You are on page 1of 13

MODEL PEMBELAJARAN JIGSAW

Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman-
teman di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di
Universitas John Hopkins (Arends, 2001). Teknik mengajar Jigsaw dikembangkan oleh Aronson,
Sebagai metode Cooperative Learning, Teknik ini dapat digunakan dalam pengajaran membaca,
menulis, mendengarkan, ataupun bicara. Model Jigsaw dari Aronson merupakan model jigsaw
yang orisinal.
Slavin (2010:245) mengemukakan bahwa dalam jigsaw orisinal, para siswa membaca
bagian-bagian yang berbeda dengan yang dibaca oleh teman satu timnya. Misalnya tentang
Indonesia, satu siswa mungkin saja memiliki informasi tentang ekonomi Indonesia, siswa yang
lainnya tentang geografinya, tentang sejarahnya dan seterusnya. Untuk mengetahui segala
sesuatu tentang Indonesia, siswa harus bergantung pada teman satu timnya. Kelompok asal
merupakan gabungan dari beberapa ahli. Kelompok ahli yaitu kelompok siswa yang terdiri dari
anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik
tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian
dijelaskan kepada anggota kelompok asal.
Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli digambarkan sebagai berikut
(Arends, 1997) :Kelompok asal ini oleh Aronson disebut kelompok Jigsaw (gigi gergaji). Misal
suatu kelas dengan jumlah 40 siswa dan materi pembelajaran yang akan dicapai sesuai dengan
tujuan pembelajarannya terdiri dari 5 bagian materi pembelajaran, maka dari 40 siswa akan
terdapat 5 kelompok ahli yang beranggotakan 8 siswa dan 8 kelompok asal yang terdiri dari 5
siswa. Setiap anggota kelompok ahli akan kembali ke kelompok asal memberikan informasi
yang telah diperoleh atau dipelajari dalam kelompok ahli. Guru memfasilitasi diskusi kelompok
baik yang ada pada kelompok ahli maupun kelompok asal.

Skema Jigsaw

Materi pembelajaran diberikan kepada siswa dalam bentuk teks, di mana setiap anggota
bertanggung jawab untuk mempelajari bagian-bagian tertentu dari pokok-pokok materi.
Pembelajaran teknik Jigsaw ini memberikan kebebasan bagi siswa untuk aktif membangun
pengetahuannya sendiri melalui kerja sama dan saling ketergantungan satu sama lain. Dengan
demikian, karakteristik Jigsaw di antaranya adalah pembelajaran yang berpusat pada anak,
menekankan pada pembentukan kerjasama, dan adanya tim ahli dan tim asal. Para siswa
diberikan tugas untuk membaca beberapa bab atau unit, dan terdiri atas topik-topik yang
berbeda yang harus menjadi fokus perhatian masing-masing anggota tim saat mereka membaca.
Setelah semua siswa selesai membaca, siswa-siswa dari tim yang berbeda yang mempunyai
fokus topik yang sama bertemu dalam kelompok ahli untuk mendiskusikan topik mereka
sekitar tiga puluh menit. Para ahli tersebut kemudian kembali kepada tim mereka dan secara
bergantian mengajari teman satu timnya mengenai topik mereka. Guru memberikan tes tulis
untuk dikerjakan oleh siswa yang memuat seluruh konsep yang didiskusikan. Pada tes ini siswa
tidak diperkenankan untuk bekerjasama. Skor-skor yang dikontribusikan para siswa kepada
timnya didasarkan pada sistem skor perkembangan individual, dan para siswa yang timnya
meraih skor tertinggi akan menerima serifikat atau bentuk-bentuk rekognisi tim lainnya.
Langkah-langkah pembelajaran cooperatif tipe jigsaw :
1. Siswa dikelompokkan ke dalam kelompok masing-masing beranggotakan 3-4 orang.
2. Materi pelajaran diberikan kepada siswa dalam bentuk teks yang telah dibagi-bagi menjadi
beberapa sub bab.
3. Setiap anggota kelompok membaca sub bab yang ditugaskan dan bertanggung jawab untuk
mempelajarinya.
4. Anggota dari kelompok lain yang telah mempelajari sub bab yang sama bertemu dalam
kelompok-kelompok ahli untuk mendiskusikannya.
5. Setiap anggota kelompok ahli setelah kembali ke kelompok asalnya, secara bergantian
mengajari teman satu timnya mengenai topik mereka.
6. Guru memberikan tes tulis untuk dikerjakan oleh siswa yang memuat seluruh konsep yang
didiskusikan. Pada tes ini siswa tidak diperkenankan untuk bekerjasama.
MODEL PEMBELAJARAN SAINS TEKNOLOGI MASYARAKAT (STM)

Model STM (Sains Teknologi Masyarakat) adalah suatu usaha untuk menyajikan sains (IPA)
melalui pemanfaatan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari. Model sains teknologi dan
masyarakat melibatkan siswa dalam penentuan tujuan pembelajaran, prosedur pelaksanaan
pembelajaran, pencarian informasi bahan pembelajaran dan bahkan pada evaluasi belajar. Tujuan
utama model Sains Teknologi dan Masyarakat (STM) yaitu agar dihasilkan siswa-siswa yang memiliki
bekal ilmu dan pengetahuan agar nantinya mampu mengambil keputusan-keputusan terkait masalah-
masalah dalam masyarakat. Adanya keterkaitan yang erat antara sains, teknologi dan masyarakat yang
dalam pembelajarannya menganut pandangan konstruktivisme yang menekankan bahwa si pembelajar
membentuk atau membentuk pengetahuannya melalui pengalaman pribadi dan interaksinya dengan
lingkungan. Dalam pembelajarannya terkandung lima ranah, yaitu pengetahuan, sikap, proses,
kreativitas dan aplikasi.
Ciri-ciri model STM apabila diterapkan dalam sebuah pembelajaran, adalah sebagai berikut :
a. Pemunculan permasalahan yang menjadi isu sosial di mayarakat yang bersifat nyata dan dapat
menjadi pembelajaran yang bermakna bagi siswa.
b. Pemecahan masalah menggunakan sumber daya pada lingkungan setempat dalam proses observasi
untuk mengumpulkan informasi.
c. Perolehan informasi oleh siswa dilakukan dengan keterlibatan siswa secara aktif untuk mencari
informasi sebagai sumber pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
d. Permasalahan yang dimunculkan difokuskan kepada dampak dari sains dan teknologi.
e. Materi pembelajaran model STM dapat meliputi gejala alam, konsep, prinsip, fakta dalam sains dan
tidak hanya memberi pandangan bahwa hanya terbatas konten sains yang harus dikuasai dalam tes.
f. Pembelajaran yang juga menekankan materi pembelajaran berupa proses sains yang pada akhirnya
akan memberikan siswa keterampilan sains yang dapat mereka gunakan untuk memecahkan
masalah dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan sains dan teknologi dalam
hubungannya dengan masyarakat.
g. Penerapan model STM memberikan kesempatan kepada siswa untuk mulai memiliki kesadaran diri
dan ketertarikan akan kemungkinan karier yang akan mereka miliki di masa mendatang yang
berkaitan dengan sains dan teknologi serta masyarakat.
h. Saat guru menggunakan penerapan sains teknologi dan masyarakat dalam sebuah pembelajaran dan
mengangkat isu-isu atau masalah dalam kehidupan nyata mereka sehari-hari, maka siswa
mendapatkan sebuah kesempatan untuk berperan sebagai seorang warga masyarakat (warga
negara) di mana mereka akan belajar memecahkan masalah-masalah tersebut
i. Pada sebuah pembelajaran dengan penerapan sains teknologi dan masyarakat, siswa-siswa saat
kegiatan belajar mengajar dilangsungkan belajar mencermati apa dan bagaimana dampak sains dan
teknologi di masa depan dan siswa belajar mencari solusinya.
j. Adalah ciri khas lain pembelajaran STM, yaitu adanya kebebasan atau otonomi dalam proses belajar,
sehingga mereka benar-benar membangun sendiri pengetahuan dan pemahamannya tentang sains,
teknologi, dan masyarakat.

Pendahuluan:Inisiasi/Invita Isu atau masalah


Tahap 1 si/Apersepsi terhadap
A. siswa
Tahap 2 Pembentukan /
Pembentukan / Observasi
pengembangan konsep
pengembangan konsep
melalui eksplorasi siswa
melalui eksplorasi siswa
Tahap 3
B. Aplikasi konsep dalam Pemantapan
kehidupan : Eksplanasi dan konsep
solusi

Tahap 4
Tindak Lanjut dan Aplikasi solusi
pemantapan konsep

Penilaian
Tahap 5

Gambar 1 : Tahapan model pembelajaran Sains Teknologi dan Masyarakat (Poedjiadi : 2010)
Langkah-Langkah / Sintaks :
Menurut Yager (1992) dalam Suhartono sintaks model pembelajaran STM adalah sebagai
berikut:
1. Fase 1 (Invitasi)
Pada fase pertama ini (invitasi) guru mengarahkan siswa untuk aktif dalam pembelajaran.
Guru mulai mengawali pembelajaran dengan isu atau masalah yang digali dari siswa. Untuk
melakukan ini guru dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendorong siswa untuk
memunculkan permasalahan atau mengajukan pernyataan berhubungan dengan isu pada
masyarakat. Jika penggalian isu atau masalah dari siswa ini sukses, maka siswa akan lebih mudah
termotivasi dalam mengikuti tahapan pembelajaran berikutnya. Selanjutnya guru mencoba
membantu siswa untuk menghubungkan pembelajaran baru yang akan mereka jalani dengan
pembelajaran sebelumnya, yang kemudian dilanjutkan dengan penjelasan tentang materi pokok
pembelajaran dan manfaat praktis yang akan didapat bila mempelajarinya dengan baik.
2. Fase 2 (Pembentukan / pengembangan konsep melalui eksplorasi)
Pada fase kedua (eksplorasi), siswa diberi arahan untuk membentuk kelompok-kelompok
yang selanjutnya setiap kelompok akan mencoba merancang dan melakukan kegiatan eksperimen
atau percobaan untuk mengumpulkan data lewat observasi sederhana. Pada tahapan ini mereka
akan berlatih menggunakan keterampilan proses sains. Selain itu siswa juga akan diajak untuk lebih
mempertajam bagaimana melakukan kerja ilmiah dan efeknya, mereka akan memiliki sikap ilmiah.
Fase kedua ini kemudian dilanjutkan dengan kegiatan diskusi kelompok untuk menarik kesimpulan
berdasarkan hasil yang telah mereka peroleh melalui kegiatan percobaan atau eksperimen.
3. Fase 3 (Pengajuan Eksplanasi dan solusi)
Pada fase ketiga (pengajuan eksplanasi dan solusi) siswa akan berusaha membangun sendiri
pengetahuannya (sesuai dengan teori konstruktivisme). Mereka akan berdiskusi dan mencoba
menjelaskan apa yang sedang terjadi, atau mengapa sesuatu bisa terjadi, selanjutnya mereka akan
mencoba menemukan solusi atau pemecahan masalah. Dalam hal ini, tentu saja solusi atau
pemecahan masalah yang diberikan sesuai dengan informasi-informasi yang mereka peroleh dari
kegiatan eksplorasi (fase 2). Pada kegiatan belajar di fase 3 ini, guru dapat membantu kelompok-
kelompok dengan mengarahkan mereka apabila tengah menuju kepada kesimpulan yang bias atau
bahkan keliru. Guru dapat membantu mengarahkan mereka agar penjelasan (ekplanasi) dan
penentuan solusi (pemecahan masalah) didasarkan pada informasi yang telah mereka dapatkan.
4. Fase 4 (Tindak Lanjut)
Pada fase keempat (tindak lanjut) yang merupakan fase terakhir dari penerapan pendekatan
STM (sains teknologi dan masyarakat) ini, guru membantu siswa untuk menjelaskan fenomena alam
berdasarkan konsep-konsep yang baru saja mereka bangun. Selain itu juga membantu siswa
menjelaskan berbagai aplikasi untuk memberikan makna terhadap informasi yang baru saja mereka
peroleh, dan melakukan refleksi terhadap pemahaman konsep.
MODEL PROBLEM BASED LEARNING (PBL)/
PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH

Model pembelajaran berbasis masalah adalah model pembelajaran yang menggunakan


masalah sebagai langkah awal untuk mendapatkan pengetahuan baru. Seperti yang diungkapkan
oleh Suyatno (2009 : 58) bahwa: Model pembelajaran berdasarkan masalah adalah proses
pembelajaran yang titik awal pembelajaran dimulai berdasarkan masalah dalam kehidupan nyata
siswa dirangsang untuk mempelajari masalah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman telah
mereka miliki sebelumnya (prior knowledge) untuk membentuk pengetahuan dan pengalaman
baru.
Berbagai pengembang menyatakan bahwa ciri utama model pembelajaran berdasarkan
masalah ini dalam Trianto (2007 : 68) adalah:
a. Pengajuan pertanyaan atau masalah.
Guru memunculkan pertanyaan yang nyata di lingkungan siswa serta dapat diselidiki oleh
siswa kepada masalah yang autentik ini dapat berupa cerita, penyajian fenomena tertentu, atau
mendemontrasikan suatu kejadian yang mengundang munculnya permasalahan atau pertanyaan.
b. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin.
Meskipun pembelajaran berdasarkan masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran
tertentu (IPA, matematika, ilmu-ilmu sosial) masalah yang dipilih benar-benar nyata agar dalam
pemecahannya, siswa dapat meninjau dari berbagi mata pelajaran yang lain.
c. Penyelidikan autentik.
Pembelajaran berdasarkan masalah mengharuskan siswa melakukan penyelidikan
autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah yang disajikan. Metode
penyelidikan ini bergantung pada masalah yang sedang dipelajari.
d. Menghasilkan produk atau karya.
Pembelajaran berdasarkan masalah menuntut siswa untuk menghasilkan karya dan
peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan.
Produk itu dapat juga berupa laporan, model fisik, video maupun program komputer
e. Kolaborasi.
Pembelajaran berdasarkan masalah dicirikan oleh siswa yang bekerja sama satu dengan
yang lainnya, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerjasama untuk
terlibat dan saling bertukar pendapat dalam melakukan penyelidikan sehingga dapat
menyelesaikan permasalahan yang disajikan.
Pada Model pembelajaran berdasarkan masalah terdapat lima tahap utama yang dimulai
dengan memperkenalkan siswa tehadap masalah yang diakhiri dengan tahap penyajian dan
analisis hasil kerja siswa. Kelima tahapan tersebut disajikan dalam bentuk tabel (dalam Nurhadi,
2004:111)
Sintak Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
Fase-Fase Tingkah Laku Guru
Fase 1 Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan
Orientasi siswa pada masalah logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau
demonstrasi, atau cerita untuk memunculkan masalah,
memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan
masalah yang dipilih.
Fase 2 Guru membantu siswa mendefinisikan dan
Mengorganisasikan siswa mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan
untuk belajar dengan masalah tersebut Mengarahkan siswa untuk
melakukan kajian teori yang relevan dengan masalah
serta mencari narasumber lainnya
Fase 3 Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi
Membimbing penyelidikan yang sesuai, melaksanakan eksperimen atau observasi
individu dan kelompok untuk mendapatkan penjelasan masalah, pengumpulan
data, hipotesis, pemecahan masalah.

Fase 4 Guru membantu siswa dalam memecahkan masalah


Mengembangkan dan seperti merencanakan dan menyiapkan laporan serta
menyajikan hasil karya membantu siswa dalam berbagi tugas dengan temannya
serta meminta kelompok untuk presentasi.
Fase 5 Guru membantu siswa melakukan refleksi serta evaluasi
Menganalisis dan terhadap penyelidikan siswa dan proses-proses yang
mengevaluasi proses dilakukan
pemecahan masalah
MODEL ROLE PLAYING (BERMAIN PERAN)

Pembelajaran role playing (bermain peran) merupakan pembelajaran dimana siswa


diminta untuk memerankan karakter/benda tertentu dalam proses pembelajarannya.
Pembelajaran role playing digunakan dalam pembelajaran untuk memahamkan siswa terhadap
suatu konsep yang tidak dapat dilihat secara langsung. Misal dalam membelajarkan materi sistem
pencernaan pada mata pelajaran biologi, siswa diminta memerankan terjadinya proses
pencernaan mulai dari proses memakan hingga keluar sebagai kotoran.
Sistem pencernaan dengan role playing dapat dilaksanakan dengan membagi siswa untuk
berperan sebagai organ-organ, enzim, dan makanan yang dimakan. Siswa bermain peran sebagai
molekul makanan yang dimakan, kemudian menjalani proses pencernaan oleh enzim-enzim serta
melewati berbagai macam organ pencernaan. Pembelajaran role playing dapat membantu
kesulitan siswa dalam memahami konsep yang abstrak (tidak dapat dilihat secara langsung).
Siswa dengan memainkan peran dan ikut terlibat dalam sandiwara, akan lebih memahami proses
atau konsep atau jalan cerita dari sandiwara tersebut.
Keunggulan pembelajaran role playing adalah siswa dapat menjalani kegiatan belajar
dengan santai, karena siswa bermain sandiwara bersama teman-temannya. Siswa akan menikmati
jalannya kegiatan pembelajaran sehingga lebih mudah memahami materi.
Kekurangan pembelajaran role playing adalah dalam organisasi waktu. Role playing
membutuhkan waktu yang lebih lama dalam pembelajarannya karena siswa harus memahami
terlebih dahulu peran yang akan dimainkannya. Selain itu, pembelajaran role playing
membutuhkan pengaturan yang teliti dari guru sehingga siswa dapat fokus bermain peran dan
tidak keasikan bercanda dengan temannya.
Role playing dapat digunakan sebagai salah satu alternatif pembelajaran yang efektif
apabila dilaksanakan dengan tepat. Role playing dapat menjadi salah satu solusi kreatif dari guru
untuk mengatasi kejenuhan belajar siswa. Role playing akan memunculkan semangat siswa
dalam mengikuti pembelajaran sehingga tercipta pembelajaran yang aktif dan penuh makna.
Langkah-langkah dalam pembelajaran Role Playing secara sederhana adalah sebagai
berikut.
1. Guru menyusun/menyiapkan skenario yang akan ditampilkan
2. Guru membentuk kelompok siswa yang anggotanya 2-3 orang
3. Menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario minimal dua hari sebelum KBM atau
menyerahkan skenario kepada masing-masing kelompok dan meminta masing-masing
kelompok mempelajarinya selama beberapa hari
4. Memberikan penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai
5. Memanggil para siswa yang sudah ditunjuk untuk melakonkan skenario yang sudah
dipersiapkan atau masing-masing kelompok memerankan sandiwara menurut skenario
dengan disaksikan kelompok yang lain.
6. Masing-masing siswa duduk di kelompoknya, masing-masing sambil memperhatikan
mengamati skenario yang sedang diperagakan
7. Setelah selesai dipentaskan, masing-masing siswa diberikan kertas sebagai lembar kerja
untuk membahas skenario yang sudah diperagakan.
8. Masing-masing kelompok menyampaikan hasil kesimpulannya.
9. Guru memberikan kesimpulan secara umum
10. Evaluasi
Hal penting yang pelu diperhatikan dalam perencanaan role playing adalah, guru sebagai
perancang pembelajaran, harus merancang skenario dengan jelas sehingga mudah dipahami
sehingga siswa tidak kesulitan dalam menjalankan perannya. Pembelajaran role playing juga
dapat diintegrasikan dengan penilaian tentang kemampuan bersandiwara (mata pelajaran bahasa
indonesia ataupun bahasa inggris) sehingga tercipta pembelajaran terintegrasi sesuai dengan
kurikulum 2013.
MODEL DISCOVERY LEARNING (PEMBELAJARAN PENEMUAN)

Model pembelajaran penemuan (discovery learning) adalah model mengajar yang


mengatur pengajaran sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang sebelumnya
belum diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan, sebagian atau seluruhnya ditemukan
sendiri. Dalam pembelajaran discovery(penemuan) kegiatan atau pembelajaran yang dirancang
sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui
proses mentalnya sendiri. Dalam menemukan konsep, siswa melakukan pengamatan,
menggolongkan, membuat dugaan, menjelaskan, menarik kesimpulan dan sebagainya untuk
menemukan beberapa konsep atau prinsip.
Discovery ialah proses mental dimana siswa mampu mengasimilasikan suatu konsep atau
prinsip. Proses mental yang dimaksud antara lain: mengamati, mencerna, mengerti, menggolong-
golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya.
Dengan teknik ini siswa dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami proses mental sendiri,
guru hanya membimbing dan memberikan intruksi. Dengan demikian pembelajaran discovery
ialah suatu pembelajaran yang melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental melalui tukar
pendapat, dengan berdiskusi, membaca sendiri dan mencoba sendiri, agar anak dapat belajar
sendiri.
Model pembelajaran discovery merupakan suatu model pengajaran yang menitikberatkan
pada aktifitas siswa dalam belajar. Dalam proses pembelajaran dengan model ini, guru hanya
bertindak sebagai pembimbing dan fasilitator yang mengarahkan siswa untuk menemukan
konsep, dalil, prosedur, algoritma dan semacamnya. Tiga ciri utama belajar menemukan yaitu:
(1) mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk menciptakan, menggabungkan dan
menggeneralisasi pengetahuan; (2) berpusat pada siswa; (3) kegiatan untuk menggabungkan
pengetahuan baru dan pengetahuan yang sudah ada.
Tahapan-tahapan /Sintaks Model Discovery Learning :
1. Stimulation (memberi stimulus). Pada kegiatan ini guru memberikan stimulan, dapat berupa
bacaan, atau gambar, atau situasi, sesuai dengan materi pembelajaran/topik/tema yang akan
dibahas, sehingga peserta didik mendapat pengalaman belajar mengamati pengetahuan
konseptual melalui kegiatan membaca, mengamati situasi atau melihat gambar.
2. Problem Statement (mengidentifikasi masalah). Dari tahapan tersebut, peserta didik
diharuskan menemukan permasalahan apa saja yang dihadapi, sehingga pada kegiatan ini
peserta didik diberikan pengalaman untuk menanya, mencari informasi, dan merumuskan
masalah.
3. Data Collecting (mengumpulkan data). Pada tahapan ini peserta didik diberikan pengalaman
mencari dan mengumpulkan data/informasi yang dapat digunakan untuk menemukan solusi
pemecahan masalah yang dihadapi. Kegiatan ini juga akan melatih ketelitian, akurasi, dan
kejujuran, serta membiasakan peserta didik untuk mencari atau merumuskan berbagai
alternatif pemecahan masalah, jika satu alternatif mengalami kegagalan.
4. Data Processing (mengolah data). Kegiatan mengolah data akan melatih peserta didik untuk
mencoba dan mengeksplorasi kemampuan pengetahuan konseptualnya untuk diaplikasikan
pada kehidupan nyata, sehingga kegiatan ini juga akan melatih keterampilan berfikir logis
dan aplikatif.
5. Verification (memferifikasi). Tahapan ini mengarahkan peserta didik untuk mengecek
kebenaran atau keabsahan hasil pengolahan data, melalui berbagai kegiatan, antara lain
bertanya kepada teman, berdiskkusi, atau mencari sumber yang relevan baik dari buku atau
media, serta mengasosiasikannya sehingga menjadi suatu kesimpulan.
6. Generalization (menyimpulkan). Pada kegiatan ini peserta didik digiring untuk
menggeneralisasikan hasil simpulannya pada suatu kejadian atau permasalahan yang serupa,
sehingga kegiatan ini juga dapat melatih pengetahuan metakognisi peserta didik.
MODEL NUMBERED HEAD TOGETHER (NHT)/
KEPALA BERNOMER / PENOMORAN BERPIKIR BERSAMA

Number Head Together adalah suatu Model pembelajaran yang lebih mengedepankan
kepada aktivitas siswa dalam mencari, mengolah, dan melaporkan informasi dari berbagai
sumber yang akhirnya dipresentasikan di depan kelas (Rahayu, 2006). NHT pertama kali
dikenalkan oleh Spencer Kagan dkk (1993). Model NHT adalah bagian dari model pembelajaran
kooperatif struktural, yang menekankan pada struktur-struktur khusus yang dirancang untuk
mempengaruhi pola interaksi siswa. Struktur Kagan menghendaki agar para siswa bekerja saling
bergantung pada kelompok-kelompok kecil secara kooperatif. Struktur tersebut dikembangkan
sebagai bahan alternatif dari sruktur kelas tradisional seperti mangacungkan tangan terlebih
dahulu untuk kemudian ditunjuk oleh guru untuk menjawab pertanyaan yang telah dilontarkan.
Suasana seperti ini menimbulkan kegaduhan dalam kelas, karena para siswa saling berebut
dalam mendapatkan kesempatan untuk menjawab pertanyaan guru (Tryana, 2008).
Tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran kooperatif dengan tipe NHT yaitu :
1) Hasil belajar akademik stuktural : bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-
tugas akademik.
2) Pengakuan adanya keragaman: bertujuan agar siswa dapat menerima teman-temannya yang
mempunyai berbagai latar belakang.
3) Pengembangan keterampilan social : bertujuan untuk mengembangkan keterampilan sosial
siswa. Keterampilan yang dimaksud antara lain berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai
pendapat orang lain, mau menjelaskan ide atau pendapat, bekerja dalam kelompok dan
sebagainya.
Langkah-langkah (Sintaks) model NHT :
1. Penomoran. Dalam fase ini guru membagi siswa ke dalam kelompok 3-5 orang, kepada
setiap anggota kelompok diberi nomor antara 1-5 (sesuai jumlah anggota) sehingga setiap
siswa dalam tim mempunyai nomor berbeda-beda.
2. Guru memberikan tugas Lembar Kerja Siswa (LKS) dan masing-masing kelompok
mengerjakannya. Tiap kelompok harus memiliki buku paket atau buku agar memudahkan
siswa dalam menyelesaikan LKS atau masalah yang diberikan oleh guru.
3. Kelompok berpikir bersama untuk menyatukan pendapat dan mendiskusikan jawaban yang
benar serta memastikan tiap anggota kelompok dapat mengerjakannya/mengetahui
jawabannya.
4. Guru mengajukan pertanyaan, kemudian guru menyebut satu nomor dan para siswa dari tiap
kelompok dengan nomor yang sama mengangkat tangan dan mencoba untuk menjawab
pertanyaan tersebut untuk seluruh kelas.
5. Kemudian guru menunjuk nomor siswa yang lain untuk memberi tanggapan terhadap
jawaban tersebut.
6. Guru bersama siswa menyimpulkan jawaban akhir dari semua pertanyaan yang berhubungan
dengan materi yang disajikan.

You might also like