Professional Documents
Culture Documents
Pembimbing :
Disusun oleh :
Dominicus Dimitri
Identitas Pasien
Nama : Ny. FD
Usia : 37 tahun
Pendidikan : Tidak sekolah
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Dusun Nuaria
Tanggal Masuk : 28 Juli 2017
Keluhan utama
Pasien rujukan PKM Wolofeo dengan kehamilan lewat waktu
Riwayat haid
Menarche : 13 tahun
Siklus : 29 hari
Lama haid : 3 hari
Dismenore : tidak ada
Riwayat Kehamilan
Berat
Usia Jenis Usia
Tahun Penolong Jenis Kelamin Badan Keterangan
Kehamilan Persalinan Sekarang
Lahir
Spontan per
2007 Aterm vaginam PKM Paga Laki-laki 2600 g 10 Tahun Hidup
(hamil ini)
Riwayat Kontrasepsi
Pernah memakai kontrasepsi, kontrasepsi terakhir pil KB pada tahun 2016
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : tampak sakit berat
Kesadaran : compos mentis
TTV
TD = 130/90mmHg
HR = 88 x/menit
RR = 20 x/menit
Suhu = 36,7C
BB = 56 kg
TB = 151 cm
Pemeriksaan Obstetri
Inspeksi : cembung dari atas kebawah
Palpasi : Leopold I : TFU = 27 cm, teraba bokong
Leopold II : Kanan: ekstermitas Kiri: punggung
Leopold III : teraba kepala
Leopold IV : Hodge 1
His : -
Auskultasi : DJJ = 148x/menit
Pemeriksaan dalam : Vulva dan vagina dalam batas normal, porsio kenyal, posisi searah
sumbu jalan lahir, station -3, pembukaan 1cm, selaput ketuban intak. Pendataran 50%.
Skor Pelvic: 4
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah
Hemoglobin : 12.1 g/dL
Hematokrit : 39.7 %
Leukosit : 10.320/uL
Trombosit : 153.000 /uL
Clotting time : 7 menit
Bleeding time : 1menit 30 detik
Pemeriksaan CTG
Assesment
G2P1001Ab0 gravid 42 minggu tunggal hidup dengan kehamilan lewat waktu
Planning
Terapi medikamentosa
Induksi ripening dengan Misoprostol 25mcg per vaginam / 6 jam sampai pelvic
skor>6, dilanjutkan dengan oxytocin drip.
Pro ekspektatif per vaginam
Pemantauan
29 Juni 2017
02.15 S: pasien ingin mengejan.
O: VT: bukaan lengkap
02.18 Partus spontan per vaginam dengan bantuan induksi misoprostol. Bayi
perempuan lahir dengan berat badan 2800gr dan panjang badan 49cm
dengan nilai Apgar 3/4, dilakukan VTP lalu bayi nafas spontan,
kemudian bayi dibawa ke NICU.
Ibu diberikan suntikan oxytocin IM sebanyak 10 U. Plasenta lahir
lengkap. Tampak ruptur perineum. Tampak perdarahan per vaginam
02.25 Dilakukan eksplorasi uterus manual. TD: 100/70 mmHg, Nadi: 112 x/m.
Dilakukan resusitasi cairan dengan RL + oxytocin 20U.
02.35 Perdarahan masih berlangsung. TD: 100/70 mmHg, Nadi: 120 x/m.
Uterus teraba lembek
02.40 Pemasangan IV line pada tangan kanan. Resusitasi cairan dengan
Widahes.
Dilakukan pemasangan O2. Dilakukan kompresi bimanual interna.
Misoprostol 400 per rectal.
03.00 Kompresi bimanual interna dilanjutkan, uterus teraba lembek.
03.30 Infus oxytocin habis. Diberikan RL + 40U oxytocin.
03.45 S: pasien pusing dan pandangan gelap
O: TD: 70/Palpasi, N: 140 x/m lemah. RR: 32 x/m
Abdomen: kontraksi uterus lembek.
Extermitas: akral dingin
A: P2002Ab0 Post partum spontan per vaginam H-0
-Perdarahan Post Partum ec. Atonia uteri
-Syok hipovolemik
-Anemia ec. Blood loss
P:
Dilakukan hecting perineum.
Dilakukan pungsi vena untuk cross match dan persiapan darah.
Dilakukan persiapan untuk histerektomi
Hasil darah rutin:
Hb: 6.1 mg/dL
Leukosit: 24170/mcL
Trombosit: 78000 /mcL
04.00 Dilakukan KIE kepada ayah kandung pasien untuk dilakukan tindakan
operasi dan keluarga setuju.
Dilakukan persiapan operasi: cukur rambut kemaluan, ganti baju, pasang
DC, dan skin test Cefotaxim.
04.25 Hasil skin test (-), lalu diberikan Cefotaxim 2 gram secara IV.
04. 30 Pasien dipindahkan ke ruang operasi.
Laporan Operasi:
1. Rawat ICU
2. O2 4lpm via nasal canule
3. Pasang NGT
4. Infus tangan kanan: RL 500cc + oxytocin 20U, 28tpm.
5. Infus tangan kiri: persiapan transfusi PRC
6. Puasa hingga flatus atau BU (+)
7. Cefotaxim 3x1g IV
8. Ranitidine 2x50mg IV
9. Ketorolac 3x30mg IV
10. Asam tranexamat 3x1g IV
11. Transfusi PRC 2 bag per hari, target Hb: 10mg/dL
12. Morfin 0,5mg/jam dengan syringe pump
13. Target balance +325ml
14. Target UO 1cc/kgBB/jam
30 Juli 2017
S: nyeri luka operasi
O: TD: 130/60 mmHg, N: 70x/m, R: 18 x/m, SaO2: 99%
KA +/+, SI -/-
Cor dan pulmo dalam batas normal
Abdomen: BU (+) drain (+)
Hb: 9.3 mg/dL, L: 18190/mcL, T: 47000/mcL, Alb: 4.1 g/dL
A: Post SVH a/i HPP e.c atonia uteri H-0; Post partum spontan per vaginam H-
0; Anemia; Hipoalbuminemia; Post syok hipovolemik
P:
1. RL 2000cc/24 jam
2. Transfusi albumin 20% 1kolf
3. Transfusi PRC 4 bag
4. Cefotaxim 3x1g IV
5. Ranitidine 2x50mg IV
6. Ketorolac 3x30mg IV
7. Asam tranexamat 3x1gr IV
31 Juli 2017
S: nyeri luka operasi berkurang, tidak nyaman dengan NGT.
O: TD: 100/60 mmHg, N: 87 x/m, R: 14 x/m, S: 36.5oC
KA +/+ SI -/-
Pulmo dan cor dalam batas normal.
Abdomen: Drain 220cc
Balance: +577cc
Hb: 8.2 mg/dL, L: 12730/mcL, T: 48000/mcL
A: Post SVH a/i HPP e.c atonia uteri H-1; Post partum spontan per vaginam H-
1; Anemia; Hipoalbuminemia; Post syok hipovolemik
P:
1. RL 2000cc/24 jam
2. Transfusi albumin 20% 1kolf
3. Transfusi PRC 4 bag
4. Cefotaxim 3x1g IV
5. Ranitidine 2x50mg IV
6. Ketorolac 3x30mg IV
7. Asam tranexamat 4x1gr IV
8. Tramadol 50mg per 8 jam
9. Omeprazole 40mg per 12 jam
1 Agustus 2017
S: Demam, nyeri perut.
O: TD: 150/90 mmHg, N: 98 x/m, R: 18 x/m, S: 38.5oC
KA +/+ SI -/-
Pulmo dan cor dalam batas normal.
Abdomen: Drain 200cc
Urine: 1100cc/24 jam
A: Post SVH a/i HPP e.c atonia uteri H-2; Post partum spontan per vaginam H-
2; Anemia; Hipoalbuminemia; Post syok hipovolemik
P:
1. RL 2000cc/24 jam
2. Transfusi albumin 20% 1kolf
3. Transfusi PRC
4. Cefotaxim 3x1g IV
5. Ranitidine 2x50mg IV
6. Ketorolac 3x30mg IV
7. Paracetamol 3x500mg IV
8. Asam tranexamat 4x1gr IV
9. Tramadol 50mg per 8 jam
10. Omeprazole 40mg per 12 jam
2 Agustus 2017
S: nyeri luka operasi.
O: TD: 140/90 mmHg, N: 87 x/m, R: 14 x/m, S: 36.5oC
KA +/+ SI -/-
Pulmo dan cor dalam batas normal.
Abdomen: Drain 400cc darah +serous
A: Post SVH a/i HPP e.c atonia uteri H-3; Post partum spontan per vaginam H-
3; Anemia; Hipoalbuminemia; Post syok hipovolemik
P:
1. RL 2000cc/24 jam
2. Transfusi albumin 20% 1kolf
3. Transfusi PRC 1 bag
4. Cefotaxim 3x1g IV
5. Ranitidine 2x50mg IV
6. Ketorolac 3x30mg IV
7. Asam tranexamat 4x1gr IV
8. Tramadol stop
9. Omeprazole stop
3 Agustus 2017
S: nyeri luka operasi berkurang.
O: TD: 120/80 mmHg, N: 86 x/m, R: 18 x/m, S: 36.5oC
KA -/- SI -/-
Pulmo: suara nafas pada lapang bawah paru berkurang.
Abdomen: Drain minimal serous
Hb: 9.3 mg/dL, L: 7930/mcL, T: 78000/mcL, Alb: 2.76 g/dL
UL: Eri: 4-6/lpb, Leu: 6-8/lpb, bakteri +2
Ur: 54 mg/dL, Cr: 1.75mg/dL, SGOT: 30 U/L, SGPT: 22 U/L
A: Post SVH a/i HPP e.c atonia uteri H-4; Post partum spontan per vaginam H-
4; Anemia; Hipoalbuminemia; Post syok hipovolemik
P:
1. RL 2000cc/24 jam
2. Transfusi albumin 20% 1kolf
3. Transfusi PRC stop
4. Cefotaxim 3x1g IV
5. Ranitidine 2x50mg IV
6. Ketorolac 3x30mg IV
7. Asam tranexamat 4x1gr IV
4 Agustus 2017
S: sesak berkurang, nyeri pinggang
O: TD 140/80, N: 86x/m, R:24 x/m
KA -/- SI -/-
Pulmo: suara nafas paru bagian bawah menurun, perkusi redup.
Cor: BJ 1 dan 2 reguler, murmur (-)
Abdomen: Supel, BU (+), NT (-)
Alb: 3,83 g/dL
A: Post SVH a/i HPP e.c atonia uteri H-5; Post partum spontan per vaginam H-
5; Anemia; Hipoalbuminemia; Post syok hipovolemik
P:
1. RL 1000cc/24 jam
2. Transfusi albumin stop
3. Cefotaxim 3x1g IV
4. Ranitidine 2x50mg IV
5. Ketorolac 3x30mg IV
6. Asam tranexamat 4x1gr IV
5 Agustus 2017
S: sesak berkurang, nyeri pinggang berkurang
O: TD 130/80, N: 88x/m, R:24 x/m
KA -/- SI -/-
Pulmo: suara nafas paru bagian bawah menurun, perkusi redup.
Cor: BJ 1 dan 2 reguler, murmur (-)
Abdomen: Supel, BU (+), NT (-)
A: Post SVH a/i HPP e.c atonia uteri H-6; Post partum spontan per vaginam H-
6; Anemia; Hipoalbuminemia; Post syok hipovolemik
P:
1. RL 1000cc/24 jam
2. Cefotaxim 3x1g IV
3. Ranitidine 2x50mg IV
4. Ketorolac 3x30mg IV
5. Asam tranexamat Stop
6 Agustus 2017
S: sesak (-), nyeri pinggang minimal
O: TD 140/80, N: 86x/m, R:24 x/m
KA -/- SI -/-
Pulmo: VES +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Cor: BJ 1 dan 2 reguler, murmur (-)
Abdomen: Supel, BU (+), NT (-)
A: Post SVH a/i HPP e.c atonia uteri H-7; Post partum spontan per vaginam H-
7; Anemia; Hipoalbuminemia; Post syok hipovolemik
P:
1. Aff infus
2. BPL
3. Cefixime 2x500mg
4. Ranitidine 2x150mg PO
5. As. Mefenamat 3x500mg PO
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Perdarahan Postpartum
Perdarahan postpartum atau perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan 500cc atau
lebih dari jalan lahir pada persalinan spontan pervaginaam setelah kala III selesai (setelah plasenta
lahir) atau 1000cc pada persalinan sectio caesarea atau yang berpotensi mengganggu
hemodinamik ibu. Perdarahan postpartum merupakan perdarahan masif yang berasal dari tempat
implantasi plasenta, robekan jalan lahir, dan jaringan sekitarnya dan merupakan salah satu
penyebab kematian ibu. Perdarahan postpartum bukan diagnosis dan harus dicari penyebabnya,
seperti atonia uteri, trauma pada jalan lahir, sisa plasenta, atau gangguan pembekuan darah.
Keadaan postpartum dikatakan aman jika kesadaran, tanda-tanda vital, kontraksi uterus baik dan
tidak ada perdarahan. (1,2,3,4)
Sebenarnya, pengukuran perdarahan sukar untuk dilakukan secara tepat. Selain itu, juga
tidak diperlukan untuk mengukur perdarahan sampai sebanyak itu, karena penghentian pendarahan
lebih penting dilakukan untuk mendapatkan prognosis yang lebih baik. Pada umumnya, jika
terdapat perdarahan yang lebih dari normal, terlebih lagi jika menyebabkan adanya perubahan
tanda-tanda vital, seperti penurunan kesadaran, pucat, limbung, berkeringat dingin, sesak nafas,
hipotensi dan takikardia, maka penanganan harus segera dilakukan. Sifat perdarahan postpartum
dapat banyak, bergumpal-gumpal sampai menyebabkan syok atau terus merembes sedikit demi
sedikit tanpa henti. (1)
13
17% disebabkan oleh retensio plasenta, 23-24% disebabkan oleh sisa plasenta, 4-5% disebabkan
oleh laserasi jalan lahir, dan 0,5-0,8% disebabkan oleh gangguan pembekuan darah.
Perdarahan postpartum berhubungan dengan peningkatan angka kematian di Negara
berkembang. Di negara kurang berkembang, penyebab utama dari kematian maternal adalah
kurangnya tenaga kesehatan yang memadai, kurangnya layanan transfusi, dan kurangnya layanan
operasi. Selain itu, mayoritas persalinan tidak terjadi di rumah sakit sehingga jika terjadi
perdarahan, ibu akan terlambat mendapatkan pertolongan. Keadaan ibu saat tiba di rumah sakit
umumnya sudah memburuk dan akhirnya berujung pada kematian. Kematian ibu 45% terjadi pada
24 jam pertama setelah bayi lahir, 68-73% dalam satu minggu setelah bayi lahir, dan 82-88%
dalam dua minggu setelah bayi lahir. (7)
14
Figure 1. Patofisiologi Gangguan Pembekuan Darah
15
atau tanpa produk-produk konsepsi yang tertinggal, involusi rahim yang lambat atau tidak
adekuatnya drainase lokia yang dapat menyebabkan perdarahan segar di kemudian hari. Penyebab
yang paling sering adalah sisa plasenta. Gejala dari perdarahan postpartum sekunder adalah
perdarahan terus dan berulang, fundus uteri yang masih teraba lebih besar dari yang diperkirakan.
Dari pemeriksaan dalam dapat ditemukan uterus membesar dan lunak, serta keluar darah dari
ostium uteri. Kondisi ini dapat berbahaya dan perdarahan kadang-kadang terus berlanjut setelah
evakuasi rahim dan dibutuhkan tampon dalam rahim bahkan histerektomi. Perdarahan dikatakan
masif jika darah yang hilang >1000, 1500, atau 2000cc. (3,10)
16
akan sebaik sebelumnya dan pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya atonia uteri. Persalinan
yang lama dapat menyebabkan inersia uteri, dimana rahim tidak lagi berkontraksi. Plasenta previa,
keadaan dimana plasenta terletak pada segmen bawah rahim, dapat menyebabkan segmen bawah
rahim tidak dapat berkontraksi dengan cukup baik untuk menghentikan pendarahan. Pada abrupsio
plasenta atau uterus couvelaire, uterus tidak dapat berkontraksi dengan baik, juga terjadi koagulasi
dan terbentuk produk-produk degradasi fibrin yang menghambat kontraksi rahim. Jika fundus uteri
masih setinggi pusat atau lebih, kontraksi tidak bagus, ada perdarahan yang banyak, maka harus
dicurigai terjadinya atonia uteri. Dalam penghitungan penggantian darah, harus dipikirkan adanya
500-1000cc darah yang terperangkap di dalam rahim. Pada keadaan tertentu, atonia uteri dapat
menyebabkan terjadinya inversio uteri. (3,10)
Inversio uteri adalah keadaan dimana endometrium turun dan keluar ke ostium uteri
eksternum, baik komplit maupun inkomplit. Inversio uteri disebabkan oleh kesalahan dalam
memimpin kala III, seperti menekan fundus uteri terlalu kuat atau menarik tali pusat pada plasenta
yang belum terlepas dari insersinya. Faktor penyebabnya adalah atonia uteri, serviks terbuka lebar,
tekanan pada fundus uteri dari atas (maneuver Crede), dan tekanan intraabdomen yang keras
(batuk). Tanda-tanda yang muncul pada inversio uteri adalah syok karena kesakitan, perdarahan
yang bergumpal, pada vulva tampak endometrium yang terbalik dengan atau tanpa plasenta, serta
iskemia uterus, nekrosis dan infeksi jika jepitan pada serviks berlangsung lama. Inversio uteri
terjadi dengan cepat disertai perdarahan dan syok. Syok seringkali tidak sesuai dengan banyaknya
darah yang hilang. Berdasarkan jenisnya, inversio uteri dibagi menjadi komplit, inkomplit, akut
dan kronis. Pada inversio uteri komplit, seluruh uterus keluar dari serviks, sedangkan pada inversio
uteri inkomplit, fundus uteri tidak sampai keluar dari serviks. Inversio uteri akut adalah inversio
uteri yang paling sering dihadapi. (2)
Trauma jalan lahir dapat terjadi karena episiotomi yang melebar, robekan spontan pada
perineum, vagina, dan serviks, serta ruptur uteri, trauma karena forceps atau ekstraksi vakum, dan
memimpin persalinan sebelum pembukaan lengkap. Faktor risiko untuk trauma jalan lahir adalah
persalinan pervaginam operatif, malpresentasi, makrosomia, episiotomi, persalinan terlalu cepat,
(8)
penggunaan cervical cerclage, insisi Duhrssen, dan distosia bahu. Jika setelah persalinan,
kontraksi rahim baik namun masih ada perdarahan, perlu dicurigai adanya trauma pada jalan lahir
atau adanya sisa plasenta yang tertinggal. Ciri perdarahan pada trauma jalan lahir adalah darah
yang keluar berwarna merah segar dan bersifat pulsatif sesuai dengan denyut nadi. (3) Berdasarkan
17
parahnya robekan perineum, terdapat 4 derajat robekan perineum. Derajat 1 adalah robekan pada
mukosa vagina dengan atau tanpa robekan perineum. Derajat 2 adalah robekan pada mukosa
vagina, otot perineum transversal, tetapi tidak meliputi sfingter ani. Derajat 3 adalah robekan yang
mengenai seluruh perineum dan sfingter ani. Derajat 4 adalah robekan sampai ke mukosa rektum.
Retensio plasenta adalah keadaan plasenta masih belum bisa dilahirkan setelah setengah
jam bayi lahir. Waktu rata-rata dari kelahiran janin sampai ekspulsi plasenta adalah 8-9 menit,
apabila melebihi 10 menit maka risiko kemungkinan terjadinya perdarahan postpartum menjadi
dua kali lipat. (11) Hal ini dikarenakan adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. Ada beberapa
jenis perlekatan plasenta, yaitu plasenta akreta, plasenta inkreta, dan plasenta perkreta. Plasenta
akreta adalah keadaan dimana implantasi plasenta hingga desidua basalis (menempel pada
permukaan miometrium). Plasenta inkreta adalah keadaan dimana implantasi plasenta menembus
miometrium (masuk ke dalam miometrium). Plasenta perkreta adalah bila vili korialis sampai
melewati miometrium hingga lapisan perimetrium (menembus sampai serosa). (11) Plasenta akreta
atau kelainan insersio plasenta merupakan penyebab 35-38% dilakukannya histerektomi
(12)
peripartum. Faktor risikonya adalah plasenta previa, bekas sectio caesarea, riwayat kuret
berulang, dan multiparitas, dan kehamilan usia lanjut (usia ibu diatas 35 tahun). (4,11) Jika plasenta
belum terlepas sama sekali, maka tidak akan ada perdarahan. Jika sebagian sudah terlepas maka
akan timbul perdarahan. Jika plasenta sudah keluar, namun masih ada bagian (kotiledon atau
selaput ketuban) yang tertinggal, juga akan menimbulkan perdarahan. Pada pasien dengan
kontraksi rahim yang baik dan luka jalan lahir sudah dijahit namun masih terjadi perdarahan, perlu
dicurigai adanya adanya retensio atau sisa plasenta.
Gangguan pembekuan darah tidak selalu mengakibatkan perdarahan yang pasif, umumnya
menyebabkan perdarahan postpartum tipe lambat atau merupakan eksaserbasi perdarahan dan
umumnya bersifat persisten. Gangguan pembekuan darah adalah kondisi dimana terjadi
(8,11,13)
ketidakseimbangan antara faktor pembekuan darah dan sistem fibrinolisis. Gangguan
pembekuan darah dapat disebabkan oleh trombofilia, sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver
enzyme levels, low platelet levels), ITP (idiopathic thrombocytopenic purpura), vWD (von
Willebrands disease), koagulasi intravascular disseminata, preeklampsia, solusio plasenta,
(11)
kematian janin dalam kandungan, dan emboli air ketuban. Gangguan ini dapat terjadi
sebelumnya karena herediter (relatif lebih jarang) atau didapat (acquired). (8) Penyebab gangguan
pembekuan darah didapat yang paling umum adalah koagulasi intravascular disseminate dengan
18
faktor risiko abruptio plasenta, perdarahan antepartum atau postpartum yang masif, sepsis,
preeklampsia berat, emboli air ketuban, dan nekrosis jaringan (intrauterine fetal death (IUFD) atau
trauma). (8,11) Trombositopenia dapat disebabkan oleh ITP atau sindrom HELLP, abruptio plasenta,
DIC, atau sepsis. Hal tersebut diatas dapat terjadi bersamaan meskipun tidak didiagnosis
sebelumnya.
19
2.7 Faktor Risiko Perdarahan Postpartum
Faktor risiko untuk perdarahan postpartum dapat dibagi menjadi 3, yaitu faktor risiko
prenatal, saat persalinan pervaginam, dan setelah sectio caesarea. Faktor risiko prenatal adalah
perdarahan sebelum persalinan, solusio plasenta, plasenta previa, kehamilan ganda, preeklampsia,
chorioamnionitis, hidramnion, kematian janin dalam kandungan, anemia (dengan Hb <5,8),
multiparitas, mioma dalam kehamilan, gangguan faktor pembekuan darah, riwayat perdarahan
sebelumnya, dan obesitas. Faktor risiko saat persalinan pervaginam adalah kala III yang
memanjang, episiotomi, distosia, laserasi jaringan lunak, induksi atau augmentasi persalinan
dengan oksitosin, persalinan dengan bantuan alat (forceps atau vakum), sisa plasenta, dan bayi
besar (lebih dari 4000gram). Faktor risiko perdarahan setelah sectio caesarea adalah insisi uterus
klasik, amnionitis, preeklampsia, persalinan abnormal, anestesia umum, partus preterm, dan partus
postterm. Volume darah ibu yang minimal, terutama pada ibu berat badan kurang, preeklamsia
berat/eklamsia, sepsis, atau gagal ginjal juga merupakan faktor risiko dari perdarahan postpartum.
20
2.8.3 Pemeriksaan Penunjang
Onset perdarahan postpartum biasanya sangat cepat, dengan diagnosis dan penanganan
yang tepat, resolusi biasa terjadi sebelum pemeriksaan laboratorium atau radiologis dapat
dilakukan.
Pemeriksaan laboratorium yang paling penting adalah untuk menilai kadar hemoglobin
darah. Tetap dilakukan pemeriksaan darah rutin, namun yang menjadi poin penting adalah Hb,
terutama jika Hb kurang dari 8 gr/dL. Selain itu, juga diperlukan pemeriksaan golongan darah
untuk keperluan transfusi darah jika nantinya diperlukan. Pemeriksaan waktu perdarahan dan
waktu pembekuan darah juga diperlukan untuk menyingkirkan adanya penyebab gangguan
pembekuan darah. Apabila ditemukan abnormalitas pada waktu perdarahan dan pembekuan maka
perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut seperti PT dan APTT.
Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan radiologi, yaitu USG. Pemeriksaan
USG dapat membantu untuk melihat adanya gumpalan darah dan retensi sisa plasenta. USG pada
periode antenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi pasien dengan risiko tinggi yang memiliki
faktor predisposisi terjadinya perdarahan postpartum, seperti plasenta previa. Pemeriksaan USG
dapat pula meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas dalam diagnosis plasenta akreta dan
variannya. (14,15)
21
2.9 Komplikasi Perdarahan Postpartum
Perdarahan postpartum dapat menyebabkan beberapa komplikasi, diantaranya:
22
puting tidak memberikan hasil yang diharapkan, dapat dibantu dengan pemberian uterotonika.
Oksitosin 10 unit yang diberikan secara intravena atau intramuskular adalah uterotonik yang
direkomendasikan oleh WHO dan FIGO karena efek yang sangat cepat, efek samping yang
(16,17)
minimal, dan dapat digunakan oleh semua wanita. Ergometrin 0,2 mg intramuskular,
kombinasi oksitosin-ergometrin (5 unit oksitosin dan 0,5mg ergometrin intramuskular), atau
misoprostol (600 mikro gram peroral) adalah agen uterotonik alternatif apabila oksitosin tidak
tersedia. (16)
Peregangan tali pusat terkendali direkomendasikan untuk dilakukan hanya bila terdapat
tenaga kesehatan yang berkompeten melakukannya. Jika dilakukan oleh tenaga yang berkompeten
dan memberikan sedikit keuntungan berupa penurunan perdarahan dengan rata-rata 11ml dan
(16)
mempercepat kala III persalinan dengan waktu rata-rata 6 menit. Peregangan tali pusat
terkendala hanya dilakukan pada saat ada kontraksi. Peregangan tali pusat terkendali ini diawali
dengan cara meletakkan satu tangan di korpus uteri, tepat diatas simfisis pubis. Selama kontraksi,
lakukan gerakan mendorong ke arah dorsokranial ibu untuk mencegah inversi uteri. (17) Tangan
yang lain memegang tali pusat 5-6 cm di depan vulva. Jaga tahanan ringan pada tali pusat dan
tunggu ada kontraksi kuat (2-3 menit). Selama kontraksi lakukan tarikan terkendali pada tali pusat
yang terus menerus dalam tegangan yang sama dengan tangan ke uterus. Jika sedang tidak
kontraksi, jangan lakukan tarikan namun tangan tetap di uterus. Ulangi setiap ada kontraksi sampai
plasenta terlepas. Begitu plasenta lepas, keluarkan dengan gerakan tangan mendekati plasenta.
Keluarkan dengan gerakan ke atas dan ke bawah sesuai dengan jalan lahir. Kedua tangan
memegang plasenta dan secara perlahan memutar plasenta searah jarum jam, keluarkan selaput
ketuban. Setelah plasenta dan selaput ketuban keluar, massase uterus agar berkontraksi. Bila
plasenta belum lahir dalam waktu 15 menit, berikan oksitosin 10 unit secara intramuskular.
23
Figure 2. Peregangan Tali Pusat Terkendali
Jika peregangan tali pusat terkendali plasenta belum berhasil dan masih ada perdarahan.
Dapat dilakukan pengeluaran plasenta secara manual. Manual plasenta diawali dengan
memasukkan tangan menyusuri tali pusat. Lakukan gerakan menyusur di antara plasenta dan
uterus untuk melepas plasenta. Tahan fundus sewaktu melepas plasenta. Jika sudah berhasil,
keluarkan tangan dari uterus.
Penjepitan tali pusat dini pada manajemen aktif kala III umumnya dilakukan 30 detik
pertama setelah kelahiran bayi tanpa memperhatikan ada tidaknya pulsasi pada tali pusat.
Penjepitan tali pusat dini dapat meningkatkan risiko transfusi fetomaternal dan respiratory distress
syndrome (RDS) pada bayi prematur. WHO mendefinisikan dan merekomendasikan penjepitan
tali pusat yang lebih lambat (1-3 menit setelah kelahiran bayi) untuk semua persalinan. Penjepitan
tali pusat dini hanya direkomendasikan apabila bayi mengalami asfiksia dan membutuhkan
mobilisasi dini untuk resusitasi. (16)
24
2.11 Tatalaksana Perdarahan Postpartum
Tatalaksana perdarahan postpartum secara umum bertujuan untuk menghentikan
perdarahan per vaginam pada pasien, mengembalikan volume darah dan oxygen-carrying
capacity. Tatalaksana yang dilakukan berupa penilaian kondisi ibu secara cepat, pemasangan
infus, melakukan uji silang serasi darah pasien, pemberian obat-obatan yang bersifat oksitoksik
melalui intravena, serta mengobati penyebab perdarahan pasien, termasuk meremas rahim,
eksplorasi rahim, melahirkan plasenta, melihat kelengkapan plasenta, mencari adanya kerusakan
pada serviks dan vagina, serta menilai kontraksi rahim. Perlu diperhatikan adanya hipotensi dan
anemia karena jika dibiarkan akan dapat mengarah pada syok. Perdarahan yang terjadi dapat
merembes atau hebat sehingga jangan meremehkan perdarahan yang merembes. Perhatikan juga
akan adanya perdarahan yang menumpuk di uterus atau vagina.
25
perubahan pada keadaan umum, tingkat kesadaran dan tanda-tanda vital pasien, maka tatalaksana
yang telah diberikan perlu disesuaikan dengan keadaan dan keperluan pasien. Jika perdarahan
tidak kunjung berhenti setelah tatalaksana yang telah diberikan, maka diperlukan pertimbangan
untuk melakukan tatalaksana selanjutnya yang lebih sesuai dengan keadaan pasien. Volume urin
juga perlu dipantau untuk dibandingkan dengan jumlah cairan yang masuk. Pemantauan volume
urin dapat dilakukan dengan pemasangan Folley catheter yang dihubungkan dengan urine bag.
Produksi urin normal adalah 0,5-1 ml/kgBB/jam atau sekitar 30 ml/jam.
Dua jenis obat yang paling sering digunakan adalah ergometrin 0,5 mg dan oksitosin 5 unit.
Kombinasi dari kedua obat tersebut adalah syntometrine.
Ergometrin dapat menyebabkan timbulnya kontraksi tonik pada rahim. Selain itu,
ergometrin juga bersifat vasokonstriktor. Penggunaan ergometrin pada kala III persalinan
dinyatakan efektif mengurangi perdarahan, insiden perdarahan postpartum, dan penggunaan
uterotonik terapeutik. Ergometrin dapat menyebabkan nyeri setelah persalinan yang membutuhkan
analgetik secara intravena. Ergometrin juga dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah, terutama
jika diberikan secara intravena. Oleh sebab itu, merupakan kontraindikasi untuk diberikan pada
pasien dengan hipertensi, preeklampsia dan eklampsia. Ergometrin dapat bekerja mempengaruhi
rahim selama 2-3 jam. Pada pemberian secara intramuskular, efek ergometrin dapat timbul dalam
waktu 7 menit, sedangakan jika diberikan secara intravena hanya dibutuhkan waktu 1 menit untuk
mendapatkan efeknya. Ergometrin terasosiasi dengan lebih banyak tindakan pengeluaran manual
plasenta.
Oksitosin sintetik dapat menimbulkan kontraksi rahim yang bersifat ritmik. Oksitosin tidak
memiliki efek sistemik pada dosis terapeutik. Oksitosin merangsang otot polos uterus untuk
berkonntraksi lebih kuat pada akhir kehamilan, saat persalinan, dan pada masa nifas (reseptor
oksitosin di miometrium meningkat). Oksitosin bekerja pada rahim selama 20-30 menit. Pada
pemberian secara intramuskular, efek oksitosin dapat timbul lebih cepat daripada pemberian
ergometrin secara intramuskular, yaitu 3 menit. Sedangkan, untuk pemberian secara intravena,
efek oksitosin juga dapat timbul dalam waktu 1 menit. Pada keadaan darurat, baik ergometrin atau
26
oksitosin dapat diberikan secara intravena dan efeknya dapat timbul dengan cepat. Namun,
penggunaan kombinasi oksitosin dan ergometrin memiliki efek samping (mual, muntah,
peningkatan tekanan darah) yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan oksitosin saja.
Dosis awal oksitosin adalah 20-40 unit dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9% atau Ringer
Lactate dengan kecepatan 60 tpm dan diikuti dengan 10 unit intramuskular. Lanjutkan dengan
infus oksitosin 20 unit dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9% atau Ringer Lactate dengan kecepatan
40 tpm hingga perdarahan berhenti. Jangan berikan lebih dari 3 liter larutan intravena yang
mengandung oksitosin. Bila tidak tersedia oksitosin, berikan ergometrin dengan dosis 0,2 mg
intramuskular atau intravena bolus lambat dan dapat diikuti dengan pemberian 0,2 mg
intramuskular setelah 15 menit dan pemberian 0,2 mg intramuskular atau intravena bolus lambat
setiap 4 jam bila diperlukan. Jangan berikan lebih dari 5 dosis (1 mg). Jika perdarahan masih
berlanjut, berikan asam traneksamat intravena bolus selama 1 menit dan dapat diulang setelah 30
menit.
Ulangi 0,2 mg
intramuskular
20 unit dalam
setelah 15 menit.
1000cc larutan
Bila masih 400 mg 2-4 jam
Dosis lanjutan garam fisiologis
diperlukan, beri setelah dosis awal
dengan 40 tpm
intramuskular atau
intravena
intravena setiap 2-
4 jam
Pemberian Preeklampsia,
Kontraindikasi Nyeri kontraksi,
intravena secara vitium kordis,
atau hati-hati asma
cepat atau bolus hipertensi
Table 2. Perbandingan penggunaan uterotonika
27
Selain ergometrin dan oksitosin, dapat juga diberikan injeksi prostaglandin secara
intramuskular. Prostaglandin mematangkan serviks dengan mengubah komposisi matriks
ekstraselular, meningkatkan aktivitas kolagenase dan elastase, meningkatkan konsentrasi
glikosaminoglikan, dermatan sulfat dan asam hyaluronat di serviks. Agen ini menyebabkan
relaksasi otot serviks dan meningkatkan kalsium intraselular sehingga memfasilitasi kontraksi
miometrium. Misoprostol merupakan analog sintetik dari prostaglandin E1 alamiah. Agen ini
diserap secara cepat melalui peroral dengan bioavailabilitas melebihi 80%. Pemberian misoprostol
(17)
terbukti aman, ekonomis, dan efektif menurunkan insiden perdarahan postpartum. Efek
samping dari misoprostol antara lain pireksia sementara, mual, dan muntah. Jika rahim terus gagal
berkontraksi setelah pemberian obat-obat yang bersifat oksitoksik, rahim telah kosong, dan tidak
ada tanda-tanda trauma jalan lahir, prostaglandin karboprost (Hemabate) dapat diberikan dengan
dosis 250 mikrogram dan dapat diulang pemberiannya.
Untuk mengatasi infeksi atau mencegah terjadinya infeksi, dapat diberikan antibiotika
spektrum luas dan anti bakteri anaerob seperti metronidazole. (10) Antibiotika profilaksis dapat
diberikan dengan dosis tunggal. Antibiotika profilaksis yang paling sering digunakan adalah
ampisillin 2 gram intravena dan metronidazole 500 mg intravena.
Terapi non-Farmakologi
Selain obat-obatan yang membantu kontraksi rahim, dapat dilakukan tindakan untuk
membantu mengganti cairan yang hilang, yaitu dengan pemberian infus intravena dengan kanul
berukuran besar (16 atau 18) dan pemberian cairan kristaloid (NaCl 0,9% atau Ringer Lactate atau
Ringer Acetate) sesuai dengan kondisi pasien. Resusitasi cairan sebelum darah tersedia harus
dilakukan sesegera mungkin dengan infus kristaloid dan koloid sampai 3,5L (2L kristaloid dan
atau 1-2L koloid). (18) Prinsip utama yang harus dipikirkan dalam resusitasi cairan kristaloid adalah
hanya 20% dari jumlah cairan yang akan tetap bertahan dalam intravascular dalam 1 jam setelah
pemberian sehingga volume kristaloid yang harus diberikan sekitar tiga kali lipat dari jumlah
volume estimasi perdarahan. (4)
28
Table 3. Penggunaan Cairan
Perlu juga dilakukan tindakan untuk menghentikan perdarahan yang terjadi, yaitu evakuasi
rahim, kompresi rahim bimanual, pemasangan tampon rahim, transfusi darah, ligasi arteri uterina,
dan histerektomi.
Evakuasi rahim dilakukan jika setelah eksplorasi rahim ditemukan adanya hasil konsepsi
yang tertinggal. Hasil konsepsi yang tertinggal dibersihkan, dikeluarkan dari rahim. Jika plasenta
masih utuh tertinggal di dalam rahim 30 menit setelah bayi lahir, dapat dikeluarkan dengan cara
manual plasenta. Jika hanya sebagian plasenta atau selaput ketuban yang tertinggal, dapat
dibersihkan dengan cara pembersihan manual digital atau dengan kuretase.
Kompresi rahim bimanual dapat dilakukan setelah menyingkirkan kemungkinan plasenta
tidak lengkap dan trauma pada jalan lahir. Kompresi bimanual dilakukan dengan cara
mengkompresi rahim di antara kedua tangan untuk mengendalikan perdarahan dan merangsang
kontraksi pada rahim. Kompresi bimanual dibagi menjadi kompresi bimanual internal dan
eksternal. Untuk melakukan kompresi bimanual internal, satu tangan di dalam rahim dan tangan
lainnya berada di luar, di abdomen dan menekan fundus ke arah tangan yang di dalam. Jari-jari
tangan yang berada di dalam menekan forniks anterior. Jika telah ditekan dengan baik, seluruh
kepalan tangan dapat masuk karena kelenturan vagina. Tekanan pada uterus dengan kedua tangan
memberikan tekanan langsung pada pembuluh darah dalam dinding uterus dan merangsang
miometrium untuk berkontraksi. Untuk melakukan kompresi bimanual eksternal, satu tangan
diletakkan di abdomen, di depan uterus, tepat di atas simfisis pubis. Tangan yang lain memegang
29
dinding abdomen (dibelakang korpus uteri) dan diusahakan untuk memegang bagian belakang
uterus seluas mungkin. Lakukan gerakan saling merapatkan kedua tangan untuk melakukan
kompresi pembuluh darah di dinding uterus dengan cara menekan uterus diantara kedua tangan.
Hal ini dapat membantu uterus untuk berkontraksi dan menekan pembuluh darah uterus. (2)
Kompresi aorta abdominalis merupakan alternatif dari kompresi bimanual eksternal dan
internal. Kompresi aorta abdominalis harus dilakukan dengan teknik yang benar agar aorta benar-
benar tertutup untuk sementara waktu sehingga perdarahan dapat dikurangi. Tekan aorta
abdominalis di atas uterus dengan kuat dan dapat dibantu dengan tangan kiri selama 5-7 menit.
Lepaskan tekanan sementara selama 30-60 detik sehingga bagian lainnya tidak terlalu banyak
kekurangan darah. Tekanan aorta abdominalis untuk mengurangi perdarahan bersifat sementara.
30
Figure 5. Kompresi Aorta Abdominalis
Pada keadaan tertentu, masih diperlukan pemasangan tampon kasa di rahim. Tampon
biasanya dibiarkan di dalam rahim selama 12 jam. Jika setelah itu kontraksi tetap tidak terjadi,
maka histerektomi harus dilakukan. Keadaan pasien kemungkinan besar sudah berada dalam
kondisi yang serius dan keputusan untuk operasi sulit dibuat, namun harus dilakukan sesegera
mungkin, jangan sampai terlambat melakukan penanganan. Pada kasus perdarahan yang
berkelanjutan, adanya gangguan pembekuan darah harus disingkirkan.
Dapat juga digunakan kondom sebagai pengganti tampon kasa. Kondom diikat pada
kateter, dimasukkan ke dalam cavum uteri, dan diisi cairan fisiologis sebanyak 250-500ml atau
sesuai kebutuhan. Lakukan observasi perdarahan dan stop pengisian cairan setelah perdarahan
berkurang. Untuk menjaga agar kondom tetap di dalam vagina, dapat digunakan tampon kasa
gulung. Bila perdarahan berlanjut, tampon kasa akan basah dan darah keluar dari introitus vagina.
Kontraktilitas uterus dijaga dengan pemberian drip oksitosin paling tidak sampai dengan 6 jam
kemudian. Diberikan antibiotika tripel, Amoxicillin, Metronidazole dan Gentamycin. Kondom
kateter dilepas 24 48 jam kemudian, pada kasus dengan perdarahan berat kondom dapat
dipertahankan lebih lama.
Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut dan diperkirakan
akan melebihi 2000cc atau keadaan klinis pasien menunjukkan tanda-tanda syok walaupun telah
dilakukan resusitasi cepat. Terdapat kontroversi mengenai kadar hematokrit atau hemoglobin
dimana transfusi darah harus diberikan, namun menurut konsensus yang ada transfusi darah
31
direkomendasikan pada wanita yang mengalami perdarahan secara akut dengan hematokrit
dibawah 25% dan tidak diberikan pada wanita anemia sedang dengan kondisi klinis yang stabil. (4)
Gambaran klinis merupakan indikasi utama untuk menentukan perlu-tidaknya transfusi darah dan
(4,18)
tidak perlu membuang waktu untuk menunggu hasil laboratorium. Whole blood yang
kompatibel merupakan produk yang ideal untuk penanganan hipovolemia akibat perdarahan masif
yang akut karena dengan whole blood tidak hanya mengembalikan hipovolemia tetapi juga faktor
koagulasi (terutama fibrinogen). (4) Pedoman transfusi darah dari British Committee for Standards
in Haematology dari penanganan perdarahan masif, antara lain hemoglobin > 8 g/dL, trombosit >
75x103/L, prothrombin time (PT) < 1,5 x mean kontrol, activated prothrombin time (aPTT) < 1,5
(19)
x mean kontrol, dan fibrinogen > 150 mg/dL. PRC (packed red cells) digunakan dengan
komponen darah lain dan diberikan jika terdapat indikasi. Tujuan transfusi adalah memasukkan 2-
4 unit PRC untuk menggantikan pembawa oksigen yang hilang dan untuk mengembalikan volume
sirkulasi. PRC bersifat sangat kental yang dapat menurunkan jumlah tetesan infus. Masalah ini
dapat diatasi dengan menambahkan 100cc normal saline pada masing-masing unit.
32
mempertahankan uterus, sedangkan tindakan pembedahan non-konservatif adalah tindakan
pembedahan yang tidak mempertahankan uterus.
Ligasi arteri uterina asendens bertujuan untuk menurunkan aliran darah uterus. Arteri
uterina berada di perbatasan antara serviks dan segmen bawah rahim. Jahit sedekat mungkin
dengan uterus karena ureter berada 1 cm dari uterus. Lakukan pada kedua sisi lateral. Jika
mengenai arteri, segera jepit dan ikat sampai perdarahan berhenti. Lakukan pula pengikatan arteri
utero-ovarika, yaitu dengan melakukan pengikatan pada 1 jari atau 2 cm lateral bawah pangkal
ligamentum suspensorium ovarii kiri dan kanan agar upaya hemostasis berlangsung efektif,
lakukan pada kedua sisi. Berikan antibiotik profilaksis dan analgetik. Evaluasi keberhasilan ligasi
arteri uterina asendens adalah dengan menilai perdarahan, bukan menilai kontraksi. Komplikasi
yang dapat terjadi adalah cedera pembuluh darah (vasa uterina) atau ureter. (20)
Ligasi arteri iliaka interna dilakukan untuk pasien yang masih ingin memiliki anak, seperti
pada ligasi arteri uterina. Ligasi dilakukan dengan identifikasi bifurkasio arteri iliaka, tempat ureter
menyilang, untuk melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral paralel
dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial kemudian dilakukan ligasi
arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka interna dan eksterna. Klem dilewatkan dibelakang arteri, dan
dengan menggunakan benang non absorbable dilakukan dua ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm.
Hindari trauma pada vena iliaka interna. Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis
harus dilakukan sebelum dan sesudah ligasi risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka
yang dapat menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus
mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.
B-lynch suture dikenal juga dengan Brace Suture adalah metode untuk mengikat rahim
dengan tujuan untuk menghentikan perdarahan, tanpa harus mengangkat rahim. Cara ini dipilih
33
bila tes dengan manual kompresi berhasil menghentikan perdarahan. Sebelum melakukan B-lynch
suture, pastikan tidak ada sisa plasenta atau selaput ketuban. Bentuk jahitan jelujur dimulai dari
segmen bawah rahim (uterus anterior) menuju corpus daerah anterior lalu fundal, kemudian
menuju corpus posterior sampai sejajar jahitan awal, jahitan dilanjutkan ke samping atau ke sisi
uterus yang lain, lalu menuju corpus posterior menuju fundal sampai mencapai corpus anterior dan
berakhir pada segmen bawah rahim sejajar jahitan awal. Batas jahitan dari kedua tepi uterus adalah
3-4 cm dari sisi kanan dan kiri. Jahitan vertikal dua atau lebih untuk meningkatkan kekuatan
tekanan, sedangkan penjahitan horizontal lebih ditujukan untuk mengontrol perdarahan dari
plasental bed pada kasus plasenta previa. Untuk mencegah risiko trauma pada kandung kencing
atau traktus urinarius, kandung kemih disisihkan sehingga berada di bawah jahitan dan jahitan 2cm
medial dari batas lateral uterus. Kompresi uterus menggunakan benang mudah dilakukan, lebih
singkat, dan efektif daripada histerektomi. B-lynch suture tidak menggangu kesuburan dan
kehamilan selanjutnya. (12)
34
terkendali. Histerektomi peripartum berbeda dibandingkan dengan histerektomi pada keadaan
tidak hamil karena terjadi perubahan anatomi sebagai pengaruh dari kehamilan dimana pada organ
terjadi peningkatan vaskularisasi. Total histerektomi lebih disukai dari subtotal histerektomi,
meskipun pilihan tersebut tergantung situasi klinik mana yang lebih cepat, lebih efektif untuk
mengatasi perdarahan sehingga mengurangi morbiditas serta mortalitas. Subtotal histerektomi
tidak terlalu efektif dalam mengontrol perdarahan dari segmen bawah rahim, serviks atau forniks.
(12)
35
2.12.5 Tatalaksana Umum Perdarahan Postpartum
Tatalaksana umum disini adalah tatalaksana awal yang dapat dilakukan pada kejadian
perdarahan postpastum dengan penyebab apapun. Tatalaksana awalnya adalah:
Pemberian oksigen
Pemasangan infus intravena dan pemberian cairan
Pengawasan tanda-tanda vital, volume urin
Pemeriksaan kondisi abdomen: kontraksi uterus, nyeri tekan, parut luka, dan tinggi
fundus uteri
Pemeriksaan jalan lahir dan area perineum untuk melihat perdarahan dan laserasi
Periksa kelengkapan plasenta dan selaput ketuban
Cek kadar Hb, golongan darah
Tentukan penyebab perdarahan dan lakukan tatalaksana lanjutan sesuai
penyebabnya
36
Figure 9. Tatalaksana Awal Perdarahan Postpartum
37
H Ask for HELP and HANDS on the uterus (massage)
M Massage uterus
38
o Pemasangan tampon kondom. Kondom di kavum uteri disambungkan ke kateter,
difiksasi dengan karet dan diisi cairan infus 200cc
o Bila tindakan diatas gagal, dilakukan laparotomi, baik dengan mempertahankan
uterus maupun histerektomi
Jika atonia uteria menyebabkan inversio uteri, yang dapat dilakukan adalah:
39
Pemasangan klem pada sumber perdarahan untuk menghentikan sumber
perdarahan dan lanjutkan dengan ligase dan jahitan pada tiap lapisan dengan menggunakan cat-
gut dalam anestesi lokal (3)
Bila perdarahan masih berlanjut, berikan asam traneksamat
40
penyebabnya, misalnya solusio plasenta, eklampsia, dan lain-lain. Jika tetap tidak teratasi, pilihan
terakhir adalah histerektomi. Pada DIC, perlu diberikan vitamin K dan faktor VIIa rekombinan
teraktivasi. Pemberian vitamin K umumnya adalah 5-10 mg secara subkutan, intramuskular, atau
intravena. Pemberian faktor VIIa dengan dosis 60-100 mg/kg seara intravena umumnya dipikirkan
pada kasus DIC refrakter atau pada kondisi pemberian produk darah terhambat. Target trombosit
yang dicapai adalah >50.000/L dan fibrinogen >100 mg/dL. Jika terbentuk hematoma, lakukan
insisi pada hematoma, eksplorasi, ligasi, dan lakukan tamponade atau drainase. (2)
41
Figure 10. Pencegahan dan Tatalaksana Perdarahan Postpartum
42
Figure 11. Algoritma Penangan Perdarahan Postpartum
43
BAB III
KESIMPULAN
Perdarahan postpartum merupakan salah satu penyumbang terbesar angka kematian ibu.
Perdarahan postpartum adalah perdarahan yang lebih dari 500cc pada persalinan spontan
pervaginaam atau 1000cc pada persalinan sectio caesarea atau yang dapat mengganggu
hemodinamik ibu. Perdarahan postpartum dibagi menjadi dini (kurang dari 24 jam postpartum)
dan lambat (lebih dari 24 jam postpartum). Penyebab dari perdarahan postpartum adalah atonia
uteri, tertinggalnya sebagian atau seluruhnya dari plasenta, trauma jalan lahir, dan gangguan
pembekuan darah. Faktor risiko terjadinya perdarahan postpartum banyak dan beragam sehingga
angka kejadian perdarahan postpartum tinggi, terutama di Indonesia dimana banyak persalinan
terjadi bukan di rumah sakit.
Perdarahan postpartum adalah suatu keadaan, bukan sebuah diagnosis sehingga harus
dicari tahu penyebabnya untuk menegakkan diagnosis. Melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan obstetrik, dan pemeriksaan penunjang yang baik dan benar maka diagnosis akan
dengan cepat ditegakkan. Setelah diagnosis telah ditegakkan, maka pasien dapat memperoleh
penanganan segera. Penanganan perdarahan postpartum yang terpenting adalah menghentikan
perdarahan sesuai dengan penyebabnya dan mengganti jumlah darah yang hilang. Prognosis
perdarahan postpartum umumnya baik jika ditangani dengan baik dan cepat. Jika terlambat
ditangani, pasien dapat mengarah pada syok bahkan kematian. Kejadian perdarahan postpartum
dapat dicegah dengan memimpin kala II dan III dengan lege artis dan suntikan uterotonika segera
setelah bayi lahir.
44
DAFTAR PUSTAKA
1. Saifuddin AB, editor. Ilmu Kebidanan. 4th ed. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2014.
2. Wiknjosastro H, editor. Ilmu Bedah Kebidanan. 1st ed. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2010.
3. Tanto C, editor. Kapita Selekta Kedokteran. 4th ed. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.
4. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Williams
OBSTETRICS. 23rd ed. New York City: McGraw-Hill; 2010.
5. Beckmann CRB, Ling FW, Barzansky BM, Herbert WNP, Laube DW, Smith RP. Obstetrics
and Gynecology. 6th ed.: Lippincott Williams & Wilkins; 2010.
7. DeCherney AH, Nathan L. Current Obstretric & Gynecologic Diagnosis & Tretment. 9th ed.
New York City: McGraw-Hill; 2003.
8. Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL. Obstetrics: Normal and Problem Pregnancies. 5th ed.:
Elsevier; 2007.
9. Gibbs RS, Karlan BY, Haney AF, Nygaard I. Obstetrics and Gynecology. 10th ed.: Lippincott
Williams & Wilkins; 2008.
10. Hanretty KP. Ilustrasi Obstetri. 7th ed. Singapore: Elsevier; 2010.
12. Arulkumaran S, Karoshi M, Keith LG, Balonde AB, B-Lynch C. A Comprehensive Textbook
of Postpartum Hemorrhage: An Essential Clinical Reference for Effective Management.
2nd ed. London: Sapiens; 2012.
14. JR Smith BB. Postpartum Hemorrhage. [Online].; 2004 [cited 2016 July 5. Available from:
www.emedicine.com.
45
15. Komite Medik RSUP dr. Sardjito. Perdarahan Post Partum dalam Standar Pelayanan Medis
RSUP dr. Sardjito Yogyakarta: Penerbit Medika Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada; 2000.
16. World Health Organization. WHO recommendations for the prevention and treatment of
postpartum hemorrhage Geneva (Switzerland): WHO; 2012.
18. Institute of Obstetricians and Gynaecologists, Royal College of Physicians of Ireland and
Directorate of Strategy and Clinical Programmes Health Service Executive. Clinical Practice
Guideline: Prevention and Management of Primary Postpartum Haemorrhage. 2012.
19. Stainsby D, MacLennan S, Thomas D, Isaac J, Hamilton PJ. Guidelines on the management
of massive blood loss. Br J Haematol. 2006.
20. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, World Health Organization. Buku Saku
Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. 1st ed. Jakarta: WHO;
2013.
46