You are on page 1of 3

Alergi obat masuk kedalam penggolongan reaksi simpang obat (adverse drug reaction), yang meliputi

toksisitas,efek samping, idiosinkrasi, intoleransi dan alergi obat. Alergi obat adalah respon abnormal
seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya melalui reaksi imunologi yang dikenal sebagai
reaksi hipersensitivitas yang terjadi selama atau setelah pemakaian obat. Angka kejadian dalam
masyarakat tentu lebih tinggi dan cenderung makin meningkat dengan makin meluasnya pemakaian
obat.
Toksisitas obat adalah efek obat berhubungan dengan kelebihan dosis obat. Efek samping obat
adalah efek obat selain khasiat utama yang timbul karena sifat farmakologi obat atau interaksi
dengan obat lain. Idiosinkrasi adalah reaksi obat yang timbul tidak berhubungan dengan sifat
farmakologi obat, terdapat dengan proporsi bervariasi pada populasi dengan penyebab yang tidak
diketahui. Intoleransi adalah reaksi terhadap obat bukan karena sifat farmakologi,timbul karena
proses non imunologi. Sedangkan alergi obat adalah respon abnormal terhadap obat atau
metabolitnya melalui reaksi imunologi.
Alergi obat adalah respon abnormal seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya melalui
reaksi imunologi yang dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas yang terjadi selama atau setelah
pemakaian obat. Angka kejadian dalam masyarakat tentu lebih tinggi dan cenderung makin
meningkat dengan makin meluasnya pemakaian obat.

Estimasi saat ini menunjukkan angka kejadian alergi obat makin meningkat. Laporan dari seluruh
dunia menunjukkan angka 0,01% sampai 5 % dan sekurang kurangnya 15%-30% penderita yang
dirawat di rumah sakit mengalami reaksi sedikitnya terhadap 1 macam obat dan 6-10% merupakan
alergi obat.

Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda menurut waktu, tempat dan jenis penelitian
yang dilakukan. Pada umumnya laporan tentang obat tersering penyebab alergi adalah golongan
penisilin, sulfa, salisilat, dan pirazolon. Obat lainnya yaitu asam mefenamat, luminal, fenotiazin,
fenergan, dilantin, tridion. Namun demikian yang paling sering dihubungkan dengan alergi adalah
penisilin dan sulfa.

Alergi obat biasaya tidak terjadi pada paparan pertama. Sensitisasi imunologik memerlukan
paparan awal dan tenggang waktu beberapa lama (masa laten) sebelum terjadi reaksi alergi.
Alergenisitas obat tergantung dari berat molekul. Obat dengan berat molekul yang kecil tidak dapat
langsung merangsang system imun bila tidak bergabung dengan bahan lain untuk bersifat sebagai
allergen,disebut sebagaai hapten. Hapten dapat membentuk ikatan kovalen dengan protein jaringan
yang bersifat stabil, dan ikatan ini akan tetap utuh selama diproses didalam makrofag dan
dipresentasikan pada sel limfosit. Sebagian kecil obat mempunyai berat molekul besar misalnya
insulin,antisera,ekstrak organbersifat sangat imunogenik dapat langsung merangsang sistem imun
tubuh. Ada obat dengan berat molekul rendah yang imunogenik tanpa bergabung dengan protein lain.
Mekanismenya belum jelas,tetapi diduga obat ini membentuk polimer rantai panjang. Setelah
paparan awal maka obat akan merangsang pembentukan antibody dan aktifasi sel imun dalam masa
induksi (laten) yang dapat berlangsung 10-20 hari.
Alergi obat dapat terjadi melalui semua 4 mekanisme hipersensitifitas Gell dan Coomb.Bila
antibody spesifik yang terbentuk adalah IgE pada penderita atopi maka yang terjadi adalah reaksi tipe
I. Bila antibody yang terbentuk IgG dan atau IgM,kemudian diikuti aktifasi komplemen maka yang
terjadi adalah reaksi tipe II. Bila terjadi komplek imun maka yang terjadi adalah reaksi tipe III. Bila
timbul respon imun seluler maka yang terjadi adalah reaksi tipe IV. Bisa terjadi alergi obat melalui
keempat mekanisme tersebut terhadap satu obat,namun yang tersering melalui tipe I dan IV.

Gejala Klinik/Symptom
Gejala kilinis alergi obat sangat bervariasi dan tidak spesifik untuk obat tertentu. Satu macam obat
dapat menimbulkan berbagai gejala pada seseorang,dapat berbeda dengan orang lain,dapat berupa
gejala ringan sampai berat. Erupsi kulit merupakan gejala klinis yang paling sering, dapat berupa
gatal, urtika,purpura, dermatitis kontak, eritema multiforme,eritema nodusum, erupsi obat fikstum,
reaksi fotosensifitas, dermatitis eksfoliatif, erupsi vesikobulosa dan sidroma Steven Johnson.
Gejala klinis yang memerlukan pertolongan tepat dan segera adalah reaksi anafilaksis, karena
adanya hipotensi,spasme bronkus,sembab laring,angioudema atau urtikaria generalisata. Demam
dapat merupakan gejala tunggal alergi obat atau bersama gejala lain yang timbul beberapa jam
setelah pemberian obat tetapi biasanya pada hari 7-10 dan menghilang dalam waktu 48 jam setelah
penghentian obat atau beberapa hari kemudian. Demam disebabkan karena pelepasan sitokin.
Beberapa obat dapat sebagai pirogen langsung misalnya amfoterisis B, simetidin, dextran, besi
kalsium dan dimerkaprol. Mekanismenya belum jelas pada anak,epinefrin dapat menimbulkan
demem karena bersifat vasokostriktor, dengan demikian menghambat pengeluaran panas tubuh.
Demikian juga pemberian atrofin serta fenotiasin dapat menimbulkan demam dengan menghambat
pembentukan keringat. Beberapa obatseperti alupurinol, azatioprin, barbiturat, produk darah,
sefalosporin, hidroksiurea, yodida, metildopa, penisilamin, penisilin, fenitoin, prokainamid dan kuinidin
sering menimbulkan demam tanpa disertai gejala alergi lain.

Cara pemeriksaan/Diagnosis
Diagnosis alergi obat sering sulit dibuktikan walaupun dugaan sudah kuat. Dasar diagnosis obat
yang terpenting adalah anamnesis rinci tentang berbagai hal penting. Gejala klinis umumnya tidak
khas, kecuali beberapa bentuk erupsi kulit seperti pruritus generalisata, urtikaria, erupsi fikstum, atau
reaksi anafilaksis yang memenuhi kriteria anamnesis di atas. Beberapa pemeriksaan penunjang
dapat dilakukan untuk kelengkapan diagnosis, berupa uji in vivo dan in vitro terdapat obat atau
metabolitnya. Uji in vivo berupa uji kulit dan uji provokasi. Uji in vitro terbata sebagai sarana penelitian
dan bukan merupakan prosedur rutin.

Kesulitan yang terbesar dalam membuat diagnosis adalah untuk mengetahui apakah benar ada
hubungan antara manifestasi klinis dengan pemberian obat dan apakah gejala klinis tersebut bukan
merupakan bagian dari perjalanan penyakitnya sendiri yang sedang diobati. Diagnosis alergi obat
berdasarkan klinis dan uji laboratoris. Secara klinis yang terpenting adalah anamnesa rinci tentang
berbagai hal penting yaitu bahwa reaksi yang timbul bukan merupakan efek farmakologi
obat,biasanya terjadi beberapa hari setelah pemberian obat (kecuali jika telah terpapar sebelumnya).
Gejala klinis akan menghilang beberapa waktu setelah penggantian obat dan gejala yang sama akan
timbul dengan pemberian ulang obat yang sama atau dengan struktur obat yang sama.

Uji Laboratorium :

1.Uji invivo.
Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat imunogenik yaitu determinan antigen
dari obat atau metabolitnya. Bahan uji kulit harus bersifat non iritatif untuk menghindari positif palsu.
Uji ini manfaatnya sangat terbatas karena baru sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah
diketahui dan tersedia untuk uji kulit. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makro
molekul : insulin, antisera, ekstrak organ, sedang untuk mikromolekul sejauh ini hanya dapat
diidentifikasi alergi terhadap penisilin saja..
Uji provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat,tetapi merupakan prosedur diagnostik
terbatas karena mengandung resiko yang berbahaya yaitu terjadinya anafilaksis sehingga hanya
dianjurkan dilakukan ditempat yang memiliki fasilitas dan tenaga yang memadai. Karena itu maka uji
provokasi merupakan indikasi kontra untuk alergi obat yang berat misalnya anafilaksis, sindroma
Steven Johnson,dermatitis eksfoliatif, kelainan hematology, eritema vesiko bulosa. Uji provokasi
dilakukan setelah eliminasi yang lamanya tergantung dari masa paruh setiap obat.

2.Uji in vitro.
Uji in vitro untuk alergi obat lebih lazim digunakan dalam penelitian. Pemeriksaan yang dilakukan
antara lain IgG dan IgM spesifik,uji aglutinasi dan lisis sel darah merah,RAST, uji pelepasan
histamin,uji sensitisasi jaringan (basofil/lerkosit serta esai sitokin dan reseptor sel), sedangkan
pemeriksaan rutin seperti IgE total dan spesifik,uji Coombs,uji komplemen dan lain-lain bukanlah
untuk konfirmasi alergi obat.
Penatalaksanaan
Dasar utama penatalaksanaan alergi obat adalah penghentian obat yang dicurigai kemudian
mengatasi gejala klinis yang timbul.

Penghentian obat.
Kalau mungkin semua obat dihentikan dulu,kecuali obat yang memang perlu dan tidak dicurigai
sebagai penyebab reaksi alergi atau menggantikan dengan obat lain. Bila obat tersebut dianggap
sangat penting dan tak dapat digantikan ,dapat terus diberikan atas persetujuan keluarga,dan dengan
cara desensitisasi.

Pengobatan.
Manifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan khusus.Untuk pruritus,urtikaria
atau edema angionerotik dapat diberikan antihistamin misalnya, diphenhidramin, loratadin atau
cetirizine dan kalau kelainan cukup luas diberikan pula adrenalin.
Bila gejala klinis sangat berat misalnya dermatitois eksfoliatif, nekrosis epidermal toksik,sindroma
Steven Johnson, vaskulitis, kelainan paru,kelainan hematology harus diberikan kortikosteroid serta
pengobatan suportif dengan menjaga kebutuhan cairan dan elektrolit, tranfusi, antibiotik
profilaksis,dan perawatan kulit sebagaimana pada luka bakar untuk kelainan-kelainan dermatitis
eksfoliatif, nekrosis epidermal toksik dan Sindroma Steven Johnson.
Perawatan lokal segera dilakukan untuk mencegah perlekatan, parut atau kontraktur. Reaksi
anafilaksis harus mendapat penatalaksanaan adekwat secepatnya. Kortikosteroid topical diberikan
untuk erupsi kulit dengan dasar reaksi tipe IV dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang telah
ditentukan.
Pemilihan sediaan dan macam obat tergantung luasnya lesi dan tempat.Prinsip umum adalah :
dimulai dengan kortikosteroid potensi rendah. Krim mempunyai kelebihan lebih mudah dioles,baik
untuk lesi basah tetapi kurang melindungi kehilangan kelembaban kulit. Ointment lebih melindungi
kehilangan kelembaban kulit,tetapi sering menyebabkan gatal dan folikulitis. Sediaan semprotan
digunakan pada daerah kepala dan daerah berambut lain. Pada umumnya steroid topikal diberikan
setelah mandi,tidak diberikan lebih dari 2 kali sehari. Tidak boleh memakai potensi medium sampai
tinggi untuk daerah kulit yang tipis misalnya muka, leher,ketiak dan selakangan..

Dengan penatalaksanaan yang baik, prognosis alergi obat adalah baik bahkan untuk alergi obat
yang berat sekalipun. Dapat terjadi perlekatan kulit,kontraktur,simblefaron,kebutaan bila tindakan
tidak tepat dan terlambat dilakukan. Angka kematian dilaporkan 1 dari 10.000 kejadian, pada
sindroma Steven Johnson kematian sebesar 5-15%.

Daftar Pustaka:
Boguniewicz M. Adverse reaction to drugs. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds):
Textbook of Pediatrics. 17th Ed Philadelphia, WB Saunders 2004.pp.783-785.

You might also like