You are on page 1of 18

Jumat, 18 Maret 2011

KAUM MISKIN VERSUS KETIDAKADILAN

Potret rakyat miskin menjadi bagian gambaran kehidupan bangsa Indonesia. Ketidakadilan
menjadi bagian sisi kehidupan mereka dalam menjalani dan menopang hidup sehari hari.
Janji janji kesejahteraan secara merata tinggal sebuah janji manis yang seakan dilupakan
begitu saja. Kebijakan kebijakan yang di buat seakan mempersulit hidup bukannya
memperbaiki menjadi lebih baik.

Lihatlah kondisi masyarakat yang kurang mampu di negara ini. Pelayanan kesehatan dan
pendidikan seolah barang mewah yang sulit di raih oleh mereka. Untuk memperoleh
pelayanan kesehatan yang baik orang orang miskin harus berduit baru di layani dengan
baik. Inilah lukisan yang terjadi di berbagai rumah sakit di daerah daerah dimana kaum
miskin tidak mendapatkan pelayanan yang bagus melainkan di layani apa adanya.
Melukis ketidakadilan terhadap perempuan korban kekerasan dan penindasan

Seorang feminis menggunakan kanvas sebagai media kampanye untuk menolak segala
bentuk kekerasan terhadap perempuan

Dewi Candraningrum dan beberapa lukisan para korban kekerasan seksual dan tragedi
Mei'98. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

SOLO, Indonesia Dalam dunia seni Dewi Candraningrum, tragedi dan penderitaan tak
selalu kelam. Kesedihan tidak melulu monokromatik, tetapi bisa juga rakus akan warna.
Begitulah feminis dan aktivis Jejer Wadon itu mengekspresikan wajah-wajah perempuan para
korban kekerasan di atas kanvas.

Dewi adalah pemimpin redaksi Jurnal Perempuan jurnal feminis pertama di Indonesia sejak
1995 dan banyak menulis tentang Islam, gender, dan lingkungan. Ia mulai menggemari
melukis sekitar dua tahun lalu, terinspirasi oleh anaknya yang autis tetapi sangat berbakat
dalam olah kuas dan cat.

Meski demikian, perempuan yang sehari-hari mengajar di Universitas Muhammadiyah


Surakarta ini, sudah menghasilkan ratusan karya berupa sketsa arang dan acrylic.

Temanya tak jauh-jauh dari persoalan perempuan, dan kebanyakan tentang para korban
kekerasan fisik dan seksual. Ia memilih seni rupa sebagai media visual untuk menyuarakan
perlawanan damai terhadap penindasan hak-hak perempuan, di samping melalui tulisannya.
Ketidakadilan Dalam Penegakan Hukum di Indonesia

May 20, 2013

Keadaan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan karena orang yang berkuasa adalah
orang orang yang kuat sehingga mereka bisa menjadi pemenang dalam suatu kasus. Hukum
bisa dibeli oleh mereka-mereka yang mempunyai uang banyak. Misalnya saja orang kuat vs
orang lemah, seandainya orang yang lemah benar seharusnya dia adalah pemenang tapi
karena orang yang kuat memiliki segala sesuatunya dia bisa menjadi pemenang dalam kasus
tersebut sehingga orang yang seharusnya benar malah dia yang mendapat hukuman. Aparat
penegak hukum sepertinya sudah benar-benar tak peduli lagi dengan keadilan warga negara.
Mereka hanya bisa marah saat berhadapan dengan orang kecil, tetapi seketika nyali menciut
saat berurusan dengan para petinggi. Segala macam kritik masyarakat hanya masuk kuping
kanan, lalu keluar kuping kiri. Disini saya akan membandingkan cara penyelesaian kasus
kasus hukum di Indonesia dimana adanya ketidakadilan dalam penegakan hukum.
Bukti Ketidakadilan Hukum di Indonesia

1. Seperti dalam kasus Artalyta yang menjalani hukuman penjaranya dengan fasilitas yang
sangat mewah, padahal ia tersandung kasus penyuapan terhadap jaksa. Bandingkan dengan
kasus seorang nenek yang di penjara hanya gara-gara ia mengambil sebuah coklat untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya harus menjalani hukuman 6 bulan penjara di hotel prodeonya
dengan sangat tersiksa.
2. Nasib ibu Minasih, beliau dituntut 7 tahun penjara Cuma gara-gara mencuri buah randu
milik perusahaan. Bandingkan dengan Seorang Mafia Pajak Gayus Tambunan beliau
dihukum 7 tahun penjara namun masih bisa keluar masuk penjara dengan bebas bahkan
sampai berlibur ke Bali. Para koruptor dengan bebasnya berkeliaran di Negara ini. Hukum
seolah kebal terhadap mereka yang punya uang.
3. Kasus nenek Asyani. Disini saya akan menjelaskan lebih detail tentang kasus yang dialami
oleh nenek Asyani.

Dalam kasus nenek Asyani ini terdapat beberapa kejanggalan. Kayu jati yang diduga
dicuri oleh nenek Asyani itu berukuran kecil hanya sekitar 10 sampai 15 sentimeter,
sedangkan kayu jati milik Perhutani yang hilang berdiameter 100 sentimeter. Selain itu kasus
itu dilaporkan pada bulan Juli 2014, dan nenek Asyani ditahan mulai Desember 2014
sementara persidangan baru dibuka 3 bulan kemudian. Bayangkan bagaimana keadaan nenek
itu di dalam penjara, seharusnya aparat hukum mempunyai kebijaksanaan terhadap nenek
Asyani yang sudah berusia lanjut.
Bentuk Bentuk Ketidakadilan Gender

Perbedaan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan atau yang lebih tinggi dikenal
dengan perbedaan gender yang terjadi di masyarakat tidak menjadi suatu permasalahan
sepanjang perbedaan tersebut tidakmengakibatkan diskriminasi atau ketidak adilan.
Kasus Sandal Jepit dan Buah Kakao Ketidakadilan bagi Masyarakat Kecil

Ada sesuatu hal yang menarik yang terjadi di Negara ini dalam sidang kasus Sandal Jepit
dengan terdakwa siswa SMK di pengadilan Negeri Palu. Sungguh ironi, ketika seorang anak
diancam hukuman lima tahun penjara akibat mencuri sandal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi
Harahap dan Briptu Simson Sipayung,anggota Brimob Polda Sulteng pada Mei 2011
lalu.sehingga terjadi gerakan pengumpulan 1.000 sandal jepit di berbagai kota di Indonesia.
Bahkan media asing seperti singapura dan Washington Post dari Amerika Serikat menyoroti
sandal jepit sebagai symbol baru ketidakadilan di Indonesia dengan berbagai judul berita
seperti Indonesians Protest With Flip-Flops,; 'Indonesians have new symbol for injustice:
sandals; Indonesians dump flip-flops at police station in symbol of frustration over uneven
justice, serta Indonesia fight injustice with sandals.

Apa sebenarnya yang sedang terjadi ketika kita menyimak peristiwa ini? Ada yang menyebut
sebagai dicederainya rasa keadilan bagi masyarakat kecil. Pada kasus Sandal jepit ini,di satu
sisi,dua orang aparat yang sebenarnya mampu membeli lagi sandal jepit baru,merasa pantas
untuk menegakkan keadilan dengan mengintrogasi bocah pencuri sandal jepit.

Dan, bocah tersebut mengakui perbuatannya. Karena menggangap sang pelaku masih di
bawah umur dan Berpegang pada Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002
yang diberlakukan di wilayah hukum NKRI, maka kasus ini seharusnya diselesaikan melalui
proses pembinaan bukan jalur hukum. Sehingga pihak kepolisian memanggil orang tua sang
pelaku pencuri sandal jepit tersebut dengan tujuan,agar anak itu tidak mengulangi lagi
perbuatannya.dan Peristiwa ini dianggap selesai dengan aksi orangtua menegur anaknya
untuk tidak mengulangi perbuatannya di depan sang pemilik sandal jepit.

Namun di sisi lain menurut versi orang tua merasa tidak bisa menerima pengaduan sang buah
hati yaitu sang bocah pencuri sandal jepit mengaku dianiaya,si orang tua merasa
dicendarainya rasa keadilan bagi masyarakat kecil, ditandai dengan penganiayaan atas
anaknya hanya karena mencuri sandal jepit.sehingga aksi orangtua melaporkan aparat
digambarkan sebagai berusaha bangkit menegakkan keadilan yang akhirnya kasus tersebut
diproses secara hukum. Sehingga 11 juli lalu kasus ini dibawa ke penuntut umum dan mulai
disidang,tapi tidak dilakukan penahanan pada pelaku atas jaminan orangtuannya.

Kesenjangan social muncul karena adanya praktik-praktik transaksional sehingga ada oknum-
oknum yang turut menumpang melakukan politik transaksional.
Masyarakat Hadapi Ketidakadilan & Kesenjangan Sosial
Posted on June 13, 2017

CELEBES NEWS Persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini bukan
ketegangan antarumat beragama tapi persoalan ketidakadilan dan kesenjangan sosial yang
semakin tajam. Hal ini ditegaskan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dalam
dialog Refleksi Kebangsaan: Merawat Kebhinnekaan untuk Menjaga Keutuhan NKRI di
Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Selasa (13/6/2017).

Menurut Mahfud MD, kehidupan antarumat beragama di Indonesia berjalan rukun dan damai
dan tidak ada masalah. Di antara umat beragama di Indonesia, tidak ada rasa permusuhan.
Dalam kehidupan sehari-hari terjalin dengan akrab dan bersahabat, katanya.

Persoalan ketidakadilan dan kesenjangan sosial, kata dia, adanya sekelompok kecil
masyarakat yang menjadi dominan karena secara secara finansial merasa sangat besar.
Sebaliknya, masyarakat beragama Islam yang merupakan kelompok mayoritas tapi masih
sangat banyak kehidupan sosialnya kurang sejahtera. Umat Islam yang mayoritas di
Indonesia tapi dalam kehidupan sosial merasa kecil, katanya.

Mahfud MD juga menegaskan, memeluk agama Islam di Indonesia merasa sangat nyaman,
bahkan lebih nyaman daripada umat Islam di Arab Saudi. Kesenjangan sosial, katanya,
karena adanya praktik-praktik transaksional sehingga ada oknum-oknum yang turut
menumpang melakukan transaksional. Guna memperbaiki kondisi masyarakat Indonesia,
kesenjangan sosial ini harus diperbaiki dan masyarakat miskin diminimalisir, katanya.
JK sebut kebanyakan konflik didasari oleh ketidakadilan
Rabu, 10 Desember 2014 18:33 Reporter : Sri Wiyanti

Aksi Pelanggaran HAM. merdeka.com

Ada 15 kali selama kita merdeka 69 tahun. Mulai sejak Madiun, banyak perang,
konflik vertikal antara horizontal, itu yang besar. Mulai RMS, Permesta, G30S/PKI,
Aceh, Ambon, Tim-tim,

Merdeka.com - Wakil Presiden Jusuf Kalla merupakan salah satu tokoh yang
berperan dalam perdamaian konflik di Poso, Sulawesi Tengah. Konflik Poso dinilai
berakar dari masalah agama, namun JK mendapati permasalah di wilayah tersebut
bukanlah soal agama tetapi politik.

"Ambon, Poso orang pikir masalah agama. Tidak, itu masalah politik. Itu akibat
karena dulu 'the winner takes all' berlaku. Ambon, Poso sejarahnya suatu daerah yang
secara agama hampir sama Islam dan Kristen," kata JK dalam pidatonya di acara
Lokakarya Hari HAM sedunia di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Rabu
(10/12).

JK mengatakan, masyarakat di Ambon dan Poso bisa hidup berdampingan selama


puluhan tahun meski berlatar belakang agama yang berbeda. Namun, ketegangan
dimulai saat Pemilu 1998 dimana banyak partai Islam tumbuh dan berkuasa lantaran
jumlah warga Muslim lebih banyak. Akibatnya, para kepala daerah dan pemangku
kebijakan lebih banyak beragama Islam dan berujung pada ketidakseimbangan
kehidupan di kedua wilayah tersebut.

"Kalau zaman dulu demokrasi yang terpimpin. Itu diatur semua secara harmoni.
Diatur saja oleh pusat, kalau gubernurnya Islam wakilnya Kristen, kalau gubernurnya
Kristen wakilnya Islam. Jadi ada harmoni. Begitu demokrasi 'the winner takes all',
maka langsung tidak harmoni," imbuhnya.

Ketidakseimbangan tersebut memicu ketidakadilan yang merupakan pemicu sebagian


besar konflik yang terjadi di Indonesia. "Ada 15 kali selama kita merdeka 69 tahun.
Mulai sejak Madiun, banyak perang, konflik vertikal antara horizontal, itu yang besar.
Mulai RMS, Permesta, G30S/PKI, Aceh, Ambon, Tim-tim, Papua, Kalimantan. Dari
15 itu, 10 karena ketidakadilan," tegas JK.

Kondisi ini kemudian diperparah dengan memasukkan unsur SARA di dalamnya.


Menurut JK, isu agama dilibatkan dalam konflik-konflik tersebut lantaran mudah
memunculkan emosi masyarakat hingga melegalkan aksi saling bunuh dengan 'iming-
iming' surga, baik bagi yang membunuh, pun terbunuh.

"Maka kenapa yang konflik dan kemudian di bungkus agama atau penyebaran agama,
itu cepat sekali berkembang, cepat mematikan. Karena sama dengan Al-Qaidah, ISIS
kenapa cepat begitu? karena surga yang dipermainkan. Jangan 'iming-imingi' surga,"
tegas JK

Untuk menghindari konflik yang dibumbui SARA, JK menekankan pentingnya


pemahaman agama yang lebih moderat. Oleh sebab itu, pemimpin agama juga perlu
mengambil peran penting dalam menjaga perdamaian di masyarakat.

"Ini karena pemimpin agama juga tidak peduli satu sama lain. Disinilah fungsinya
agama itu dimoderatkan. Di Poso, Ambon saya melihat mereka merasa saling di
dzalimi. Jadi kita ada aturan-aturan kemudian dilanggar. Bunuh tapi pikir jiwanya
masuk surga," tutup JK.
Din Syamsuddin: Ketidakadilan Menjadi Faktor Tergerusnya Kemajemukan
Rabu, 16 Agustus 2017 07:00 WIB

AKURAT.CO, Ketua Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (PIM) Prof Din
Syamsuddin mengatakan bahwa Indonesia perlu merawat kemajemukan, yang kini mulai
tergerus akibat modernisasi dan liberalisasi.

"Selama ini yang memperburuk kemajemukan adalah kerancuan nalar atau absurditas
pemahaman tentang kemajemukan. Seringkali kita mendengar klaim-klaim dari pihak yang
merasa dialah yang paling Pancasilais dan yang lain tidak, itu adalah kerancuan nalar," kata
Din, di Jakarta, Selasa malam (15/8).

Selain itu, kata dia, faktor arsip dan fasilitas diperlukan, untuk keagamaan yang sempit, dan
faktor ketidakadilan sosial, ekonomi, politik juga menjadi faktor yang menggerus
kemajemukan.

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini menilai, bangsa Indonesia belum mengelola
kemajemukan dengan baik, sehingga negara harus menjadi kekuatan yang menengahi, dan
perantara semua golongan secara adil.

"Jangan membela kelompok tertentu karena faktor ekonomi atau politik, dapat mengganggu
kemajemukan jika negara tidak dapat menjadi pengayom dan penengah," tegasnya.

Lebih lanjut dikatakannya, kemajemukan merupakan khas bangsa Indonesia, dan semua
agama memandang kemajemukan sebagai ketetapan haruslah terus dirawat.

Ia menambahkan, semua suku, umat beragama, dan kelompok lainnya harus mengakui
kemajemukan tersebut. Selain itu perlu kesediaan dari semua pihak untuk hidup
berdampingan secara damai.
"Masyarakat Indonesia harus menampilkan kemajemukan itu dalam kerja sama untuk
kesejahteraan bersama. Masalah yang sedang kita hadapi memang besar, tetapi jika kita
optimistis maka hal ini dapat diatasi," tandasnya.

Sekjen PDIP: Lawan Radikalisme dengan Memberantas Ketidakadilan

Liputan6.com, Jakarta - Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto menegaskan


pentingnya Pancasila untuk dihikmati dan dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.

"Pancasila dengan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan sebagai satu bangsa, musyawarah
dan keadilan sosial adalah kepribadian kita," kata Hasto dalam acara Rakorda PDIP Maluku
di Ambon, Senin (8/5/2017).
Thursday, June 28, 2012

TKW DISIKSA DAN DIPERKOSA SAMPAI LOMPAT DARI LANTAI 3


"Salah satu Bentuk Ketidakadilan Gender"

Berharap dapat mengubah status ekonomi keluarga, Tenaga Kerja Wanita Asal
Cianjur, Jawa Barat, pulang dengan kondisi lumpuh. Nurhayati bin Pudin (30), TKW asal
Kampung Cijunjung, Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Cianjur, lumpuh akibat melompat
dari lantai tiga, saat hendak diperkosa majikannya.
Informasi yang dihimpun menyebutkan, Nurhayati berangkat menjadi TKW tahun 2008,
melalui PJTKI PT Johara Perdana Satu, yang beralamat di Jalan Jatinegara Timur 84 F,
Jakarta Timur.Perusahaan itu mengirimnya, ke Kota Mekkah, Saudi Arabia, sebagai
pembantu rumah tangga.Namun baru satu pekan bekerja, Nurhayati mendapatkan perlakuan
kasar dari isteri majikannya.
Berbagai siksaan acap kali dilakukan istri majikan terhadap dirinya.Tidak hanya tamparan,
ancaman dan disiram minyak mendidih, menjadi santapan sehari-hari.

Namun harapan untuk mengubah status ekonomi, membuat ia tetap bertahan. Bahkan ia tidak
merasakan sakitnya siksaan yang diberikan istri majikannya itu. Namun menginjak bulan
keempat, sang majikan pria, berusaha memerkosanya. Ketika itu, ia tengah berada di lantai 3
rumah tersebut, ia sempat melawan dan mengacam akan melompat.

Sang majikan dengan nafsu bejatnya, terus berusaha memerkosanya, hingga akhirnya
Nurhayati memilih melompat.Akibatnya, Nurhayati sempat koma dan kedua kaki Nurhayati
mengalami lumpuh.
Otto Hasibuan Menilai Ada Ketidak-adilan di Sidang Jessica

Rabu, 20 Juli 2016 18:04 WIB

JAKARTA (Pos Kota) Ketua tim kuasa hukum terdakwa Jessica Kumala Wongso, Otto C.
Hasibuan, mengaku kecewa terhadap sidang yang menghadirkan keterangan saksi dari
pengantar kopi berisi sianida di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (20/7).

Sidang yang memakan waktu panjang, sejak pagi hingga sore hari itu, setidaknya menjadi
perdebatan panjang. Sampai-sampai majelis hakim harus menunda satu pertanyaan tim kuasa
hukum Jessica terhadap jaksa penuntut umum, terkait asal muasal cairan sianida itu dari
mana..
Para Janda dan Ketidakadilan yang Berlapis-lapis

Ada banyak praktik-praktik budaya yang sangat menyulitkan kehidupan para janda di
bebagai teritori kebudayaan. Kesulitan itu dari mulai pembagian warisan yang tidak
adil hingga berbagai stereotipe yang harus dihadapi para janda. Segalanya menjadi
lebih sulit lagi jika sang janda sudah dikaruniai anak sehingga beban pun menjadi
lebih berlipat lagi.
Penanganan kasus kecelakaan maut mahasiswi Universitas Indonesia
Kasus loncatnya mahasiswi Universitas Indonesia Annisa Azward yang lompat dari angkot.
Dalam kasus ini Annisa adalah korban, dan sopir angkot, Jamal bin Samsuri memang harus
diperiksa. Tetapi yang mengherankan adalah soal penahanan. Sejak kejadian Rabu (6/2),
Jamal langsung ditahan di Unit Lantas Daan Mogot, Jakarta Barat. Hasil pemeriksaan belum
ditemukan adanya unsur kriminalitas, seperti percobaan perampokan, pemerkosaan dan
penculikan. Dugaan sementara mahasiswi semester empat itu nekat loncat karena ketakutan.

Kini polisi sudah menetapkan Jamal sebagai tersangka, dengan dijerat pasal 359, tentang
kelalaian yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang dengan ancaman hukuman 5 tahun
penjara. Selain itu, Jamal juga bisa dijerat dengan UU Lalu Lintas karena membawa angkot
di luar trayek. Pada kasus ini polisi terkesan bergerak cepat dalam penanganan kasus.

Kecelakaan maut antara anak menteri dengan masyarakat

Jika menengok kasus Jamal tentu tak seberat dengan Rasyid. Putra bungsu Hatta Radjasa itu
pada 1 Januari silam, mengemudikan mobil BMW dengan kecepatan tinggi lalu menabrak
mobil Luxio di Tol Jagorawi. Dalam kecelakaan tersebut dua orang meninggal. Dalam kasus
ini polisi tidak berani terbuka soal kecelakaan maut BMW tersebut. Memang Rasyid sudah
menjadi tersangka, tapi diistimewakan. Rasyid dijerat pasal 283, 287 dan 310 UU Lalu Lintas
No 22 Tahun 2009, dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara.

Setelah kejadian, polisi tidak menahan pria yang menimba ilmu di London, Inggris itu
dengan alasan trauma, dan pihak keluarga memberi jaminan Rasyid akan kooperatif.
Ternyata Rasyid kembali mendapat perlakuan khusus. Saat pelimpahan berkas tahap kedua
dari Polda Metro Jaya ke Kejaksaan Negeri Jakarta Timur, Rasyid tidak ditahan.

Kasus ini hampir mirip dengan kejadian naas pada Minggu tanggal 22/1/2012 yang kita kenal
Kecelakaan Maut Tugu Tani dimana Polisi menetapkan Apriani sebagai tersangka dalam
kecelakaan maut yang menewaskan 9 orang itu. Apriani ditahan di Polda Metro Jaya.
Sedangkan tiga rekannya masih berstatus sebagai saksi. Pada kasus Apriani ini penanganan
dijalakan sesuai hukum pada saat kejadian berlangsung tersangka langsung ditahan dan
ditindak lanjuti. Namun berbeda kejadiannya ketika seorang anak menteri yang melakukan
tindakan Kriminal, aparat penegak hukum tidak berani bersikap tegas dalam penanganan
kasus, malah yang ada mereka diperlakukan secara khusus.
Hukum adalah hukum dan harus ditegakkan secara sama tanpa ada diskriminasi untuk semua
warga negara. Proteksi hukum terhadap tersangka yang dalam kondisi fisik ataupun psikis
rawan sebagaimana dinikmati Rasyid kiranya juga harus dapat dinikmati warga negara lain
yang berada pada kondisi serupa, tanpa harus terlebih dahulu melihat apa, siapa, dan
bagaimana status sosial tersangka/ terdakwa.

Masyarakat menginginkan peradilan yang fair, tidak berpihak, dan menginginkan keputusan
hukum berlaku sama, bukannya fasilitatif dan penuh permakluman kepada orang yang
berpunya, sementara menjadi teramat represif terhadap orang yang biasa.

Rasyid Rajasa dan Apriani adalah contoh nyata dari perlakuan hukum yang tak adil dan
diskriminatif.

Ketidak adilan mengenai razia

Yang sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, contoh kecilnya ketika sedang ada razia
kendaraan meliputi razia STNK, Helm, Forbiden dan sebagainya yang mana hal-hal tersebut
sebenarnya sudah diatur dalam UUD 45 dan terdapat sanksi jika melanggarnya namun hanya
karena uang semua bisa beres seketika tanpa harus ikut sidang ataupun mengikuti sanksi yang
seharusnya, hal tersebut merupakan penyimpangan dalam penegakan hukum. Nah kesalahan
ini merupakan kesalahan siapa ? Kesalahan ini merupakan kurangnya kesadaran masyarakat
untuk berpartisipasi dalam penegakan hukum, selain itu aparat penegak hukum disini juga
salah karena tidak bersikap tegas terhadap pelanggarnya.

You might also like