Professional Documents
Culture Documents
dan b
Contoh : Pasien jatuh dari tempat tidur dan meninggal, kejadian seperti ini di RS
X terjadi pada 2 tahun yang lalu
Nilai dampak : 5 (katastropik ) karena pasien meninggal
Nilai probabilitas : 3 (mungkin terjadi) karena pernah terjadi 2 thn lalu
Skoring risiko : 5 x 3 = 15
Warna Bands : Merah (ekstrim)
Tabel 3 : Matrix Grading Risiko
Tabel 4 : Tindakan sesuai Tingkat ands risiko
3. Adanya risk profile atau risk mapping.
Misalnya : di ruang ICU harus ada pemetaan jenis kuman yang berkembang
d. Langkah 4 : Analisa risiko
Indikator yang bisa dijadikan dasar penilaian di area keperawatan kritis antara
lain adanya analisa secara kualitatif atau kuantitatif terhadap setiap risiko di
area keperawatan kritis
e. Langkah 5 : Pengendalian risiko
Indikator yang bisa dijadikan dasar penilaian di area keperawatan kritis antara
lain :
Adanya langkah pengendalian sampai risiko mencapai batas yang dapat
diterima. Langkah pengendalian risiko merupakan eliminasi bahaya dengan
desain dan metode penilaian resiko yang sesuai. Semua resiko harus dikurangi
ke arah tingkat As Low As Reasonable Practical (ALARP).
Langkah pengendalian risiko yang bisa diterapkan dalam area keperawatan kritis
diantaranya :
1. Pencegahan pada sumbernya
Misalnya : pada kasus VAP, angka kejadian VAP bisa ditekan dengan
melakukan tindakan pencegahan terhadap semua faktor risiko yang bisa
menyebabkan VAP, diantaranya : membuat protab cuci tangan yang benar,
teknik suctioning yang tepat, dll.
1. Proteksi akibat dari bahaya
2. Tanggap darurat
3. Belajar dari kasus sebelumnya
f. Langkah 6 : Komunikasi risiko
Indikator yang bisa dijadikan dasar penilaian di area keperawatan kritis antara
lain :
1. Adanya pola komunikasi semua risiko kepada pihak terkait.
2. Adanya media untuk menyebarkan hasil ke seluruh pihak terkait dengan
kegiatan
g. Langkah 7 : Dokumentasi manajemen risiko
Indikator yang bisa dijadikan dasar penilaian di area keperawatan kritis antara
lain :
1. Adanya dokumen semua program manajemen risiko.
Misalnya : adanya pelaporan untuk setiap angka kejadian VAP.
2. Adanya dokumen hasil identifikasi bahaya, penilaian, dan pengendalian yang
dilakukan
h. Langkah 8 : Implementasi manajemen risiko
Contoh program yang bisa dilakukan di area keperawatan kritis antara lain :
1. Implementasikan semua hasil pengendalian risiko dalam setiap tahapan
aktivitas.
2. Adanya program pengendalian risiko dalam rencana kerja
BAB III
CONTOH KASUS DAN PEMBAHASAN
RSUD Tebing Tinggi Kabupaten Empat Lawang adalah rumah sakit tipe D dengan
kapasitas 57 tempat tidur, melayani pasien umum, jamsoskes dan BPJS. Pelayanan
pasien Jamsoskes yang merupakan kebijakan Gubernur Sumatera Selatan yang mana
semua penduduk yang domisili Sumatera Selatan mendapatkan pelayanan pengobatan
gratis pada fasilitas kesehatan pemerintah. Pelayanan pasien BPJS merupakan
kelanjutan dari sistem pelayanan pasien ASKES yang sudah dilaksanakan d RSUD Tebing
tinggi sejak bulan November 2012. Mulai tanggal 1 Januari 2014 sudah mengikuti
kebijakan pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan bagi pasien BPJS, yang
merupakan implementasi dari program pemerintah dalam Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN), yang tertuang dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). BPJS sendiri
merupakan peralihan dari Askes sebagai penyelenggara untuk pelayanan kesehatan bagi
masyarakat. Banyak aturan-aturan dari Askes yang diambil sebagai aturan dari BPJS,
sehingga di awal penyelenggaraan, karena sudah terbiasa melayani pasien Askes, maka
melayani pasien BPJS pun tidak menemui kendala yang berarti.
Sebagai rumah sakit milik pemerintah daerah, tentu sistem pengelolaan dan
manajemen didasarkan pada standar pelayanan minimal dan prosedur tata ognasisai
daerah. Demikian halnya pada sistem pengelolaan di instalasi farmasi. Instalasi farmasi
merupakan instalasi Pelayanan Penunjang Medis, yang mana dalam peraturan tersebut
tugas instalasi farmasi adalah
melaksanakan
kegiatan peracikan, penyiapan dan
penyaluran obat- obatan,
gas,
medis, bahan kimia serta peralatan medis. Jadi kaitannya
dengan pelayanan pasien, bahwa sediaan farmasi dalam hal ini obat-obatan adalah hal
yang krusial dan harus disediakan.
Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait Obat. Tuntutan pasien
dan masyarakat akan peningkatan mutu Pelayanan Kefarmasian, mengharuskan adanya
perluasan dari paradigma lama yang berorientasi kepada produk (drug oriented)
menjadi paradigma baru yang berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan filosofi
Pelayanan Kefarmasian (pharmaceutical care).
Namun seiring berjalannya kegiatan pelayanan di RSUD Tebing Tinggi tidak lepas
dari berbagai permasalahan baik pelayanan pada konsumen maupun manajemen
internal rumah sakit. Instalasi farmasi yang merupakan titik akhir dan titik tolak dari
persediaan perbekalan kesehatan di rumah sakit tidak luput dari permasalahan tersebut.
Kasus yang pernah terjadi di instalasi farmasi RSUD tebing tinggi kabupaten
Empat Lawang adalah terjadinya kesalahan pemberian obat di apotek rawat jalan
dikarenakan penulisan resep yang terbalik nama pasiennya. Pasien berasal dari poliklinik
penyakit dalam yang merupakan pasien langganan atau sudah sering berobat ke RS.
Pasien bernama saibani dan rafani. Pasien saibani membawa resep dengan nama rafani
sedangkan pasien rafani membawa resep dengan nama saibani. Namun pasien tidak
mengecek nama yang tercantum dalam resep dan langsung menuju apotek rawat jalan.
Pada saat pasien menyerahkan resep pada petugas penerima resep, kemudian di
cek sediaan, kekuatan dan jenis sediaan, dikerjakan etiket dan pengemasan sesuai
dengan yang diperintahkan dalam resep. Setelah obat siap diserahkan kepada pasien,
petugas penyerahan resep memanggil pasien yang bernama saibani. Petugas
memberikan konseling mengenai sediaan yang diterima pasien. Namun kemudian
pasien sedikit curiga dengan penjelasan yang diberikan petugas kepada beliau. Menurut
pasien bahwa obat yang diberikan tidak sesuai dengan kondisi penyakit yang diderita
pasien.
Petugas kemudian segera meriscek resep pasien saibani kemudian berkonsultasi
dengan bagian poli rawat jalan penyakit dalam. Dari hasil cek dan riscek ternyata dokter
salah menuliskan resep pada pasien saibani. Jenis obat yang diresepkan untuk pasien
saibani tertukar dengan jenis obat yang tertulis pada pasien rafani. Jadi pasien saibani
sesungguhnya membawa resep obatnya sendiri sesuai dengan penyakitnya namun
dalam resep yang dibawanya tertulis nama rafani, sedangkan rafani memang benar
membawa resep obatnya sendiri sesuai dengan penyakitnya namun dalam resep yang
dibawanya bertuliskan saibani. Jadi pada saat di panngil nama saibani saat penyerahan
obat tentu saja pasien saibani yang datang namun tidak sesuai obatnya dengan kondisi
penyakitnya.
Kesimpulannya, terjadi kesalahan pada penulisan nama pasien pada resep yang
dibawa pasien. Hal ini dimungkinkan dokter penulis resep kurang berkonsentrasi pada
saat pelayanan pasien atau nama pasien yang berdekatan pada saat pemeriksaan
sehingga rekam medisnya terbalik pengamatannya.
ANALISIS KASUS
a. Menetapkan konteks
Hal ini dibuat dokumentasi mengenai banyaknya kejadian kesalahan pemberian obat
pada pasien dikarenakan resep yang tertukar dan tidak disadari oleh pasien
b. Identifikasi bahaya
Sejauh mana bahaya terhadap kejadian kesalahan pemberian obat terhadap
pelayanan pasien dan berdasar pada resep pasien sehingga perlu koordinasi dengan
dokter penulis resep maupun petugas di poli rawat jalan, rawat inap maupun UGG.
c. Pengukuran Kualitatif Frekuensi/ Kemungkinan (likehood)
Setelah seluruh resiko diidentifikasi maka dilakukan pengukuran tingkat
kemungkinan dan dampak resiko. Pengukuran resiko dilakukan setelah
mempertimbangkan pengendalian resiko yang ada. Pengukuran resiko dilakukan
menggunakan criteria pengukuran resiko secara kualitatif, semi kualitatif, atau
kuantitatif tergantung pada ketersediaan data tingkat kejadian peristiwa dan
dampak kerugian yang ditimbulkannya. Pada kasus salah memberikan obat pada
pasien, maka pengukuran kualitatif frekuensi/kemungkinan (likehood) adalah
sebagai berikut :
Kemungkinan
Deskripsi
Nilai
Jarang
Terjadi pada keadaan khusus
1
Kadang-kadang (Unlikely)
Dapat terjadi sewaktu-sewaktu
2
Mungkin (Possible)
Mungin terjadi sewaktu-waktu
3
Mungkin sekali (likely)
Mungkin terjadi pada banyak keadaan tapi
tidak menetap
4
Hampir pasti (almost certain)
Dapat terjadi pada tiap keadaan dan
menetap
5
Dalam kasus ini, kejadian mungkin terjadi sewaktu-waktu karena kejadiannya dalam
setahun lebih dari 3 kejadian. Hal ini lebih banyak terjadi pada saat peak hour
sehingga memungkinkan petugas kurang berkonsentrasi dalam melayani pasien.
d. Pengukuran kualitatif konsekuensi / dampak
Tingkat
Deskriptor
Contoh
Deskrips
i
1
Tidak bermakna
Tidak ada cedera, kerugian keuangan kecil
2
Rendah
Pertolongan pertama dapat diatasi,
kerugian keuangan sedang
3
Menengah
Memerlukan pengobatan medis, kerugian
keuaangan besar
4
Berat
Cedera luas, kehilangan kemampuan produksi,
kerugian
keuangan besar
5
Katastropik
Kematian, kerugian keuangan sangat besar.
Dampak yang terjadi pada kasus tersebut berbobot nilai satu (1) yaitu tidak
bermakna karena petugas apotek segera meriscek resep pasien pada petugas poli
dan dokter penulis resep, sehingga pada saat pemberian ke pasien, kesalahan bisa
langsing diatasi.
Dampak
Kemungkinan
(likehood)
Sangat
rendah
Rendah
Sedang
Besar
Ekstrim
Jarang
1
2
3
4
5
Kadang-kadang
2
4
6
8
10
Mungkin
3
6
9
12
15
Mungkin sekali
4
8
12
16
20
Hampir pasti
5
10
15
20
25
Nilai :
1-3
4-6
8-12
15-25
Rendah
Sedang
Bermakna
Tinggi
Skor risiko yang dapat dihitung:
Bobot likehood = 3
Bobot dampak = 1
Bobot total penilaian adalah berada di kolom hijau yaitu rendah.
e. Mengevaluasi resiko
Evaluasi resiko perlu dilakukan setelah diukur tingkat kemungkinan dan
bagaimana dampaknya. Apakah resiko masih dapat ditoleransi atau diterima atau
tidak dan apakah resiko termasuk prioritas yang harus ditangani sesegera mungkin.
Dari kasus ini, pemberian konseling/informasi obat dan informed consent
petugas apotek pada pasien guna mengecek informed consent yang di berikan
dokter sangat penting dilakukan sehingga terjadi kecocokan. Selain diperlukan
ketelitian dan dalam penyerahan obat pada pasien berdasarkan resep, sehingga jika
terjadi kesalahan penulisan resep dapat segera ditangani.
f. Menangani resiko
Dalam kasus ini, penanganan resiko adalah dengan melakukan cross-check
dengan segera agar masalah dapat segera teratasi dan tidak menganggu pelayanan
pasien yang lain. Pengendalian bersama petugas medis yang lain dari poli rawat
jalan, zaal rawat inap dan UGDyang terintegrasi agar kasus ini dapat ditekan
kejadiannya atau bahkan tidak terjadi lagi di masa yang akan datang. Salah satu
pengendaliannya adalah dengan menganalisa beban kerja petugas dengan
pelayanan yang diberikan agar walaupun pada saat peak hour tetap dapat
berkonsentrasi dan maksimal dalam melakukan pelayanan.
g. Memantau resiko
Dalam kasus ini memantau resiko dengan melakukan cross-check terhadap
sediaan obat dengan pasien apakah sesuai dengan keluhan pasien atau tidak. Jika
ada nama pasien yang mirip perlu dilakukan cross-check dengan petugas poli rawat
jalan.
h. Mengkomunikasikan risiko
Mengkomunikasikan resiko dapat dilakukan pada pejabat yang berwenang
dalam manajemen RS dan di teruskan pada petugas rumah sakit. Hal ini dilakukan
agar setiap petugas memiliki rasa tanggung jawab pada pekerjaannya dan
memahami bahwa jika terjadi kesalahan serupa maka yang dirugikan bukan hanya
pasien eksternal namun juga manajemen RS.
Error secara garis besar terbagi dua, yaitu: human error dan organizational error.
Human error sendiri dapat berasal dari
18
ystem pasien dan
18
ystem tenaga kesehatan.
Organizational error sendiri seringkali diistilahkan sebagai system error, atau dalam
konteks pelayanan kesehatan di rumah sakit diistilahkan sebagai hospital error.
Dari kasus tersebut, kejadian yang sewaktu-waktu terjadi dan lebih dari 3
kejadian dalam setahun perlu dilakukan dokumentasi dan pengawasan serta
pengendalian. Pada kasus ini instalasi farmasi melakukan koordinasi dengan komite
medik dan memberi laporan lisan pada bidang pelayanan dan keperawaan yang
membawahi instalasi farmasi dan komite medik agar dapat diperbaiki. Kelalaian
semacam ini harus segera diantisipasi karen jika pasien saat itu tidak menyadari bahwa
obat yang diberikan tidak sesuai dengan penyakitnya, misalnya pasien yang tidak
memahami kondisi penyakitnya sendiri dan tidak diberikan informed consent oleh
dokter dan saat petugas apotek memberikan informasi namun kurang ditanggapi oleh
pasien atau bukan pasien yang mengambil obat namun keluarga pasien atau yang
disuruh oleh pasien yang mana tidak tmemahami kondisi penyakit bisa menjadi
kesalahan fatal dan berdampak fatal dan berakibat citra RS dipertaruhkan.
Namun, hasil koordinasi instalasi farmasi baru sebatas kebijakan lisan dan belum
dituangkan pada kebijakan tertulis dikarenakan pada struktur organisasi RSUD Tebing
Tinggi kabupaten Empat Lawang belum memiliki manajer pengendali mutu maupun
manajer Risiko dan pasien safety.
BAB III
KESIMPULAN
Manajemen Resiko dalam Pelayanan Kesehatan perlu dilakukan guna
meminimalisir kejadian tak diharapkan (KTD) dalam rumah sakit yang kejadiannya
dapat menjadikan beban berat jika tidak segera ditangani. Resiko tersebut perlu
dianalisis dan dilakukan pengatasan guna pelayanan yang lebih bermutu. Dalam
pencegahan menempatkan resiko KTD secara prorposional beberapa pendekatan dapat
dilakukan pada sumber penyebab itu sendiri, baik pada
20
sistem manusianya (pasien
dan tenaga kesehatannya), maupun dari sisi organisasinya. Dari sisi organisasi, konsep
intervensi organisasi-pendekatan pada
20
sistem (sarana) pelayanan kesehatan
memerlukan penanganan khusus namun akan jauh lebih antisipatif dalam mengelola
resiko kemungkinan terjadinya KTD. Sistem analisis resiko dapat dilakukan dari sisi man,
metode, pendanaan, sarana dan prasarana, kebijakan, dan standar operasional.
Perlunya komunikasi, kolaborasi, monitoring dan konsolidasi dalam mencegah
terjadinya resiko kembali juga perlu dilakukan sebagai bahan evaluasi apakah standar
sudah berjalan dangan baik. Namun di banyak hal, peran manusia perlu di perhatikan
lebih utama karena sagala bentuk pelayan faktor manusia memiliki peran penting.
DAFTAR PUSTAKA
Idris, Fachmi Dr. dr. M.Kes. 2007. Manajemen Resiko Dalam Pelayanan Kesehatan:
Konsep Dalam Sistem Pelayanan Kesehatan. Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat
Kedokteran Komunitas (IKM/IKK) Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Palembang.
Komite Keselamatan Rumah Sakit. 2007. Meningkatkan Kepercayaan Dengan Patient
Safety. http://www.inapatsafety-persi.or.id
http://fijaytrangki.blogspot.co.id/2014/09/penerapan-manajemen-risiko-dalam.html
http://ppnisardjito.blogspot.co.id/2013/11/prinsip-dasar-manajemen-risiko-risk.html
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1691/MENKES/PER/VIII/2011 Tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit
Peraturan presiden no 77 tahun 2015 bahwa pengaturan pedoman organisasi rumah sakit