Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Makalah ini merupakan pemenuhan tugas Pendidikan Agama Islam yang memang harus terpenuhi
sebagai nilai tambahan yang sudah ditentukan oleh pengajar disamping itu juga makalah ini sangat
bermanfaat bagi pembaca karena pada makalah ini sedikit/banyaknya terdapat ilmu yang dapat
diambil sebagai pengetahuan atau wawasan.
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang diberikan kesempurnaan dibandingkan makhluk
lain, maka dari itu ada beberapa manusia yang memang menggunakan akalnya untuk mengkaji
hal-hal yang belum ada sebagai rasa keingintauan seperti halnya pada makalah ini juga akan
mengkaji yaitu diantaranya tentang filsafat Ketuhanan dalam Islam, keimanan dan ketakwaan,
yang berisi dari berbagai sumber, agar makalah ini ada nilai banding dengan makalah lain.
1.2. Rumusan Masalah
Beberapa pokok yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain adalah sebagai berikut:
1. Siapa Tuhan itu?
2. Sejarah pemikiran manusia tentang Tuhan.
3. Konsep Ketuhanan Islam.
4. Bukti-bukti adanya Tuhan.
5. Definisi Iman dan Takwa
6. Proses terbentuknya Iman dan Takwa
7. Tanda-tanda orang beriman dan bertakwa
8. Serta Korelasi antara keimanan dan ketakwaan.
1.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Menambah nilai dan memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
2. Mengetahui bagaimana kosep Ketuhanan dalam Islam.
3. Mengetahui filsafat Ketuhanan dalam Islam
4. Mengkaji siapa Tuhan itu, bukti-bukti Ketuhanan dalam Islam, serta sejarah pemikiran manusia
tentang Tuhan.
5. Mengetahui penjelasan iman dan takwa, proses terbentuknya iman dan takwa, tanda-tanda orang
yang beriman dan bertakwa, dan korelasi antara keimanan dan ketakwaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Filsafat Ketuhanan Islam
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata Sophos yang berarti
ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Terhadap
pengertian seperti ini al-Syaibani mengatakan bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri,
melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya
dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa filsafat dapat pula
berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan
pengalaman-pengalaman manusia.[1]
Sementara itu, A. Hanafi, M.A. mengatakan bahwa pengertian filsafat telah mengalami perubahan-
perubahan sepanjang masanya. Pitagoras (481-411 SM), yang dikenal sebagai orang yang pertama
yang menggunakan perkataan tersebut. Dari beberapa kutipan di atas dapat diketahui bahwa
pengertian filsafat dari segi kebahasan atau semantik adalah cinta terhadap pengetahuan atau
kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan
pengetahuan atau kebikasanaan sebagai sasaran utamanya.
Keimanan dalam Islam merupakan aspek ajaran yang fundamental, kajian ini harus dilaksanakan
secara intensif. Keimanan kepada Allah Swt, kecintaan, pengharapan, ikhlas, kekhawatiran, tidak
dalam ridho-Nya, tawakal nilai yang harus ditumbuhkan secara subur dalam pribadi muslim yang
tidak terpisah dengan aspek pokok ajaran yang lain dalam Islam.
Ketaatan merupakan karunia yang sangat besar bagi muslim dan sebagian orang yang menyebut
kecerdasan spiritual yang ditindak lanjuti dengan kecerdasan sosial. Inti ketaatan tidak dinilai
menurut Allah Swt, bila tidak ada nilai pada aspek sosial.
Muslim yang baik memiliki kecerdasan intelektual sekaligus kecerdasan spiritual (QS. Ali Imran:
190-191) sehingga sikap keberagamaannya tidak hanya pada ranah emosi tetapi didukung
kecerdasan pikir atau ulul albab. Terpadunya dua hal tersebut insya Allah menuju dan berada pada
agama yang fitrah. (QS.Ar-Rum: 30).
Jadi, filsafat Ketuhanan dalam Islam bisa diartikan juga yaitu kebijaksanaan Islam untuk
menentukan Tuhan, dimana Ia sebagai dasar kepercayaan umat Muslim.
2.1.1. Siapa Tuhan Itu?
Lafal Ilahi yang artinya Tuhan,[2] menyatakan berbagai obyek yang dibesarkan dan dipentingkan
manusia, misalnya dalam surat Al-Furqon: 43 yang artinya: Apakah engkau melihat orang yang
menghilangkan keinginan-keinginan pribadinya?
Menurut Ibnu Miskawaih Tuhan adalah zat yang tidak berijisim, azali, dan pencipta. Tuhan Esa
dalam segala aspek. Ia tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung kejamakan dan tidak satupun yang
setara dengan-Nya, Ia ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak bergantung kepada yang lain
sementara yang lain membutuhkan-Nya.[3]
Orang menyediakan hawa nafsunya, yang dipuji dalam hidupnya, berarti telah berbuat syirik yang
sebenarnya menurut Islam hawa nafsu harus tunduk kepada kehendak Allah Swt. Dalam surah Al-
Qoshos: 38, lafal Ilah dipakai oleh Firaun untuk dirinya sendiri, yang artinya:
Dan Firaun berkata, wahai para pembesar aku tidak menyangka bahwa kalian mempunyai Ilah
selain diriku
Bagi manusia, Tuhan itu bisa dalam bentuk konkret maupun abstrak/gaib. Al-Quran menegaskan
Ilah bisa dalam bentuk mufrad maupun jama (ilah, ilahian, ilahuna). Ilah ialah sesuatu yang
dipentingkan, dipuja, diminintai, diagungkan diharapkan memberikan kemaslahatan dan termasuk
yang ditakuti karena mendatangkan bahaya.
Di dalam Al-Quran surat Al-Baqarah: 163 menegaskan, Dan Tuhanmu, Tuhan Yang Maha Esa,
tidak ada Tuhan selain Dia yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ilah yang dituju ayat di
atas adalah Allah Swt, yang menurut Ulama Ilmu Kalam Ilah di sini bermakna al-Mabud, artinya
satu-satunya yang diibadati/disembah. Sedang Al-Matbu, yang dicintai, yang disenangi, diikuti.
Inilah yang disebut Tauhid Uluhiyah, bahwa Allah Swt. satu-satunya Tuhan yang diibadahi,
dicintai, disenangi, dan diikuti.
Allah Swt memfirmankan dalam Al-Quran surat Thoha : 14, yang artinya: Sesungguhnya Aku
Allah. Tidak ada Tuhan selain Aku (Allah), maka beribadahlah hanya kepada-Ku (Allah), dan
dirikanlah sholat untuk mengingatku.
Kalimat Tauhid keesaan secara konprehensif mempunyai pengertian sebagai berikut:
La Kholiqo illa Allah: Tiada Pencipta selain Allah
La Roziqo illa Allah: Tiada Pemberi rizqi selain Allah
La Hafidha illa Allah: Tiada Pemelihara selain Allah
La Malika illa Allah: Tiada Penguasa selain Allah
La Waliya illa Allah: Tiada Pemimpin selain Allah
La Hakima illa Allah: Tiada Hakim selain Allah
La Ghoyata illa Allah: Tiada Yang Maha menjadi tujuan selain Allah
La Mabuda illa Allah: Tiada Yang Maha disembah selain Allah
Lafal Al-ilah pada kalimat tauhid[4] menurut Ibnu Taimiyah memiliki pengertian yang dipuja
dengan cinta sepenuh hati, tunduk kepada-Nya merendahkan diri di hadapan-Nya, takut dan
mengharapkan kepadaNya, berserah hanya kepada-Nya ketika dalam kesulitan dan kesusahan,
meminta perlindungan kepada-Nya, dan menimbulkan ketenangan jiwa dikala mengingat dan
terpaut cinta denganNya. Ini yang disebut Tauhid Rububiyah.
Lawan tauhid adalah syirik, artinya menyekutukan Allah Swt dengan yang lain, mengakui adanya
Tuhan selain Allah, menjadikan tujuan hidupnya selain kepada Allah. Dalam ilmu tauhid, syirik
digunakan dalam arti mempersekutukan Tuhan selain dengan Allah Swt, baik persekutuan itu
mengenai dzatNya, sifatNya atau afalNya, maupun mengenai ketaatan yang seharusnya hanya
ditujukan kepada-Nya saja.
Syirik merupakan dosa yang paling besar yang tidak dapat diampuni, syirik itu bertentangan
dengan perintah Allah Swt, juga berakibat merusak akal manusia, menurunkan derajat
dan martabat manusia, serta membuatnya tak pantas menempati kedudukan tinggi yang telah
ditentukan Allah Swt. dalam kaitannya dengan masalah ini, Allah Swt berfirman dalam surah
Luqman : 13 yang artinya Dan (ingatlah ketika Luqman berkata kepada Anaknya. Wahai anakku,
janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-
benar kedhaliman yang amat besar.
Dan didalam ayat lain, Allah Swt menjelaskan bahwa orang yang telah berbuat syirik kepadaNya,
tergolong orang yang telah berbuat dosa besar, sebagaimana firmanNya, Sesungguhnya Allah
tidak mengampuni dosa syirik, bagi siapa berkehendak. Barang siapa yang mempersekutukan
Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa besar. (QS. An-Nisa: 48).
Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan
a. Pemikiran Barat
Yang dimaksud dengan konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah hasil pemikiran
tentang Tuhan baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah dari penelitian rasional, maupun
pengalaman batin.
Max Muller berpendapat bahwa konsep pemikiran barat tentang Tuhan mengalami evolusi yang
diawali dengan Dinamisme, Animisme, Politeisme, Henoteisme, dan puncak tertingginya
monoteisme (Nisbi). Pemikiran tentang Tuhan sebagaimana di atas, hasil pendekatannya adalah
budaya, Arnold Toynbe mengatakan: Monoteisme bukan hasil akhir dan proses pemikiran
tentang Tuhan, sebab orang yang sudah maju dalam intelektualitasnya sangat mungkin justru
berputar mundur dalam bertuhan, yakni animistis.
b. Pemikiran Islam
Pemikiran tentang Tuhan dalam islam melahirkan ilmu kalam, ilmu tauhid atau ilmu ushuluddin
dikalangan umat Islam, setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw. Aliran-aliran tersebut ada yang
bersifat liberal, tradisional dan ada aliran diantara keduanya. Ketiga corak pemikiran ini mewarnai
sejarah pemikiran ilmu ketuhanan (teologi) dalam Islam. Aliran-aliran tersebuut adalah:
1. Muktazilah, adalah kelompok rasionalis dikalangan orang Islam, yang sangat menekankan
penggunaan akal dalam memahami semua ajaran Islam. Dalam menganalisis masalah ketuhanan,
mereka memakai bantuan ilmu logika guna mempertahankan keimanan.
2. Qodariyah, adalah kelompok yang berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan
berkehendak dan berbuat.[5] Manusia berhak menentukan dirinya kafir atau mukmin sehingga
mereka harus bertanggung jawab pada dirinya. Jadi, tidak ada investasi Tuhan dalam perbuatan
manusia.
3. Jabariyah, adalah kelompok yang berpendapat bahwa kehendak dan perbuatan manusia sudah
ditentukan Tuhan. Jadi, manusia dalam hal ini tak ubahnya seperti wayang. Ikhtiar dan doa yang
dilakukan manusia tidak ada gunanya.
4. Asyariyah dan Maturidiyah, adalah kelompok yang mengambil jalan tengah
antara Qodariyah dan Jabariyah.Manusia wajib berusaha semaksimal mungkin. Akan tetapi,
Tuhanlah yang menentukan hasilnya.
BAB III