You are on page 1of 19

1

HAKIKAT BELAJAR DAN PEMBELAJARAN DI SD/MI

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Belajar dan Pembelajaran SD yang diampu
oleh Bapak Drs. Sihono, M.Pd

Oleh :
Kelompok 1 / Kelas B
1. Dwi Nur Aeni (160210204050)
2. Fendi Gunawan (160210204053)
3. Ghafiruna Al Aziz (160210204065)
4. Yuli Fajarwati (160210204089)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2017
KATA PENGANTAR
2

Puji syukur selalu kita panjatkan kehadirat Tuhan YME. Atas segala nikmat
yang telah diberikan kepada kita semua sehingga penyusunan makalah dengan judul
Hakikat Belajar dan Pembelajaran di SD/MI dapat terselesaikan tepat pada
waktunya.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis tidak dapat menyelesaikan makalah ini
tanpa adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis sangat
berterima kasih kepada dosen mata kuliah Belajar dan Pembelajaran yaitu Bapak Drs.
Sihono, M.Pd dan teman-teman kelas B PGSD 2016 yang telah mendukung pembuatan
makalah ini.
Sungguh merupakan suatu kebanggaan dari penulis apabila makalah ini dapat
terpakai sesuai fungsinya, dan pembacanya dapat mengerti dengan jelas apa yang
dibahas didalamnya. Tidak lupa juga penulis menerima kritikan dan saran yang
membangun, yang sangat diharapkan demi memperbaiki pembuatan makalah di
kemudian hari.

Jember, Februari 2017

Penulis,

DAFTAR ISI
3

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i


KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii
BAB 1. PEMBAHASAN
1.1 Latar belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 2
1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................. 2
1.4 Manfaat Penulisan ................................................................................ 2
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1............................................................. Teori Belajar Behaviorisme
..............................................................................................................3
2.1.1..............................Teori Belajar Respondent Conditioning
...................................................................................................3
2.1.2...................................Teori Belajar Operant Conditioning
...................................................................................................3
2.1.3....................................Teori Teori Observational Learning
...................................................................................................4
2.2 Teori Belajar Kognitivisme................................................................... 5
2.2.1 Teori Perkembangan Kognitif....................................................... 6
2.2.2 Teori Kognisi Sosial..................................................................... 7
2.2.3 Teori Pemrosesan Informasi........................................................ 8
2.3 Teori Belajar Konstruktivisme ............................................................. 8
2.4 Teori Belajar Humanisme..................................................................... 10
2.4.1 Tahapan Early Childhood ............................................................ 11
2.4.2 Tahapan Middle Childhood .......................................................... 12
2.4.3 Tahapan Adolescence .................................................................. 12
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 16
4
1

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam rangka meningkatkan kemampuan pendidik, kita harus


memiliki dasar empiris yang kuat untuk mendukung profesi mereka
sebagai pengajar. Kenyataan yang ada, kurikulum yang selama ini
diajarkan di sekolah dasar dan menengah, kurang mampu mempersiapkan
siswa untuk masuk ke perguruan tinggi. Kemudian kurangnya pemahaman
akan pentingnya relevansi pendidikan untuk mengatasi masalah-masalah
sosial dan budaya, serta bagaimana bentuk pengajaran untuk siswa dengan
beragam kemampuan intelektual.
Kita menyadari bahwa, sebuah teori pembelajaran sebaiknya juga
menyangkut suatu praktek untuk membimbing seseorang bagaimana
caranya ia memperoleh pengetahuan dan keterampilan, pandangan hidup,
serta pengetahuan akan kebudayaan masyarakat sekitarnya. Akan hal itu,
mari kita susun beberapa teorema yang memungkinkan, yang mungkin
akan membawa kita kepada sebuah teori pembelajaran yang baik.
Teori belajar adalah teori yang mendeskripsikan apa yang sedang
terjadi saat proses belajar berlangsung dan kapan proses belajar tersebut
berlangung. Teori pembelajaran harus mampu menghubungkan antara hal
yang ada sekarang dengan bagaimana menghasilkan hal tersebut. Teori
belajar menjelaskan dengan pasti apa yang terjadi, namun teori
pembelajaran hanya membimbing apa yang harus dilakukan untuk
menghasilkan hal tersebut.
Berdasarkan paparan umum diatas, pada bab II makalah ini akan
dibahas beberapa teori pembelajaran yang dikemukakan oleh Thomas B.
Roberts (1975:1). Beliau adalah seorang peneliti terkemuka, memberikan
beberapa gambaran tentang perlunya teori pembelajaran untuk mendukung
proses pembelajaran di dalam kelas.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang ingin diajukan penulis yaitu sebagai berikut:
2

1.2.1 Bagaimanakah teori belajar behaviorisme dalam hakikat


belajar dan pembelajaran di SD/MI?
1.2.2 Bagaimanakah teori belajar kognitivisme dalam hakikat
belajar dan pembelajaran di SD/MI?
1.2.3 Bagaimanakah teori belajar konstruktivisme dalam hakikat
belajar dan pembelajaran di SD/MI?
1.2.4 Bagaimanakah teori belajar humanisme dalam hakikat
belajar dan pembelajaran di SD/MI?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini yaitu sebagai
berikut:
1.3.1 Untuk mengetahui dan memahami teori belajar
behaviorisme dalam hakikat belajar dan pembelajaran di SD/MI
1.3.2 Untuk mengetahui dan memahami teori belajar
kognitivisme dalam hakikat belajar dan pembelajaran di SD/MI
1.3.3 Untuk mengetahui dan memahami teori belajar
konstruktivisme dalam hakikat belajar dan pembelajaran di SD/MI
1.3.4 Untuk mengetahui dan memahami teori belajar
behaviorisme dalam hakikat belajar dan pembelajaran di SD/MI
1.4. Manfaat Penulisan
1.4.1 Manfaat bagi mahasiswa diharapkan dapat meningkatkan
pemahaman terhadap berbagai teori tentang hakikat belajar dan
pembelajaran.
1.4.2 Manfaat bagi penulis sendiri selain untuk meningkatkan
pemahaman penulis sekaligus juga sebagai salah satu syarat penilaian
pada mata kuliah Belajar dan Pembelajaran.

BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Teori Belajar Behaviorisme


Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan
oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari
3

pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar


yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik
pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik.
Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai
hasil belajar.
Salah satu teori psikologi belajar, yang merupakan teori awal
tentang belajar adalah Teori Behaviorisme. Ada 3 jenis teori belajar
menurut Teori Behaviorisme yang perlu dipelajari secara mendalam untuk
kepentingan pengelolaan proses pembelajaran di SD/MI, yaitu :
2.1.1 Teori Belajar Respondent Conditioning
Teori belajar Respondent Conditioning (pengkondisian
respon) diperkenalkan oleh Pavlov, yang didasarkan pada
pemikiran bahwa perilaku atau tingkah laku merupakan respon
yang dapat diamati dan diramalkan. Guy R. Lefrancois (1985)
menjelaskan bahwa kondisi tertentu (yang disebut stimuli atau
rangsangan) dapat mempengaruhi individu dan membawanya
ke arah perilaku (respon) yang diharapkan.
2.1.2 Teori Belajar Operant Conditioning
B.F. Skinner sebagai tokoh teori belajar Operant
Conditioning berpendapat bahwa belajar menghasilkan
perubahan perilaku yang dapat diamati, sedang perilaku dan
belajar diubah oleh kondisi lingkungan. Teori Skinner (1954)
sering disebut Operant Conditioning yang berunsur rangsangan
atau stimuli, respon, dan konsekuensi. Stimuli (tanda/syarat)
bertindak sebagai pemancing respon, sedangkan konsekuensi
tanggapan dapat bersifat positif atau negatif, namun keduanya
memperkukuh atau memperkuat (reinforcement).
2.1.3 Teori Observational Learning (Belajar
Pengamatan) atau Socio-Cognitive Learning (Belajar
Sosio-Kognitif)
Observational learning adalah suatu Proses belajar yang
bersangkut-paut dengan peniruan. Albert Bandura (1969)
menjelaskan bahwa berlajar observasi merupakan sarana dasar
4

untuk memperoleh perilaku baru atau mengubah pola perilaku


yang sudah dikuasai. Belajar observasi biasa juga disebut
belajar sosial (social learning) karena yang menjadi obyek
observasi pada umumnya perilaku belajar orang lain. Belajar
sosial mencakup belajar berperilaku yang diterima dan
diharapkan publik agar dikuasai individu.
Pada prinsipnya kajian teori behaviorisme mengenai hakikat
belajar berkaitan dengan perilaku atau tingkah laku. Hasil belajar diukur
berdasarkan terjadi-tidaknya perubahan tingkah laku atau pemodifikasian
tingkah laku yang lama menjadi tingkah laku yang baru. Hal itu berarti
perubahan tingkah laku itu menyangkut perubahan tingkah laku kognitif,
tingkah laku afektif dan tingkah laku psikomotor. Menurut pendapat
Staton (1978) hasil belajar dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor
sebaiknya seimbang.
Pembelajaran saat ini menekankan proses membelajarkan
bagaimana belajar (learning how to learn), serta mengutamakan strategi
mendorong dan melancarkan proses belajar peserta didik. Kecenderungan
lainnya adalah membantu peserta didik agar berkecakapan mencari jawab
atas pertanyaan, bukan lagi menyampaikan informasi langsung pada diri
peserta didik. Dalam persepsi guru, pembelajaran biasanya dimaknai
sebagai, berbagai pengetahuan bidang studi dengan peserta didik lain
secara efektif dan efisien, mencipta dan memelihara relasi antara pribadi
antara dosen dengan peserta didik serta mengembangkan kebutuhan
bertumbuh-kembang di bidang kehidupan yang dibutuhkan peserta didik,
dan menerapkan kecakapan teknis dalam mengelola sekaligus sejumlah
peserta didik yang belajar.

2.2 Teori Belajar Kognitivisme


Teori belajar kognitivisme mengacu pada wacana psikologi
kognitif, yang didasarkan pada kegiatan kognitif dalam belajar. Teori
belajar kognitif merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran
manusia. Dalam belajar, kognitivisme mengakui pentingnya faktor
5

individu dalam belajar tanpa meremehkan faktor eksternal atau


lingkungan. Bagi kognitivisme, belajar merupakan interaksi antara
individu dan lingkungan, dan hal itu terjadi terus-menerus sepanjang
hayatnya. Kognisi adalah suatu perabot dalam benak kita yang merupakan
pusat penggerak berbagai kegiatan kita: mengenali lingkungan, melihat
berbagai masalah, menganalisis berbagai masalah, mencari informasi baru,
menarik simpulan dan sebagainya. Para ahli teori belajar ini berupaya
menganalisis secara ilmiah proses mental dan struktur ingatan atau
cognition dalam aktifitas belajar. Cognition diartikan sebagai aktifitas
mengetahui, memperoleh, mengorganisasikan, dan menggunakan
pengetahuan (Lefrancois, 1985). Tekanan utama psikologi kognitif adalah
struktur kognitif, yaitu perbendaharaan pengetahuan pribadi individu yang
mencakup ingatan jangka panjangnya (long-term memory). Psikologi
kognitif memandang manusia sebagai makhluk yang selalu aktif mencari
dan menyeleksi informasi untuk diproses. Perkatian utama psikologi
kognitif adalah upaya memahami proses individu mencari, menyeleksi,
mengorganisasikan, dan menyimpan informasi. Belajar kognitif
berlangsung berdasar schemata atau struktur mental individu yang
mengorganisasikan hasil pengamatannya.
Struktur mental individu tersebut berkembangan sesuai dengan
tingkatan perkembangan kognitif seseorang. Semakin tinggi tingkat
perkembangan kognitif seseorang semakin tinggi pula kemampuan dan
keterampilannya dalam memproses berbagai informasi atau pengetahuan
yang diterimanya dari lingkungan, baik lingkungan phisik maupun
lingkungan sosial. Teori belajar kognitivisme dapat disebut sebagai :

2.2.1 Teori Perkembangan Kognitif


Teori ini dikemukakan oleh Jean Piaget, yang memandang
individu sebagai struktur kognitif, peta mental, skema atau jaringan
konsep guna memahami dan menanggapi pengalamannya
berinteraksi dengan lingkungan. Menurut Jean Piaget, bahwa
6

belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap


perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya
diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek
fisik. Menurut Jean Piaget, perkembangan kognitif merupakan
suatu proses genetic, artinya proses yang didasarkan atas
mekenisme biologis dari perkembangan system syaraf. Semakin
bertambah umur seseorang, makin komplek susunan sel syarafnya
dan makin meningkat pula kemampuannya Sehingga ketika
dewasa seseorang akan mengalami adaptasi biologis dengan
lingkungannya yang menyebabkan adanya perubahan-perubahan
kualitatif didalam struktur kognitifnya.
Piaget berpendapat bahwa belajar merupakan proses
penyesuaian, pengembangan dan pengintegrasian pengetahuan
baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang
sebelumnya. Inilah yang disebut dengan konsep schema/skema
(jamak = schemata/schemata). Sehingga hasil belajar/ struktur
kognitif yang baru tersebut akan menjadi dasar untuk kegiatan
belajar berikutnya. Proses belajar harus disesuaikan dengan tahap
perkembangan kognitif yang dilalui oleh siswa yang terbagi
kedalam empat tahap,
1. Sensorimotor yaitu : (lahir s.d usia 2 tahun): perilaku terikat
inteligence
pada panca indera dan gerak motorik. Bayi belum mampu berpikir
konseptual namun perkembangan kognitif telah dapat diamati

2. Preoperation thought (2-7 tahun): tampak kemampuan berbahasa,


berkembang pesat penguasaan konsep. Bayi belum mampu berpikir
konseptual namun perkembangan kognitif telah dapat diamati

3. Concrete Operation (7-11 tahun): berkembang daya mampu anak


berpikir logis untuk memecahkan masalah konkrit. Konsep dasar
benda, jumlah waktu, ruang, kausalitas

4. Formal Operations (11-15 tahun): kecakapan kognitif mencapai


puncak perkembangan. Anak mampu memprediksi, berpikir tentang
situasi hipotesis, tentang hakekat berpikir serta mengapresiasi
struktur bahasa dan berdialog. Sarkasme, bahasa gaul, mendebat,
berdalih adalah sisi bahasa remaja cerminan kecakapan berpikir
abstrak dalam/melalui bahasa
7

2.1.2 Teori Kognisi Sosial


Teori ini dikembangkan oleh L.S. Vygotsky, yang didasari
oleh pemikiran bahwa budaya berperan penting dalam belajar
seseorang. Budaya adalah penentu perkembangan, tiap individu
berkembang dalam konteks budaya, sehingga proses belajar
individu dipengaruhi oleh lingkungan utama budaya keluarga.
Budaya lingkungan individu membelajarkannya apa dan
bagaimana berpikir. Konsep dasar teori ini diringkas sebagai
berikut:
1. Budaya memberi sumbangan perkembangan intelektual
individu melalui 2 cara, yaitu melalui budaya dan lingkungan
budaya. Melalui budaya banyak isi pikiran (pengetahuan)
individu diperoleh seseorang, dan melalui lingkungan budaya
sarana adaptasi intelektual bagi individu berupa proses dan
sarana berpikir bagi individu dapat tersedia
2. Perkembangan kognitif dihasilkan dari proses dialektis
(proses percakapan) dengan cara berbagi pengalaman belajar
dan pemecahan masalah bersama orang lain, terutama
orangtua, guru, saudara sekandung dan teman sebaya.
3. Awalnya orang yang berinteraksi dengan individu memikul
tanggung jawab membimbing pemecahan masalah; lambat-
laun tanggung jawab itu diambil alih sendiri oleh individu
yang bersangkutan.
4. Bahasa adalah sarana primer interaksi orang dewasa untuk
menyalurkan sebagian besar perbendaharaan pengetahuan
yang hidup dalam budayanya.
5. Seraya bertumbuh kembang, bahasa individu sendiri adalah
sarana primer adaptasi intelektual; ia berbahasa batiniah
(internal language) untuk mengendalikan perilaku.
2.1.3 Teori Pemrosesan Informasi
8

Diasumsikan, ketika individu belajar, di dalam dirinya


berlangsung proses kendali atau pemantau bekerjanya sistem
yang berupa prosedur strategi mengingat, untuk menyimpan
informasi ke dalam long-term memory (materi memory atau
ingatan) dan strategi umum pemecahan masalah (materi
kreativitas).

2.3 Teori Belajar Konstruktivisme


Pendekatan konstruktivisme dalam proses pembelajaran didasari
oleh kenyataan bahwa tiap individu memiliki kemampuan untuk
mengkonstruksi kembali pengalaman atau pengetahuan yang telah
dimilikinya. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa pembelajaran
konstruktivisme merupakan satu teknik pembelajaran yang melibatkan
peserta didik untuk membina sendiri secara aktif pengetahuan dengan
menggunakan pengetahuan yang telah ada dalam diri mereka masing-
masing. Peserta didik akan mengaitkan materi pembelajaran baru dengan
materi pembelajaran lama yang telah ada.
Pada pembelajaran konstruktivisme, peranan guru hanya sebagai
fasilitator atau pencipta kondisi belajar yang memungkinkan peserta didik
secara aktif mencari sendiri informasi, mengasimilasi dan mengadaptasi
sendiri informasi, dan mengkonstruksinya menjadi pengetahuan yang baru
berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki masing-masing. Dengan kata
lain, dalam pembelajaran konstruktivisme peserta didik memegang peran
kunci dalam mencapai kesuksesan belajarnya, sedangkan guru hanya
berperan sebagai fasilitator. Perbandingan peranan peserta didik dan guru
dalam pembelajaran konstruktivisme dapat dirangkum seperti tertera
dalam Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1
Peranan Peserta Didik dan Guru
Dalam Pembelajaran Konstruktivisme
Peranan Peserta Didik Peranan Guru
9

Berinisiatif mengemukakan masalah Mendorong peserta didik agar


dan pokok pikiran, kemudian masalah atau pokok pikiran yang
menganalisis dan menjawabnya dikemukakannya sejelas mungkin
sendiri. agar teman sekelasnya dapat turut
Bertanggungjawab sendiri terhadap serta menganalisis dan
kegiatan belajarnya atau menjawabnya.
penyelesaian suatu masalah. Merancang skenario pembelajaran
Secara aktif bersama dengan teman agar peserta didik merasa
sekelasnya mendiskusikan bertanggungjawab sendiri dalam
penyelesaian masalah atau pokok kegiatan belajarnya.
pikiran yang mereka munculkan, dan Membantu peserta didik dalam
apabila dirasa perlu dapat penyelesaian suatu masalah atau
menanyakannya kepada guru. pokok pikiran apabila mereka
Atas inisiatif sendiri dan mandiri mengalami jalan buntu.
berupaya memperoleh pemahaman Mendorong peserta didik agar
yang mendalam (deep mampu mengemukakan atau
understanding) terhadap sesuatu menemukan masalah atau pokok
topik masalah belajar. pikiran untuk diselesaikan dalam
Secara langsung belajar saling proses pembelajaran di kelas.
mengukuhkan pemikiran di antara Mendorong peserta didik untuk
mereka, sehingga jiwa sosial mereka belajar secara kooperatif dalam
menjadi semakin dikembangkan. menyelesaikan suatu masalah atau
Secara aktif menggunakan berbagai pokok pikiran yang berkembang di
data atau informasi pendukung kelas.
dalam penyelesaian suatu masalah Mengevaluasi hasil belajar peserta
atau pokok pikiran yang didik, baik dalam bentuk penilaian
dimunculkan sendiri atau yang proses maupun dalam bentuk
dimunculkan oleh teman sekelas. penilaian produk.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme,
Tytler (1996:20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan
rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
10

1. Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengemukakan


gagasannya dengan bahasa sendiri,
2. Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk berfikir tentang
pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif,
3. Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mencoba gagasan
baru,
4. Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang
telah dimiliki peserta didik,
5. Mendorong peserta didik untuk memikirkan perubahan gagasan
mereka,
6. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Dari pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
yang mengacu pada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada
kesuksesan peserta didik dalam mengorganisasikan pengalaman mereka.
Bukan kepatuhan peserta didik dalam refleksi atas apa yang telah
diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, peserta didik
lebih didorong untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui
kegiatan asimilasi dan akomodasi.

2.4 Teori Belajar Humanisme


Salah seorang tokoh teori belajar humanisme adalah Carl Ransom
Rogers (1902-1987) yang lahir di Oak Park, Illinois, Chicago, Amerika
Serikat. Rogers terkenal sebagai seorang tokoh psikologi humanis, aliran
fenomenologis-eksistensial, psikolog klinis dan terapis. Ide dan konsep
teorinya banyak didapatkan dalam pengalaman-pengalaman terapeutiknya
yang banyak dipengaruhi oleh teori kebutuhan (needs) yang diperkenalkan
Abraham H. Maslow.
Menurut teori kebutuhan Maslow, di dalam diri tiap individu
terdapat sejumlah kebutuhan yang tersusun secara berjenjang, mulai dari
kebutuhan yang paling rendah tetapi mendasar (physiological needs)
sampai pada jenjang paling tinggi (self actualization). Setiap individu
mempunyai keinginan untuk mengaktualisasi diri, yang oleh Carl R.
Rogers disebut dorongan untuk menjadi dirinya sendiri (to becoming a
person). Peserta didik pun memiliki dorongan untuk menjadi dirinya
11

sendiri, karena di dalam dirinya terdapat kemampuan untuk mengerti


dirinya sendiri, menentukan hidupnya sendiri, dan menangani sendiri
masalah yang dihadapinya. Itulah sebabnya, dalam proses pembelajaran
hendaknya diciptakan kondisi pembelajaran yang memungkinkan peserta
didik secara aktif mengaktualisasi dirinya.
Aktualisasi diri merupakan suatu proses menjadi diri sendiri dan
mengembangkan sifat-sifat dan potensi-potensi psikologis yang unik.
Proses aktualisasi diri seseorang berkembang sejalan dengan
perkembangan hidupnya karena setiap individu, dilahirkan disertai potensi
tumbuh-kembang baik secara fisik maupun secara phisik masing-masing.
Proses tumbuh-kembang pada setiap individu mengikuti tahapan, arah,
irama, dan tempo sendiri-sendiri, yang ditandai oleh berbagai ciri atau
karakteristiknya masing-masing. Ada individu yang tempo
perkembangannya cepat tetapi iramanya tidak stabil dan arahnya tidak
menentu, dan ada pula individu yang tempo perkembangannya tidak cepat
tetapi irama dan arahnya jelas. Dalam kaitannya dengan proses pendidikan
formal (sekolah), Slavin (1994:70-110) mengelompokkan tahapan
perkembangan anak, yaitu :
2.4.1 Tahapan early childhood,
Pada tahapan early childhood, perkembangan individu dalam
dimensi perkembangan kognitif lebih ditandai oleh penguasaan
bahasa (language aquisition). Individu pada tahapan perkembangan
ini mendapatkan banyak sekali perbendaharaan bahasa. Sejak lahir
sampai pada usia 2 tahun biasanya individu (bayi) mencoba
memahami dunia sekitarnya melalui penggunaan rasa (senses).
Pengetahuan atau apa yang diketahuinya lebih banyak didasarkan
pada gerakan fisik, dan apa yang dipahaminya terbatas pada
kejadian yang baru saja dialaminya. Pada saat memasuki sekolah
Taman Kanak-Kanak (TK) sekitar usia 3-4 tahun, individu telah
memiliki kemampuan berbahasa baik dalam komunikasi verbal
maupun komunikasi tertulis. Kemampuan komunikasi verbal
berkembang lebih dahulu pada usia sekitar 3 tahun, yang ditandai
oleh penguasaan keterampilan berbicara. Selanjutnya, pada saat
12

memasuki SD kelas 1 individu pada umumnya telah memiliki


kemampuan menggunakan dan memahami sejumlah kalimat
sederhana, kemampuan melakukan percakapan, dan kemampuan
mengetahui kalimat tertulis (Gleason, 1981; Menyuk, 1982;
Schickedanz et.al. 1982).
2.4.2 Tahapan middle childhood,
Pada tahapan perkembangan middle childhoods, perkembangan
kognitif seseorang mulai bergeser ke perkembangan proses
berpikir. Pada awalnya, proses berpikir individu pada tahapan
perkembangan ini dimulai dengan hal-hal konkrit operasional, dan
selanjutnya ke hal-hal abstrak konseptual. Apabila individu gagal
dalam perkembangan proses berpikir dalam hal-hal konkrit
operasional, maka besar kemungkinan mengalami kesulitan dalam
proses berpikir abstrak konseptual.
2.4.3 Tahapan adolescence,
Pada tahapan perkembangan adollescence, perkembangan
kognitif lebih ditandai oleh perkembangan fungsi otak (brain)
sebagai instrumen berpikir. Berpikir formal operasional atau
berpikir abstrak konseptual mulai berkembang; di samping itu
mulai berkembang pola pikir reasoning (penalaran) baik secara
induktif (khusus=>umum) maupun secara deduktif
(umum=>khusus). Dalam menghadapi segala kejadian atau
pengalaman tertentu, individu mengajukan hipotesis atau jawaban
sementara yang menggunakan pola pikir deduktif.
Erikson (dalam Slavin, 1994:54) merangkum tingkat perkembangan
personal dan sosial individu seperti dalam Tabel 3 berikut ini.
Tabel 2
Tingkat Perkembangan Personal dan Sosial Individu
Tkt Usia Ciri Psikologis Hubungan Penekanan
I Lahir-18 bln Trust vs. Keibuan -Meraih
Mistrust (Maternal -Membalas
Person)
II 18 bln-3 thn Authonomy vs. Kekeluargaan -Memegang
Doubt (Parental -Melepaskan
13

Person)
III 3-6 thn Initiative vs. Keluarga Inti -Berbuat
Guilt (Basic Family) -Bermain
IV 6-12 thn Industry vs. Tetangga/ -Membuat
Inferiority Sekolah benda
-Menggabung
V 12-18 thn Identity vs. Teman / Model -Menjadi diri
Role Confusion sendiri
-Berbagi
dengan orang
lain
VI Awal Dewasa Intimacy vs. Sahabat (seks, Menemukan
Isolation saingan, karakteristik
kooperasi) diri sendiri dan
diri orang lain
VII Tengah Dewasa Generativity Kelompok Saling
vs. Self- kerja dan peran menghargai
absorption dan melindungi
VIII Akhir Dewasa Integrity vs. Mankind/ Mengaktualisas
Despair My kind i diri sendiri
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai teori-teori belajar tersebut,
dapat disimpulkan bahwa:
3.1.1 Kajian konsep dasar belajar dalam Teori Behaviorisme
didasarkan pada pemikiran bahwa belajar merupakan salah satu
jenis perilaku (behavior) individu atau peserta didik yang dilakukan
secara sadar. Individu berperilaku apabila ada rangsangan (stimuli),
sehingga dapat dikatakan peserta didik di SD/MI akan belajar
apabila menerima rangsangan dari guru. Semakin tepat dan intensif
rangsangan yang diberikan oleh guru akan semakin tepat dan
intensif pula kegiatan belajar yang dilakukan peserta didik. Dalam
belajar tersebut kondisi lingkungan berperan sebagai perangsang
(stimulator) yang harus direspon individu dengan sejumlah
konsekuensi tertentu. Konsekuensi yang dihadapi peserta didik, ada
14

yang bersifat positif (misalnya perasaan puas, gembira, pujian, dan


lain-lain sejenisnya) tetapi ada pula yang bersifat negatif (misalnya
perasaan gagal, sedih, teguran, dan lain-lain sejenisnya).
Konsekuensi positif dan negatif tersebut berfungsi sebagai penguat
(reinforce) dalam kegiatan belajar peserta didik.
3.1.2 Teori belajar kognitivisme mengacu pada wacana psikologi
kognitif, yang didasarkan pada kegiatan kognitif dalam belajar.
Para ahli teori belajar ini berupaya menganalisis secara ilmiah
proses mental dan struktur ingatan atau cognition dalam aktifitas
belajar. Cognition diartikan sebagai aktifitas mengetahui,
memperoleh, mengorganisasikan, dan menggunakan pengetahuan
(Lefrancois, 1985). Tekanan utama psikologi kognitif adalah
struktur kognitif, yaitu perbendaharaan pengetahuan pribadi
individu yang mencakup ingatan jangka panjangnya (long-term
memory). Psikologi kognitif memandang manusia sebagai makhluk
yang selalu aktif mencari dan menyeleksi informasi untuk diproses.
Perkatian utama psikologi kognitif adalah upaya memahami proses
individu mencari, menyeleksi, mengorganisasikan, dan menyimpan
informasi. Belajar kognitif berlangsung berdasar schemata atau
struktur mental individu yang mengorganisasikan hasil
pengamatannya. Struktur mental individu tersebut berkembangan
sesuai dengan tingkatan perkembangan kognitif seseorang.
Semakin tinggi tingkat perkembangan kognitif seseorang semakin
tinggi pula kemampuan dan keterampilannya dalam memproses
berbagai informasi atau pengetahuan yang diterimanya dari
lingkungan, baik lingkungan phisik maupun lingkungan sosial.
Itulah sebabnya, teori belajar kognitivisme dapat disebut sebagai
teori perkembangan kognitif, teori kognisi sosial, dan teori
pemrosesan informasi.
3.1.3 Konsep dasar belajar menurut teori belajar konstruktivisme
yaitu pengetahuan baru dikonstruksi sendiri oleh peserta didik
secara aktif berdasarkan pengetahuan yang telah diperoleh
sebelumnya. Peranan guru hanya sebagai fasilitator atau pencipta
15

kondisi belajar yang memungkinkan peserta didik secara aktif


mencari sendiri informasi, mengasimilasi dan mengadaptasi sendiri
informasi, dan mengkonstruksinya menjadi pengetahuan yang baru
berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki masing-masing.
Dengan kata lain, dalam pembelajaran konstruktivisme peserta
didik memegang peran kunci dalam mencapai kesuksesan
belajarnya, sedangkan guru hanya berperan sebagai fasilitator.
3.1.4 Kajian konsep dasar belajar dalam teori humanisme
didasarkan pada pemikiran bahwa belajar merupakan kegiatan yang
dilakukan seseorang dalam upayanya memenuhi kebutuhan
hidupnya. Setiap manusia memilikikebutuhan dasar akan
kehangatan, penghargaan, penerimaan, kebutuhan-kebutuhan
tersebut perlu diperhatiakan agar peserta didik tidak merasa
dikecewakan. Apabila peserta didik merasa upaya pemenuhan
kebutuhannya terabaikan maka besar kemungkinan di dalam
dirinya tidak akan tumbuh motivasi berprestasi.
DAFTAR PUSTAKA

Lapono, Nabisi dkk. 2008. Belajar dan Pembelajaran SD. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional

Resimen M. 2009. Teori Pembelajaran,


(https://joegolan.wordpress.com/2009/04/13/teori-pembelajaran/, diakses 27
Februari 2017)

You might also like