You are on page 1of 40

LAPORAN KASUS

KEJANG DEMAM DENGAN ISK PADA ANAK

PEMBIMBING:
dr. Nesa Aliani, Sp.A

Disusun Oleh:
Tiaz Dini Utami
2013730113

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU KESEHATAN ANAK


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
BLUD RUMAH SAKIT SEKARWANGI
2017
BAB I
PENDAHULUAN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. M
No RM : 545203
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 1 tahun
Alamat : Bandulan RT.27 / rw.04, Palasari hilir, Parungkuda, Sukabumi,
Jawa Barat
Tanggal / Jam Masuk : 24 Juni 2017 / 06.30 WIB
Ruang Perawatan : Ade Irma Suryani (AIS) Bawah
No Kamar :-

II. PENGUMPULAN DATA


Informasi di dapat dengan data sekunder melalui data rekam medis BLUD Rumah
Sakit Sekarwangi, Sukabumi.

Keluhan Utama
Kejang

Riwayat Penyakit Sekarang


Satu hari sebelum masuk rumah sakit pasien demam, orangtua pasien mengatakan pasien
mendadak demam yang dirasakan tinggi, namun orangtua pasien tidak mengukur suhu
badan pasien dirumah karena keluarga pasien tidak memiliki alat pengukur suhu badan,
orangtua pasien tidak memberikan obat penurun demam pada saat dirumah. Keluhan
demam tidak disetai dengan batuk, pilek, mual, muntah dan buang air besar yang cair.
Beberapa jam sebelum masuk rumah sakit, pasien masih mengalami demam. Demam
disertai dengan kejang pada saat dirumah yang diakui oleh orangtua merupakan kejang
pertama kali dan belum pernah kejang sebelumnya. Orangtua pasien mengatakan kejang
hanya pada sebagian badan pasien, namun orangtua pasien mengaku, bahwa anaknya
sedang mengalami kejang karena pada saat itu pasien tiba tiba tangannya dan kakinya
kaku, kemudian bergetar dan mata mendelik keatas. Orangtua mengakui pada saat pasien

2
dipanggil, pasien tidak merespon. Orangtua pasien mengaku bahwa pasien kejang selama
lebih dari lima belas menit tanpa berhenti. Pada saat sebelum dan saat kejang dirumah,
orangtua pasien tidak memberikan obat apapun. Selanjutnya orangtua pasien segera
membawa pasien ke rumah sakit.
Selama di perjalanan menuju rumah sakit, pasien masih kejang. Pasien datang ke instalasi
gawat darurat dalam keadaan kejang, yang kemudian diterima oleh dokter jaga instalasi
gawat darurat. Kemudian dilakukan pemeriksaan tanda vital dengan suhu: 39oC,
pernapasan 35 kali/menit, dan nadi 110 kali/menit. Pada pemeriksaan tidak ditemukan
refleks patologis, kaku kuduk (-), refleks fisiologis kanan (+) dan refleks fisiologis kiri
(-), dengan nilai kekuatan motorik tangan dan kaki kanan dengan nilai 5, serta kekuatan
motorik tangan dan kaki kiri dengan nilai 1. Selama masa observasi pasien di instalasi
gawat darurat dalam jangka waktu dua jam, pasien kejang kembali sebanyak dua kali.
Kejang berulang dengan durasi kejang lebih dari lima belas menit. Dalam jangka waktu
kejang berulang, pasien sempat sadar dengan menangis, kemudian kejang kembali, dengan
diberikan terapi stesolid suppositoria 5mg sebanyak dua kali, diazepam intravena 2mg
dalam bolus perlahan-lahan, paracetamol 80mg intravena dan terpasang infus D ns.
Pasien kemudian dikonsulkan ke dokter Spesialis Anak, dengan hasil konsul diberikan
infus parenteral D ns 10 tetes/menit, bila pasien sadarkan diri diberi diet bubur nasi dan
ASI/PASI ad libitum, terapi obat ceftriaxone 2x375mg IV, paracetamol loading dose
150mg kemudian dilanjutkan paracetamol 4x100mg IV, dexamethasone loading dose
4,5mg kemudian dilanjutkan dengan pemberian dexamethasone 4x1,5mg, sibital loading
dose 150mg dalam Nacl 10cc diberikan secara intravena perlahan-lahan kemudian
dianjutkan sibital 2x20mg, bila kejang kembali diberikan sibital 50mg intravena, dengan
rencana pemeriksaan penunjang urinalisis. Ketika pasien sudah kembali sadar, demam
pasien sudah turun dan tidak ada lanjutan kejang, pasien dipindahkan ke instalasi rawat
inap.
Orangtua pasien mengatakan dikeluarga tidak ada yang pernah mengalami kejang
sebelumnya, dan pasien tidak pernah memiliki riwayat penyakit serius sebelumnya, selain
demam, batuk dan pilek.

3
Riwayat Penyakit Dahulu, Riwayat Pengobatan dan Alergi

Orangtua pasien mengatakan pasien tidak pernah sakit kejang sebelumnya, orangtua
pasien juga mengatakan bahwa pasien pernah sakit demam sebelumnya, batuk, pilek dan
diare adalah penyakit lain yang pernah diderita pasien sebelumnya. Sebelum sakit seperti
ini pasien tidak sedang menjalani pengobatan tertentu, dan orangtua pasien mengatakan
pasien sebelumnya tidak pernah mengalami alergi obat maupun makanan.

Riwayat Penyakit pada Keluarga

Orangtua pasien mengatakan bahwa belum pernah ada sakit kejang sebelumnya selain
pasien saat ini.

Riwayat Kehamilan dan Persalinan


Ibu pasien rutin memeriksakan kehamilannya ke dokter (8 kali) pada saat hamil tanpa
keluhan. Persalinan normal ditolong dokter. Bayi cukup bulan, langsung menangis dan
tidak terdapat cacat bawaan dengan berat lahir 3300g, panjang badan 49 cm.

Riwayat Imunisasi

Imunisasi Usia Pemberian

Hep 0 0 Bulan

BCG, Polio 1 1 Bulan

DPT-HB-HiB 1, Polio 2 2 Bulan

DPT-HB-Hib 2, Polio 3 3 bulan

DPT-HB-Hib 3, Polio 4 4 bulan

Campak 9 Bulan

Kesan sesuai dengan rekomendasi Depkes RI.

4
III. PEMERIKSAAN FISIS
Kesan Umum : Tampak sakit sedang

Tanda vital

1. Suhu : 390 C (aksila)

2. Laju Nadi : 98 kali/menit, teratur, teraba kuat, isi cukup

3. Laju Napas : 25 kali/menit, teratur, torako-abdominal

4. Tekanan darah: tidak dilakukan

Status Antropometrik

1. Panjang Badan: 90 cm

2. Berat badan : 15 kg

BB/U : > SD 3 (Overweight)

5
PB/U : > 3 SD (Overweight)

BB/PB : 2 SD sampai dengan 1 SD (Gizi Baik)

BMI/U : 18,5 2 SD sampai 1 SD (Normoweight)

Lingkar kepala: 52 cm (+2SD - Nellhaus)

6
Lingkar lengan atas: 15.0 cm (>13,5 gizi baik)

Pemeriksaan Khusus

Kulit : petekie ( - ), purpura ( - ).

Kepala dan leher

1. Lingkar : 52 cm, Makrosefal (+2SD Nellhaus)


Kepala
2. UUB : sudah menutup

3. Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut, distribusi rata

4. Wajah : Simetris, tidak ada pembengkakkan.

5. Mata : Bola mata tidak menonjol keluar atau kedalam, konjungtiva anemis

( - ), sklera ikterik ( - ), pupil isokor.

6. Hidung : sekret -/-, epistaksis -/-.

7. Mulut : Mukosa bibir sianosis ( - ), lidah kotor ( - ), tonsil bengkak ( - )

8. Gigi : Tidak karies gigi, tidak ditemukan pembengkakan gusi

9. Faring : Hiperemis ( - ), tidak edema

10. Telinga : Simetris, tidak tampak sekret, tidak ada nyeri tekan

11. Leher : Tidak ditemukan massa.

Dada

1. Inspeksi : Bentuk dada simetris, retraksi ( - )

2. Palpasi : Fremitus teraba getaran sama pada kedua lapang dada, tidak ada tanda

Krepitasi, tidak nyeri tekan.

3. Perkusi : Sonor

4. Auskultasi : Jantung: Bising jantung 1, 2 murni, gallop ( - ), murmur ( - )

7
Paru : vesikular di seluruh lapang paru, rongki ( - ), wheezing ( - )

Abdomen

1. Inspeksi : datar, tidak tampak venektasi

2. Auskultasi : Peristaltik usus baik, terdengar 10x/menit.

3. Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen

4. Palpasi : Nyeri tekan (-) seluruh lapang abdomen. Nyeri lepas (-). Hepar dan
lien tidak membesar

Ekstremitas

1. Akral : hangat

2. Otot : Tidak atrofi, tidak hipertrofi

3. Tulang : Tidak fraktur, tidak ditemukan kifosis, tidak ditemukan lordosis, tidak
ditemukan skoliosis

4. Sendi : Tidak edema, tidak ada gangguan pergerakan sendi

Status Neurologis
Refleks Fisiologis
Biceps +/+
Triceps +/+
Patella +/+
Achiles +/+
Status Neurologis
Rangsang Meningeal
Kaku kuduk -
Kernig Sign -
Lasegue -

8
Brudzinski I -
Brudzinski II -
Status Neurologis
Refleks Patologis
Hoffman -
Tromner -
Babinski -
Chaddock -
Status Neurologis
Kekuatan Motoris

5555 1111

5555 1111

Kekuatan Sensoris Sulit dievaluasi

IV. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboraturium: 24 Juni 2017
Darah Perifer Lengkap (DPL)
Hasil Nilai Normal

Hb 11,9 gr % 12-14 gr/dl

Lekosit 19.900 mm3 4.000 11.000/ mm3

Trombosit 381.000 150.000400.000/ Mcl

Ht 35 % 40 45/ vol %

9
Urin Rutin 24 Juni 2017
Urine Rutin Test Hasil

Warna Kuning

Kekeruhan Agak Keruh

Berat Jenis 1.015

pH 6

Leukosit +2

Nitrit Negatif

Protein Negatif

Glukosa Negatif

Keton Negatif

Urobilin Negatif

Bilirubin Negatif

Darah Negatif

Sedimen Leukosit 7-9 / LPB

Sedimen Eritrosit 1-2 /LPB

Sedimen Epitel 0-2 / LPB

Bakteri Negatif

Kristal Negatif

V. Resume
An. M, perempuan usia 1 tahun datang dengan kejang disertai demam pertama kali,
kejang berlangsung lebih dari lima belas menit, kejang berulang dua kali dalam 24 jam.
Demam sudah berlangsung satu hari yang lalu. Orangtua pasien mengatakan tidak ada

10
riwayat penyakit serius sebelumya. Orangtua pasien juga mengatakan tidak ada riwayat
kejang pada keluarga. Pada saat kejang, orangtua tidak memberikan obat apapun.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan suhu 39 C. Pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan: Hb 11 g r%, lekosit 19.900 mm3, Ht 35 %, dari pemeriksaan urinalisis
didapatkan leukosit +2.

VI. Diagnosis Banding


1. KDK DD/ Meningitis
VII. Diagnosis Kerja
Kejang Demam Kompleks
ISK
Gizi Baik (Overweight)
VIII. Tatalaksana Instalasi Gawat Darurat

Infus parenteral D ns 10 tetes/menit


Ceftriaxone 2x375mg IV
Paracetamol loading dose 150mg kemudian dilanjutkan paracetamol 4x100mg IV
Dexamethasone loading dose 4,5mg kemudian dilanjutkan dengan pemberian
dexamethasone 4x1,5mg
Sibital loading dose 150mg dalam Nacl 10cc diberikan secara intravena perlahan-lahan
kemudian dianjutkan sibital 2x20mg, bila kejang kembali diberikan sibital 50mg
intravena
Bila pasien sadarkan diri diberi diet bubur nasi dan ASI/PASI ad libitum
Kebutuhan cairan pasien (berdasarkan Holiday Segar)
10 kg x 4 = 40 ml/jam
5 kg x 2 = 10 ml/jam
Total : 50 ml/jam atau 1200 ml/hari.
Kebutuhan kalori pasien
BBI x RDA (Recommended Dietary Allowances)
9,6 kg x 900 kkal
= 8.640 kkal bubur nasi per hari dan ASI/MPASI adlib

11
IX. Follow Up
25 Juni 2017

S Demam (+), Kejang (-)

O Kesadaran= composmentis, KU= sakit sedang, RR= 26x/menit, HR= 98x/menit. Pada
pukul 16.00 suhu terukur 380C, pada pukul 21.00 suhu terukur 37,80C

A 1. KDK
2. ISK
3. Gizi Baik
P - Infus parenteral D ns
- Ceftriaxone inj 2x375mg
- Paracetamol parenteral 4x100mg
- Dexamethasone 4x1,5mg IV
- Sibital 50mg IV, bila kejang
- Diet bubur nasi 8.640kkal dan ASI/PASI ad libitum
26 Juni 2017

S Demam (-), Kejang (-)

O Kesadaran= composmentis, KU= sakit sedang, Suhu= 36,50C (aksila), RR=29x/menit,


HR= 110x/menit. Pada pukul 08.00 suhu terukur 37,20C, pada pukul 10.00 suhu terukur
37,80C

A 1. KDK
2. ISK
3. Gizi Baik
P - Infus parenteral D ns
- Ceftriaxone inj 2x375mg
- Paracetamol parenteral 4x100mg
- Dexamethasone 4x1,5mg IV
- Sibital 50mg IV, bila kejang
- Diet bubur nasi 8.640kkal dan ASI/PASI ad libitum
27 Juni 2017

S Pilek (+), demam (-), Kejang (-)

12
O Kesadaran= composmentis, KU= sakit sedang, Suhu= 37,2oC (aksila), RR= 26x/menit,
HR= 98x/menit. Pada pukul 09.00 suhu terukur 36,90C.

Pemeriksaan Hematologi (27 Juni 2017)

Hb : 11,3 Gr%

Leukosit : 9.100/mm3

Trombosit : 284.000/ mm3

Ht : 34%

A 1. KDK
2. ISK
3. Gizi Baik
P - Pasien dibolehkan pulang
- Resep pulang:
- Paracetamol 4x225mg
- Cefixime 1x120mg
- Diet bubur nasi 8.640kkal dan ASI/PASI ad libitum

13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.I.I Definisi Kejang Demam


Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan sampai
5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 380C, dengan metode pengukuran
suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses intracranial). Kejang terjadi karena kenaikan
suhu tubuh, bukan karena gangguan elektrolit atau metabolik lainnya. Bila ada riwayat kejang
tanpa demam sebelumnya maka tidak disebut sebagai kejang demam. Anak berumur antara 1-
6 bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun jarang sekali. National Institute of
Health (1980) menggunakan batasan lebih dari 3 bulan, sedangkan Nelson dan Ellenberg
(1978), serta ILAE (1993) menggunakan batasan usia lebih dari 1 bulan. Bila anak berumur
kurang dari 6 bulan mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain, terutama
infeksi susunan saraf pusat. Bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam
rekomendasi ini melainkan termasuk dalam kejang neonatus1.

II.I.II Klasifikasi Kejang Demam


1. Kejang demam sederhana ( Simple Febrile Seizure )
2. Kejang demam kompleks ( Complex Febrile Seizure )

a) Kejang Demam Sederhana


Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan umumnya akan
berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal.
Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80%
diantara seluruh kejang demam. Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung
kurang dari 5 menit dan berhenti sendiri.1 Suhu yang tinggi merupakan keharusan pada
kejang demam sederhana, kejang timbul bukan oleh infeksi sendiri, akan tetapi oleh
kenaikan suhu yang tinggi akibat infeksi di tempat lain, misalnya pada radang telinga
tengah yang akut, dan sebagainya1.
Bila dalam riwayat penderita pada umur umur sebelumnya terdapat periode - periode
dimana anak menderita suhu yang sangat tinggi akan tetapi tidak mengalami kejang;
maka pada kejang yang terjadi kemudian harus berhati hati, mungkin kejang yang ini
ada penyebabnya. Pada kejang demam yang sederhana kejang biasanya timbul ketika
suhu sedang meningkat dengan mendadak, sehingga seringkali orang tua tidak

14
mengetahui sebelumnya bahwa anak menderita demam. Kenaikan suhu yang tiba tiba
merupakan faktor yang penting untuk menimbulkan kejang. Kejang pada kejang
demam sederhana selalu berbentuk umum, biasanya bersifat tonik klonik seperti
kejang grand mal; kadang kadang hanya kaku umum atau mata mendelik seketika.
Kejang dapat juga berulang, tapi sebentar saja, dan masih dalam waktu 16 jam
meningkatnya suhu, umumnya pada kenaikan suhu yang mendadak, dalam hal ini juga
kejang demam sederhana masih mungkin1.

b) Kejang Demam Kompleks


Kejang demam dengan ciri ( salah satu dibawah ini ) :
1. Kejang lamanya > 15 menit
2. Kejang fokal atau parsial; satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
3. Berulang lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang
lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi
pada 8 % kejangn demam. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang
umum yang didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih
dalam 1 hari, diantara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16
% diantara anak yang mengalami kejang demam1.

II.I.III Insiden
Kejang demam terjadi pada anak berusia 6 bulan sampai 5 tahun. Usia puncak
terjadinya kejang demam adalah antara 14 sampai 18 bulan. Dapat terjadi pada semua ras,
anak laki laki insiden terjadinya kejang demam lebih tinggi dari anak perempuan. Dan insiden
terjadinya kejang demam adalah 2 %2.
Etiologi dan pathogenesis tidak diketahui dengan pasti tetapi faktor genetik berpengaruh dalam
meningkatkan terjadinya kejang demam. Insiden terjadinya kejang demam pada anak yang
orang tuanya pernah mengalami kejang demam adalah 8 22 % dan jika saudaranya
mengalami kejang demam insidennya adalah 9 17 %2.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, kromosom 19p dan 8q13 21 telah dipetakan
sebagai kromosom yang berhubungan dengan terjadinya kejang demam. Di negara Amerika,
antara 2 % - 5 % anak anak menderita kejang demam pada usia 5 tahun. Satu pertiga dari
pasien ini akan mengalami rekurensi. Di Eropa barat diperoleh data statistik yang serupa

15
dengan di Amerika, sedangkan insiden di negara lain cukup bervariasi, yaitu India 5 10 %,
Jepang 8,8 %, Guam 14 %, Hong Kong 0,35 %, dan Cina 0,5 1,5 %3.

II.I.IV Etiologi
Hingga saat ini masih belum diketahui dengan pasti penyebab terjadinya kejang
demam. Demam sering disebabkan infeksi saluran pernapasan atas, radang telinga tengah,
infeksi saluran cerna dan saluran kemih3.

II.I.V Faktor Risiko


Faktor risiko yang dapat menyebabkan kejang demam adalah3.
1. Riwayat keluarga, dalam keluarga ada yang menderita kejang demam
2. Suhu tubuh yang tinggi
3. Terjadi hambatan dalam perkembangan anak
4. Anak pernah mengalami kejang demam pada usia > 28 hari ( kejang yang
membutuhkan perawatan perinatal )
5. Dengan adanya minimal 2 faktor risiko diatas dapat meningkatkan probabilitas
terjadinya kejang demam. Probabilitas kejang demam yang akan terjadi pertama kali
adalah 30 %
6. Ibu yang mengkonsumsi alkohol dan merokok saat masa kehamilan akan memiliki
risiko 2 kali lebih tinggi dari yang tidak
Satu pertiga dari jumlah anak anak yang pernah memiilki riwayat kejang demam akan dapat
menderita kejang demam berulang. Yang masih menjadi dilema adalah karena tidak ada data
yang mendukung teori bahwa peningkatan suhu dapat menyebabkan kejang demam3.
Kejang demam akan terjadi kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko yang dapat
menyebabkan kejang demam berulang adalah1.
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia kurang dari 15 bulan
3. Temperatur yang rendah saat kejang
4. Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulang 80%, sedangkan bila tidak terdapat
faktor tersebut hanya 10 - 15 % kemungkinan berulang. Kemungkinan berulang paling besar
adalah tahun pertama1.
Berdasarkan penelitian terhadap 55 pasien, 29 pasien anak laki laki (53 %) dan 26
pasien anak perempuan (47 %), diperoleh bahwa 8 pasien mengalami kejang berulang kembali

16
sebanyak satu kali. Suhu yang terukur antara 38 38,5 C (7 dari 25 pasien, 28%), riwayat
epilepsi dalam keluarga (2 dari 2 pasien, 100%) berhubungan dengan rekurensi terjadinya
kejang demam kompleks3.

II.I.VI Patofisiologi
Sel dikelilingi oleh suatu membran sel yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid
dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui
dengan mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui ion Natrium (Na+) dan elektrolit
lainnya, kecuali klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena
perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial
yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial
membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada
permukaan sel3.

17
Gambar 1. (1). Pada fase istirahat, Ion Na+ ada di ekstra sel dan Ion K+ ada di intra sel.
Membran sel bagian dalam bersifat lebih negatif daripada ekstra sel, (2). Pada fase depolarisasi,
pintu ion chanel jadi terbuka, Ion Na+ masuk ke intra sel, tapi membran sel bagian dalam masih
tetap negatif. (3). Karena Ion Na+ masuk terus menerus membran sel bagian dalam menjadi
lebih positif, dan potensial membran sudah melewati ambang maka terjadilah potensial aksi.
(4). Setelah potensial aksi mencapai ambang batas, maka Ion Na+ keluar ke ekstra sel
potensial membran kembali ke posisi semula. (5). Setelah itu terjadilah hiperpolarisasi, dimana
Ion K+ ikut keluar ke ekstra sel, setelah itu kembali ke posisi istirahat3.
Melalui gambar 1, dapat dijelaskan bahwa kejang dapat terjadi jika pompa Ion Natrium
Kalium terus terjadi dan melampaui ambang batas atas potensial aksi.

18
Gambar 2. Neurotransmitter. Neurotransmitter neurotransmitter yang dilepaskan ini dapat
merubah polarisasi membran sel postsinaptik. Diantara neurotransmitter neurotransmitter
tersebut ada yang mempermudah pelepasan muatan listrik dengan menurunkan potensial aksi3.

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1C mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15%
dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Jadi pada kenaikan suhu dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion
kalium maupun ion natrium melalui membran sel tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan
listrik. Lepas muatan listrik demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun
membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah
kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda3.

19
Neurotransmitter
dalam jumlah besar

Sel tetangga

K+ Na+

Postsinaps KEJANG
Gambar 3. Post sinaps : terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam
waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran sel
tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik demikian besarnya
sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel tetangganya dengan bantuan bahan
yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang3.

Gambar 4. Mekanisme terjadinya kejang demam

Kejang demam terjadi pada anak berusia muda, saat ambang batas terjadinya kejang masih
rendah. Saat ini pula anak anak mudah sekali mengalami infeksi seperti infeksi saluran

20
pernapasan atas, otitis media, sindroma virus, dan menyebabkan respon berupa peningkatan
suhu tubuh yang tinggi. Pada penelitian dengan menggunakan binatang percobaan ditemukan
bahwa pirogen endogen, salah satunya yaitu interleukin 1 dapat meningkatkan aktivitas neuron,
dan dapat menghubungkan antara demam dengan terjadinya kejang. Penelitian sebelumnya
yang juga mendukung adalah bahwa cytokin yang teraktivasi dapat menyebabkan terjadinya
kejang demam3.

II.I.VII Manifestasi Klinik


Kejang demam sederhana berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh secara cepat
mencapai 39 C. Kejangnya bersifat umum, tonik klonik dan berlangsung sekitar 10 menit,
kemudian diikuti periode postictal berupa perubahan kesadaran.
Didiagnosa sebagai kejang demam kompleks jika lamanya kejang lebih dari 15 menit,
kejangnya berulang di hari yang sama, atau timbulnya aktivitas kejang fokal4.

II.I.VII.I Diagnosis
a. Anamnesis
Adanya kejang, jenis kejang, lama kejang, suhu sebelum/saat kejang, frekuensi,
interval, pasca kejang, penyebab kejang di luar SSP4.
Riwayat Kelahiran, perkembangan, kejang demam dalam keluarga, epilepsi dalam
keluarga (kakak-adik, orang tua).
Singkirkan dengan anamnesis penyebab kejang yang lainnya.
b. Pemeriksaan Fisis
Kesadaran, suhu tubuh, tanda rangsang meningkat, tanda peningkatan tekanan intrakranial,
dan tanda infeksi di luar SSP4.

c. Pemeriksaan Nervi Kranialis


Umumnya tidak dijumpai adanya kelumpuhan nervi kranialis4.

II.I.VIII Pemeriksaan Penunjang


II.I.VIII.I Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi
dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula
darah1.

21
II.I.VIII.II Pungsi lumbal

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan


kemungkinan meningitis. Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat ini pemeriksaan pungsi lumbal
tidak dilakukan secara rutin pada anak berusia <12 bulan yang mengalami kejang demam
sederhana dengan keadaan umum baik1.
Indikasi pungsi lumbal:
1. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
2. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis
3. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya telah mendapat
antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut dapat mengaburkan tanda dan gejala meningitis1.

II.I.VIII.III Elektroensefalografi (EEG)


Indikasi pemeriksaan EEG:
Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, kecuali apabila bangkitan bersifat
fokal. EEG hanya dilakukan pada kejang fokal untuk menentukan adanya focus kejang di otak
yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut1.

II.I.VIII.IV Pencitraan (CT Scan /MRI)1


Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala) tidak rutin dilakukan pada anak dengan
kejang demam sederhana. Pemeriksaan tersebut dilakukan bila terdapat indikasi, seperti
kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya hemiparesis atau paresis nervus kranialis1.

II.I.IX Diagnosis Banding

1. Epilepsi
Kejang terjadi karena lepas muatan listrik yang berlebihan di sel neuron syaraf pusat.
Manifestasi klinik :
Tidak ada maupun tidak diawali dengan demam, kejang dapat tonik/klonik/absensce, setelah
kejang terjadi penurunan kesadaran, tidak disertai dengan infeksi lain.
Pemeriksaan penunjang :
Dengan EEG ditemukan abnormalitas gelombang otak2.

22
2. Meningitis/Ensepalitis
Manifestasi klinis yang ditemukan :
Panas, gangguan kesadaran, kejang, muntah-muntah, ditemukan kaku kuduk
Pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan LCS ditemukan warnanya keruh, tekanannya meningkat, bakteri yang meningkat,
protein meningkat, glukosa menurun, sel limfosit meningkat2.

II.I.X Komplikasi
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam dan kematian sampai saat ini
belum pernah dilaporkan.1 Tiga sampai enam persen anak anak yang mengalami kejang
demam akan mengalami epilepsi. Kejang demam kompleks dan kelainan struktural otak
berkaitan dengan peningkatan risiko terjadinya epilepsi5.

II.I.XI Penatalaksanaan Kejang


Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada waktu pasien
datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang dalam keadaan kejang, obat yang
paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam intravena. Dosis diazepam intravena
adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5
menit, dengan dosis maksimal 10 mg. Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti
algoritma kejang pada umumnya1.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah (prehospital) adalah
diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk
anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg. Bila
setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan
dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal
masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam
intravena. Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status epileptikus.
Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari indikasi terapi
antikonvulsan profilaksis1.

23
II.I.XI.I Pemberian obat pada saat demam

Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya
kejang demam Meskipun demikian, dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa
antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali
diberikan tiap 4 6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari1.

Antikonvulsan
Pemberian obat antikonvulsan intermiten
Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan yang
diberikan hanya pada saat demam. Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam dengan
salah satu faktor risiko di bawah ini:1
Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
Usia <6 bulan
Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat dengan cepat.
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau rektal 0,5 mg/kg/kali
(5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat badan >12 kg), sebanyak 3 kali sehari,
dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam
pertama demam. Perlu diinformasikan pada orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan
dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi1.

Pemberian obat antikonvulsan rumat


Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat
dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka pengobatan rumat hanya
diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek1.
Indikasi pengobatan rumat:
1. Kejang fokal
2. Kejang lama >15 menit
3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya palsi
serebral, hidrosefalus dan hemiparesis.

24
Keterangan:
Kelainan neurologis tidak nyata, misalnya keterlambatan perkembangan, bukan merupakan
indikasi pengobatan rumat.
Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organik
yang bersifat fokal
Pada anak dengan kelainan neurologis berat dapat diberikan edukasi untuk pemberian terapi
profilaksis intermiten terlebih dahulu, jika tidak berhasil/orangtua khawatir dapat diberikan
terapi antikonvulsan rumat1.

Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat


Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan
risiko berulangnya kejang. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan
perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat.
Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat
menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi
dalam 2 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis1.

Lama pengobatan rumat


Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat untuk kejang
demam tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat anak tidak sedang
demam1.

Vaksinasi
Sampai saat ini tidak ada kontraindikasi untuk melakukan vaksinasi pada anak dengan
riwayat kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat jarang. Suatu studi
kohort menunjukkan bahwa risiko relatif kejang demam terkait vaksin (vaccine-associated
febrile seizure) dibandingkan dengan kejang demam tidak terkait vaksin (non vaccine-
associated febrile seizure) adalah 1,6 (IK95% 1,27 sampai 2,11). Angka kejadian kejang
demam pascavaksinasi DPT adalah 6-9 kasus per 100.000 anak yang divaksinasi, sedangkan
setelah vaksin MMR adalah 25-34 kasus per 100.000 anak. Pada keadaan tersebut, dianjurkan
pemberian diazepam intermiten dan parasetamol profilaksis1.

25
Algoritma pengobatan medikamentosa saat terjadi kejang demam1.
1. 5-15 menit Kejang
perhatikan jalan nafas, kebutuhan O2 bantuan pernapasan

Bila kejang menetap dalam 3-5 menit :

Diazepam rektal
< 10 kg : 5 mg

> 10 kg : 10 mg

atau

2. 15-20 menit Diazepam IV (0,2-0,5 mg/kg/dosis.


Dapat diberikan 2 kali dosis dengan
(pencarian akses vena dan pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi )
interval 5-10 menit

Kejang (-) Kejang (+)

Fenitoin IV (15-20mg/kg) diencerkan


dengan NaC1 0,9% diberikan selama 20
menitatau dengan kecepatan 50
mg/menit

3. > 30 menit : status konvulsivus

Kejang (-) Kejang (+)

Fenobarbital IM
Dosis pemeliharaan fenitoin IV5-7 mg/kg 10-20 mg/kg
diberikan 12 jam kemudian

Kejang (-) Kejang (+)

Dosis pemeliharaan fenobarbital IM


Perawatan Ruang Intensif
5-7 mg/kg diberikan 12 jam
kemudian

26
X.I.XII Edukasi Pada Orang Tua
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang
sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus
dikurangi dengan cara yang diantaranya :
a. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.
b. Memberitahukan cara penanganan kejang.
c. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya
efek samping obat1.
X.I.XII.I Beberapa Hal Yang Harus Dikerjakan Bila Kembali Kejang
a. Tetap tenang dan tidak panik.
b. Kendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
c. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan
atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan
memasukkan sesuatu ke dalam mulut.
d. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
e. Tetap bersama pasien selama kejang.
f. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.
g. Bawa ke dokter atau ke rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih1.

X.I.XIII Prognosis

Kecacatan atau kelainan neurologis


Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan sebagai
komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis
umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Kelainan neurologis dapat
terjadi pada kasus kejang lama atau kejang berulang, baik umum maupun fokal. Suatu studi
melaporkan terdapat gangguan recognition memory pada anak yang mengalami kejang lama.
Hal tersebut menegaskan pentingnya terminasi kejang demam yang berpotensi menjadi kejang
lama1.

27
Kemungkinan berulangnya kejang demam
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulangnya kejang demam adalah:

1. Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga


2. Usia kurang dari 12 bulan
3. Suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius saat kejang
4. Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjadinya kejang.
5. Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks. Bila seluruh faktor
tersebut di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%, sedangkan bila
tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10-15%.
Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama1.

Faktor risiko terjadinya epilepsi


Faktor risiko menjadi epilepsi di kemudian hari adalah:
1. Terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung
4. Kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam satu tahun. Masing-
masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4-6%, kombinasi
dari faktor risiko tersebut akan meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10-49%.
Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumatan pada
kejang demam1.

Kematian
Kematian langsung karena kejang demam tidak pernah dilaporkan. Angka kematian
pada kelompok anak yang mengalami kejang demam sederhana dengan perkembangan normal
dilaporkan sama dengan populasi umum1.

28
II.II INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)

II.II.I Definisi ISK


Infeksi saluran kemih (Urinary Tract Infection=UTI) adalah bertumbuh dan berkembang
biaknya kuman atau mikroba dalam saluran kemih dalam jumlah bermakna. Bakteriuria ialah
terdapatnya bakteri dalam urin. Disebut bakteriuria bermakna bila ditemukannya kuman dalam
jumlah bermakna. Pengertian jumlah bermakna tergantung pada cara pengambilan sampel urin.
Bila urin diambil dengan cara mid stream, kateterisasi urin, dan urine collector, maka disebut
bermakna bila ditemukan kuman 105 cfu (colony forming unit) atau lebih dalam setiap mililiter
urin segar, sedangkan bila diambil dengan cara aspirasi supra pubik, disebutkan bermakna jika
ditemukan kuman dalam jumlah berapa pun. Bakteriuria asimtomatik (asymptomatic
bacteriuria, covert bacteriuria) adalah terdapatnya bakteri dalam saluran kemih tanpa
menimbulkan manifestasi klinis. Umumnya diagnosis bakteriuria asimtomatik ditegakkan pada
saat melakukan biakan urin ketika check-up rutin/uji tapis pada anak sehat atau tanpa gejala
klinis6.

II.II.II Epidemiologi
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering pada anak
selain infeksi saluran respiratori atas dan diare. ISK perlu mendapat perhatian para dokter
maupun orangtua karena berbagai alasan, antara lain ISK sering sebagai tanda kelainan pada
ginjal dan saluran kemih yang serius seperti refluks vesikoureter (RVU) atau uropati obstruktif.
ISK merupakan salah satu penyebab utama gagal ginjal terminal6.

II.II.III Batasan
1. ISK bagian bawah: Infeksi vesika urinaria (sistitis) dan uretra.
2. Batas atas dan bawah: Vesicoureteric valve ISK simpleks : ada infeksi tetapi tanpa
penyulit anatomic maupun fungsional saluran kemih.
3. ISK kompleks : jika disertai dengan kelainan anatomik maupun fungsional6.

II.II.IV Patofisiologi
Hampir semua ISK menyebar secara asendens. Gangguan dari flora periuretra normal, yang
merupakan bagian dari pertahanan tubuh melawan kolonisasi bakteri patogen, mempermudah
terjadinya ISK. Bakteri dari flora periuretra berada di distal uretra, tetapi urine normal berada
dalam keadaan steril di proksimal uretra, kandung kemih, dan bagian proksimal lainnya pada

29
saluran kemih. Kuman patogen saluran kencing dapat mencapai kandung kemih dan
berkembang biak bila infeksi terjadi. Bakteri patogen tersebut berada di distal uretra dan
mungkin dapat mencapai kandung kemih sebab aliran turbulen urine pada saat berkemih yang
normal atau karena ketidakmampuan berkemih. Kolonisasi di kandung kemih yang berhasil
tak terjadi bila mekanisme pertahanannya tak terganggu karena buang air kecil normalnya
dapat membersihkan kontaminasi bakteri secara lengkap6.

II.II.V Manifestasi klinis


Gejala klinis ISK pada anak sangat bervariasi ditentukan oleh intensitas reaksi
peradangan, letak infeksi (ISK atas dan ISK bawah), dan usia penderita. Sebagian ISK pada
anak merupakan ISK asimtomatik umumnya ditemukan pada anak usia sekolah, terutama anak
perempuan dan biasanya ditemukan pada uji tapis (screening program). ISK asimtomatik
umumnya tidak berlanjut menjadi pielonefritis dan memiliki prognosis jangka panjang baik
Pada masa neonatus, gejala klinis tidak spesifik dapat berupa apati, anoreksia, ikterus atau
kolestatis, muntah, diare, demam, hipotermia, tidak mau minum, oliguria, iritabel, atau distensi
abdomen6.
Peningkatan tidak begitu tinggi dan sering tidak terdeteksi. Kadang-kadang gejala
klinis hanya berupa apati dan warna kulit keabu-abuan (grayish colour) Pada bayi gejala klinis
dapat berupa demam, penurunan berat badan gagal tumbuh, nafsu makan menurun, cengeng,
kolik, muntah, diare, ikterus, dan distensi abdomen. Pada palpasi ginjal anak merasa kesakitan
Pada usia lebih besar yaitu sampai 4 tahun, dapat terjadi demam yang tinggi hingga terjadi
kejang, muntah, dan diare bahkan dapat timbul dehidrasi. Pada anak besar gejala klinis umum
biasanya lebih ringan, mulai tampak gejala klinis lokal saluran kemih berupa polakisuria,
disuria, urgency, frequency, dan mengompol Pada pielonefritis dapat dijumpai demam tinggi
disertai menggigil, gejala saluran cerna seperti mual, muntah, diare. Tekanan darah pada
umumnya masih normal, dapat ditemukan nyeri pinggang6.
Gejala neurologis dapat berupa iritabel dan kejang. Nefritis bacterial fokal akut adalah
salah satu bentuk pielonefritis yang merupakan nefritis bakterial interstitial yang dulu dikenal
sebagai nefropenia lobar Pada sistitis, demam jarang melebihi 38 C, biasanya ditandai dengan
nyeri pada perut bagian bawah, serta gangguan berkemih berupa frekuensi, nyeri waktu
berkemih, rasa tidak nyaman di daerah suprapubik, urgensi, kesulitan berkemih, retensi urin,
dan enuresis6.

30
II.II.VI Diagnosis
1. Anamnesis
ISK serangan pertama umumnya menunjukkan gejala klinis yang lebih jelas
dibandingkan dengan infeksi berikutnya. Gangguan kemampuan mengontrol kandung kemih,
pola berkemih, dan aliran urin dapat sebagai petunjuk untuk menentukan diagnosis. Demam
merupakan gejala dan tanda klinis yang sering serta kadang-kadang merupakan satu-satunya
gejala ISK pada anak6.
2. Pemeriksaan Fisis
Bayi dan anak-anak muda dengan pielonefritis biasanya tidak memiliki temuan
lokalisasi, tapi demam dan sering mudah tersinggung. Anak-anak yang lebih tua dengan
pielonefritis sering memiliki kelembutan pada sudut panggul atau costovertebral, dan mereka
yang memiliki sistitis mungkin memiliki nyeri tekan suprapubik. Hipertensi harus
meningkatkan kecurigaan adanya penyakit hidronefrosis atau ginjal parenkim. Temuan
pemeriksaan fisis pada pasien anak dengan ISK dapat diringkas sebagai berikut:
1. Kepekaan sudut costovertebral
2. Kelunakan abdomen untuk palpasi
3. Suprapubic kelembutan untuk palpasi
4. Kandung kemih teraba
5. Keluhan berkemih
6. Periksa alat kelamin eksternal untuk tanda-tanda iritasi, cacing kremi, vaginitis, trauma,
atau pelecehan seksual6.

3. Pemeriksaan Penunjang
a) Urinalisis
Urinalisis meliputi leukosit, nitrit, leukosit esterase, protein, dan darah. Leukosituria
tidak dipakai sebagai patokan ada tidaknya ISK. Leukosituria biasanya ditemukan pada anak
ISK (8090%) pada setiap episode ISK simtomatik, tetapi tidak terdapat leukosituria tidak
menyingkirkan ISK. Leukosituria dengan biakan urin steril perlu dipertimbangkan pada infeksi
kuman Proteus spp., Klamidia spp., dan Ureaplasma urealitikum Pemeriksaan dengan stik urin
dapat mendeteksi leukosit esterase, enzim yang terdapat di dalam lekosit neutrofil, yang
menggambarkan banyaknya leukosit dalam urin Uji nitrit merupakan pemeriksaan tidak
langsung terhadap bakteri dalam urin6.
Dalam keadaan normal, nitrit tidak terdapat dalam urin tetapi dapat ditemukan jika
nitrat diubah menjadi nitrit oleh bakteri. Urin dengan berat jenis yang tinggi menurunkan

31
sensitivitas uji nitrit Neutrophil gelatinase associated lipocalin urin (uNGAL) dan rasio
uNGAL dengan kreatinin urin (uNGAL/Cr) merupakan petanda ISK. Peningkatan uNGAL
dan rasio uNGAL/Cr >30 ng/mg merupakan tanda ISK6.
Pada urin segar tanpa dipusing (uncentrifuged urine), terdapatnya kuman pada setiap
lapangan pandangan besar (LPB) kira-kira setara dengan hasil biakan 10 cfu/mL urin,
sedangkan pada urin yang dipusing, terdapatnya kuman pada setiap LPB pemeriksaan
mikroskopis menandakan jumlah kuman lebih dari 105 cfu/mL urin. Jika dengan mikroskop
fase kontras tidak terlihat kuman, umumnya urin steril6.
Anti-coated bacteri (ACB) dalam urin yang diperiksa dengan menggunakan
fluorescein-labeled anti-immunoglobulin merupakan tanda pielonefritis pada remaja dan
dewasa muda, namun tidak mampu pada anak6.

b) Darah
Sebagian besar pemeriksaan darah tidak spesifik. Leukositosis, nilai absolut neutrofil
menignkat, laju endap darah (LED) meningkat, Creactive protein (CRP) yang positif
merupakan indikator nonspesifk ISK atas. Kadar prokalsitonin yang tinggi dapat digunakan
sebagai prediktor yang valid untuk pielonefritis akut pada anak dengan ISK febris (febrile
urinary tract infection) dan skar ginjal6.

c) Biakan urin
Cara pengambilan spesimen urin Pengambilan sampel urin untuk biakan urin dapat
dilakukan dengan cara aspirasi suprapubik, kateter urin, pancar tengah (midstream), dan
menggunakan urine collector. Cara terbaik untuk menghindari kemungkinan kontaminasi
dengan aspirasi suprapubik Pengiriman bahan biakan ke laboratorium perlu mendapat
perhatian karena bila sampel biakan urin dibiarkan pada suhu kamar lebih dari jam, maka
kuman dapat membiak dengan cepat sehingga memberikan hasil positif palsu. Jika urin tidak
langsung dikultur dan memerlukan waktu lama, sampel urin harus dikirim dalam termos es
atau disimpan di dalam lemari es. Urin dapat disimpan dalam lemari es pada suhu 4 C selama
4872 jam sebelum dibiakkan6.

Interpretasi biakan urin


Bakteriuria bermakna jika ditemukan kuman dengan jumlah berapa pun. Pada
pengumpulan sampel urin dengan kateter urin dan urin pancar tengah, jumlah kuman 105
cfu/mL urin dikatakan bakteriuria bermakna6.

32
II.II.VII Terapi
Tatalaksana ISK didasarkan pada usia penderita, lokasi infeksi, gejala klinis, dan ada
tidaknya kelainan yang menyertai ISK. Sistitis dan pielonefritis memerlukan pengobatan yang
berbeda. Sebelum pemberian antibiotik, terlebih dahulu diambil sampel urin untuk
pemeriksaan biakan urin dan resistensi antimikrob. Penanganan ISK pada anak yang dilakukan
lebih awal dan tepat dapat mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut Secara garis besar
tatalaksana ISK terdiri atas:
1. Eradikasi infeksi akut.
2. Deteksi dan tatalaksana kelainan anatomi dan fungsional pada ginjal dan saluran kemih.
3. Deteksi dan mencegah infeksi berulang6.

1. Eradikasi Infeksi Akut


Tujuan untuk mengatasi keadaan akut, mencegah urosepsis, dan kerusakan parenkim
ginjal. Jika seorang anak dicurigai ISK, diberikan antibiotik dengan kemungkinan yang paling
sesuai sambil menunggu hasil biakan urin. Terapi selanjutnya disesuaikan dengan hasil biakan
urin. Pemilihan antibiotik harus didasarkan pada pola resistensi kuman setempat atau lokal,
bila tidak ada dapat digunakan profil kepekaan kuman yang terdapat dalam literatur. Umumnya
hasil pengobatan sudah tampak dalam 4872 jam pengobatan. Bila dalam waktu tersebut
respons klinis belum terlihat mungkin antibiotik yang diberikan tidak sesuai atau mungkin yang
dihadapi adalah ISK kompleks, sehingga antibiotik dapat diganti. Selain pemberian antibiotik,
dianjurkan untuk meningkatkan asupan cairan Biasanya untuk pengobatan ISK simpleks
diberikan antibiotik oral selama 7 hari6.
NICE merekomendasikan penanganan ISK fase akut sebagai berikut.:
1. Bayi <3 bulan dengan kemungkinan ISK harus segera dirujuk ke dokter spesialis anak,
pengobatan harus dengan antibiotik parenteral.
2. Bayi 3 bulan dengan pielonefritis akut/ISK atas: Pertimbangkan untuk dirujuk ke
spesialis anak. Terapi dengan antibiotik oral 710 hari, dengan antibiotik yang
resistensinya masih rendah berdasarkan pola resistensi kuman seperti sefalosporin atau
koamoksiklav Jika antibiotik oral tidak dapat digunakan, terapi antibiotik parenteral
seperti sefotaksim atau seftriakson selama 24 hari dilanjutkan antibiotik oral hingga
total lama pemberian 10 hari.
3. Bayi 3 bulan dengan sistitis/ISK bawah: Berikan antibiotik oral selama 3 hr
berdasarkan pola resistensi kuman setempat. Bila tidak ada hasil pola resistensi kuman,

33
dapat diberikan trimetroprim, sefalosporin, atau amoksisilin Bila dalam 2448 jam
belum ada perbaikan klinis harus dinilai kembali, dilakukan pemeriksaan kultur urin
untuk melihat pertumbuhan bakteri dan kepekaan terhadap obat Berbagai antibiotik
dapat digunakan untuk pengobatan ISK, baik antibiotik yang diberikan secara oral
maupun parenteral seperti terlihat pada tabel6.

Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin : Pedoman Diagnosis dan
Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-5. 2014. ISBN: 978-602-71594-0-2

2. Pengobatan sistitis akut


Anak dengan sistitis diobati antibiotik oral. dan umumnya tidak memerlukan perawatan
di rumah sakit, tetapi bila gejala klinis cukup berat misalnya rasa sakit yang hebat, toksik,
muntah, dan dehidrasi anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi pengobatan parenteral
hingga gejala klinis membaik. Lama pengobatan umumnya 57 hari. Untuk sistitis akut,
direkomendasikan pemberian antibiotik oral seperti trimetoprim-sulfametoksazol,
nitrofurantoin, amoksisilin, amoksisilin-klavulanat, sefaleksin, dan sefiksim. Golongan
sefalosporin sebaiknya tidak diberikan untuk menghindari resistensi kuman dan dicadangkan
untuk terapi pielonefritis. Menurut Garin, dkk, pemberian sefiksim pada sistitis akut terlalu
berlebihan. ISK simpleks umumnya memberikan respons yang baik dengan amoksisilin,
sulfonamid, trimetoprimsulfametoksazol, atau sefalosporin6.

3. Pengobatan pielonefritis
Para ahli sepakat bahwa antibiotik untuk pielonefritis akut harus mempunyai penetrasi
yang baik ke dalam jaringan karena pielonefritis akut merupakan nefritis interstitialis. Belum

34
ada penelitian tentang lamanya pemberian antibiotik pada pielonefritis akut, tetapi umumnya
antibiotik diberikan selama 710 hari, meskipun ada yang menuliskan 714 hari atau 1014
hari. Antibiotik parenteral selama 714 hari sangat efektif dalam mengatasi infeksi pada
pielonefritis akut, tetapi lamanya pemberian parenteral menimbulkan berbagai permasalahan
seperti masalah kesulitan teknik pemberian obat, penderita memerlukan perawatan, biaya
pengobatan yang relatif mahal, dan ketidaknyamanan bagi penderita dan orangtua, sehingga
dipikirkan untuk mempersingkat pemberian parenteral dan diganti dengan pemberian oral6.

Biasanya perbaikan klinis sudah terlihat dalam 2448 jam pemberian antibiotik
parenteral. sehingga sesudah perbaikan klinis, antibiotik dilanjutkan dengan pemberian
antibiotik oral. sampai 714 hari pengobatan Secara teoretis pemberian antibiotik yang lebih
singkat pada anak mempunyai keuntungan antara lain efek samping obat lebih sedikit dan
kemungkinan terjadinya resistensi kuman terhadap obat lebih sedikit. Pada kebanyakan kasus,
antibiotik parenteral dapat dilanjutkan dengan oral sesudah 5 hr pengobatan bila respons klinis
terlihat dengan nyata atau setidak-tidaknya demam sudah turun dalam 48 jam pertama. Tidak
ada bukti yang meyakinkan bahwa pengobatan 14 hari lebih efektif atau dapat mengurangi
risiko kekambuhan. Dianjurkan pemberian profilaksis antibiotik sesudah pengobatan fase akut
sambil menunggu hasil pemeriksaan pencitraan. Bila ternyata kasus yang dihadapi termasuk
ke dalam ISK kompleks (terdapat refluks atau obstruksi) maka pengobatan profilaksis dapat
dilanjutkan lebih lama. Berbagai penelitian untuk membandingkan pemberian antibiotik
parenteral dengan antibiotik oral. sudah dilakukan. Hoberman dkk. melakukan penelitian
multisenter, uji klinis tersamar (randomized clinical trial) pada 306 anak dengan ISK dan
demam, yang diterapi dengan sefiksim oral dan dibandingkan dengan sefotaksim selama 3 hr
yang dilanjutkan dengan sefiksim oral. sampai 14 hari, dan hasil pengobatan tidak berbeda
bermakna6.
Disimpulkan bahwa sefiksim oral dapat direkomendasikan sebagai terapi yang aman
dan efektif pada anak yang menderita ISK dengan demam. Montini dkk. melaporkan penelitian
pada 502 anak dengan diagnosis pielonefritis akut, yang diterapi dengan antibiotik
koamoksiklav oral (50 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis) selama 10 hr dibandingkan dengan
seftriakson parenteral (50 mg/kgBB/hari dosis tunggal) selama 3 hr, dilanjutkan dengan
pemberian koamoksiklav oral (50 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis) selama 7 hari. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada pielonefritis akut, efektivitas antibiotik parenteral selama 10 hr sama
dengan antibiotik parenteral yang dilanjutkan dengan pemberian oral6.

35
4. Pemberian profilaksis
Antimikrob profilaksis dosis rendah yang diberikan dalam jangka lama sudah
digunakan secara tradisional terhadap penderita yang rentan terhadap berulangnya pielonefritis
akut atau ISK bawah. Terapi profilaksis tersebut sering diberikan pada anak risiko tinggi seperti
refluks vesiko-ureter, uropati obstruktif, dan berbagai kondisi risiko tinggi lainnya. Antibiotik
profilaksis bertujuan untuk mencegah infeksi berulang dan mencegah terjadinya parut ginjal.
Berbagai penelitian sudah membuktikan efektivitas antibiotik profilaksis menurunkan risiko
terjadinya ISK berulang pada anak, dan kurang dari 50% yang mengalami infeksi berulang
selama pengamatan 5 tahun 6.
Antibiotik profilaksis dimaksudkan untuk mencapai konsentrasi antibiotik yang tinggi
dalam urin tetapi dengan efek yang minimal terhadap flora normal dalam tubuh. Beberapa
antibiotik dapat digunakan sebagai profilaksis Pemberian profilaksis menjadi masalah karena
beberapa hal antara lain kepatuhan yang kurang, resistensi kuman yang meningkat, timbulnya
reaksi simpang (gangguan saluran cerna, skin rashes, hepatotoksik, kelainan hematologi,
sindrom Stevens-Johnson), dan tidak nyaman untuk penderita Beberapa penelitian akhir-akhir
ini menyatakan bahwa pada RVU derajat rendah, tidak terdapat perbedaan bermakna risiko
terjadi ISK pada kelompok yang mendapat antibiotik profilaksis dengan yang tidak diobati6.
Dengan demikian, antibiotik profilaksis tidak perlu diberikan pada RVU derajat rendah
The International VUR Study of Children melakukan penelitian untuk membandingkan
efektivitas pemberian antibiotik profilaksis jangka lama dengan tindakan operasi pada anak
dengan RVU derajat tinggi untuk mencegah penurunan fungsi ginjal. Hasilnya menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan pada kedua kelompok tersebut dalam hal terjadinya parut
ginjal dan penyulitnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian antibiotik profilaksis pada RVU
derajat tinggi ternyata efektif Montini dan Hewitt melakukan review terhadap berbagai
penelitan tentang pemberian antibiotik profilaksis dan membuat beberapa simpulan, meskipun
masih banyak hal-hal yang belum dapat disimpulkan Antibiotik profilaksis tidak terindikasi
pada ISK demam yang pertama kali (first febrile UTI) yang tidak disertai RVU atau hanya
RVU derajat I dan II. Ada 3 alasan terhadap simpulan ini yaitu:

1. Penelitian metaanalisis menunjukkan tidak ada keuntungan pemberian antibiotik


profilaksis
2. Terdapat risiko meningkatnya resistensi bakteri
3. Frekuensi terjadinya reinfeksi rendah6.

36
Untuk refluks derajat tinggi tidak dapat diambil kesimpulan yang jelas dengan alasan:
Persentase reinfeksi lebih tinggi pada RVU derajat III dibandingkan dengan derajat 0, I, dan II.
Penelitian metaanalisis membuktikan bahwa dengan antibiotik profilaksis tidak terdapat
keuntungan yang bermakna pada kelompok ini, tetapi jumlah penderita yang diikutkan dalam
penelitian tersebut tidak mencukupi NICE merekomendasikan bahwa antibotik profilaksis
tidak rutin diberikan kepada bayi dan anak yang mengalami ISK untuk pertama kali. Antibiotik
profilaksis dipertimbangkan pada bayi dan anak dengan ISK rekurens. Selain itu
direkomendasikan juga bahwa jika bayi dan anak yang mendapat antibiotik profilaksis
mengalami reinfeksi, maka infeksi diterapi dengan antibiotik yang berbeda dan tidak dengan
menaikkan dosis antibiotik profilaksis tersebut Belum diketahui berapa lama jangka waktu
optimum pemberian antibiotik profilaksis. Ada yang mengusulkan antibiotik profilaksis
diberikan selama RVU masih ada dan yang lain mengusulkan pemberian yang lebih singkat.
Pada ISK kompleks pemberian profilaksis dapat berlangsung 34 bulan. Bila ternyata kasus
yang dihadapi termasuk ke dalam ISK kompleks (terdapat refluks atau obstruksi), maka
pemberian profilaksis dapat dilanjutkan lebih lama. Selain antibiotik dilaporkan penggunaan
probiotik sebagai profilaksis yaitu Lactobacillus rhamnosus dan Lactobacillus reuteri (L.
fermentum); serta cranberry juice6.

Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin : Pedoman Diagnosis dan
Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-5. 2014. ISBN: 978-602-71594-0-2

II.II.VIII Indikasi rawat


ISK yang memerlukan tindakan rawat inap antara lain ISK pada neonatus hingga usia
4 bulan, pielonefritis akut, ISK dengan penyulit seperti gagal ginjal, hipertensi, ISK disertai
sepsis atau syok, ISK dengan gejala klinis yang berat (rasa sakit yang hebat, toksik, kesulitan

37
asupan oral, muntah dan dehidrasi), ISK dengan kelainan urologi yang kompleks, ISK dengan
organisme penyebab yang resisten terhadap antibiotik oral, ISK yang disertai masalah
psikologis seperti orangtua yang tidak mampu merawat anak6.

II.II.IX Prognosis
ISK dapat menyebabkan bakteremia, sepsis, dan meningitis. Penyulit ISK jangka yaitu
parut ginjal, hipertensi, gagal ginjal, penyulit pada masa kehamilan seperti preeklamsi. Parut
ginjal terjadi pada 840% penderita sesudah mengalami episode pielonefritis akut. Faktor
risiko terjadinya parut ginjal antara lain usia muda, keterlambatan pemberian antibiotik dalam
tatalaksana ISK, infeksi berulang, RVU, dan obstruksi saluran kemih6.

38
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
1. Kejang demam adalah Kejang yang berhubungan dengan demam (suhu diatas 380C per
rektal) tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat atau yang terjadi karena proses
ekstrakranial
2. Kejang demam terbagi menjadi kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks.
3. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali
tidak termasuk kejang demam

B. Saran
1. Waspadai demam tinggi yang terjadi pada anak.
2. Segera berikan antipiretik dan anti konvulsan saat anak kejang demam.
3. Jika kejang yang terjaditidak termasuk dalam kriteria kejang demam sederhana atau
anak mengalami kejang demam yang pertama maka segera rujuk ke rumah sakit.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Indonesia, Unit Kerja Koordinasi Neurologi : Rekomendasi


Penatalaksanaan Kejang Demam, 2016. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2. Baumann Robert. Febrile Seizures. Diakses dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1176205-overview pada tanggal 5 Juli, 2017.
3. Tenjani Noorudin R. Pediatrics, Febrile Seizures. Diakses dari:
http://emedicine.medscape.com/article/801500-overview pada tanggal 1 Juli, 2017.
4. Johnston Michael V. Nelson Textbook of Pediatrics 19th ed. United States: Saunders;.
P. 2011. 1283-7
5. Schwartz M. William. Pedoman Klinis Pediatri. Edisi 5 Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran ECG; P. 2013. 101-9
6. Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/
RSUP Dr. Hasan Sadikin : Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi
ke-5. 2014. ISBN: 978-602-71594-0-2

40

You might also like