanyak 1 Liter aqua trides
disiapkan untuk membuat larutan SBF dengan komposisi seperti pada Tabel 1.
Aqua trides diaduk menggunaka magnetic stirrer, lalu bahan kimia dimasukkan
satu persatu sesuai urutan seperti yang tertera pada Tabel 1 (satu bahan kimia
diaduk sampai larut, baru ditambahkan dengan bahan kimia berikutnya). Suhu
larutan diatur sampai 36,50C dan pH larutan disesuaikan sampai pH 7,4 dengan
menggunakan larutan HCl 1 M.

Tabel 2.3. Komposisi bahan kimia penyusun larutan SBF (Simulated Body Fluid)

No. Bahan Kimia Jumlah


1. NaCl 7,996 gram
2. NaHCO 0,350 gram
3. KCl 0,224 gram
4. K2HPO4.3H2O 0,228 gram
5. MgCl2.6H2O 0,305 gram
6. HCl 1 M 40 mL
7. CaCl2.2H2O 0.278 gram
8. Na2SO4 0.071 gram
9. (HOCH2)3CNH2 6,057 gram

2.9 Kuat Tarik

Sifat mekanik yang umum dilakukan adalah uji kekuatan tarik (tensile strength)
atau daya renggang dan perpanjangan yang terjadi pada film selama pengukuran
berlangsung (Darni dan Utami, 2010). Biofilm akan ditentukan dengan uji tarik
yang dikaitkan pada alat uji dan beban penarik di pasang pada satuan beban kilo
Newton (kN). Biofilm ditarik hingga putus. Besar beban penarik dan perubahan
panjang biofilm pada saat putus dicatat (Wafiroh, dkk., 2010). Pengujian ini
digunakan untuk meneliti keadaan cacat tetapi untuk memeriksa kualitas produk
yang dihasilkan berdasarkan suatu standar spesifikasi.

Hasil pengukuran ini berhubungan erat dengan jumlah plasticizer yang


ditambahkan pada proses pembuatan film. Plasticizer dapat mengurangi ikatan
hidrogen internal molekul dan menyebabkan melemahnya gaya tarik intermolekul
rantai polimer yang berdekatan sehingga mengurangi daya regang putus.
Penambahan plasticizer lebih dari jumlah tertentu akan menghasilkan film
dengan kuat tarik yang lebih rendah (Lai et al., 1997 sebagaimana dikutip Astuti,
2008). Panjang putus (elongation at break) atau proses pemanjangan merupakan
perubahan panjang maksimum pada saat terjadi peregangan hingga sampel film
terputus. Pada umumnya adanya penambahan plasticizer dalam jumlah lebih besar
akan menghasilkan nilai persen pemanjangan suatu film semakin lebih besar
(Widyaningsih, dkk. 2012).

2.9.1 Uji Kekuatan dan Persen Pemanjangan

Kuat tarik dan persen pemanjangan merupakan sifat mekanik yang berhubungan
dengan struktur kimia biofilm. Kekuatan tarik menunjukkan ukuran ketahanan
biofilm yaitu renggangan maksimal yang dapat diterima sampel, sedangkan persen
pemanjangan merupakan perubahan panjang maksimum yang dialami plastik pada
saat uji kuat tarik yaitu pada saat sampel sobek (Apriyanto, 2007). Adapun rumus
dari kuat tarik dan persen elongasi diukur berdasarkan rumus:


Kuat Tarik = kg/ cm2 (2-1)

Dengan:

F = gaya kuat tarik (kg)


A = luas alas sampel (cm2)

10
% Elongasi = 100% (2-2)
0

Dengan:

L1 = panjang setelah putus

L0 = panjang awal

2.10 FT-IR (Fourier Transform Infrared)

Karakterisasi gugus ujung dapat dilakukan menggunakan FT-IR. Spektroskopi FT-


IR atau Fourier Transform Infrared dapat menganalisis gugus ujung suatu
senyawa. Dalam penelitian Darni dan Utami (2010) uji FT-IR digunakan untuk
mengidentifikasi bahan kimia yang terkandung dalam suatu polimer. Komponen
dasar sebuah FT-IR ditunjukkan secara skematis pada Gambar 2.4

Pemprosesan
Sumber
Interferometer Sampel Detektor data dan
Infra
sinyal
merah
Gambar 2.5 Skema komponen dasar FT-IR

Kegunaan dari spektrum inframerah adalah memberikan keterangan


mengenai molekul. Serapan tiap tipe ikatan (N-H, C-H, O-H, C-X, C=O, C-O,
C=C, C-C, C=N, dan sebagainya) hanya dapat diperoleh dalam bagian-bagian kecil
tertentu dari daerah vibrasi inframerah. Kisaran serapan yang kecil dapat
digunakan untuk menentukan setiap tipe ikatan.

Cahaya infra merah terbagi menjadi 3 yakni, inframerah dekat, inframerah


pertengahan, dan infra merah jauh. Hampir semua senyawa, termasuk senyawa
organik menyerap dalam daerah inframerah. Agar senyawa bentuk padat dapat
dianalisis pada daerah inframerah maka senyawa tersebut harus dibuat film,
dilebur, atau dilumatkan menjadi cairan yang kental (mull), didispersikan dalam
senyawa halida organik menjadi bentuk cakram atau pellet, atau dilarutkan dalam
berbagai pelarut. Polimer organik dapat dibuat film diantara dua lempengan
garam setelah dilarutkan dalam pelarut yang cocok (Sastrohamidjojo, 1992).

Menurut Nisa (2005) pengukuran FT-IR kitosan-PVA dilakukan dengan


cara sampel dijepit pada lempeng NaCl lalu diukur pada bilangan gelombang yang
sama. Hasilnya di dapat berupa difraktogram hubungan antara bilangan gelombang
dengan intensitas.

2.10.1 Uji Gugus Ujung (Gugus Fungsi)

Karakterisasi gugus ujung dilakukan menggunakan spektrum FT-IR dengan


memperhatikan bilangan gelombang dan intensitasnya. Spektrum FT-IR di rekam
menggunakan spektrofotometer pada suhu ruang (Darni dan Utami, 2010). Sampel
dalam bentuk film ditempatkan ke dalam set holder kemudian dicari spektrum yang
sesuai. Uji ini akan dilakukan dengan membandingkan masing-masing bahan dasar
yaitu kitosan, kolagen, polivinil alkohol (PVA) dengan membran kitosan-kolagen
dan polivinil alkohol (PVA).

You might also like