You are on page 1of 1

Wall Street Market Crash in 1929

Pada akhir dekade 1920-an, New York bertumbuh menjadi sebuah ibukota finansial yang utama
dan metropolis. Harga saham saat itu di pasar saham New York yang bernama New York Stock
Exchange (NYSE) naik dengan cepat. NYSE saat itu juga merupakan bursa efek yang terbesar
di dunia yang terletak di Jalan Wall Street, Manhattan, New York. Dengan adanya potensi
kenaikan harga saham yang lebih tinggi lagi, banyak orang yang membeli saham dengan harapan
menjualnya kembali ketika harganya telah naik sehingga dapat memperoleh laba yang besar.
Namun, pada bulan Oktober tahun 1929, harga-harga saham yang sudah mencapai puncak
tertinggi mulai mengalami penurunan. Akibatnya, masyarakat bergegas menjual sahamnya
sehingga menyebabkan harga saham jatuh lebih dalam lagi. Inilah peristiwa yang dikenal
masyarakat sebagai peristiwa runtuhnya Wall Street. Ribuan orang kehilangan seluruh
uangnya,banyak bisnis dan bank yang ditutup dan angka pengangguran pun semakin meroket.
Runtuhnya Wall Street 1929 atau dalam bahasa Inggris disebut dengan The Wall Street Crash of
1929, adalah peristiwa jatuhnya bursa saham di Amerika Serikat yang menandai dimulainya
sebuah era yang disebut dengan Depresi Besar (Great Depression). Keruntuhan ini merupakan
salah satu peristiwa kehancuran bursa yang paling besar dalam sejarah Amerika. Peristiwa
kehancuran bursa tersebut juga dikenal dalam beberapa tahapan yang dikenal dengan julukan
Black Thursday (Kamis Hitam) yang merupakan awal terjadinya keruntuhan pada bursa dan
Black Tuesday (Selasa Hitam) yaitu saat kehancuran terjadi yang membuat panik hingga lima
hari setelahnya.
Berawal dari sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Sentral Amerika (The Fed) pada
tahun 1925 dan 1927 tentang penurunan suku bunga untuk menyokong Bank Sentral Inggris
dalam menerapkan standar emas. Pada saat bersamaan, bursa Wall Street sedang bergairah.
Alhasil, jutaan warga AS meminjam uang di bank dan menanamnya di bursa. Para pialang juga
memanfaatkan kesempatan untuk meminjamkan dana kepada investor untuk membeli saham. Di
sisi lain, sejumlah analis dan spekulan memuji-muji saham tertentu meski sejatinya fundamental
emiten saham bersangkutan rapuh. Uang yang digelontorkan secara deras menggerakan harga
saham menjadi terlampau tinggi, jauh di atas harga riil jika fundamental emiten saham itu
diperhitungkan. Setelah mencapai titik tertinggi pada 3 September 1929, indeks Dow Jones
Industrial Average (DJIA) kemudian mengalami penurunan hingga 17 persen. Puncaknya, Kamis,
24 Oktober 1929, para investor kembali melepas saham secara massal. Jumlah transaksi pada
hari itu mencapai tiga belas juta transaksi. Hal tersebut membuat indeks DJIA kembali terpuruk
menjadi 13 persen. Meskipun pasar modal Amerika Serikat telah berupaya menstabilkan pasar,
pada 29 Oktober 1929, harga saham kembali anjlok menjadi 12 persen. Total kerugian investor
mencapai 30 miliar dolar AS.
Untuk mencegah kejadian tersebut agar tidak terulang kembali, pada tahun 1931, dibentuklah
suatu komisi oleh senat Amerika yang diberi nama Pecora Commission guna melakukan studi
kasus atas kehancuran bursa yang terjadi. Kemudian pada tahun 1933, Kongres Amerika
mengeluarkan Glass-Steagall Act yang memberlakukan adanya pemisahan kewenangan antara
bank komersial, yang menerima deposito dan memberikan pinjaman, dengan bank investasi,
yang menjadi penjamin emisi, penerbit dan distribusi saham, obligasi, dan sekuriti. Selain itu,
selama masa depresi, banyak orang yang mengandalkan bantuan dari pemerintah berupa
sumbangan maupun pinjaman. Selanjutnya pada tahun 1932, diluncurkan perjanjian baru (New
Deal) dengan tujuan menciptakan lapangan pekerjaan dan melindungi tabungan masyarakat
dengan cara mengawasi bank secara ketat oleh Franklin D. Roosevelt yang diangkat menjadi
presiden Amerika Serikat saat itu.

You might also like