You are on page 1of 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Embriologi Kraniofasial


2.1.1 Embriologi Kraniofasial Umum
Embriologi kraniofasial membahas mengenai perkembangan
struktur kepala dan wajah. Jaringan mesenkim untuk pembentukan
daerah kepala berasal dari jaringan mesoderm lempeng paraksial dan
lateral, krista neural, dan plakoda ektoderm.

Gambar 1. Skema struktur kerangka kepala dan wajah.


Mesenkim struktur ini berasal dari krista neuralis (biru),
mesoderm lempeng lateral (kuning), dan mesoderm paraksial
(somit dan somitomer) (merah). Sumber: Sadler, 1997

Mesoderm paraksial (somit dan somitoner) membentuk dasar


tengkorak dan sebagian kecil daerah oksipital. Mesoderm lempeng lateral
membentuk kartilago-kartilago laring (aritenoid dan dan lengkung faring
dan semua jaringan pada daerah ini, termasuk kartilago, tulang dentin,
tendo, dermis, pia dan araknoid, neuron sensorik, dan stroma kelenjar.
Sedangkan sel dari plakoda ektodem bersama dengan krista neuralis
krikoid) dan jaringan penyambung pada daerah tersebut. Sel-sel krita
neuralis akan membentuk struktur-struktur tulang daerah wajah
(midfasial) membentuk ganglia sensorik kranial ke 5, 7, 9, dan 10
(Sadler, 1997). Gambar 1 menunjukkan skema kerangka kraniofasial
berdasarkan mesenkim pembentuknya.

6
7

Gambaran paling khas dalam perkembangan kepala dan leher


adalah terbentuknya lengkung brankialis atau lengkung faring. Lengkung
faring tidak ikut membentuk leher, tetapi memainkan peranan penting
dalam pembentukan kepala. Pada akhir minggu keempat, bagian pusat
wajah dibentuk oleh stromodeum, yang dikelilingi oleh pasangan
pertama lengkung faring. Pada usia gestasi 4 minggu, dapat dikenali
lima buah tonjolan mesenkim: sepasang tonjol mandibula, sepasang
tonjol maksila, dan tonjolan frontonasal (Sadler, 1997; Eberlin, dkk
dalam Rogers, Hartnick, dan Hamdan, 2014).

2.1.2 Embriologi bibir


Proses pembentukan bibir dimulai sejak minggu ke 6 masa
kehamilan. Selama minggu 6-7, tonjol maksila terus-menerus bertambah
besar dan tumbuh ke arah medial sehingga mendesak tonjol hidung
medial. Celah antara tonjol hidung medial dan tonjol maksila hilang
sehingga tonjol-tonjol tersebut menyatu (Gambar 2).

Gambar 2. Pertumbuhan dan Perkembangan Bibir. Sumber:


Eberlin, dkk dalam Rogers, Hartnick, dan Hamdan, 2014

2.1.3 Embriologi palatum


Pertumbuhan tonjol-tonjol maksila ke medial menyebabkan
kedua tonjol hidung medial tidak hanya bersatu di permukaan tetapi
bersatu pula pada level yang lebih dalam membentuk segmen
antarmaksila. Segmen antarmaksila terdiri dari elemen bibir (filtrum),
elemen rahang atas (dengan empat gigi seri), dan elemen palatum
(palatum primer) (Sadler, 1997). Gambar 3 menunjukkan proses
pembentukan palatum secara umum sementara Gambar 4 menunjukkan
tahap pembentukan bibir atas dan palatum primer.
8

Gambar 3. Pertumbuhan dan Perkembangan Palatum Primer


dan Sekunder. Sumber: Eberlin, dkk dalam Rogers, Hartnick, dan
Hamdan, 2014

Gambar 4. Pembentukan bibir atas dan palatum primer.


Sumber: McDonald dalam Creanor, 2016

Palatum sekunder, sementara itu, dibentuk dari pertumbuhan


tonjol maksila ke arah medial membentuk tameng yang disebut lempeng
palatina. Pada minggu ketujuh, lempeng-lempeng palatina ini bergerak
naik hingga mendapai kedudukan horisontal di atas lidah dan saling
bersatu (Sadler, 1997; McDonald dalam Creanor, 2016). Gambar 4
menunjukkan pertumbuhan lempeng palatina untuk membentuk palatum
sekunder.
9

Gambar 5. Lempeng Palatina Tumbuh ke Medial Untuk


Membentuk Palatum Sekunder. Sumber: McDonald dalam Creanor, 2016

Ontogeni perkembangan rahang, gigi, dan bibir kraniofasial


utamanya bergantung pada tiga elemen: faktor genetik, yaitu genotipe,
ekspresi gen; faktor lingkungan, yaitu interaksi nutrisi dan biokimia,
temperatur, tekanan, hidrasi; dan faktor fungsional, yaitu faktor intrinsik
dan ekstrinsik gerakan otot, kavitas dan organ pengisi ruang, perluasan
pertumbuhan, dan penipisan atrofik (Sperber, dkk, 2010).

2.2 Definisi

Bibir sumbing dan langit-langit (cleft lip and palate) adalah


kelainan kongenital yang sering ditemukan dan menyebabkan kelainan
penampakan wajah dan gangguan bicara (Sadler, 2006). Bibir sumbing
(cleft lip) adalah kelainan berupa celah pada bibir atas yang didapatkan
seseorang sejak lahir. Bila celah berada pada bagian langit-langit rongga
mulut (palate), maka kelainan ini disebut cleft palate. Pada cleft palate,
celah akan menghubungkan langit-langit rongga mulut dengan rongga
hidung. Bibir sumbing adalah malformasi yang disebabkan oleh gagalnya
prosesus nasal median dan maksilaris untuk menyatu selama
perkembangan embrionik. Cleft palate adalah fissura garis tengah pada
10

palatum yang terjadi karena kegagalan 2 sisi untuk menyatu karena


perkembangan embrionik (Young D.L. 2003).

2.3 Klasifikasi dan Diagnosis

Kelompok anomali sumbing orofacial yang heterogen. Ini terdiri


dari celah orofacial yang khas (misalnya, bibir sumbing, bibir sumbing
dan langit-langit, langit-langit) dan celah atipikal, termasuk jenis Tessier
median, transversal, miring, dan lain sumbing.Celah khas dan atipikal
berdua dapat terjadi sebagai anomali terisolasi, sebagai bagian dari
urutan cacat primer, atau sebagai anomali kongenital ganda (MCA).
Dalam MCA, anomali sumbing bisa menjadi bagian dari sindrom
monogenik diketahui, bagian dari kelainan kromosom, bagian dari
asosiasi, atau bagian dari kompleks MCA etiologi tidak diketahui
(Tolarova et al,1998).

Ada tiga jenis kelainan cleft (Pratikno,2011):


Cleft lip tanpa disertai cleft palate
Cleft palate tanpa disertai cleft lip
Cleft lip disertai dengan cleft palate
Beberapa jenis bibir sumbing :
a. Unilateral Incomplete
Apabila celah sumbing terjadi hanya di salah satu sisi bibir dan
tidak memanjang hingga ke hidung.
b. Unilateral complete
Apabila celah sumbing terjadi hanya di salah satu bibir dan
memanjang hingga ke hidung.
c. Bilateral complete
Apabila celah sumbing terjadi di kedua sisi bibir dan
memanjang hingga ke hidung.
11

Pic no description n sumber


Bibirsumbingbisaterjadiunilateral(di sisikiriataukanan)
atausebagaianomalibilateral. Gariscelahselaludimulaipadabagian
lateralbibiratasdan berlanjutmelaluiphiltrumkealveolusantaragigi
insisivuslateraldangigitaring,
mengikutigarissuturaincisivasampaiforamen incisivum. Celah
anterioruntukforamentajam(yaitu, bibirdanalveolus)
jugadidefinisikansebagaisumbing langit-langitprimer. Bibir
sumbingmungkinterjadidenganberbagaitingkat keparahan, darilekukan
yangterletak disisikiriataukananbibirkebentuk yang paling parah,
bibirsumbingbilateraldanalveolusyangmemisahkanphiltrumdaribibiratasd
anpremaxilladarisisalengkunganmaksila.
Ketikabibirsumbingterusdariforamen incisivumlebih lanjutmelaluisutura
palatinaditengahlangit-langit mulut, bibirsumbingdanlangit-langit(baik
unilateralataubilateral) muncul (Tolarofa, 2009).
12

Gambar 1. Bibir Sumbing (sumber n wrong urutan should be


gambar 6)
Beragamkeparahandapatdiamati.
Garissumbingdapattergangguolehjaringan lunak(kulit ataumukosa),
jaringan keras(tulang), ataukeduanya, sesuai
dengandiagnosisdaricelahyang tidak lengkap. Hal ini
terjadidibibirsumbingdan langit-langit unilateraldanbilateral.

Gambar 2. Cleft Lip and Palate sumber


Sumbing langit-langit, penyebab dan embryologi berbeda dari
bibir sumbing dengan atau tanpa langit-langit sumbing.
13

Gambar 3. Contoh sumbing

Gambar 4. Sumbing submukosa langit-langit


Beberapasubtipelangit-
langitdapatdidiagnosisberdasarkanberatnya. Uvula adalah tempat di mana
bentuk minimal celah langit-langit mulut diamati. Sebuahbentuk yang
lebihparahadalah suatucelahsubmukosa langit-langit. Celahlangit-
langitlengkapmerupakancelahlangit-langitkeras (palatum durum),
submukosalangit-langit, dansumbing uvula. Celahposterior untukforamen
yangdalamdidefinisikansebagaisuatu celahlangit-langitsekunder.
Dalamproporsi yang signifikan daripasien, celahlangit-
langitkeras (palatum
durum)ditutupiolehmukosadanberlanjutmelaluilangit-langitlunak, langit-
langitmembentukyangdisebutsumbing submukosa.
SebuahCPsubmukosadapatterjadidilangit-langitkerassajadanterbukaterus
14

celahlangit-langitlunak,
ataumungkinterjadisebagaicelahsubmukosadarilangit-
langitlunakdenganatautanpalekukankelangit-langitkeras. Hati-
hatipemeriksaanklinisdapatditemukanforamenkelanjutan daricelahlangit-
langit lunak, yangmerupakancelahdaritulanglangit-langitdi
bawahnyamukosa
Celahlangit-langitdapatdibedakan menjadi 2 yaitubentukV,
yangpaling seringdibelahanterisolasi, ataubentukU, dan
dibelahansindromik.
Celahlangit-langitforamen posterioryang
dalamdidefinisikansebagaicelahlangit-langitsekunder.
Sumbingbibirdancelahlangit-langit mulutanteriorkeforamenyang
dalam(unilateral ataubilateral) didefinisikansebagaicelahlangit-
langitprimer(dengan demikian, dalambibirsumbingbilateral,
premaxilladipisahkandarisegmenpalatallateral).

2.4 Epidemiologi

Sumbing memiliki frekuensi yang berbeda-beda pada berbagai


budaya dan ras serta negara. Diperkirakan 45% dari populasi adalah non-
Kaukasia. Fogh Andersen di Denmark melaporkan kasus bibir sumbing
dan celah langit-langit 1,47/1000 kelahiran hidup. Hasil yang hampir
sama juga dilaporkan oleh Woolf dan Broadbent di Amerika Serikat serta
Wilson untuk daerah Inggris. Neel menemukan insiden 2,1/1000
penduduk di Jepang.

Insiden bibir sumbing di Indonesia belum diketahui secara pasti,


hanya disebutkan terjadi satu kejadian setiap 1000 kelahiran. Hidayat dan
kawan-kawan di propinsi Nusa Tenggara Timur antara April 1986
sampai Nopember 1987 melakukan operasi pada 1004 kasus bibir
sumbing atau celah langit-langit pada bayi, anak maupun dewasa di
antara 3 juta penduduk.
15

Rasio jenis kelamin pada pasien dengan celah bervariasi. Pada


ras putih, bibir sumbing dan celah bibir dan langit-langit terjadi secara
signifikan lebih sering pada laki-laki, dan langit-langit terjadi secara
signifikan lebih sering pada wanita. Dalam bibir sumbing dengan atau
tanpa langit-langit, rasio jenis kelamin berkorelasi dengan keparahan dan
lateralitas dari sumbing. Sebuah studi besar 8.952 rasio seks pada celah
orofacial pria-wanita menjadi 1.5-1.59:1 untuk bibir sumbing, 1.98-
2.07:1 untuk bibir sumbing dan langit-langit, dan 0.72-0.74:1 untuk
sumbing (Tolarova, 2009).

2.5 Patogenesis

Cleft lip/palate secara umum disebabkan oleh kegagalan


menyatu jaringan-jaringan embrionik yang membentuk bibir dan
palatum. Fusi jaringan-jaringan tersebut terjadi pada minggu keempat
sampai minggu kedelapan (Sadler, 1997).
Tabel 4. Anatomi cleft lip
Normal Cleft Lip Unilateral Cleft Lip
Bilateral
Kulit Intak Defisien sepanjang Defisien
atau sebagian tinggi sepanjang atau
bibir bagian atas sebagian tinggi
bibir bagian atas

Otot Intak Biasanya defisien Biasanya


(orbikularis Orientasi Insersi sepanjang defisien
oris) melingkar cleftatau dasar Absen pada
hidung prolabium

Bibir Cupids bow Cupids bow kurang Struktur Cupids


dan filtrum tampak dan berotasi bow dan filtrum
ada dan menuju sisi cleft hilang
simetris Kolom filtrum lebih
pendek pada sisi
cleft

Tulang Intak Bergantung pada Dapat menonjol


16

(Premaksila) keterlibatan secara signifikan


alveolus: dapat intak
atau cleft

Hidung Ujung hidung Datar dan terarah Datar dan lebar


normal pada sisi noncleft
Kolumela Kolumela pendek Kolumela
normal pada sisi cleft pendek
Dasar hidung Crus lateral dari
normal kartilago alar
Crura lateral
terdisplasi secara
bilateral dari
lateral, posterior,
kartilago alar
dan inferior pada terdisplasi
sisi cleft secara lateral,
Orientasi posterior, dan
lubang Horisontal pada sisi inferior
vertikal cleft Horisontal pada
kedua sisi

Sumber: Shkoukani, 2013


Kegagalan fusi prosesus maksilaris dan prosesus nasalis
medialis pada usia gestasi 5 minggu menyebabkan cleft lip, pada satu sisi
atau kedua belah sisi. Cleft lip dapat memengaruhi hanya bibir bagian
atas atau dapat meluas hingga palatum primer (Tolarova, dkk, 2015).
Cleft palate terjadi karena kegagalan fusi lempeng palatina.
Kegagalan fusi ini dapat terjadi karena: kelainan pertumbuhan lempeng
palatina, kegagalan lempeng mencapai posisi horisontal, kontak
antarlempeng yang kurang, dan ruptur setelah fusi lempeng (Tolarova,
dkk, 2015).

2.6 Etiologi dan Faktor Risiko

Secara umum penyebab cleft lip/palate adalah hipoplasia


jaringan mesenkim yang dapat mengakibatkan kegagalan fusi (Bishop
dalam Marcdante, et al, 2014: 467). Meskipun etiologi multifaktorial,
cleft lip/palate masih dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari sindrom
atau nonsindrom.
Sindrom yang berhubungan dengan kejadian cleft lip/palate
adalah fetal alcohol syndrome, sindrom down, sindrom Van der Woude,
Ectrodactyly-ectodermal dysplasia-clefting syndrome, sindrom popliteal
pterigium, sindrom opitz, dan microsomia kraniofasial. Sementara itu
17

sindrom yang berhubungan dengan cleft palate adalah sindrom down,


sindrom delesi 22q (sindrom DiGeorge, sindrom Shprintzen), sindrom
stickler, Treacher Collins syndrome, sindrom apert, dan sindrom De
Lange (Chigurupati dalam Bagheri, Bell, dan Khan, 2012: 727-8).
Sementara cleft lip/palate yang sifatnya nonsindromik adalah
penyakit kompleks dengan etiologi multifaktorial yang dipengaruhi oleh
kombinasi dan interaksi antara faktor genetik dan lingkungan.
(Chigurupati dalam Bagheri, Bell, dan Khan, 2012: 727-8).
Cleft dapat disebabkan oleh banyak faktor yang memengaruhi
ibu hamil pada trimester pertama (Wallace dalam Klineberg dan
Kingston, 2012: 295). Faktor lingkungan yang berkontribusi terhadap
etiologi cleft lip/palate dapat dibagi menjadi empat kelompok: obat-
obatan, bahan kimia, ketidakseimbangan metabolik maternal, dan infeksi
maternal. Riwayat merokok saat hamil, paparan alkohol dan obat-obatan
teratogenik, asupan vitamin B kompleks yang rendah, dan defisiensi
asam folat saat periode perikonsepsional dapat menyebabkan kelainan
cleft lip/palate. Pernikahan antarsaudara, diabetes maternal, dan
obesitasjuga dihubungkan dengan peningkatan risiko cleftorofasial
(Chigurupati dalam Bagheri, Bell, dan Khan, 2012: 727-8).

Tabel 5. Etiologi Cleft lip/palate


Etiologi Cleft lip/palate
Perkiraan genkontributor cleft lip/palateyang
teridentifikasi
IRF 6 (Interferon Regulatory Factors 6): 12%
FGFs (Fibroblasr Growth Factors): 3%
MSX1 (Msh homeobox 1): 2%
Mutasi tersendiri di gen-gen kandidat: 6%

Kontribusi dari Faktor Lingkungan terhadap cleft


lip/palate:
Riwayat merokok ibu
Defisiensi folat ibu
Riwayat diabetes ibu
Riwayat pemakaian obat-obatan ibu: alkohol, steroid,
fenitoin sodium
Sumber: Chigurupati, 2012

Kejadian cleft lip/palate sendiri melibatkan interaksi faktor


genetik dan lingkungan. Hal ini didemonstrasikan oleh laporan kasus
oleh Ucar, dkk. Ibu dari pasiencleft lip/palate yang dideskripsikan
memiliki beberapa faktor risiko antara lain genetik, usia tua, riwayat
18

keluarga, penggunaan obat antiepilepsi, pernikahan sedarah, dan riwayat


merokok. Anak sebelumnya juga memiliki cleft lip dengan cleft palate.
(Ucar, dkk, 2015)
Kawalec, dkk (2015) membagi faktor-faktor risiko cleft
lip/palate dalam tujuh kelompok: terkait geografi, riwayat keluarga dan
genetik, alkohol dan tembakau, diet, konsumsi obat saat masa kehamilan,
infeksi, dan faktor pekerjaan.

2.6.1 Faktor Geografik


Faktor terkait geografi mengacu kepada prevalensi cleft
lip/palate yang berbeda di berbagai bagian dunia. Meskipun perbedaan
prevalensi antarwilayah geografis ini dapat terjadi karena faktor
perbedaan etnik/ras, ada beberapa studi yang mencatat perbedaan
prevalensi antarwilayah dalam satu negara yang sama, yang diasumsikan
memiliki proporsi etnisitas yang tidak berbeda. Perbedaan prevalensi
antarwilayah geografis ini dapat disebabkan oleh perbedaan kebiasaan
setempat, kondisi sosial, akses obat, tembakau, dan alkohol, serta
konsumsinya, dan secara umum predisposisi genetik dan penyakit
menurun yang berbeda (Kawalec, dkk, 2015). Dalam hal ini, kejadian
cleft lip/palate dari etnik/ras Asia lebih tinggi dibanding etnis/ras lainnya
di dunia.

2.6.2 Faktor Genetik


Faktor genetik merupakan predisposisi bagi cleft lip/palate. Hal
ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan risiko kejadian cleft
lip/palate dengan adanya riwayat keluarga mengalami cleft lip/palate.
Penelitian pada tikus dengan RT-PCR menemukan bahwa gen Ywhab,
Nek, dan Tacc1 mengalami perubahan yang signifikan pada tikus dengan
cleft lip (Sasaki, dkk, 2014). Penelitian pada tahun 2015 menemukan
beberapa varian berupa mutasi yang menghasilkan varian nonsense atau
nonkoding pada atau di dekat gen PAX7, FGFR2, NTN1, NOG, dan
ARHGAP29. Variasi ini merupakan kontributor risiko utama bagi
cleftnonsindromik pada manusia (Leslie, dkk, 2015). Pada tingkat
kromosom, kandidat gen dan lokus yang apabila terjadi mutasi dapat
menyebabkan cleft lip/palate telah diidentifikasi, yaitu pada kromosom 1,
2, 4, 6, 11, 14, 17, dan 19 (Chigurupati dalam Bagheri, Bell, dan Khan,
2012: 727-8).

2.6.3 Usia Orangtua


19

Beberapa analisis telah dilakukan mengenai pengaruh usia ibu


dan ayah terhadap kejadian cleft lip/palate. Usia orangtua merupakan
salah satu faktor risiko yang meningkatkan kejadian cleft lip/palate. Usia
ayah yang tinggi memiliki risiko yang lebih besar meningkatkan risiko
cleft palate (Bille, dkk, 2007). Risiko insidensicleft lip terisolasi adalah
1,15 per 1.000 kelahiran. Risiko ini meningkat seiring dengan
peningkatan umur kedua orangtua dengan perkiraan risiko insidensi 1,27
per 1.000 kelahiran. Pada analisis hubungan ditemukan bahwa risiko
mengalami peningkatan hanya ketika usia kedua orangtua tinggi (Berg,
2015).

2.6.4 Riwayat Merokok Aktif atau Pasif


Riwayat merokok aktif merupakan salah satu faktor risiko cleft
lip/palate (Martelli, dkk, 2015). Paparan asap rokok di lingkungan atau
merokok pasif juga merupakan faktor risiko kejadian cleft lip/palate
(Honein, 2007). Penelitian lain menunjukkan bahwa anak yang ibunya
merokok aktif memiliki peningkatan risiko cleft lip/palate (OR=1,27;
95% CI: 1,11, 1,46), demikian juga anak yang ibunya terpapar rokok
pasif (OR=1,14; 95% CI: 1,02, 1,27). Risiko cleft lip meningkat lebih
tinggi pada bayi yang ibunya perokok aktif dan terpapar rokok pasif
(OR=1,51; 95% CI: 1,35, 1,70) (Kummet, 2016). Penggunaan tembakau
kunyah atau hisap (snuff) pada awal kehamilan dihubungkan dengan
peningkatan risiko cleft lip/palate, sementara ibu yang berhenti
menggunakan tembakau sebelum memulai masa kehamilan tidak
mengalami peningkatan risiko memiliki anak dengan cleft lip/palate.
Penggunaan tembakau kunyah atau hisap tidak direkomendasikan
sebagai alternatif penghentian merokok saat masa kehamilan
(Gunnerbeck, 2014).
Studi meta-analisis dari 14 penelitian menyimpulkan bahwa ibu
yang terpapar rokok secara pasif 1,5 kali lebih berisiko melahirkan anak
dengan non-syndromic orofacial clefts (NSOFC) (Sabbagh, 2015).Meta-
analisis dari 24 penelitian kasus kontrol dan kohort menunjukan bahwa
terdapat bukti yang cukup kuat akan adanya hubungan antara riwayat ibu
merokok tembakau dengan kejadian cleftorofasial (RR=1,34; 95%
confidence interval 1,25-1,44) (Little, 2014).

2.6.5 Riwayat Konsumsi Alkohol Selama Masa Kehamilan


Alkohol telah diketahui sebagai teratogen manusia yang
memiliki dampak berbeda-beda tergantung periode paparan dan jumlah
konsumsi. Salah satu akibat konsumsi alkohol yang tinggi selama masa
20

kehamilan adalah fetal alcohol syndrome. Penelitian kasus kontrol di


Norwegia menemukan bahwa konsumsi alkohol dalam jumlah besar
selama trimester pertama kehamilan memiliki resiko terhadap
peningkatan kejadian cleft lip/palate (DeRoo, dkk, 2008).

2.6.6 Diet Ibu Selama Masa Kehamilan


Diet ibu diketahui berpengaruh terhadap kejadian cleft
lip/palate. Penggunaan pola diet gaya Barat (Western diet) meningkatkan
risiko kejadian cleft lip/palate sebesar dua kali (Vujkovic, 2007).

2.6.7 Asupan Asam Folat Selama Masa Kehamilan


Konsumsi asam folat berpengaruh terhadap kejadian cleft
lip/palate. Suatu penelitian kohort berbasis populasi menyimpulkan
bahwa bayi dengan ibu yang tidak mengonsumsi asam folat selama tiga
bulan pertama kehamilan memiliki resiko cleft lip/palate lebih tinggi
dibanding bayi dengan ibu mengonsumsi asam folat (OR=4,36) (Kelly,
ODowd, dan Reulbach, 2012).

2.6.8 Penggunaan Obat-obatan selama Masa Kehamilan


Penggunaan obat-obatan selama masa kehamilan dianggap
berhubungan dengan risiko cleft lip/palate. Obat-obatan yang dianggap
memiliki hubungan signifikan adalah bronkodilator, antikonvulsan
(lamotrigin, fenitoin, karbamazepin, tietilperazin), oksitetrasiklin, dan
antineoplasma (Kawalec, 2015). Obat eeperti aminopterin juga dapat
menyebabkan cleft palate dan trimetadion dapat menyebabkan cleft
lip/palate. (Sadler, 2004)

2.6.9 Faktor Pekerjaan dan Emosional


Faktor okupasional, baik terkait pekerjaan maupun tak terkait
pekerjaan. Perempuan yang bekerja sebagai penata rambut, petani, dan
manufaktur sepatu atau kulit memiliki risiko lebih tinggi memiliki anak
dengan cleft lip/palate. Paparan lingkungan pekerjaan yang dianggap
berbahaya antara lain pestisida, bahan pelarut organik, senyawa timbal,
trikloroetilen, dan obat antineoplasma. Selain itu, paparan radiasi juga
meningkatkan risiko terhadap kejadian cleft lip/palate (Kawalec, 2015).
Stres emosional juga merupakan faktor risiko yang dianggap
berhubungan signifikan dengan peningkatan kejadian cleft lip/palate. Ibu
hamil yang mengalami kejadian kematian keluarga mendadak memiliki
resiko tinggi memiliki anak dengan cleft lip/palate (Ingstrup, dkk, 2013).
21

Suatu studi pada tahun 2015 meneliti tentang kemungkinan


faktor risiko orangtua yang berpengaruh pada populasi di Asia Tenggara,
yaitu Vietnam dan Filipina. Faktor risiko yang dianggap signifikan
adalah riwayat keluarga dengan cleft lip/palate baik ibu (OR=4,7), ayah
(OR=10,5), dan orangtua (OR=5,3); usia ibu yang lebih tua (OR 5 tahun
lebih tua = 1,2); hipertensi pragestasional (OR=2,6); dan kejang selama
masa kehamilan (OR=2,9). Tingkat pendidikan orangtua yang rendah dan
riwayat merokok ayah dihubungkan dengan peningkatan risiko. Beberapa
faktor lingkungan seperti tempat tinggal di pedesaan, tempat memasak
dengan kayu di dalam rumah, bahan kimia, dan sumber air dianggap
berhubungan dengan peningkatan risiko dalam model yang telah
disesuaikan (Figueiredo, dkk, 2015).

2.7 Dampak
Kondisi cleft lip/palate memiliki pengaruh besar terhadap
kualitas hidup anak dan juga orangtua dalam berbagai aspek. Morbiditas
cleft lip/palate antara lain dikarenakan kondisi ini akan mengganggu
struktur wajah, menghambat proses belajar bicara dan bahasa, dan
memerlukan penanganan bertahun dan memakan biaya relatif banyak
untuk mencapai kondisi yang serupa dengan anak tanpa cleft lip/palate.
Cleft lip/palate dapat menghambat proses bayi menyusui
(laktasi). Cleft lip dapat menyebabkan gangguan membentuk mulut hisap
yang rapat saat bayi menghisap, sementara cleft palate mencegah bayi
membentuk tekanan negatif yang diperlukan untuk menghisap,
membatasi penggunaan normal lidah untuk mendorong putting, dan dapat
mengganggu pernapasan saat makan. Permasalahan menyusui dapat
menyebabkan dampak negative yang akan menghambat pertumbuhan
normal penderita cleft lip/palate(Supit dan Prasetyono, 2008).
Dalam aspek perkembangan fungsi kortikal, anak dengan
cleftditemukan memiliki skor yang lebih rendah dalam tes kognisi,
komprehensi, dan bahasa ekspresif, serta perkembangan fungsi motorik
halus dan kasar yang lebih buruk dibandingkan dengan anak yang
normal. Keberadaan lipatan velofaringeal juga menyebabkan suara
hidung saat berbicara (Supit dan Prasetyono, 2008).
Pasien dengan cleft palate menunjukkan insidensi kesulitan
pendengaran yang tinggi. Penjelasan akan hal ini adalah mayoritas
individu dengan cleft palate memiliki ventilasi tuba Eustachius yang
tidak adekuat. Kondisi ini dapat menyebabkan retraksi membran timpani
dan risiko otitis media efusif yang tinggi. Frekuensi otitis media efusif
22

yang tinggi akan berpengaruh pada kapasitas pendengaran dan pada


gilirannya menyebabkan gangguan perkembangan bicara dan bahasa
(Supit dan Prasetyono, 2008).
Secara psikososial, anak dengan cleft lip/palate sangat mungkin
memiliki permasalahan bergaul dengan anak sebaya. Perilaku anak-anak
tersebut cenderung menutup diri dan pemalu (Supit dan Prasetyono,
2008).
Walaupun penatalaksanaan aspek kosmetik dan fungsional cleft
lip/palate sudah memungkinkan, upaya tersebut merupakan upaya
multidisiplin yang mahal, berjangka waktu lama, dan cukup sulit. Hal ini
terutama berlaku pada penatalaksanaan bidang bedah plastik, ortodontik,
dan terapi wicara (Agbenorku, 2013). Estimasi beban ekonomi
tatalaksana anak dengan cleft lip/palate di Indonesia adalah 1,7 juta
rupiah, meskipun demikian angka tersebut hanya mencakup biaya
perbaikan secara bedah. Sementara di Amerika Serikat beban ini
diperkirakan mencapai USD 101.000 dengan memperhitungkan semua
biaya perawatan termasuk perawatan ortodontik (Supit dan Prasetyono,
2008).
Cleft lip/palate merupakan beban ekonomi bagi keluarga pasien.
Anak dibawah sepuluh tahun dengan cleft lip/palate diperkirakan
membutuhkan biaya delapan kali lebih besar dibanding anak seumuran
tanpa cleft lip/palate (Agbenorku, 2013).

2.8 Tanda dan gejala

Tanda yang paling jelas adalah adanya celah pada bibir atas atau
langit-langit rongga mulut (Agatha,2011).
1. Bayi dengan cleft lip dapat mengalami kesulitan saat
menghisap ASI karena sulitnya melakukan gerakan menghisap. Kesulitan
ini dapat diatasi dengan penggunaan botol khusus yang
direkomendasikan oleh dokter gigi spesialis gigi anak dan dokter
spesialis anak, tentunya disesuaikan dengan tingkat keparahan kasus.
2. Cleft palate juga dapat menyebabkan kesulitan dalam
berbicara. Besarnya cleft bukan indicator seberapa serius gangguan
dalam berbicara, bahkan cleft yang kecil pun dapat menyebabkan
kesulitan dalam berbicara. Anak dapat memperbaiki kesulitannya dalam
23

berbicara setelah menjalani terapi bicara, walaupun kadang tindakan


operasi tetap diperlukan untuk memperbaiki fungsi langit-langit rongga
mulut. Anak dengan cleft palate seringkali memiliki suara hidung saat
berbicara.
3. Anak dengan cleft kadang memiliki gangguan dalam
pendengaran. Hal ini disebabkan oleh kemungkinan adanya infeksi yang
mengenai tuba Eustachia (saluran yang menghubungkan telinga dengan
rongga mulut). Semua telinga anak normal memproduksi cairan telinga
yang kental dan lengket. Cairan ini dapat menumpuk di belakang
gendang telinga. Adanya cleft dapat meningkatkan kemungkinan
terbentuknya cairan telinga ini, sehingga menyebabkan gangguan atau
bahkan kehilangan pendengaran sementara.
4. Biasanya cleft palate dapat mempengaruhi pertumbuhan
rahang anak dan proses tumbuh kembang dari gigi-geliginya. Susunan
gigi-geligi dapat menjadi berjejal karena kurang berkembangnya rahang.

2.9 Komplikasi

a. Gangguan asupan makanan (Andriani,1997)


Merupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi penderita
labioschisis. Adanya labioschisis memberikan kesulitan pada bayi
untuk melakukan hisapan pada payudara ibu atau dot. Tekanan lembut
pada pipi bayi dengan labioschisis mungkin dapat meningkatkan
kemampuan hisapan oral. Keadaan tambahan yang ditemukan adalah
reflex hisap dan reflek menelan pada bayi dengan cleft palate tidak
sebaik bayi normal, dan bayi dapat menghisap lebih banyak udara pada
saat menyusu. Memegang bayi dengan posisi tegak lurus mungkin
dapat membantu proses menyusu bayi. Menepuk-nepuk punggung bayi
secara berkala juga dapat membantu. Bayi yang hanya menderita
24

labioschisis atau dengan celah kecil pada palatum biasanya dapat


menyusu, namun pada bayi dengan labioplatoschisis biasanya
membutuhkan penggunaan dot khusus. Dot khusus (cairan dalam dot
ini dapat keluar dengan tenaga hisapan kecil) ini dibuat untuk bayi
dengan labio-palatoschisis dan bayi dengan masalah pemberian makan/
asupan makanan tertentu.
b. Gangguan dental
Anak yang lahir dengan labioschisis mungkin mempunyai masalah
tertentu yang berhubungan dengan kehilangan, malformasi, dan
malposisi dari gigi geligi pada area dari celah bibir yang terbentuk.
Gigi tidak akan tumbuh secara normal, dan umumnya diperlukan
perawatan khusus untuk mengatasi hal ini.
c. Infeksi telinga(Andriani,1997)
Anak dengan labio-palatoschisis lebih mudah untuk menderita
infeksi telinga karena terdapatnya abnormalitas perkembangan dari
otot-otot yang mengontrol pembukaan dan penutupan tuba eustachius.
d. Gangguan berbicara
Pada bayi dengan labio-palatoschisis biasanya juga memiliki
abnormalitas pada perkembangan otot-otot yang mengurus palatum
mole. Saat palatum mole tidak dapat menutup ruang/ rongga nasal
pada saat bicara, maka didapatkan suara dengan kualitas nada yang
lebih tinggi (hypernasal quality of 6 speech). Meskipun telah dilakukan
reparasi palatum, kemampuan otot-otot tersebut diatas untuk menutup
ruang atau rongga nasal pada saat bicara mungkin tidak dapat kembali
sepenuhnya normal. Penderita celah palatum memiliki kesulitan bicara,
sebagian karena palatum lunak cenderung pendek dan kurang dapat
bergerak sehingga selama berbicara udara keluar dari hidung. Anak
mungkin mempunyai kesulitan untuk menproduksi suara atau kata "p,
b, d, t, h, k, g, s, sh, dan ch", dan terapi bicara (speech therapy)
biasanya sangat membantu.
e. Gangguan psikologis(Andriani,1997)
25

Bibir sumbing menyebabkan timbulnya rasa kurang percaya diri


pada penderita yang bisa menyebabkan stress dan terbatasnya
hubungan social dengan orang lain.
f. Gangguan pertumbuhan tulang muka

2.10 Penatalaksanaan

Penanganan dari CLP meliputi kerjasama multidisiplin untuk


mendapatkan hasil yang optimal dimulai sejak bayi hingga dewasa. Ini
termasuklah kerjasama dari ahli bedah plastik, spesialis THT,
orthodontist, ahli fisioterapi, speech therapist, ahli psikologis, spesialis
anak maupun pekerja sosial. Penanganan CLP memerlukan rencana
terapi yang lama dan panjang mengikut umur pasien dengan tujuan untuk
memberikan hasil yang optimal. (Hopper RA,dkk,2007)
Dalam penanganan penderita Cleft lip dipedukan kerjasama para
spesialis dalam suatu tim yang akan diatur dalam sebuah protokol Cleft
lip, yaitu:
1. Pasien umur 3 bulan (the over tens)
a.Operasi bibir dan hidung
b.Pencetakan model gigi
c.Evaluasi telinga
d.Pemasangan grommets bila perlu

2. Pasien umur 10 - 12bulan


a.Operasi palatum
b. Evaluasi pendengaran dan telinga

3.Pasien umur 1 - 4 tahun


a.Evaluasi bicara, dimulai3 bulan pasca operasi, follow up
dilakukan oleh speech pathologist.
b.Evaluasi pendengaran dan telinga
26

4.Pasien umur 4 tahun


Kalau bicara tetap jelek dipertimbangkan repalatografy atau
pharyngoplasty.

5.Pasien umur 6 tahun


a.Evaluasi gigi dan rahang, pembuatan model.
b. Melakukan nasoendoskopibagi yang
memerlukan.
c. Evaluasi pendengaran

6.Pasien umur 9-10 tahun


Alveolar bone graft
7.Pasien umur 12 -13 tahun
a.Final touch untuk operasi-operasi yang dulu pemah dilakukan,
bila masih ada kekurangannya.

8.Pasien umur 17 tahun


a. Evaluasi tulang-tulang muka
b. Operasi advancement osteotomy Le Fort I

2.11 Pencegahan

1. Menghindari merokok
Ibu yang merokok mungkin merupakan faktor risiko lingkungan
terbaik yang telah dipelajari untuk terjadinya celah orofacial. Ibu yang
menggunakan tembakau selama kehamilan secara konsisten terkait
dengan peningkatan resiko terjadinya celah-celah orofacial. Mengingat
frekuensi kebiasaan kalangan perempuan di Amerika Serikat, merokok
dapat menjelaskan sebanyak 20% dari celah orofacial yang terjadi pada
populasi negara itu.
27

Lebih dari satu miliar orang merokok di seluruh dunia dan hampir
tiga perempatnya tinggal di negara berkembang, sering kali dengan
adanya dukungan public dan politik tingkat yang relatif rendah untuk
upaya pengendalian tembakau. Banyak laporan telah
mendokumentasikan bahwa tingkat prevalensi merokok pada kalangan
perempuan berusia 15-25 tahun terus meningkat secara global pada
dekade terakhir. Diperkirakan bahwa pada tahun 1995, 12-14 juta
perempuan di seluruh dunia merokok selama kehamilan mereka dan,
ketika merokok secara pasif juga dicatat, 50 juta perempuan hamil, dari
total 130 juta terpapar asap tembakau selama kehamilan mereka
(Malek, 2001).
2. Menghindari alkohol
Peminum alkohol berat selama kehamilan diketahui dapat
mempengaruhi tumbuh kembang embrio, dan langit-langit mulut
sumbing telah dijelaskan memiliki hubungan dengan terjadinya defek
sebanyak 10% kasus pada sindrom alkohol fetal (fetal alcohol
syndrome). Pada tinjauan yang dipresentasikan di Utah Amerika
Serikat pada acara pertemuan konsensus WHO (bulan Mei 2001),
diketahui bahwa interpretasi hubungan antara alkohol dan celah
orofasial dirumitkan oleh bias yang terjadi di masyarakat. Dalam
banyak penelitian tentang merokok, alcohol diketemukan juga sebagai
pendamping, namun tidak ada hasil yang benar-benar disebabkan
murni karena alkohol.
3. Memperbaiki Nutrisi Ibu
Nutrisi yang adekuat dari ibu hamil saat konsepsi dan trimester I
kehamilan sangat penting bagi tumbuh kembang bibir, palatum dan
struktur kraniofasial yang normal dari fetus.
4. Modifikasi Pekerjaan
Dari data-data yang ada dan penelitian skala besar menyerankan
bahwa ada hubungan antara celah orofasial dengan pekerjaan ibu hamil
(pegawai kesehatan, industry reparasi, pegawai agrikulutur).
28

Teratogenesis karena trichloroethylene dan tetrachloroethylene pada


air yang diketahui berhubungan dengan pekerjaan bertani
mengindikasikan adanya peran dari pestisida, hal ini diketahui dari
beberapa penelitian. namun tidak semua. Maka sebaiknya pada wanita
hamil lebih baik mengurangi jenis pekerjaan yang terkait.
Pekerjaan dalam industri cetak, seperti pabrik cat, operator
motor, pemadam kebakaran atau bertani telah diketahui meningkatkan
resiko terjadinya celah orofasial.

PROGNOSIS ????

You might also like