You are on page 1of 18

PENDAHULUAN

Alergi makanan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang


mempengaruhi anak-anak dan dewasa. Diperkirakan sekitar 25% masyarakat di
Amerika Serikat percaya bahwa mereka memiliki reaksi alergi terhadap makanan
namun insidensi sesungguhnya setelah dikonfirmasi dengan anamnesis dan
pemeriksaan adalah 2-8% pada populasi anak-anak dan kurang dari 2% dari
populasi dewasa.1 Prevalensi alergi makanan di Indonesia adalah 5-11%.
Prevalensi alergi makanan yang kecil ini dapat terjadi karena masih banyak
masyarakat yang tidak melakukan tes alergi untuk memastikan apakah mereka
positif alergi makanan atau tidak. Persepsi mereka, jika setelah makan makanan
tertentu mereka merasa gatal-gatal, maka mereka menganggap bahwa mereka
alergi terhadap makanan itu sehingga data yang ada tidak cukup mewakili.
Disamping itu, tempat untuk melakukan tes alergi masih belum banyak
ditemukan. Keadaan ini membuat beberapa orang terutama ibu-ibu seringkali
melarang anaknya untuk mengkonsumsi makanan tertentu sehingga secara tidak
langsung akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. 2

DEFINISI
Alergi makanan merupakan respons imunologis yang abnormal terhadap
makanan yang dialami oleh seseorang yang rentan terhadap makanan tersebut.
Reaksi ini terjadi setiap kali mengkonsumsi makanan dan relatif tidak bergantung
pada jumlah makanan yang dimakan. Berdasarkan mekanisme imunologis yang
melatarbelakanginya, alergi makanan diklasifikasikan menjadi tiga yaitu reaksi
diperantarai IgE yang dimediasi oleh antibodi IgE dan khas untuk reaksi alergi
makanan, reaksi tidak diperantarai IgE yang dimediasi oleh sejumlah komponen
sel dari sistem imun dan kebanyakan melibatkan traktus gastrointestinal, dan
gabungan dari kedua klasifikasi tersebut. Keadaan klinis dari ketiga klasifikasi
dapat dilihat pada tabel 1.1,3
Alergi makanan harus dibedakan dengan reaksi makanan non alergi. Alergi
makanan dimediasi oleh sistem imun sementara reaksi makanan non alergi tidak
dimediasi oleh sistem imun. Reaksi makanan non alergi disebut juga sebagai

1
reaksi intoleransi makanan dan dibagi menjadi reaksi toksik dan non toksik.
Reaksi toksik terjadi akibat aksi farmakologis dari suatu substansi di dalam
makanan. Reaksi ini dapat dialami oleh siapa saja yang terpapar oleh makanan
tersebut dan tidak diperantarai dengan faktor host. Substansi dapat berupa enzim
atau agen lainnya yang menyebabkan reaksi di dalam tubuh. Contoh reaksi toksik
antara lain muntah setelah keracunan makanan yang terkontaminasi bakteri atau
metal berat, dan gatal serta kemerahan pada kulit setelah mengkonsumsi histamin
yang terkandung di dalam ikan jenis tertentu.Konsumsi makanan yang
mengandung kafein seperti kopi dan the dapat menyebabkan tremor. Tiramin
yang terkandung di dalam keju yang sudah lama diproduksi dapat menyebabkan
migrain, dan konsumsi alkohol dapat menyebabkan sejumlah gejala yang tidak
diinginkan. Defisiensi enzim seperti defisiensi laktase dan galaktosemia termasuk
ke dalam intoleransi makanan non toksik. Insufisiensi pankreas, penyakit hati dan
empedu, herniasi hiatus, dan rinitis gustatori merupakan kondisi diperantarai
reaksi lanjutan akibat konsumsi makanan tertentu. Gangguan psikiatrik seperti
anoreksia nervosa dengan muntah atau sindrom aurikulotemporal juga dapat
menyerupai gejala intoleransi makanan.3

Tabel 1. Klasifikasi reaksi simpang makanan3

Alergi Makanan (Imunologis)


Diperantarai IgE
Urtikaria, angioedema, rash, rinokonjungtivitis akut, eksaserbasi asma akut, anafilaksis, sindrom alergi oral

Tidak diperantarai IgE


Protein makanan yang menginduksi proktokolitis dan/atau enterokolitis, dermatitis kontak, dermatitis
herpetiformis, dan penyakit celiac

Campuran: diperantarai IgE dan tidak diperantarai IgE


Dermatitis atopik, asma, eosinofilik esofagitis, dan gastroenteritis
Intoleransi (Non imunologis)
Nontotksik (defisiensi enzim)
Intoleransi laktosa, galaktosemia

Toksik (farmakologis)
Kafein (tremor), tiramin dalam keju yang sudah lama diproduksi (migrain), alkohol, histamin (keracunan ikan)

Mirip dengan intoleransi/alergi makanan


Insufisiensi pankreas, penyakit empedu dan hati, herniasi hiatus, rinitis gustatori, anoreksia nervosa, sindrom
aurikulotemporal (kemerahan pada muka dan salivasi).

2
EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan sekitar 25% masyarakat di Amerika Serikat percaya bahwa
mereka memiliki reaksi alergi terhadap makanan namun insidensi sesungguhnya
setelah dikonfirmasi dengan anamnesis dan pemeriksaan adalah 2-8% pada
populasi anak-anak dan kurang dari 2% dari populasi dewasa. Banyak penelitian
dalam bebeberapa dekade terakhir juga menunjukkan bahwa meskipun 40-60%
orang tua percaya bahwa anaknya memiliki gejala alergi terkait makanan, hanya
4% - 8% yang terbukti alergi dengan tes provokasi makanan.1 Prevalensi alergi
makanan di Indonesia adalah 5-11%.2
Alergi makanan merupakan penyebab terbanyak dari kasus anafilaksis di
instalasi gawat darurat di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Alergi makanan
sendiri di Amerika Serikat menyebabkan sekitar 30.000 reaksi anafilaksis, 2.000
orang dirawat inap, dan sekitar 200 jiwa meninggal setiap tahun. Pada anak-anak
alergi makanan merupakan penyebab anafilaksis terbanyak. Anak dengan
dermatitis atopik sedang sampai berat merupakan prevalensi tertinggi alergi
makanan diperantarai IgE yaitu sekitar 10-30% tergantung pada derajat beratnya
dermatitis atopik. Lebih dari 90% anak dengan eosinofilik esofagitis diduga akibat
alergi makanan.1
Kejadian alergi makanan dipengaruhi oleh genetik, umur, jenis kelamin,
pola makan, jenis makanan awal, jenis makanan, dan faktor lingkungan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Oehling et al. dalam
Prawirohartono pada 400 anak umur 3-12 tahun didapatkan data bahwa 60%
penderita alergi makanan adalah perempuan dan 40% laki-laki. Pola makan
(eating habits) juga memberi pengaruh terhadap reaksi tubuh, contohnya populasi
di Skandinavia sering menderita alergi terhadap ikan.2 Terdapat delapan makanan
yang paling sering menimbulkan alergi di Amerika Serikat yaitu susu, telur,
kacang tanah, kacang mete, kedelai, gandum, ikan, dan hewan laut yang tergolong
ke dalam famili crustacea (kerang, lobster, crayfish, dan udang.4 Sementara di
Indonesia, studi yang dilakukan oleh Candra dkk pada tahun 2007 terhadap 208
pasien yang berobat di poli alergi imunologi RSCM memberikan hasil bahwa

3
makanan yang paling banyak menyebabkan alergi pada anak-anak adalah susu
sapi dan tepung terigu dan pada dewasa adalah kepiting.2

PATOFISIOLOGI

Alergi makanan adalah reaksi imunologis melawan alergen makanan yang


dapat diperantarai IgE, diperantarai sel, atau diperantarai keduanya (Gambar 1).
Reaksi alergi makanan yang diperantarai IgE terjadi akibat pelekatan alergen
dengan antibodi IgE spesifik yang berlekatan dengan reseptor yang memiliki
afinitis tinggi (FcRI) yang diekspresikan oleh sel mast dan basofil dan reseptor
yang memiliki afinitas rendah (FcRII) yang ada di makrofag, monosit, limfosit
dan platelet. Ketika antigen spesifik berikatan dengan IgE yang telah terikat
dengan reseptor FcRI, terjadi pelepasan sejumlah mediator. Meskipun selama ini
diduga bahwa sel mast yang berperan dalam melepaskan mediator penyebab
sejumlah reaksi alergi, penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa basofil juga
ikut berperan dalam peristiwa tersebut. Pasien dermatitis atopi dan hipersensitif
terhadap makanan terbukti melepaskan sejumlah histamin dari basofil yang
kemudian menjadi normal setelah pemberian makanan yang menjadi penyebab
reaksi hipersensitivitas dihentikan. Level serum triptase (penanda spesifik dari sel
mast yang aktif) pada pasien dengan anafilaksis yang diinduksi makanan
dilaporkan normal sehingga diduga histamin dilepaskan oleh sel yang tidak
memiliki triptase seperti basofil.1
Kandungan di dalam makanan memegang peranan dalam timbulnya alergi.
Alergen yang terkandung didalam makanan sebagian besar merupakan
glikoprotein larut air berukuran 10 70 kD, dan relatif stabil terhadap panas,
asam, dan protease. Di samping itu terdapat faktor imunostimulan di dalam
makanan yang berperan dalam sensitasi. Sebagai contoh, glikoprotein yang
terkandung di dalam kacang yang berperan sebagai alergen, Ara h 1, tidak hanya
stabil dan resisten terhadap panas atau enzim pencernaan tetapi juga mampu
memicu TH2. Meskipun demikian, karakteristik biokimia dari alergen tidak dapat

4
dijelaskan sepenuhnya karena hanya sejumlah orang yang terpapar dengan alergen
menimbulkan reaksi alergi.1
Toleransi terhadap alergen tergantung pada keutuhan dan aktivitas imun
barier saluran pencernaan. Barier tersebut adalah sel epitel saluran cerna, lapisan
mukosa yang tebal, enzim di vili usus, garam empedu, pH yang rendah yang
membuat antigen menjadi kurang imunogenik. Disamping itu terdapat pula
imunitas alamiah (innate immunity) yang tediri dari sel NK, leukosit PMN,
makrofag, dan sel epitel serta imunitas spesifik (adaptive immunity) yang terdiri
dari limfosit intraepitel dan lamina propia, Peyers patches, IgA, dan sitokin yang
berperan sebagai barier aktif bagi antigen asing.1

Gambar 1. Mekanisme sensitasi dan reaktivitasi sel imun akibat alergen makanan5

Alergi makanan tidak diperantarai IgE merupakan reaksi imunologis yang


angka kejadiannya lebih rendah dibandingkan dengan alergi makanan diperantarai
IgE. Di dalam serum dan kulit penderita dengan alergi makanan tidak diperantarai
IgE tidak ditemukan antibodi IgE. Karakteristik penyakit ini tidak begitu jelas
namun diduga terjadi akibat inflamasi akut atau kronis di saluran pencernaan
dimana eosinofil dan sel T memegang perananan. Pada pasien dengan

5
enterekolitis yang dinduksi protein makanan, TNF- tampaknya turut memegang
peranan. TNF- berhasil dikultur secara in vitro dari monosit darah perifer pada
anak-anak dengan sindrom enterekolitis yang diinduksi protein makanan. Pada
eosinofilik esofagitis, eosinofil dan faktor pertumbuhan, faktor kemotaktik, IL-13,
IL-5,VCAM 1, dan TGF- memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi.1

Pada intinya, faktor genetik berperan dalam timbulnya reaksi alergi


meskipun gen yang berperan disini belum dapat diidentifikasi. Sama halnya
dengan alergi makanan yang tidak diperantarai IgE didapatkan perbedaan
insidensi berdasarkan etnik dimana ras Kaukasia insidensinya lebih banyak
dibandingkan ras yang lain.1

FAKTOR RESIKO

Beberapa faktor resiko yang diidentifikasi yaitu,


1. Faktor Genetik
Alergi dapat diturunkan dari orang tua atau kakek/nenek pada penderita.
Bila ada orang tua menderita alergi kita harus mewaspadai tanda alergi pada anak
sejak dini. Bila ada salah satu orang tua yang menderita gejala alergi maka dapat
menurunkan resiko pada anak sekitar 20 40%, ke dua orang tua alergi resiko
meningkat menjadi 40 - 80%. Sedangkan bila tidak ada riwayat alergi pada kedua
orang tua maka resikonya adalah 5 15%. Pada kasus terakhir ini bisa saja terjadi
bila nenek, kakek atau saudara dekat orang tuanya mengalami alergi. Bisa saja
gejala alergi pada saat anak timbul, setelah menginjak usia dewasa akan banyak
berkurang.6

2. Maturitas Usus
Alergi makanan sering terjadi pada usia anak dibandingkan pada usia
dewasa. Fenomena lain adalah bahwa sewaktu bayi atau usia anak mengalami
alergi makanan tetapi dalam pertambahan usia membaik. Hal itu terjadi karena
belum sempurnanya saluran cerna pada anak. Secara mekanik integritas mukosa
usus dan peristaltik merupakan pelindung masuknya alergen ke dalam tubuh.

6
Secara kimiawi asam lambung dan enzim pencernaan menyebabkan denaturasi
allergen. Secara imunologik sIgA pada permukaan mukosa dan limfosit pada
lamina propia dapat menangkal allergen masuk ke dalam tubuh. Pada usus imatur
(tidak matang) system pertahanan tubuh tersebut masih lemah dan gagal berfungsi
sehingga memudahkan allergen masuk ke dalam tubuh. Pada bayi baru lahir sel
yang mengandung IgA, Imunoglobulin utama di sekresi eksternal, jarana ditemui
di saluran cerna. Dalam pertambahan usia akan meningkat sesuai dengan maturasi
(kematangan) sistem kekebalan tubuh. Dilaporkan persentasi sampel serum yang
mengandung antibodi terhadap makanan lebih besar pada bayi berumur kurang 3
bulan dibandingkan dengan bayi yang terpapar antigen setelah usia 3 bulan.
Penelitian lain terhadap 480 anak yang diikuti secara prospektif dari lahir sampai
usia 3 tahun. Sebagian besar reaksi makanan terjadi selama tahun pertama
kehidupan.6

3. Pajanan Alergi
Pajanan alergi yang merangsang produksi IgE spesifik sudah dapat terjadi
sejak bayi dalam kandungan. Diketahui adanya IgE spesifik pada janin terhadap
penisilin, gandum, telur dan susu. Pajanan juga terjadi pada masa bayi. Pemberian
ASI eksklusif mengurangi jumlah bayi yang hipersensitif terhadap makanan pada
tahun pertama kehidupan. Pemberian MPASI (makanan pendamping ASI)
meningkatkan angka kejadian alergi.6 Konsumsi makanan tertentu selama hamil
diduga dapat menurunkan angka kejadian beberapa jenis alergi makanan.
Konsumsi kalsium dan produk susu dibandingkan yogurt selama hamil
menurunkan resiko kejadian wheezing pada anak-anak. Konsumsi vitamin D
selama hamil memberikan efek proteksi pada anak agar terhindar dari wheezing
dan eksema.7

4. Pencetus Alergi Makanan


Beberapa makanan yang berbeda kadang menimbulkan gejala alergi yang
berbeda pula, misalnya pada alergi ikan laut menimbulkan gangguan kulit berupa
urtikaria, kacang tanah menimbulkan gangguan kulit berupa papula (bintik kecil

7
seperti digigit serangga) atau furunkel (bisul). Sedangkan buah-buahan
menimbulkan gangguan batuk atau pencernaan. Hal ini juga tergantung dengan
organ yang sensitif pada tiap individu. Meskipun demikian ada beberapa pakar
alergi makanan yang berpendapat bahwa jenis makanan tidak spesifik
menimbulkan gejala tertentu. Timbulnya gejala alergi bukan saja dipengaruhi oleh
penyebab alergi, tapi juga dipengaruhi oleh pencetus alergi. Beberapa hal yang
menyulut atau mencetuskan timbulnya alergi disebut faktor pencetus. Faktor
pencetus tersebut dapat berupa faktor fisik seperti tubuh sedang terinfeksi virus
atau bakteri, minuman dingin, udara dingin, panas atau hujan, kelelahan, aktifitas
berlebihan tertawa, menangis, berlari, olahraga. Faktor psikis berupa kecemasan,
sedih, stress atau ketakutan. Hal ini ditunjukkan pada seorang penderita autisme
yang mengalami infeksi saluran napas, biasanya gejala alergi akan meningkat.
Selanjutnya akan berakibat meningkatkan gangguan perilaku pada penderita.
Fenomena ini sering dianggap penyebabnya adalah karena pengaruh obat.6

Faktor pencetus sebetulnya bukan penyebab serangan alergi, tetapi


menyulut terjadinya serangan alergi. Tanpa paparan alergi maka faktor pencetus
tidak akan terjadi. Bila anak mengkonsumsi makanan penyebab alergi disertai
dengan adanya pencetus maka keluhan atau gejala alergi yang timbul jadi lebih
berat. Tetapi bila tidak mengkonsumsi makanan penyebab alergi meskipun
terdapat pencetus, keluhan alergi tidak akan muncul. Hal ini yang dapat
menjelaskan kenapa suatu ketika meskipun dingin, kehujanan, kelelahan atau
aktifitas berlebihan seorang penderita asma tidak kambuh. Karena saat itu
penderita tersebut sementara terhindar dari penyebab alergi seperti makanan, debu
dan sebagainya. Namun bila anak mengkonsumsi makanan penyebab alergi bila
terkena dingin atau terkena pencetus lainnya keluhan alergi yang timbul lebih
berat. Jadi pendapat tentang adanya alergi dingin pada anak adalah tidak
sepenuhnya benar.6

MANIFESTASI KLINIS

8
Reaksi terhadap alergi makanan dapat bermanifestasi di sistem
gastrointestinal, kulit, dan respiratorius seperti yang terlihat di tabel 2. Pada
keadaan yang berat dapat timbul reaksi anafilaksis yang dapat menyebabkan
kematian. 8 Kriteria klinis untuk diagnosis anafilaksis akibat alergi makanan dapat
dilihat pada tabel 3.3

Tabel 2. Manifestasi klinis akibat reaksi alergi terhadap makanan 8


Penyakit Tanda khas Imunopatologi Usia Makanan Perjalanan
Tambahan Penyabab Alamiah
Tersering
Diperantarai Antibodi IgE
(Onset Akut)
Urtikaria/ Dicetuskan oleh Anak-anak Biasanya Bergantung dari
Angioedema makanan atau > Dewasa Alergen makanan
(gambar 2 dan 3) kontak kulit dominan
langsung
(Urtikaria
Kontak);
Makanan biasanya
menimbulkan
gejala akut (20%)
tapi terkadang
urtikaria kronik
(2%)
Sindrom Alergi Gatal, edema Sensitisasi protein Onset Buah mentah Mungkin
pada Mulut sedang terbatas tepung sari oleh saluran setelah atau sayuran seumur hidup
(Hubungan tepung pada rongga mulut pernafasan menyebabkan alergi yang dimasak dan bervariasi
sari makanan) Terkadang, IgE berikatan dengan tepung sari dalam bentuk bergantung
(gambar 4) Menyebar di homologus, khususnya ditegakkan yang masih musim
sekitar mulut (~ pada protein makanan (dewasa > bisa
7%) atau yang labil, biasanya anak muda) ditoleransi.
Anafilaksis (1% - buah/sayuran.
2%)
Dapat bertambah
pada musim semi
Rhinitis, Asma Gejala mungkin Bayi/anak- Umumnya: Bergantung dari
menyertai reaksi anak > Alergen makanan
alergi oleh karena dewasa, dominan
makanan tetapi kecuali Khusus:
jarang terisolasi pada gandum,
atau menimbulkan penyakit telur, dan
gejala kronis tertentu makanan laut,
Gejala munbkin (contohnya sebagai
juga dicetuskan Bakers contohnya
oleh inhalasi Asma)
aerosol protein
makanan

Penyakit Tanda khas Imunopatologi Usia Makanan Perjalanan


Tambahan Penyabab Alamiah
Tersering
Anafilaksis Perkembangannya Pengeluaran mediator Siapapun Apapun, Bergantung
cepat, reaksi pada yang banyak, seperti tetapi lebih pada
berbagai sistem histamin, walaupun sering makanannya
organ, dapat kadar triptase sel mast kacang,
termasuk kolaps tidak selalu meningkat Kerang, ikan,
Kardivaskuler susu, dan
telur
Anafilaksis karena Makanan Aktivitas diduga Onset Gandum, Diduga menetap
aktivitas yang Mencetuskan mengubah absorbsi usus, biasanya kerang,
berhubungan anafilaksis hanya pencernaan alergen, atau remaja/dew

9
dengan makanan jika proses keduanya asa
pencernaan diikuti
oleh aktivitas
Diperantarai antibodi IgE/ diperantarai sel
(Onset Lambat/ kronik)
Dermatitis Atopik Dikaitkan dengan Mungkin terkait dengan Bayi > Alergen Biasanya
(Gambar 5) makanan pada ~ makanan responsif sel anak-anak dominan, sembuh
35% anak dengan T terhadap kulit > dewasa biasanya susu
ruam sedang dan telur
sampai berat
Gastroenteropati Gajala bervariasi Mediator yang berperan Semua Multiple Kemungkinan
eosinofil pada letak atau mengaktivasi eosinofil, orang menetap
derajat inflamasi seperti Eotaxin dan IL 5
eosinofili
Esofageal:
Disfagia dan nyeri
Generalisata:
asites, penurunan
berat badan,
edema, dan
obstruksi
Diperantarai sel (Onset Lambat/ Kronis)
Enterokolitis Biasanya Meningkatkan respon Balita Susu sapi, Biasanya
protein makanan mempengaruhi TNF-, Pengurangan kedelai, nasi, sembuh
bayi respon terhadap TGF - dan gandum
Paparan
kronis:mual,
diare, letargi
Paparan kembali
setelah
pembatasan: mual
diare, dan
hipotensi (15%) 2
jam setelah makan
Proktitis pada diet Mucus-laden, Inflamasi eosinofili Balita ASI Biasanya
protein Feses berdarah sembuh
pada bayi

Tabel 3. Kriteria klinis untuk diagnosis anafilaksis3

Anafilaksis dicurigai apabila terdapat satu dari tiga kriteria di bawah ini

1. Onset akut (menit sampai beberapa jam) yang melibatkan kulit, jaringan mukosa, atau
keduanya, seperti timbul bintik-bintik merah, gatal atau kemerahan, pembengkakan pada bibir,
lidah, atau uvula.
Ditambah setidaknya satu dari tanda di bawah ini
a. Tanda gawat napas, seperti dispnea, bronkospasme (wheezing), stridor, penurunan laju
ekspirasi puncak (peak expiratory flow), dan hipoksemia.
b. Penurunan tekanan darah atau timbul gejala disfungsi organ seperti hipotonia (kolaps),
sinkop, atau inkontinens.
2. Dua atau lebih gejala di bawah ini yang muncul cepat setelah terpapar alergen yang dicurigai
menimbulkan reaksi alergi pada pasien (menit sampai beberapa jam).
a. Keterlibatan jaringan kulit-mukosa seperti timbul bintik merah di seluruh tubuh, gatal dan
kemerahan, pembengkakan bibir, lidah atau uvula.
b. Tanda gawat napas, seperti dispnea, bronkospasme (wheezing), stridor, penurunan laju
ekspirasi puncak (peak expiratory flow), dan hipoksemia.
c. Penurunan tekanan darah atau timbul gejala disfungsi organ seperti hipotonia (kolaps),
sinkop, atau inkontinens.
d. Gejala gastrointestinal yang persisten seperti kerap perut, nyeri, dan muntah-muntah.

10
3. Penurunan tekanan darah setelah terpapar alergen yang sudah dipastikan menimbulkan reaksi
pada pasien (menit sampai beberapa jam)
a. Pada bayi dan anak-anak: tekanan sistolik rendah atau turun >30% dari tekanan darah
sistolik.*
b. Pada dewasa: tekanan sistolik <90 mmHg atau atau turun >30% dari normal.

*Tekanan sistolik rendah jika <70 mmHg untuk usia 1 bulan s.d 1 tahun, kurang dari [70 mmHg + (2xusia)] untuk usia 1 s.d
10 tahun dan <90 mmHg untuk usia 11 s.d 17 tahun.

Gambar 2. Urtikaria Gambar 3. Angioedema pada wajah

Gambar 4. Sindrom alergi oral Gambar 5. Dermatitis Atopik

Pada orang dengan alergi makanan yang tidak mengalami anafilaksis,


gejala kutan merupakan gejala yang paling sering dialami. Manifestasi kutan ini
bersifat akut (durasi kurang dari 6 minggu) berupa urtikaria dan/atau angioedema.
Urtikaria yang disebabkan oleh kontak kulit dengan makanan harus dibedakan
dengan dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergi. Makanan yang dapat

11
menyebabkan urtikaria setelah kontak dengan kulit adalah kerang, daging mentah,
ikan, sayuran mentah, buah-buahan, nasi, telur, mustard, bir, dan susu. Lesi
urtikaria dan angioedema dikatakan kronis jika manifestasinya persisten and
muncul selama lebih dari 6 minggu namun alergi makanan jarang menyebabkan
urtikaria dan/atau angioedema kronis. Dermatitis kontak dapat terjadi setelah
memegang bahan makanan dan dijumpai pada orang yang kesehariannya bekerja
dan terus terpapar dengan bahan makanan tersebut. Kulit yang terpapar akan
tampak eritema dan dijumpai vesikel. 3

DIAGNOSIS

Anamnesis

Diagnosis alergi makanan harus dimulai dengan melakukan anamnesis


yang cermat dan akurat. Beberapa pertanyaan yang dapat membantu diagnosis
antara lain 1). Apakah reaksi muncul tiap kali pasien mengkonsumsi makanan
yang dicurigai menyebabkan alergi? Jika tidak maka kemungkinan makanan
tersebut bukan penyebab alergi. 2). Berapa lama gejala muncul setelah pasien
mengkonsumi makanan yang dicurigai menyebabkan alergi? Reaksi diperantarai
IgE biasanya muncul dalam waktu beberapa menit sampai 2,5 jam kemudian
sementara reaksi tidak diperantarai IgE (diperantarai sel T) dapat berlangsung 4
jam sampai 5-7 hari kemudian. 3) Adakah riwayat alergi di keluarga? Genetik
diketahui berperan dalam timbulnya reaksi alergi terhadap makanan. 4) Apa saja
gejala yang diderita pasien? Untuk mengidentifikasi tipe reaksi simpang
makanan apakah bersifat imun atau non imun. 1,3

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik bertujuan untuk mengevaluasi sistem kulit,


gastrointestinal, dan respiratorius. Pada pasien yang dicurigai menderita alergi
makanan, kulit harus diperiksa dengan cermat dengan memfokuskan pada tanda-
tanda seperti pruritus, papulovesikel eritema dengan ekskoriasi, eksudat serosa,

12
xerosis, likenifikasi, papul, dan keratosis pilaris. Distribusi dan pola lesi kulit juga
penting untuk diperhatikan. Pada bayi dan anak umumnya lesi ditemukan di
muka, leher dan ekstensor sementara pada anak yang lebih tua biasanya
didapatkan likenifikasi atau rash yang terlokalisir di fleksor ekstremitas.3

Setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, langkah selanjutnya


adalah menentukan pemeriksaan penunjang yang akan dilakukan. Pemeriksaan
penunjang ditentukan oleh kategori reaksi simpang makanan apakah termasuk ke
dalam reaksi alergi atau intoleransi makanan. Jika reaksi dicurigai karena reaksi
alergi maka reaksi dikategorikan lagi menjadi reaksi diperantari IgE atau reaksi
tidak diperantarai IgE. Untuk membedakan kedua reaksi tersebut dapat dilakukan
dengan mencermati kembali hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik. Onset cepat
(<4 jam) cenderung mengarah ke diagnosis reaksi alergi diperantarai IgE
sementara onset lama (6-48 jam atau kronik) cenderung mengarah ke diagnosis
reaksi alergi tidak diperantarai IgE. Adanya gejala dan tanda klasik reaksi
diperantarai IgE seperti urtikaria, angioedema, dan anafilaksis mengarahkan
diagnosis ke reaksi alergi yang diperantarai IgE sementara adanya gejala
gastrointestinal seperti mual, muntah, nyeri perut, atau diare tanpa gejala lainya
atau tanda dermatitis atopik pada pemeriksaan fisik maka mengarahkan diagnosis
ke reaksi alergi tidak diperantarai IgE.3

Pemeriksaan Penunjang

Terdapat 2 metode untuk mengukur IgE spesifik terahadap makanan yaitu


tes tusuk kulit atau skin prick test (SPT) yang dilakukan secara in vivo dan tes
IgE serum spesifik in vitro atau biasa disebut tes ImmunoCAP FEIA. Kedua tes
ini memiliki sensitivitas tinggi (>90%) namun memiliki spesifisitas sedang (50%)
sehingga screening tanpa anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarah ke
alergi makanan tidak disarankan karena tingginya angka positif palsu. 3

Jika anamnesis dan pemeriksaan fisik mengarahkan diagnosis ke reaksi


imunologis tidak diperantarai IgE maka dokter dapat melakukan sejumlah
pemeriksaan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Pemeriksaan tersebut antara lain
endoskopi dan biopsi traktus gastrointestinal untuk mendiagnosis eosinofilik

13
gastrointestinal atau penyekit celiac. Pasien dengan eosinofilik gastrointestinal
berat pada pemeriksaan penunjang dapat ditemukan anemia, darah di feses, dan
penurunan protein, albumin, dan level IgG serum. Pasien dengan suspek penyakit
celiac dapat disarankan untuk melakukan pemeriksaan antibodi transglutaminase
IgA karena spesifisitas dan sensitivitasnya tinggi. Tes napas hidrogen berguna
untuk mendiagnosis intoleransi laktosa sebagai etiologi diare akibat konsumsi
susu.3

Tes Provokasi Makanan


Tes provokasi makanan adalah observasi pada penderita yang
mengkonsumsi sejumlah makanan yang dicurigai sebagai penyebab alergi
makanan dalam interval waktu yang ditentukan. Tes provokasi makanan terbagi
menjadi 3 jenis: open food challenge (OFC), single blind placebo-controlled food
challenge (SBPCFC), dan single blind placebo-controlled food challenge
(DBPCFC).3,10
OFC dilakukan dengan cara: baik dokter atau pasien menyadari bahwa
pasien mengkonsumsi makanan yang dicurigai, kandungan makanan yang
diujikan tidak disamarkan. Contohnya, seorang anak dengan riwayat alergi telur
diberikan sejumlah telur yang dimasak, ditingkatkan dosisnya tiap 30 menit
hingga seluruh telur yang disajikan habis dimakan. Biasanya OFC digunakan jika
hasil tes kulit terhadap makanan yang dicurigai negatif. OFC merupakan prosedur
aman yang dapat digunakan di tempat praktek untuk pasien yang dipilih
berdasarkan riwayat dan hasil IgE spesifik makanan tertentu mendekati nilai
negatif.3,10
Pada SBPCFC, dokter menyadari apa yang dimakan oleh pasien, namun
pasien tidak menyadarinya. Makanan yang dicurigai disamarkan sehingga pasien
tidak sadar terhadap kandungan makanan yang dikonsumsinya. Contohnya,
seorang anak dengan riwayat alergi telur diberikan kandungan telur yang telah
disembunyikan dalam makanan lain.4

14
DBPCFC dilakukan baik dokter dan pasien tidak mengetahui apa yang
pasien makan. Makanan yang dicurigai disamarkan pada makanan lain. DBPCFC
adalah gold standard atau baku emas untuk mencari penyebab secara pasti alergi
makanan. DBPCFC merupakan metode paling reliabel karena menghilangkan bias
pada dokter maupun pada pasien. Pemeriksaan DBPCFC memberitahukan kepada
kita bahwa: sebagian besar riwayat penyakit tidak akurat, terdapat daftar makanan
penyebab pada 90% kasus, sebagian besar anak-anak alergi terhadap 1-2 jenis
makanan saja.4

Tes provokasi makanan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan


riwayat yang jelas adanya reaksi alergi berat. Pasien harus menghindari makanan
yang dicurigai selama paling sedikit 2 minggu (diet eliminasi). Antihistamin
dihentikan minimal 5 hari sebelumnya. Akses intravena harus disiapkan jika tes
dilakukan pada pasien dengan riwayat reaksi alergi berat. Pasien harus bebas
gejala dan puasa pada hari pengujian. Prosedur pengujian harus dalam
pengawasan tenaga medis secara intensif. Makanan yang dicurigai dapat
disamarkan pada makanan lain atau kapsul untuk menghilangkan rasa dan baunya.
Tes dengan makanan yang lain dilakukan pada hari yang berbeda. Skema dosis
provokasi makanan dibagi menjadi 7 dosis yang semakin meningkat: 1%, 4%,
10%, 15%, 20%, 25%, dan 25% lagi dari dosis total. Peningkatan dosis baik pada
makanan yang diujikan atau plasebo diberikan setiap 10-30 menit, dan ditunggu
reaksinya 30 menit setelah dosis terakhir diberikan.4

PENATALAKSANAAN

Terapi primer untuk alergi makanan adalah dengan mencegah paparan


terhadap makanan yang menyebabkan alergi. Pasien diedukasi agar dengan
cermat meneliti label makanan yang akan dibeli atau dikonsumsi, berhati-hati
mengkonsumsi makanan yang dipesan di rumah makan atau restoran, dan
menjaga peralatan dapur agar tidak kontak dengan makanan yang menyebabkan
alergi. Pasien yang beresiko mengalami reaksi anafilaksis sebaiknya harus selalu
membawa injeksi epinefrin yang tersedia dalam bentuk pen (gambar 2) yang

15
tersedia dalam dosis 0,3 mg dan 0,15 mg dan jika memungkinkan menggunakan
gelang yang berisi identitas dan keterangan bahwa pasien menderita alergi dengan
reaksi berat.8 Dosis epinefrin untuk reaksi anafilaksis adalah 0,3 sampai dengan
0,5 mg untuk dewasa atau 0,01 mg/kgBB.9,10

Gambar 2. Cara Menggunakan Epinefrin pen.

Sejumlah terapi dapat membantu mengurangi gejala yang disebabkan oleh


reaksi alergi. Antihistamin dapat mengurangi reaksi alergi akibat sindrom alergi
oral dan reaksi alergi pada kulit yang diperantarai IgE. Terapi antiinflamasi dapat
berguna untuk eosinofilik esofagitis dan gastroenteritis.8

Pada beberapa kasus, melakukan diet eliminasi secara ketat menimbulkan


penurunan proses alergi makanan. Setelah melakukan diet bebas alergen secara
ketat selama 1-2 tahun, sekitar sepertiga dari anak-anak yang sudah besar dan
pasien dewasa pada suatu penelitian tidak lagi sensitif terhadap makanan
penyebab alergi sebelumnya. Alergi terhadap kacang tanah, kacang, ikan, dan
kerang-kerangan, mungkin akan bertahan seumur hidup.4

16
KESIMPULAN

Reaksi simpang makanan terdiri dari reaksi imunologis atau disebut alergi
makanan dan non imunologis atau disebut intoleransi makanan. Alergi makanan
dibagi lagi menjadi alergi yang diperantarai IgE, alergi yang tidak diperantarai
IgE, dan gabungan keduanya. Manifestasi klinis dari alergi makanan dapat
muncul di kulit, saluran gastrointestinal, maupun saluran respiratorius. Diagnosis
yang tepat akan membantu dalam penatalaksanaan dan pencegahan reaksi alergi
yang berulang terutama reaksi alergi yang mengancam nyawa. Terapi primer
untuk alergi makanan adalah dengan mencegah paparan terhadap makanan yang
menyebabkan alergi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Cianferoni A, Spergel JM. Food allergy: review, classification, and diagnosis.


Allergology International 2009; 58: 466-457.
2. Candra Y, Setiarini A, Rengganis I. Gambaran sensitivitas terhadap alergen
makanan. Makara Kesehatan 2011; 15(01): 50-44.
3. Davis, CM. Food allergies: clinical manifestations, diagnosis, and
management. Curr Probl Pediatr Adolesc Health Care 2009; 39: 254-236
4. Boyce JA, et al. Guideline for the diagnosis and management of food allergy
in the United State: report of the NIAID-sponsored expert panel. J Allergy
Clin Immunol 2010; 126: S158-S1.
5. Otsu K, Dreskin, SC. Peanut allergy: an evolving clinical challenge. Discov
med 2011; 12(65): 328-319.
6. Helen E. Cox. Food Allergy as Seen by an Allergist. Journal of Pediatric
Gastroenterology and Nutrition. 2008; 47:S45-S48.
7. Miyake Y, Sasaki S, Tanaka K, Hirota Y. Dairy food, calcium, and vitamin D
intake in pregnancy and wheeze and eczema in infant. Eur Repir J 2010; 35:
1234-1228.
8. Sicherer SH, Sampson HA. Food Allergy. J Allergy Clin Immunol 2009;

17
125(2): S125-S116
9. Tupper J, Visser S. Anaphylaxis a review and update. Can Fam Physician
2010; 56(10): 1011-1009.
10. Sincherer SH, Simon FE. Self injectable epinephrin for first-aid management
of anaphylaxis. Pediatrics 2007; 119(03): 638-46.

18

You might also like