You are on page 1of 70

akalah Jamban Yang Sehat Oleh : Joharuddin

BAB I
PENDAHULUAN
Jamban merupakan sanitasi dasar penting yang harus dimiliki setiap
masyarakat sebenarnya,masyarakat sadar dan mengerti arti pentingnya mempunyai
jamban sendiri di rumah. Alasan utama yangselalu diungkapkan masyarakat mengapa
sampai saat ini belum memiliki jamban keluarga adalah tidak atau belummempunyai
uang melihat faktor kenyataan tersebut, sebenarnya tidak adanya jamban di setiap
rumah tangga bukansemata faktor ekonomi, Tetapi lebih kepada adanya kesedaran
masyarakat untuk menerapkan pola hidup sehat (PHBS), jamban pun tidak harus
mewah dengan biaya yang mahal.
Cukup yang sederhana saja disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rumag
tangga. Buat apa jamaban yang mewah sementara perilaku buang air besar (BAB)
masih tetap sembarangan. Ada faktor lain yang menyebabkan masyarakat untuk
membuat atau membangun jamban yaitu ketergantungan pada bantuan pemerintah
dalam hal membangun jamban. Hal ini merupakan bagian dari kesalahan masa lalu
dalam penerapan kebijakan yang justru cenderung memanjakan masyarakat. Program
pembangunan jamban yang dilakukan selama ini kurang optimal khususnya dalam
membangun perubahan masyarakat. pendekatan yang dilakukan mempunyai
karakttreistik yang berorientasi kepada konstruksi atau bangunan fisik jamban
saja,tanpa ada upaya pendidikan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) yang
memadai selain itu desain jamban yang dianjurkan seringkali mahal bagi keluarga
miskin. Subsidi proyek tidak efektif menjangkau kelompok masyarakat miskin. jamban
dibangun, tetapi seringkali tidak digunakan masyarakat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
MEMILIKI DAN MENGGUNAKAN JAMBAN SEHAT

A. Pengertian
Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan
kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk
dengan leher angsa atau tanpa leher angsa (cemplung) yang dilengkapi
dengan unit penampungan kotoran dan air untuk membersihkannya.
b. Jenis jamban yang digunakan

1. Jamban cemplung: Adalah jamban yang penampungannya berupa lupang


yang ebrfungsi menyimpan dan meresapkan cairan kotoran/tinja ke dalam
tanah dan mengendapkan kotoran ke dasar lubang. Untuk jamban cemplung
diharuskan ada penutup agar tidak berbau.
2. Jamban tangki septik/leher angsa: Adalah jamban berbentuk leher angsa
yang penampungannya berupa tangki septik kedap air yang berfungsi
sebagai wadah proses penguraian/dekomposisi kotoran manusia yang
dilengkapi dengan resapannya. Pilihan leher angsa yang terbuat dari
keramik, porselin atau kaca serat (fiber glass). Tempat air perapat harus
terbuat dari kaca serat atau keramik karena permukaanya licin dan cukup
kuat sehingga mudah dibersihkan. Juga tidak berbau dan tidak mengundang
serangga. Tinggi air perapat harus paling sedikit 2 cm, agar bau dari
c. Bagaimana memilih jenis jamban?
Jamban cemplung digunakan untuk daerah yang sulit air
Jamban tangki septik/leher angsa digunakan untuk daerah yang cukup air
dan daerah padat penduduk, karena dapat menggunakan multiple latrine
yaitu satu lubang penampungan tinja/tangki septik digunakan oleh beberapa
jamban (satu lubang dapat menampung kotoran/tinja dari 3-5 jamban)
Daerah pasang surut, tempat penampungan kotoran/tinja hendaknya
ditinggikan kurang lebih 60 cm dari permukaan air pasang.
Siapa yang diharapkan menggunakan jamban?
Setiap aggota rumah tangga harus menggunakan jamban untuk buang
airbesar/buang air kecil.
d. Mengapa harus menggunakan jamban
Menjaga lingkungan bersih, sehat dan tidak berbau
Tidak mencemari sumber air yang ada di sekitamya.
Tidak mengundang datangnya lalat atau serangga yang dapat menjadi
penular penyakit Diare, Kolera Disentri, Thypus, kecacingan, penyakit
saluran pencernaan, penyakit kulit dan keracuanan.
e. Syarat jamban sehat
Tidak mencemari sumber air minum (jarak antara sumber air minum
dengan lubang penampungan minimal 10 meter
Tidak berbau
Kotorarr tidak dapat dijamah oleh serangga dan tikus
Tidak mencemari tanah di sekitamya
Mudah dibersihkan dan aman digunakan
Dilengkapi dinding dan atap pelindung
Penerangan dan ventilasi cukup
Lantai kedap air dan luas ruangan memadai
Tersedia air, sabun, dan alat pembersih

f. Bagaimana cara memelihara jamban sehat

Lantai jamban selalu bersih dan tidak ada genangan air


Bersihkan jamban secara teratur sehingga ruang jamban dalam keadaan
bersih
Di dalam jamban tidak ada kotoran yang terlihat
Tidak ada serangga (kecoa, lalat) dan tikur yang berkeliaran
Tersedia alat pembersih (sabun, sikat dan air bersih)
Bila ada kerusakan segera diperbaiki.
G. Pengetahuan Dan Tindakan Masyarakat Dalam Pemanfaatan
Jamban Keluarga.
Masalah penyehatan lingkungan pemukiman khususnya pada
pembuangan tinja merupakan salah satu dari berbagai masalah kesehatan
yang perlu mendapatkan prioritas. Penyediaan sarana pembuangan tinja
masyarakat terutama dalam pelaksanaannya tidaklah mudah, karena
menyangkut peran serta masyarakat yang biasanya sangat erat kaitannya
dengan prilaku, tingkat ekonomi, kebudayaan dan pendidikan.
Tempat jamban dapat dipilih yang baik, sehingga bau dari jamban
tidak tercium. Secara tersendiri dan ditempatkan di luar atau di dalam
rumah dan berfungsi untuk melayani 1 sampai dengan 5 keluarga, atau
untuk melayani orang-orang di tempat-tempat umum (terminal, bioskop,
dan sebagainya).
Pembuangan tinja perlu mendapat perhatian khusus karena
merupakan satu bahan buangan yang banyak mendatangkan masalah
dalam bidang kesehatan dan sebagai media bibit penyakit, seperti diare,
typhus, muntaber, disentri, cacingan dan gatal-gatal. Selain itu dapat
menimbulkan pencemaran lingkungan pada sumber air dan bau busuk serta
estetika.
Jamban keluarga adalah suatu bangunan yang dipergunakan untuk
membuang tinja atau kotoran manusia atau najis bagi suatu keluarga yang
lazim disebut kakus atau WC. Syarat jamban yang sehat sesuai kaidah-
kaidah kesehatan adalah sebagai berikut :

1. Tidak memncemari sumber air minum


2. Tidak berbau tinja dan tidak bebas dijamah oleh serangga maupun
tikus.
3. Air seni, air bersih dan air penggelontor tidak mencemari tanah sekitar
olehnya itu lantai sedikitnya berukuran 1 X 1 meter dan dibuat cukup
landai, miring kearah lobang jongkok.
4. Mudah dibersihkan dan aman penggunaannnya.
5. Dilengkapi dengan dinding dan penutup
6. Cukup penerangan dan sirkulasi udara.
7. Luas ruangan yang cukup
8. Tersedia air dan alat pembersih.

Pemanfaatan jamban keluarga sangat dipengaruhi oleh tingkat


pengetahuan dan kebiasaan masyarakat. Tujuan program JAGA (jamban
keluarga) yaitu tidak membuang tinja ditempat terbuka melaingkan
membangun jamban untuk diri sendiri dan keluarga. Penggunaan jamban
yang baik adalah kotoran yang masuk hendaknya disiram dengan air yang
cukup, hal ini selalu dikerjakan sehabis buang tinja sehingga kotoran tidak
tampak lagi. Secara periodic Bowl, leher angsa dan lantai jamban digunakan
dan dipelihara dengan baik, sedangkan pada jamban cemplung lubang harus
selalu ditutup jika jamban tidak digunakan lagi, agar tidak kemasukan
benda-benda lain.
Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam menentukan jarak jamban dan
sumber air bersih adalah sebagai berikut :

1. Kondisi daerah, datar atau miring


2. Tinggi rendahnya permukaan air
3. Arah aliran air tanah
4. Sifat, macam dan struktur tanah

Pemeliharaan jamban keluarga sehat yang baik adalah lantai jamban


hendaknya selalu bersih dan tidak ada genangan air, bersihkan jamban
secara teratur sehingga ruang jamban selalu dalam keadaan bersih,
didalam jamban tidak ada kotoran terlihat, tidak ada serangga(kecoa, lalat)
dan tikus berkeliaran, tersedia alat pembersih dan bila ada kerusakan segera
diperbaiki.
H. Tempat Jamban

Pelat Jongkok
Pelat jongkok harus selalu bersih dan licin. Untuk itu pilihlah pelat jongkok
yang terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan, misalnya keramik, kaca
serat, porselin, dan sebagainya.
Pondasi
Umumnya tebal pondasi jamban 20-40 cm dan dalamnya 40 cm, terbuat
dari batu kali, bata atau batako. Adukannya terdiri dari semen : pasir = 1 :
6. Jika semen diganti dengan kapur dan semen merah : pasir = 1 : 3 : 4

Lantai
Lantai beton setebal 10 cm, kedap air, awet, dan mudah dibersihkan. Lantai
tegel dapat dipasang dengan adukan semen : pasir = 1 : 3.
Pintu
Pintu dapat dibuat dari bambu atau kayu yang dilapisi seng atau aluminium
sehingga tidak mudah lapuk. jarak tepi bawah pintu dari lantai sekitar 5-7,5
cm. Ukuran :
tinggi 1,80 m.
lebar 0,65 m.
Dinding
Dinding dapat dibuat dari bata/batako, kayu/papan, anyaman bambu. Tinggi
dinding : 1,00 - 2,00 m. dinding depan 20 cm lebih tinggi supaya atapnya
miring ke belakang.
Untuk menghemat biaya, dinding dapat dibagi dua:

bagian bawah dibuat dari bata setinggi 1,5 m supaya pemakaiannya


terlindung
bagian atas dapat dari anyaman bambu atau papan
dinding bawah setinggi 40-50 cm harus dplester dengan kedap air
agar tidak lembab dan mudah dibersihkan.

Lubang Angin
Lubang angin sangat diperlukan agar selalu terjadi pergantian udara di
dalam jamban
Atap
Atap jamban berguna sebagai pelindung di waktu hujan dan mencegah air
hujan masuk ke dalam pelat jongkok. Bahan atap misalnya genting, seng
gelombang, ijuk, atap plastik tembus cahaya, daun bambu, alang-alang, dan
sebagainya. Kemiringan atap minimum 15 derajat.
Jarak Cubluk atau Resepan dari Tangki Septik ke Sumur
Bila letak cubluk atau resapan dan tangki septik berdekatan dengan sumur,
maka jarak minimum antara cubluk dan sumur tersebut harus 10 m.

Petunjuk Pemakaian dan Pemeliharaan Jamban yang Dilengkapi


dengan Leher Angsa
1. Sebelum dipakai plat jongkok disiram terlebih dahulu dengan air supaya
najis tidak melekat dan penggelontorannya lancar
2. Jika tidak ada bak penampung air di dalam kakus, sediakan tempat/ember
dengan isi 2 sampai 3 liter
3. Air hujan jangan dialirkan langsung ke dalam jamban demikian juga air dari
kamar mandi. Hal ini untuk menghindarkan gangguan terhadap Tangki
Septik atau Cubluk yang digunakan sebagai tempat pengolahan.
4. Pelat jongkok harus dibersihkan dengan sikat yang khusus untuk itu (yang
bertangkai). Untuk membersihkan dipakai sedikit air dan bubuk sabun atau
abu gosok. Demikian juga lantai kakus/jamban harus dibersihkan setiap
hari.
5. Untuk menghindarkan tersumbatnya perangkap air, jangan membuang
sampah dan kotoran rumah tangga lainnya ke dalam lubang jamban
6. Jangan membuang puntung rokok yang masih menyala ke lubang jamban,
karena dapat mengakibatkan adanya tanda yang berbekas.
7. Perangkap air yang tersumbat dibersihkan dengan belahan bambu dari arah
lubang jamban atau jika ada dari lubang/bak pemeriksa di belakang kakus
8. Jika ada bau busuk dari kakus/jamban, periksalah apakah perangkap air
kosong atau rusak. Jika perangkap air kosong, siramkan air kedalam lubang
jamban.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Jamban keluarga adalah suatu bangunan yang dipergunakan untuk
membuang tinja atau kotoran manusia atau najis bagi suatu keluarga yang
lazim disebut kakus atau WC.
Pemeliharaan jamban keluarga sehat yang baik adalah lantai jamban
hendaknya selalu bersih dan tidak ada genangan air, bersihkan jamban
secara teratur sehingga ruang jamban selalu dalam keadaan bersih,
didalam jamban tidak ada kotoran terlihat, tidak ada serangga(kecoa, lalat)
dan tikus berkeliaran, tersedia alat pembersih dan bila ada kerusakan segera
diperbaiki.
B. Sasaran
Cara pengendalian yang paling sederhana adalah dengan
menumbuhkan kesadaran dari dalam diri untuk untuk selalu menggunakan
jamban yang sehat tidak merusak lingkungan dan pencemarannya. Selain
itu diperlukan juga kontrol sosial budaya masyarakat untuk lebih
menghargai sanitasi lingkungan, walaupun kadang harus dihadapkan pada
mitos tertentu. Peraturan yang tegas dari pemerintah juga sangat
diharapkan karena jika tidak maka perilaku masyarakat untuk menggunakan
jamban yang sehat tidak optimal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sumber : Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu


Kesehatan Masyarakat. Cet. ke-2, Mei. Jakarta : Rineka Cipta. 2003.
2. http//:Sanitasi Lingkunga.htm di kunjungi situsnya pada tanggal 07
Novrmber 2009

Jamban Sehat
July 20, 2010 environmentalsanitation Leave a comment Go to comments

Kriteria Jamban Sehat


Tulisan ini merupakan sharing kami atas pertanyaan mas Tjok Agung Vidyaputra yang
menanyakan tentang kriteria jamban sehat. Sebagian literatur diambil dari Water and Sanitation
Program (WSP).

Jamban Sehat secara prinsip harus mampu memutuskan hubungan antara tinja dan lingkungan.
Sebuah jamban dikatagorikan SEHAT jika :
1. Mencegah kontaminasi ke badan air
2. Mencegah kontak antara manusia dan tinja
3. Membuat tinja tersebut tidak dapat dihinggapi serangga, serta binatang lainnya.
4. Mencegah bau yang tidak sedap
5. Konstruksi dudukannya dibuat dengan baik & aman bagi pengguna.
Secara konstruksi kriteria diatas dalam prakteknya mempunyai banyak bentuk pilihan,
tergantung jenis material penyusun maupun bentuk konstruksi jamban. Pada prinsipnya
bangunan jamban dinagi menjadi 3 bagian utama, bangunan bagian atas (Rumah Jamban),
bangunan bagian tengah (slab/dudukan jamban), serta bangunan bagian bawah (penampung
tinja).

1. Rumah Jamban (Bangunan bagian atas)


Bangunan bagian atas bangunan jamban terdiri dari atap, rangka dan dinding. Dalam prakteknya
disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat.
Beberapa pertimbangan pada bagian ini antara lain :
Sirkulasi udara yang cukup
Bangunan mampu menghindarkan pengguna terlihat dari luar
Bangunan dapat meminimalkan gangguan cuaca (baik musim panas maupun musim hujan)
Kemudahan akses di malam hari
Disarankan untuk menggunakan bahan lokal
Ketersediaan fasilitas penampungan air dan tempat sabun untuk cuci tangan

2. Slab / Dudukan Jamban (Bangunan Bagian Tengah)


Slab berfungsi sebagai penutup sumur tinja (pit) dan dilengkapi dengan tempat berpijak. Pada
jamban cemplung slab dilengkapi dengan penutup, sedangkan pada kondisi jamban berbentuk
bowl (leher angsa) fungsi penutup ini digantikan oleh keberadaan air yang secara otomatis
tertinggal di didalamnya. Slab dibuat dari bahan yang cukup kuat untuk menopang penggunanya.
Bahan-bahan yang digunakan harus tahan lama dan mudah dibersihkan seperti kayu, beton,
bambu dengan tanah liat, pasangan bata, dan sebagainya. Selain slab, pada bagian ini juga
dilengkapi dengan abu atau air. Penaburan sedikit abu ke dalam sumur tinja (pit) setelah
digunakan akan mengurangi bau dan kelembaban, dan membuatnya tidak menarik bagi lalat
untuk berkembang biak. Sedangkan air dan sabun digunakan untuk cuci tangan. Pertimbangan
untuk bangunan bagian tengah.

Terdapat penutup pada lubang sebagi pelindung terhadap gangguan serangga atau binatang
lain.
Dudukan jamban dibuat harus mempertimbangkan faktor keamanan (menghindari licin, runtuh,
atau terperosok).
Bangunan dapat menghindarkan/melindungi dari kemungkinan timbulnya bau.
Mudah dibersihkan dan tersedia ventilasi udara yang cukup.

3. Penampung Tinja (Bangunan bagian bawah)


Penampung tinja adalah lubang di bawah tanah, dapat berbentuk persegi, lingkaran, bundar atau
yang lainnya. Kedalaman tergantung pada kondisi tanah dan permukaan air tanah di musim
hujan. Pada tanah yang kurang stabil, penampung tinja harus dilapisi seluruhnya atau sebagian
dengan bahan penguatseperti anyaman bambu, batu bata, ring beton, dan lain lain.
Pertimbangan untuk bangunan bagian bawah antara lain :

Daya resap tanah (jenis tanah)


Kepadatan penduduk (ketersediaan lahan)
Ketinggian muka air tanah
Jenis bangunan, jarak bangunan dan kemiringan letak bangunan terhadap sumber air minum
(lebih baik diatas 10 m)
Umur pakai (kemungkinan pengurasan, kedalaman lubang/kapasitas)
Diutamakan dapat menggunakan bahan lokal
Bangunan yang permanen dilengkapi dengan manhole
Pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sangat berpengaruh pada penyebaran penyakit
berbasis lingkungan, sehingga untuk memutuskan rantai penularan ini harus dilakukan rekayasa
pada akses ini. Agar usaha tersebut berhasil, akses masyarakat pada jamban (sehat) harus
mencapai 100% pada seluruh komunitas. Keadaan ini kemudian lebih dikenal dengan istilah
Open Defecation Free (ODF). Suatu Masyarakat Disebut ODF jika :

1. Semua masyarakat telah BAB (Buang Air Besar) hanya di jamban yang sehat dan membuang
tinja/ kotoran bayi hanya ke jamban yang sehat (termasuk di sekolah)
2. Tidak terlihat tinja manusia di lingkungan sekitar
3. Ada penerapan sanksi, peraturan atau upaya lain oleh masyarakat untuk mencegah kejadian
BAB di sembarang tempat
4. Ada mekanisme monitoring umum yang dibuat masyarakat untuk mencapai 100% KK
mempunyai jamban sehat
5. Ada upaya atau strategi yang jelas untuk dapat mencapai Total Sanitasi

Suatu komunitas yang sudah mencapai status Bebas dari Buang Air Besar Sembarangan, pada
tahap pasca ODFdiharapkan akan mencapai tahap yang disebut Sanitasi Total. Sanitasi Total
akan dicapai jika semua masyarakat di suatu komunitas, telah:

1. Mempunyai akses dan menggunakan jamban sehat


2. Mencuci tangan pakai sabun dan benar saat sebelum makan, setelah BAB, sebelum memegang
bayi, setelah menceboki anak dan sebelum menyiapkan makanan
3. Mengelola dan menyimpan air minum dan makanan yang aman
4. Mengelola limbah rumah tangga (cair dan padat).

Untuk menentukan suatu komunitas telah mencapai status ODF, dilakukan dengan proses
verifikasi. Detail lengkap tentang proses verifikasi ODF ini akan disampaikan dilain kesempatan
.

inspeksi sanitasi

MAKALAH KEPERAWATAN TENTANG JAMBAN SEHAT


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hingga saat ini belum dijumpai adanya definisi jamban di tingkat peraturan pemerintah dalam

sistem perundangan di Indonesia. Dengan demikian tidak ada pula istilah itu dalam tataran undang-

undang. Bisa jadi dengan akan dirampungkannya rencana undang-undang (RUU) tentang Air Limbah

Permukiman maka definisi jamban, kakus, WC, toilet, atau apapun nama lainnya akan terwadahi secara

formal dalam sistem regulasi di Indonesia.

Di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 16/2008 tentang Kebijakan dan Strategi

Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Limbah Permukiman tidak disebutkan adanya istilah

jamban. Namun di dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah nomor 534/2001

tentang Pedoman Standar Pelayanan Minimal disebutkan adanya sarana sanitasi individual dan komunal

berupa jamban beserta MCK-nya. Lebih jauh lagi di dalam Buku Panduan Penyehatan Lingkungan

Permukiman untuk RPIJM 2007 disebutkan adanya pengumpulan data primer tentang jamban keluarga.

Di dalam Petunjuk Teknis Tata Cara Pembuatan Bangunan Jamban Keluarga dan Sekolah 1998 dari

Departemen Pekerjaan Umum, disebutkan bahwa jamban mencakup bangunan atas yang antara lain

terdiri: plat jongkok, leher angsa, lantai, dinding, dll, tetapi tidak termasuk bangunan bawahnya.

Di dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor 852/2008 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total

Berbasis Masyarakat disebutkan bahwa jamban sehat adalah fasilitas pembuangan tinja yang efektif

untuk memutuskan mata rantai penularan penyakit. Di dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor
715/2003 tentang Persyarakan Hygiene Sanitasi Jasaboga disebutkan bahwa usaha jasaboga harus

menyediakan WC Umum dengan fasilitas jamban dan peturasan sesuai dengan jumlah karyawannya.

Cukup menarik karena disebutkan di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 24/2007

tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah disebutkan adanya fasilitas jamban yang harus

disediakan sekolah sebagai tempat untuk buang air besar dan/atau air kecil. Jamban harus mempunyai

dinding, atap, dst yang disediakan untuk peserta didik pria, wanita, dan guru. Lebih menarik lagi adalah

Standar Toilet Umum Indonesia dari Kementerian Negara Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2004 yang

justru tidak menyebutkan sama sekali istilah jamban dan menggantinya dengan ruang buang air besar

(WC) dan ruang buang air kecil (urinal). Toilet dalam hal ini mencakup pembuangan dan pengolahan

limbahnya, baik secara setempat (on-site) ataupun terpusat (off-site). Tidak kalah menariknya adalah

istilah tempat buang air besar (bukan jamban) yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik di dalam Survei

Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) guna mendapatkan informasi tentang kepemilikan dan kualitas

fasilitas BAB tersebut.

Adanya ketidaksamaan istilah tentang jamban ini tentu saja tidak akan mengganggu proses

masyarakat untuk membuang hajatnya. Namun ketidak seragaman istilah ini sangat menggambarkan

ketidakseriusan penanganan sanitasi di lapangan. Buruknya pelayanan publik tentang sanitasi ini dapat

dilihat dari hasil SUSENAS itu sendiri. Kepemilikan tempat buang air besar secara nasional menurut

SUSENAS 2007 baru 59,86%. Dari 59,86% itupun yang mempunya kloset tipe leher angsa-pun baru

71,5%. Di dalam laporan tersebut tidak disebutkan bagaimana sebenarnya kualitas dari tempat buang

air besar yang ada di lapangan. Dari 59,86% itupun baru 49,13% yang memiliki tangki septik. Lagi-lagi

tidak disebutkan bagaimana pula sebenarnya kualitas dari tangki septik yang ada di lapangan. Apalagi

menurut Laporan Indonesian Sanitation Sector Development Program (ISSDP, 2004) disebutkan bahwa

masyarakat Indonesia yang masih melakukan buang air besar sembarangan masih lebih dari 40%. PBB
pun menyebutkan kalau masih ada lebih dari 2,6 milyar orang di dunia yang tidak punya akses sanitasi

yang memadai (PBB, 2004). Berbagai informasi ini tentu saja menggambarkan bagaimana sebenarnya

buruknya pelayanan publik untuk sanitasi. Untuk itu tidak saja harus dibuat keseragaman pengertian

tentang jamban atau apapun tentang kesepakatan namanya, tetapi juga harus adanya sosialisasi dan

kesepakatan yang jelas tentang ini agar kerugian yang hingga Rp 56 trilyun/tahun karena sanitasi yang

buruk ini dapat segera diselesaikan.

Di Indonesia, penduduk pedesaan yang menggunakan air bersih baru mencapai 67,3%. Dari angka

tersebut hanya separuhnya (51,4%) yang memenuhi syarat bakteriologis. Sedangkan penduduk yang

menggunakan jamban sehat (WC) hanya 54%. Itulah sebabnya penyakit diare sebagai salah satu

penyakit yang ditularkan melalui air masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan angka

kesakitan 374 per 1000 penduduk. Selain itu diare merupakan penyebab kematian nomor 2 pada Balita

dan nomor 3 bagi bayi serta nomor 5 bagi semua umur.

B. Tujuan Penulisan

Tujuan umum

Untuk mengetahui asuhan keperawatan keluarga tentang jamban sehat

Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui konsep dasar jamban sehat

2. Untuk mengetahui konsep keperawatan jamban sehat

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Pengertian Jamban

Kita berdomisili disuatu wilayah pemukiman, sebut saja wilayah itu setingkat

dengan desa atau kelurahan. Pernahkah kita befikir berapa jumlah rumah di wilayah

kita yang memiliki jamban, dan berapa jumlah rumah yang belum memiliki jamban.

Bila rumah yang memiliki jamban melebihi 80% dari jumlah rumah yang ada, berarti

wilayah tersebut termasuk wilayah yang cukup baik dalam hal pembuangan kotoran

manusia.

Bagi rumah yang belum memiliki jamban, sudah dipastikan mereka mereka itu

mamanfatkan sungai, kebun, kolam, atau tempat lainnya untuk buang air besar (BAB).

Bagi yang telah memiliki jamban bisa dipastikan BAB di jamban. Tapi tidak selalu begitu

, terkadang walaupun memiliki jamban ada sebagian kecil yang masih BAB di tempat

lain, karena alasan tertentu.

B. Kerugian tidak memiliki jamban

Dengan masih adanya masyarakat di sutau wilayah yang BAB sembarangan, maka wilayah tersebut

terancam beberapa penyakit menular yang berbasis lingkungan diantaranya : Penyakit Cacingan,

Cholera (muntaber), Diare, Typus, Disentri, Paratypus, Polio, Hepatitis B dan masih banyak penyakit

lainnya. Semakin besar prosentase yang BAB sembarangan maka ancaman penyakit itu semakin tinggi

itensitasnya. Keadaan ini sama halnya dengan fenomena bom waktu, yang bisa terjadi ledakan penyakit

pada suatu waktu cepat atau lambat.


Sebaiknya semua orang BAB di jamban yang memenuhi syarat, dengan demikian wilayahnya

terbebas dari ancaman penyakit penyakit tersebut. Dengan BAB di jamban banyak penyakit berbasis

lingkungan yang dapat dicegah, tentunya jamban yang memenuhi syarat kesehatan. Kalau membahas

soal jamban maka tentunya harus lengkap dengan sarana Air Bersih untuk menunjang keberlangsungan

pemanfaatan jamban.

C. Kriteria Jamban Sehat

Jamban yang memenuhi syarat kesehatan atau sayarat Sanitasi adalah sebagai berikut :

1. Kotoran tidak dapat dijangkau oleh binatang penular penyakit, seperti : Kecoa, tikus, lalat dll.

2. Tidak menimbulkan bau

3. Kotoran ditempatkan disuatu tempat, tidak menyebar ke mana mana

4. Tidak mencemari sumber air bersih

5. Tidak menggangu pemandangan/estetika

6. Aman digunakan

Untuk memenuhi syarat no.1 dan 3, maka kotoran ditempatkan di satu tempat, bisa lobang jamban

atau septik tank, ukuran volumenya disesuaikan dengan kebutuhan atau jumlah pemakai. Untuk

memenuhi syarat no 1 dan 2, maka digunakan kloset yang dilengkapi leher angsa, dimana pada leher

angsa akan tergenang air utnuk mencegah bau yang timbul dari lobang jamban atau septic tank, dan

mencegah masuknya binatang binatang seperti lalat, kecoa, nyamuk, tikus dll. Untuk memenuhi syarat

no. 4 , dalam membuat jamban terutama lokasi lobang jamban atau septic tank atau lobang resapan

dibuat sejauh mingkin dari sumber air yang ada misalnya Sumur Gali dsbnya, atau setidak tidaknya tidak

kurang dari 10 meter jarak antara sumur dan lobang jamban. Sedangkan untuk memenuhi syarat no 5
dan 6 , hendaknya jamban dibuat dari bahan bahan yang memadai baik kekuatannya maupun

konstruksinya dibuat sedemikan rupa agar kelihatan indah dan rapi.

Jangan lupa pemeliharaan jamban perlu dibiasakan setiap hari, misalnya membersihkan dan

menyikat lantai agar tidak licin, menguras bak air agar terhindar dari penyakit Demam Berdarah Dengue,

siram kloset dengan air secukupnya setelah digunakan, tidak membuang sampah, puntung rokok,

pembalut wanita, air sabun, lisol kedalam kloset.

D. Syarat Membuat Jamban Sehat

Buang air besar (BAB) sembarangan bukan lagi zamannya. Dampak BAB sembarangan sangat

buruk bagi kesehatan dan keindahan. Selain jorok, berbagai jenis penyakit ditularkan.

Sebagai gantinya, BAB harus pada tempatnya yakni di jamban. Hanya saja harus diperhatikan

pembangunan jamban tersebut agar tetap sehat dan tidak menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan.

Kementerian Kesehatan telah menetapkan syarat dalam membuat jamban sehat. Ada tujuh

kriteria yang harus diperhatikan. Berikut syarat-syarat tersebut:

1. Tidak mencemari air

Saat menggali tanah untuk lubang kotoran, usahakan agar dasar lubang kotoran tidak mencapai

permukaan air tanah maksimum. Jika keadaan terpaksa, dinding dan dasar lubang kotoran harus

dipadatkan dengan tanah liat atau diplester.

1. Jarang lubang kotoran ke sumur sekurang-kurangnya 10 meter

2. Letak lubang kotoran lebih rendah daripada letak sumur agar air kotor dari lubang

kotoran tidak merembes dan mencemari sumur.


3. Tidak membuang air kotor dan buangan air besar ke dalam selokan, empang, danau,

sungai, dan laut

2. Tidak mencemari tanah permukaan

1. Tidak buang besar di sembarang tempat, seperti kebun, pekarangan, dekat sungai,

dekat mata air, atau pinggir jalan.

2. Jamban yang sudah penuh agar segera disedot untuk dikuras kotorannya, atau dikuras,

kemudian kotoran ditimbun di lubang galian.

3. Bebas dari serangga

1. Jika menggunakan bak air atau penampungan air, sebaiknya dikuras setiap minggu. Hal

ini penting untuk mencegah bersarangnya nyamuk demam berdarah

2. Ruangan dalam jamban harus terang. Bangunan yang gelap dapat menjadi sarang

nyamuk.

3. Lantai jamban diplester rapat agar tidak terdapat celah-celah yang bisa menjadi sarang

kecoa atau serangga lainnya

4. Lantai jamban harus selalu bersih dan kering

5. Lubang jamban, khususnya jamban cemplung, harus tertutup

4. Tidak menimbulkan bau dan nyaman digunakan

1. Jika menggunakan jamban cemplung, lubang jamban harus ditutup setiap selesai

digunakan

2. Jika menggunakan jamban leher angsa, permukaan leher angsa harus tertutup rapat

oleh air

3. Lubang buangan kotoran sebaiknya dilengkapi dengan pipa ventilasi untuk membuang

bau dari dalam lubang kotoran


4. Lantan jamban harus kedap air dan permukaan bowl licin. Pembersihan harus dilakukan

secara periodic

5. Aman digunakan oleh pemakainya

1. Pada tanah yang mudah longsor, perlu ada penguat pada dinding lubang kotoran

dengan pasangan batau atau selongsong anyaman bambu atau bahan penguat lai yang

terdapat di daerah setempat

6. Mudah dibersihkan dan tak menimbulkan gangguan bagi pemakainya

1. Lantai jamban rata dan miring kea rah saluran lubang kotoran

2. Jangan membuang plastic, puntung rokok, atau benda lain ke saluran kotoran karena

dapat menyumbat saluran

3. Jangan mengalirkan air cucian ke saluran atau lubang kotoran karena jamban akan cepat

penuh

4. Hindarkan cara penyambungan aliran dengan sudut mati. Gunakan pipa berdiameter

minimal 4 inci. Letakkan pipa dengan kemiringan minimal 2:100

7. Tidak menimbulkan pandangan yang kurang sopan

1. Jamban harus berdinding dan berpintu

2. Dianjurkan agar bangunan jamban beratap sehingga pemakainya terhindar dari

kehujanan dan kepanasan.

E. Kriteria Jamban Sehat

Jamban Sehat secara prinsip harus mampu memutuskan hubungan antara tinja dan lingkungan.

Sebuah jamban dikatagorikan SEHAT jika :


1. Mencegah kontaminasi ke badan air

2. Mencegah kontak antara manusia dan tinja

3. Membuat tinja tersebut tidak dapat dihinggapi serangga, serta binatang

4. Mencegah bau yang tidak sedap

5. Konstruksi dudukannya dibuat dengan baik & aman bagi pengguna.

Secara konstruksi kriteria diatas dalam prakteknya mempunyai banyak bentuk pilihan, tergantung

jenis material penyusun maupun bentuk konstruksi jamban. Pada prinsipnya bangunan jamban dibagi

menjadi 3 bagian utama, bangunan bagian atas (rumah jamban), bangunan bagian tengah

(slab/dudukan jamban), serta bangunan bagian bawah (penampung tinja).

1. Rumah jamban (bangunan bagian atas)

Bangunan bagian atas bangunan jamban terdiri dari atap, rangka dan dinding. Dalam prakteknya

disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat.

Beberapa pertimbangan pada bagian ini antara lain :

- Sirkulasi udara yang cukup

- Bangunan mampu menghindarkan pengguna terlihat dari luar

- Bangunan dapat meminimalkan gangguan cuaca (baik musim panas maupun musim hujan)

- Kemudahan akses di malam hari- Disarankan untuk menggunakan bahan local

- Ketersediaan fasilitas penampungan air dan tempat sabun untuk cuci tangan
2. Slab / dudukan jamban (bangunan bagian tengah)

Slab berfungsi sebagai penutup sumur tinja (pit) dan dilengkapi dengan tempat berpijak. Pada

jamban cemplung slab dilengkapi dengan penutup, sedangkan pada kondisi jamban berbentuk bowl

(leher angsa) fungsi penutup ini digantikan oleh keberadaan air yang secara otomatis tertinggal di

didalamnya. Slab dibuat dari bahan yang cukup kuat untuk menopang penggunanya. Bahan-bahan yang

digunakan harus tahan lama dan mudah dibersihkan seperti kayu, beton, bambu dengan tanah liat,

pasangan bata, dan sebagainya. Selain slab, pada bagian ini juga dilengkapi dengan abu atau air.

Penaburan sedikit abu ke dalam sumur tinja (pit) setelah digunakan akan mengurangi bau dan

kelembaban, dan membuatnya tidak menarik bagi lalat untuk berkembang biak. Sedangkan air dan

sabun digunakan untuk cuci tangan.

Pertimbangan untuk bangunan bagian tengah:

- Terdapat penutup pada lubang sebagai pelindung terhadap gangguan serangga atau binatang lain.

- Dudukan jamban dibuat harus mempertimbangkan faktor keamanan (menghindari licin, runtuh, atau

terperosok).

- Bangunan dapat menghindarkan/melindungi dari kemungkinan timbulnya bau.

- Mudah dibersihkan dan tersedia ventilasi udara yang cukup.

3. Penampung tinja (bangunan bagian bawah)


Penampung tinja adalah lubang di bawah tanah, dapat berbentuk persegi, lingkaran, bundar

atau yang lainnya. Kedalaman tergantung pada kondisi tanah dan permukaan air tanah di musim hujan.

Pada tanah yang kurang stabil, penampung tinja harus dilapisi seluruhnya atau sebagian dengan bahan

penguat seperti anyaman bambu, batu bata, ring beton, dan lain lain.

Pertimbangan untuk bangunan bagian bawah antara lain:

- Daya resap tanah (jenis tanah)

- Kepadatan penduduk (ketersediaan lahan

- Ketinggian muka air tanah

- Jenis bangunan, jarak bangunan dan kemiringan letak bangunan terhadap sumber air minum (lebih

baik diatas 10 m)

- Umur pakai (kemungkinan pengurasan, kedalaman lubang/kapasitas)

- Diutamakan dapat menggunakan bahan local

- Bangunan yang permanen dilengkapi dengan manhole

Pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sangat berpengaruh pada penyebaran penyakit

berbasis lingkungan, sehingga untuk memutuskan rantai penularan ini harus dilakukan rekayasa pada

akses ini. Agar usaha tersebut berhasil, akses masyarakat pada jamban (sehat) harus mencapai 100%

pada seluruh komunitas. Keadaan ini kemudian lebih dikenal dengan istilah Open Defecation Free (ODF).
Suatu masyarakat disebut ODF jika :

- Semua masyarakat telah BAB (Buang Air Besar) hanya di jamban yang sehat dan membuang tinja/

kotoran bayi hanya ke jamban yang sehat (termasuk di sekolah)

- Tidak terlihat tinja manusia di lingkungan sekitar

- Ada penerapan sanksi, peraturan atau upaya lain oleh masyarakat untuk mencegah kejadian BAB di

sembarang tempat

- Ada mekanisme monitoring umum yang dibuat masyarakat untuk mencapai 100% KK mempunyai

jamban sehat

- Ada upaya atau strategi yang jelas untuk dapat mencapai Total Sanitasi

Suatu komunitas yang sudah mencapai status Bebas dari Buang Air Besar Sembarangan, pada

tahap pasca ODFdiharapkan akan mencapai tahap yang disebut Sanitasi Total. Sanitasi Total akan dicapai

jika semua masyarakat di suatu komunitas, telah:

- Mempunyai akses dan menggunakan jamban sehat

- Mencuci tangan pakai sabun dan benar saat sebelum makan, setelah BAB, sebelum memegang bayi,

setelah menceboki anak dan sebelum menyiapkan makanan

- Mengelola dan menyimpan air minum dan makanan yang aman

- Mengelola limbah rumah tangga (cair dan padat).

Untuk menentukan suatu komunitas telah mencapai status ODF, dilakukan dengan proses

verifikasi.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Hingga saat ini belum dijumpai adanya definisi jamban di tingkat peraturan pemerintah dalam

sistem perundangan di Indonesia. Dengan demikian tidak ada pula istilah itu dalam tataran undang-

undang. Bisa jadi dengan akan dirampungkannya rencana undang-undang (RUU) tentang Air Limbah

Permukiman maka definisi jamban, kakus, WC, toilet, atau apapun nama lainnya akan terwadahi secara

formal dalam sistem regulasi di Indonesia. Buang air besar (BAB) sembarangan bukan lagi zamannya.

Dampak BAB sembarangan sangat buruk bagi kesehatan dan keindahan. Selain jorok, berbagai jenis

penyakit ditularkan. Sebagai gantinya, BAB harus pada tempatnya yakni di jamban. Hanya saja harus

diperhatikan pembangunan jamban tersebut agar tetap sehat dan tidak menimbulkan dampak buruk

bagi lingkungan.

B. Saran
1. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi yang pembaca, terutama mahasiswa keperawatan

2. Semoga dapat menjadi bahan acuan pembelajaran bagi mahasiswa keperawatan.

3. semoga makalah ini dapat menjadi pokok bahasan dalam berbagai diskusi dan forum terbuka.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.cwasta.org/index.php?option=com_content&view=article&id=59:definisi-jamban-
sehat&catid=2:berita&Itemid=35

http://stbm-indonesia.org/index.php?r=sanitasipedia&cat=51&id=428

http://environmentalsanitation.wordpress.com/2010/07/20/jamban-sehat/

http://abahjack.com/jamban.html#more-463

Selasa, 09 Juli 2013

MAKALAH PENYEDIAAN JAMBAN KELUARGA

MAKALAH PENYEDIAAN JAMBAN KELUARGA

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN (STIKES) MATARAM

TAHUN AJARAN 2012/2013

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT, karena atas rahmat-Nya yang telah
diberikan pada kami, sehingga makalah Penyediaan Jamban Keluarga ini dapat disusun dengan
cermat dan dapat diselesaikan pada waktunya. Tidak lupa pula, dalam kesempatan ini, kami
mengucapkan banyak terima kasih pada teman-teman yang membantu penyusunan makalah ini dan
terutama kami ucapkan terima kasih pada dosen fasilitator yang telah memberikan kami waktu untuk
menyelesaikan makalah ini agar persentasi dapat dilakukan dengan optimal nantinya.

Kami penyusun, menyadari bahwa penulisan makalah ini tidak jauh dari kesalahan serta
kekurangan, dan kami akan berusaha memperbaikinya untuk proses pembelajaran kami. Dan tentunya,
kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun, agar kami dapat memperbaiki kekurangan dan
dapat lebih baik dalam menyusun makalah selanjutnya.

Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah yang kami susun dapat dimanfaatkan
dengan optimal untuk menunjang kemandirian mahasiswa dalam proses pembelajaran.

Mataram ,17 November 2012

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hingga saat ini belum dijumpai adanya definisi jamban di tingkat peraturan pemerintah dalam
sistem perundangan di Indonesia. Dengan demikian tidak ada pula istilah itu dalam tataran undang-
undang. Bisa jadi dengan akan dirampungkannya rencana undang-undang (RUU) tentang Air Limbah
Permukiman maka definisi jamban, kakus, WC, toilet, atau apapun nama lainnya akan terwadahi secara
formal dalam sistem regulasi di Indonesia.

Di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 16/2008 tentang Kebijakan dan Strategi
Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Limbah Permukiman tidak disebutkan adanya istilah
jamban. Namun di dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah nomor 534/2001
tentang Pedoman Standar Pelayanan Minimal disebutkan adanya sarana sanitasi individual dan komunal
berupa jamban beserta MCK-nya. Lebih jauh lagi di dalam Buku Panduan Penyehatan Lingkungan
Permukiman untuk RPIJM 2007 disebutkan adanya pengumpulan data primer tentang jamban keluarga.
Di dalam Petunjuk Teknis Tata Cara Pembuatan Bangunan Jamban Keluarga dan Sekolah 1998 dari
Departemen Pekerjaan Umum, disebutkan bahwa jamban mencakup bangunan atas yang antara lain
terdiri: plat jongkok, leher angsa, lantai, dinding, dll, tetapi tidak termasuk bangunan bawahnya.
Di dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor 852/2008 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total
Berbasis Masyarakat disebutkan bahwa jamban sehat adalah fasilitas pembuangan tinja yang efektif
untuk memutuskan mata rantai penularan penyakit. Di dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor
715/2003 tentang Persyarakan Hygiene Sanitasi Jasaboga disebutkan bahwa usaha jasaboga harus
menyediakan WC Umum dengan fasilitas jamban dan peturasan sesuai dengan jumlah karyawannya.

Cukup menarik karena disebutkan di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 24/2007
tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah disebutkan adanya fasilitas jamban yang harus
disediakan sekolah sebagai tempat untuk buang air besar dan/atau air kecil. Jamban harus mempunyai
dinding, atap, dst yang disediakan untuk peserta didik pria, wanita, dan guru. Lebih menarik lagi adalah
Standar Toilet Umum Indonesia dari Kementerian Negara Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2004 yang
justru tidak menyebutkan sama sekali istilah jamban dan menggantinya dengan ruang buang air besar
(WC) dan ruang buang air kecil (urinal). Toilet dalam hal ini mencakup pembuangan dan pengolahan
limbahnya, baik secara setempat (on-site) ataupun terpusat (off-site). Tidak kalah menariknya adalah
istilah tempat buang air besar (bukan jamban) yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik di dalam Survei
Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) guna mendapatkan informasi tentang kepemilikan dan kualitas
fasilitas BAB tersebut.

Adanya ketidaksamaan istilah tentang jamban ini tentu saja tidak akan mengganggu proses
masyarakat untuk membuang hajatnya. Namun ketidak seragaman istilah ini sangat menggambarkan
ketidakseriusan penanganan sanitasi di lapangan. Buruknya pelayanan publik tentang sanitasi ini dapat
dilihat dari hasil SUSENAS itu sendiri. Kepemilikan tempat buang air besar secara nasional menurut
SUSENAS 2007 baru 59,86%. Dari 59,86% itupun yang mempunya kloset tipe leher angsa-pun baru
71,5%. Di dalam laporan tersebut tidak disebutkan bagaimana sebenarnya kualitas dari tempat buang
air besar yang ada di lapangan. Dari 59,86% itupun baru 49,13% yang memiliki tangki septik. Lagi-lagi
tidak disebutkan bagaimana pula sebenarnya kualitas dari tangki septik yang ada di lapangan. Apalagi
menurut Laporan Indonesian Sanitation Sector Development Program (ISSDP, 2004) disebutkan bahwa
masyarakat Indonesia yang masih melakukan buang air besar sembarangan masih lebih dari 40%. PBB
pun menyebutkan kalau masih ada lebih dari 2,6 milyar orang di dunia yang tidak punya akses sanitasi
yang memadai (PBB, 2004). Berbagai informasi ini tentu saja menggambarkan bagaimana sebenarnya
buruknya pelayanan publik untuk sanitasi. Untuk itu tidak saja harus dibuat keseragaman pengertian
tentang jamban atau apapun tentang kesepakatan namanya, tetapi juga harus adanya sosialisasi dan
kesepakatan yang jelas tentang ini agar kerugian yang hingga Rp 56 trilyun/tahun karena sanitasi yang
buruk ini dapat segera diselesaikan.
Di Indonesia, penduduk pedesaan yang menggunakan air bersih baru mencapai 67,3%. Dari angka
tersebut hanya separuhnya (51,4%) yang memenuhi syarat bakteriologis. Sedangkan penduduk yang
menggunakan jamban sehat (WC) hanya 54%. Itulah sebabnya penyakit diare sebagai salah satu
penyakit yang ditularkan melalui air masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan angka
kesakitan 374 per 1000 penduduk. Selain itu diare merupakan penyebab kematian nomor 2 pada Balita
dan nomor 3 bagi bayi serta nomor 5 bagi semua umur.

B. Tujuan Penulisan

Tujuan umum

Untuk mengetahui asuhan keperawatan keluarga tentang jamban sehat

Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui konsep dasar jamban sehat

2. Untuk mengetahui konsep keperawatan jamban sehat

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Konsep Jamban Sehat ?

2. Bagaimana Konsep Keperawatan Jamban Sehat ?


D. Manfaat

1. Kotoran tidak berserakan disembarang tempat sehingga tidak akan mengotori sumber air

2. Lingkungan kita menjadi bersih, sehat dan bebas dari bau

3. Mudah dan aman digunakan setiap saat.

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Pengertian Jamban
Kita berdomisili disuatu wilayah pemukiman, sebut saja wilayah itu setingkat dengan desa atau
kelurahan. Pernahkah kita befikir berapa jumlah rumah di wilayah kita yang memiliki jamban, dan
berapa jumlah rumah yang belum memiliki jamban. Bila rumah yang memiliki jamban melebihi 80% dari
jumlah rumah yang ada, berarti wilayah tersebut termasuk wilayah yang cukup baik dalam hal
pembuangan kotoran manusia.

Bagi rumah yang belum memiliki jamban, sudah dipastikan mereka mereka itu mamanfatkan sungai,
kebun, kolam, atau tempat lainnya untuk buang air besar (BAB). Bagi yang telah memiliki jamban bisa
dipastikan BAB di jamban. Tapi tidak selalu begitu , terkadang walaupun memiliki jamban ada sebagian
kecil yang masih BAB di tempat lain, karena alasan tertentu.

B. Kerugian tidak memiliki jamban

Dengan masih adanya masyarakat di sutau wilayah yang BAB sembarangan, maka wilayah tersebut
terancam beberapa penyakit menular yang berbasis lingkungan diantaranya : Penyakit Cacingan,
Cholera (muntaber), Diare, Typus, Disentri, Paratypus, Polio, Hepatitis B dan masih banyak penyakit
lainnya. Semakin besar prosentase yang BAB sembarangan maka ancaman penyakit itu semakin tinggi
itensitasnya. Keadaan ini sama halnya dengan fenomena bom waktu, yang bisa terjadi ledakan penyakit
pada suatu waktu cepat atau lambat.

Sebaiknya semua orang BAB di jamban yang memenuhi syarat, dengan demikian wilayahnya
terbebas dari ancaman penyakit penyakit tersebut. Dengan BAB di jamban banyak penyakit berbasis
lingkungan yang dapat dicegah, tentunya jamban yang memenuhi syarat kesehatan. Kalau membahas
soal jamban maka tentunya harus lengkap dengan sarana Air Bersih untuk menunjang keberlangsungan
pemanfaatan jamban.

C. Kriteria Jamban Sehat


Jamban yang memenuhi syarat kesehatan atau sayarat Sanitasi adalah sebagai berikut :

1. Kotoran tidak dapat dijangkau oleh binatang penular penyakit, seperti : Kecoa, tikus, lalat dll.
2. Tidak menimbulkan bau
3. Kotoran ditempatkan disuatu tempat, tidak menyebar ke mana mana
4. Tidak mencemari sumber air bersih
5. Tidak menggangu pemandangan/estetika
6. Aman digunakan

Untuk memenuhi syarat no.1 dan 3, maka kotoran ditempatkan di satu tempat, bisa lobang jamban
atau septik tank, ukuran volumenya disesuaikan dengan kebutuhan atau jumlah pemakai. Untuk
memenuhi syarat no 1 dan 2, maka digunakan kloset yang dilengkapi leher angsa, dimana pada leher
angsa akan tergenang air utnuk mencegah bau yang timbul dari lobang jamban atau septic tank, dan
mencegah masuknya binatang binatang seperti lalat, kecoa, nyamuk, tikus dll. Untuk memenuhi syarat
no. 4 , dalam membuat jamban terutama lokasi lobang jamban atau septic tank atau lobang resapan
dibuat sejauh mingkin dari sumber air yang ada misalnya Sumur Gali dsbnya, atau setidak tidaknya tidak
kurang dari 10 meter jarak antara sumur dan lobang jamban. Sedangkan untuk memenuhi syarat no 5
dan 6 , hendaknya jamban dibuat dari bahan bahan yang memadai baik kekuatannya maupun
konstruksinya dibuat sedemikan rupa agar kelihatan indah dan rapi.

Jangan lupa pemeliharaan jamban perlu dibiasakan setiap hari, misalnya membersihkan dan
menyikat lantai agar tidak licin, menguras bak air agar terhindar dari penyakit Demam Berdarah Dengue,
siram kloset dengan air secukupnya setelah digunakan, tidak membuang sampah, puntung rokok,
pembalut wanita, air sabun, lisol kedalam kloset.

D. Syarat Membuat Jamban Sehat

Buang air besar (BAB) sembarangan bukan lagi zamannya. Dampak BAB sembarangan sangat
buruk bagi kesehatan dan keindahan. Selain jorok, berbagai jenis penyakit ditularkan.
Sebagai gantinya, BAB harus pada tempatnya yakni di jamban. Hanya saja harus diperhatikan
pembangunan jamban tersebut agar tetap sehat dan tidak menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan.

Kementerian Kesehatan telah menetapkan syarat dalam membuat jamban sehat. Ada tujuh
kriteria yang harus diperhatikan. Berikut syarat-syarat tersebut:

1. Tidak mencemari air

Saat menggali tanah untuk lubang kotoran, usahakan agar dasar lubang kotoran tidak mencapai
permukaan air tanah maksimum. Jika keadaan terpaksa, dinding dan dasar lubang kotoran harus
dipadatkan dengan tanah liat atau diplester.

1. Jarak lubang kotoran ke sumur sekurang-kurangnya 10 meter


2. Letak lubang kotoran lebih rendah daripada letak sumur agar air kotor dari lubang
kotoran tidak merembes dan mencemari sumur.
3. Tidak membuang air kotor dan buangan air besar ke dalam selokan, empang, danau,
sungai, dan laut
2. Tidak mencemari tanah permukaan

1. Tidak buang besar di sembarang tempat, seperti kebun, pekarangan, dekat sungai,
dekat mata air, atau pinggir jalan.
2. Jamban yang sudah penuh agar segera disedot untuk dikuras kotorannya, atau dikuras,
kemudian kotoran ditimbun di lubang galian.
3. Bebas dari serangga

1. Jika menggunakan bak air atau penampungan air, sebaiknya dikuras setiap minggu. Hal
ini penting untuk mencegah bersarangnya nyamuk demam berdarah
2. Ruangan dalam jamban harus terang. Bangunan yang gelap dapat menjadi sarang
nyamuk.
3. Lantai jamban diplester rapat agar tidak terdapat celah-celah yang bisa menjadi sarang
kecoa atau serangga lainnya
4. Lantai jamban harus selalu bersih dan kering
5. Lubang jamban, khususnya jamban cemplung, harus tertutup
4. Tidak menimbulkan bau dan nyaman digunakan

1. Jika menggunakan jamban cemplung, lubang jamban harus ditutup setiap selesai
digunakan
2. Jika menggunakan jamban leher angsa, permukaan leher angsa harus tertutup rapat
oleh air
3. Lubang buangan kotoran sebaiknya dilengkapi dengan pipa ventilasi untuk membuang
bau dari dalam lubang kotoran
4. Lantan jamban harus kedap air dan permukaan bowl licin. Pembersihan harus dilakukan
secara periodic
5. Aman digunakan oleh pemakainya

1. Pada tanah yang mudah longsor, perlu ada penguat pada dinding lubang kotoran
dengan pasangan batau atau selongsong anyaman bambu atau bahan penguat lai yang
terdapat di daerah setempat
6. Mudah dibersihkan dan tak menimbulkan gangguan bagi pemakainya

1. Lantai jamban rata dan miring kea rah saluran lubang kotoran
2. Jangan membuang plastic, puntung rokok, atau benda lain ke saluran kotoran karena
dapat menyumbat saluran
3. Jangan mengalirkan air cucian ke saluran atau lubang kotoran karena jamban akan cepat
penuh
4. Hindarkan cara penyambungan aliran dengan sudut mati. Gunakan pipa berdiameter
minimal 4 inci. Letakkan pipa dengan kemiringan minimal 2:100
7. Tidak menimbulkan pandangan yang kurang sopan

1. Jamban harus berdinding dan berpintu


2. Dianjurkan agar bangunan jamban beratap sehingga pemakainya terhindar dari
kehujanan dan kepanasan.

E. Kriteria Jamban Sehat

Jamban Sehat secara prinsip harus mampu memutuskan hubungan antara tinja dan lingkungan.
Sebuah jamban dikatagorikan SEHAT jika :

1. Mencegah kontaminasi ke badan air

2. Mencegah kontak antara manusia dan tinja


3. Membuat tinja tersebut tidak dapat dihinggapi serangga, serta binatang

4. Mencegah bau yang tidak sedap

5. Konstruksi dudukannya dibuat dengan baik & aman bagi pengguna.

Secara konstruksi kriteria diatas dalam prakteknya mempunyai banyak bentuk pilihan, tergantung
jenis material penyusun maupun bentuk konstruksi jamban. Pada prinsipnya bangunan jamban dibagi
menjadi 3 bagian utama, bangunan bagian atas (rumah jamban), bangunan bagian tengah
(slab/dudukan jamban), serta bangunan bagian bawah (penampung tinja).

1. Rumah jamban (bangunan bagian atas)

Bangunan bagian atas bangunan jamban terdiri dari atap, rangka dan dinding. Dalam prakteknya
disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat.

Beberapa pertimbangan pada bagian ini antara lain :

- Sirkulasi udara yang cukup

- Bangunan mampu menghindarkan pengguna terlihat dari luar

- Bangunan dapat meminimalkan gangguan cuaca (baik musim panas maupun musim hujan)
- Kemudahan akses di malam hari- Disarankan untuk menggunakan bahan local

- Ketersediaan fasilitas penampungan air dan tempat sabun untuk cuci tangan

2. Slab / dudukan jamban (bangunan bagian tengah)

Slab berfungsi sebagai penutup sumur tinja (pit) dan dilengkapi dengan tempat berpijak. Pada
jamban cemplung slab dilengkapi dengan penutup, sedangkan pada kondisi jamban berbentuk bowl
(leher angsa) fungsi penutup ini digantikan oleh keberadaan air yang secara otomatis tertinggal di
didalamnya. Slab dibuat dari bahan yang cukup kuat untuk menopang penggunanya. Bahan-bahan yang
digunakan harus tahan lama dan mudah dibersihkan seperti kayu, beton, bambu dengan tanah liat,
pasangan bata, dan sebagainya. Selain slab, pada bagian ini juga dilengkapi dengan abu atau air.
Penaburan sedikit abu ke dalam sumur tinja (pit) setelah digunakan akan mengurangi bau dan
kelembaban, dan membuatnya tidak menarik bagi lalat untuk berkembang biak. Sedangkan air dan
sabun digunakan untuk cuci tangan.

Pertimbangan untuk bangunan bagian tengah:

- Terdapat penutup pada lubang sebagai pelindung terhadap gangguan serangga atau binatang lain.

- Dudukan jamban dibuat harus mempertimbangkan faktor keamanan (menghindari licin, runtuh, atau
terperosok).

- Bangunan dapat menghindarkan/melindungi dari kemungkinan timbulnya bau.

- Mudah dibersihkan dan tersedia ventilasi udara yang cukup.


3. Penampung tinja (bangunan bagian bawah)

Penampung tinja adalah lubang di bawah tanah, dapat berbentuk persegi, lingkaran, bundar
atau yang lainnya. Kedalaman tergantung pada kondisi tanah dan permukaan air tanah di musim hujan.
Pada tanah yang kurang stabil, penampung tinja harus dilapisi seluruhnya atau sebagian dengan bahan
penguat seperti anyaman bambu, batu bata, ring beton, dan lain lain.

Pertimbangan untuk bangunan bagian bawah antara lain:

- Daya resap tanah (jenis tanah)

- Kepadatan penduduk (ketersediaan lahan

- Ketinggian muka air tanah

- Jenis bangunan, jarak bangunan dan kemiringan letak bangunan terhadap sumber air minum (lebih
baik diatas 10 m)

- Umur pakai (kemungkinan pengurasan, kedalaman lubang/kapasitas)

- Diutamakan dapat menggunakan bahan local

- Bangunan yang permanen dilengkapi dengan manhole


Pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sangat berpengaruh pada penyebaran penyakit
berbasis lingkungan, sehingga untuk memutuskan rantai penularan ini harus dilakukan rekayasa pada
akses ini. Agar usaha tersebut berhasil, akses masyarakat pada jamban (sehat) harus mencapai 100%
pada seluruh komunitas. Keadaan ini kemudian lebih dikenal dengan istilah Open Defecation Free (ODF).

Suatu masyarakat disebut ODF jika :

- Semua masyarakat telah BAB (Buang Air Besar) hanya di jamban yang sehat dan membuang tinja/
kotoran bayi hanya ke jamban yang sehat (termasuk di sekolah)

- Tidak terlihat tinja manusia di lingkungan sekitar

- Ada penerapan sanksi, peraturan atau upaya lain oleh masyarakat untuk mencegah kejadian BAB di
sembarang tempat

- Ada mekanisme monitoring umum yang dibuat masyarakat untuk mencapai 100% KK mempunyai
jamban sehat

- Ada upaya atau strategi yang jelas untuk dapat mencapai Total Sanitasi

Suatu komunitas yang sudah mencapai status Bebas dari Buang Air Besar Sembarangan, pada
tahap pasca ODF diharapkan akan mencapai tahap yang disebut Sanitasi Total. Sanitasi Total akan
dicapai jika semua masyarakat di suatu komunitas, telah:
- Mempunyai akses dan menggunakan jamban sehat

- Mencuci tangan pakai sabun dan benar saat sebelum makan, setelah BAB, sebelum memegang bayi,
setelah menceboki anak dan sebelum menyiapkan makanan

- Mengelola dan menyimpan air minum dan makanan yang aman

- Mengelola limbah rumah tangga (cair dan padat).

Untuk menentukan suatu komunitas telah mencapai status ODF, dilakukan dengan proses
verifikasi.

BAB III

PENGAMATAN / SURVEY LAPANGAN

Untuk mempercepat akses masyarakat terhadap Jamban Keluarga pemerintah Kec. Praya
melalui dinas Kesehatan dalam dua tahun terakhir meluncurkan program Desa Percontohan Kesehatan
Lingkungan (DPKL) di Lombok Tengah program ini hanya dilaksanakan di Kec. Praya Untuk tahun 2011
setiap kecamatan akan dijadikan 1 sampai 2 DPKL dimana masing-masing desa diberikan 15 paket
stimulan Jaga. DPKL adalah desa yang masyarakatnya telah memiliki kelembagaan dalam suatu
wadah/forum desa sehat/desa siaga yang melaksanakan kegiatan kesehatan lingkungan dengan
swadaya untuk menjadi contoh dan tempat orientasi bagi desa lain dalam upaya peningkatan derajat
kesehatan masyarakat.
Dengan DPKL ini diharapakan berkembangnya kelembagaan di masyarakat, meningkatnya
kondisi kesehatan lingkungan sehingga terjadi penurunan penyakit yang berkaitan dengan lingkungan
dan dapat menjadi sumber motivasi bagi desa lain dan dapat mendukung kegiatan program desa siaga
sebagai upaya menuju desa sehat. Prioritas pengembangan DPKL ini masyarakat kurang mampu akan
tetapi ada kesanggupan untuk menyelesaikan kegiatan ini, belum pernah mendapatkan proyek
sanitasi/air bersih, cakupan sanitasi dan air bersih rendah, dan tingginya kasus penyakit berbasis
lingkungan.Masyarakat yang mendapatkan program ini akan diberikan paket stimulan jamban keluarga
dalam bentuk barang, seperti septik tank rangka kayu ulin, closed, pipa paralon dan elbow, untuk hal
lainnya dibebankan pada masyarakat sebagai bentuk swadaya.

BAB IV

PEMBAHASAN

Jamban keluarga merupakan suatu bangunan yang digunakan untuk tempat membuang dan
mengumpulkan kotoran/najis manusia yang lazim disebut kakus atau WC, sehingga kotoran tersebut
disimpan dalam suatu tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab atau penyebar penyakit dan
mengotori lingkungan pemukiman. Kotoran manusia yang dibuang dalam praktek sehari-hari bercampur
dengan air, maka pengolahan kotoran manusia tersebut pada dasarnya sama dengan pengolahan air
limbah. Oleh sebab itu pengolahan kotoran manusia, demikian pula syarat-syarat yang dibutuhkan pada
dasarnya sama dengan syarat pembuangan air limbah (Depkes RI, 1985).

Pembuangan tinja atau buang air besar disebut secara eksplisit dalam dokumen Millenium
Development Goals (MDGs). Dalam nomenklatur ini buang air besar disebut sebagai sanitasi yang antara
lain meliputi jenis pemakaian atau penggunaan tempat buang air besar, jenis kloset yang digunakan dan
jenis tempat pembuangan akhir tinja. Dalam laporan MDGs 2010, kriteria akses terhadap sanitasi layak
adalah bila penggunaan fasilitas tempat BAB milik sendiri atau bersama, jenis kloset yang digunakan
jenis latrine dan tempat pembuangan akhir tinjanya menggunakan tangki septik atau sarana
pembuangan air limbah atau SPAL. Sedangkan kriteria yang digunakan Joint Monitoring Program (JMP)
WHO-UNICEF 2008, sanitasi terbagi dalam empat kriteria, yaitu improved, shared, unimproved dan open
defecation. Dikategorikan sebagai improved bila penggunaan sarana pembuangan kotoran nya sendiri,
jenis kloset latrine dan tempat pembuangan akhir tinjanya tangki septik atau SPAL.

Pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sangat berpengaruh pada penyebaran penyakit
berbasis lingkungan, sehingga untuk memutuskan rantai penularan ini harus dilakukan rekayasa pada
akses ini. Agar usaha tersebut berhasil, akses masyarakat pada jamban (sehat) harus mencapai 100%
pada seluruh komunitas.

Suatu komunitas yang sudah mencapai status Bebas dari Buang Air Besar Sembarangan, pada tahap
pasca ODF diharapkan akan mencapai tahap yang disebut Sanitasi Total.

Banyak orang menyindir, bahwa sementara di banyak negara masalah sanitasi dan kesehatan
lingkungan sudah berkutat pada upaya intens menurunkan dan mengadaptasi dampak rumah kaca,
sementara kita masih sibuk mengurusi jamban. Akses pada sanitasi khususnya pada penggunaan jamban
sehat, saat ini memang masih menjadi masalah serius di banyak negara berkembang, seperti Indonesia.
Masih tingginya angka buang air besar pada sebarang tempat atau open defecation, menjadi salah satu
indikator rendahnya akses ini.

Dampak serius yang ditimbulkan kondisi diatas sangat diyakini banyak pihak, berpengaruh baik
secara ekonomi maupun kesehatan masyarakat. Menurut studi yang dilakukan Wordl Bank, Indonesia
kehilangan lebih dari Rp 58 triliun, atau setara dengan Rp 265.000 per orang per tahun karena sanitasi
yang buruk. Dan sebagai akibat dari sanitasi yang buruk ini, diperkirakan menyebabkan angka kejadian
diare sebanyak 121.100 kejadian dan mengakibatkan lebih dari 50.000 kematian setiap tahunnya.
Sebuah fakta yang seharusnya mampu menyengat kita para pemerhati dan praktisi kesehatan
masyarakat.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hingga saat ini belum dijumpai adanya definisi jamban di tingkat peraturan pemerintah dalam
sistem perundangan di Indonesia. Dengan demikian tidak ada pula istilah itu dalam tataran undang-
undang. Bisa jadi dengan akan dirampungkannya rencana undang-undang (RUU) tentang Air Limbah
Permukiman maka definisi jamban, kakus, WC, toilet, atau apapun nama lainnya akan terwadahi secara
formal dalam sistem regulasi di Indonesia. Buang air besar (BAB) sembarangan bukan lagi zamannya.
Dampak BAB sembarangan sangat buruk bagi kesehatan dan keindahan. Selain jorok, berbagai jenis
penyakit ditularkan. Sebagai gantinya, BAB harus pada tempatnya yakni di jamban. Hanya saja harus
diperhatikan pembangunan jamban tersebut agar tetap sehat dan tidak menimbulkan dampak buruk
bagi lingkungan.

B. Saran

1. Dalam satu Kepala Keluarga minimal harus memiliki satu Jamban di Rumah
2. Dalam membuat jamban sebaiknya memperhatikan tempat pembangunan agar tidak
mencemari air atau tanah di permukaan
3. Dalam membuat Jamban juga perlu di perhatikan ruangn yang mempunyai atap agar tidak
terkena hujan atau panas matahari
DAFTAR PUSTAKA

Sumijatun, et al. 2005. Konsep Dasar Keperawatan Komunitas. Jakarta : EGC.

http://www.cwasta.org/index.php?option=com_content&view=article&id=59:definisi-jamban-
sehat&catid=2:berita&Itemid=35

http://stbm-indonesia.org/index.php?r=sanitasipedia&cat=51&id=428

http://environmentalsanitation.wordpress.com/2010/07/20/jamban-sehat/
http://abahjack.com/jamban.html#more-463

Makalah lengkap hubungan jamban dan diare di kalimantan selatan

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diare hingga saat ini masih merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan
kematian hampir di seluruh daerah geografis di dunia dan semua kelompok usia bisa diserang
oleh diare, tetapi penyakit berat dengan kematian yang tinggi terutama terjadi pada bayi dan anak
balita. Di negara berkembang, anak-anak menderita diare lebih dari 12 kali per tahun dan hal ini
yang menjadi penyebab kemaotian sebesar 15-34% dari semua penyebab kematian (Aman, 2004
dalam Zubir et al, 2006).
Di negara berkembang, anak-anak balita mengalami rata-rata 3-4 kali kejadian diare per
tahun tetapi di beberapa tempat terjadi lebih dari 9 kali kejadian diare per tahun atau hampir 15-
20% waktu hidup anak dihabiskan untuk diare (Soebagyo, 2008).
Penyakit diare di Indonesia merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang
utama, hal ini disebabkan karena masih tingginya angka kesakitan diare yang menimbulkan
banyak kematian terutama pada balita. Angka kesakitan diare di Indonesia dari tahun ke tahun
cenderung meningkat. Angka kesakitan diare pada tahun 2006 yaitu 423 per 1000 penduduk,
dengan jumlah kasus 10.980 penderita dengan jumlah kematian 277 (CFR 2,52%).
Di Indonesia dilaporkan terdapat 1,6 sampai 2 kejadian diare per tahun pada balita,
sehingga secara keseluruhan diperkirakan kejadian diare pada balita berkisar antara 40 juta
setahun dengan kematian sebanyak 200.000-400.000 balita. survei tahun 2000 yang dilakukan
oleh Ditjen P2MPL Depkes di 10 provinsi, didapatkan hasil bahwa dari 18.000 rumah tangga
yang disurvei diambil sampel sebanyak 13.440 balita, dan kejadian diare pada balita yaitu 1,3
episode kejadian diare pertahun (Soebagyo, 2008).
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan angka kejadian penyakit
diare yang tinggi karena tingginya morbiditas dan mortalitas (Magdarina, 2010).
Hal yang menyebabkan seseorang mudah terserang penyakit adalah perilaku hidup
masyarakat yang kurang baik dan sanitasi lingkungan yang buruk. Diare dapat berakibat fatal
apabila tidak ditangani secara serius karena tubuh balita sebagian besar terdiri dari air dan
daging, sehingga bila terjadi diare sangat mudah terkena dehidrasi (Irianto, 1996).

Menurut hasil penelitian Irianto (1996), anak balita yang berasal dari keluarga yang
menggunakan jamban yang dilengkapi dengan tangki septik, prevalensi diare 7,4% terjadi di kota
dan 7,2% di desa. Sedangkan keluarga yang menggunakan kakus tanpa tangki septik 12,1% diare
terjadi di kota dan 8,9% di desa. Kejadian diare tertinggi terdapat pada keluarga yang
mempergunakan sungai sebagai tempat pembuangan tinja, yaitu 17% di kota dan 12,7 di desa.
Di Kalimantan Selatan masih banyak ditemui kasus diare. Sebagai perbandingan kasus
diare pada tahun 2008 sebanyak 54.316 kasus ,2009 sebanyak 72.020 kasus, tahun 2010
sebanyak 52.908 kasus, serta tahun 2011 sebanyak 66.765 kasus.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah yaitu Bagaimana Pengaruh
Penggunaan Jamban (Kakus) sehat terhadap pertumbuhan penyakit Diare di Kalimantan Selatan.

C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah diatas tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
pengaruh Jamban (kakus) terhadap pertumbuhan penyakit Diare di Kalimantan Selatan.

D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini adalah memberikan pengetahuan dan informasi tentang
pengaruh jamban (kakus) sehat terhadap pertumbuhan penyakit Diare di Kalimantan Selatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. LINGKUNGAN
Kesehatan lingkungan termasuk semua fisik,kimia, dan faktor biologis eksternal untuk
seseorang, dan faktor-faktor terkait mempengaruhi perilaku. Ini meliputi penilaian dan
pengendalian faktor-faktor lingkungan yang berpotensi dapat mempengaruhi kesehatan. Hal ini
ditargetkan untuk mencegah penyakit dan menciptakan lingkungan kesehatan-mendukung.
(WHO)
Lingkungan adalah segala sesuatu disekitar kita, baik itu udara, tanah, air, makanan, dan
tempat kita bernaung. Beberapa hubungan antara lingkungan dengan manusia yanag berpotensi
menjadi tempat penularan diare yaitu sumber air minum , jenis tempat pembuangan tinja, dan
jenis lantai rumah. ( Depkes RI)
Kesehatan lingkungan adalah suatu kondisi lingkungan yang mampu menopang
keseimbangan ekologi yang dinamis antara manusia dan lingkungannya untuk mendukung
tercapainya kualitas hidup manusia yang sehat dan bahagia. (Himpunan Ahli Kesehatan
Lingkungan Indonesia/ HAKLI)
Lingkungan hidup diartikan sebagai segala benda, kondisi, keadaan dan pengaruh yang
terdapat dalam ruangan yang kita tempat dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk kehidupan
manusia. Batas ruang lingkungan menurut pengertian ini bisa sangat luas, namun untuk
praktisnya dibatasi ruang lingkungan dengan faktor-faktor yang dapat dijangkau oleh manusia
seperti faktor politik, faktor sosial, faktor ekonomi, faktor alam dan lain-lain. ( Salim; 2011)
Lingkungan hidup jasmani atau fisik yang meliputi dan mencakup segala unsur dan faktor
fisik jasmaniah yang berada didalam alam. Didalam pengertian ini, maka hewan, tumbuh-
tumuhan dan manusia tersebut itu dilihat dan akan dianggap sebagai perwujudan secara fisik
jasmani belaka. Dalam hal tersebut Lingkungan, diartikan sebagai mencakup lingkungan hidup
hewan, tumbuh-tumbuhan dan manusia yang terdapat didalamnya. (Soedjono; 2010)
Lingkungan hidup adalah seluruh benda dan daya serta keadaan termasuk yang ada
didalamnya manusia dan segala tingkah perbuatannya yang berada dalam ruang dimana manusia
memang berada dan mempengaruhi suatu kelangsungan hidup serta pada kesejahteraan manusia
dan jasah hidup yang lainnya. Dengan demikian bahwa tercakup segi lingkungan budaya dan
segi lingkungan fisik. ( Munadjat Danusaputro;2010)
Beberapa tanda lingkungan tidak sehat antara udara, tanah, dan airnya tidak bersih. Udara
dikatakan tidak bersih jika udara tersebut terkotori oleh asap. Udara kotor tidak baik untuk
kesehatan pernapasan. Tanah dikatakan tidak bersih jika di tanah tersebut terdapat sampah.
Sampah yang menggunung akan mengeluarkan bau tidak sedap. Selain itu, sampah tersebut
menjadi tempat kerumunan lalat. Lalat ini dapat menyebarkan kuman penyakit ke tempat
lain. Air dikatakan tidak bersih jika air tersebut tergenang karena penuh sampah. Air yang
tergenang dapat menjadi sarang nyamuk. Nyamuk ini dapat menjadi pembawa penyakit ( Depkes
RI : 2000)

B. JAMBAN
Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan kotoran manusia
yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa
(cemplung) yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan air untuk
membersihkannya.(Joharrudin ; 2010)
Jamban keluarga merupakan suatu bangunan yang digunakan untuk tempat membuang
dan mengumpulkan kotoran/najis manusia yang lazim disebut kakus atau WC, sehingga kotoran
tersebut disimpan dalam suatu tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab atau penyebar
penyakit dan mengotori lingkungan pemukiman. Kotoran manusia yang dibuang dalam praktek
sehari-hari bercampur dengan air, maka pengolahan kotoran manusia tersebut pada dasarnya
sama dengan pengolahan air limbah. Oleh sebab itu pengolahan kotoran manusia, demikian pula
syarat-syarat yang dibutuhkan pada dasarnya sama dengan syarat pembuangan air limbah
(Depkes RI, 2000)
Pembuangan tinja merupakan bagian yang penting dari kesehatan lingkungan.
Pembuangan tinja yang tidak tepat dapat berpengaruh langsung terhadap insiden penyakit
tertentu yang penularannya melalui tinja antara lain penyakit diare (Haryoto, 2000).
Jamban keluarga adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang dan
mengumpulkan kotoran sehingga kotoran tersebut tersimpan dalam suatu tempat tertentu dan
tidak menjadi penyebab suatu penyakit serta tidak mengotori permukaan (Kusnoputranto,2000).
Sementara itu menurut Josep Soemardi (1999) pengertian jamban adalah pengumpulan
kotoran manusia disuatu tempat sehingga tidak menyebabkan bibit penyakit yang ada pada
kotoran manusia dan mengganggu estetika.
Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan kotoran manusia
yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa
(cemplung) yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan air untuk membersihkannya.

C. DEFINISI TINJA
Difinisi Tinja sendiri ( Ekskreta )Yaitu sebagai kotoran manusia yang berbentuk padat,
dengan berat basah tinja individu berkisar antara 20 gram 1,5 killogram. Tinja adalah bahan
buangan yang dikeluarkan dari tubuh manusia melalui anus sebagai sisa dari proses pencernaan
makanan di sepanjang sistem saluran pencernaan (tractus digestifus).
Pengertian tinja ini juga mencakup seluruh bahan buangan yang dikeluarkan dari tubuh
manusia termasuk karbon monoksida (CO2) yang dikeluarkan sebagai sisa dari proses
pernafasan, keringat, lendir dari ekskresi kelenjar, dan sebagainya (Soeparman, 2002:11).
Ekskreta manusia (human excreta) yang berupa feses dan air seni (urine)merupakan hasil
akhir dari proses yang berlangsung dalam tubuh manusia yang menyebabkan pemisahan dan
pembuangan zat-zat yang tidak dibutuhkan oleh tubuh (Chandra, 2007:124).
Komposisi Tinja
Menurut Azwar (2000:74) seorang yang normal diperkirakan menghasilkan tinja rata-rata
sehari sekitar 83 gram dan menghasilkan air seni sekitar 970 gram. Kedua jenis kotoran manusia
ini sebagian besar berupa air, terdiri dari zat-zat organik (sekitar 20% untuk tinja dan 2,5% untuk
air seni), serta zat-zat anorganik seperti nitrogen, asam fosfat, sulfur, dan sebagainya. Perkiraan
komposisi tinja dapat dilihat pada tabel berikut (Soeparman, 2002).
Selain kandungan komponen-komponen di atas, pada setiap gram tinja juga mengandung
berjuta-juta mikroorganisme yang pada umumnya tidak berbahaya bagi kesehatan/ tidak
menyebabkan penyakit. Namun tinja potensial mengandung mikroorganisme patogen, terutama
apabila manusia yang menghasilkannya menderita penyakit saluran pencernaan makanan
(enteric or intestinal disesases). Mikroorganisme tersebut dapat berupa bakteri, virus, protozoa,
ataupun cacing-cacing parasit. Coliform bacteria yang dikenal sebagai Echerichia coli dan Fecal
stretococci (enterococci) yang sering terdapat di saluran pencernaan manusia, dikeluarkan dari
tubuh manusia dan hewan-hewan berdarah panas lainnya dalam jumlah besar rata-rata sekitar 50
juta per gram (Soeparman, 2002)

D. JENIS TEMPAT PEMBUANGAN TINJA


Menurut Entjang (2000), macam-macam tempat pembuangan tinja, antara lain:
1. Jamban cemplung (Pit latrine)
Jamban cemplung ini sering dijumpai di daerah pedesaan. Jamban ini dibuat dengan jalan
membuat lubang ke dalam tanah dengan diameter 80 120 cm sedalam 2,5 sampai 8 meter.
Jambancemplung tidak boleh terlalu dalam, karena akan mengotori air tanah dibawahnya. Jarak
dari sumber minum sekurang-kurangnya 15 meter.
2. Jamban air (Water latrine)
Jamban ini terdiri dari bak yang kedap air, diisi air di dalam tanah sebagai tempat
pembuangan tinja. Proses pembusukkanya sama seperti pembusukan tinja dalam air kali.
3. Jamban leher angsa (Angsa latrine)
Jamban ini berbentuk leher angsa sehingga akan selalu terisi air. Fungsi air ini sebagai
sumbat sehingga bau busuk dari kakus tidak tercium. Bila dipakai, tinjanya tertampung sebentar
dan bila disiram air, baru masuk ke bagian yang menurun untuk masuk ke tempat
penampungannya.
4. Jamban bor (Bored hole latrine)
Tipe ini sama dengan jamban cemplung hanya ukurannya lebih kecil karena untuk
pemakaian yang tidak lama, misalnya untuk perkampungan sementara. Kerugiannya bila air
permukaan banyak mudah terjadi pengotoran tanah permukaan (meluap).
5. Jamban keranjang (Bucket latrine)
Tinja ditampung dalam ember atau bejana lain dan kemudian dibuang di tempat lain,
misalnya untuk penderita yang tak dapat meninggalkan tempat tidur. Sistem jamban keranjang
biasanya menarik lalat dalam jumlah besar, tidak di lokasi jambannya, tetapi di sepanjang
perjalanan ke tempat pembuangan. Penggunaan jenis jamban ini biasanya menimbulkan bau.
6. Jamban parit (Trench latrine)
Dibuat lubang dalam tanah sedalam 30 - 40 cm untuk tempat defaecatie. Tanah galiannya
dipakai untuk menimbunnya. Penggunaan jamban parit sering mengakibatkan pelanggaran
standar dasar sanitasi, terutama yang berhubungan dengan pencegahan pencemaran tanah,
pemberantasan lalat, dan pencegahan pencapaian tinja oleh hewan.
7. Jamban empang / gantung (Overhung latrine)
Jamban ini semacam rumah-rumahan dibuat di atas kolam, selokan, kali, rawa dan
sebagainya. Kerugiannya mengotori air permukaan sehingga bibit penyakit yang terdapat
didalamnya dapat tersebar kemana-mana dengan air, yang dapat menimbulkan wabah.
8. Jamban kimia (Chemical toilet)
Tinja ditampung dalam suatu bejana yang berisi caustic soda sehingga dihancurkan
sekalian didesinfeksi. Biasanya dipergunakan dalam kendaraan umum misalnya dalam pesawat
udara, dapat pula digunakan dalam rumah. Tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi
syarat sanitasi akan meningkatkan risiko terjadinya diare berdarah pada anak balita sebesar dua
kali lipat dibandingkan dengan keluarga yang mempunyai kebiasaan membuang tinjanya yang
memenuhi syarat sanitasi (Wibowo,20 2004).

Sedangkan syarat jamban sehat menurut Depkes RI (2002), antara lain :


1. Tidak mencemari sumber air minum. Letak lubang penampungan kotoran paling sedikit berjarak
10 meter dari sumur air minum (sumur pompa tangan, sumur gali, dan lain-lain). Tetapi kalau
keadaan tanahnya berkapur atau tanah liat yang retak-retak pada musim kemarau, demikian juga
bila letak jamban di sebelah atas dari sumber air minum pada tanah yang miring, maka jarak
tersebut hendaknya lebih dari 15 meter;
2. Tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah oleh serangga maupun tikus. Untuk itu tinja harus
tertutup rapat misalnya dengan menggunakan leher angsa atau penutup lubang yang rapat;
3. Air seni, air pembersih dan air penggelontor tidak mencemari tanah di sekitarnya, untuk itu
lantai jamban harus cukup luas paling sedikit berukuran 11 meter, dan dibuat cukup
landai/miring ke arah lubang jongkok;
4. Mudah dibersihkan, aman digunakan, untuk itu harus dibuat dari bahan-bahan yang kuat dan
tahan lama dan agar tidak mahal hendaknya dipergunakan bahan-bahan yang ada setempat;
5. Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan berwarna terang;
6. Cukup penerangan;
7. Lantai kedap air;
8. Luas ruangan cukup, atau tidak terlalu rendah;
9. Ventilasi cukup baik;
10. Tersedia air dan alat pembersih.

Berdasarkan bentuknya, terdapat beberapa macam jamban menurut beberapa ahli.


Menurut Azwar (2001), jamban mempunyai bentuk dan nama sebagai berikut :
1. Pit privy (Cubluk): Kakus ini dibuat dengan jalan membuat lubang ke dalam tanah sedalam 2,5
sampai 8 meter dengan diameter 80-120 cm. Dindingnya diperkuat dari batu bata ataupun tidak.
Sesuai dengan daerah pedesaan maka rumah kakus tersebut dapat dibuat dari bambu, dinding
bambu dan atap daun kelapa. Jarak dari sumber air minum sekurang-kurangnya 15 meter.

2. Jamban cemplung berventilasi (ventilasi improved pit latrine): Jamban ini hampir sama dengan
jamban cubluk, bedanya menggunakan ventilasi pipa. Untuk daerah pedesaan pipa ventilasi ini
dapat dibuat dari bambu.
3. Jamban empang (fish pond latrine): Jamban ini dibangun di atas empang ikan. Di dalam sistem
jamban empang ini terjadi daur ulang (recycling) yaitu tinja dapat langsung dimakan ikan, ikan
dimakan orang, dan selanjutnya orang mengeluarkan tinja, demikian seterusnya.
4. Jamban pupuk (the compost privy): Pada prinsipnya jamban ini seperti kakus cemplung, hanya
lebih dangkal galiannya, di dalam jamban ini juga untuk membuang kotoran binatang dan
sampah, daun-daunan.
5. Septic tank: Jamban jenis septic tank ini merupakan jamban yang paling memenuhi persyaratan,
oleh sebab itu cara pembuangan tinja semacam ini yang dianjurkan. Septic tank terdiri dari
tangki sedimentasi yang kedap air, dimana tinja dan air buangan masuk mengalami dekomposisi.

Jamban bentuk septic tank sebagai bentuk jamban yang paling memenuhi syarat, tinja
mengalami beberapa proses didalamnya, sebagai berikut :

1. Proses kimiawi: Akibat penghancuran tinja akan direduksi sebagian besar (60- 70%), zat-zat
padat akan mengendap di dalam tangki sebagai sludge Zat-zat yang tidak dapat hancur bersama-
sama dengan lemak dan busa akan mengapung dan membentuk lapisan yang menutup
permukaan air dalam tangki tersebut. Lapisan ini disebut scum yang berfungsi mempertahankan
suasana anaerob dari cairan di bawahnya, yang memungkinkan bakteri-bakteri anaerob dan
fakultatif anaerob dapat tumbuh subur, yang akan berfungsi pada proses selanjutnya.
2. Proses biologis: Dalam proses ini terjadi dekomposisi melalui aktivitas bakteri anaerob dan
fakultatif anaerob yang memakan zat-zat organik alam sludge dan scum. Hasilnya selain
terbentuknya gas dan zat cair lainnya, adalah juga pengurangan volume sludge, sehingga
memungkinkan septic tank tidak cepat penuh. Kemudian cairan influent sudah tidak
mengandung bagian-bagian tinja dan mempunyai BOD yang relatif rendah. Cairan influent
akhirnya dialirkan melalui pipa

E. LALAT
Jenis lalat yang perlu diwaspadai di antaranya lalat rumah (Musca domestica), lalat hijau
(Lucilla s eritica), lalat biru (Calliphora vornituria), dan lalat latirine (Fannia canicularis). Dari
keempat jenis tersebut, lalat rumah adalah yang paling dikenal sebagai pembawa penyakit. dan
banyak dijumpai di tempat-tempat yang terdapat sampah basah hasil buangan rumah tangga,
terutama yang kaya zat-zat organik yang sedang membusuk. Di lalat mencari makanan dan
berkembang biak. (HDIndonesia ; 2010)
Semua jenis lalat bisa menularkan diare.Penyakit diare bukan semata-mata disebabkan
oleh lalat. Lalat hanyalah perantara virus, kuman. Perilaku kitalah yang menjadi penyebab
sesungguhnya.(Faisal ; 2011)

Bermacam-macam mikroorganisme penyebab penyakit menempel di kaki lalat dan


rambut-rambut halus di sekujur tubuhnya. Berbagai penyakit yang disebabkan oleh lalat biasanya
berhubungan dengan saluran pencernaan. karena perpindahan kuman dan mikroorganisme dari
lalat ke dalam tubuh manusia terjadi secara mekanis. Lalat dari tempat kotor dan busuk
kemudian hinggap di makanan sehingga makanan terkontaminasi. Mikroorganisme akan masuk
ke dalam tubuh bersamaan dengan makanan itu. ( HDIndonesia; 2010)
F. DEINISI DIARE
Hingga kini diare masih menjadi child killer (pembunuh anak-anak) peringkat pertama di
Indonesia. Semua kelompok usia diserang oleh diare, baik balita, anak-anak dan orang dewasa.
Tetapi penyakit diare berat dengan kematian yang tinggi terutama terjadi pada bayi dan anak
balita (Zubir, 2006)
Diare adalah keadaan buang-buang air dengan banyak cairan ( mencret) dan merupakan
gejala dari penyakit-penyakit tertentu atau gangguan lainnya. (Obat-Obat Penting)
Diare adalah buang air besar encer atau cair lebih dari tiga kali sehari. Apabila frekuensi buang
air besar lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair dan bersifat
mendadak datangnya serta berlangsung dalam waktu kurang dari 2 minggu maka hal ini disebut
diare akut. (WHO, 2002)
Menurut Widjaja (2002), diare diartikan sebagai buang air encer lebih dari empat kali
sehari, baik disertai lendir dan darah maupun tidak.
Diare adalah buang air besar lembek atau cair dapat berupa air saja yang frekuensinya
lebih sering dari biasanya (biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari) (Depkes RI, 2002).
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cairan atau setengah
cairan, dengan demikian kandungan air pada tinja lebih banyak dari keadaan normal yakni 100-
200 ml sekali defekasi (Hendarwanto, 2000).
Diare ialah keadaan frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali pada bayi dan lebih dari 3
kali pada anak dengan konsistensi feses encer, dapat berwarna hijau atau dapat bercampur lendir
dan darah (Ngastiyah, 2000).

Epidemiologi Penyakit Diare


Menurut Depkes RI (2005), epidemiologi penyakit diare adalah sebagai berikut :
1. Penyebaran kuman yang menyebabkan diare
Kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui fecal oral antara lain melalui
makanan atau minuman yang tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja penderita.
Beberapa perilaku dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan risiko
terjadinya diare, antara lain tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pada pertama
kehidupan, menggunakan botol susu, menyimpan makanan masak pada suhu kamar,
menggunakan air minum yang tercemar, tidak mencuci tangan sesudah buang air besar atau
sesudah membuang tinja anak atau sebelum makan atau menyuapi anak, dan tidak membuang
tinja dengan benar.
2. Faktor pejamu yang meningkatkan kerentanan terhadap diare
Faktor pada pejamu yang dapat meningkatkan insiden, beberapa penyakit dan lamanya
diare. Faktor-faktor tersebut adalah tidak memberikan ASI sampai umur 2 tahun, kurang gizi,
campak, imunodefisiensi atau imunosupresi dan secara proposional diare lebih banyak terjadi
pada golongan balita
3. Faktor lingkungan dan perilaku
Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan. Dua faktor yang
dominan, yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi
dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare
serta berakumulasi dengan perilaku yang tidak sehat pula, yaitu melalui makanan dan minuman,
maka dapat menimbulkan kejadian diare..

Gejala Diare
Menurut Widjaja (2000), gejala-gejala diare adalah sebagai berikut :
a. Bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah. Suhu badannya pun meninggi,
b. Tinja bayi encer, berlendir atau berdarah,
c. Warna tinja kehijauan akibat bercampur dengan cairan empedu,
d. Lecet pada anus,
e. Gangguan gizi akibat intake (asupan) makanan yang kurang,
f. Muntah sebelum dan sesudah diare,
g. Hipoglikemia (penurunan kadar gula darah), dan
h. Dehidrasi (kekurangan cairan). Dehidarsi dibagi menjadi tiga macam, yaitu dehidrasi ringan,
dehidrasi sedang dan dehidarsi berat. Disebut dehidrasi ringan jika cairan tubuh yang hilang 5%.
Jika cairan yang hilang lebih dari 10% disebut dehidrasi berat. Pada dehidrasi berat, volume
darah berkurang, denyut nadi dan jantung bertambah cepat tetapi melemah, tekanan darah
merendah, penderita lemah, kesadaran menurun dan penderita sangat pucat (Widjaja, 2000).

BAB III
PEMBAHASAN

Lingkungan sangat mempengaruhi penyakit Diare. Seseorang akan sangat rentan terkena
Diare apabila dia tinggal di Lingkungan yang tidak sehat (kotor), namun sebaliknya jika dia
tinggal di daerah yang sehat penyakit Diare akan sangat jarang terjadi. Lingkungan adalah suatu
kondisi lingkungan yang mampu menopang keseimbangan ekologi yang dinamis antara manusia
dan lingkungannya untuk mendukung tercapainya kualitas hidup manusia yang sehat dan
bahagia. (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia/ HAKLI). Sedangkan pengertian
Lingkungan yang tidak sehat adalah lingkungan yang kotor.
Pengertian Diare adalah fases keluar terlalu encer karena kolon terinfeksi kuman
sehingga penyerapan air kembali oleh kolon terhambat. Diare adalah buang air besar lembek atau
cair dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (biasanya tiga kali atau
lebih dalam sehari). (Depkes ; 2000)
Penyebaran kuman yang menyebabkan diare,Kuman penyebab diare biasanya menyebar
melalui fecal oral antara lain melalui makanan atau minuman yang tercemar tinja dan atau
kontak langsung dengan tinja penderita. Beberapa perilaku dapat menyebabkan penyebaran
kuman enterik dan meningkatkan risiko terjadinya diare, antara lain tidak memberikan ASI
secara penuh 4-6 bulan pada pertama kehidupan, menggunakan botol susu, menyimpan makanan
masak pada suhu kamar, menggunakan air minum yang tercemar, tidak mencuci tangan sesudah
buang air besar atau sesudah membuang tinja anak atau sebelum makan atau menyuapi anak, dan
tidak membuang tinja dengan benar.
Jenis tempat pembuangan tinja yang tidak saniter akan memperpendek rantai penularan
penyakit diare. Infeksi menyebar melalui tinja orang yang terinfeksi. Infeksi juga bisa ditularkan
melalui kontak mulut-ke-dubur atau dari makanan, air, benda-benda atau lalat yang
terkontaminasi. Wabah sering terjadi di pemukiman yang padat dengan tingkat kebersihan yang
kurang.Pembuangan tinja merupakan bagian yang penting dari kesehatan lingkungan.
Pembuangan tinja yang tidak menurut aturan memudahkan terjadinya penyebaran penyakit
tertentu yang penulurannya melalui tinja antara lain penyakit diare.
Menurut Notoatmodjo (2003), syarat pembuangan kotoran yang memenuhi aturan
kesehatan adalah tidak mengotori permukaan tanah di sekitarnya, tidak mengotori air permukaan
di sekitarnya, tidak mengotori air dalam tanah di sekitarnya, dan kotoran tidak boleh terbuka
sehingga dapat dipakai sebagai tempat lalat bertelur atau perkembangbiakan vektor penyakit
lainnya.

Jenis tempat pembuangan tinja dibedakan menjadi jenis jamban sehat dan jenis jamban
tidak sehat. Jenis jamban tidak sehat yaitu jenis jamban tanpa tangki septik atau jamban
cemplung dan rumah yang tidak memiliki jamban sehingga bila buang air besar mereka pergi ke
sungai. Jenis tempat pembuangan tinja tersebut termasuk jenis tempat pembuangan tinja yang
tidak saniter.
Jenis tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat kesehatan, akan berdampak
pada banyaknya lalat. Sedangkan jenis jamban sehat yaitu jamban yang memiliki tangki septik
atau lebih dikenal dengan jamban leher angsa. Menurut Entjang (2000), jamban leher angsa
(angsa latrine) merupakan jenis jamban yang memenuhi syarat kesehatan. Jamban ini berbentuk
leher angsa sehingga akan selalu terisi air, yang berfungsi sebagai sumbat sehingga bau dari
jamban tidak tercium dan mencegah masuknya lalat ke dalam lubang. Jamban leher angsa
menurut Sukarni (2002), memiliki keuntungan antara lain aman untuk anak-anak dan dapat
dibuat di dalam rumah karena tidak menimbulkan bau.
Bila dilihat dari perilaku ibu, masih ada sebagian ibu yang tidak membuang tinja balita
dengan benar, mereka membuang tinja balita ke sungai, ke kebun atau pekarangan. Mereka
beranggapan bahwa tinja balita tidak berbahaya. Padahal menurut Depkes (2000), tinja balita
juga berbahaya karena mengandung virus atau bakteri dalam jumlah besar. Tinja balita juga
dapat menularkan penyakit pada balita itu sendiri dan juga pada orang tuanya. Selain itu tinja
binatang dapat pula menyebabkan infeksi pada manusia.
Tinja yang dibuang di tempat terbuka dapat digunakan oleh lalat untuk bertelur dan
berkembang biak. Lalat berperan dalam penularan penyakit melalui tinja (faecal borne disease),
lalat senang menempatkan telurnya pada kotoran manusia yang terbuka, kemudian lalat tersebut
hinggap di kotoran manusia dan hinggap pada makanan manusia (Soeparman dan Suparmin,
2003).
Penggunaan jamban yang benar akan menekan angka prevalensi diare. Menurut hasil
penelitian Irianto ( 2000), anak balita yang berasal dari keluarga yang menggunakan jamban
yang dilengkapi dengan tangki septik, prevalensi diare 7,4% terjadi di kota dan 7,2% di desa.
Sedangkan keluarga yang menggunakan kakus tanpa tangki septik 12,1% diare terjadi di kota
dan 8,9% di desa. Kejadian diare tertinggi terdapat pada keluarga yang mempergunakan sungai
sebagai tempat pembuangan tinja, yaitu 17% di kota dan 12,7% di desa.
Salah satu masalah yang dihadapi masyarakat Kalsel adalah penyediaan sarana jamban
keluarga. Jenis jamban leher angsa merupakan model terbaik yang dianjurkan kesehatan
lingkungan (Entjang; 2000). Penggunaan jamban jenis leher angsa ini akan mencegah bau busuk
serta masuknya binatang kecil.
Jamban angsatrine/ leher angsa merupakan jamban berbentuk leher angsa yang
penampungannya berupa tangki septik kedap air yang berfungsi sebagai wadah proses
penguraian/dekomposisi kotoran manusia yang dilengkapi dengan resapannya. Pilihan leher
angsa harus terbuat dari keramik, porselin atau kaca serat (fiber glass). Tempat air perapat harus
terbuat dari kaca serat atau keramik karena permukaanya licin dan cukup kuat sehingga mudah
dibersihkan.
Selain itu, jamban leher angsa juga tidak berbau dan tidak mengundang serangga. Jamban
ini digunakan untuk daerah yang cukup air dan daerah padat penduduk, karena dapat
menggunakan multiple latrine yaitu suatu lubang penampungan tinja yang digunakan oleh
beberapa jamban (satu lubang dapat menampung kotoran/tinja dari 3-5 jamban).
Akan tetapi jamban jenis ini hanya cocok digunakan didaerah yang cukup air bersih.
Untuk daerah yang sulit air biasanya menggunakan jamban cemplung. Dibeberapa daerah di
Kalsel masih dirasa sulit untuk mencari air bersih, oleh karena itu masih banyak warga Kalsel
yang menggunakan jamban cemplung khususnya masyarakat yang tinggal dipedesaan.
Jamban ini dibuat dengan jalan membuat lubang ke dalam tanah dengan diameter 80
120 cm sedalam 2,5 sampai 8 meter. Jambancemplung tidak boleh terlalu dalam, karena akan
mengotori air tanah dibawahnya. Jarak dari sumber minum sekurang-kurangnya 15 meter.
(Entjang;2000). Tetapi sering dijumpai jamban cemplung yang kurang sempurna,misalnya tanpa
rumah jamban dan tanpa tutup.sehingga serangga mudah masuk dan bau tidak bisa
dihindari,serta karena tidak ada rumah jamban,bila musim hujan maka jamban itu akan penuh
dengan air. jamban cemplung tidak boleh terlalu dalam karna bisa mengotori air tanah
dibawahnya.dalamnya ventilasi (vip latrine) berkisar antara 1,5-3 meter saja,sesui dengan daerah
pedesaan maka rumah jamban tersebut dapat dibuat dari bambu,dinding bambu,atap daun kelapa
atu daun padi,jarak dari sumber air minum sekurang-kurangnya 15 meter.
Bau khas dari kotoran atau tinja disebabkan oleh aktivitas bakteri. Bakteri menghasilkan
senyawa seperti indole, skatole, thiol (senyawa yang mengandung belerang) dan juga gas
hidrogen sulfida. Asupan makanan berupa rempah-rempah dapat rnenambah bau dan kepadatan
kotoran atau tinja.11 Jamban keluarga yang digunakan bila kurang mendapat perhatian dalam
membersihkannya, maka dapat menjadi sarang serangga (lalat) maupun binatang lainnya yang
dapat mencemari makanan dan lingkungan sekitar. Kebersihan yang kurang pada jamban dapat
dikhawatirkan akan menyebabkan berpindahnya penyebab penyakit ke manusia yang di bawa
oleh hewan vektor misalnya lalat. Lalat merupakan vektor dari penyakit diare. Lalat banyak
hidup dan berkembang biak ditempat-tempat yang lembab dan kotor.
Syarat tempat pembuangan tinja harus memenuhi syarat kontruksi juga harus memenuhi
syarat letak adalah syarat tempat pembuangan tinja (bangunan/rembesan) dengan sumber air
minum minimal 10 meter untuk tanah pasir dan 15 meter untuk tanah liat.
Hubungan lalat dan tinja di jamban adalah jika tinja saat kita buang air tidak tidak
ditangani dengan baik akan dihinggapi berbagai serangga dan lalat karena mengandung bahan
organik sehingga memancing serangga dan lalat untuk mendekatinya. Lalat yang datang dari
tinja tersebut membawa bakteri dan mikroorganisme di kaki dan bulu-bulu halus disekujur
tubuhnya dan jika hinggap ke makanan manusia akan menyebabkan penyakit Diare.
Jika kita memiliki jamban sehat maka penanganan tinja akan lebih baik sehingga tidak
akan dihinggapi lalat dan serangga yang secara otomatis akan memutus rantai penyebaran
penyakit diare.
Penyakit diare di Kalimantan Selatan masih termasuk dalam salah satu golongan penykit
terbesar yang angka kejadiannya relatif cukup tinggi keadaan ini di dukung oleh faktor
lingkungan, terutama kondisi sanitasi dasar yang masih tidak baik, misalnya penggunaan air
untuk keperluan sehari-hari yang tidak memenuhi syarat, jamban keluarga yang masih kurang
dan keberadaannya kurang memenuhi syarat, serta kondisi sanitasi perumahan yang masih
kurang dan tidak higienis. Di Kalimantan Selatan masih banyak ditemui kasus diare. Sebagai
perbandingan kasus diare pada tahun 2008 sebanyak 54.316 kasus ,2009 sebanyak 72.020 kasus,
tahun 2010 sebanyak 52.908 kasus, serta tahun 2011 sebanyak 66.765 kasus ( Dinas kesehatan
Prov Kalimantan selatan ; 2012)
Di Kalimantan selatan sudah diterapkan penggunaan jamban leher angsa pada daerah
perkotaan. Walaupun baru didaerah perkotaan namun tindakan ini diharapkan bisa menekan
angka kejadian penyakit diare
Warga kalsel juga sering menggunakan jamban sungai terutama warga yang tinggal
dipinggiran sungai sebagai contoh warga pinggiran sungai Martapura. Jamban jenis ini biasa
dipilih karena murah. Akibat banyaknya jamban dipinggiran sungai martapura yang diperkirakan
sudah berjumlah 2.800 buah maka sungai Martapura sudah mengalami pencemaran tinja yang
serius terbukti dengan dilakukannya pengujian dan ditemukan kandungan bakteri E coli yang
tinggi.
Apabila kondisi sungai yang seperti ini digunakan masyarakat untuk mandi, minum dan
melakukan aktifitas lainnya maka dikhawatirkan akan terkena penyakit diare.
Kasus yang diakibatkan pencemaran e-coli, berdasarkan data Dinas Kesehatan Kalsel,
menunjukan kasus diare terjadi pada 7,71/1000 penduduk dengan angka kematian 0,27/100.000
penduduk.
Selain hubungan langsung dengan bakteri,virus ataupun kuman penyebab diare,
penularan diare juga bisa lewat lalat. Penggunaan sanitasi yang tidak sehat akan menyebabkan
serangga seperti lalat akan hinggap dan bertelur. Yang kemudian bakteri tersebut akan masuk
ketubuh kita melalui makanan yang dihinggapi lalat.

Hal ini lah yang menyebabkan provinsi Kalimantan Selatan berada diurutan pertama
dengan kasus diare terbanyak di pulau kalimantan. Dan berada di urutan ke 11 se indonesia
dengan kejadian diare sebanyak 9,5 % ( Riset Kesehatan dasar tahun 2007).

Pemerintah sudah berupaya menekan angka kejadian diare tersebut dengan program
mendirikan WC umum dengan sanitasi yang baik didaerah pinggiran sungai yang diharapkan
agar warga tidak lagi membuang tinjanya ke sungai.
Program pemerintah ini cukup membuahkan hasil pada tahun 2009 terdapat 72.020 kasus
diare di Kalimantan Selatan. Namun pemerintah terbukti berhasil dengan turunnya jumlah kasus
diare di tahun selanjutnya menjadi 52.908 kasus (Dinas kesehatan Kalimantan selatan; 2012).

BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan yang dideskripsikan dapat diambil kesimpulan bahwa
menjaga kesehatan jamban (Kakus) agar tetap sahat sangatlah penting. Hal ini dikarenakan jika
kita tidak menjaga kesehatan jamban , banyak kuman dan serangga yang akan hinggap dan
penyakit akan mudah menyerang tubuh kita salah satunya penyakit diare.
B. SARAN
Saran yang dapat diajukan penulis dari hasil pembahasan makalah ini adalah Untuk
penulisan makalah dapat dikembangkan pada pengaruh Obat-obatan terhadap pertumbuhan
penyakit diare.
DAFTAR PUSTAKA
Suyitno Imam,2011,Karya Tulis Ilmiah (KTI) Panduan, Teori, Pelatihan, dan Contoh.Malang : PT
Refika Aditama
Iyo Mulyono, 2011,Dari Karya Tulis Ilmiah sampai dengan Soft Skills.Bandung: YRAMA WIDYA
Budiarto, E., 2001. Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat.
Jakarta : EGC

Depkes, R. I., 2000. Buku Pedoman Pelaksanaan Program P2 Diare. Jakarta :


Ditjen PPM dan PL.
Irianto, J., Soesanto. S., Supraptini, Inswiasri, Irianti, S., dan Anwar, A., 1996.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Diare pada Anak Balita
(Analisis Lanjut Data SDKI 1994). Buletin Penelitian Kesehatan. Vol 24
(2 dan 3) 1996 : 77-96.
Widyastuti, P., (ed). 2005. Epidemiologi Suatu Pengantar, edisi 2. Jakarta : EGC.
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ve
d=0ahUKEwiIkv-
AmL3LAhVFqJQKHZUmAqwQFggaMAA&url=http%3A%2F%2Fmastugino.blogspot.com%2
F2013%2F10%2Flingkungan-
sehat.html&usg=AFQjCNERMELqe782zFQuU_Aj45E6G9SzRg&sig2=mUMgxYJKqRUr1OU
ZZF_NSw
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ve
d=0ahUKEwiJ4JDXsMDLAhWSCo4KHWkPAWUQFggaMAA&url=http%3A%2F%2Fikhsan
beck.blogspot.com%2F2015%2F05%2Fmakalah-tentang-penyakit-
diare.html&usg=AFQjCNH0prHbRdGyjlCHRFUqMt8316nqng&sig2=HW2SZuYoCFZiMG-
YFj1HoQ
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ve
d=0ahUKEwiJ4JDXsMDLAhWSCo4KHWkPAWUQFgggMAE&url=http%3A%2F%2Fkumpu
lan-makalah-keperawatanku.blogspot.com%2F2014%2F01%2Fmakalah-
diare.html&usg=AFQjCNG2H2GQINO-p0UFBEfIRKYNtRsBoQ&sig2=OG_ViA6lDYY7-
doAsQhxIg
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&cad=rja&uact=8&ve
d=0ahUKEwiJ4JDXsMDLAhWSCo4KHWkPAWUQFghQMAg&url=http%3A%2F%2Fdiyahh
alsyah.blogspot.com%2F2015%2F03%2Fmakalah-penanggulangan-diare-pada-
balita.html&usg=AFQjCNFiHkDsU57CEw2dcdcrmppiO3XSnw&sig2=Gy-MeW-
P21ox2cH6dkn8RQ

You might also like