You are on page 1of 20

LAPORAN PENDAHULUAN FISTULA ANI

1. DEFINISI

Fistula ani adalah terbentuknya saluran kecil yang memanjang dari anus
sampai bagian luar kulit anus, atau dari suatu abses sampai anus atau daerah perianal.
Fistula adalah hubungan abnormal antara dua tempat yang berepitel. Fistula ani
adalah fistula yang menghubungkan antara kanalis anal ke kulit di sekitar anus
(ataupun ke organ lain seperti ke vagina). Pada permukaan kulit bisa terlihat satu
atau lebih lubang fistula, dan dari lubang fistula tersebut dapat keluar nanah ataupun
kotoran saat buang air.
Fistula ani sering terjadi pada laki laki berumur 20 40 tahun, berkisar 1-3
kasus tiap 10.000 orang. Sebagian besar fistula terbentuk dari sebuah abses (tapi tidak
semua abses menjadi fistula). Sekitar 40% pasien dengan abses akan terbentuk fistula.

2. ETIOLOGI

Mayoritas penyakit supurativ anorektal terjadi karena infeksi dari kelenjar


anus (cyptoglandular). Kelenjar ini terdapat di dalam ruang intersphinteric. Diawali
kelenjar anus terinfeksi, sebuah abses kecil terbentuk di daerah intersfincter. Abses
ini kemudian membengkak dan fibrosis, termasuk di bagian luar kelenjar anus di
garis kripte. Ketidakmampuan abses untuk keluar dari kelenjar tersebut akan
mengakibatkan proses peradangan yangmeluas sampai perineum, anus atau
seluruhnya, yang akhirnya membentuk abses perianal dan kemudian menjadi fistula.
Fistula ani juga dapat terjadi pada pasien dengan kondisi inflamasi
berkepanjangan pada usus, seperti pada Irritable Bowel Syndrome (IBS),
diverticulitis, colitis ulseratif, dan penyakit crohn, kanker rectum, tuberculosis usus,
HIV-AIDS, dan infeksi lain pada daerah ano-rektal.
3. MANIFESTASI KLINIK

Pasien biasanya mengeluhkan beberapa gejala yaitu :


Nyeri, yang bertambah pada saat bergerak, defekasi, dan batuk.
Keluar darah atau nanah dari lubang fistula.
Iritasi atau ulkus di kulit di sekitar lubang fistula.
Gatal sekitar anus dan lubang fistula.
Benjolan (Massa fluktuan) bila masih berbentuk abses.
Demam, dan tanda tanda umum infeksi.
Pada pemeriksaan fisik pada daerah anus, dapat ditemukan satu atau lebih
external opening atau teraba fistula di bawah permukaan. Pada colok dubur terkadang
dapat diraba indurasi fistula dan internal opening.

4. ANATOMI FISIOLOGI
Usus besar merupakan tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 5
kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter usus
besar sudah pasti lebih besar dari pada usus kecil.
Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon dan rektum. Pada sekum terdapat
katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati
sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengontrol aliran
kimus dari ileum ke sekum. Kolon dibagi lagi menjadi kolon asendens, transversum,
desendens dan sigmoid. Tempat dimana kolon membentuk kelokan tajam yaitu pada
abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut dinamakan fleksura hepatika dan fleksura
lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan berbentuk suatu lekukan
berbentuk S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri waktu kolon sigmoid bersatu
dengan rektum, yang menjelaskan alasan anatomis meletakkan penderita pada sisi kiri
bila diberi enema.
Bagian usus besar besar yang terakhir dinamakan rektum yang terbentang dari
kolon sigmoid sampai anus (muara ke bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari
rektum dinamakan kanalis ani dan dilindungi oleh sfingter ani eksternus dan internus.
Panjang rektum dan kanalis ani sekitar 5,9 inci (15 cm). Usus besar dibagi menjadi
belahan kiri dan kanan sejalan dengan suplai darah yang diterima.
Arteria mesenterika superior memperdarahi belahan bagian kanan (sekum,
kolon ascendens dan duapertiga proksimal kolon transversum), dan arteria
mesenterika inferior memperdarahi belahan kiri ( sepertiga distal kolon transversum,
ascendens dan sigmoid, dan sebagian proksimal rektum). Suplai darah tambahan
untuk rektum adalah melalui arteria sakralis media dan arteria hemoroidalis inferior
dan media yang dicabangkan dari arteria iliaka interna dan aorta abdominalis. Alir
balik vena dari kolon dan rektum superior melalui vena mesenterika superior dan
inferior dan vena hemoroidalis superior, yaitu bagian dari sistem portal yang
mengalirkan darah ke hati.
Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan
perkecualian sfingter eksterna yang berada dibawah kontrol voluntar. Usus besar
mempunyai fungsi yang semuanya berkaitan dengan proses akhir isi usus. Fungsi
usus besar yang paling penting adalah mengabsorbsi air dan elektrolit, yang sudah
hampir lengkap pada kolon bagian kanan. Kolon sigmoid berfungsi sebagai reservoir
yang menampung massa feses yang sudah dehidrasi sampai defekasi berlangsung.
Defekasi dikendalikan oleh sfingter ani eksterna dan interna.
Sfingter interna dikendalikan oleh sistem saraf otonom, sfingter eksterna
berada di bawah kontrol voluntar. Defekasi dapat dihambat oleh kontraksi voluntar
otot-otot sfingter eksterna dan levator ani. Dinding rektum secara bertahap akan
relaks, dan keinginan untuk berdefekasi akan menghilang. Rektum dan anus
merupakan lokasi dari penyakit-penyakit yang sering ditemukan pada manusia.
Daerah anorektal sering merupakan tempat abses dan fistula. Kanker kolon dan
rektum merupakan kanker saluran cerna yang paling sering terjadi.
5. PATOFISIOLOGI
Hipotesis yang paling jelas adalah kriptoglandular, yang menjelaskan bahwa
fistula ani merupakan abses anorektal tahap akhir yang telah terdrainase dan
membentuk traktus. Kanalis anal mempunyai 6-14 kelenjar kecil yang terproyeksi
melalui sfingter internal dan mengalir menuju kripta pada linea dentata. Kelenjar
dapat terinfeksi dan menyebabkan penyumbatan. Bersamaan dengan penyumbatan
itu, terperangkap juga feces dan bakteri dalam kelenjar. Penyumbatan ini juga dapat
terjadi setelah trauma, pengeluaran feces yang keras, atau proses inflamasi. Apabila
kripta tidak kembali membuka ke kanalis anal, maka akan terbentuk abses di dalam
rongga intersfingterik. Abses lama kelamaan akan menghasilkan jalan keluar dengan
meninggalkan fistula, dimana fistula mempunyai satu muara di kripta di perbatasan
anus dan rektum, dan lobang lain di perineum di kulit perianal.
Klasifikasi fistula:
a. Intersphinteric fistula
Berawal dalam ruang di antara muskulus sfingter eksterna dan interna dan bermuara
berdekatan dengan lubang anus.
b. Transphinteric fistula
Berawal dalam ruang di antara muskulus sfingter eksterna dan interna, kemudian
melewati muskulus sfingter eksterna dan bermuara sepanjang satu atau dua inchi di
luar lubang anus, membentuk huruf U dalam tubuh, dengan lubang eksternal berada
di kedua belah lubang anus (fistula horseshoe)
c. Suprasphinteric fistula
Berawal dari ruangan diantara muskulus sfingter eksterna dan interna yang membelah
ke atas muskulus pubrektalis lalu turun di antara puborektal dan muskulus levator ani
lalu muncul satu atau dua inchi di luar anus.
d. Ekstrasphinteric fistula
Berawal dari rektum atau colon sigmoid dan memanjang ke bawah, melewati
muskulus levator ani dan berakhir di sekitar anus. Fistula ini biasa disebabkan oleh
abses appendiceal, abses diverticular, atau Crohns Disease.
6. PENATALAKSANAAN PENGOBATAN MEDIK
Terapi Konservatif Medikamentosa dengan pemberian analgetik, antipiretik serta
profilaksis antibiotik jangka panjang untuk mencegah fistula rekuren.
Terapi pembedahan:
a. Fistulotomi: Fistel di insisi dari lubang asalnya sampai ke lubang kulit, dibiarkan
terbuka,sembuh per sekundam intentionem. Dianjurkan sedapat mungkin dilakukan
fistulotomi.
b. Fistulektomi: Jaringan granulasi harus di eksisi keseluruhannya untuk
menyembuhkan fistula. Terapi terbaik pada fistula ani adalah membiarkannya
terbuka.
c. Seton: benang atau karet diikatkan malalui saluran fistula. Terdapat dua macam
Seton, cutting Seton, dimana benang Seton ditarik secara gradual untuk memotong
otot sphincter secara bertahap, dan loose Seton, dimana benang Seton ditinggalkan
supaya terbentuk granulasi dan benang akan ditolak oleh tubuh dan terlepas sendiri
setelah beberapa bulan.
d. Advancement Flap: Menutup lubang dengan dinding usus, tetapi keberhasilannya
tidak terlalu besar.
e. Fibrin Glue: Menyuntikkan perekat khusus (Anal Fistula Plug/AFP) ke dalam saluran
fistula yang merangsang jaringan alamiah dan diserap oleh tubuh. Penggunaan fibrin
glue memang tampak menarik karena sederhana, tidak sakit, dan aman, namun
keberhasilan jangka panjangnya tidak tinggi, hanya 16%.
f. Pasca Operasi
Pada operasi fistula simple, pasien dapat pulang pada hari yang sama setelah operasi.
Namun pada fistula kompleks mungkin membutuhkan rawat inap beberapa hari.
Setelah operasi mungkin akan terdapat sedikit darah ataupun cairan dari luka operasi
untuk beberapa hari, terutama sewaktu buang air besar. Perawatan luka pasca operasi
meliputi sitz bath (merendam daerah pantat dengan cairan antiseptik), dan
penggantian balutan secara rutin. Obat obatan yang diberikan untuk rawat jalan antara
lain antibiotika, analgetik dan laksatif. Aktivitas sehari hari umumnya tidak terganggu
dan pasien dapat kembali bekerja setelah beberapa hari. Pasien dapat kembali
menyetir bila nyeri sudah berkurang. Pasien tidak dianjurkan berenang sebelum luka
sembuh, dan tidak disarankan untuk duduk diam berlama-lama.
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Fistulografi, yaitu memasukkan alat ke dalam lubang/fistel untuk mengetahui


keadaan luka.
Pemeriksaan harus dilengkapi dengan rektoskopi untuk menentukan adanya penyakit
di rektum seperti karsinoma atau proktitis tbc, amuba, atau morbus Crohn.
Fistulografi: Injeksi kontras melalui pembukaan internal, diikuti dengan
anteroposterior, lateral dan gambaran X-ray oblik untuk melihat jalur fistula.
Ultrasound endoanal / endorektal: Menggunakan transduser 7 atau 10 MHz ke dalam
kanalis ani untuk membantu melihat differensiasi muskulus intersfingter dari lesi
transfingter. Transduser water-filled ballon membantu evaluasi dinding rectal dari
beberapa ekstensi suprasfingter.
MRI: MRI dipilih apabila ingin mengevaluasi fistula kompleks, untuk memperbaiki
rekurensi.
CT- Scan: CT Scan umumnya diperlukan pada pasien dengan penyakit crohn atau
irritable bowel syndrome yang memerlukan evaluasi perluasan daerah inflamasi. Pada
umumnya memerlukan administrasi kontras oral dan rektal.
Barium Enema: untuk fistula multiple, dan dapat mendeteksi penyakit inflamasi
usus.
Anal Manometri: evaluasi tekanan pada mekanisme sfingter berguna pada pasien
tertentu seperti pada pasien dengan fistula karena trauma persalinan, atau pada fistula
kompleks berulang yang mengenai sphincter ani.
8. KOMPLIKASI

Komplikasi dapat terjadi langsung setelah operasi atau tertunda. Komplikasi yang
dapat langsung terjadi antara lain:
Perdarahan
Impaksi fecal
Hemorrhoid
Komplikasi yang tertunda antara lain adalah:
Inkontinensia
Munculnya inkontinensia berkaitan dengan banyaknya otot sfingter yang terpotong,
khususnya pada pasien dengan fistula kompleks seperti letak tinggi dan letak
posterior. Drainase dari pemanjangan secara tidak sengaja dapat merusak saraf-saraf
kecil dan menimbulkan jaringan parut lebih banyak. Apabila pinggiran fistulotomi
tidak tepat, maka anus dapat tidak rapat menutup, yang mengakibatkan bocornya gas
dan feces. Risiko ini juga meningkat seiring menua dan pada wanita.
Rekurens
Terjadi akibat kegagalan dalam mengidentifikasi bukaan primer atau
mengidentifikasi pemanjangan fistula ke atas atau ke samping. Epitelisasi dari bukaan
interna dan eksterna lebih dipertimbangkan sebagai penyebab persistennya fistula.
Risiko ini juga meningkat seiring penuaan dan pada wanita.
Stenosis kanalis
Proses penyembuhan menyebabkan fibrosis pada kanalis anal. Penyembuhan luka
yang lambat. Penyembuhan luka membutuhkan waktu kurang lebih 12 minggu,
kecuali ada penyakit lain yang menyertai (seperti penyakit Crohn).

9. PROGNOSIS
Prognosis dari penyakit ini sangat baik setelah sumber infeksi dan fistula
teridentifikasi. Fistula akan menetap bila tidak didrainase dengan benar. Dengan
tindakan yang tepat dan mengikuti anjuran , maka prognosis dari fistula ani baik. Komplikasi pun
dapat terhindarkan.
Pada pasien yang telah menjalani fistulotomi standar, dilaporkan angka
rekurensnya berkisar antara 0-18% dan angka inkontinensia antara 3-7%. Pasien yang
menjalani penggunaan seton, angka rekurensnya 0-17% dan angka inkontinensia
antara 0-17%. Sedangkan yang menjalani advancement flap, angka rekurensnya
berkisar antara 1-10% dan angka inkontinensia antara 6-8%.

B. TINJAUAN TEORITIS KEPERAWATAN

1. Identitas pasien dan penanggung jawab


Identitas pasien diisi mencakup nama, umur, jenis kelamin, status pernikahan,
Agama, pendidikan, pekerjaan,suku bangsa, tgl masuk RS, alamat. Untuk penangung
jawab dituliskan nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat.
2. Riwayat Kesehatan
Mengkaji keluhan utama apa yang menyebabkan pasien dirawat. Apakah penyebab
dan pencetus timbulnya penyakit, bagian tubuh yang mana yang sakit, kebiasaan saat
sakit kemana minta pertolongan, apakah diobati sendiri atau menggunakan fasilitas
kesehatan. Apakah ada alergi, apakah ada kebiasaan merokok, minum alkohol,
minum kopi atau minum obat-obatan.

3. Riwayat Penyakit
Penyakit apa yang pernah diderita oleh pasien, riwayat penyakit yang sama atau
penyakit lain yang pernah di derita oleh pasien yang menyebabkan pasien dirawat.
Adakah riwayat penyakit yang sama diderita oleh anggota keluarga yang lain atau
riwayat penyakit lain yang bersifat genetik maupun tidak.
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Umumnya penderita datang dengan keadaan sakit dan gelisah atau cemas
akibat adanya bisul pada daerah anus.
b. Tanda-Tanda Vital
Tekanan darah normal, nadi cepat, suhu meningkat dan pernafasan meningkat.

c. Pemeriksaan Kepala Dan Leher


1) Kepala Dan Rambut
Pemeriksaan meliputi bentuk kepala, penyebaran dan perubahan warna
rambut serta pemeriksaan tentang luka. Jika ada luka pada daerah tersebut,
menyebabkan timbulnya rasa nyeri dan kerusakan kulit.
2) Mata
Meliputi kesimetrisan, konjungtiva, reflek pupil terhadap cahaya dan
gangguan penglihatan.

3) Hidung
Meliputi pemeriksaan mukosa hidung, kebersihan, tidak timbul pernafasan
cuping hidung, tidak ada sekret.
4) Mulut
Catat keadaan adanya sianosis atau bibir kering.
5) Telinga
Catat bentuk gangguan pendengaran karena benda asing, perdarahan dan
serumen. Pada penderita yang bed rest dengan posisi miring maka,
kemungkinan akan terjadi ulkus didaerah daun telinga.
6) Leher
Mengetahui posisi trakea, denyut nadi karotis, ada tidaknya pembesaran
vena jugularis dan kelenjar linfe.
d. Pemeriksaan Dada Dan Thorax
Inspeksi bentuk thorax dan ekspansi paru, auskultasi irama pernafasan, vokal
premitus, adanya suara tambahan, bunyi jantung, dan bunyi jantung
tambahan, perkusi thorax untuk mencari ketidak normalan pada daerah thorax.
e. Abdomen
Bentuk perut datar atau flat, bising usus mengalami penurunan karena
immobilisasi, ada masa karena konstipasi, dan perkusi abdomen hypersonor
jika dispensi abdomen atau tegang.
f. Urogenital
Inspeksi adanya kelainan pada perinium. Biasanya klien dengan fistula ani
yang baru di operasi terpasang kateter untuk buang air kecil.
g. Muskuloskeletal
Adanya fraktur pada tulang akan menyebabkan klien bedrest dalam waktu
lama, sehingga terjadi penurunan kekuatan otot.
h. Pemeriksaan Neurologi
Tingkat kesadaran dikaji dengan sistem GCS. Nilainya bisa menurun bila
terjadi nyeri hebat (syok neurogenik) dan panas atau demam tinggi, mual
muntah, dan kaku kuduk.
i. Pemeriksaan Kulit
Inspeksi kulit
Pengkajian kulit melibatkan seluruh area kulit termasuk membran
mukosa, kulit kepala, rambut dan kuku. Tampilan kulit yang perlu dikaji
yaitu warna, suhu, kelembaban, kekeringan, tekstur kulit (kasar atau
halus), lesi, vaskularitas.
Yang harus diperhatikan oleh perawat yaitu :
1) Warna, dipengaruhi oleh aliran darah, oksigenasi, suhu badan dan
produksi pigmen.
Lesi yang dibagi dua yaitu :
Lesi primer, yang terjadi karena adanya perubahan pada salah
satu komponen kulit
Lesi sekunder adalah lesi yang muncul setelah adanya lesi
primer. Gambaran lesi yang harus diperhatikan oleh perawat
yaitu warna, bentuk, lokasi dan kofigurasinya.
2) Edema
Selama inspeksi kulit, perawat mencatat lokasi, distribusi dan warna
dari daerah edema.
3) Kelembaban
Normalnya, kelembaban meningkat karena peningkatan aktivitas atau
suhu lingkungan yang tinggi kulit kering dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, seperti lingkungan kering atau lembab yang tidak
cocok, intake cairan yang inadekuat.
4) Integritas
Yang harus diperhatikan yaitu lokasi, bentuk, warna, distribusi,
apakah ada drainase atau infeksi.
5) Kebersihan kulit
6) Vaskularisasi
Perdarahan dari pembuluh darah menghasilkan petechie dan
echimosis.
7) Palpasi kulit
Yang perlu diperhatikan yaitu lesi pada kulit, kelembaban, suhu,
tekstur atau elastisitas, turgor kulit.

5. Data Fokus ( kemungkinan ditemukan DO & DS )


DO: ekspresi wajah tampak meringis saat tidur terlentang. Kulit tampak
kemerahan dan ada luka operasi yang terpasang handscoen drain.
DS: pasien mengatakan ada bisul di daerah dubur dan terasa nyeri.
C. ASUHAN KEPERAWATAN

DIAGNOSA KEPERAWATAN

. Pre operasi:
1. Nyeri pada daerah perianal berhubungan dengan adanya luka pada perianal.
2. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka terbuka yang mungkin
terkontaminasi.
3. Kecemasan berhubungan dengan physiologi faktor akibat proses peradangan.
4. Kurang pengetahuan tentang proses penyakit, prognosis dan tindakan yang akan
didapatnya.
Post operasi:
1. Nyeri area operasi berhubungan dengan adanya eksisi luka operasi.
2. Perubahan pola eliminasi konstipasi/diare berhubungan efek anestesi,
pemasukan cairan yang tidak adekuat.
3. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan risiko prosedur invasive, luka yang
mungkin terkontaminasi.

INTERVENSI

1. Nyeri berhubungan dengan adanya luka pada perianal

Tujuan: Nyeri berkurang sampai hilang


Kriteria hasil: klien menunjukkan toleransi terhadap nyeri, klien mengungkapkan
nyeri berkurang.
Intervensi:
Kaji frekuensi dan intensitas nyeri dengan skala 1 10.
Rasional: perubahan karakteristik nyeri mengidikasikan adanya perkembangan kearah
komplikasi.
Perhatikan tanda-tanda nonverbal seperti; takut bergerak, kegelisahan.
Rasional: bahasa tubuh/perilaku nonverbal dapat digunakan sebagai data yang
menunjukkan adanya rasa nyeri/tak nyaman.
Kaji faktor-faktor yang mengganggu atau meningkatkan nyeri.
Rasional: keadaan stress dapat meningkatkan rasa nyeri.
Berikan posisi yang nyaman (telungkup, miring), aktivitas pengalihan perhatian
Rasional: meningkatkan relaksasi dan meningkatkan kemampuan koping.
Bersihkan area rectal dengan sabun yang lembut dan air sesudah bab dan rawat kulit
dengan salf, petroleum jelly.
Rasional: menjaga kulit sekitar rektal dari asam isi perut, menjaga exoriasi..
Berikan rendaman duduk.
Rasional: menjaga kebersihan dan memberikan rasa nyaman.
Observasi area perianal fistel.
Rasional: fistula mungkin berkembang dari erosi dan kelemahan dari dinding
intestinal.
Kolaborasi dengan medik untuk pemberian analgetik.
Rasional: Analgetik membantu mengurangi nyeri.

2. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka terbuka yang mungkin


terkontaminasi.

Tujuan: infeksi tidak terjadi.


Kriteria hasil: tanda vital dalam batas normal (peningkatan suhu tidak terjadi),
leukosit normal
Rencana tindakan:
Kaji area luka, catat adanya penambahan luas luka, karakteristik cairan yang
keluar dari luka.
Rasional: adanya pus mengindikasikan adanya infeksi
Monitor tanda-tanda vital, peningkatan suhu tubuh.
Rasional: peningkatan suhu mengindikasikan adanya proses infeksi.
Rawat luka dengan prinsip aseptik.
Rasional: luka pada klien adalah luka kotor, prinsip aseptik mencegah
terjadinya infeksi tambahan.
Berikan diet yang adekuat.
Rasional: klien membutuhkan nutrisi yang cukup untuk penyembuhan lukanya.
Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
Rasional: antibiotik membantu menghambat terjadinya infeksi.

3. Kecemasan berhubungan dengan faktor fisiologi akibat proses peradangan.


Tujuan: kecemasan berkurang
Kriteria hasil: ekspresi wajah klien tenang, mengungkapkan kesadarannya akan
perasaan cemasnya.
Intervensi
Bina hubungan saling percaya.
Rasional: hubungan saling percaya merupakan dasar dari komunikasi therapeutik.
Perhatikan perubahan perilaku klien, kegelisahan, tak ada kontak mata,
tampak kurang tidur.
Rasional: indikator peningkatan stress/kecemasan.
Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya, berikan feedback.
Rasional: membina hubungan therapeutik.
Dengarkan ungkapan klien dengan empati.
Rasional: dengan menunjukkan sikap empati, diharapkan akan membantu
mengurangi kecemasan klien.
Berikan informasi yang akurat.
Rasional: dengan memberikan informasi yang akurat akan membantu menurunkan
tingkat kecemasan.
Ciptakan ketenangan dan lingkungan yang nyaman.
Rasional: membantu meningkatkan relaxasi, mengurangi kecemasan.
Kolaborasi untuk pemberian sedativa, seperti barbiturat, anti anxietas seperti,
diazepam.
Rasional: sedativa/anti anxietas membantu mengurangi kecemasan dan membantu
istirahat.

4. Kurang pengetahuan tentang proses penyakit, prognosis dan tindakan yang akan
didapatnya berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan: Pengetahuan pasien bertambah
Kriteria hasil: Klien mampu mengungkapkan tentang proses penyakit dan
penanggulangannya. Berpartisipasi dalam penatalaksanaan regimen.
Intervensi
Kaji persepsi klien tentang proses penyakitnya.
Rasional: menentukan tingkat pengetahuan klien dan kebutuhan informasi yang
diperlukan.
Ulangi penjelasan tentang proses penyakit, penyebab, tanda dan gejala
penyakit serta penanggulangannya.
Rasional: dengan memberikan penjelasan yang memadai klien tahu proses penyakit
dan tindakan yang akan didapatnya, sehingga klien dapat menerima tindakan yang
didapatnya.
Tekankan pentingnya menjaga kebersihan kulit, seperti : tehnik cuci tangan yang
baik dan perawatan kulit perianal.
Rasional: mengurangi penyebaran bakteri dan resiko iritasi kulit dan
infeksi.

Post Operasi

1. Nyeri pada area operasi berhubungan dengan adanya eksisi luka operasi.

Tujuan: nyeri berkurang atau terkontrol


Kriteria hasil: ekspresi wajah klien rileks, cukup istirahat, mengungkapkan
nyeri
berkurang /dapat ditahan.
Intervensi:
Kaji lokasi, intensitas nyeri dengan skala 0 10, faktor yang mempengaruhi.
Perhatikan tanda-tanda nonverbal.
Rasional: membantu menentukan intervensi selanjutnya.
Monitor tanda-tanda vital
Rasional: perubahan tanda-tanda vital, peningkatan tekanan darah, nadi dan
pernafasan bisa diakibatkan karena nyeri.
Kaji area luka operasi, adanya edema, hematoma atau inflamasi.
Rasional: pembengkakan, inflamasi dapat menyebabkan meningkatnya
nyeri.
Berikan posisi yang nyaman dan lingkungan yang tenang, ajarkan tehnik
relaksasi, pengalihan perhatian.
Rasional: membantu mengurangi dan mengontrol rasa nyeri.
Kolaborasi dengan medik untuk pemberian analgesik.
Rasional: analgesik membantu mengurangi nyeri.

2. Perubahan pola eliminasi konstipasi/diare berhubungan dengan efek anestesi,


pemasukan cairan yang tidak adekuat.

Tujuan: pola eliminasi kembali berfungsi normal.


Intervensi:
Auskultasi bising usus.
Rasional: adanya suara bising usus yang abnormal, merupakan tanda
adanya
komplikasi.
Anjurkan makanan/minuman yang tidak mengiritasi.
Rasional: menurunkan resiko iritasi mukosa.
Kolaborasi medik untuk pemberian glyserin suppositoria.
Rasional: membantu melunakkan feses.
3. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya prosedur invasive, luka yang
mungkin terkontaminasi.
Tujuan: tidak terjadi infeksi, luka sembuh tanpa komplikasi.
Intervensi:
Kaji area luka operasi, observasi luka, karakteristik drainage, adanya inflamasi.
Rasional: penambahan infeksi dapat mengambat proses penyembuhan.
Monitor tanda-tanda vital, temperatur, respirasi, nadi.
Rasional: peningkatan temperatur, pernapasan, nadi merupakan indikasi
adanya proses infeksi.
Rawat area luka dengan prinsip aseptik. Jaga balutan kering.
Rasional: menjaga pasien dari infeksi silang selama penggantian balutan.
Kolaborasi untuk pemeriksaan cultur dari sekret/drainage, kedua dari tengah
dan pinggir luka.
Rasional: dengan mengetahui adanya organisme akan menentukan
pemberian
antibiotik.
Berikan antibiotik sesuai pesan medik.
Rasional: antibiotik mencegah dan melawan infeksi.
Bila perlu lakukan irigasi luka.
Rasional: irigasi luka dengan antiseptik baik untuk melawan infeksi
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan Keperawatan :
Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.
Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit.
(ed.6). (vol.2). Jakarta: EGC
Sudoyo. A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. (2006). Buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid 1 (ed.4). Jakarta: FKUI

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC

You might also like