Professional Documents
Culture Documents
PEMBIMBING:
dr. Nesa Aliani, Sp.A
Disusun Oleh:
Tiaz Dini Utami
2013730113
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. M
No RM : 545203
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 1 tahun
Alamat : Bandulan RT.27 / rw.04, Palasari hilir, Parungkuda, Sukabumi,
Jawa Barat
Tanggal / Jam Masuk : 24 Juni 2017 / 06.30 WIB
Ruang Perawatan : Ade Irma Suryani (AIS) Bawah
No Kamar :-
Keluhan Utama
Kejang
2
dipanggil, pasien tidak merespon. Orangtua pasien mengaku bahwa pasien kejang selama
lebih dari lima belas menit tanpa berhenti. Pada saat sebelum dan saat kejang dirumah,
orangtua pasien tidak memberikan obat apapun. Selanjutnya orangtua pasien segera
membawa pasien ke rumah sakit.
Selama di perjalanan menuju rumah sakit, pasien masih kejang. Pasien datang ke instalasi
gawat darurat dalam keadaan kejang, yang kemudian diterima oleh dokter jaga instalasi
gawat darurat. Kemudian dilakukan pemeriksaan tanda vital dengan suhu: 39oC,
pernapasan 35 kali/menit, dan nadi 110 kali/menit. Pada pemeriksaan tidak ditemukan
refleks patologis, kaku kuduk (-), refleks fisiologis kanan (+) dan refleks fisiologis kiri
(-), dengan nilai kekuatan motorik tangan dan kaki kanan dengan nilai 5, serta kekuatan
motorik tangan dan kaki kiri dengan nilai 1. Selama masa observasi pasien di instalasi
gawat darurat dalam jangka waktu dua jam, pasien kejang kembali sebanyak dua kali.
Kejang berulang dengan durasi kejang lebih dari lima belas menit. Dalam jangka waktu
kejang berulang, pasien sempat sadar dengan menangis, kemudian kejang kembali, dengan
diberikan terapi stesolid suppositoria 5mg sebanyak dua kali, diazepam intravena 2mg
dalam bolus perlahan-lahan, paracetamol 80mg intravena dan terpasang infus D ns.
Pasien kemudian dikonsulkan ke dokter Spesialis Anak, dengan hasil konsul diberikan
infus parenteral D ns 10 tetes/menit, bila pasien sadarkan diri diberi diet bubur nasi dan
ASI/PASI ad libitum, terapi obat ceftriaxone 2x375mg IV, paracetamol loading dose
150mg kemudian dilanjutkan paracetamol 4x100mg IV, dexamethasone loading dose
4,5mg kemudian dilanjutkan dengan pemberian dexamethasone 4x1,5mg, sibital loading
dose 150mg dalam Nacl 10cc diberikan secara intravena perlahan-lahan kemudian
dianjutkan sibital 2x20mg, bila kejang kembali diberikan sibital 50mg intravena, dengan
rencana pemeriksaan penunjang urinalisis. Ketika pasien sudah kembali sadar, demam
pasien sudah turun dan tidak ada lanjutan kejang, pasien dipindahkan ke instalasi rawat
inap.
Orangtua pasien mengatakan dikeluarga tidak ada yang pernah mengalami kejang
sebelumnya, dan pasien tidak pernah memiliki riwayat penyakit serius sebelumnya, selain
demam, batuk dan pilek.
3
Riwayat Penyakit Dahulu, Riwayat Pengobatan dan Alergi
Orangtua pasien mengatakan pasien tidak pernah sakit kejang sebelumnya, orangtua
pasien juga mengatakan bahwa pasien pernah sakit demam sebelumnya, batuk, pilek dan
diare adalah penyakit lain yang pernah diderita pasien sebelumnya. Sebelum sakit seperti
ini pasien tidak sedang menjalani pengobatan tertentu, dan orangtua pasien mengatakan
pasien sebelumnya tidak pernah mengalami alergi obat maupun makanan.
Orangtua pasien mengatakan bahwa belum pernah ada sakit kejang sebelumnya selain
pasien saat ini.
Riwayat Imunisasi
Hep 0 0 Bulan
Campak 9 Bulan
4
III. PEMERIKSAAN FISIS
Kesan Umum : Tampak sakit sedang
Tanda vital
Status Antropometrik
1. Panjang Badan: 90 cm
2. Berat badan : 15 kg
5
PB/U : > 3 SD (Overweight)
6
Lingkar lengan atas: 15.0 cm (>13,5 gizi baik)
Pemeriksaan Khusus
5. Mata : Bola mata tidak menonjol keluar atau kedalam, konjungtiva anemis
10. Telinga : Simetris, tidak tampak sekret, tidak ada nyeri tekan
Dada
2. Palpasi : Fremitus teraba getaran sama pada kedua lapang dada, tidak ada tanda
3. Perkusi : Sonor
7
Paru : vesikular di seluruh lapang paru, rongki ( - ), wheezing ( - )
Abdomen
4. Palpasi : Nyeri tekan (-) seluruh lapang abdomen. Nyeri lepas (-). Hepar dan
lien tidak membesar
Ekstremitas
1. Akral : hangat
3. Tulang : Tidak fraktur, tidak ditemukan kifosis, tidak ditemukan lordosis, tidak
ditemukan skoliosis
Status Neurologis
Refleks Fisiologis
Biceps +/+
Triceps +/+
Patella +/+
Achiles +/+
Status Neurologis
Rangsang Meningeal
Kaku kuduk -
Kernig Sign -
Lasegue -
8
Brudzinski I -
Brudzinski II -
Status Neurologis
Refleks Patologis
Hoffman -
Tromner -
Babinski -
Chaddock -
Status Neurologis
Kekuatan Motoris
5555 1111
5555 1111
Ht 35 % 40 45/ vol %
9
Urin Rutin 24 Juni 2017
Urine Rutin Test Hasil
Warna Kuning
pH 6
Leukosit +2
Nitrit Negatif
Protein Negatif
Glukosa Negatif
Keton Negatif
Urobilin Negatif
Bilirubin Negatif
Darah Negatif
Bakteri Negatif
Kristal Negatif
V. Resume
An. M, perempuan usia 1 tahun datang dengan kejang disertai demam pertama kali,
kejang berlangsung lebih dari lima belas menit, kejang berulang dua kali dalam 24 jam.
Demam sudah berlangsung satu hari yang lalu. Orangtua pasien mengatakan tidak ada
10
riwayat penyakit serius sebelumya. Orangtua pasien juga mengatakan tidak ada riwayat
kejang pada keluarga. Pada saat kejang, orangtua tidak memberikan obat apapun.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan suhu 39 C. Pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan: Hb 11 g r%, lekosit 19.900 mm3, Ht 35 %, dari pemeriksaan urinalisis
didapatkan leukosit +2.
11
IX. Follow Up
25 Juni 2017
O Kesadaran= composmentis, KU= sakit sedang, RR= 26x/menit, HR= 98x/menit. Pada
pukul 16.00 suhu terukur 380C, pada pukul 21.00 suhu terukur 37,80C
A 1. KDK
2. ISK
3. Gizi Baik
P - Infus parenteral D ns
- Ceftriaxone inj 2x375mg
- Paracetamol parenteral 4x100mg
- Dexamethasone 4x1,5mg IV
- Sibital 50mg IV, bila kejang
- Diet bubur nasi 8.640kkal dan ASI/PASI ad libitum
26 Juni 2017
A 1. KDK
2. ISK
3. Gizi Baik
P - Infus parenteral D ns
- Ceftriaxone inj 2x375mg
- Paracetamol parenteral 4x100mg
- Dexamethasone 4x1,5mg IV
- Sibital 50mg IV, bila kejang
- Diet bubur nasi 8.640kkal dan ASI/PASI ad libitum
27 Juni 2017
12
O Kesadaran= composmentis, KU= sakit sedang, Suhu= 37,2oC (aksila), RR= 26x/menit,
HR= 98x/menit. Pada pukul 09.00 suhu terukur 36,90C.
Hb : 11,3 Gr%
Leukosit : 9.100/mm3
Ht : 34%
A 1. KDK
2. ISK
3. Gizi Baik
P - Pasien dibolehkan pulang
- Resep pulang:
- Paracetamol 4x225mg
- Cefixime 1x120mg
- Diet bubur nasi 8.640kkal dan ASI/PASI ad libitum
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
14
mengetahui sebelumnya bahwa anak menderita demam. Kenaikan suhu yang tiba tiba
merupakan faktor yang penting untuk menimbulkan kejang. Kejang pada kejang
demam sederhana selalu berbentuk umum, biasanya bersifat tonik klonik seperti
kejang grand mal; kadang kadang hanya kaku umum atau mata mendelik seketika.
Kejang dapat juga berulang, tapi sebentar saja, dan masih dalam waktu 16 jam
meningkatnya suhu, umumnya pada kenaikan suhu yang mendadak, dalam hal ini juga
kejang demam sederhana masih mungkin1.
II.I.III Insiden
Kejang demam terjadi pada anak berusia 6 bulan sampai 5 tahun. Usia puncak
terjadinya kejang demam adalah antara 14 sampai 18 bulan. Dapat terjadi pada semua ras,
anak laki laki insiden terjadinya kejang demam lebih tinggi dari anak perempuan. Dan insiden
terjadinya kejang demam adalah 2 %2.
Etiologi dan pathogenesis tidak diketahui dengan pasti tetapi faktor genetik berpengaruh dalam
meningkatkan terjadinya kejang demam. Insiden terjadinya kejang demam pada anak yang
orang tuanya pernah mengalami kejang demam adalah 8 22 % dan jika saudaranya
mengalami kejang demam insidennya adalah 9 17 %2.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, kromosom 19p dan 8q13 21 telah dipetakan
sebagai kromosom yang berhubungan dengan terjadinya kejang demam. Di negara Amerika,
antara 2 % - 5 % anak anak menderita kejang demam pada usia 5 tahun. Satu pertiga dari
pasien ini akan mengalami rekurensi. Di Eropa barat diperoleh data statistik yang serupa
15
dengan di Amerika, sedangkan insiden di negara lain cukup bervariasi, yaitu India 5 10 %,
Jepang 8,8 %, Guam 14 %, Hong Kong 0,35 %, dan Cina 0,5 1,5 %3.
II.I.IV Etiologi
Hingga saat ini masih belum diketahui dengan pasti penyebab terjadinya kejang
demam. Demam sering disebabkan infeksi saluran pernapasan atas, radang telinga tengah,
infeksi saluran cerna dan saluran kemih3.
16
sebanyak satu kali. Suhu yang terukur antara 38 38,5 C (7 dari 25 pasien, 28%), riwayat
epilepsi dalam keluarga (2 dari 2 pasien, 100%) berhubungan dengan rekurensi terjadinya
kejang demam kompleks3.
II.I.VI Patofisiologi
Sel dikelilingi oleh suatu membran sel yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid
dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui
dengan mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui ion Natrium (Na+) dan elektrolit
lainnya, kecuali klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena
perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial
yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial
membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada
permukaan sel3.
17
Gambar 1. (1). Pada fase istirahat, Ion Na+ ada di ekstra sel dan Ion K+ ada di intra sel.
Membran sel bagian dalam bersifat lebih negatif daripada ekstra sel, (2). Pada fase depolarisasi,
pintu ion chanel jadi terbuka, Ion Na+ masuk ke intra sel, tapi membran sel bagian dalam masih
tetap negatif. (3). Karena Ion Na+ masuk terus menerus membran sel bagian dalam menjadi
lebih positif, dan potensial membran sudah melewati ambang maka terjadilah potensial aksi.
(4). Setelah potensial aksi mencapai ambang batas, maka Ion Na+ keluar ke ekstra sel
potensial membran kembali ke posisi semula. (5). Setelah itu terjadilah hiperpolarisasi, dimana
Ion K+ ikut keluar ke ekstra sel, setelah itu kembali ke posisi istirahat3.
Melalui gambar 1, dapat dijelaskan bahwa kejang dapat terjadi jika pompa Ion Natrium
Kalium terus terjadi dan melampaui ambang batas atas potensial aksi.
18
Gambar 2. Neurotransmitter. Neurotransmitter neurotransmitter yang dilepaskan ini dapat
merubah polarisasi membran sel postsinaptik. Diantara neurotransmitter neurotransmitter
tersebut ada yang mempermudah pelepasan muatan listrik dengan menurunkan potensial aksi3.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1C mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15%
dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Jadi pada kenaikan suhu dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion
kalium maupun ion natrium melalui membran sel tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan
listrik. Lepas muatan listrik demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun
membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah
kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda3.
19
Neurotransmitter
dalam jumlah besar
Sel tetangga
K+ Na+
Postsinaps KEJANG
Gambar 3. Post sinaps : terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam
waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran sel
tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik demikian besarnya
sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel tetangganya dengan bantuan bahan
yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang3.
Kejang demam terjadi pada anak berusia muda, saat ambang batas terjadinya kejang masih
rendah. Saat ini pula anak anak mudah sekali mengalami infeksi seperti infeksi saluran
20
pernapasan atas, otitis media, sindroma virus, dan menyebabkan respon berupa peningkatan
suhu tubuh yang tinggi. Pada penelitian dengan menggunakan binatang percobaan ditemukan
bahwa pirogen endogen, salah satunya yaitu interleukin 1 dapat meningkatkan aktivitas neuron,
dan dapat menghubungkan antara demam dengan terjadinya kejang. Penelitian sebelumnya
yang juga mendukung adalah bahwa cytokin yang teraktivasi dapat menyebabkan terjadinya
kejang demam3.
II.I.VII.I Diagnosis
a. Anamnesis
Adanya kejang, jenis kejang, lama kejang, suhu sebelum/saat kejang, frekuensi,
interval, pasca kejang, penyebab kejang di luar SSP4.
Riwayat Kelahiran, perkembangan, kejang demam dalam keluarga, epilepsi dalam
keluarga (kakak-adik, orang tua).
Singkirkan dengan anamnesis penyebab kejang yang lainnya.
b. Pemeriksaan Fisis
Kesadaran, suhu tubuh, tanda rangsang meningkat, tanda peningkatan tekanan intrakranial,
dan tanda infeksi di luar SSP4.
21
II.I.VIII.II Pungsi lumbal
1. Epilepsi
Kejang terjadi karena lepas muatan listrik yang berlebihan di sel neuron syaraf pusat.
Manifestasi klinik :
Tidak ada maupun tidak diawali dengan demam, kejang dapat tonik/klonik/absensce, setelah
kejang terjadi penurunan kesadaran, tidak disertai dengan infeksi lain.
Pemeriksaan penunjang :
Dengan EEG ditemukan abnormalitas gelombang otak2.
22
2. Meningitis/Ensepalitis
Manifestasi klinis yang ditemukan :
Panas, gangguan kesadaran, kejang, muntah-muntah, ditemukan kaku kuduk
Pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan LCS ditemukan warnanya keruh, tekanannya meningkat, bakteri yang meningkat,
protein meningkat, glukosa menurun, sel limfosit meningkat2.
II.I.X Komplikasi
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam dan kematian sampai saat ini
belum pernah dilaporkan.1 Tiga sampai enam persen anak anak yang mengalami kejang
demam akan mengalami epilepsi. Kejang demam kompleks dan kelainan struktural otak
berkaitan dengan peningkatan risiko terjadinya epilepsi5.
23
II.I.XI.I Pemberian obat pada saat demam
Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya
kejang demam Meskipun demikian, dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa
antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali
diberikan tiap 4 6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari1.
Antikonvulsan
Pemberian obat antikonvulsan intermiten
Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan yang
diberikan hanya pada saat demam. Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam dengan
salah satu faktor risiko di bawah ini:1
Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
Usia <6 bulan
Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat dengan cepat.
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau rektal 0,5 mg/kg/kali
(5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat badan >12 kg), sebanyak 3 kali sehari,
dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam
pertama demam. Perlu diinformasikan pada orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan
dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi1.
24
Keterangan:
Kelainan neurologis tidak nyata, misalnya keterlambatan perkembangan, bukan merupakan
indikasi pengobatan rumat.
Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organik
yang bersifat fokal
Pada anak dengan kelainan neurologis berat dapat diberikan edukasi untuk pemberian terapi
profilaksis intermiten terlebih dahulu, jika tidak berhasil/orangtua khawatir dapat diberikan
terapi antikonvulsan rumat1.
Vaksinasi
Sampai saat ini tidak ada kontraindikasi untuk melakukan vaksinasi pada anak dengan
riwayat kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat jarang. Suatu studi
kohort menunjukkan bahwa risiko relatif kejang demam terkait vaksin (vaccine-associated
febrile seizure) dibandingkan dengan kejang demam tidak terkait vaksin (non vaccine-
associated febrile seizure) adalah 1,6 (IK95% 1,27 sampai 2,11). Angka kejadian kejang
demam pascavaksinasi DPT adalah 6-9 kasus per 100.000 anak yang divaksinasi, sedangkan
setelah vaksin MMR adalah 25-34 kasus per 100.000 anak. Pada keadaan tersebut, dianjurkan
pemberian diazepam intermiten dan parasetamol profilaksis1.
25
Algoritma pengobatan medikamentosa saat terjadi kejang demam1.
1. 5-15 menit Kejang
perhatikan jalan nafas, kebutuhan O2 bantuan pernapasan
Diazepam rektal
< 10 kg : 5 mg
> 10 kg : 10 mg
atau
Fenobarbital IM
Dosis pemeliharaan fenitoin IV5-7 mg/kg 10-20 mg/kg
diberikan 12 jam kemudian
26
X.I.XII Edukasi Pada Orang Tua
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang
sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus
dikurangi dengan cara yang diantaranya :
a. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.
b. Memberitahukan cara penanganan kejang.
c. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya
efek samping obat1.
X.I.XII.I Beberapa Hal Yang Harus Dikerjakan Bila Kembali Kejang
a. Tetap tenang dan tidak panik.
b. Kendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
c. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan
atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan
memasukkan sesuatu ke dalam mulut.
d. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
e. Tetap bersama pasien selama kejang.
f. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.
g. Bawa ke dokter atau ke rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih1.
X.I.XIII Prognosis
27
Kemungkinan berulangnya kejang demam
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulangnya kejang demam adalah:
Kematian
Kematian langsung karena kejang demam tidak pernah dilaporkan. Angka kematian
pada kelompok anak yang mengalami kejang demam sederhana dengan perkembangan normal
dilaporkan sama dengan populasi umum1.
28
II.II INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)
II.II.II Epidemiologi
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering pada anak
selain infeksi saluran respiratori atas dan diare. ISK perlu mendapat perhatian para dokter
maupun orangtua karena berbagai alasan, antara lain ISK sering sebagai tanda kelainan pada
ginjal dan saluran kemih yang serius seperti refluks vesikoureter (RVU) atau uropati obstruktif.
ISK merupakan salah satu penyebab utama gagal ginjal terminal6.
II.II.III Batasan
1. ISK bagian bawah: Infeksi vesika urinaria (sistitis) dan uretra.
2. Batas atas dan bawah: Vesicoureteric valve ISK simpleks : ada infeksi tetapi tanpa
penyulit anatomic maupun fungsional saluran kemih.
3. ISK kompleks : jika disertai dengan kelainan anatomik maupun fungsional6.
II.II.IV Patofisiologi
Hampir semua ISK menyebar secara asendens. Gangguan dari flora periuretra normal, yang
merupakan bagian dari pertahanan tubuh melawan kolonisasi bakteri patogen, mempermudah
terjadinya ISK. Bakteri dari flora periuretra berada di distal uretra, tetapi urine normal berada
dalam keadaan steril di proksimal uretra, kandung kemih, dan bagian proksimal lainnya pada
29
saluran kemih. Kuman patogen saluran kencing dapat mencapai kandung kemih dan
berkembang biak bila infeksi terjadi. Bakteri patogen tersebut berada di distal uretra dan
mungkin dapat mencapai kandung kemih sebab aliran turbulen urine pada saat berkemih yang
normal atau karena ketidakmampuan berkemih. Kolonisasi di kandung kemih yang berhasil
tak terjadi bila mekanisme pertahanannya tak terganggu karena buang air kecil normalnya
dapat membersihkan kontaminasi bakteri secara lengkap6.
30
II.II.VI Diagnosis
1. Anamnesis
ISK serangan pertama umumnya menunjukkan gejala klinis yang lebih jelas
dibandingkan dengan infeksi berikutnya. Gangguan kemampuan mengontrol kandung kemih,
pola berkemih, dan aliran urin dapat sebagai petunjuk untuk menentukan diagnosis. Demam
merupakan gejala dan tanda klinis yang sering serta kadang-kadang merupakan satu-satunya
gejala ISK pada anak6.
2. Pemeriksaan Fisis
Bayi dan anak-anak muda dengan pielonefritis biasanya tidak memiliki temuan
lokalisasi, tapi demam dan sering mudah tersinggung. Anak-anak yang lebih tua dengan
pielonefritis sering memiliki kelembutan pada sudut panggul atau costovertebral, dan mereka
yang memiliki sistitis mungkin memiliki nyeri tekan suprapubik. Hipertensi harus
meningkatkan kecurigaan adanya penyakit hidronefrosis atau ginjal parenkim. Temuan
pemeriksaan fisis pada pasien anak dengan ISK dapat diringkas sebagai berikut:
1. Kepekaan sudut costovertebral
2. Kelunakan abdomen untuk palpasi
3. Suprapubic kelembutan untuk palpasi
4. Kandung kemih teraba
5. Keluhan berkemih
6. Periksa alat kelamin eksternal untuk tanda-tanda iritasi, cacing kremi, vaginitis, trauma,
atau pelecehan seksual6.
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Urinalisis
Urinalisis meliputi leukosit, nitrit, leukosit esterase, protein, dan darah. Leukosituria
tidak dipakai sebagai patokan ada tidaknya ISK. Leukosituria biasanya ditemukan pada anak
ISK (8090%) pada setiap episode ISK simtomatik, tetapi tidak terdapat leukosituria tidak
menyingkirkan ISK. Leukosituria dengan biakan urin steril perlu dipertimbangkan pada infeksi
kuman Proteus spp., Klamidia spp., dan Ureaplasma urealitikum Pemeriksaan dengan stik urin
dapat mendeteksi leukosit esterase, enzim yang terdapat di dalam lekosit neutrofil, yang
menggambarkan banyaknya leukosit dalam urin Uji nitrit merupakan pemeriksaan tidak
langsung terhadap bakteri dalam urin6.
Dalam keadaan normal, nitrit tidak terdapat dalam urin tetapi dapat ditemukan jika
nitrat diubah menjadi nitrit oleh bakteri. Urin dengan berat jenis yang tinggi menurunkan
31
sensitivitas uji nitrit Neutrophil gelatinase associated lipocalin urin (uNGAL) dan rasio
uNGAL dengan kreatinin urin (uNGAL/Cr) merupakan petanda ISK. Peningkatan uNGAL
dan rasio uNGAL/Cr >30 ng/mg merupakan tanda ISK6.
Pada urin segar tanpa dipusing (uncentrifuged urine), terdapatnya kuman pada setiap
lapangan pandangan besar (LPB) kira-kira setara dengan hasil biakan 10 cfu/mL urin,
sedangkan pada urin yang dipusing, terdapatnya kuman pada setiap LPB pemeriksaan
mikroskopis menandakan jumlah kuman lebih dari 105 cfu/mL urin. Jika dengan mikroskop
fase kontras tidak terlihat kuman, umumnya urin steril6.
Anti-coated bacteri (ACB) dalam urin yang diperiksa dengan menggunakan
fluorescein-labeled anti-immunoglobulin merupakan tanda pielonefritis pada remaja dan
dewasa muda, namun tidak mampu pada anak6.
b) Darah
Sebagian besar pemeriksaan darah tidak spesifik. Leukositosis, nilai absolut neutrofil
menignkat, laju endap darah (LED) meningkat, Creactive protein (CRP) yang positif
merupakan indikator nonspesifk ISK atas. Kadar prokalsitonin yang tinggi dapat digunakan
sebagai prediktor yang valid untuk pielonefritis akut pada anak dengan ISK febris (febrile
urinary tract infection) dan skar ginjal6.
c) Biakan urin
Cara pengambilan spesimen urin Pengambilan sampel urin untuk biakan urin dapat
dilakukan dengan cara aspirasi suprapubik, kateter urin, pancar tengah (midstream), dan
menggunakan urine collector. Cara terbaik untuk menghindari kemungkinan kontaminasi
dengan aspirasi suprapubik Pengiriman bahan biakan ke laboratorium perlu mendapat
perhatian karena bila sampel biakan urin dibiarkan pada suhu kamar lebih dari jam, maka
kuman dapat membiak dengan cepat sehingga memberikan hasil positif palsu. Jika urin tidak
langsung dikultur dan memerlukan waktu lama, sampel urin harus dikirim dalam termos es
atau disimpan di dalam lemari es. Urin dapat disimpan dalam lemari es pada suhu 4 C selama
4872 jam sebelum dibiakkan6.
32
II.II.VII Terapi
Tatalaksana ISK didasarkan pada usia penderita, lokasi infeksi, gejala klinis, dan ada
tidaknya kelainan yang menyertai ISK. Sistitis dan pielonefritis memerlukan pengobatan yang
berbeda. Sebelum pemberian antibiotik, terlebih dahulu diambil sampel urin untuk
pemeriksaan biakan urin dan resistensi antimikrob. Penanganan ISK pada anak yang dilakukan
lebih awal dan tepat dapat mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut Secara garis besar
tatalaksana ISK terdiri atas:
1. Eradikasi infeksi akut.
2. Deteksi dan tatalaksana kelainan anatomi dan fungsional pada ginjal dan saluran kemih.
3. Deteksi dan mencegah infeksi berulang6.
33
dapat diberikan trimetroprim, sefalosporin, atau amoksisilin Bila dalam 2448 jam
belum ada perbaikan klinis harus dinilai kembali, dilakukan pemeriksaan kultur urin
untuk melihat pertumbuhan bakteri dan kepekaan terhadap obat Berbagai antibiotik
dapat digunakan untuk pengobatan ISK, baik antibiotik yang diberikan secara oral
maupun parenteral seperti terlihat pada tabel6.
Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin : Pedoman Diagnosis dan
Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-5. 2014. ISBN: 978-602-71594-0-2
3. Pengobatan pielonefritis
Para ahli sepakat bahwa antibiotik untuk pielonefritis akut harus mempunyai penetrasi
yang baik ke dalam jaringan karena pielonefritis akut merupakan nefritis interstitialis. Belum
34
ada penelitian tentang lamanya pemberian antibiotik pada pielonefritis akut, tetapi umumnya
antibiotik diberikan selama 710 hari, meskipun ada yang menuliskan 714 hari atau 1014
hari. Antibiotik parenteral selama 714 hari sangat efektif dalam mengatasi infeksi pada
pielonefritis akut, tetapi lamanya pemberian parenteral menimbulkan berbagai permasalahan
seperti masalah kesulitan teknik pemberian obat, penderita memerlukan perawatan, biaya
pengobatan yang relatif mahal, dan ketidaknyamanan bagi penderita dan orangtua, sehingga
dipikirkan untuk mempersingkat pemberian parenteral dan diganti dengan pemberian oral6.
Biasanya perbaikan klinis sudah terlihat dalam 2448 jam pemberian antibiotik
parenteral. sehingga sesudah perbaikan klinis, antibiotik dilanjutkan dengan pemberian
antibiotik oral. sampai 714 hari pengobatan Secara teoretis pemberian antibiotik yang lebih
singkat pada anak mempunyai keuntungan antara lain efek samping obat lebih sedikit dan
kemungkinan terjadinya resistensi kuman terhadap obat lebih sedikit. Pada kebanyakan kasus,
antibiotik parenteral dapat dilanjutkan dengan oral sesudah 5 hr pengobatan bila respons klinis
terlihat dengan nyata atau setidak-tidaknya demam sudah turun dalam 48 jam pertama. Tidak
ada bukti yang meyakinkan bahwa pengobatan 14 hari lebih efektif atau dapat mengurangi
risiko kekambuhan. Dianjurkan pemberian profilaksis antibiotik sesudah pengobatan fase akut
sambil menunggu hasil pemeriksaan pencitraan. Bila ternyata kasus yang dihadapi termasuk
ke dalam ISK kompleks (terdapat refluks atau obstruksi) maka pengobatan profilaksis dapat
dilanjutkan lebih lama. Berbagai penelitian untuk membandingkan pemberian antibiotik
parenteral dengan antibiotik oral. sudah dilakukan. Hoberman dkk. melakukan penelitian
multisenter, uji klinis tersamar (randomized clinical trial) pada 306 anak dengan ISK dan
demam, yang diterapi dengan sefiksim oral dan dibandingkan dengan sefotaksim selama 3 hr
yang dilanjutkan dengan sefiksim oral. sampai 14 hari, dan hasil pengobatan tidak berbeda
bermakna6.
Disimpulkan bahwa sefiksim oral dapat direkomendasikan sebagai terapi yang aman
dan efektif pada anak yang menderita ISK dengan demam. Montini dkk. melaporkan penelitian
pada 502 anak dengan diagnosis pielonefritis akut, yang diterapi dengan antibiotik
koamoksiklav oral (50 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis) selama 10 hr dibandingkan dengan
seftriakson parenteral (50 mg/kgBB/hari dosis tunggal) selama 3 hr, dilanjutkan dengan
pemberian koamoksiklav oral (50 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis) selama 7 hari. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada pielonefritis akut, efektivitas antibiotik parenteral selama 10 hr sama
dengan antibiotik parenteral yang dilanjutkan dengan pemberian oral6.
35
4. Pemberian profilaksis
Antimikrob profilaksis dosis rendah yang diberikan dalam jangka lama sudah
digunakan secara tradisional terhadap penderita yang rentan terhadap berulangnya pielonefritis
akut atau ISK bawah. Terapi profilaksis tersebut sering diberikan pada anak risiko tinggi seperti
refluks vesiko-ureter, uropati obstruktif, dan berbagai kondisi risiko tinggi lainnya. Antibiotik
profilaksis bertujuan untuk mencegah infeksi berulang dan mencegah terjadinya parut ginjal.
Berbagai penelitian sudah membuktikan efektivitas antibiotik profilaksis menurunkan risiko
terjadinya ISK berulang pada anak, dan kurang dari 50% yang mengalami infeksi berulang
selama pengamatan 5 tahun 6.
Antibiotik profilaksis dimaksudkan untuk mencapai konsentrasi antibiotik yang tinggi
dalam urin tetapi dengan efek yang minimal terhadap flora normal dalam tubuh. Beberapa
antibiotik dapat digunakan sebagai profilaksis Pemberian profilaksis menjadi masalah karena
beberapa hal antara lain kepatuhan yang kurang, resistensi kuman yang meningkat, timbulnya
reaksi simpang (gangguan saluran cerna, skin rashes, hepatotoksik, kelainan hematologi,
sindrom Stevens-Johnson), dan tidak nyaman untuk penderita Beberapa penelitian akhir-akhir
ini menyatakan bahwa pada RVU derajat rendah, tidak terdapat perbedaan bermakna risiko
terjadi ISK pada kelompok yang mendapat antibiotik profilaksis dengan yang tidak diobati6.
Dengan demikian, antibiotik profilaksis tidak perlu diberikan pada RVU derajat rendah
The International VUR Study of Children melakukan penelitian untuk membandingkan
efektivitas pemberian antibiotik profilaksis jangka lama dengan tindakan operasi pada anak
dengan RVU derajat tinggi untuk mencegah penurunan fungsi ginjal. Hasilnya menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan pada kedua kelompok tersebut dalam hal terjadinya parut
ginjal dan penyulitnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian antibiotik profilaksis pada RVU
derajat tinggi ternyata efektif Montini dan Hewitt melakukan review terhadap berbagai
penelitan tentang pemberian antibiotik profilaksis dan membuat beberapa simpulan, meskipun
masih banyak hal-hal yang belum dapat disimpulkan Antibiotik profilaksis tidak terindikasi
pada ISK demam yang pertama kali (first febrile UTI) yang tidak disertai RVU atau hanya
RVU derajat I dan II. Ada 3 alasan terhadap simpulan ini yaitu:
36
Untuk refluks derajat tinggi tidak dapat diambil kesimpulan yang jelas dengan alasan:
Persentase reinfeksi lebih tinggi pada RVU derajat III dibandingkan dengan derajat 0, I, dan II.
Penelitian metaanalisis membuktikan bahwa dengan antibiotik profilaksis tidak terdapat
keuntungan yang bermakna pada kelompok ini, tetapi jumlah penderita yang diikutkan dalam
penelitian tersebut tidak mencukupi NICE merekomendasikan bahwa antibotik profilaksis
tidak rutin diberikan kepada bayi dan anak yang mengalami ISK untuk pertama kali. Antibiotik
profilaksis dipertimbangkan pada bayi dan anak dengan ISK rekurens. Selain itu
direkomendasikan juga bahwa jika bayi dan anak yang mendapat antibiotik profilaksis
mengalami reinfeksi, maka infeksi diterapi dengan antibiotik yang berbeda dan tidak dengan
menaikkan dosis antibiotik profilaksis tersebut Belum diketahui berapa lama jangka waktu
optimum pemberian antibiotik profilaksis. Ada yang mengusulkan antibiotik profilaksis
diberikan selama RVU masih ada dan yang lain mengusulkan pemberian yang lebih singkat.
Pada ISK kompleks pemberian profilaksis dapat berlangsung 34 bulan. Bila ternyata kasus
yang dihadapi termasuk ke dalam ISK kompleks (terdapat refluks atau obstruksi), maka
pemberian profilaksis dapat dilanjutkan lebih lama. Selain antibiotik dilaporkan penggunaan
probiotik sebagai profilaksis yaitu Lactobacillus rhamnosus dan Lactobacillus reuteri (L.
fermentum); serta cranberry juice6.
Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin : Pedoman Diagnosis dan
Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-5. 2014. ISBN: 978-602-71594-0-2
37
asupan oral, muntah dan dehidrasi), ISK dengan kelainan urologi yang kompleks, ISK dengan
organisme penyebab yang resisten terhadap antibiotik oral, ISK yang disertai masalah
psikologis seperti orangtua yang tidak mampu merawat anak6.
II.II.IX Prognosis
ISK dapat menyebabkan bakteremia, sepsis, dan meningitis. Penyulit ISK jangka yaitu
parut ginjal, hipertensi, gagal ginjal, penyulit pada masa kehamilan seperti preeklamsi. Parut
ginjal terjadi pada 840% penderita sesudah mengalami episode pielonefritis akut. Faktor
risiko terjadinya parut ginjal antara lain usia muda, keterlambatan pemberian antibiotik dalam
tatalaksana ISK, infeksi berulang, RVU, dan obstruksi saluran kemih6.
38
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
1. Kejang demam adalah Kejang yang berhubungan dengan demam (suhu diatas 380C per
rektal) tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat atau yang terjadi karena proses
ekstrakranial
2. Kejang demam terbagi menjadi kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks.
3. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali
tidak termasuk kejang demam
B. Saran
1. Waspadai demam tinggi yang terjadi pada anak.
2. Segera berikan antipiretik dan anti konvulsan saat anak kejang demam.
3. Jika kejang yang terjaditidak termasuk dalam kriteria kejang demam sederhana atau
anak mengalami kejang demam yang pertama maka segera rujuk ke rumah sakit.
39
DAFTAR PUSTAKA
40