You are on page 1of 21

Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian

REFORMASI KEGIATAN PENYULUHAN:


PERLUKAH.?

Andin H. Taryoto

PENDAHULUAN

Berbagai pihak yang berkepentingan dengan kegiatan Penyuluhan hampir


dapat dipastikan akan menyatakan bahwa penyuluh adalah ujung tombak
pembangunan. Maksud dari pernyataan tersebut adalah untuk menunjukkan betapa
pentingnya posisi dan peran penyuluh didalam proses pembangunan. Namun
demikian, apabila digunakan kaidah untuk memaknai kata per kata, penggunaan kata
ujung tombak mengundang setidaknya 2 (dua) pertanyaan: apabila ada ujung, maka
siapa atau apa yang menjadi pangkalnya, serta pertanyaan siapa atau apa yang akan
dikenai tombak? Hal ini dapat menjadi titik tolak untuk menyatakan bahwa disadari
kegiatan penyuluhan memiliki arti penting dalam kehidupan keseharian, namun perlu
dicermati dalam hal apa penyuluhan penting, apa tujuan yang ingin dicapai dengan
penyuluhan, serta bagaimana melaksanakan kegiatan penyuluhan yang benar.
Pada masa pemerintahan Presiden Suharto, kegiatan penyuluhan mengalami
masa keemasan. Hal ini mengingat begitu besarnya ambisi pemerintah untuk
mencapai status Swasembada Pangan, yang diartikan secara khusus sebagai
Swasembada beras. Berbagai fasilitas diberikan kepada para penyuluh untuk
mendukung upaya pencapaian target Swasembada Pangan tersebut; para Penyuluh
Pertanian Spesialis (PPS) yang berpendidikan sarjana mendapatkan fasilitas kendaraan
roda empat, sementara para PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) yang berpendidikan
SLTA/SPMA mendapatkan fasilitas kendaraan bermotor roda dua. Disertai dengan
kelengkapan fasilitas lain kepada para petani (seperti kredit dalam format
Bimas/Inmas, dan penyediaan saprodi melalui BUUD/KUD), para penyuluh melakukan
kegiatan penyuluhan dengan pendekatan LAKU (latihan dan kunjungan) secara
terjadwal, dengan kelengkapan biaya operasional yang memadai, serta pelatihan-
pelatihan yang terjadwal. Pada masa inilah penamaan penyuluh sebagai ujung tombak
mulai diperkenalkan. Program Bimas/Inmas diwadahi dalam organisasi berjenjang,
sejak dari Pusat sampai dengan Kecamatan. Mereka yang terlibat dalam kegiatan
Bimas/Inmas ini mendapatkan posisi bergengsi yang di-iri-kan oleh mereka yang tidak
masuk didalam sistem tersebut. Dengan pendekatan itu, Indonesia berhasil mencapai
status Swasembada Pangan pada tahun 1984, dan Presiden Suharto mendapatkan
penghargaan dari FAO atas prestasi ini. Pada Hari Ulang Tahun FAO ke-40 tanggal 14
Nopember 1985, Presiden Suharto diundang oleh Direktur Jenderal FAO dan
menyampaikan pidatonya di depan Sidang FAO di Roma.

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 407


Reformasi Kegiatan Penyuluhan: Perlukah.?

Dengan berjalannya waktu, intensitas kegiatan penyuluhan menjadi makin


terpinggirkan dan makin kehilangan gaung dalam kehidupan masyarakat. Satu demi
satu konsep-konsep yang digunakan untuk mengejar target Swasembada Pangan
mulai ditinggalkan. Program Bimas/inmas tak berbekas lagi, sementara BUUD/KUD
hanya bersisa nama KUD di beberapa lokasi saja. Penyuluh tidak lagi menjadi posisi
bergengsi, karena fasilitas dicabut satu demi satu. Dengan diterapkannya kebijakan
Desentralisasi/Otonomi Daerah, kegiatan penyuluhan makin mengalami situasi yang
bervariasi dari satu kabupaten/kota ke kabupaten/kota yang lain, dan makin
menyurutkan atensi terhadap kegiatan penyuluhan.
Sampai kapan hal tersebut akan terus terjadi? Mengapa hal-hal tersebut
terjadi? Siapa dan apa yang menjadi penyebab terjadinya hal-hal itu? Apa yang
kemudian seyogyanya dilakukan untuk kembali mengangkat gengsi dan citra kegiatan
penyuluhan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjadi pedoman utama dalam
pembahasan tulisan ini. Diharapkan dapat diperoleh sejumlah pemikiran untuk
mencoba menempatkan kembali kegiatan penyuluhan dalam posisi yang memadai,
proporsional dengan perkembangan keadaan, perkembangan kebijakan, dan
perkembangan lingkungan hidup masyarakat Indonesia saat ini dan dimasa
mendatang.

KONSEP DASAR PENYULUHAN

Tidak diketahui secara pasti kapan kegiatan penyuluhan pertanian secara


umum mulai dilaksanakan. Namun analisis FAO menyebutkan bahwa diduga kegiatan
penyuluhan telah terjadi 4000 tahun yang lalu dan berkembang, berubah, dan
mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Secara sistematik kegiatan
penyuluhan yang lebih modern diduga baru dilakukan sekitar 200 tahun yang silam
(Jones dan Garforth, 1998). Ilustrasi ini menggambarkan betapa kegiatan penyuluhan
telah menjadi bagian dari kehidupan manusia hampir dalam sejarah kehidupan
manusia sampai saat ini.
Perkembangan kegiatan penyuluhan bermula dari pemikiran 2 (dua)
universitas besar di Inggris, Oxford dan Cambiridge, pada tahun 1850-an, untuk lebih
mendekatkan proses pendidikan kepada masyarakat diluar universitas-universitas
tersebut. Pada awalnya materi yang diberikan terbatas pada hal-hal yang berhubungan
dengan kehidupan sosial masyarakat. Dalam perkembangannya materi kemudian
meluas sehingga menjadi mencakup juga beberapa hal teknis (Jones, 1994). Pemikiran
dan praktek-praktek penyuluhan ini kemudian berkembang juga di wilayah lain. Di
Amerika Serikat pengembangan kegiatan dilakukan melalui universitas-universitas
yang berada dalam wilayah pertanian (landgrant universities), yang selanjutnya
berupaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan oleh para petani di
wilayah masing-masing.

408 Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian


Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian

Pada awal abad ke 19, seorang tokoh politik Inggris, Lord Henry Brougham,
mendirikan apa yang disebutnya sebagai the Society for the Diffusion of Useful
Knowledge. Hal ini sejalan dengan keinginannya untuk menyediakan informasi dan
pengetahuan kepada seluruh lapisan masyarakat, terutama bagi yang miskin dan tidak
dapat membayar uang sekolah, ataupun yang lebih memilih untuk belajar dilingkungan
tempat tinggalnya. Langkah-langkah yang dilakukan kemudian adalah mencetak
informasi yang diperlukan secara sederhana denngan biaya yang murah, serta
membentuk satuan-satuan tugas yang menagani penyebaran informasi tersebut
(Jones dan Gartforth, 1998). Aspek-aspek pertanian ternyata menjadi aspek dominan
setelah kegiatan berjalan selama duapuluhan tahun kemudian. Pemikiran-pemikiran
penyuluhan pertanian kemudian berkembangan dari dasar-dasar pemikiran yang
dipikirkan oleh Universias Oxford dan Cambridge tersebut, serta juga belajar dari pola
pikir yang dikembangkan oleh Lord Henry Brougham.
Kata kunci yang mendasari kegiatan penyuluhan dari ilustrasi terdahulu adalah
adanya materi yang ingin didistribusikan, adanya pelaku yang melaksanakan
pendistribusian, serta orientas kepada apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Jones
dan Gartforth (1998) lebih rinci menyatakan bahwa terdapat 5 (lima) hal yang harus
diperhatikan dalam pelaksanaan kegiatan penyuluhan: (a) bahan-bahan yang akan
disampaikan harus telah diolah dan disesuaikan denngan permintaan serta kondisi
masyarakat yang dituju; disarankan agar dilakukan penelitian lebih dahulu untuk
menyiapkan bahan yang tepat, (b) informasi terlebih dahulu digunakan untuk melatih
dan memberi masukan kepada mereka yang telah memahami kegiatan pertanian
secara mendalam, sehingga mereka kemudian dapat mengolah dan menngembangkan
lebih lanjut informasi tersebut, sehingga mereka dapat menyebarkan informasi itu
dengan lebih baik, (c) perlu dikembangkan lebih dahulu suatu struktur organisasi yang
secara administratif akan mengelola proses diseminasi/penyampaian informasi-
informasi yang ada, (d) terdapat dukungan secara formal dari pihak-pihak yang dinilai
dapat memacu pelaksanakan kegiatan diseminasi tersebut, dan (e) kejadian-kejadian
luar biasa seperti kekeringan, kelaparan, kegagalan panen, ataupun perubahan
kebijakan ekonomi, menjadi pemicu untuk terbentuknya organisasi yang menangani
kegiatan penyuluhan pertanian.
Secara yuridis formal, Pasal 1 Undang-undang Nomor 16 tahun 2006 tentang
Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan menyebutkan bahwa Sistem
penyuluhan adalah seluruh rangkaian pengembangan kemampuan, pengetahuan,
keterampilan, serta sikap pelaku utama dan pelaku usaha melalui penyuluhan.
Selanjutnya disebutkan bahwa penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku
utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan
mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan,
dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi
usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam
pelestarian fungsi lingkungan hidup. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Penyuluhan
diselenggarakan berasaskan demokrasi, manfaat, kesetaraan, keterpaduan,
keseimbangan, keterbukaan, kerjasama, partisipatif, kemitraan, berkelanjutan,
berkeadilan, pemerataan, dan bertanggung gugat. Tampak disini bahwa Pelaku Utama

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 409


Reformasi Kegiatan Penyuluhan: Perlukah.?

dan Pelaku Usaha adalah fokus dari kegiatan Penyuluhan, asas penyuluhan
menempatkan hak-hak asasi Pelaku Utama dan Pelaku Usaha dalam pertimbangan
tertinggi, sementara kemampuan, pengetahuan, ketrampilan, dan sikap mereka
menjadi bidang kegiatan yang harus diperhatikan dalam proses penyuluhan.
Pemikiran-pemikiran tentang penyuluhan sebelum UU 16/2006 ditetapkan,
menjadi pemikiran yang dinilai menjiwai definisi maupun cakupan kegiatan Penyuluhan
Pertanian secara umum. Wiriatmadja (1977), misalnya, mengemukakan bahwa
penyuluhan pertanian adalah sistem pendidikan luar sekolah untuk keluarga tani di
pedesaan, dimana mereka belajar sambil berbuat agar menjadi mau, tahu, dan dapat
menyelesaikan masalah-masalah sendiri yang dihadapinya secara baik,
menguntungkan dan memuaskan. Sementara itu Mardikanto (1993) menyatakan
bahwa penyuluhan pembangunan adalah proses penyebaran ide-ide baru kepada
masyarakat dengan mengikutsertakan masyarakat itu sendiri melalui penambahan
pengetahuan, keterampilan baru, dan perubahan perilaku yang didapat karena ada
kesadaran untuk mengubah diri pada kondisi yang lebih baik. Lebih lanjut menurut
Slamet, penyuluhan adalah suatu sistem pendidikan luar sekolah (pendidikan non
formal) untuk petani dan keluarganya dengan tujuan agar mereka mampu dan
sanggup memerankan dirinya sebagai warga negara yang baik sesuai dengan bidang
profesinya, serta mampu dan sanggup berswadaya untuk memperbaiki atau
meningkatkan kesejahteraannya sendiri dan masyarakat (Sudradjat dan Yustina,
2003), disisi lain Adjid (2001) menyatakan bahwa penyuluhan pertanian adalah suatu
sistem pendidikan non formal untuk masyarakat perdesaan dengan implikasi pada
perubahan perilaku yang didasarkan pada pengalaman belajar dengan tujuan
peningkatan kesejahteraan. Tampak bahwa berbagai definisi yang diajukan sejalan
dengan apa yang disebutkan dalam UU 16/2006, dengan variasi berbagai tambahan
dan penekanan tentang kegiatan Penyuluhan tersebut.

PERKEMBANGAN PENYULUHAN DI INDONESIA

Kegiatan penyuluhan di Indonesia, terutama penyuluhan pertanian, tidak


terlepas dari perkembangan kehidupan bernegara yangg terjadi sampai saat ini. Masa
penjajahan Belanda dianggap sebagai salah satu awal kegiatan penyuluhan, terutama
dihubungkan dengan mulai dibangunnya Kebun Raya Bogor pada tahun 1817
(Mardikanto, 2009). Namun demikian Mardikanto juga menyebutkan bahwa profesor
Iso Hadiprodjo, Guru Besar Fakultas Pertanian UGM yang diangkat oleh Presiden
Soekarno pada tahun 1952, lebih cenderung menyatakan bahwa kegiatan penyuluhan
di Indonesia diawali dengan dibentuknya Departemen Pertanian (Depertement van
Landbouw) oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1905.
Kegiatan pada masa penjajahan Belanda banyak dihubungkan dengan
kepentingan Belanda dalam mengembangkan kegiatan Tanam Paksa (cultuur stelsel),
sehingga banyak dinilai sebagai kegiatan penyuluhan yang semu, karena tidak
berorientasi kepada kepentingan para pelaku kegiatan pertanian itu sendiri. Pada masa

410 Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian


Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian

penjajahan Jepang, kegiatan penyuluhan dapat dikatakan vakum, karena pihak Jepang
lebih berkonsentrasi pada upaya pemenangan perang yang dilakukannya.
Analisis dinamika kegiatan penyuluhan di Indonesia setelah pernyataan
Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 dapat dikelompokkan menjadi 3 periode: (1)
periode 1945-1967, (2) periode 1967-1998, serta (3) periode 1999-2014. Periode
pertama dapat juga disebut sebagai periode pemerintahan Presiden Sukarno, periode
kedua terkait dengan periode pemerintahan Presiden Suharto, dan periode ketiga
sebagai periode pemerintahan reformasi. Periodisasi tersebut dinilai memiliki
karakteristik yang khas pada masing-masing periode, sehingga dapat menjadi acuan
dan referensi bagi pengembangan pemikiran format kegiatan penyuluhan dimasa
mendatang. Secara terinci disajikan analisis kegiatan penyuluhan pada masing-masing
periode1.
Periode pertama dan periode kedua masih dapat disebut sebagai periode
Penyuluhan Pertanian secara luas. Dengan perkembangan kehidupan bernegara,
periode ketiga ditandai dengan terpisahnya kegiatan Perikanan dan Kehutanan dari
kegiatan Pertanian. Dengan demikian periode ketiga ini dicirikan dengan sudah
terspesifikasikannya kegiatan penyuluhan atas kegiatan penyuluhan Pertanian,
penyuluhan Perikanan, dan penyuluhan Kehutanan.

Periode 1945-1967

Awal kegiatan setelah pernyataan kemerdekaan Indonesia sangat didominasi


dengan aktivitas politik yang sangat tinggi, sehingga kegiatan yang berkaitan dengan
pembangunan aktivitas ekonomi, termasuk kegiatan pertanian secara luas, dapat
dikatakan belum berjalan dengan baik. Aktivitas yang terkait dengan bidang pertanian
sampai dengan tahun 1960-an ditandai dengan diluncurkannya Rencana Kasimo pada
tahun 1948-1950, dan Rencana Wicaksono pada tahun 1950-1959. Rencana Kasimo
berkaitan dengan upaya untuk melakukan pengembangan produksi pertanian.
Rencana ini tidak dapat berjalan dengan baik karena tingginya intensitas revolusi dan
peperangan yang masih mewarnai kehidupan masyarakat pada waktu itu. Rencana
pembangunan pertanian yang lebih sistematis ditetapkan kemudian pada periode
19501959, dimana Rencana Wicaksono menetapkan Rencana Kesejahteraan
Istimewa (RKI) dalam 2 (dua) tahap, yaitu tahap ke-1 pada tahun 19501955, dan
tahap ke-2 pada tahun 19551960.

1 Kecuali disebutkan secara spesifik, analisis yang dilakukan bersumber dari bahan-bahan tulisan yang diperoleh dari sumber-sumber:
http://bppsdmp.deptan.go.id/;
http://www.bbpp-lembang.info/;
http://bbppketindan.bppsdmp.deptan.go.id/;
http://bp3kkecmandiangin.blogspot.com/2013/02/sejarah-dan-pengertian-penyuluhan.html;
http://ahmadsyufri.blogspot.com/2011/10/sejarah-penyuluhan-pertanian-di.html;
http://turindraatp.blogspot.com/2009/11/sejarah-penyuluhan-di-indonesia.html;
http://id.netlog.com/dindapristanti/blog/blogid=169538;
http://pakmargolang.com/article/92643/sejarah-penyuluhan-pertanian-di-indonesia.html;
http://agro-sosial.blogspot.com/2013/05/sejarah-penyuluhan-pertanian-di.html;

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 411


Reformasi Kegiatan Penyuluhan: Perlukah.?

Sejumlah kegiatan dilakukan dalam kerangka kegiatan RKI, sejak dari


penyediaan bibit unggul padi dan palawija, perbaikan dan pengembangan pengairan
pedesaan, pemberantasan hama dan penyakit tanaman, serta pengendalian terjadinya
erosi. Aktivitas yang terkait dengan kegiatan penyuluhan diwujudkan dalam kegiatan
peningkatan pendidikan bagi masyarakat pedesaan, dengan mendirikan Balai
Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD) di tiap kecamatan, serta upaya Intensifikasi
pemakaian tanah kering, yang diawali dengan pembangunan beberapa Kebun
Percobaan Perusahaan Tanah Kering (PPTK) di tingkat kabupaten. Masalah yang
dihadapi dalam pelaksanaan RKI adalah kembali masih dominannya kehidupan politik
pada masa itu, sehingga para penyelenggara kegiatan masih diwarnai oleh orientasi
segmentasi aliran-aliran politik dari partai-partai yang ada. Akibatnya RKI juga tidak
dapat menunjukkan hasil yang memadai.
Pada tahun 1958 dimulai program Padi Sentra. Program ini merupakan bagian
dari suatu Badan yang menangani Bahan Makanan dan Pembukaan Tanah Kering
(BMPT). Padi Sentra merupakan kegiatan untuk melakukan intensifikasi padi pada
suatu sentra seluas 1.000 ha. Petani pada sentra tersebut memperoleh kredit
natura (bibit dan pupuk) serta modal berupa uang. Nataatmadja dkk. (1988)
menyatakan bahwa sebenarnya konsep dasar Padi Sentra cukup baik. Hal ini terbukti
dari perbedaan produksi sampai 20 persen antara peserta dan non peserta Padi
Sentra. Namun karena dominannya pendekatan top-down, serta kegagalan dalam
mendidentifikasi kondisi lapangan dengan baik, maka partisipasi petani menjadi sangat
rendah. Program Padi Sentra melalui BMPT inipun gagal dan kemudian dihentikan
pada tahun 1963, karena terjadinya banyak penyelewengan, pengembalian kredit
dalam bentuk padi dihitung dengan harga yang rendah dari harga pasar, serta
kurangnya keahlian para manager dalam melakukan penyuluhan, pelayanan dan
pemasaran, serta penerapan sistem perkreditan yang tidak terencana dengan baik.
Setelah ditetapkannya Dekrit Presiden pada tahun 1959, Indonesia diwarnai
dengan apa yang disebut sebagai Periode Terpimpin, yaitu dengan diterapkannya
prinsip Demokrasi Terpimpin, serta juga pendekatan Ekonomi Terpimpin. Pendekatan
RKI diganti dengan Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) Tahap I
yang diterapkan secara meluas dan menyeluruh. Ditetapkan juga sebagai
implementasinya apa yang disebut sebagai Gerakan intensifikasi produksi padi Swa-
Sembada Beras (SSB), yang diterapkan sejak dari tingkat nasional sampai ke desa,
dengan pimpinan Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGM). Begitu masifnya
pendekatan komando dalam kegiatan ini, sehingga berakibat petani menjadi menjauh
dari para penyuluh, yang pada akhirnya berakibat kegagalan pendekatan KOGM ini.
Pada tahun 1963/1964, konsep Panca Usaha Tani diperkenalkan. Lembaga
Koordinasi Pengabdian Masyarakat Departemen PTIP (Pendidikan Tinggi dan Ilmu
Pengetahuan) bekerjasama dengan Fakultas Pertanian UI (yang kemudian menjadi
Institut Pertanian Bogor) mengadakan pilot proyek penyuluhan pertanian yang efektif,
guna meningkatkan produksi padi dengan penerapan Panca Usaha Tani tersebut di
Kabupaten Karawang. Action Research itu dipimpin Dr.Ir. Gunawan Satari dengan
asisten Ir. Achmad Affandi, Ir. Djatijanto, dan Ir. Sukmana. Konsep ini ditujukan untuk

412 Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian


Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian

meningkatkan produksi dan produktivitas padi dengan cara: (a) penggunaan bibit
unggul, (b) pengolahan tanah yg baik, (c) pemupukan yg tepat, (d) pengendalian
hama/penyakit, dan (e) pengairan/irigasi; (dalam perkembangannya konsep ini
diperluas menjadi Sapta Usaha Tani, dengan menambahkan aspek penanganan pasca
panen, dan pemasaran). Mobilisasi mahasiswa IPB secara massal di kabupaten
Karawang menjadi model dari pengembangan pendekatan konsep Panca Usaha Tani
ini. Hasilnya, produksi padi meningkat dua kali lipat.

Periode 1967-1998

Tahun 1965 terjadi peristiwa G-30-S, yang berdampak sangat negatif terhadap
perkembangan kegiatan penyuluhan di Indonesia. Selepas trauma peristiwa ini,
pengenalan Panca Usaha Tani dilanjutkan melalui program Demonstrasi Massal
(DEMAS) pada musim tanam (MT) 1964/1965, dan diperluas lagi MT 1965/1966.
Program kemudian diubah menjadi program Bimbingan Massal BIMAS SSBM dan
akhirnya menjadi sistem Bimas. Perkembangan selanjutnya Bimas yang mengalami
perbaikan menjadi Bimas Berdikari, Bimas Biasa, Bimas Baru, Bimas Gotong Royong,
dan Bimas yang disempurnakan.
Pelaksanaan program Bimas ditetapkan dengan Inpres No. 4/1973 tentang
Unit Desa, terdiri dari: (a) penyediaan kredit oleh BRI, (b) pelayanan penyuluhan oleh
PPL dinas pertanian, (c) sarana produksi yang murah dan mudah oleh penyalur, kios
dan KUD, serta (d) pengolahan dan pemasaran hasil oleh KUD, Kelompok Tani dan
swasta perorangan. Tampak disini bahwa kegiatan Penyuluhan merupakan salah satu
komponen yang harus ada dalam pendekatan Unit Desa tersebut. Bimas kemudian
berkembang menjadi program Intensifikasi Massal (INMAS). Petani yang telah
menjalani Bimas atas bantuan kredit dari Pemerintah pada akhirnya akan mampu
berdiri sendiri. Mereka diberi kesempatan membeli sarana produksi secara tunai.
Sistem Bimas dan Inmas didasarkan pada usaha pembinaan petani dengan
pendekatan Kelompoktani oleh Penyuluh Lapangan yang berijazah SPMA, dibantu oleh
penyuluh sukarela berasal dari kalangan petani, yang dikenal dengan sebutan
Kontaktani.
Pada tahun 1969 mulai diterapkan kegiatan pembangunan melalui pendekatan
Pembangunan Lima Tahun (PELITA). Periode 1969-1974 merupakan periode PELITA I.
Pada periode Pelita I, ditetapkan bahwa penyuluhan harus dapat secara nyata
menunjang pembangunan pertanian dengan prioritas pada upaya mencapai swa-
sembada beras. Pola dasar tata penyelenggaraan penyuluhan diperkuat, sehingga
meliputi kelembagaan, aparatur dan penyediaan fasilitas fisiknya, sementara
pengaturan dan pelayanan penyuluhan di lapangan disempurnakan. Melalui Keppres
No. 95/1969 dibentuk Badan Pengendali Bimas yang diketuai Menteri Pertanian, dan
penetapan Sekretaris BP Bimas, yang sejajar dengan Dirjen lingkup Departemen
Pertanian. Periode ini merupakan awal periode emas bagi kegiatan penyuluhan di
Indonesia.

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 413


Reformasi Kegiatan Penyuluhan: Perlukah.?

Sejak Pelita I, Bimas diartikan sebagai kegiatan penyuluhan massal, untuk


meningkatkan produksi pertanian dengan cara intensifikasi terutama pada komoditas
padi/ beras, yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat pada
umumnya. Bimas dibina bersama oleh intansi dan lembaga pemerintah di dalam dan di
luar Departemen Pertanian, menuju swadaya masyarakat tani dengan penerapan
pendekatan Panca Usaha, pembinaan, pengolahan dan pemasaran serta
pembangunan masyarakat desa. Bimas selanjutnya ditetapkan sebagai kegiatan
penyuluhan pertanian dengan ciri-ciri: (a) merupakan usaha bersama dari berbagai
instansi dan lembaga dalam melakukan penyuluhan/bimbingan menurut rencana yang
disusun atas dasar musyawarah dan mufakat, (b) dilaksanakannya koordinasi dalam
membuat rencana (waktu, tempat, cara dan biaya), (c) direncanakannya bimbingan
melalui satu aparatur di pedesaan, dan (d) bersifat massal dalam pemberian
bimbingan kepada petani.
Tujuan Bimas pada waktu itu pada hakekatnya sama dengan tujuan
penyuluhan yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu:
1. Menimbulkan perubahan perilaku dan motif tindakan petani ke arah sasaran yang
telah ditentukan,
2. Menuntun, mempengaruhi pikiran, perasaan dan perilaku petani dalam mencapai
taraf usaha dan kehidupan yang lebih baik,
3. Menimbulkan dan memelihara semangat petani agar selalu giat memperbaiki
segala usahanya, dan
4. Membantu petani agar lebih berswadaya dalam memecahkan dan menyelesaikan
masalah-masalah yang dihadapi.
Telah dikemukakan bahwa sasaran Bimas adalah petani/kelompok tani, baik
sebagai objek maupun sebagai subjek. Sebagai objek, petani merupakan titik sasaran
pelayanan, sedangkan sebagai subjek petani merupakan pemimpin sekaligus
pelaksana utama dalam usahataninya. Dalam hal ini Bimas bertujuan mengarahkan
petani agar: (a) berusahatani lebih baik (better farming), (b) berusahatani lebih
menguntungkan (better bussiness), (c) berkehidupan lebih layak (better living), dan
(d) tata kehidupan masyarakat lebih sejahtera (better community). Tampak jelas disini
bahwa Bimas merupakan tonggal awal kegiatan penyuluhan modern bagi Indonesia.
Terjadi pasang-surut pelaksanaan kegiatan penyuluhan sejak Pelita I sampai
dengan berakhirnya masa pemerintahan Presiden Suharto. Melalui Keppres No.44 dan
45/1974, dibentuk Badan Pendidikan, Latihan dan Penyuluhan Pertanian (Badan
Diklatluh), yang berwenang mengatur pendidikan, latihan dan penyuluhan di tingkat
nasional. Di daerah dilakukan oleh berbagai dinas yang ada sesuai dengan UU No.
5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Kemudian dengan SK Mentan No.
664/1975 dibentuk Forum Koordinasi Penyuluhan Pertanian di tingkat pusat, provinsi,
kabupaten dan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP). Peraturan ini merupakan landasan
menggalang kerjasama yang erat dalam penyuluhan, yang pada akhirnya diharapkan
dapat mencapai kondisi terpadunya penyuluhan.

414 Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian


Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian

Mulai tahun 1976 diterapkan sistem kerja Latihan dan Kunjungan (LAKU).
Penyuluh sejak 1979 ditata menurut sistem Penyuluhan Pertanian Lapangan (PPL) di
tingkat Wilayah Unit Desa (WILUD, denngan luasan setara 600-1.000 ha sawah), dan
dibina oleh Penyuluh Pertanian Madya (PPM, yang kemudian berubah menjadi
Penyuluh Pertanian Urusan Program/PPUP). PPM/PPUP berkedudukan di BPP (yang
merupakan pengembangan dari Balai Pendidikan Masyarakat Desa/BPMD). BPP
menjadi basis kegiatan penyuluhan. PPL mendapat pembinaan teknis dari Penyuluh
Pertanian Spesialis (PPS) kabupaten, dan provinsi. Kegiatan latihan bagi PPL oleh
PPM/PPUP dan PPS di BPP satu kali dalam 2 minggu untuk menambah pengetahuan
dan keterampilan teknik pertanian sesuai dengan kalender produksi pertanian
setempat. Latihan dasar bagi PPL, PPM/PPUP dan PPS, berbagai subjek dan komoditi,
diatur oleh Balai Latihan Pegawai Pertanian (BLPP) dengan bantuan dinas dan lembaga
pendidikan tinggi serta peneliti setempat. Bahan-bahan penyuluhan berupa terbitan,
film dan kaset untuk siaran pedesaan lewat radio, merupakan perlengkapan para
penyuluh, disediakan oleh Balai Informasi Pertanian (BIP), di wilayah bersangkutan.
Kelompok tani peserta Insus dirangsang meningkatkan intensifikasi padi dengan
perlombaan antar Kelompok Tani. Kelompok Tani pemenang di tingkat nasional
diundang ke Istana Negara Jakarta, untuk menerima hadiah langsung dari Presiden RI.
Terdapat dinamika tersendiri dalam hal lembaga yang menangani penyuluhan.
Berdasarkan Keppres No.24/1983, dibentuk Direktorat Penyuluhan pada semua
Direktorat Jenderal lingkup pertanian dan Pusat Penyuluhan pada Badan Diklatluh. Di
Dinas tingkat I dan II/cabang Dinas pertanian, dibentuk subdinas dan seksi
penyuluhan. Setelah berjalan sekitar 10 tahun, Keppres No. 83/1993, menghapus
Direktorat Penyuluhan pada Direktorat Jenderal Tanaman Pangan & Holtikultura,
Perkebunan, Peternakan, dan Perikanan. Pada tahun 1984 dibentuk Departemen
Kehutanan yang terpisah dari Departemen Pertanian, melalui Keppres No 15 tahun
1984. Kegiatan yang terkait dengan Penyuluhan Kehutanan juga berpindah ke
Departemen Kehutanan. Melalui SK Mentan No. 96/Kpts/OT.210/2/1994, dibentuk
Pusat Penyuluhan Pertanian (Pusluhtan), yang bertanggung jawab pada Menteri
Pertanian. Pusluhtan secara administratif dibina oleh Sekjen, dan secara teknis dibina
oleh Dirjen sesuai dengan bidang tugas masing-masing. Melalui Keppres no.4/1990,
Badan Diklatluh Pertanian diubah menjadi Badan Pendidikan dan Latihan (Diklat)
Pertanian, sementara Pusat Penyuluhan Pertanian diubah menjadi Pusat Pendidikan
dan Latihan Penyuluhan Pertanian (Pusdiklatluhtan). Dapat kemudian dimengerti
bahwa hal ini berdampak pada imjplementasi kegiatan penyuluhan di lapangan.
Tahun 1986 ditetapkan jabatan fungsional penyuluh. Sejak itu dimulailah
penerapan sistem angka kredit untuk peningkatan jenjang karir penyuluh. Kualifikasi
tenaga penyuluh ditingkatkan, Penyuluh yang SLTA (SPMA, SNAKMA, SUPM/SPP)
ditingkatkan pendidikannya melalui Akademi Penyuluhan Pertanian (APP) mulai tahun
1987 dan Pendidikan Tinggi Pertanian Lapangan/PTPL (pendidikan jarak jauh,
kerjasama Departemen Pertanian dengan Universitas Terbuka/UT) mulai tahun 1991.
Penyuluh S1, secara bertahap dan terbatas ditingkatkan menjadi S2 atau S3, baik di
dalam maupun luar negeri. Untuk memperkuat otonomi daerah tingkat II, sejak tahun

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 415


Reformasi Kegiatan Penyuluhan: Perlukah.?

1993 penyuluh non sarjana dan BPP diserahkan/ diperbantukan kepada daerah tingkat
II, beserta anggarannya.
Pelatihan teknis bagi penyuluh digunakan pola SL terpadu, terdiri dari kegiatan
diklat PL-1 (Pemandu Lapang-1), diklat PL-II dan diklat P-N (Petani-Nelayan). Materi
pokok (substansi) diklat diambil dari permasalahan teknis ekonomi yang dihadapi
petani-nelayan. Diklat SL dilaksanakan untuk mendukung program nasional
pembangunan pertanian yang menerapkan teknologi khusus (PHT, agribisnis) dan
harus disebarluaskan karena mempunyai dampak luas terhadap keberhasilan program.
Dalam menunjang program pengembangan agribisnis, teknologi yang disebar luaskan
melalui SL adalah teknologi ekonomi (menerapkan kaidah-kaidah bisnis dalam
berusahatani). Teknologi ini harus dikuasai melalui PL-I, PL-II dan P-N. Melalui SK
Mentan Nomor: 789/Kpts/OT.210/1994, fungsi BIP ditingkatkan dan diubah menjadi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). Tugas BPTP adalah melaksanakan
kegiatan penelitian komoditas, pengujian dan perakitan teknologi tepat guna spesifik
lokasi, menyampaikan paket teknologi hasil pengkajian dan perakitan untuk bahan
penyusunan materi penyuluhan pertanian, pelayanan teknik kegiatan penelitian,
pengkajian, dan perakitan teknologi pertanian, serta penyelenggaraan urusan
administrasi yang terkait dengan organisasi BPTP. Dengan pembentukan BPTP ini,
tercipta suatu kelembagaan yang menempatkan peneliti dan penyuluh dalam satu
organisasi. Diharapkan hal ini dapat memantapkan kegiatan penyuluhan, karena salah
satu dari sumber-sumber teknologi langsung tersedia ditempat.
Pada tahun 1989, sistem LAKU dievaluasi oleh Pusat Pengembangan Agribisnis
(PPA) dan proyek NAEP III. Hasil evaluasi menunjukkan, LAKU tidak berfungsi
sebagaimana mestinya karena faktor-faktor yang terkait dengan perbedaan budaya
pada daerah yanb berbeda-beda. Sebanyak 300 kelompok etnis dengan 200 dialek dan
tinggal di 13.667 pulau, menuntut ketangguhan cara kerja penyuluhan dalam
menyesuaikan diri dengan kondisi budaya setempat. Dinilai bahwa tidak semua
penyuluh dapat dengan baik menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut. Disarankan
kemudian untuk melakukan modifikasi LAKU, terutama pada pengembangan
sumberdaya manusia pelaku utama beserta keluarganya. Titik berat diubah dari
komoditi ke komunitas (masyarakat) sebagai pemeran utama pembangunan pertanian.
Modifikasi sistem LAKU dengan metode sensus masalah, dapat membawa penyuluhan
pertanian kepada pendekatan yang menyeluruh (holistik), dengan pengembangan
kerjasama diantara anggota-anggota masyarakat, sehingga dapat menyentuh semua
aspek pembangunan pedesaan, baik di bidang pertanian, industri kecil, kesehatan,
pendidikan, perkoperasian, serta aspek-aspek terkait lainnya.

Periode 1999-2014

Periode ini dicirikan secara khusus dengan penerapan kebijakan Otonomi


Daerah, terutama terkait dengan penerapan Undang-undang Otonomi Daerah No 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-undang ini secara eksplisit
disebutkan bahwa kecuali untuk 6 (enam) urusan (politik luar negeri, pertahanan,

416 Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian


Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian

keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama), semua urusan
pemerintahan menjadi kewenangan Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakannya,
termasuk juga dalam hal ini urusan Penyuluhan. Dengan demikian, pemerintahan
daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan (disebutkan
dalam Pasal 10). Hal ini menjadi point penting untuk diperhatikan dalam pembahasan
tentang penyelenggaraan Penyuluhan di daerah.
Kementerian Kehutanan telah terpisah dari Kementerian Pertanian sejak tahun
1984. Pada masa pemerintahan Presiden Gus Dur (1999-2001) menyusul terbentuknya
Departemen Kelautan dan Perikanan (kini Kementerian Kelautan dan Perikanan-KKP),
yang terpisah dari Kementerian Pertanian. Dengan pemisahan ini, maka terdapat
kemudian institusi-institusi penyuluhan yang menangani penyuluhan bidang Pertanian,
Kehutanan, dan Perikanan secara terpisah. Eselon I yang terkait adalah Badan
Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian, Badan Penyuluhan dan
Pengembangan SDM Kehutanan, serta Badan Pengembangan SDM Kelautan dan
Perikanan. Saat ini terdapat institusi Pusat Penyuluhan Pertanian, Pusat Penyuluhan
Kehutanan, dan Pusat Penyuluhan Perikanan, pada masing-masing Kementerian.
Pada periode ini, pada tanggal 15 November 2006 diberlakukan Undang-
undang No 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan
(SP3K). Undang-undang ini dapat dikatakan sebagai salah satu Undang-undang yang
monumental, karena untuk pertama kalinya hal-hal yang berkaitan dengan Sistem
Penyuluhan diatur secara yuridis formal. Berbagai hal yang terkait dengan sistem
penyuluhan, yaitu seluruh rangkaian pengembangan kemampuan, pengetahuan,
keterampilan, serta sikap pelaku utama dan pelaku usaha melalui penyuluhan, diatur
dalam Undang-undang ini. Undang-undang No 16/2006 terdiri dari 14 Bab dan 41
Pasal. Secara terinci aspek-aspek yang dicakup didalamnya disajikan dalam Tabel 1.
Tampak bahwa Undang-undang No16/2006 secara rinci telah memberikan pedoman
bagi penyelenggaraan kegiatan penyuluhan di Indonesia. Sejumlah peraturan turunan
dari Undang-undang tersebut telah juga ditetapkan. Misalnya, masing-masing
kementerian telah menetapkan pembentukan Komisi Penyuluhan Nasional sesuai
bidang tugasnya (Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional, Komisi Penyuluhan Perikanan
Nasional, dan Komisi Penyuluhan Kehutanan Nasional); di propinsi dan
Kabupaten/Kota telah dibentuk Komisi Penyuluhan pada masing-masing lokasi, dan
melalui Peraturan Presiden No. 10/2011 telah dibentuk Badan Koordinasi Nasional
Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Untuk hal-hal yang bersifat teknis
juga telah ditetapkan acuan-acuan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang No.
16/2006. Programa Penyuluhan, misalnya, telah disusun di tingkat Nasional, Propinsi,
maupun Kabupaten/Kota, sementara lembaga-lembaga penyelenggaran penyuluhan
juga telah dibentuk pada masing-masing tingkat administrasi pemerintahan. Dapat
dinyatakan bahwa dalam hal peraturan perundangan, kegiatan penyuluhan telah
mendapatkan dukungan legal formal yang memadai.

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 417


Reformasi Kegiatan Penyuluhan: Perlukah.?

Tabel 1. Rincian Bab dalam Undang-undang No 16/2006

AB PERIHAL PASAL
I KETENTUAN UMUM 1
II ASAS, TUJUAN, DAN FUNGSI 2-4
III SASARAN PENYULUHAN 5
IV KEBIJAKAN DAN STRATEGI 6 -7
V KELEMBAGAAN
x Bagian Kesatu: Kelembagaan Penyuluhan 8 - 18
x Bagian Kedua: Kelembagaan Pelaku Utama 19
VI TENAGA PENYULUH 20 - 22
VII PENYELENGGARAAN
x Bagian Kesatu: Programa Penyuluhan 23 - 25
x Bagian Kedua: Mekanisme Kerja dan Metode 26
x Bagian Ketiga: Materi Penyuluhan 27 - 28
x Bagian Keempat:Peran Serta dan Kerja Sama 29 - 30
VIII SARANA DAN PRASARANA 31
IX PEMBIAYAAN 32 - 33
X PEMBINAAN DAN PENGAWASAN 34
XI KETENTUAN SANKSI 35 - 36
XII KETENTUAN PERALIHAN 37 - 38
XIII KETENTUAN PENUTUP 39 - 41

Suatu hal yang mengemuka dalam periode ini adalah begitu menonjolnya
peran dan campur tangan kehidupan politik dalam penyelenggaraan kegiatan
pemerintahan. Hal ini sebenarnya sudah mulai nampak sejak masa pemerintahan Gus
Dur, namun mencapai puncaknya pada kehidupan bernegara dalam periode ini.
Dominasi parlemen dalam penentuan anggaran bagi pelaksanaan kegiatan
Kementerian menjadi salah satu faktor penting yang sedikit banyak mempengaruhi
kegiatan Kementerian, yang pada gilirannya berpengaruh pula pada pelaksanaan
kegiatan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Ditunjuknya Menteri-
menteri di bidang Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan dari unsur Partai Politik juga
tidak dapat dipungkiri sedikit banyak berdampak pula pada pelaksanaan kegiatan
penyuluhan di lapangan. Digabungkan dengan penyelenggaraan kebijakan
desentralisasi/Otonomi Daerah, yang juga tidak lepas dari kehidupan politik di tingkat
Daerah, menambah kompleksitas masalah penyuluhan di tingkat lapangan tersebut.
Pimpinan-pimpinan organisasi pemerintahan di Kabupaten/Kota setiap kali harus
bersiap-siap untuk pindah jabatan atau bahkan tidak menjabat lagi apabila terjadi
pergantian Bupati/Walikota. Kegiatan penyuluhan-pun tidak terlepas dari faktor ada
atau tidaknya perhatian Pimpinan Daerah terhadap kegiatan Penyuluhan; bagi daerah
dengan Bupati/Walikota yang menaruh perhatian terhadap penyuluhan, maka kegiatan
penyuluhanpun dapat berjalan dengan baik, begitu juga sebaliknya.

418 Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian


Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian

POKOK-POKOK MASALAH PENYULUHAN

Tinjauan historik dari kegiatan penyuluhan di Indonesia menunjukkan bahwa


terdapat dinamika yang menarik dalam hal-hal yang berkaitan dengan Penyuluhan,
sejak dari masa Kemerdekaan sampai pada perkembangan saat ini. Dengan
memperhatikan deskripsi historik terdahulu, serta mencermati sistematika yang
terdapat dalam Bab-bab Undang-undang No. 16/2006, masalah-masalah yang
dihadapi dalam pelaksanaan kegiatan penyuluhan dapat di-peta-kan dalam Kelompok:
(1) Kelembagaan Penyuluhan, (2) Ketenagaan Penyuluhan, dan (3) Penyelenggaraan
Penyuluhan. Pada masih-masing pokok bahasan secara langsung maupun tidak
langsung akan terkait pula dengan hal-hal yang berhubungan dengan sarana-
prasarana dan pembiayaan Penyuluhan. Dengan keterbatasan yang ada pada penulis,
maka diambil ilustrasi-ilustrasi dari kegiatan Penyuluhan Perikanan, meskipun
beberapa ilustrasi juga menggambarkan Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan.

Kelembagaan Penyuluhan

Kelembagaan yang efektif adalah kelembagaan yang dapat memberikan


fasilitasi optimal bagi tercapainya tujuan yang diinginkan. Optimal dalam hal ini berarti
dapat secara efisien mendorong tercapainya tujuan, dengan memanfaatkan
sumberdaya yang tersedia. Prinsip ini diduga menjadi pendorong penetapan bentuk
kelembagaan Bimas yang mulai dikembangkan pada periode PELITA I tahun 1969-
1974, serta juga pembentukan unit kerja Badan DIKLATLUH pada tahun 1974.
Pembentukan unit kerja Direktorat Penyuluhan pada masing-masing Direktorat Jendral
juga dinilai dilakukan dengan alasan yang sama. Namun demikian, pembentukan Pusat
Penyuluhan Pertanian pada tahun 1984, yang diawali denngan penghapusan
Direktorat-direktorat Penyuluhan pada masing-masing Direktorat Jenderal, juga
dilakukan dengan alasan yang sama, yaitu optimalisasi kelembagaan.
Dalam konteks Undang-undang No 16/2006, kelembagaan-kelembagaan yang
diatur sejak dari tingkat Pusat sampai ke tingkat desa dapat dipastikan ditetapkan
denngan harapan terciptanya optimalisasi bentuk-bentuk kelembagaan yang
ditetapkan tersebut. Suatu hal yang kemudian menjadi pemicu timbulnya masalah
dalam aspek kelembagaan ini adalah tidak dilakukannya penyelarasan antara isi
Undang-undang No 16/2006 dengan Undang-undang No 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Di satu sisi Undang-undang No 16/2006 membakukan bentuk-
bentuk kelembagaan sampai ke tingkat daerah, sementara di sisi lain Undang-undang
No 32/2004 memberikan otonomi seluas-luasnya kepada Pemerintah Daerah. Pasal 10
ayat 2 undang-undang ini berbunyi:
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang menjadi
kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan
asas otonomi dan tugas pembantuan

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 419


Reformasi Kegiatan Penyuluhan: Perlukah.?

Dengan demikian dapat dimengerti apabila Kelembagaan Penyuluhan yang ada


memiliki keragaman yang sangat tinggi dalam sebarannya di Indonesia, seperti terlihat
dalam Tabel 2.
Badan Koordinasi Nasional (Bakornas) Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan dibentuk tahun 2011. Ketua Bakornas Penyuluhan adalah Menko bidang
Perekonomian, Wakil Ketua adalah Menteri Pertanian, Menteri Kelautan dan Perikanan,
dan Menteri Kehutanan, sedang anggota adalah Para Kepala Badan yang menangani
Penyuluhan pada masing-masing Kementerian, serta 2 (dua) Deputi terkait di
Kemenko Perekonomian. Sampai dengan dipindahkannya Sekretariat Bakornas dari
Kemtan ke KKP pada tahun 2014 belum ada kegiatan Bakornas yang berarti. Padahal,
cukup banyak masalah penyuluhan yang seyogyanya dapat dibahas ditingkat nasional.
Dalam hal Komisi Penyuluhan, di tingkat Pusat terdapat 3 (tiga) Komisi
Penyuluhan Nasional, sesuai dengan 3 (tiga) Kementerian yang ada. Sementara itu
hanya ada satu Komisi Penyuluhan di tingkat Propinsi maupun di tingkat
Kabupaten/Kota, yang merupakan gabungan bidang Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan. Dengan demikian secara teoritik Komisi Penyuluhan di tingkat Propinsi dan
Kabupaten/Kota harus berkoordinasi dengan tiga Komisi Penyuluhan Nasional. Hal ini
jelas menimbulkan kejanggalan secara organisasi maupun kelembagaan.

Tabel 2. Sebaran Kelembagaan Penyuluhan di Indonesia, 2013

BENTUK TK. TK. TK.


NO
KELEMBAGAAN PROVINSI KAB/KOTA KECMT.
1. BADAN KOORDINASI PENYULUHAN/BADAN
PELAKSANA PENYULUHAN
x Ditetapkan dengan Perda 22 151 -
x Ditetapkan dengan PerGub 19 121
x atau PerBup/PerWali 3 30
2. BADAN PENYULUHAN DAN KETAHANAN
PANGAN
x Ditetapkan dengan Perda 9 182 -
x Ditetapkan dengan PerGub 6 172
x atau PerBup/PerWali 3 10

3. Bagian dari Dinas lingkup Pertanian,


Perikanan, dan Kehutanan 2 164 -

TOTAL 33 497 5016*

Sumber: Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian, 2013


*/ - BP3K : 4.383 bangunan milik sendiri dan 633 bangunan sewa

420 Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian


Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian

Ketenagaan Penyuluhan

Dengan mengacu kembali pada keberadaan penyuluhan dalam masa Bimas


dan Inmas, Penyuluh PNS pada masa itu dibedakan atas Penyuluh Pertanian Lapang
(PPL), Penyuluh Pertanian Madya (PPM), dan Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS). PPL
berpendidikan setara dengan SLTA, PPM berpendidikan setara dengan Sarjana Muda,
dan PPS berpendidikan setara dengan Sarjana. Begitu intensifnya pelatihan bagi para
Penyuluh, terutama PPL oleh PPM dan PPS, sehingga pada masa itu pelatihan PPL
ditargetkan dilaksanakan sekali dalam 2 minggu. Jumlah PPL dan PPS pada tahun
1986 masing-masing adalah sebanyak 32.105 orang dan 1.171 orang2. Rincian PPL
dan PPS menurut bidang kerjanya disajikan dalam Tabel 3. Tampak bahwa pada masa
ini Penyuluh memang benar-benar menjadi suatu profesi yang bergengsi.
Pada tahun 2013/2014 jumlah penyuluh Pertanian adalah sebanyak 48 ribu
orang, penyuluh Perikanan sebanyak 12.178 orang, dan Penyuluh Kehutanan sebanyak
4056 orang. Menteri Pertanian menyatakan bahwa jumlah Penyuluh Pertanian masih
belum mencukupi untuk mencapai target 1 penyuluh untuk melayani 1 desa, karena
jumlah desa di Indonesia adalah sekitar 70 ribu3. Menteri Kelautan dan Perikanan juga
menyatakan bahwa jumlah penyuluh Perikanan masih kurang jumlahnya, karena
jumlah penyuluh Perikanan ideal untuk Indonesia adalah sebanyak 15.350 orang 4.
Pernyataan yang sama dinyatakan oleh Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan
SDM Kehutanan; dinyatakannya bahwa jumlah Penyuluh Kehutanan ideal adalah
sebanyak 21 000 orang5. Disamping keterbatasan jumlah, keterbatasan dalam
pelatihan bagi penyuluh juga dinilai menjadi masalah mendasar dalam hal ketenagaan
penyuluh. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa beberapa penyuluh yang
telah tergolong senior bahkan belum pernah mengikuti kegiatan Pelatihan Dasar
Penyuluh.

Tabel 3. Rincian PPL dan PPS menurut Bidang Kerja, 1986

Bidang Kerja PPL PPS


Tanaman Pangan 22.162 796
Peternakan 2.170 153
Perikanan 1.698 193
Perkebunan 6.075 29
JUMLAH 32.105 1.171

2
http://www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/9155/1757/
3
http://www.antaranews.com/berita/376208/mentan-jumlah-penyuluh-pertanian-perlu-ditingkatkan
4
http://beritadaerah.com/2013/11/27/jumlah-penyuluh-untuk-sektor-perikanan-perlu-ditingkatkan/
5
http://agroindonesia.co.id/2012/12/04/idealnya-penyuluh-kehutanan-21-000-orang/

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 421


Reformasi Kegiatan Penyuluhan: Perlukah.?

Dalam kaitannya dengan ketenagaan penyuluhan ini, Huda (2011) melakukan


studi tentang berbagai pendapat dan temuan penelitian tentang kompetensi penyuluh
pada beberapa propinsi. Huda sampai pada suatu kesimpulan bahwa tingkat
kompetensi penyuluh masih tergolong rendah. Dengan kondisi tersebut, maka setiap
penyuluh direkomendasikan untuk harus mempersiapkan diri agar selalu mau belajar
secara terus menerus dan berkelanjutan, sehingga dapat menjadi penyuluh yang
profesional dan berkualitas.

Penyelenggaraan Penyuluhan

Dalam Undang-undang No 16/2006, Penyelenggaraan Kegiatan Penyuluhan


meliputi 4 (empat) pokok bahasan: Programa Penyuluhan, Mekanisme Kerja dan
Metoda, Materi, serta Peranserta dan Kerjasama. Programa Penyuluhan menjadi acuan
utama penyelenggaraan penyuluhan, karena Programa dinilai sebagai pedoman baku
yang harus diacu oleh pihak terkait dengan kegiatan penyuluhan. Hal ini sejalan
dengan batasan Programa Penyuluhan dalam Undang-undang tersebut, yaitu bahwa
programa penyuluhan adalah rencana tertulis yang disusun secara sistematis untuk
memberikan arah dan pedoman sebagai alat pengendali pencapaian tujuan
penyuluhan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa Programa Penyuluhan disusun secara
bertingkat, sejak dari Programa Penyuluhan Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota,
Propinsi, sampai dengan Programa Penyuluhan Nasional.
Agar dapat diperoleh konsistensi kegiatan penyuluhan, maka penyuluh perlu
menyusun Rencana Kerja Penyuluhan berdasarkan programa penyuluhan yang ada.
Dengan demikian Programa Penyuluhan benar-benar ditempatkan dalam posisi yang
sangat menentukan. Lebih lanjut ditetapkan bahwa kegiatan Penyuluhan yang
dilakukan harus disusun dengan menggunakan pendekatan partisipatif, melalui
mekanisme kerja dan metode yang disesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi
pelaku utama dan pelaku usaha. Masalah yang sering ditemui di lapangan adalah
bahwa Programa Penyuluhan sering terlambat disusun, atau bahkan tidak ada sama
sekali. Dalam keadaan ini, maka penyuluh menyusun Rencana Kerja Penyuluhan
dengan berdasarkan pengamatan dan pemahamannya terhadap masalah yang
dihadapi sehari-hari di lapangan. Dalam hal melaksanakan penyuluhan kepada Pelaku
Utama dan Pelaku Usaha ini, maka Penyuluh swasta dan penyuluh swadaya dapat,
atau bahkan seyogyanya, berkoordinasi dengan penyuluh PNS.
Sementara itu, Undang-undang 16/2006 menyebutkan bahwa materi
penyuluhan adalah bahan penyuluhan yang akan disampaikan oleh para penyuluh
kepada pelaku utama dan pelaku usaha dalam berbagai bentuk yang meliputi
informasi, teknologi, rekayasa sosial, manajemen, ekonomi, hukum, dan kelestarian
lingkungan. Materi penyuluhan tersebut harus berisi unsur pengembangan sumber
daya manusia dan peningkatan modal sosial, serta unsur ilmu pengetahuan, teknologi,
informasi, ekonomi, manajemen, hukum, dan pelestarian lingkungan tersebut. Untuk
ini diperlukan kepandaian dan ketrampilan Penyuluh untuk dapat menyusun materi

422 Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian


Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian

penyuluhan yang benar-benar berorientasi kepada kepentingan kelompo sasaran


penyuluhan, singkat, jelas, dan benar-benar dapat diterapkan di lapangan.
Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah perlu mengembangan
bentuk-bentuk kerjasama dalam bidang penyuluhan ini secara terpadu dan terencana.
Kerja sama penyuluhan dapat dilakukan antarkelembagaan penyuluhan, baik secara
vertikal, horisontal, maupun lintas sektoral. Lebih lanjut dinyatakan bahwa kerja sama
penyuluhan antara kelembagaan penyuluhan nasional, regional, dan/atau internasional
dilakukan denngan memalui prosedur-prosedur baku yang ada.

PERLU REFORMASI KEGIATAN PENYULUHAN?

Dikaitkan dengan pelaksanaan Undang-undang 32/2004, maka pelaksanaan


Undang-undang 16/2006 ternyata kemudian menimbulkan beberapa masalah yang
dinilai mengganggu kelancaran pelaksanaan penyuluhan di lapangan. Pokok persoalan
dinilai berhubungan dengan situasi bahwa disatu pihak Undang-undang 32/2004
memberikan otonomi seluas-luasnya kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan, di pihak lain Undang-undang 16/2006
mengatur tentang kelembagaan penyuluhan sejak dari Pusat, Propinsi, Kabupaten/
Kota, sampai ke tingkat desa/kelurahan. Dalam hal Komisi Penyuluhan misalnya, di
tingkat Pusat masing-masing kementerian memiliki sendiri Komisi Penyuluhan sesuai
dengan bidang tugasnya, sementara di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota Komisi
Penyuluhan adalah gabungan dari bidang-bidang Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan. Keadaan ini dinilai janggal dan dapat berpotensi menimbulkan masalah
dalam pelaksanaannya di lapangan.
Masalah juga muncul dalam hal Satminkal Penyuluh; pada Kabupaten/Kota
yang hanya memiliki Dinas lingkup Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, Penyuluh
berada pada Dinas terkait. Apabila juga terdapat Badan Pelaksana Penyuluhan, maka
Penyuluh berada pada Badan tersebut. Untuk Badan Pelaksana Penyuluhan, hampir
semuanya melingkupi bidang Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Hal yang harus
diperhatikan dalam hal ini adalah bagaimana perimbangan jumlah masing-masing
Penyuluh Bidang, serta bagaimana kebijakan pelaksanaan penyuluhan dilakukan.
Dalam kondisi perkembangan ilmu dan teknologi saat ini, maka Bidang Keahlian
Penyuluh perlu dikembangkan. Untuk itu diperlukan pembahasan lebih mendalam
tentang penerapan pendekatan Polivalen dalam pelaksanaan penyuluhan. Masalah
menjadi makin berkembang manakala Badan yang menangani penyuluhan bergabung
dengan Badan yang menangani Ketahanan Pangan, sehingga misalnya menjadi
bernama Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan. Terdapat peluang bahwa apabila hal ini terjadi, porsi kegiatan penyuluhan
akan menjadi berkurang intensitasnya, juga curahan perhatian Badan yang
bersangkutan terhadap kegiatan penyuluhan dapat menjadi berkurang pula.
Ketenagaan Penyuluh juga menarik untuk diperhatikan. Pada tahun 2013/2014
jumlah penyuluh Pertanian adalah sekitar 48 ribu orang, penyuluh Perikanan sebanyak

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 423


Reformasi Kegiatan Penyuluhan: Perlukah.?

12.178 orang, dan Penyuluh Kehutanan sebanyak 4056 orang. Menteri Pertanian
menyatakan bahwa jumlah Penyuluh Pertanian masih belum mencukupi untuk dapat
mencapai target 1 penyuluh untuk melayani 1 desa, karena jumlah desa di Indonesia
adalah sekitar 70 ribu6. Menteri Kelautan dan Perikanan juga menyatakan bahwa
jumlah penyuluh Perikanan masih kurang jumlahnya, karena jumlah penyuluh
Perikanan ideal untuk Indonesia adalah sebanyak 15.350 orang7. Pernyataan yang
sama dinyatakan oleh Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Kehutanan;
dinyatakannya bahwa jumlah Penyuluh Kehutanan ideal adalah sebanyak 21 000
orang8.
Disamping keterbatasan jumlah, keterbatasan dalam pelatihan bagi penyuluh
juga dinilai menjadi masalah mendasar dalam hal ketenagaan penyuluh. Pengamatan
di lapangan menunjukkan bahwa beberapa penyuluh yang telah tergolong senior
bahkan belum pernah mengikuti kegiatan Pelatihan Dasar Penyuluh. Dalam skala
mikro, penelitian Sari (2013) terhadap kegiatan penyuluhan peternakan sapi Bali di
Kabupaten Muna menunjukkan bahwa 53 % penyuluh memiliki kinerja termasuk
kategori baik, dan sisanya (47 %) memiliki kinerja sedang. Faktor-faktor yang diduga
berhubungan dengan kinerja penyuluh pertanian dalam pengembangan usaha
peternakan sapi Bali di kabupaten Muna tersebut adalah pengetahuan, keterampilan,
motivasi, sikap, jarak tempat tinggal, serta fasilitas penyuluhan. Sepuluh tahun
sebelumnya, Sihana (2003) menemukan bahwa ada hubungan positif antara
komunikasi terhadap efektivitas penyuluh pertanian lapangan. Begitu juga ada
hubungan positif antara Sikap terhadap Efektivitas Penyuluh Pertanian, tetapi tidak
terdapat hubungan positif antara Motivasi terhadap Efektivitas Penyuluh Pertanian.
Tampak bahwa ada kecenderungan kurang kuatnya motivasi penyuluh didalam
melaksanakan tugas-tugasnya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dengan memperhatikan uraian diatas, sejumlah tantangan dihadapi dalam


pelaksanaan kegiatan penyuluhan di indonesia kedepan. Tantangan ini perlu
diperhatikan secara mendalam oleh siapapun yang terkait dan memiliki komitmen
terhadap kegiatan penyuluhan di Indonesia. Momen pergantian pemerintahan tahun
ini diharapkan dapat menjadi saat yang tepat untuk mendalami masalah penyuluhan
ini.
Pertama, disadari bahwa kehidupan politik telah mempengaruhi banyak aspek
dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat saat ini; dinilai bahwa hampir tidak
mungkin melepaskan pertimbangan-pertimbangan politik dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang dilakukan, sejak dari tingkat Pusat, Propinsi, maupun

6
http://www.antaranews.com/berita/376208/mentan-jumlah-penyuluh-pertanian-perlu-diting-
katkan
7
http://beritadaerah.com/2013/11/27/jumlah-penyuluh-untuk-sektor-perikanan-perlu-ditingkatkan/
8
http://agroindonesia.co.id/2012/12/04/idealnya-penyuluh-kehutanan-21-000-orang/

424 Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian


Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian

Klabupaten/Kota. Namun demikian, dinilai diperlukan penegasan bahwa kegiatan


penyuluhan seyogyanya tidak dikaitkan langsung dengan kehidupan politik.
Profesionalisme penyuluh akan sangat terganggu dan tidak dapat diterapkan dengan
baik apabila kegiatan penyuluhan dikait-kaitkan dengan berbagai bentuk pertimbangan
dan perhitungan politik. Penyuluh layak untuk mengembangkan profesionalismenya
tanpa harus dibebani dengan hal-hal yang secara teknis bukan bagian dari teknis
penyuluhan. Diperlukan keberanian tersendiri untuk dapat memperjuangkan hal ini.
Kedua, perlu dilakukan revisi terhadap Undang-undang No. 16/2006. Revisi
terutama berkaitan dengan harmonisasi aspek-aspek yang terkait dengan Undang-
undang No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, yang saat ini juga dalam proses
revisi. Pada Era Otonomi Daerah berdasarkan UU No 22 tahun 1999, misalnya,
dilaporkan oleh Puspadi (2002) bahwa penyuluhan pertanian berada pada kondisi yang
kritis dan memprihatinkan, efektivitasnya rendah dan bahkan cenderung sangat
rendah. Secara khusus juga perlu diperhatikan kesesuaian Undang-undang tentang
Penyuluhan dengan Undang-undang tentang Desa yang baru diluncurkan. Diharapkan
dengan demikian dapat diminimalkan dampak-dampak negatif benturan aturan dari
berbagai produk perundangan tersebut terhadap kelancaran kegiatan penyuluhan.
Analisis secara mendalam terhadap pasal-pasal yang ada dalam Undang-undang
16/2006 diharapkan akan juga menemukan hal-hal lain yang perlu disempurnakan.
Ketiga, kegiatan penyuluhan harus peka terhadap perkembangan teknologi
komunikasi dan teknologi informasi. Era digital menjadi suatu keniscayaan, sehingga
diperlukan perubahan Paradigma Penyuluhan di masa mendatang. Pendekatan LAKU
yang dulu merupakan pendekatan yang dinilai paling efektif, nampaknya saat ini harus
ditinjau kembali penerapannya. Pendekatan penyuluhan melalui Kelompok juga perlu
dipikirkan kembali efektifitasnya, mengingat kecenderungan perkembangan kehidupan
masyarakat yang telah mengalami pergeseran norma dan nilai-nilai; menu Kelompok
yang dahulu merupakan menu wajib, jangan-jangan saat ini perlu disesuaikan
menjadi menu sunat saja, misalnya, sehingga pendekatan kelompok dapat berjalan
simultan dengan pendekatan penyuluhan secara individual dengan memanfaatkan
kemajuan teknologi komunikasi. Jangan-jangan perlu juga dipikirkan bahwa penyuluh
disamping perlu aktif berkomunikasi langsung (face-to-face) dengan sasaran
penyuluhan, penyuluh perlu juga dibekali dengan fasilitasi komunikasi digital jarak
jauh, sehingga dapat tetap melakukan penyuluhan tanpa terkendala oleh jarak dan
waktu.
Keempat, perlu dipertimbangkan lagi pemikiran tentang Polivalensi. Kemajuan
ilmu pengetahuan menuntut makin terspesialisasinya bidang kerja. Dengan demikian
para Penyuluhpun perlu mengikuti asas spesialisasi itu. Polivalensi dapat diterapkan
bukan melekat pada pribadi atau individu penyuluh, tetapi dapat dipertimbangkan
berada pada Balai Penyuluhan tingkat kecamatan. Balai ini benar-benar diefektifkan
sebagai tempat mangkal-nya penyuluh dari berbagai disiplin ilmu. Masalah-masalah
yang muncul di lapangan dibahas disini, kemudian baru disampaikan kembali solusinya
oleh para penyuluh, dengan bekal dari penyuluh yang memang menangani bidangnya.

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 425


Reformasi Kegiatan Penyuluhan: Perlukah.?

Kelima, secara simultan perlu upaya untuk terus memampukan penyuluh,


baik dengan upaya eksternal penyuluh, maupun upaya secara internal dari diri para
penyuluh sendiri. Pada prinsipnya hal ini adalah menjadi tanggungjawab Pemerintah
Daerah; pihak Pusat dan Propinsi dapat mengisi ruang-ruang gerak yang belum dapat
diisi oleh pemerintah Kabupaten/Kota. Diharapkan dengan pendekatan ini dapat
diulangi masa kejayaan penyuluhan pada tahun 1980-1990an. Halil dan Armiati
(2012) menyatakan dalam hal ini bahwa sistem penyuluhan ke depan harus
menyangkut semua aspek dalam kegiatan agribisnis pedesaan, yang mampu
diwujudkan dalam kegiatan operasional yang dilakukan secara menyeluruh,
terintegrasi dan terkoordinasi dari semua pelaku pembangunan. Hal ini sejalan pula
dengan hasil penelitian Hutapea (2012) yang menyatakan bahwa diperlukan strategi-
strategi penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang tepat melalui upaya peningkatan
terhadap tiga aspek penting yaitu peningkatan peran organisasi penyelenggaraan
penyuluhan pertanian, peningkatan jenjang karier dan kesejahteraan penyuluh
pertanian serta peningkatan peran lembaga pendukung penyuluhan pertanian.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Syamsuddin. 1997. Revolusi Hijau dengan Swasembada Beras dan Jagung.
Sekretariat Badan Pengendali Bimas (Setdal Bimas) Departemen
Pertanian, Jakarta.
Adjid, Dudung A. 2001. Penyuluhan Pertanian. Yayasan Pembangunan Sinar Tani.
Jakarta.
Burton E. Swanson, Burton E., Robert P. Bentz dan Andrew J. Sofranko. 1998.
Improving Agricultural Extension. A reference manual. FAO. Rome.
Halil, Warda dan Armiati. 2012. Sistem Penyuluhan Pertanian di Indonesia. Buletin No.
6 tahun 2012. BPTP Sulawesi Selatan. Makassar.
Huda, Nurul. 2011. Pengembangan Kompetensi Personal Penyuluh Pertanian Dalam
Pendidikan Tinggi Terbuka Dan Jarak Jauh (PTTJJ) Universitas Terbuka.
Makalah disajikan dalam Seminar Nasional FMIPA-UT tanggal 11 Juli 2011
Hutapea, Theresia M. 2012. Analisis Strategi Peningkatan Kinerja Penyuluhan
Pertanian di Kabupaten Serdang Bedagai. Thesis Magister Manajemen.
USU. Medan.
Jones, G. E. 1994. Agricultural advisory work in England and Wales: The beginnings.
Agricultural Progress, 69, 55-69Journal d'Agriculture Pratique (1874). 38th
year, vol. 2.
Jones, Gwyn E. and Chris Garforth. 1998. The history, development, and future of
agricultural extension. In Swanson et al. Improving agricultural
extension. A reference manual. FAO. Rome.

426 Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian


Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian

Mardikanto, Totok. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian, Sebelas Maret


University Press: Surakarta.
Mardikanto, Totok. 2009. Sistem Penyuluhan Pertanian. LPP UNS dan UNS Press.
Surakarta.
Nataatmadja, H., D. Kertosuro, dan A. Suryana. 1988. Perkembangan Produksi dan
Kebijakan Pemerintah dalam Produksi Beras. Monograf Padi Buku I.
Puslitbangtan. Bogor.
Puspadi, K. 2002. Rekonstruksi Sistem Penyuluhan Pertanian. Disertasi Doktor.
Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Sari, Awal M. 2013. Kinerja Penyuluh Pertanian dalam Pengembangan Usaha
Peternakan Sapi Bali di Kabupaten Muna Propinsi Sulawesi Tenggara.
Tesis Program Pascasarjana Uninersitas Udayana. Denpasar.
Sihana. 2003. Efektivitas Penyuluh Pertanian Lapangan di Dinas Pertanian Kabupaten
Jepara. Tesis. Program Pascasarjana UNDIP. Semarang.
van den Ban, A. W. dan H. S. Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian. Agnes Dwina
Herdiastuti (Pent). Judul Asli: Agricultural Extention (Second Edition).
Penerbit Kanisius. Jogjakarta.
Wiriaatmadja, Soekandar. 1977. Pokok-pokok Penyuluhan. CV Yasa Guna. Jakarta.
Yuniarti, Wiwik. 2011. Analisis Kinerja Penyuluh Pertanian Kabupaten Bogor. Tesis
Program Pascasarjana UNS. Surakarta.

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 427

You might also like