Professional Documents
Culture Documents
SIROSIS HEPATIS
Disusun oleh :
- Lebih kurang 3 bulan yang lalu pasien pernah mengeluh perut membesar dan dirawat di
RSUD Cileungsi.
- Riwayat sakit kuning (-)
- Riwayat minum minuman beralkohol (+)
- Riwayat tranfusi darah (-)
- Riwayat DM dan hipertensi disangkal
5. Riwayat keluarga :
- Riwayat sakit kuning (-)
- Riwayat kanker hati (-)
- Riwayat kencing manis (-)
6. Riwayat Sosio-ekonomi
Sebelum mengalami sakit, pasien bekerja sebagai buruh di tempat pembuatan pupuk
yang letaknya sedikit jauh dari rumah. Sehingga pasien pulang ke rumah hanya
seminggu sekali.
PEMERIKSAAN FISIK :
KU : Sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS=15
Vital signs :
Tekanan darah : 122/82mmHg, lengan sebelah kanan, manset dewasa
Nadi : 88 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
Frekuensi napas : 20x/menit, teratur, thorakoabdominal, cuping hidung (-)
Suhu : 36,8 C per aksilla
Saturasi oksigen : 99%
Berat Badan : 60 kg
Mata : konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik +/+, reflex cahaya +/+, pupil isokor
Hidung : napas cuping hidung -/-
Telinga : tidak dilakukan pemeriksaan
Mulut : tidak ada sianosis di bibir
Leher : kelenjar getah bening tidak membesar, JVP tidak meningkat
Thoraks :
Inspeksi : bentuk normal, spider nevi (-), venektasi (+)
Palpasi : P/ pergerakan dinding dada simetris
C/ ictus cordis teraba pada ICS 5 garis midklavikula
Perkusi : P/ sonor hampir di seluruh lapang paru
C/ batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : P/ vesikuler +/+, ronchi -/-, wheezing -/-
C/ S1-2 murni di 4 katup, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : cembung, umbilikus menonjol, venektasi (+), frog belly (+), kulit
mengkilat (+)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : pada bawah arcus costa kanan timpani, pekak sisi (+) meningkat, pekak
alih (+)
Palpasi : tegang, undulasi (+), hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium
(-)
Lingkar perut: 89cm
Ekstremitas
Edema - - , akral dingin - -
- - - -
Differential:
Basofil :0% (N)
Eosinofil :0% (N)
Netrofil : 80 % ()
Limfosit : 14 % ()
Monosit :6% (N)
Albumin : 3.5 ()
Kimia Klinik:
GDS : 115 mg/dl (N)
Fungsi Ginjal:
Ureum : 40 u/l (N)
Kreatinin : 0,6 u/l (N)
Fungsi Liver:
SGOT : 194 u/l (N)
SGPT : 120 u/l (N)
Elektrolit :
Natrium: 129
Kalium: 4.8
Klorida: 97
Analisis Urin:
Urin makroskopik
Warna : Kuning
Kejernihan : Keruh
Kimia urin
Darah : 2+
Berat jenis : 1.005
pH : 6,0
Nitrit :-
Leukosit esterase : +1
Protein : +2
Glukosa : +3
Keton :-
Urobilinogen : 1,0 mg/dL
Bilirubin :-
Urin mikroskopik
Eritrosit : 15-17/lpb
Leukosit : 6-8/lpb
Epitel : 14-15/lpk
Bakteri :-
Kristal :-
Silinder : Granular cast
Lain-lain :-
Widal
Salmonella Typhi H 1/320
S. Paratyphi AH
S. Paratyphi BH
S. Paratyphi CH
Salmonella Typhi O -
S. Paratyphi AO
S. Paratyphi BO 1/80
S. Paratyphi CO
Child-Pugh Score
Derajat 1 2 3
Kerusakan Minimal Sedang Berat
Bilirubin Serum < 2,0 2,0-3,0 > 3,0
Albumin Serum > 3,5 3,0-3,5 < 3,0
Ascites Absent Mild Moderat
Ensefalopati None 1 dan 2 3 dan 4
Protrombin < 4 atau < 1,7 4-6 atau 1,7-2,3 > 6 atau > 2,3
A 5-6 100%
B 7-9 80%
C 10-15 45%
DD:
TERAPI
Awal di IGD
IVFD RL 12 tpm
Injeksi omeprazole amp 20 mg IV
Injeksi furosemide amp 20mg IV
Hp pro 3x1
Pasang DC
Levofloxacin 1x500mg
Propranolol 3x10mg
Omeprazole 1x40mg
Curcuma 3x1
Furosemide 1x40mg
Spirinolacton 1x100mg
Daftar Pustaka :
1. Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Ed. 6. Jakarta : EGC. 2006
2. Fiore Mariano, (ed:Anugrah Peter).Atlas Histologi Manusia. Ed. 6. Jakarta EGC.1996
3. Nurdjanah S. Sirosis Hati. Dalam: Sundoyo AW, Setyohadi B, Alwi J,
Simadibrata M, Setiati S, editors : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi
V. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009
4. Adi P. Buku ajar Ilmu Penyakit dalam Jilid I.Balai penerbit FK UI 2006:291-294
5. Bakta IM. Buku ajar Ilmu Penyakit dalam Jilid II.Balai penerbit FK UI 2006:632-635
6. Hirlan. Ascites. Dalam: Sundoyo AW, Setyohadi B, Alwi J, Simadibrata M, Setiati S,
editors : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi V. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2009
7. Rani AA, Soegondo S, Nasir AU, dkk. Standar Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia Edisi Khusus 2005. PB PAPDI 2005.
8. Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, dkk. Pedoman Diagnosis Dan Terapi DI Bidang Ilmu
Penyakit Dalam. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI, Jakarta 1999.
9. Kumar, Abbas, Fausto, Mitchell. Robbins Basic Pathology: The Liver, Gallblader and
Billiary Tract.8th ed. China: Saunders Elsevier, 2007. P.635-6
10. Gani Rino. Konsensus Penatalaksanaan Hepatitis B di Indonesia 2012. Tim Penyusun PPHI,
Jakarta 2012.
Hasil pembelajaran :
1. Definisi Sirosis hepatis
2. Etiologi Sirosis hepatis
3. Patofisiologi Sirosis hepatis
4. Gejala dan Tanda Sirosis hepatis
5. Penegakan Diagnosis Sirosis hepatis
6. Penatalaksanaan Sirosis hepatis
SUBJEKTIF :
Pasien datang dengan keluhan perut membesar dan terasa kencang. Karena perut membesarnya
tersebut hingga membuat pasien terasa sesak. Keluhan tersebut sudah dirasakan sejak sejak 3
bulan SMRS, namun semakin lama semakin memberat, dan 2 minggu terakhir perut terasa
makin besar hingga terasa perut kencang dan membuat sesak. Pada akhir bulan Juni (26-06-
2017) pasien sempat di rawat di RSUD Cileungsi dengan keluhan yang sama yaitu perut
membesar sudah sejak 15 hari sebelumnya, terasa begah, nyeri dan menyebabkan sesak..
keluhan tersebut juga disertai badan dan mata pasien yang berwarna kekuningan. Kemudian
pasien dikatakan menderita hepatitis B. mendapat perawatan 5 hari kemudian pasien
diperbolehkan berobat jalan. Pasien rutin kontrol ke poli penyakit dalam RSUD Cileungsi.
kontrol selanjutnya seharusnya tanggal 4 september 2017, namun pasien merasa perut semakin
membesar dan sesak sehingga pasien kembali dilarikan ke IGD. Perut yang membesar
menyebabkan pasien sulit beraktivitas karena lemas sehingga pasien hanya dapat tidur-tiduran
dan beristirahat saat dirumah. Gejala penyerta seperti mata kuning (+), mual (+), muntah (-),
muntah darah (-), nafsu makan menurun (+), penurunan berat badan (+), badan terasa lemas (+),
demam (-), BAB hitam (-), BAK seperti air teh (+), kaki membesar (-/-), payudara membesar
(-).
OBJEKTIF:
Hasil pemeriksaan fisik mendukung diagnosis sirosis hepatis. Pada kasus ini diagnosis
ditegakkan berdasarkan:
- keadaan umum penderita tampak lemas, perut membesar seperti hamil 9 bulan, sklera
ikterik (+), perut tampak cembung dan kulit mengkilat (+), frog belly (+), venektasi (+),
pekak sisi (+) meningkat, pekak alih (+), liverspan 4 cm
- Dari pemeriksaan penunjang didapatkan penurunan hemoglobin (7.8%), penurunan
hematokrit (23%), penurunan eritrosit (2,4 jt/mmk), peningkatan MCV (93) dan MCH (32 ),
penurunan kadar albumin (3.5 gr/dl), peningkatan SGOT (194 U/l), peningkatan SGPT
(120) dan HbsAg (+)
ASSESSMENT :
I. SIROSIS HEPATIS
A. Definisi
Sirosis hepatis merupakan entitas patologik yang ditandai dengan (1) nekrosis sel hati,
progresif lambat dalam waktu lama yang akhirnya menyebabkan gagal hati kronis dan
kematian; (2) fibrosis, yang mengenai vena sentralis dan daerah porta; (3) nodul regeneratif,
akibat hiperplasia sel hati yang bertahan hidup; (4) distorsi pada arsitektur lobular hati normal;
dan (5) mengenai seluruh hati secara difus. Sehingga dapat didefinisikan sirosis adalah suatu
keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung
progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus
regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoselular. Jaringan penunjang retikulin
kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular dan regenerasi nodularis
parenkim hati 3,4
Menurut Lindseth; sirosis hepatis adalah penyakit hati kronis yang dicirikan dengan
distorsi arsitektur hati yang normal oleh lembar-lembar jaringan ikat dan nodul-nodul regenerasi
sel hati. Sirosis hepatis dapat mengganggu sirkulasi sel darah intra hepatik, dan pada kasus yang
3
sangat lanjut, menyebabkan kegagalan fungsi hati Terlepas dari penyebab sirosis, bentuk
patologisnya terdiri dari perkembangan fibrosis yang menjadi suatu keadaan adanya distorsi
bentuk hati yang akan membentuk nodul regeneratif. Hal ini menyebabkan penurunan massa
hepatoseluler, penurunan fungsi, dan perubahan aliran darah. Induksi fibrosis terjadi dengan
aktivasi sel stellate hati, sehingga terjadi peningkatan pembentukan jumlah kolagen dan
komponen lain dari matriks ekstraseluler.4
Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya
pembentukan jaringan ikat serta nodul. Pembentukan jaringan ikat saja seperti pada payah
jantung, obstruksi saluran empedu, juga pembentukan nodul saja seperti pada sindroma Felty
dan transformasi nodular parsial bukanlah suati sirosis hati. 1 Sirosis Hepatis adalah penyakit
hati kronis yang dicirikan dengan distorsi arsitektur hati yang normal oleh lembar-lembar
jaringan ikat dan nodul-nodul regenerasi sel hati, yang tidak berkaitan dengan vaskulatur
normal.4
Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang berarti belum
adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan
tanda klinik yang jelas. Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis
kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaanya secara klinis, hanya dapat dibedakan
melalui biopsy hati.3,4
B. Etiologi
Penyebab pasti dari sirosis hepatis sampai sekarang belum jelas, tetapi sering disebutkan antara
lain :4,5
Hepatitis Virus
Infeksi virus merupakan penyebab paling sering dari sirosis hepatis. Hanya HBV atau
HCV mengakibatkan penyakit hati kronis. Virus Hepatitis D adalah virus yang tidak lengkap
yang hanya patogen bila bersama-sama dengan HBV. Virus A dan E penyebab hepatitis, tetapi
tidak berkembang menjadi sirosis hepatis. Virus hepatitis G telah diidentifikasi tidak
menghasilkan penyakit hati. Infeksi HBV didiagnosis oleh adanya antigen permukaan hepatitis
B (HBsAg); HCV, oleh anti-HCV dan HCV RNA 5
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab sirosis hepatis,
apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh Blumberg pada tahun 1965 dalam darah
penderita dengan penyakit hati kronis ,maka diduga mempunyai peranan yang besar untuk
terjadinya nekrosis sel hati sehingga terjadi sirosis. Secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis
virus B lebih banyak mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa
serta menunjukan perjalanan yang kronis, bila dibandingkan dengan hepatitis virus A
(Hadi,2002).5
Hepatitis B kronik
Pada manusia hati merupakan target organ bagi virus hepatitis B. Virus Hepatitis B
(VHB) mula-mula melekat pada reseptor spesifik dimembran sel hepar kemudian mengalami
penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar. Dalam sitoplasma VHB melepaskan mantelnya,
sehingga melepaskan nukleokapsid. Selanjutnya nukleokapsid akan menembus dinding sel hati.
Di dalam inti asam nukleat VHB akan keluar dari nukleokapsid dan akan menempel pada DNA
hospes dan berintegrasi; pada DNA tersebut. Selanjutnya DNA VHB memerintahkan gel hati
untuk membentuk protein bagi virus baru dan kemudian terjadi pembentukan virus baru. Virus
ini dilepaskan ke peredaran darah, mekanisme terjadinya kerusakan hati yang kronik
disebabkan karena respon imunologik penderita terhadap infeksi. Apabila reaksi imunologik
tidak ada atau minimal maka terjadikeadaan karier sehat.
Virus hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral, dari peredaran darah partikel
Dane masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus. Selanjutnya sel-sel hati akan
memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh, partikel HbsAg bentuk bulat dan tubuler dan
HBeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. Virus hepatitis B smerangsang respon imun
tubuh, yang pertama kali adalah respon imun non spesifik karena dapat terangsang dalam waktu
beberapa menit sampai beberapa jam dengan memanfaatkan sel-sel NK dan NKT. Kemudian
diperlukan respon imun spesifik yaitu dengan mengakstivasi sel limfosit T dan sel limfosit B.
aktivasi sel T, CD8 + terjadi setelah kontak reseptor sel T dengan komplek peptide VHB-MHC
kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati. Sel T CD8 + akan mengeliminasi virus yang
ada di dalam sel hati terinfeksi. Proses eliminasi bisa terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati yang
akan menyebabkan meningkatnya ALT.5
Aktivasi sel limfosit B dengan bantuan sel CD+ akan mengakibatkan produksi antibody
antara lain anti-HBs, anti-HBc, anti-HBe. Fungsi anti-HBs adalah netralisasi partikel virus
hepatitis B bebas dan mencegah masuknya virus ke dalam sel, dengan demikian anti-HBs akan
mencegah penyebaran virus dari sel ke sel.5
Salah satu contoh peran imunotoleransi terhadap produk virus hepatitis B dalam
persistensi virus hepatitis B adalah mekanisme persistensi infeksi virus hepatitis B pada
neonatus yang dilahirkan oleh ibu HBsAg dan HBeAg posistif, diduga persistensi infeksi virus
hepatitis B pada neonatus yang dilahirkan oleh ibu HBeAg yang masuk ke dalam tubuh janin
mendahului invasi virus hepatitis B, sedangkan persistensi pada usia dewasa diduga disebabkan
oleh kelelahan sel T karena tingginya konsentrasi partikel virus.5
2. Ultrasonografi (USG)
3. Peritoneoskopi (laparoskopi)
Secara laparoskopi akan tampak jelas kelainan hati. Pada sirosis hepatis akan jelas
kelihatan permukaan yang berbenjol-benjol berbentuk nodul yang besar atau kecil dan
terdapatnya gambaran fibrosis hati, tepi biasanya tumpul. Seringkali didapatkan pembesaran
limpa (Hadi,2002).4
Komplikasi
Komplikasi sirosis hepatis yang dapat terjadi antara lain: asites, edema, spontaneous
bacterial peritonitis (SBP), perdarahan saluran cerna, sindroma hepato-renal, sindroma hepato-
pulmoner, hipersplenisme, dan kanker hati.4
Penatalaksanaan
Terdapat 2 jenis strategi pengobatan hepatitis B, yaitu terapi dengan durasi terbatas atau
terapi jangka panjang. Terapi dengan analog nukleosida dapat diberikan seunur hidup atau
hanya dalam waktu terbatas, sementara interferon hanya diberikan dalam waktu terbatas
mengingat beratnya efek samping pengobatan. Sampai saat ini belum bisa diputuskan pilihan
terapi mana yang paling unggul untuk semua pasien. Pemilihan strategi terapi yang digunakan
harus disesuaikan dengan kondisi individu tiap pasien. Tenofovir atau entecavir adalah obat
yang dinilai paling efektif untuk digunakan namun mengingat tingginya biaya dan ketersediaan
obat, lamivudin telbivudin dan adefovir juga tetap dapat digunakan di Indonesia.13
Prognosis
b. Teori Overfill
Adanya kadar aktivitas plasma renin normal atau rendah pada sepertiga pasien sirosis dan
asites mendukung bahwa pada beberapa kasus retensi natrium tidak berhubungan terhadap
vasodilatasi. Diusulkan bahwa pada proses awal terjadi perubahan respon ginjal terhadap
insufisiensi hepatik atau hipertensi sinusoidal menyebabkan retensi natrium (teori overfill).
Teori ini didasarkan pada penemuan dari abnormalitas penanganan natrium, pada tanpa
vasodilatasi sistemik atau underfilling arterial, ketika pasien preasites sirosis dibebani dengan
natrium. Berdasarkan hipotesis ini diusulkan bahwa didahului retensi natrium dan air
menyebabkan penambahan volume plasma, peningkatan curah jantung, dan penurunan
resistensi vaskuler sistemik (vasodilatasi). Tetapi teori ini disanggah dengan adanya obat yang
dapat menghilangkan vasodilatasi yang akan memperbaiki hemodinamik dan meningkatkan
ekskresi natrium.
Diagnosis
Anamnesis
Gejala yang paling sering adalah peningkatan lingkar perut yang dirasakan semakin
membesar, baju menjadi tidak sesuai dengan biasanya, penambahan ukuran sabuk, dan
peningkatan berat badan. Apbila cairan menjadi lebih banyak dan menekan diafragma ke atas
maka akan menimbulkan gangguan dalam tarikan nafas, perasaan penuh, dan nyeri perut. Onset
dari gejala asites ini cepat berkembang dalam kurun waktu mingguan, sehingga dapat dibedakan
dengan gejala obesitas yang memerlukan waktu yang lebih lama.
Pemeriksaan Fisik
Adanya asites pada penderita sirosis menandakan dekompensata atau stadium lanjut dari
sirosis. Pada inspeksi pemeriksaan abdomen didapatkan gambaran perut yang cembung, frog
belly, adanya venektasi, gambaran umbilikus yang bergerak ke kaudal mendekati simfisis pubis
hingga dapat terjadi herniasi umbilikus. Pada palpasi didapatkan perut yang tegang dan pada
perkusi didapatkan pekak sisi yang meningkat dan adanya pekak alih atau shifting dullness.
Untuk dapat terdeteksi dalam pemeriksaan fisik minimal cairan asites yang terkumpul sekitar >
1500 ml. oleh sebab itu terkadang pemeriksaan fisik kurang sensitif terutama jika cairan yang
terkumpul masih sedikit atau pada pasien dengan obesitas.
Pemeriksaan Penunjang
Evaluasi awal pasien dengan asites harus mencakup anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang yang meliputi USG abdomen, penilaian laboratotrium fungsi hati,
fungsi ginjal, elektrolit serum dan urin, serta analisis dari cairan asites (parasintesis diagnostik).
Parasintesis diagnostik direkomendasikan untuk harus dilakukan pada semua pasien
dengan asites onset baru grade 2 atau 3 dan pada semua pasien yang dirawat di rumah sakit
pada asites yang memburuk atau komplikasi sirosis. Parasintesis diagnostik dengan analisis
cairan asites yang tepat merupakan pemeriksaan yang sangat penting pada semua pasien asites
sebelum terapi apapun untuk menyingkirkan penyebab lain asites selain sirosis maupun adanya
spontan bacterial peritonitis (SBP) pada sirosis. Parameter yang dinilai meliputi:
a. Gambaran makroskopis cairan asites
Gambaran makroskopis cairan asites meliputi hemoragik (akibat keganasan), kemerahan
(akibat ruptur kapiler peritoneum oleh karena sirosis), atau chillous (pada ruptur pembuluh
limfe).
b. Gradien nilai albumin serum dan asites (SAAG)
Pada penilaian gradien albumin serum asites (SAAG) apabila nilainya > 1,1 gr/dL
dianggap asites jenis transudasi yang berasal dari hipertensi portal dengan akurasi hingga 97%.
Apabila nilainya < 1,1 gr/dL dianggap asites jenis eksudat.
c. Konsentrasi protein cairan asites
Konsentrasi protein cairan asites harus diukur pula untuk menilai resiko SBP karena
pasien dengan konsentrasi protein lebih rendah dari 1,5 gr/dL memiliki peningkatan resiko SBP.
d. Hitung sel / hitung jumlah neutrofil
Pada hitung sel cairan asites apabila didapatkan peningkatan jumlah leukosit hal ini
menandakan adanya inflamasi. Secara spesifik bila jumlah sel PMN meningkat > 250/mmk
menandakan terjadinya SBP sedangkan bila jumlah sel MN yang dominan meningkat
menandakan adanya peritonitis tuberkulosa atau karsinomatosus.
e. Kultur cairan asites
Pada hasil kultur cairan asites apabila pola kuman cenderung polimikroba menandakan
terjadinya perforasi usus, sedangkan bila pola kuman cenderung monomikroba menandakan
adanya SBP.
f. Sitologi
Tes lain seperti sitologi, amilase, PCR, dan kultur mikobakterium dilakukan hanya bila
diagnosis tidak jelas atau jika ada kecurigaan klinis penyakit pada pankreas, keganasan, atau
tuberculosis. Pada pemeriksaan sitologi diperlukan jumlah sampel minimal 200 ml untuk
meningkatkan sensitivitas pemeriksaan.
Penatalaksanaan
Pengobatan asites transudat sebaiknya dilakukan secara komprehensif meliputi :
1. Tirah baring
Tirah baring dengan tidur telentang, kaki sedikit diangkat, selama beberapa jam setelah
minum obat diuretika dapat memperbaiki efektivitas diuretika pada pasien asites transudat yang
berhubungan dengan hipertensi porta. Perbaikan efek diuretika tersebut berhubungan dengan
perbaikan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus akibat tirah baring serta menurunkan
aktivitas simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosteron menurun.
2. Diet
Diet rendah garam ringan sampai sedang dapat membantu diuresis. Konsumsi garam
perhari sebaiknya dibatasi hingga 40-60 mEq/hari. Hiponatremi ringan sampai sedang bukan
merupakan kontraindikasi untuk memberikan diet rendah garam mengingat hiponatremia pada
pasien asites transudat bersifat relatif.
3. Diuretika
Diuretika yang dianjurkan adalah diuretika yang bekerja sebagai antialdosteron, misalnya
spironolakton. Diuretika ini merupakan diuretika hemat kalium bekerja di tubulus distal dan
menahan reabsorpsi natrium. Sebenarnya potensi natriuretik diuretika distal lebih rendah
daripada diuretika loop bila etiologi peningkatan air dan garam tidak berhubungan dengan
hiperaldosteronisme. Pada sirosis hepatis karena mekanisme utama reabsorpsi air dan natrium
adalah hiperaldosteronisme maka diuretika loop menjadi kurang efektif. Biasanya diuretika
jenis ini dibutuhkan sebagai kombinasi. Efektivitas obat diuretika antialdosteron lebih
bergantung pada konsentrasinya di plasma, semakin tinggi semakin efektif. Dosis yang
dianjurkan antara 100-600 mg/hari.
Target yang sebaiknya dicapai dengan terapi tirah baring, diet rendah garam, dan terapi
diuretika adalah peningkatan diuresis sehingga berat badan akan turun 400-800 gram/hari.
Pasien yang disertai edema perifer penurunan berat badan dapat sampai 1500 gram/hari.
Sebagian besar pasien berhasil baik dengan terapi kombinasi tersebut. Setelah cairan asites
dapat dimobilisasi dosis diuretika dapat disesuaikan. Biasanya diet rendah garam dan
spironolakton masih tetap diperlukan untuk mempertahankan diuresis dan natriuresis sehingga
asites tidak terbentuk lagi.
Komplikasi diuretika pada pasien sirosis hepatis harus diwaspadai, seperti gagal ginjal
fungsional, gangguan elektrolit, gangguan keseimbangan asam basa, dan ensefalopati
hepatikum. Spironolakton dapat menyebabkan libido menurun, ginekomastia pada laki-laki, dan
gangguan menstruasi pada perempuan.
4. Terapi parasentesis
Beberapa tahun terakhir ini parasentesis dianjurkan karena mempunyai banyak
keuntungan. Setiap liter cairan asites yang dikeluarkan sebaiknya diikuti dengan substitusi
albumin parenteral sebanyak 6-8 gram. Setelah parasentesis sebaiknya terapi konvensional tetap
diberikan. Parasentesis asites sebaiknya tidak dilakukan pada sirosis dengan Child-Pugh C
kecuali asites tersebut refrakter.
5. Pengobatan terhadap penyakit yang mendasari
Asites sebagai komplikasi penyakit-penyakit yang dapat diobati dengan menyembuhkan
penyakit yang mendasari akan dapat menghilangkan asites.