You are on page 1of 15

FILSAFAT ANALITIK

Oleh : Syekhuddin

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Belajar filsafat, sepertinya memasuki suatu medan yang luas tiada bertepi,
tiada rambu-rambu petunjuk jelas yang dapat menuntun ke jalan keluar
yang paling tepat, sehingga semuanya menjadi serba misteri dan penuh
problema. Perkembangan terakhir dari filsafat ilmu tersebut adalah
sampainya filosof pada penelitian tentang bahasa, dan akan berkelanjutan
tanpa berujung.

Munculnya filsafat menurut B. Russel berawal dari konsep tentang hidup


dan dunia.[1] Para filosof dunia kebanyakan beranggapan bahwa yang satu
haruslah sebagai substansi material. Bermula dari anggapan tentang asal
segala sesuatu, Thales (585 SM) yang diberi julukan sebagai Bapak
Filsafat beranggapan bahwa segala sesuatu berasal dari
air.[2] Anaximinisme beranggapan bahwa substansi itu adalah udara,
sedang heraklitos menganggapnya api, yang akan melahirkan intelegensia,
dan jika ditinjau dari segi spritualnya api tidak lain adalah logos. Pytagoras
(535-515 SM) dengan argumentasi deduktif matematikanya yang bercorak
mistis percaya bahwa bilanganlah yang berperan sebagai pemersatu aneka
ragam dalam suasana kosmos.[3] Parmedines (450 SM), doktrinnya telah
berpengaruh terhadap plato. Sampai pada lahirnya teori atomis oleh
Leucippus dan Demokraritus.[4]sampai pada Socrates, plato, dan
Aristoteles. Pada abad ke XVIII dan awal abad ke XX terdapat dua aliran
besar yang mendominasi pemikiran filsafat yaitu filsafat idealisme dan
filsafat empirisme. Idealisme berkembang pesat dalam tradisi filsafat
jerman sedangkan empirisme berkembang di inggris. Aliran filsafat
tersebut berkembang terus menerus sampai pada abad ke XX ditandai
dengan kemunculan filsafat bahasa yang dipelopori oleh filosof-filosof
kontemporer yang menggunakan analisis bahasa melalui gejala-gejala yang
nampak.

Untuk itu bahasa adalah alat yang paling penting dari seorang filosof serta
perantara untuk menemukan ekspresi. oleh karena itu ia sensitif terhadap
kekaburan serta cacat-cacatnya dan merasa simpati untuk menjelaskan dan
memperbaikinya. Kebanyakan orang menganggap bahasa itu satu hal yang
wajar, seperti udara yang kita isap, tetapi pada waktu sekarang, banyak ahli
termasuk didalamnya filosof-filosof yang memakai metode logical
analitik melihat bahwa penyelidikan tentang arti serta prinsip-prinsip dan
aturan-aturan bahasa merupakan problema yang pokok dalam filsafat.[5]

Hubungan bahasa dengan masalah filsafat telah lama menjadi perhatian


para filosof bahkan sejak zaman yunani. Para filosof mengetahui bahwa
berbagai macam problema filsafat dapat dijelaskan melalui suatu analisis
bahasa. Sebagai contoh: problema filsafat yang menyangkut pertanyaan,
keadilan, kebaikan, kebenaran, kewajiban, hakekat ada (Metafisika) dan
pertanyaan-pertanyaan fundamental lainnya dapat dijelaskan dengan
menggunakan metode analisis bahasa. Tradisi inilah oleh para ahli sejarah
filsafat disebut sebagai Filsafat Analitik yang berkembang di eropa
terutama di Inggris abad XX.[6]

Oleh karena itu kesimpulan akan lebih bermakna jikalau disampaikan,


penyampaian lebih berarti jikalau kesimpulan tersebut sudah dianalisis
terlebih dahulu. dan di dalam penyampaian pastinya terdapat bahasa,
bahasa tak pernah lepas dari menerangkan dan diterangkan. di dalam
filsafat bahasa ini kita membahas tentang Filsafat Analitik.

B. Rumusan Masalah

Dari penjelasan dan uraian di atas maka penulis merumuskan beberapa


permasalahan dalam pembahasan filsafat analitik ini sebagai berikut:

1. Pengertian filsafat Analitik dan perkembangannya?


2. Siapa Tokoh-tokoh filsafat Analitik dan pemikirannya?

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian filsafat bahasa (Analitik) dan perkembangannya

Perhatian filosof terhadap bahasa semakin besar. Mereka sadar bahwa


dalam kenyataannya banyak persoalan-persoalan filsafat, konsep-konsep
filosofis akan menjadi jelas dengan menggunakan analisis bahasa. Tokoh-
tokoh filsafat analitika bahasa hadir dengan terapi analitika bahasanya
untuk mengatasi kelemahan kekaburan, kekacauan yang selama ini ada
dalam berbagai macam konsep filosofis.

Secara etimologi kata analitik berarti investigative, logis, mendalam,


sistematis, tajam dan tersusun.[7]

Beberapa pengertian tentang filsafat analitik secara terminologi yaitu:


Menurut Rudolph Carnap, filsafat analitik adalah pengungkapan secara
sistematik tentang syntax logis (struktur gramatikal dan aturan-aturannya)
dari konsep-konsep dan bahasa khususnya bahasa ilmu yang semata-mata
formal.[8]

Roger jones menjelaskan arti filsafat analitik bahwa baginya tindak


menganalisis berarti tindak memecah sesuatu ke dalam bagian-bagiannya.
Tepat bahwa itulah yang dilakukan oleh para filosof analitik.[9]

Didalam kamus populer filsafat, filsafat analitik adalah aliran dalam filsafat
yang berpangkal pada lingkaran Wina. filsafat analitik menolak setiap
bentuk filsafat yang berbau metafisik. Juga ingin menyerupai ilmu-ilmu
alam yang empirik, sehingga kriteria yang berlaku dalam ilmu elsakta juga
harus dapat diterapkan pada filsafat (misalnya harus dapat dibuktikan
dengan nyata, istilah-istilah yang dipakai harus berarti tunggal, jadi
menolak kemungkinan adanya analogi). [10]

Filsafat analitik adalah suatu gerakan filosof Abad ke 20, khususnya di


Inggris dan Amerika Serikat yang memusatkan perhatiannya pada bahasa
dan mencoba menganalisa pernyataan-pernyataan (konsep-konsep,
ungkapan-ungkapan kebahasaan, atau bentuk-bentuk yang logis) supaya
menemukan bentuk-bentuk yang paling logis dan singkat yang cocok
dengan fakta-fakta atau makna-makna yang disajikan. Yang pokok bagi
filsafat analitik adalah pembentukan definisi baik yang linguistik atau
nonlinguistik nyata atau yang konstektual.[11]

Filsafat analitik sendiri, secara umum, hendak mengklarifikasi makna dari


penyataan dan konsep dengan menggunakan analisis bahasa.

Bilamana dikaji perkembangan filsafat setidaknya terdapat empat fase


perkembangan pemikiran filsafat, sejak munculnya pemikiran yang
pertama sampai dewasa ini, yang menghiasi panggung sejarah umat
manusia. Pertama, kosmosentris yaitu fase pemikiran filsafat yang
meletakkan alam sebagai objek pemikiran dan wacana filsafat, yaitu yang
terjadi pada zaman kuno. Ikedua, teosentris yaitu fase pemikiran filsafat
yang meletakkan Tuhan sebagai pusat pembahasan filsafat, yang
berkembang pada zaman abad pertengahan. Ketiga, antroposentris yaitu
fase pemikiran filsafat yang meletakkan manusia sebagai objek wacana
filsafat, hal ini terjadi dan berkembang pada zaman
modern. Keempat, logosentris yaitu fase perkembangan pemikiran
filsafat yang meletakkan bahasa sebagai pusat perhatian pemikiran filsafat
dan hal ini berkembang setelah abad modern sampai sekarang. Fase
perkembangan terakhir ini ditandai dengan aksentuasi filosof pada bahasa
yang disadarinya bahwa bahasa merupakan wahana pengungkapan
peradaban manusia yang sangat kompleks itu.[12]
Perhatian filsafat terhadap bahasa sebenarnya telah berlangsung lama,
bahkan sejak zaman Pra Sokrates, yaitu ketika Herakleitos membahas
tentang hakikat segala sesuatu termasuk alam semesta. Bahkan Aristoteles
menyebutnya sebagai para fisiologis kuno atau hoi arkhaioi physiologoi.
Seluruh minat herakleitos terpusatkan pada dunia fenomenal. Ia tidak
setuju bahwa di atas dunia fenomenal ini, terdapat dunia menjadi namun
ada dunia yang lebih tinggi, dunia idea, dunia kekal yang berisi ada yang
murni. Meskipun begitu ia tidak puas hanya dengan fakta perubahan saja,
ia mencari prinsip perubahan. Menurut Herakleitos, prinsip perubahan ini
tidak dapat ditemukan dalam benda material. Petunjuk ke arah tafsiran
yang tepat terhadap tata kosmis bukanlah dunia material melainkan dunia
manusiawi, dan dalam dunia manusiawi ini kemampuan bicara menduduki
tempat yang sentral. Dalam pengertian inilah maka medium Herakleitos
bahwa kata (logos) bukan semata-mata gejala antropologi. Kata tidak
hanya mengandung kebenaran universal. Bahkan Herakleitos mengatakan
jangan dengar aku, dengarlah pada sang kata dan akuilah bahwa semua
benda itu satu. Demikian sehingga pemikiran yunani awal bergeser dari
filsafat alam kepada filsafat bahasa yang meletakkan sebagai objek kajian
filsafat.[13]

Filsafat bahasa mulai berkembang pada abad ke XX dengan telaah analitik


filosofik Wittgenstein tentang bahasa. Noam Chomskylah yang pertama-
tama mengangkat bahasa sebagai disiplin linguistic. Grice dan Quinelah
yang mengangkat meaning sebagai intensionalitas si pembicara dan
meaning dalam konteks kejadiannya. Davidson lebih lanjut
mengetengahkan tentang struktur semantik, untuk memahami bahasa,
termasuk unsur-unsurnya dan mengembangkan tentang interpretasi yang
dapat berbeda antara si pembicara dan yang dibicarakan. Frege lebih lanjut
mengembangkan konsep tentang referensi. Ekspresi bahasa bukan hanya
representasi of mine, tetapi juga mengandung referensi, yaitu hal-hal yang
relevan dengan pernyataan yang ditampilkan. [14]

Filsafat abad modern memberikan dasar-dasar yang kokoh terhadap


timbulnya filsafat analitika bahasa. Peranan rasio, indra, dan intuisi
manusia sangat menentukan dalam pengenalan pengetahuan manusia.
Oleh karena itu aliran rasionalisme yang menekankan otoritas akal, aliran
empirisme yang menekankan peranan pengalaman indera dalam
pengenalan pengetahuan manusia serta aliran imaterialisme dan kritisme
Immanuel kant menjadi sangat penting sekali pengaruhnya terhadap
tumbuhnya filsafat analitika bahasa terutama dalam pengungkapan
realistas segala sesuatu melalui ungkapan bahasa.[15]

1. Tokoh-tokoh filsafat Analitik dan pemikirannya


Pada dasarnya perkembangan filsafat analitika bahasa itu meliputi tiga
aliran yang pokok yaitu atomisme logis (logical atomism), Positivisme
logis (logical empirism), dan filsafat bahasa biasa (ordinary language
philosophy).[16]

Pada pembahasan tokoh ini penulis hanya menguraikan tiga tokoh utama
dalam perkembangan filsafat analitik tersebut, sebagai berikut:

1. Gottlob Frege

Para filosof analitik berpendapat bahwa filsuf Jerman, Gottlob Frege (1848-
1925), adalah filosof terpenting setelah Immanuel Kant. Frege hendak
merumuskan logika yang rigorus sebagai metode berfilsafatnya. Dengan
kata lain, filsafat itu sendiri pada intinya adalah logika.

Dalam hal ini, ia dipengaruhi filsafat analitik, filsafat-logika, dan filsafat


bahasa. Frege berpendapat bahwa dasar yang kokoh bagi matematika dapat
diamankan melalui logika dan analisis yang ketat terhadap logika dasar
kalimat-kalimat. Cara itu juga bisa menentukan tingkat kebenaran suatu
pernyataan.[17]

Akar-akar analisis linguistik ditanam di lahan yang disiangi oleh seorang


matematikawan bernama G. Frege, ia memulai sebuah revolusi logika
(analitik), yang implikasinya masih dalam proses penanganan oleh filosof-
filosof kontemporer. Ia menganggap bahwa logika sebetulnya bisa
direduksi ke dalam matematika, dan yakin bahwa bukti-bukti harus selalu
dikemukakan dalam bentuk langkah-langkah deduktif yang diungkapkan
dengan gamblang. Salah satu idenya yang paling berpengaruh adalah
membuat perbedaan antara arti (sense) proposisi dan acuan
(reference)-nya, dengan mengetengahkan bahwa proposisi memiliki makna
hanya apabila mempunyai arti dan acuan.[18]

Frege juga menyusun notasi baru yang memunkinkan terekpresikannya


penentu kuantitas (kata-kata seperti semua, beberapa dan
sebagainya) dalam bentuk simbol-simbol. Ia berharap para filosof bisa
menggunakan notasi ini untuk menyempurnakan bentuk logis argumen
mereka, sehingga memungkinkan mereka untuk jauh lebih dekat, daripada
waktu-waktu sebelumnya, dengan ide pembuatan filsafat menjadi ilmu
yang ketat.[19]

2. Bertrand Russell

Bertrand Russel (1872-1970) lahir dari keluarga bangsawan. Pada umur 2


dan 4 tahun berturut-turut ia kehilangan ibu dan ayahnya. Ia dibesarkan di
rumah orang tua ayahnya. Di Cambrige, ia belajar ilmu pasti dan filsafat,
antara lain pada A. Whitehead. Kita sudah mendengar bahwa George
Moore termasuk sahabatnya. Selama hidupnya yang amat panjang, ia
menulis banyak sekali, 71 buku dan brosur) tentang berbagai pokok, antara
lain filsafat, masalah-masalah moral, pendidikan, sejarah, agama, dan
politik. Pada tahun 1950 ia memperoleh hadiah Nobel bidang sastra.
Namanya menjadi masyhur di seluruh dunia terutama karena pendapat-
pendapatnya yang nonkonformistis tentang moral dan politik. Dari sudut
ilmiah jasanya yang terbesar terdapat di bidang logaika Matematis.[20]

Pemikiran filosofis Bertrand Russell yaitu ia mencoba menggabungkan


logika Frege tersebut dengan empirisme yang sebelumnya telah dirumskan
oleh David Hume. Bagi Russell, dunia terdiri dari fakta-fakta atomis
(atomic facts). Dalam konteks ini, kalimat-kalimat barulah bisa disebut
sebagai kalimat bermakna, jika kalimat tersebut berkorespondensi
langsung dengan fakta-fakta atomik. Ludwig Wittgenstein (1889-1951) juga
nantinya banyak dipengaruhi oleh Russell. Dia sendiri mempengaruhi
Lingkaran Wina dan membantu membentuk aliran positivisme logis pada
dekade 1920-30 an.

Jalan pemikiran Russell ini menawarkan jalan keluar untuk


aliran atomisme logik. Atomisme logik berpendapat bahwa bahasa
keseharian itu banyak menampilkan kekaburan arti. Russerl menawarkan
dasar-dasar logico-epistemologik untuk bahasa. Russell mengetengahkan
tentang fakta, bentuk logika, dan bahasa ideal. Dia mengetengahkan
prinsip dasarnya, yaitu: ada isomorphisme (kesepadanan) antara fakta
dengan bahasa, dan dunia ini merupakan totalitas fakta-fakta, bukan
benda. Fakta dalam pemikiran Russerl merupakan ciri-ciri atau relasi-
relasi yang dimiliki oleh benda-benda.[21]

Ia berpendapat bahwa grammar dari bahasa yang biasa kita gunakan


sebenarnya tidak tepat. Baginya, dunia terdiri dari fakta-fakta atomis, dan
hanya bahasa-bahasa yang mengacu pada fakta atomis inilah yang dapat
disebut sebagai bahasa yang sahih. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa
salah satu tugas terpenting filsafat adalah menganalisis proposisi-proposisi
bahasa untuk menguji kesahihan forma logis dari proposisi
tersebut.[22]untuk itu tugas filsafat adalah analisis logis yang disertai
dengan sintesis logis.

Berdasarkan prinsip-prinsip pemikiran itulah maka Russerl menekankan


bahwa konsep atomismenya tidak didasarkan pada mefisikanya melainkan
lebih didasarkan pada logikanya karena menurutnya logika adalah yang
paling dasar dalam filsafat, oleh karena itu pemikiran Russell dinamakan
atomisme logis.[23]

3. Ludwig Wittgenstein
Ludwig Wittgenstein dilahirkan di wina (Austria) pada tanggal 26 April
1889 sebagai anak bungsu dari delapan anak. Ayahnya berasal dari famili
yahudi yang telah memeluk agama Kristen Protestan dan ibunya beragama
katolik. Ayahnya seorang insinyur yang dalam jangka waktu sepuluh tahun
berhasil menjadi pemimpin suatu industri baja yang besar.[24]

Pada Tahun 1906 Wittgenstein mulai belajar di suatu Sekolah Tinggi


Teknik di Berlin. Setelah itu Ia pindah ke inggris dan melakukan
penyelidikan tentang aeronautical selama tiga tahun. Karena tertarik
kepada buku Principles of Mathematics tulisan Bertrand Russell, ia pergi ke
Cambridge untuk belajar kepada Russell, ia mendapat kemajuan pesat
dalam studi tentang logika. Setelah perang dunia I meletus, ia bergabung
dengan tentara Austria sebagai sukarelawan dan ditawan oleh tentara Italia
pada tahun 1918. setelah dibebaskan ia mengajar di sekolah, tetapi pada
tahun 1929, ia kembali ke Cambridge untuk berkecimpung dalam filsafat.
Pada tahun 1939 ia mengganti G.E. Moore sebagai guru besar fislafat di
Cambridge University, Inggris. Karyanya merupakan factor penting dalam
timbulnya aliran-aliran Logical Positivism, Linguistic
Analysis dan semantics.[25]

Adapun pemikiran filosofis Ludwig Wittgenstein yaitu:

a. Periode pertama: Tractatus logico-philosophicus[26]

Konsep pemikiran Wittgenstein dalam buku Tractatus terdiri atas


pernyataan-pernyataan yang secara logis memiliki hubungan. Pernyataan
tersebut diungkapkan sebagai berikut:

Pertama: Dunia itu tidak terbagi atas benda-benda melainkan terdiri atas
fakta-fakta, dan akhirnya terbagi menjadi suatu kumpulan fakta-fakta
atomis yang tertentu secara unik (khas).

Kedua: Setiap proposisi itu pada akhirnya melarut diri, melalui analisis,
menjadi suatu fungsi kebenaran yang tertentu secara unik (khas) dari
sebuah proposisi elementer, yaitu setiap proposisi hanya mempunyai satu
analisis akhir.

Pernyataan-pernyataan tersebut secara rinci diperjelas lagi secara logis


dalam pernyataan-pernyataan sebagai berikut:

Pernyataan pertama:

1. Dunia itu adalah semua hal yang adalah demikian.

(The worlds is all that is the case)


Dunia itu adalah keseluruhan dari fakta-fakta, bukan dari benda-benda.

(The World is the totality of fact not of thing)

Dunia itu terbagi menjadi fakta-fakta (kenyataan-kenyataan).

(The World devides into facts)

1. Apa yang merupakan kenyataan yang sedemikian itu, sebuah fakta


adalah kebenaran suatu peristiwa.

(What is the case, a fact is the existence of states of affairs).[27]

Menurut Wittgeinsten yang dimaksud dengan fakta, adalah suatu peristiwa


(state of affairs) atau keadaan dan suatu peristiwa itu adalah kombinasi
dari benda-benda atau objek-objek bagaimana hal itu berada di dunia.
Dunia itu bukanlah terdiri atas benda-benda, atau benda-benda itu
bukanlah bahagian dunia. Namun, objek-objek itu merupakan substansi
dunia. Jadi, yang dimaksud Wittgeinstein adalah bahwa sebuah fakta itu
adalah suatu keberadaan peristiwa (state of affairs), yaitu bagaimana
objek-objek itu memiliki interrelasi dan keadaan, hubungan kausalitas,
kualitas, kuantitas, ruang, waktu, dan keadaan. Misalnya suatu keberadaan
peristiwa yaitu bagaimana kedudukan pintu di antara dinding-dinding.
Letak jendela di depan pintu pertama, enam jendela terletak di sebelah kiri
ruang dan empat jendela terletak di sebelah kanan ruang, dan lain
sebagainya.

Russell dalam pengantar buku ini mengatakan bahwa pemikiran


Wittgeinsten dalam bukunya itu telah menggunakan suatu logika bahasa
yang sempurna. Penggunaan logika bahasa yang sempurna tersebut
menunjukkan bahwa pemakaian unsure-unsur bahasa seperti kata dan
kalimat dilakukan secara tepat, sehingga setiap kata hanya mewakili suatu
keadaan faktual (fakta) tertentu saja. Suatu logika bahasa yang sempurna
mengandung aturan sintaksis tertentu sehingga dapat menghindari
ungkapan yang tidak bermakna, dan memiliki symbol tunggal yang selalu
memiliki makna tertentu dan terbatas(Unifornity).

Teori gambar (picture Theory)

Wittgenstein dalam mengungkapkan realitas dunia terumuskan dalam


suatu proposisi-proposisi sehingga dengan demikian terdapat suatu
kesesuaian logis antara struktur bahasa dengan struktur realitas dunia.
Oleh karena itu proposisi-proposisi itu terungkapkan melalui bahasa, maka
bahasa pada hakikatnya merupakan suatu gambaran dunia.[28]
Dalam pengertian ini Wittgeinsten berupaya untuk benar-benar
menempatkan struktur logika dalam mengungkapkan suatu realitas dunia
dan hal ini juga pernah diungkapkan melalui konsep Aristoteles. Kerangka
logis bahasa dalam mengungkapkan suatu benda itu menjadi semacam
gambar timbul atau relief.

proposisi saya misalnya dalam bentuk perrnyataan Wittgeinsten, seperti


dikutip oleh Jones, berfungsi sebagai penjelasan dengan beberapa cara
berikut: setiap orang yang mengerti saya pada akhirnya akan mengenali
semua ini (etika, moral, agama, seni) sebagai yang bukan-bukan, ketika ia
menggunakan semua itu sebagai langkah untuk memanjat melampaui
mereka. Dengan begitu, ia harus membuang tangga setelah selesai
memanjatnya.[29]

Selain proposisi yang menggambarkan keberadaan suatu peristiwa,


terdapat pula proposisi, terdapat pula proposisi-proposisi logika yaitu
kebenaran-kebenaran yang berdasar pada prinsip-prinsip logis. Hal ini
termasuk tautology-tautologi, atau kontradiksi-kontradiksi. Misalnya
proposisi Amin berada di rumah atau di luar rumah yang merupakan
kebenaran tautologies, dan Amin berada di rumah atau tidak berada di
rumah yang merupakan suatu kontradiksi. Menurut Wittgeinsten
proposisi logika sebenarnya tidak termasuk proposisi sejati, sebab tidak
menggambarkan sesuatu. Proposisi-proposisi tersebut tidak
mengungkapkan suatu pikiran, namun merupakan suatu kebenaran
tautologies belaka dan tidak menggambarkan suatu bentuk peristiwa atau
tidak merupakan suatu picture dari sesuatu. Namun demikian menurut
Wittgeinsten proposisi logika tersebut bukan berarti tidak bermakna,
melainkan kebenarannya bersifat tautologies.

b. Periode Kedua: Philosophical Investigations

Dari buku-buku yang diterbitkan sesudah meninggalnya, Philosophical


Investigations adalah satu-satunya karya yang dimaksudkan Wittgenstein
sendiri untuk diterbitkan. Philosophical Investigations terdiri dari banyak
pasal pendek (sering kali tidak melebihi beberapa kalimat saja; seluruh
bagian pertama dibagi atas 693 nomor), yang yang hubungannya satu sama
lain umunya tidak begitu erat. Untuk kita yang paling penting ialah
pendapat baru tentang bahasa yang di kemukakan disini, dengan itu ia
mengeritik pendapatnya dalam Tractus.

Supaya makna bahasa kita, dapat dimengerti, kita harus menerima adanya
proposisi-proposisi elementer yang menunjuk kepada states of
affairs dalam realitas. Di kemudian hari Wittgenstein menginsafi bahwa
dalam teori pertama itu sebetulnya ia tidak memperlihatkan struktur
tersembunyi dari segala macam bahasa, melainkan hanya melukiskan jenis
bahasa tertentu. Dalam Philosophical Investigations ia menolak beberapa
hal yang dulu diandaikan begitu saja dalam teori pertama, yaitu (1) Bahwa
bahasa dipakai hanya untuk satu tujuan saja, yakni menetapkan states of
affairs (keadaan-keadaan faktual), (2) Bahwa kalimat-kalimat mendapat
maknanya dengan satu cara saja, yakni menggambarkan suatu keadaan
factual, dan (3) Bahwa setiap jenis bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa
logika yang sempurna , biarpun pada pandangan pertama barangkali sukar
untuk dilihat.

Dalam philosophical Investigations ia menolak pendapatnya yang pertama.


Menurutnya bahasa itu digunakan tidak hanya untuk mengungkapkan
proposisi-proposisi logis melainkan digunakan dalam banyak cara (form
of lifes) yang berbeda untuk mengungkapkan pembenaran, pertanyaan-
pertanyaan, perintah, pengumuman dan banyak lagi gejala-gejala yang
dapat diungkapkan dengan kata-kata. Terdapat banyak sekali jenis-jenis
yang berbeda dalam penggunaan bahasa.

Kemudian untuk menjelaskan bahwa bahasa dipakai dengan rupa-rupa


cara, dalam Philosophical Investigations Wittgenstein mengintrodusir
istilah language games (permainan-permainan bahasa), suatu
permainan dapat dilukiskan sebagai aktivitas yang dilakukan menurut
aturan.[30]

Permainan bahasa ini menggambarkan aktivitas manusia. Jika ilmu


pengetahuan memiliki permainan bahasanya sendiri, maka kita juga bisa
berpartisipasi di dalam permainan bahasa agama-agama, permainan
bahasa estetika, dan banyak permainan bahasa lainnya. Pada titik ini, kata-
kata memiliki maknanya dari penggunaannya di dalam suatu permainan
bahasa tertentu.

Kalau pada periode pertama Wittgeinsten mengkritik bahasa filsafat yang


dikatakannya bahwa penggunaan bahasa filsafat tidak memiliki struktur
logis, sehingga ia mengungkapkan persoalan timbul karena para filosof
yang menggunakan bahasa kurang tepat dalam mengungkapkan realitas
melalui logika bahasa. Banyak ungkapan-ungkapan filsafat terutama
ungkapan metafisis tidak melukiskan suatu realitas fakta dunia secara
empiris, sehingga bahasa filsafat terutama metafisika, filsafat nilai, estetika,
etika, dan cabang-cabang lainnya sebenarnya tidak mengungkapkan apa-
apa. [31]

Namun demikian melalui konsep tata permainan bahasa ia berupaya


menunjukan berbagai macam kelemahan bahasa dalam filsafat.
Wittgeinsten menyatakan bahwa persoalan-persoalan filsafat timbul
karena terdapat kekacauan dalam penerapan tata permainan bahasa.
Apakah tugas filsafat dalam pandangan ini? Filsafat harus menyelidiki
permainan-permainan bahasa yang berbeda-beda, menunjukkan aturan-
aturan yang berlaku di dalamnya, menetapkan logikanya, dan sebagainya.
Filsafat tidak campur tangan dalam pembentukan suatu permainan bahasa.
Filsafat hanya melukiskan fungsinya, dengan menerangkan cara bahasa
dipakai sering kali masalah-masalah filosofis dapat dipecahkan.[32]

Dalam dua karya yang dibicarakan oleh Wittgenstein terdapat dua


pandangan yang berbeda. Oleh karena itu sudah menjadi kebiasaan untuk
membedakan Witgeinsten I dan Witgeinsten II. Dengan dua pandangan ini
ia menjadi sumber inspirasi bagi dua aliran filosofis yang cukup penting,
biarpun kedua-duanya tidak disetujui oleh Wittgeinsten itu sendiri. Disatu
pihak lingkungan Wina yang memegang peranan penting kira-kira satu
dasawarsa sebelum prang dunia II. Di lain pihak gerakan filosofis yang di
tunjukkan dengan pelbagai nama, antara lain, filsafat analisis. Gerakan
ini mulai berkembang di Cambridge, tetapi sesudah perang dunia II
terutama berpusat di Oxford. Terpengaruh oleh Wittgeinsten II, mereka
berpendapat bahwa filsafat harus berpegang pada prinsip Dont ask for the
meaning, ask for the use (jangan tanyakan makna, tanyakanlah pemakaian
bahasa).

BAB III

PENUTUP

Dari uraian tentang filsafat Analitik diatas, maka penulis mengambil


kesimpulan sebagai berikut:

1. Filsafat analitik adalah suatu gerakan filosof Abad ke 20, khususnya


di Inggris dan Amerika Serikat yang memusatkan perhatiannya pada
bahasa dan mencoba menganalisa pernyataan-pernyataan (konsep-
konsep, ungkapan-ungkapan kebahasaan atau bentuk-bentuk yang
logis) supaya menemukan bentuk-bentuk yang paling logis dan
singkat yang cocok dengan fakta-fakta atau makna-makna yang
disajikan.
2. Perhatian filsafat terhadap bahasa sebenarnya telah berlangsung
lama, bahkan sejak zaman Pra Sokrates, akan tetapi filsafat bahasa
tersebut menjadi populer pada abad ke XX dengan telaah analitik
filosofik Wittgenstein tentang bahasa.
3. Adapun tokoh-tokoh yang melahirkan filsafat analitik dan
pemikirannya sebagai berikut:
4. a. Gottlob Frege dengan pemikiran filosofis
metode logika yang rigorussebagai metode filsafatnya.

b.Beltrand Russel dengan pemikiran Atomisme Logic.

1. c. Ludwig Wittgeinsten dengan dua pemikiran dalam karyanya yaitu,


pada periode pertama, Tractatus logico-philosophicus. dan
pada periode kedua, Philosophical Investigations

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. Semantika; Pengantar Studi Tentang Makna, Cet. V;


Jakarta: Raja Grafindo persada, 2004

Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani, Jakarta: Kanisius, 1975

-. Filsafat Barat Kontempoter Inggris-Jerman, Cet. IV; Jakarta:


PT Gramedia Pustaka Utama, 2002

Endarmoko, Eko. Tesaurus Bahasa Indonesia, Cet. I; Jakarta: PT


Gramedia, 2006

Hartoko, Dick. Kamus Populer Filsafat, Cet. III; PT. Raja Grafindo
Persada, 2002

Hidayat, Asep Ahmad. Filsafat Bahasa, Cet. I; Jakarta: PT. Rosdakarya,


2006

http://rezaantonius.wordpress.com/2008/02/24/filsafat-analitik/

Kaelan M.S. Perkembangan Filsafat Analitika Bahasa dan Pengaruhnya


Terhadap Ilmu Pengetahuan, Cet. I; Yogyakarta: Paradigma, 2006

Mudhofir, Ali. Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, Cet I;
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996

Nolan, Richard T., Harold H. Titus, dan Marilyn S. Smith. Living Issues In
Philosophy, dialih bahasakan oleh H. M. Rasjidi dengan judul Persoalan-
Persoalan Filsafat, Cet. I; Jakarta: P. T. Bulan Bintang, 1984

Palmquis, Stephen. The Tree of Phylosophy, diterjemahkan oleh


Muhammad Shadiq dengan judul, Pohon Filsafat, Cet. I; Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002
Russel, Bertrand. History of Western philosophy, Oxford: Alden Press,
1974

Salliyanti. Peranan Filsafat Bahasa dalam Perkembangan Ilmu


Bahasa,Medan: USU, 2006

Umar, Mustofa. Tesis Konsep Penciptaan Alam Menurut Hadis


Qudsi(Sebuah Kajian Filosofis dan Sufistik), Makasar: PPs Alauddin
Makasar, 1998

[1]Bertrand Russel, History of Western philosophy (Oxford: Alden Press,


1974), h. 13

[2]Lihat K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Jakarta: Kanisius, 1975), h.


26

[3]Mustofa Umar, Tesis Konsep penciptaan Alam Menurut Hadis


Qudsi(Sebuah Kajian Filosofis dan Sufistik), (Makasar: PPs Alauddin
Makasar, 1998), h. 2

[4]K. Bertens. Op. Cit., h. 82

[5]Harold H. Titus, Marilyn S. Smith, dan Richard T. Nolan, Living Issues


In Philosophy, dialih bahasakan oleh H. M. Rasjidi dengan
judul Persoalan-Persoalan Filsafat (Cet. I; Jakarta: P. T. Bulan Bintang,
1984), h. 358

[6]Salliyanti, Peranan Filsafat Bahasa dalam Perkembangan Ilmu


Bahasa(Medan: USU, 2006), h. 1

[7]Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia (Cet. I; Jakarta: PT


Gramedia, 2006), h. 24

[8]Ibid., h. 9

[9]Zainal Abidin, Semantika; Pengantar Studi Tentang Makna (Cet. V;


Jakarta: Raja Grafindo persada, 2004), h. 76

[10]Lihat Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat (Cet. III; PT. Raja
Grafindo Persada, 2002), h. 4

[11]Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran Dalam Filsafat dan Teologi (Cet
I; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), h. 8
[12]Lihat Kaelan M.S, Perkembangan filsafat Analitika bahasa dan
pengaruhnya Terhadap ilmu Pengetahuan (Cet. I; Yogyakarta: Paradigma,
2006) h. 7

[13]Ibid.,

[14]Lihat Noeng Muhadj, Filsafat Ilmu Positivisme, PostPositivisme, dan


PostModernisme (Cet. I; Yogyakarta: Rakesarasin, 2001), h. 98

[15]Kaelan M.S, Op. Cit., h. 8

[16]Ibid., h. 15

[17]http://rezaantonius.wordpress.com/2008/02/24/filsafat-analitik/

[18]Stephen Palmquis, The Tree of Phylosophy, diterjemahkan oleh


Muhammad Shadiq dengan judul, Pohon Filsafat (Cet. I; Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002), h. 200

[19] Ibid.

[20]K. Bertens, Filsafat Barat Kontempoter Inggris-Jerman (Cet. IV;


Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 26

[21]Noeng Muhadj, Op. Cit., h. 99

[22]http://rezaantonius.wordpress.com/2008/02/24/filsafat-analitik/

[23]Kaelan M.S, Op. Cit., h. 25

[24]K. Bertens, Filsafat Barat Kontempoter Op. Cit., h. 41

[25]Harold H. Titus, Marilyn S. Smith dan Richard T. Nolan., Op. Cit., h.


370

[26]Pemikiran Wittgeinsten tertuang dalam Buku ini sebagai karya besar


pertama ketika ia memperkuat visi dasar atomisme logis. Buku ini tidak
lebih dari 75 halaman saja yang terdiri dari pernyataan-pernyataan agak
pendek. Yang susunannya diatur sedemikian rupa sehingga terdapat tujuh
dalil pokok yang dibagi-bagi menurut sistem desimal. Kaelan M.S, Op. Cit,.
h. 39

[27]Ibid., h. 40

[28]Ibid., h. 43-44
[29]Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa (Cet. I; Jakarta: PT. Rosdakarya,
2006), h. 46

[30]K. Bertens, Filsafat Barat Kontempoter Op. Cit., h. 52

You might also like