Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
Jamban merupakan sanitasi dasar penting yang harus dimiliki setiap
masyarakat sebenarnya,masyarakat sadar dan mengerti arti pentingnya mempunyai
jamban sendiri di rumah. Alasan utama yangselalu diungkapkan masyarakat mengapa
sampai saat ini belum memiliki jamban keluarga adalah tidak atau belummempunyai
uang melihat faktor kenyataan tersebut, sebenarnya tidak adanya jamban di setiap
rumah tangga bukansemata faktor ekonomi, Tetapi lebih kepada adanya kesedaran
masyarakat untuk menerapkan pola hidup sehat (PHBS), jamban pun tidak harus
mewah dengan biaya yang mahal.
Cukup yang sederhana saja disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rumag
tangga. Buat apa jamaban yang mewah sementara perilaku buang air besar (BAB)
masih tetap sembarangan. Ada faktor lain yang menyebabkan masyarakat untuk
membuat atau membangun jamban yaitu ketergantungan pada bantuan pemerintah
dalam hal membangun jamban. Hal ini merupakan bagian dari kesalahan masa lalu
dalam penerapan kebijakan yang justru cenderung memanjakan masyarakat. Program
pembangunan jamban yang dilakukan selama ini kurang optimal khususnya dalam
membangun perubahan masyarakat. pendekatan yang dilakukan mempunyai
karakttreistik yang berorientasi kepada konstruksi atau bangunan fisik jamban
saja,tanpa ada upaya pendidikan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) yang
memadai selain itu desain jamban yang dianjurkan seringkali mahal bagi keluarga
miskin. Subsidi proyek tidak efektif menjangkau kelompok masyarakat miskin. jamban
dibangun, tetapi seringkali tidak digunakan masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
MEMILIKI DAN MENGGUNAKAN JAMBAN SEHAT
A. Pengertian
Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan
kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk
dengan leher angsa atau tanpa leher angsa (cemplung) yang dilengkapi
dengan unit penampungan kotoran dan air untuk membersihkannya.
b. Jenis jamban yang digunakan
Pelat Jongkok
Pelat jongkok harus selalu bersih dan licin. Untuk itu pilihlah pelat jongkok
yang terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan, misalnya keramik, kaca
serat, porselin, dan sebagainya.
Pondasi
Umumnya tebal pondasi jamban 20-40 cm dan dalamnya 40 cm, terbuat
dari batu kali, bata atau batako. Adukannya terdiri dari semen : pasir = 1 :
6. Jika semen diganti dengan kapur dan semen merah : pasir = 1 : 3 : 4
Lantai
Lantai beton setebal 10 cm, kedap air, awet, dan mudah dibersihkan. Lantai
tegel dapat dipasang dengan adukan semen : pasir = 1 : 3.
Pintu
Pintu dapat dibuat dari bambu atau kayu yang dilapisi seng atau aluminium
sehingga tidak mudah lapuk. jarak tepi bawah pintu dari lantai sekitar 5-7,5
cm. Ukuran :
tinggi 1,80 m.
lebar 0,65 m.
Dinding
Dinding dapat dibuat dari bata/batako, kayu/papan, anyaman bambu. Tinggi
dinding : 1,00 - 2,00 m. dinding depan 20 cm lebih tinggi supaya atapnya
miring ke belakang.
Untuk menghemat biaya, dinding dapat dibagi dua:
Lubang Angin
Lubang angin sangat diperlukan agar selalu terjadi pergantian udara di
dalam jamban
Atap
Atap jamban berguna sebagai pelindung di waktu hujan dan mencegah air
hujan masuk ke dalam pelat jongkok. Bahan atap misalnya genting, seng
gelombang, ijuk, atap plastik tembus cahaya, daun bambu, alang-alang, dan
sebagainya. Kemiringan atap minimum 15 derajat.
Jarak Cubluk atau Resepan dari Tangki Septik ke Sumur
Bila letak cubluk atau resapan dan tangki septik berdekatan dengan sumur,
maka jarak minimum antara cubluk dan sumur tersebut harus 10 m.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jamban keluarga adalah suatu bangunan yang dipergunakan untuk
membuang tinja atau kotoran manusia atau najis bagi suatu keluarga yang
lazim disebut kakus atau WC.
Pemeliharaan jamban keluarga sehat yang baik adalah lantai jamban
hendaknya selalu bersih dan tidak ada genangan air, bersihkan jamban
secara teratur sehingga ruang jamban selalu dalam keadaan bersih,
didalam jamban tidak ada kotoran terlihat, tidak ada serangga(kecoa, lalat)
dan tikus berkeliaran, tersedia alat pembersih dan bila ada kerusakan segera
diperbaiki.
B. Sasaran
Cara pengendalian yang paling sederhana adalah dengan
menumbuhkan kesadaran dari dalam diri untuk untuk selalu menggunakan
jamban yang sehat tidak merusak lingkungan dan pencemarannya. Selain
itu diperlukan juga kontrol sosial budaya masyarakat untuk lebih
menghargai sanitasi lingkungan, walaupun kadang harus dihadapkan pada
mitos tertentu. Peraturan yang tegas dari pemerintah juga sangat
diharapkan karena jika tidak maka perilaku masyarakat untuk menggunakan
jamban yang sehat tidak optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Jamban Sehat
July 20, 2010 environmentalsanitation Leave a comment Go to comments
Jamban Sehat secara prinsip harus mampu memutuskan hubungan antara tinja dan lingkungan.
Sebuah jamban dikatagorikan SEHAT jika :
1. Mencegah kontaminasi ke badan air
2. Mencegah kontak antara manusia dan tinja
3. Membuat tinja tersebut tidak dapat dihinggapi serangga, serta binatang lainnya.
4. Mencegah bau yang tidak sedap
5. Konstruksi dudukannya dibuat dengan baik & aman bagi pengguna.
Secara konstruksi kriteria diatas dalam prakteknya mempunyai banyak bentuk pilihan,
tergantung jenis material penyusun maupun bentuk konstruksi jamban. Pada prinsipnya
bangunan jamban dinagi menjadi 3 bagian utama, bangunan bagian atas (Rumah Jamban),
bangunan bagian tengah (slab/dudukan jamban), serta bangunan bagian bawah (penampung
tinja).
Terdapat penutup pada lubang sebagi pelindung terhadap gangguan serangga atau binatang
lain.
Dudukan jamban dibuat harus mempertimbangkan faktor keamanan (menghindari licin, runtuh,
atau terperosok).
Bangunan dapat menghindarkan/melindungi dari kemungkinan timbulnya bau.
Mudah dibersihkan dan tersedia ventilasi udara yang cukup.
1. Semua masyarakat telah BAB (Buang Air Besar) hanya di jamban yang sehat dan membuang
tinja/ kotoran bayi hanya ke jamban yang sehat (termasuk di sekolah)
2. Tidak terlihat tinja manusia di lingkungan sekitar
3. Ada penerapan sanksi, peraturan atau upaya lain oleh masyarakat untuk mencegah kejadian
BAB di sembarang tempat
4. Ada mekanisme monitoring umum yang dibuat masyarakat untuk mencapai 100% KK
mempunyai jamban sehat
5. Ada upaya atau strategi yang jelas untuk dapat mencapai Total Sanitasi
Suatu komunitas yang sudah mencapai status Bebas dari Buang Air Besar Sembarangan, pada
tahap pasca ODFdiharapkan akan mencapai tahap yang disebut Sanitasi Total. Sanitasi Total
akan dicapai jika semua masyarakat di suatu komunitas, telah:
Untuk menentukan suatu komunitas telah mencapai status ODF, dilakukan dengan proses
verifikasi. Detail lengkap tentang proses verifikasi ODF ini akan disampaikan dilain kesempatan
.
inspeksi sanitasi
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hingga saat ini belum dijumpai adanya definisi jamban di tingkat peraturan pemerintah dalam
sistem perundangan di Indonesia. Dengan demikian tidak ada pula istilah itu dalam tataran undang-
undang. Bisa jadi dengan akan dirampungkannya rencana undang-undang (RUU) tentang Air Limbah
Permukiman maka definisi jamban, kakus, WC, toilet, atau apapun nama lainnya akan terwadahi secara
Di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 16/2008 tentang Kebijakan dan Strategi
Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Limbah Permukiman tidak disebutkan adanya istilah
jamban. Namun di dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah nomor 534/2001
tentang Pedoman Standar Pelayanan Minimal disebutkan adanya sarana sanitasi individual dan komunal
berupa jamban beserta MCK-nya. Lebih jauh lagi di dalam Buku Panduan Penyehatan Lingkungan
Permukiman untuk RPIJM 2007 disebutkan adanya pengumpulan data primer tentang jamban keluarga.
Di dalam Petunjuk Teknis Tata Cara Pembuatan Bangunan Jamban Keluarga dan Sekolah 1998 dari
Departemen Pekerjaan Umum, disebutkan bahwa jamban mencakup bangunan atas yang antara lain
terdiri: plat jongkok, leher angsa, lantai, dinding, dll, tetapi tidak termasuk bangunan bawahnya.
Di dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor 852/2008 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total
Berbasis Masyarakat disebutkan bahwa jamban sehat adalah fasilitas pembuangan tinja yang efektif
untuk memutuskan mata rantai penularan penyakit. Di dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor
715/2003 tentang Persyarakan Hygiene Sanitasi Jasaboga disebutkan bahwa usaha jasaboga harus
menyediakan WC Umum dengan fasilitas jamban dan peturasan sesuai dengan jumlah karyawannya.
Cukup menarik karena disebutkan di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 24/2007
tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah disebutkan adanya fasilitas jamban yang harus
disediakan sekolah sebagai tempat untuk buang air besar dan/atau air kecil. Jamban harus mempunyai
dinding, atap, dst yang disediakan untuk peserta didik pria, wanita, dan guru. Lebih menarik lagi adalah
Standar Toilet Umum Indonesia dari Kementerian Negara Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2004 yang
justru tidak menyebutkan sama sekali istilah jamban dan menggantinya dengan ruang buang air besar
(WC) dan ruang buang air kecil (urinal). Toilet dalam hal ini mencakup pembuangan dan pengolahan
limbahnya, baik secara setempat (on-site) ataupun terpusat (off-site). Tidak kalah menariknya adalah
istilah tempat buang air besar (bukan jamban) yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik di dalam Survei
Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) guna mendapatkan informasi tentang kepemilikan dan kualitas
Adanya ketidaksamaan istilah tentang jamban ini tentu saja tidak akan mengganggu proses
masyarakat untuk membuang hajatnya. Namun ketidak seragaman istilah ini sangat menggambarkan
ketidakseriusan penanganan sanitasi di lapangan. Buruknya pelayanan publik tentang sanitasi ini dapat
dilihat dari hasil SUSENAS itu sendiri. Kepemilikan tempat buang air besar secara nasional menurut
SUSENAS 2007 baru 59,86%. Dari 59,86% itupun yang mempunya kloset tipe leher angsa-pun baru
71,5%. Di dalam laporan tersebut tidak disebutkan bagaimana sebenarnya kualitas dari tempat buang
air besar yang ada di lapangan. Dari 59,86% itupun baru 49,13% yang memiliki tangki septik. Lagi-lagi
tidak disebutkan bagaimana pula sebenarnya kualitas dari tangki septik yang ada di lapangan. Apalagi
menurut Laporan Indonesian Sanitation Sector Development Program (ISSDP, 2004) disebutkan bahwa
masyarakat Indonesia yang masih melakukan buang air besar sembarangan masih lebih dari 40%. PBB
pun menyebutkan kalau masih ada lebih dari 2,6 milyar orang di dunia yang tidak punya akses sanitasi
yang memadai (PBB, 2004). Berbagai informasi ini tentu saja menggambarkan bagaimana sebenarnya
buruknya pelayanan publik untuk sanitasi. Untuk itu tidak saja harus dibuat keseragaman pengertian
tentang jamban atau apapun tentang kesepakatan namanya, tetapi juga harus adanya sosialisasi dan
kesepakatan yang jelas tentang ini agar kerugian yang hingga Rp 56 trilyun/tahun karena sanitasi yang
Di Indonesia, penduduk pedesaan yang menggunakan air bersih baru mencapai 67,3%. Dari angka
tersebut hanya separuhnya (51,4%) yang memenuhi syarat bakteriologis. Sedangkan penduduk yang
menggunakan jamban sehat (WC) hanya 54%. Itulah sebabnya penyakit diare sebagai salah satu
penyakit yang ditularkan melalui air masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan angka
kesakitan 374 per 1000 penduduk. Selain itu diare merupakan penyebab kematian nomor 2 pada Balita
B. Tujuan Penulisan
Tujuan umum
Tujuan Khusus
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. Pengertian Jamban
Kita berdomisili disuatu wilayah pemukiman, sebut saja wilayah itu setingkat
dengan desa atau kelurahan. Pernahkah kita befikir berapa jumlah rumah di wilayah
kita yang memiliki jamban, dan berapa jumlah rumah yang belum memiliki jamban.
Bila rumah yang memiliki jamban melebihi 80% dari jumlah rumah yang ada, berarti
wilayah tersebut termasuk wilayah yang cukup baik dalam hal pembuangan kotoran
manusia.
Bagi rumah yang belum memiliki jamban, sudah dipastikan mereka mereka itu
mamanfatkan sungai, kebun, kolam, atau tempat lainnya untuk buang air besar (BAB).
Bagi yang telah memiliki jamban bisa dipastikan BAB di jamban. Tapi tidak selalu begitu
, terkadang walaupun memiliki jamban ada sebagian kecil yang masih BAB di tempat
Dengan masih adanya masyarakat di sutau wilayah yang BAB sembarangan, maka wilayah tersebut
terancam beberapa penyakit menular yang berbasis lingkungan diantaranya : Penyakit Cacingan,
Cholera (muntaber), Diare, Typus, Disentri, Paratypus, Polio, Hepatitis B dan masih banyak penyakit
lainnya. Semakin besar prosentase yang BAB sembarangan maka ancaman penyakit itu semakin tinggi
itensitasnya. Keadaan ini sama halnya dengan fenomena bom waktu, yang bisa terjadi ledakan penyakit
terbebas dari ancaman penyakit penyakit tersebut. Dengan BAB di jamban banyak penyakit berbasis
lingkungan yang dapat dicegah, tentunya jamban yang memenuhi syarat kesehatan. Kalau membahas
soal jamban maka tentunya harus lengkap dengan sarana Air Bersih untuk menunjang keberlangsungan
pemanfaatan jamban.
Jamban yang memenuhi syarat kesehatan atau sayarat Sanitasi adalah sebagai berikut :
1. Kotoran tidak dapat dijangkau oleh binatang penular penyakit, seperti : Kecoa, tikus, lalat dll.
6. Aman digunakan
Untuk memenuhi syarat no.1 dan 3, maka kotoran ditempatkan di satu tempat, bisa lobang jamban
atau septik tank, ukuran volumenya disesuaikan dengan kebutuhan atau jumlah pemakai. Untuk
memenuhi syarat no 1 dan 2, maka digunakan kloset yang dilengkapi leher angsa, dimana pada leher
angsa akan tergenang air utnuk mencegah bau yang timbul dari lobang jamban atau septic tank, dan
mencegah masuknya binatang binatang seperti lalat, kecoa, nyamuk, tikus dll. Untuk memenuhi syarat
no. 4 , dalam membuat jamban terutama lokasi lobang jamban atau septic tank atau lobang resapan
dibuat sejauh mingkin dari sumber air yang ada misalnya Sumur Gali dsbnya, atau setidak tidaknya tidak
kurang dari 10 meter jarak antara sumur dan lobang jamban. Sedangkan untuk memenuhi syarat no 5
dan 6 , hendaknya jamban dibuat dari bahan bahan yang memadai baik kekuatannya maupun
Jangan lupa pemeliharaan jamban perlu dibiasakan setiap hari, misalnya membersihkan dan
menyikat lantai agar tidak licin, menguras bak air agar terhindar dari penyakit Demam Berdarah Dengue,
siram kloset dengan air secukupnya setelah digunakan, tidak membuang sampah, puntung rokok,
Buang air besar (BAB) sembarangan bukan lagi zamannya. Dampak BAB sembarangan sangat
buruk bagi kesehatan dan keindahan. Selain jorok, berbagai jenis penyakit ditularkan.
Sebagai gantinya, BAB harus pada tempatnya yakni di jamban. Hanya saja harus diperhatikan
pembangunan jamban tersebut agar tetap sehat dan tidak menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan.
Kementerian Kesehatan telah menetapkan syarat dalam membuat jamban sehat. Ada tujuh
Saat menggali tanah untuk lubang kotoran, usahakan agar dasar lubang kotoran tidak mencapai
permukaan air tanah maksimum. Jika keadaan terpaksa, dinding dan dasar lubang kotoran harus
2. Letak lubang kotoran lebih rendah daripada letak sumur agar air kotor dari lubang
1. Tidak buang besar di sembarang tempat, seperti kebun, pekarangan, dekat sungai,
2. Jamban yang sudah penuh agar segera disedot untuk dikuras kotorannya, atau dikuras,
1. Jika menggunakan bak air atau penampungan air, sebaiknya dikuras setiap minggu. Hal
2. Ruangan dalam jamban harus terang. Bangunan yang gelap dapat menjadi sarang
nyamuk.
3. Lantai jamban diplester rapat agar tidak terdapat celah-celah yang bisa menjadi sarang
1. Jika menggunakan jamban cemplung, lubang jamban harus ditutup setiap selesai
digunakan
2. Jika menggunakan jamban leher angsa, permukaan leher angsa harus tertutup rapat
oleh air
3. Lubang buangan kotoran sebaiknya dilengkapi dengan pipa ventilasi untuk membuang
secara periodic
1. Pada tanah yang mudah longsor, perlu ada penguat pada dinding lubang kotoran
dengan pasangan batau atau selongsong anyaman bambu atau bahan penguat lai yang
1. Lantai jamban rata dan miring kea rah saluran lubang kotoran
2. Jangan membuang plastic, puntung rokok, atau benda lain ke saluran kotoran karena
3. Jangan mengalirkan air cucian ke saluran atau lubang kotoran karena jamban akan cepat
penuh
4. Hindarkan cara penyambungan aliran dengan sudut mati. Gunakan pipa berdiameter
Jamban Sehat secara prinsip harus mampu memutuskan hubungan antara tinja dan lingkungan.
Secara konstruksi kriteria diatas dalam prakteknya mempunyai banyak bentuk pilihan, tergantung
jenis material penyusun maupun bentuk konstruksi jamban. Pada prinsipnya bangunan jamban dibagi
menjadi 3 bagian utama, bangunan bagian atas (rumah jamban), bangunan bagian tengah
Bangunan bagian atas bangunan jamban terdiri dari atap, rangka dan dinding. Dalam prakteknya
- Bangunan dapat meminimalkan gangguan cuaca (baik musim panas maupun musim hujan)
- Ketersediaan fasilitas penampungan air dan tempat sabun untuk cuci tangan
2. Slab / dudukan jamban (bangunan bagian tengah)
Slab berfungsi sebagai penutup sumur tinja (pit) dan dilengkapi dengan tempat berpijak. Pada
jamban cemplung slab dilengkapi dengan penutup, sedangkan pada kondisi jamban berbentuk bowl
(leher angsa) fungsi penutup ini digantikan oleh keberadaan air yang secara otomatis tertinggal di
didalamnya. Slab dibuat dari bahan yang cukup kuat untuk menopang penggunanya. Bahan-bahan yang
digunakan harus tahan lama dan mudah dibersihkan seperti kayu, beton, bambu dengan tanah liat,
pasangan bata, dan sebagainya. Selain slab, pada bagian ini juga dilengkapi dengan abu atau air.
Penaburan sedikit abu ke dalam sumur tinja (pit) setelah digunakan akan mengurangi bau dan
kelembaban, dan membuatnya tidak menarik bagi lalat untuk berkembang biak. Sedangkan air dan
- Terdapat penutup pada lubang sebagai pelindung terhadap gangguan serangga atau binatang lain.
- Dudukan jamban dibuat harus mempertimbangkan faktor keamanan (menghindari licin, runtuh, atau
terperosok).
atau yang lainnya. Kedalaman tergantung pada kondisi tanah dan permukaan air tanah di musim hujan.
Pada tanah yang kurang stabil, penampung tinja harus dilapisi seluruhnya atau sebagian dengan bahan
penguat seperti anyaman bambu, batu bata, ring beton, dan lain lain.
- Jenis bangunan, jarak bangunan dan kemiringan letak bangunan terhadap sumber air minum (lebih
baik diatas 10 m)
Pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sangat berpengaruh pada penyebaran penyakit
berbasis lingkungan, sehingga untuk memutuskan rantai penularan ini harus dilakukan rekayasa pada
akses ini. Agar usaha tersebut berhasil, akses masyarakat pada jamban (sehat) harus mencapai 100%
pada seluruh komunitas. Keadaan ini kemudian lebih dikenal dengan istilah Open Defecation Free (ODF).
Suatu masyarakat disebut ODF jika :
- Semua masyarakat telah BAB (Buang Air Besar) hanya di jamban yang sehat dan membuang tinja/
- Ada penerapan sanksi, peraturan atau upaya lain oleh masyarakat untuk mencegah kejadian BAB di
sembarang tempat
- Ada mekanisme monitoring umum yang dibuat masyarakat untuk mencapai 100% KK mempunyai
jamban sehat
- Ada upaya atau strategi yang jelas untuk dapat mencapai Total Sanitasi
Suatu komunitas yang sudah mencapai status Bebas dari Buang Air Besar Sembarangan, pada
tahap pasca ODFdiharapkan akan mencapai tahap yang disebut Sanitasi Total. Sanitasi Total akan dicapai
- Mencuci tangan pakai sabun dan benar saat sebelum makan, setelah BAB, sebelum memegang bayi,
Untuk menentukan suatu komunitas telah mencapai status ODF, dilakukan dengan proses
verifikasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hingga saat ini belum dijumpai adanya definisi jamban di tingkat peraturan pemerintah dalam
sistem perundangan di Indonesia. Dengan demikian tidak ada pula istilah itu dalam tataran undang-
undang. Bisa jadi dengan akan dirampungkannya rencana undang-undang (RUU) tentang Air Limbah
Permukiman maka definisi jamban, kakus, WC, toilet, atau apapun nama lainnya akan terwadahi secara
formal dalam sistem regulasi di Indonesia. Buang air besar (BAB) sembarangan bukan lagi zamannya.
Dampak BAB sembarangan sangat buruk bagi kesehatan dan keindahan. Selain jorok, berbagai jenis
penyakit ditularkan. Sebagai gantinya, BAB harus pada tempatnya yakni di jamban. Hanya saja harus
diperhatikan pembangunan jamban tersebut agar tetap sehat dan tidak menimbulkan dampak buruk
bagi lingkungan.
B. Saran
1. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi yang pembaca, terutama mahasiswa keperawatan
3. semoga makalah ini dapat menjadi pokok bahasan dalam berbagai diskusi dan forum terbuka.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.cwasta.org/index.php?option=com_content&view=article&id=59:definisi-jamban-
sehat&catid=2:berita&Itemid=35
http://stbm-indonesia.org/index.php?r=sanitasipedia&cat=51&id=428
http://environmentalsanitation.wordpress.com/2010/07/20/jamban-sehat/
http://abahjack.com/jamban.html#more-463
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT, karena atas rahmat-Nya yang telah
diberikan pada kami, sehingga makalah Penyediaan Jamban Keluarga ini dapat disusun dengan
cermat dan dapat diselesaikan pada waktunya. Tidak lupa pula, dalam kesempatan ini, kami
mengucapkan banyak terima kasih pada teman-teman yang membantu penyusunan makalah ini dan
terutama kami ucapkan terima kasih pada dosen fasilitator yang telah memberikan kami waktu untuk
menyelesaikan makalah ini agar persentasi dapat dilakukan dengan optimal nantinya.
Kami penyusun, menyadari bahwa penulisan makalah ini tidak jauh dari kesalahan serta
kekurangan, dan kami akan berusaha memperbaikinya untuk proses pembelajaran kami. Dan tentunya,
kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun, agar kami dapat memperbaiki kekurangan dan
dapat lebih baik dalam menyusun makalah selanjutnya.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah yang kami susun dapat dimanfaatkan
dengan optimal untuk menunjang kemandirian mahasiswa dalam proses pembelajaran.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hingga saat ini belum dijumpai adanya definisi jamban di tingkat peraturan pemerintah dalam
sistem perundangan di Indonesia. Dengan demikian tidak ada pula istilah itu dalam tataran undang-
undang. Bisa jadi dengan akan dirampungkannya rencana undang-undang (RUU) tentang Air Limbah
Permukiman maka definisi jamban, kakus, WC, toilet, atau apapun nama lainnya akan terwadahi secara
formal dalam sistem regulasi di Indonesia.
Di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 16/2008 tentang Kebijakan dan Strategi
Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Limbah Permukiman tidak disebutkan adanya istilah
jamban. Namun di dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah nomor 534/2001
tentang Pedoman Standar Pelayanan Minimal disebutkan adanya sarana sanitasi individual dan komunal
berupa jamban beserta MCK-nya. Lebih jauh lagi di dalam Buku Panduan Penyehatan Lingkungan
Permukiman untuk RPIJM 2007 disebutkan adanya pengumpulan data primer tentang jamban keluarga.
Di dalam Petunjuk Teknis Tata Cara Pembuatan Bangunan Jamban Keluarga dan Sekolah 1998 dari
Departemen Pekerjaan Umum, disebutkan bahwa jamban mencakup bangunan atas yang antara lain
terdiri: plat jongkok, leher angsa, lantai, dinding, dll, tetapi tidak termasuk bangunan bawahnya.
Di dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor 852/2008 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total
Berbasis Masyarakat disebutkan bahwa jamban sehat adalah fasilitas pembuangan tinja yang efektif
untuk memutuskan mata rantai penularan penyakit. Di dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor
715/2003 tentang Persyarakan Hygiene Sanitasi Jasaboga disebutkan bahwa usaha jasaboga harus
menyediakan WC Umum dengan fasilitas jamban dan peturasan sesuai dengan jumlah karyawannya.
Cukup menarik karena disebutkan di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 24/2007
tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah disebutkan adanya fasilitas jamban yang harus
disediakan sekolah sebagai tempat untuk buang air besar dan/atau air kecil. Jamban harus mempunyai
dinding, atap, dst yang disediakan untuk peserta didik pria, wanita, dan guru. Lebih menarik lagi adalah
Standar Toilet Umum Indonesia dari Kementerian Negara Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2004 yang
justru tidak menyebutkan sama sekali istilah jamban dan menggantinya dengan ruang buang air besar
(WC) dan ruang buang air kecil (urinal). Toilet dalam hal ini mencakup pembuangan dan pengolahan
limbahnya, baik secara setempat (on-site) ataupun terpusat (off-site). Tidak kalah menariknya adalah
istilah tempat buang air besar (bukan jamban) yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik di dalam Survei
Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) guna mendapatkan informasi tentang kepemilikan dan kualitas
fasilitas BAB tersebut.
Adanya ketidaksamaan istilah tentang jamban ini tentu saja tidak akan mengganggu proses
masyarakat untuk membuang hajatnya. Namun ketidak seragaman istilah ini sangat menggambarkan
ketidakseriusan penanganan sanitasi di lapangan. Buruknya pelayanan publik tentang sanitasi ini dapat
dilihat dari hasil SUSENAS itu sendiri. Kepemilikan tempat buang air besar secara nasional menurut
SUSENAS 2007 baru 59,86%. Dari 59,86% itupun yang mempunya kloset tipe leher angsa-pun baru
71,5%. Di dalam laporan tersebut tidak disebutkan bagaimana sebenarnya kualitas dari tempat buang
air besar yang ada di lapangan. Dari 59,86% itupun baru 49,13% yang memiliki tangki septik. Lagi-lagi
tidak disebutkan bagaimana pula sebenarnya kualitas dari tangki septik yang ada di lapangan. Apalagi
menurut Laporan Indonesian Sanitation Sector Development Program (ISSDP, 2004) disebutkan bahwa
masyarakat Indonesia yang masih melakukan buang air besar sembarangan masih lebih dari 40%. PBB
pun menyebutkan kalau masih ada lebih dari 2,6 milyar orang di dunia yang tidak punya akses sanitasi
yang memadai (PBB, 2004). Berbagai informasi ini tentu saja menggambarkan bagaimana sebenarnya
buruknya pelayanan publik untuk sanitasi. Untuk itu tidak saja harus dibuat keseragaman pengertian
tentang jamban atau apapun tentang kesepakatan namanya, tetapi juga harus adanya sosialisasi dan
kesepakatan yang jelas tentang ini agar kerugian yang hingga Rp 56 trilyun/tahun karena sanitasi yang
buruk ini dapat segera diselesaikan.
Di Indonesia, penduduk pedesaan yang menggunakan air bersih baru mencapai 67,3%. Dari angka
tersebut hanya separuhnya (51,4%) yang memenuhi syarat bakteriologis. Sedangkan penduduk yang
menggunakan jamban sehat (WC) hanya 54%. Itulah sebabnya penyakit diare sebagai salah satu
penyakit yang ditularkan melalui air masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan angka
kesakitan 374 per 1000 penduduk. Selain itu diare merupakan penyebab kematian nomor 2 pada Balita
dan nomor 3 bagi bayi serta nomor 5 bagi semua umur.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan umum
Tujuan Khusus
C. Rumusan Masalah
1. Kotoran tidak berserakan disembarang tempat sehingga tidak akan mengotori sumber air
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. Pengertian Jamban
Kita berdomisili disuatu wilayah pemukiman, sebut saja wilayah itu setingkat dengan desa atau
kelurahan. Pernahkah kita befikir berapa jumlah rumah di wilayah kita yang memiliki jamban, dan
berapa jumlah rumah yang belum memiliki jamban. Bila rumah yang memiliki jamban melebihi 80% dari
jumlah rumah yang ada, berarti wilayah tersebut termasuk wilayah yang cukup baik dalam hal
pembuangan kotoran manusia.
Bagi rumah yang belum memiliki jamban, sudah dipastikan mereka mereka itu mamanfatkan sungai,
kebun, kolam, atau tempat lainnya untuk buang air besar (BAB). Bagi yang telah memiliki jamban bisa
dipastikan BAB di jamban. Tapi tidak selalu begitu , terkadang walaupun memiliki jamban ada sebagian
kecil yang masih BAB di tempat lain, karena alasan tertentu.
Dengan masih adanya masyarakat di sutau wilayah yang BAB sembarangan, maka wilayah tersebut
terancam beberapa penyakit menular yang berbasis lingkungan diantaranya : Penyakit Cacingan,
Cholera (muntaber), Diare, Typus, Disentri, Paratypus, Polio, Hepatitis B dan masih banyak penyakit
lainnya. Semakin besar prosentase yang BAB sembarangan maka ancaman penyakit itu semakin tinggi
itensitasnya. Keadaan ini sama halnya dengan fenomena bom waktu, yang bisa terjadi ledakan penyakit
pada suatu waktu cepat atau lambat.
Sebaiknya semua orang BAB di jamban yang memenuhi syarat, dengan demikian wilayahnya
terbebas dari ancaman penyakit penyakit tersebut. Dengan BAB di jamban banyak penyakit berbasis
lingkungan yang dapat dicegah, tentunya jamban yang memenuhi syarat kesehatan. Kalau membahas
soal jamban maka tentunya harus lengkap dengan sarana Air Bersih untuk menunjang keberlangsungan
pemanfaatan jamban.
1. Kotoran tidak dapat dijangkau oleh binatang penular penyakit, seperti : Kecoa, tikus, lalat dll.
2. Tidak menimbulkan bau
3. Kotoran ditempatkan disuatu tempat, tidak menyebar ke mana mana
4. Tidak mencemari sumber air bersih
5. Tidak menggangu pemandangan/estetika
6. Aman digunakan
Untuk memenuhi syarat no.1 dan 3, maka kotoran ditempatkan di satu tempat, bisa lobang jamban
atau septik tank, ukuran volumenya disesuaikan dengan kebutuhan atau jumlah pemakai. Untuk
memenuhi syarat no 1 dan 2, maka digunakan kloset yang dilengkapi leher angsa, dimana pada leher
angsa akan tergenang air utnuk mencegah bau yang timbul dari lobang jamban atau septic tank, dan
mencegah masuknya binatang binatang seperti lalat, kecoa, nyamuk, tikus dll. Untuk memenuhi syarat
no. 4 , dalam membuat jamban terutama lokasi lobang jamban atau septic tank atau lobang resapan
dibuat sejauh mingkin dari sumber air yang ada misalnya Sumur Gali dsbnya, atau setidak tidaknya tidak
kurang dari 10 meter jarak antara sumur dan lobang jamban. Sedangkan untuk memenuhi syarat no 5
dan 6 , hendaknya jamban dibuat dari bahan bahan yang memadai baik kekuatannya maupun
konstruksinya dibuat sedemikan rupa agar kelihatan indah dan rapi.
Jangan lupa pemeliharaan jamban perlu dibiasakan setiap hari, misalnya membersihkan dan
menyikat lantai agar tidak licin, menguras bak air agar terhindar dari penyakit Demam Berdarah Dengue,
siram kloset dengan air secukupnya setelah digunakan, tidak membuang sampah, puntung rokok,
pembalut wanita, air sabun, lisol kedalam kloset.
Buang air besar (BAB) sembarangan bukan lagi zamannya. Dampak BAB sembarangan sangat
buruk bagi kesehatan dan keindahan. Selain jorok, berbagai jenis penyakit ditularkan.
Sebagai gantinya, BAB harus pada tempatnya yakni di jamban. Hanya saja harus diperhatikan
pembangunan jamban tersebut agar tetap sehat dan tidak menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan.
Kementerian Kesehatan telah menetapkan syarat dalam membuat jamban sehat. Ada tujuh
kriteria yang harus diperhatikan. Berikut syarat-syarat tersebut:
Saat menggali tanah untuk lubang kotoran, usahakan agar dasar lubang kotoran tidak mencapai
permukaan air tanah maksimum. Jika keadaan terpaksa, dinding dan dasar lubang kotoran harus
dipadatkan dengan tanah liat atau diplester.
1. Tidak buang besar di sembarang tempat, seperti kebun, pekarangan, dekat sungai,
dekat mata air, atau pinggir jalan.
2. Jamban yang sudah penuh agar segera disedot untuk dikuras kotorannya, atau dikuras,
kemudian kotoran ditimbun di lubang galian.
3. Bebas dari serangga
1. Jika menggunakan bak air atau penampungan air, sebaiknya dikuras setiap minggu. Hal
ini penting untuk mencegah bersarangnya nyamuk demam berdarah
2. Ruangan dalam jamban harus terang. Bangunan yang gelap dapat menjadi sarang
nyamuk.
3. Lantai jamban diplester rapat agar tidak terdapat celah-celah yang bisa menjadi sarang
kecoa atau serangga lainnya
4. Lantai jamban harus selalu bersih dan kering
5. Lubang jamban, khususnya jamban cemplung, harus tertutup
4. Tidak menimbulkan bau dan nyaman digunakan
1. Jika menggunakan jamban cemplung, lubang jamban harus ditutup setiap selesai
digunakan
2. Jika menggunakan jamban leher angsa, permukaan leher angsa harus tertutup rapat
oleh air
3. Lubang buangan kotoran sebaiknya dilengkapi dengan pipa ventilasi untuk membuang
bau dari dalam lubang kotoran
4. Lantan jamban harus kedap air dan permukaan bowl licin. Pembersihan harus dilakukan
secara periodic
5. Aman digunakan oleh pemakainya
1. Pada tanah yang mudah longsor, perlu ada penguat pada dinding lubang kotoran
dengan pasangan batau atau selongsong anyaman bambu atau bahan penguat lai yang
terdapat di daerah setempat
6. Mudah dibersihkan dan tak menimbulkan gangguan bagi pemakainya
1. Lantai jamban rata dan miring kea rah saluran lubang kotoran
2. Jangan membuang plastic, puntung rokok, atau benda lain ke saluran kotoran karena
dapat menyumbat saluran
3. Jangan mengalirkan air cucian ke saluran atau lubang kotoran karena jamban akan cepat
penuh
4. Hindarkan cara penyambungan aliran dengan sudut mati. Gunakan pipa berdiameter
minimal 4 inci. Letakkan pipa dengan kemiringan minimal 2:100
7. Tidak menimbulkan pandangan yang kurang sopan
Jamban Sehat secara prinsip harus mampu memutuskan hubungan antara tinja dan lingkungan.
Sebuah jamban dikatagorikan SEHAT jika :
Secara konstruksi kriteria diatas dalam prakteknya mempunyai banyak bentuk pilihan, tergantung
jenis material penyusun maupun bentuk konstruksi jamban. Pada prinsipnya bangunan jamban dibagi
menjadi 3 bagian utama, bangunan bagian atas (rumah jamban), bangunan bagian tengah
(slab/dudukan jamban), serta bangunan bagian bawah (penampung tinja).
Bangunan bagian atas bangunan jamban terdiri dari atap, rangka dan dinding. Dalam prakteknya
disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat.
- Bangunan dapat meminimalkan gangguan cuaca (baik musim panas maupun musim hujan)
- Kemudahan akses di malam hari- Disarankan untuk menggunakan bahan local
- Ketersediaan fasilitas penampungan air dan tempat sabun untuk cuci tangan
Slab berfungsi sebagai penutup sumur tinja (pit) dan dilengkapi dengan tempat berpijak. Pada
jamban cemplung slab dilengkapi dengan penutup, sedangkan pada kondisi jamban berbentuk bowl
(leher angsa) fungsi penutup ini digantikan oleh keberadaan air yang secara otomatis tertinggal di
didalamnya. Slab dibuat dari bahan yang cukup kuat untuk menopang penggunanya. Bahan-bahan yang
digunakan harus tahan lama dan mudah dibersihkan seperti kayu, beton, bambu dengan tanah liat,
pasangan bata, dan sebagainya. Selain slab, pada bagian ini juga dilengkapi dengan abu atau air.
Penaburan sedikit abu ke dalam sumur tinja (pit) setelah digunakan akan mengurangi bau dan
kelembaban, dan membuatnya tidak menarik bagi lalat untuk berkembang biak. Sedangkan air dan
sabun digunakan untuk cuci tangan.
- Terdapat penutup pada lubang sebagai pelindung terhadap gangguan serangga atau binatang lain.
- Dudukan jamban dibuat harus mempertimbangkan faktor keamanan (menghindari licin, runtuh, atau
terperosok).
Penampung tinja adalah lubang di bawah tanah, dapat berbentuk persegi, lingkaran, bundar
atau yang lainnya. Kedalaman tergantung pada kondisi tanah dan permukaan air tanah di musim hujan.
Pada tanah yang kurang stabil, penampung tinja harus dilapisi seluruhnya atau sebagian dengan bahan
penguat seperti anyaman bambu, batu bata, ring beton, dan lain lain.
- Jenis bangunan, jarak bangunan dan kemiringan letak bangunan terhadap sumber air minum (lebih
baik diatas 10 m)
- Semua masyarakat telah BAB (Buang Air Besar) hanya di jamban yang sehat dan membuang tinja/
kotoran bayi hanya ke jamban yang sehat (termasuk di sekolah)
- Ada penerapan sanksi, peraturan atau upaya lain oleh masyarakat untuk mencegah kejadian BAB di
sembarang tempat
- Ada mekanisme monitoring umum yang dibuat masyarakat untuk mencapai 100% KK mempunyai
jamban sehat
- Ada upaya atau strategi yang jelas untuk dapat mencapai Total Sanitasi
Suatu komunitas yang sudah mencapai status Bebas dari Buang Air Besar Sembarangan, pada
tahap pasca ODF diharapkan akan mencapai tahap yang disebut Sanitasi Total. Sanitasi Total akan
dicapai jika semua masyarakat di suatu komunitas, telah:
- Mempunyai akses dan menggunakan jamban sehat
- Mencuci tangan pakai sabun dan benar saat sebelum makan, setelah BAB, sebelum memegang bayi,
setelah menceboki anak dan sebelum menyiapkan makanan
Untuk menentukan suatu komunitas telah mencapai status ODF, dilakukan dengan proses
verifikasi.
BAB III
Untuk mempercepat akses masyarakat terhadap Jamban Keluarga pemerintah Kec. Praya
melalui dinas Kesehatan dalam dua tahun terakhir meluncurkan program Desa Percontohan Kesehatan
Lingkungan (DPKL) di Lombok Tengah program ini hanya dilaksanakan di Kec. Praya Untuk tahun 2011
setiap kecamatan akan dijadikan 1 sampai 2 DPKL dimana masing-masing desa diberikan 15 paket
stimulan Jaga. DPKL adalah desa yang masyarakatnya telah memiliki kelembagaan dalam suatu
wadah/forum desa sehat/desa siaga yang melaksanakan kegiatan kesehatan lingkungan dengan
swadaya untuk menjadi contoh dan tempat orientasi bagi desa lain dalam upaya peningkatan derajat
kesehatan masyarakat.
Dengan DPKL ini diharapakan berkembangnya kelembagaan di masyarakat, meningkatnya
kondisi kesehatan lingkungan sehingga terjadi penurunan penyakit yang berkaitan dengan lingkungan
dan dapat menjadi sumber motivasi bagi desa lain dan dapat mendukung kegiatan program desa siaga
sebagai upaya menuju desa sehat. Prioritas pengembangan DPKL ini masyarakat kurang mampu akan
tetapi ada kesanggupan untuk menyelesaikan kegiatan ini, belum pernah mendapatkan proyek
sanitasi/air bersih, cakupan sanitasi dan air bersih rendah, dan tingginya kasus penyakit berbasis
lingkungan.Masyarakat yang mendapatkan program ini akan diberikan paket stimulan jamban keluarga
dalam bentuk barang, seperti septik tank rangka kayu ulin, closed, pipa paralon dan elbow, untuk hal
lainnya dibebankan pada masyarakat sebagai bentuk swadaya.
BAB IV
PEMBAHASAN
Jamban keluarga merupakan suatu bangunan yang digunakan untuk tempat membuang dan
mengumpulkan kotoran/najis manusia yang lazim disebut kakus atau WC, sehingga kotoran tersebut
disimpan dalam suatu tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab atau penyebar penyakit dan
mengotori lingkungan pemukiman. Kotoran manusia yang dibuang dalam praktek sehari-hari bercampur
dengan air, maka pengolahan kotoran manusia tersebut pada dasarnya sama dengan pengolahan air
limbah. Oleh sebab itu pengolahan kotoran manusia, demikian pula syarat-syarat yang dibutuhkan pada
dasarnya sama dengan syarat pembuangan air limbah (Depkes RI, 1985).
Pembuangan tinja atau buang air besar disebut secara eksplisit dalam dokumen Millenium
Development Goals (MDGs). Dalam nomenklatur ini buang air besar disebut sebagai sanitasi yang antara
lain meliputi jenis pemakaian atau penggunaan tempat buang air besar, jenis kloset yang digunakan dan
jenis tempat pembuangan akhir tinja. Dalam laporan MDGs 2010, kriteria akses terhadap sanitasi layak
adalah bila penggunaan fasilitas tempat BAB milik sendiri atau bersama, jenis kloset yang digunakan
jenis latrine dan tempat pembuangan akhir tinjanya menggunakan tangki septik atau sarana
pembuangan air limbah atau SPAL. Sedangkan kriteria yang digunakan Joint Monitoring Program (JMP)
WHO-UNICEF 2008, sanitasi terbagi dalam empat kriteria, yaitu improved, shared, unimproved dan open
defecation. Dikategorikan sebagai improved bila penggunaan sarana pembuangan kotoran nya sendiri,
jenis kloset latrine dan tempat pembuangan akhir tinjanya tangki septik atau SPAL.
Pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sangat berpengaruh pada penyebaran penyakit
berbasis lingkungan, sehingga untuk memutuskan rantai penularan ini harus dilakukan rekayasa pada
akses ini. Agar usaha tersebut berhasil, akses masyarakat pada jamban (sehat) harus mencapai 100%
pada seluruh komunitas.
Suatu komunitas yang sudah mencapai status Bebas dari Buang Air Besar Sembarangan, pada tahap
pasca ODF diharapkan akan mencapai tahap yang disebut Sanitasi Total.
Banyak orang menyindir, bahwa sementara di banyak negara masalah sanitasi dan kesehatan
lingkungan sudah berkutat pada upaya intens menurunkan dan mengadaptasi dampak rumah kaca,
sementara kita masih sibuk mengurusi jamban. Akses pada sanitasi khususnya pada penggunaan jamban
sehat, saat ini memang masih menjadi masalah serius di banyak negara berkembang, seperti Indonesia.
Masih tingginya angka buang air besar pada sebarang tempat atau open defecation, menjadi salah satu
indikator rendahnya akses ini.
Dampak serius yang ditimbulkan kondisi diatas sangat diyakini banyak pihak, berpengaruh baik
secara ekonomi maupun kesehatan masyarakat. Menurut studi yang dilakukan Wordl Bank, Indonesia
kehilangan lebih dari Rp 58 triliun, atau setara dengan Rp 265.000 per orang per tahun karena sanitasi
yang buruk. Dan sebagai akibat dari sanitasi yang buruk ini, diperkirakan menyebabkan angka kejadian
diare sebanyak 121.100 kejadian dan mengakibatkan lebih dari 50.000 kematian setiap tahunnya.
Sebuah fakta yang seharusnya mampu menyengat kita para pemerhati dan praktisi kesehatan
masyarakat.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hingga saat ini belum dijumpai adanya definisi jamban di tingkat peraturan pemerintah dalam
sistem perundangan di Indonesia. Dengan demikian tidak ada pula istilah itu dalam tataran undang-
undang. Bisa jadi dengan akan dirampungkannya rencana undang-undang (RUU) tentang Air Limbah
Permukiman maka definisi jamban, kakus, WC, toilet, atau apapun nama lainnya akan terwadahi secara
formal dalam sistem regulasi di Indonesia. Buang air besar (BAB) sembarangan bukan lagi zamannya.
Dampak BAB sembarangan sangat buruk bagi kesehatan dan keindahan. Selain jorok, berbagai jenis
penyakit ditularkan. Sebagai gantinya, BAB harus pada tempatnya yakni di jamban. Hanya saja harus
diperhatikan pembangunan jamban tersebut agar tetap sehat dan tidak menimbulkan dampak buruk
bagi lingkungan.
B. Saran
1. Dalam satu Kepala Keluarga minimal harus memiliki satu Jamban di Rumah
2. Dalam membuat jamban sebaiknya memperhatikan tempat pembangunan agar tidak
mencemari air atau tanah di permukaan
3. Dalam membuat Jamban juga perlu di perhatikan ruangn yang mempunyai atap agar tidak
terkena hujan atau panas matahari
DAFTAR PUSTAKA
http://www.cwasta.org/index.php?option=com_content&view=article&id=59:definisi-jamban-
sehat&catid=2:berita&Itemid=35
http://stbm-indonesia.org/index.php?r=sanitasipedia&cat=51&id=428
http://environmentalsanitation.wordpress.com/2010/07/20/jamban-sehat/
http://abahjack.com/jamban.html#more-463
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diare hingga saat ini masih merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan
kematian hampir di seluruh daerah geografis di dunia dan semua kelompok usia bisa diserang
oleh diare, tetapi penyakit berat dengan kematian yang tinggi terutama terjadi pada bayi dan anak
balita. Di negara berkembang, anak-anak menderita diare lebih dari 12 kali per tahun dan hal ini
yang menjadi penyebab kemaotian sebesar 15-34% dari semua penyebab kematian (Aman, 2004
dalam Zubir et al, 2006).
Di negara berkembang, anak-anak balita mengalami rata-rata 3-4 kali kejadian diare per
tahun tetapi di beberapa tempat terjadi lebih dari 9 kali kejadian diare per tahun atau hampir 15-
20% waktu hidup anak dihabiskan untuk diare (Soebagyo, 2008).
Penyakit diare di Indonesia merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang
utama, hal ini disebabkan karena masih tingginya angka kesakitan diare yang menimbulkan
banyak kematian terutama pada balita. Angka kesakitan diare di Indonesia dari tahun ke tahun
cenderung meningkat. Angka kesakitan diare pada tahun 2006 yaitu 423 per 1000 penduduk,
dengan jumlah kasus 10.980 penderita dengan jumlah kematian 277 (CFR 2,52%).
Di Indonesia dilaporkan terdapat 1,6 sampai 2 kejadian diare per tahun pada balita,
sehingga secara keseluruhan diperkirakan kejadian diare pada balita berkisar antara 40 juta
setahun dengan kematian sebanyak 200.000-400.000 balita. survei tahun 2000 yang dilakukan
oleh Ditjen P2MPL Depkes di 10 provinsi, didapatkan hasil bahwa dari 18.000 rumah tangga
yang disurvei diambil sampel sebanyak 13.440 balita, dan kejadian diare pada balita yaitu 1,3
episode kejadian diare pertahun (Soebagyo, 2008).
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan angka kejadian penyakit
diare yang tinggi karena tingginya morbiditas dan mortalitas (Magdarina, 2010).
Hal yang menyebabkan seseorang mudah terserang penyakit adalah perilaku hidup
masyarakat yang kurang baik dan sanitasi lingkungan yang buruk. Diare dapat berakibat fatal
apabila tidak ditangani secara serius karena tubuh balita sebagian besar terdiri dari air dan
daging, sehingga bila terjadi diare sangat mudah terkena dehidrasi (Irianto, 1996).
Menurut hasil penelitian Irianto (1996), anak balita yang berasal dari keluarga yang
menggunakan jamban yang dilengkapi dengan tangki septik, prevalensi diare 7,4% terjadi di kota
dan 7,2% di desa. Sedangkan keluarga yang menggunakan kakus tanpa tangki septik 12,1% diare
terjadi di kota dan 8,9% di desa. Kejadian diare tertinggi terdapat pada keluarga yang
mempergunakan sungai sebagai tempat pembuangan tinja, yaitu 17% di kota dan 12,7 di desa.
Di Kalimantan Selatan masih banyak ditemui kasus diare. Sebagai perbandingan kasus
diare pada tahun 2008 sebanyak 54.316 kasus ,2009 sebanyak 72.020 kasus, tahun 2010
sebanyak 52.908 kasus, serta tahun 2011 sebanyak 66.765 kasus.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah yaitu Bagaimana Pengaruh
Penggunaan Jamban (Kakus) sehat terhadap pertumbuhan penyakit Diare di Kalimantan Selatan.
C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah diatas tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
pengaruh Jamban (kakus) terhadap pertumbuhan penyakit Diare di Kalimantan Selatan.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini adalah memberikan pengetahuan dan informasi tentang
pengaruh jamban (kakus) sehat terhadap pertumbuhan penyakit Diare di Kalimantan Selatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. LINGKUNGAN
Kesehatan lingkungan termasuk semua fisik,kimia, dan faktor biologis eksternal untuk
seseorang, dan faktor-faktor terkait mempengaruhi perilaku. Ini meliputi penilaian dan
pengendalian faktor-faktor lingkungan yang berpotensi dapat mempengaruhi kesehatan. Hal ini
ditargetkan untuk mencegah penyakit dan menciptakan lingkungan kesehatan-mendukung.
(WHO)
Lingkungan adalah segala sesuatu disekitar kita, baik itu udara, tanah, air, makanan, dan
tempat kita bernaung. Beberapa hubungan antara lingkungan dengan manusia yanag berpotensi
menjadi tempat penularan diare yaitu sumber air minum , jenis tempat pembuangan tinja, dan
jenis lantai rumah. ( Depkes RI)
Kesehatan lingkungan adalah suatu kondisi lingkungan yang mampu menopang
keseimbangan ekologi yang dinamis antara manusia dan lingkungannya untuk mendukung
tercapainya kualitas hidup manusia yang sehat dan bahagia. (Himpunan Ahli Kesehatan
Lingkungan Indonesia/ HAKLI)
Lingkungan hidup diartikan sebagai segala benda, kondisi, keadaan dan pengaruh yang
terdapat dalam ruangan yang kita tempat dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk kehidupan
manusia. Batas ruang lingkungan menurut pengertian ini bisa sangat luas, namun untuk
praktisnya dibatasi ruang lingkungan dengan faktor-faktor yang dapat dijangkau oleh manusia
seperti faktor politik, faktor sosial, faktor ekonomi, faktor alam dan lain-lain. ( Salim; 2011)
Lingkungan hidup jasmani atau fisik yang meliputi dan mencakup segala unsur dan faktor
fisik jasmaniah yang berada didalam alam. Didalam pengertian ini, maka hewan, tumbuh-
tumuhan dan manusia tersebut itu dilihat dan akan dianggap sebagai perwujudan secara fisik
jasmani belaka. Dalam hal tersebut Lingkungan, diartikan sebagai mencakup lingkungan hidup
hewan, tumbuh-tumbuhan dan manusia yang terdapat didalamnya. (Soedjono; 2010)
Lingkungan hidup adalah seluruh benda dan daya serta keadaan termasuk yang ada
didalamnya manusia dan segala tingkah perbuatannya yang berada dalam ruang dimana manusia
memang berada dan mempengaruhi suatu kelangsungan hidup serta pada kesejahteraan manusia
dan jasah hidup yang lainnya. Dengan demikian bahwa tercakup segi lingkungan budaya dan
segi lingkungan fisik. ( Munadjat Danusaputro;2010)
Beberapa tanda lingkungan tidak sehat antara udara, tanah, dan airnya tidak bersih. Udara
dikatakan tidak bersih jika udara tersebut terkotori oleh asap. Udara kotor tidak baik untuk
kesehatan pernapasan. Tanah dikatakan tidak bersih jika di tanah tersebut terdapat sampah.
Sampah yang menggunung akan mengeluarkan bau tidak sedap. Selain itu, sampah tersebut
menjadi tempat kerumunan lalat. Lalat ini dapat menyebarkan kuman penyakit ke tempat
lain. Air dikatakan tidak bersih jika air tersebut tergenang karena penuh sampah. Air yang
tergenang dapat menjadi sarang nyamuk. Nyamuk ini dapat menjadi pembawa penyakit ( Depkes
RI : 2000)
B. JAMBAN
Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan kotoran manusia
yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa
(cemplung) yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan air untuk
membersihkannya.(Joharrudin ; 2010)
Jamban keluarga merupakan suatu bangunan yang digunakan untuk tempat membuang
dan mengumpulkan kotoran/najis manusia yang lazim disebut kakus atau WC, sehingga kotoran
tersebut disimpan dalam suatu tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab atau penyebar
penyakit dan mengotori lingkungan pemukiman. Kotoran manusia yang dibuang dalam praktek
sehari-hari bercampur dengan air, maka pengolahan kotoran manusia tersebut pada dasarnya
sama dengan pengolahan air limbah. Oleh sebab itu pengolahan kotoran manusia, demikian pula
syarat-syarat yang dibutuhkan pada dasarnya sama dengan syarat pembuangan air limbah
(Depkes RI, 2000)
Pembuangan tinja merupakan bagian yang penting dari kesehatan lingkungan.
Pembuangan tinja yang tidak tepat dapat berpengaruh langsung terhadap insiden penyakit
tertentu yang penularannya melalui tinja antara lain penyakit diare (Haryoto, 2000).
Jamban keluarga adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang dan
mengumpulkan kotoran sehingga kotoran tersebut tersimpan dalam suatu tempat tertentu dan
tidak menjadi penyebab suatu penyakit serta tidak mengotori permukaan (Kusnoputranto,2000).
Sementara itu menurut Josep Soemardi (1999) pengertian jamban adalah pengumpulan
kotoran manusia disuatu tempat sehingga tidak menyebabkan bibit penyakit yang ada pada
kotoran manusia dan mengganggu estetika.
Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan kotoran manusia
yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa
(cemplung) yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan air untuk membersihkannya.
C. DEFINISI TINJA
Difinisi Tinja sendiri ( Ekskreta )Yaitu sebagai kotoran manusia yang berbentuk padat,
dengan berat basah tinja individu berkisar antara 20 gram 1,5 killogram. Tinja adalah bahan
buangan yang dikeluarkan dari tubuh manusia melalui anus sebagai sisa dari proses pencernaan
makanan di sepanjang sistem saluran pencernaan (tractus digestifus).
Pengertian tinja ini juga mencakup seluruh bahan buangan yang dikeluarkan dari tubuh
manusia termasuk karbon monoksida (CO2) yang dikeluarkan sebagai sisa dari proses
pernafasan, keringat, lendir dari ekskresi kelenjar, dan sebagainya (Soeparman, 2002:11).
Ekskreta manusia (human excreta) yang berupa feses dan air seni (urine)merupakan hasil
akhir dari proses yang berlangsung dalam tubuh manusia yang menyebabkan pemisahan dan
pembuangan zat-zat yang tidak dibutuhkan oleh tubuh (Chandra, 2007:124).
Komposisi Tinja
Menurut Azwar (2000:74) seorang yang normal diperkirakan menghasilkan tinja rata-rata
sehari sekitar 83 gram dan menghasilkan air seni sekitar 970 gram. Kedua jenis kotoran manusia
ini sebagian besar berupa air, terdiri dari zat-zat organik (sekitar 20% untuk tinja dan 2,5% untuk
air seni), serta zat-zat anorganik seperti nitrogen, asam fosfat, sulfur, dan sebagainya. Perkiraan
komposisi tinja dapat dilihat pada tabel berikut (Soeparman, 2002).
Selain kandungan komponen-komponen di atas, pada setiap gram tinja juga mengandung
berjuta-juta mikroorganisme yang pada umumnya tidak berbahaya bagi kesehatan/ tidak
menyebabkan penyakit. Namun tinja potensial mengandung mikroorganisme patogen, terutama
apabila manusia yang menghasilkannya menderita penyakit saluran pencernaan makanan
(enteric or intestinal disesases). Mikroorganisme tersebut dapat berupa bakteri, virus, protozoa,
ataupun cacing-cacing parasit. Coliform bacteria yang dikenal sebagai Echerichia coli dan Fecal
stretococci (enterococci) yang sering terdapat di saluran pencernaan manusia, dikeluarkan dari
tubuh manusia dan hewan-hewan berdarah panas lainnya dalam jumlah besar rata-rata sekitar 50
juta per gram (Soeparman, 2002)
2. Jamban cemplung berventilasi (ventilasi improved pit latrine): Jamban ini hampir sama dengan
jamban cubluk, bedanya menggunakan ventilasi pipa. Untuk daerah pedesaan pipa ventilasi ini
dapat dibuat dari bambu.
3. Jamban empang (fish pond latrine): Jamban ini dibangun di atas empang ikan. Di dalam sistem
jamban empang ini terjadi daur ulang (recycling) yaitu tinja dapat langsung dimakan ikan, ikan
dimakan orang, dan selanjutnya orang mengeluarkan tinja, demikian seterusnya.
4. Jamban pupuk (the compost privy): Pada prinsipnya jamban ini seperti kakus cemplung, hanya
lebih dangkal galiannya, di dalam jamban ini juga untuk membuang kotoran binatang dan
sampah, daun-daunan.
5. Septic tank: Jamban jenis septic tank ini merupakan jamban yang paling memenuhi persyaratan,
oleh sebab itu cara pembuangan tinja semacam ini yang dianjurkan. Septic tank terdiri dari
tangki sedimentasi yang kedap air, dimana tinja dan air buangan masuk mengalami dekomposisi.
Jamban bentuk septic tank sebagai bentuk jamban yang paling memenuhi syarat, tinja
mengalami beberapa proses didalamnya, sebagai berikut :
1. Proses kimiawi: Akibat penghancuran tinja akan direduksi sebagian besar (60- 70%), zat-zat
padat akan mengendap di dalam tangki sebagai sludge Zat-zat yang tidak dapat hancur bersama-
sama dengan lemak dan busa akan mengapung dan membentuk lapisan yang menutup
permukaan air dalam tangki tersebut. Lapisan ini disebut scum yang berfungsi mempertahankan
suasana anaerob dari cairan di bawahnya, yang memungkinkan bakteri-bakteri anaerob dan
fakultatif anaerob dapat tumbuh subur, yang akan berfungsi pada proses selanjutnya.
2. Proses biologis: Dalam proses ini terjadi dekomposisi melalui aktivitas bakteri anaerob dan
fakultatif anaerob yang memakan zat-zat organik alam sludge dan scum. Hasilnya selain
terbentuknya gas dan zat cair lainnya, adalah juga pengurangan volume sludge, sehingga
memungkinkan septic tank tidak cepat penuh. Kemudian cairan influent sudah tidak
mengandung bagian-bagian tinja dan mempunyai BOD yang relatif rendah. Cairan influent
akhirnya dialirkan melalui pipa
E. LALAT
Jenis lalat yang perlu diwaspadai di antaranya lalat rumah (Musca domestica), lalat hijau
(Lucilla s eritica), lalat biru (Calliphora vornituria), dan lalat latirine (Fannia canicularis). Dari
keempat jenis tersebut, lalat rumah adalah yang paling dikenal sebagai pembawa penyakit. dan
banyak dijumpai di tempat-tempat yang terdapat sampah basah hasil buangan rumah tangga,
terutama yang kaya zat-zat organik yang sedang membusuk. Di lalat mencari makanan dan
berkembang biak. (HDIndonesia ; 2010)
Semua jenis lalat bisa menularkan diare.Penyakit diare bukan semata-mata disebabkan
oleh lalat. Lalat hanyalah perantara virus, kuman. Perilaku kitalah yang menjadi penyebab
sesungguhnya.(Faisal ; 2011)
Gejala Diare
Menurut Widjaja (2000), gejala-gejala diare adalah sebagai berikut :
a. Bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah. Suhu badannya pun meninggi,
b. Tinja bayi encer, berlendir atau berdarah,
c. Warna tinja kehijauan akibat bercampur dengan cairan empedu,
d. Lecet pada anus,
e. Gangguan gizi akibat intake (asupan) makanan yang kurang,
f. Muntah sebelum dan sesudah diare,
g. Hipoglikemia (penurunan kadar gula darah), dan
h. Dehidrasi (kekurangan cairan). Dehidarsi dibagi menjadi tiga macam, yaitu dehidrasi ringan,
dehidrasi sedang dan dehidarsi berat. Disebut dehidrasi ringan jika cairan tubuh yang hilang 5%.
Jika cairan yang hilang lebih dari 10% disebut dehidrasi berat. Pada dehidrasi berat, volume
darah berkurang, denyut nadi dan jantung bertambah cepat tetapi melemah, tekanan darah
merendah, penderita lemah, kesadaran menurun dan penderita sangat pucat (Widjaja, 2000).
BAB III
PEMBAHASAN
Lingkungan sangat mempengaruhi penyakit Diare. Seseorang akan sangat rentan terkena
Diare apabila dia tinggal di Lingkungan yang tidak sehat (kotor), namun sebaliknya jika dia
tinggal di daerah yang sehat penyakit Diare akan sangat jarang terjadi. Lingkungan adalah suatu
kondisi lingkungan yang mampu menopang keseimbangan ekologi yang dinamis antara manusia
dan lingkungannya untuk mendukung tercapainya kualitas hidup manusia yang sehat dan
bahagia. (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia/ HAKLI). Sedangkan pengertian
Lingkungan yang tidak sehat adalah lingkungan yang kotor.
Pengertian Diare adalah fases keluar terlalu encer karena kolon terinfeksi kuman
sehingga penyerapan air kembali oleh kolon terhambat. Diare adalah buang air besar lembek atau
cair dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (biasanya tiga kali atau
lebih dalam sehari). (Depkes ; 2000)
Penyebaran kuman yang menyebabkan diare,Kuman penyebab diare biasanya menyebar
melalui fecal oral antara lain melalui makanan atau minuman yang tercemar tinja dan atau
kontak langsung dengan tinja penderita. Beberapa perilaku dapat menyebabkan penyebaran
kuman enterik dan meningkatkan risiko terjadinya diare, antara lain tidak memberikan ASI
secara penuh 4-6 bulan pada pertama kehidupan, menggunakan botol susu, menyimpan makanan
masak pada suhu kamar, menggunakan air minum yang tercemar, tidak mencuci tangan sesudah
buang air besar atau sesudah membuang tinja anak atau sebelum makan atau menyuapi anak, dan
tidak membuang tinja dengan benar.
Jenis tempat pembuangan tinja yang tidak saniter akan memperpendek rantai penularan
penyakit diare. Infeksi menyebar melalui tinja orang yang terinfeksi. Infeksi juga bisa ditularkan
melalui kontak mulut-ke-dubur atau dari makanan, air, benda-benda atau lalat yang
terkontaminasi. Wabah sering terjadi di pemukiman yang padat dengan tingkat kebersihan yang
kurang.Pembuangan tinja merupakan bagian yang penting dari kesehatan lingkungan.
Pembuangan tinja yang tidak menurut aturan memudahkan terjadinya penyebaran penyakit
tertentu yang penulurannya melalui tinja antara lain penyakit diare.
Menurut Notoatmodjo (2003), syarat pembuangan kotoran yang memenuhi aturan
kesehatan adalah tidak mengotori permukaan tanah di sekitarnya, tidak mengotori air permukaan
di sekitarnya, tidak mengotori air dalam tanah di sekitarnya, dan kotoran tidak boleh terbuka
sehingga dapat dipakai sebagai tempat lalat bertelur atau perkembangbiakan vektor penyakit
lainnya.
Jenis tempat pembuangan tinja dibedakan menjadi jenis jamban sehat dan jenis jamban
tidak sehat. Jenis jamban tidak sehat yaitu jenis jamban tanpa tangki septik atau jamban
cemplung dan rumah yang tidak memiliki jamban sehingga bila buang air besar mereka pergi ke
sungai. Jenis tempat pembuangan tinja tersebut termasuk jenis tempat pembuangan tinja yang
tidak saniter.
Jenis tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat kesehatan, akan berdampak
pada banyaknya lalat. Sedangkan jenis jamban sehat yaitu jamban yang memiliki tangki septik
atau lebih dikenal dengan jamban leher angsa. Menurut Entjang (2000), jamban leher angsa
(angsa latrine) merupakan jenis jamban yang memenuhi syarat kesehatan. Jamban ini berbentuk
leher angsa sehingga akan selalu terisi air, yang berfungsi sebagai sumbat sehingga bau dari
jamban tidak tercium dan mencegah masuknya lalat ke dalam lubang. Jamban leher angsa
menurut Sukarni (2002), memiliki keuntungan antara lain aman untuk anak-anak dan dapat
dibuat di dalam rumah karena tidak menimbulkan bau.
Bila dilihat dari perilaku ibu, masih ada sebagian ibu yang tidak membuang tinja balita
dengan benar, mereka membuang tinja balita ke sungai, ke kebun atau pekarangan. Mereka
beranggapan bahwa tinja balita tidak berbahaya. Padahal menurut Depkes (2000), tinja balita
juga berbahaya karena mengandung virus atau bakteri dalam jumlah besar. Tinja balita juga
dapat menularkan penyakit pada balita itu sendiri dan juga pada orang tuanya. Selain itu tinja
binatang dapat pula menyebabkan infeksi pada manusia.
Tinja yang dibuang di tempat terbuka dapat digunakan oleh lalat untuk bertelur dan
berkembang biak. Lalat berperan dalam penularan penyakit melalui tinja (faecal borne disease),
lalat senang menempatkan telurnya pada kotoran manusia yang terbuka, kemudian lalat tersebut
hinggap di kotoran manusia dan hinggap pada makanan manusia (Soeparman dan Suparmin,
2003).
Penggunaan jamban yang benar akan menekan angka prevalensi diare. Menurut hasil
penelitian Irianto ( 2000), anak balita yang berasal dari keluarga yang menggunakan jamban
yang dilengkapi dengan tangki septik, prevalensi diare 7,4% terjadi di kota dan 7,2% di desa.
Sedangkan keluarga yang menggunakan kakus tanpa tangki septik 12,1% diare terjadi di kota
dan 8,9% di desa. Kejadian diare tertinggi terdapat pada keluarga yang mempergunakan sungai
sebagai tempat pembuangan tinja, yaitu 17% di kota dan 12,7% di desa.
Salah satu masalah yang dihadapi masyarakat Kalsel adalah penyediaan sarana jamban
keluarga. Jenis jamban leher angsa merupakan model terbaik yang dianjurkan kesehatan
lingkungan (Entjang; 2000). Penggunaan jamban jenis leher angsa ini akan mencegah bau busuk
serta masuknya binatang kecil.
Jamban angsatrine/ leher angsa merupakan jamban berbentuk leher angsa yang
penampungannya berupa tangki septik kedap air yang berfungsi sebagai wadah proses
penguraian/dekomposisi kotoran manusia yang dilengkapi dengan resapannya. Pilihan leher
angsa harus terbuat dari keramik, porselin atau kaca serat (fiber glass). Tempat air perapat harus
terbuat dari kaca serat atau keramik karena permukaanya licin dan cukup kuat sehingga mudah
dibersihkan.
Selain itu, jamban leher angsa juga tidak berbau dan tidak mengundang serangga. Jamban
ini digunakan untuk daerah yang cukup air dan daerah padat penduduk, karena dapat
menggunakan multiple latrine yaitu suatu lubang penampungan tinja yang digunakan oleh
beberapa jamban (satu lubang dapat menampung kotoran/tinja dari 3-5 jamban).
Akan tetapi jamban jenis ini hanya cocok digunakan didaerah yang cukup air bersih.
Untuk daerah yang sulit air biasanya menggunakan jamban cemplung. Dibeberapa daerah di
Kalsel masih dirasa sulit untuk mencari air bersih, oleh karena itu masih banyak warga Kalsel
yang menggunakan jamban cemplung khususnya masyarakat yang tinggal dipedesaan.
Jamban ini dibuat dengan jalan membuat lubang ke dalam tanah dengan diameter 80
120 cm sedalam 2,5 sampai 8 meter. Jambancemplung tidak boleh terlalu dalam, karena akan
mengotori air tanah dibawahnya. Jarak dari sumber minum sekurang-kurangnya 15 meter.
(Entjang;2000). Tetapi sering dijumpai jamban cemplung yang kurang sempurna,misalnya tanpa
rumah jamban dan tanpa tutup.sehingga serangga mudah masuk dan bau tidak bisa
dihindari,serta karena tidak ada rumah jamban,bila musim hujan maka jamban itu akan penuh
dengan air. jamban cemplung tidak boleh terlalu dalam karna bisa mengotori air tanah
dibawahnya.dalamnya ventilasi (vip latrine) berkisar antara 1,5-3 meter saja,sesui dengan daerah
pedesaan maka rumah jamban tersebut dapat dibuat dari bambu,dinding bambu,atap daun kelapa
atu daun padi,jarak dari sumber air minum sekurang-kurangnya 15 meter.
Bau khas dari kotoran atau tinja disebabkan oleh aktivitas bakteri. Bakteri menghasilkan
senyawa seperti indole, skatole, thiol (senyawa yang mengandung belerang) dan juga gas
hidrogen sulfida. Asupan makanan berupa rempah-rempah dapat rnenambah bau dan kepadatan
kotoran atau tinja.11 Jamban keluarga yang digunakan bila kurang mendapat perhatian dalam
membersihkannya, maka dapat menjadi sarang serangga (lalat) maupun binatang lainnya yang
dapat mencemari makanan dan lingkungan sekitar. Kebersihan yang kurang pada jamban dapat
dikhawatirkan akan menyebabkan berpindahnya penyebab penyakit ke manusia yang di bawa
oleh hewan vektor misalnya lalat. Lalat merupakan vektor dari penyakit diare. Lalat banyak
hidup dan berkembang biak ditempat-tempat yang lembab dan kotor.
Syarat tempat pembuangan tinja harus memenuhi syarat kontruksi juga harus memenuhi
syarat letak adalah syarat tempat pembuangan tinja (bangunan/rembesan) dengan sumber air
minum minimal 10 meter untuk tanah pasir dan 15 meter untuk tanah liat.
Hubungan lalat dan tinja di jamban adalah jika tinja saat kita buang air tidak tidak
ditangani dengan baik akan dihinggapi berbagai serangga dan lalat karena mengandung bahan
organik sehingga memancing serangga dan lalat untuk mendekatinya. Lalat yang datang dari
tinja tersebut membawa bakteri dan mikroorganisme di kaki dan bulu-bulu halus disekujur
tubuhnya dan jika hinggap ke makanan manusia akan menyebabkan penyakit Diare.
Jika kita memiliki jamban sehat maka penanganan tinja akan lebih baik sehingga tidak
akan dihinggapi lalat dan serangga yang secara otomatis akan memutus rantai penyebaran
penyakit diare.
Penyakit diare di Kalimantan Selatan masih termasuk dalam salah satu golongan penykit
terbesar yang angka kejadiannya relatif cukup tinggi keadaan ini di dukung oleh faktor
lingkungan, terutama kondisi sanitasi dasar yang masih tidak baik, misalnya penggunaan air
untuk keperluan sehari-hari yang tidak memenuhi syarat, jamban keluarga yang masih kurang
dan keberadaannya kurang memenuhi syarat, serta kondisi sanitasi perumahan yang masih
kurang dan tidak higienis. Di Kalimantan Selatan masih banyak ditemui kasus diare. Sebagai
perbandingan kasus diare pada tahun 2008 sebanyak 54.316 kasus ,2009 sebanyak 72.020 kasus,
tahun 2010 sebanyak 52.908 kasus, serta tahun 2011 sebanyak 66.765 kasus ( Dinas kesehatan
Prov Kalimantan selatan ; 2012)
Di Kalimantan selatan sudah diterapkan penggunaan jamban leher angsa pada daerah
perkotaan. Walaupun baru didaerah perkotaan namun tindakan ini diharapkan bisa menekan
angka kejadian penyakit diare
Warga kalsel juga sering menggunakan jamban sungai terutama warga yang tinggal
dipinggiran sungai sebagai contoh warga pinggiran sungai Martapura. Jamban jenis ini biasa
dipilih karena murah. Akibat banyaknya jamban dipinggiran sungai martapura yang diperkirakan
sudah berjumlah 2.800 buah maka sungai Martapura sudah mengalami pencemaran tinja yang
serius terbukti dengan dilakukannya pengujian dan ditemukan kandungan bakteri E coli yang
tinggi.
Apabila kondisi sungai yang seperti ini digunakan masyarakat untuk mandi, minum dan
melakukan aktifitas lainnya maka dikhawatirkan akan terkena penyakit diare.
Kasus yang diakibatkan pencemaran e-coli, berdasarkan data Dinas Kesehatan Kalsel,
menunjukan kasus diare terjadi pada 7,71/1000 penduduk dengan angka kematian 0,27/100.000
penduduk.
Selain hubungan langsung dengan bakteri,virus ataupun kuman penyebab diare,
penularan diare juga bisa lewat lalat. Penggunaan sanitasi yang tidak sehat akan menyebabkan
serangga seperti lalat akan hinggap dan bertelur. Yang kemudian bakteri tersebut akan masuk
ketubuh kita melalui makanan yang dihinggapi lalat.
Hal ini lah yang menyebabkan provinsi Kalimantan Selatan berada diurutan pertama
dengan kasus diare terbanyak di pulau kalimantan. Dan berada di urutan ke 11 se indonesia
dengan kejadian diare sebanyak 9,5 % ( Riset Kesehatan dasar tahun 2007).
Pemerintah sudah berupaya menekan angka kejadian diare tersebut dengan program
mendirikan WC umum dengan sanitasi yang baik didaerah pinggiran sungai yang diharapkan
agar warga tidak lagi membuang tinjanya ke sungai.
Program pemerintah ini cukup membuahkan hasil pada tahun 2009 terdapat 72.020 kasus
diare di Kalimantan Selatan. Namun pemerintah terbukti berhasil dengan turunnya jumlah kasus
diare di tahun selanjutnya menjadi 52.908 kasus (Dinas kesehatan Kalimantan selatan; 2012).
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan yang dideskripsikan dapat diambil kesimpulan bahwa
menjaga kesehatan jamban (Kakus) agar tetap sahat sangatlah penting. Hal ini dikarenakan jika
kita tidak menjaga kesehatan jamban , banyak kuman dan serangga yang akan hinggap dan
penyakit akan mudah menyerang tubuh kita salah satunya penyakit diare.
B. SARAN
Saran yang dapat diajukan penulis dari hasil pembahasan makalah ini adalah Untuk
penulisan makalah dapat dikembangkan pada pengaruh Obat-obatan terhadap pertumbuhan
penyakit diare.
DAFTAR PUSTAKA
Suyitno Imam,2011,Karya Tulis Ilmiah (KTI) Panduan, Teori, Pelatihan, dan Contoh.Malang : PT
Refika Aditama
Iyo Mulyono, 2011,Dari Karya Tulis Ilmiah sampai dengan Soft Skills.Bandung: YRAMA WIDYA
Budiarto, E., 2001. Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat.
Jakarta : EGC