You are on page 1of 24

BAB I

PENDAHULUAN

Hemorrhoid, pada masyarakatlebih umum dikenal dengan nama wasir atau


ambeien, berasal dari kata haima dan rheo, dalam dunia medis dapat diartikan
sebagai dilatasi pleksus vena hemorrhoidalis yang ada pada daerah anus. Hemorrhoid
dibedakan menjadi dua keadaan, yaitu hemorrhoid interna dan hemorrhoid eksterna,
yang pembagiannya berdasarkan letak pleksus hemorrhoidalis yang terkena
(Murbawani EA, 2006).
Pada abad ini, pola makan masyarakat semakin berubah sesuai dengan tuntutan
keadaan. Tidak sedikit masyarakat yang lebih mengutamakan rasa kenyang,
dibanding dengan kadar gizi dari makanan yang dikonsumsi. Kebanyakan makanan-
makanan yang cepat saji, sangat rendah akan kandungan seratnya. Padahal
mengkonsumsi makanan rendah serat terlalu banyak dapat menyebabkan kondisi
sulit buang air besar. Bila sudah mengalami keadaan ini, maka pada akhirnya untuk
mengeluarkan feses kita harus mengejan. Hal ini menyebabkan pembuluh darah pada
daerah anus, yakni pleksus hemorrhoidalis akan merenggang dan membesar karena
adanya tekanan yang tinggi dari dalam. Bila hal ini terjadi secara terus-menerus,
maka pembuluh darah tersebut, tidak akan mampu kembali ke bentuk semula.
Hemorrhoid dapat terjadi pada semua umur dan jenis kelamin, pria dan wanita
memiliki risiko yang sama (Murbawani EA, 2006).
Hemorrhoid bukan merupakan suatu keadaan kegawatdaruratan, namun bila
sudah mulai menimbulkan keluhan, harus segera dilakukan tindakan untuk
mengatasinya.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 ANATOMI ANORECTAL


Panjang rektum berkisar 12-15 cm dari sigmoid ke anus. Refleks peritoneum
anterior 6-8 cm, posterior 12-15 cm. Katup Houston adalah pelipatan mukosa yang
jelas. Fasia Waldeyer adalah septum presakral, fasia Denonvillier adalah septum
rektovesikal/rektovaginal. Dasar pelvis adalah muskulus levator ani. Kanalis analis
panjangnya berkisar 4 cm dari dasar tepi anal. Linea dentata adalah sambungan
mukokutan dan zona transisi diatasnya (squamosakuboideskolumnar). Sfingter
interna adah otot polos sirkular interna involunter yang khusus. Sfingter eksterna
adalah unit tiga bagian yang voluntar dan terdiri dari otot lurik.
Anorectal divaskularisasi oleh beberapa pembuluh darah, seperti :
a. Arteri rektal superior adalah mesenterika inferior terminalis, yang
memperdarahi mukosa valvula anal.
b. Arteri rektal media dari iliaka interna, memperdarahi lapisan otot rektal
bagian bawah dan kanalis analis.
c. Arteri rektal inferior dari pudendalis, memperdarahi musculus sfingter ani,
kanalis analis bagian bawah dan kulit sekitar anus.
Sejajar dengan arteri, pembuluh darah balik berdrainase ke dalam vena porta
(rektum atas atau tengah) dan sistemik (rektum bawah atau anus). Kompleks
hemoroid terdiri dari tiga vena interna dan eksterna. Pleksus vena hemorrhoidalis
terdiri dari :
a. Pleksus vena hemorrhoidalis superior
b. Pleksus vena hemorrhoidalis medius
c. Pleksus vena hemorrhoidalis inferior
Pada drainase limfatik, alirannya mengikuti pasokan arteri. Rektus atas atau
tengah ke nodus mesenterika inferior, sedangkan rektum bawah ke nodus mesenterika

2
inferior dan/atau ke nodus iliaka dan periaorta. Di bawah linea dentata drainase
menuju ke nodus iliaka.
Sistem saraf simpatis dari saraf hipogastrik ke rektum, kandung kemih, organ-
organ genitalia. Sedangkan untuk sistem saraf parasimpatis dari sakrum, n. erigentes.

Gambar 1. Anatomi anorectal

II.2 FISIOLOGI ANORECTAL


Fungsi utama dari saluran anorektal ialah untuk mengeluarkan massa feses
yang dibentuk di usus besar dan tidak ikut proses percernaan, fungsinya hanya untuk
menyerap air. Dalam hal ini, sel goblet memiliki peran untuk memproduksi mucus,
sehingga dapat melicinkan feses (Kumar R, 2005).
Dalam keadaan normal tidak ada feses didalam rektum, karena feses akan
ditampung di colon sigmoid sampai waktunya untuk dikeluarkan. Proses defekasi
adalah proses involunter dan volunter. Proses involunter dilakukan oleh peristaltik
usus yang akan menekan feses menuju colon sigmoid, kemudian ke rektum sehingga
akan timbul rangsang defekasi. Kemudian, diikuti oleh proses volunter, secara sadar

3
akan ke toilet atau menarik napas panjang, menutup glottis dan mengejan, sehingga
tekanan intra abdominal meningkat dan menekan massa di colon menuju rektum.
Pada waktu bersamaan otot sfingter ani eksternus relaksasi dan feses akan keluar
(Kumar R, 2005).
II.3 HEMORRHOID
II.3.1 Definisi
Hemorrhoid merupakan salah satu dari gangguan sirkulasi darah, berupa
dilatasi pleksus vena hemorrhoidalis yang ada pada daerah anus. Dibedakan menjadi
dua, yaitu hemorrhoid interna dan hemorrhoid eksterna, pembagiannya berdasarkan
letak pleksus vena hemorrhoidalis yang terkena. Pleksus vena hemorrhoidalis interna
terletak pada rongga submukosa di atas valvula morgagni. Kanalis anal
memisahkannya dari pleksus vena hemorrhoidalis eksterna, tetapi kedua rongga
tersebut tetap berhubungan di bawah kanalis anal dan submukosanya melekat pada
jaringan yang mendasarinya untuk membentuk depresi inter hemorrhoidalis
(Murbawani EA, 2006).

II.3.2Epidemiologi
Hemorrhoid dapat terjadi pada semua umur. Namun umumnya, kondisi ini
terjadi10 40 % pada dewasa dengan usia 20 50tahun dan 50 60 % pada usia
diatas 50 tahun. Menurut data di Indonesia, sekitar 4 6% penduduk Indonesia
mengalami hemorrhoid. Pria dan wanita memiliki risiko yang sama (Junaidi P,
Soemasto AS, Amel H, 2002). Pada wanita, khususnya ibu hamil sangat rentan
mengalami hemorrhoid karena meningkatnya kadar hormon kehamilan yang
melemahkan dinding vena di bagian anus. Tidak sedikit ibu hamil yang menderita
hemorrhoid setelah 6 bulan usia kehamilan karena adanya peningkatan tekanan vena
dalam area panggul. Beberapa ibu hamil juga dapat mengalami hemorrhoid selama
proses persalinan akibat tekanan yang kuat untuk mengejan.

4
II.3.3Etiologi
Etiologi hemorrhoiddan beberapa faktor pendukung yang terlibat diantaranya
adalah(Isselbacher dkk, 2000) :
a. Keturunan dengan dinding pembuluh darah yang tipis dan lemah.
b. Anatomi dengan vena daerah anorektal yang tidak memiliki katup dan
pleksus hemorrhoidalis yang kurang mendapat sokongan otot atau fasia
sekitarnya.
c. Fisiologis, berupa bendungan pada peredaran darah portal, misalnya pada
pasien dengan kondisi dekompensasio kordis atau sirosis hepatic.
d. Pekerjaan, yaitu harus berdiri atau duduk terlalu lama.Pekerjaan
mengangkat benda berat, juga memiliki predisposisi untuk terjadinya
hemorrhoid.
e. Usia, umumnya pada usia 50 tahun keatas akan timbul degenerasi dari
seluruh jaringan tubuh, sehingga otot sfingter menjadi tipis dan atoni.
f. Endokrin, misalnya pada wanita hamil, terdapatdilatasi vena ekstremitas
anus yang disebabkan oleh sekresi hormone relaksin.
g. Mekanis, semua keadaan yang mengakibatkan timbulnya tekanan tinggi
pada rongga abdomen, misalnya pada penderita hipertrofi prostate.
h. Peradangan adalah faktor penting yang menyebabkan vitalitas jaringan di
daerah anorectal berkurang. Faktor-faktor tersebut berkaitan dengan
kongesti vaskular dan prolapsus mukosa.

II.3.4 Klasifikasi
Hemorrhoid diklasifikasikan berdasarkan letaknya, dimana linea dentata
menjadi batas histologis. Klasifikasi hemorrhoid berdasarkan letaknya, yaitu :
a. Hemorrhoidinterna
Pleksus hemorrhoidalis interna dapat membesar dan terjadi peningkatan
yang berhubungan dalam massa jaringan yang mendukungnya.
Pembengkakan vena pada pleksus hemorrhoidalis interna disebut dengan
kondisi hemorrhoid interna(Isselbacher, dkk, 2000). Hemorrhoid interna

5
adalah varises yang terletak pada submukosa, terjadi proksimal terhadap
otot sphincter anus dan diliputi oleh lapisan epitel dari mukosa (Jong WD
&Sjamsuhidajat R, 2005). Pada penderita dalam posisi litotomi terdapat
paling banyak pada jam 3, 7 dan 11 yang oleh Miles disebut: three primary
haemorrhoidalis areas (Bagian Bedah FK UI, 1994).
Trombosis hemorrhoidumum terjadi padapleksus hemorrhoidalis interna.
Pasien mengalami nyeri mendadak yang parah, diikuti penonjolan area
trombosis (David C & Sabiston, 1994).Berdasarkan gejala yang terjadi,
terdapat empat tingkat hemorrhoid interna, yaitu:
1. Tingkat I : Hemorrhoid mencapai lumen anal canal, disertai perdarahan
merah segar saat defekasi dan tanpa adanya prolapse. Pada
anoskopi terlihat permukaan dari benjolan hemorrhoid.
2. Tingkat II : Prolaps anal canal tampak pada saat inspeksi,ataupun keluar
saat defekasi, tetapi sesudah defekasiprolapse hemorrhoid
dapat masuk secara spontan, dapat disertai atau tanpa
perdarahan.
3. Tingkat III : Hemorrhoid telah keluar dari anal canal yang tidak dapat
masuk sendiri dan hanya dapat masuk kembali jika didorong
dengan jari, dapat disertai atau tanpa perdarahan.
4. Tingkat IV : Hemorrhoid selalu keluar dan tidak dapat masuk ke anal
canal meskipun dimasukkan secara manual atau hemorrhoid
yang terjepit dan sesudah reposisi akan keluar lagi.

6
Gambar 2. Hemorrhoid interna

b. Hemorrhoideksterna
Hemorrhoid eksterna terjadi apabila pleksus vena hemorrhoidalis
eksternaberdilatasi (Isselbacher dkk, 2000). Letaknya berada pada distal dari
linea pectinea dandilapisi mukosa anorectalyang berupa benjolan karena
dilatasi vena hemorrhoidalis.Umumnya tidak menimbulkan nyeri dan timbul
perdarahan merah terang atau prolapse saat defekasi. Ada 3 bentuk yang
sering dijumpai:
1. Bentuk hemorrhoid biasa tapi letaknya distal linea pectinea.
2. Bentuk trombosis atau benjolan hemorrhoid yang terjepit.
3. Bentuk skin tags, biasanya benjolan ini keluar dari anus kalau penderita
disuruh mengedan, tapi dapat dimasukkan kembali dengan cara menekan
benjolandengan jari.
Rasa nyeri pada perabaan menandakan adanya trombosis, yang biasanya
disertai penyulit seperti infeksi, fissure ani atau abses perianal. Trombosis
hemorrhoid adalah kejadian yang umum terjadi dan dijumpai timbul pada
pleksus analis eksternus di bawah tunika mukosa epitel gepeng, di dalam
pleksus hemorrhoidalis utama dalam tela submukosa kanalis analis atau
keduanya. Hal ini disebabkan oleh tekanan vena yang tinggi, yang timbul
selama usaha mengejan yang berlebihan, menyebabkan distensi, stasis dan
pecahnya venula anal. Pembengkakan dapatterlihat seperti buah cery, yang
dijumpai pada salah satu sisi muara anus (Dudley & Hugh AF, 1992).

7
Gambar 3. Hemorrhoid

II.3.5 Patofisiologi
Hemorrhoid dapat terjadi karena peregangan berulang selama buang air besar.
Kondisi konstipasi dapat membuat peregangan bertambah buruk. Hemoroid
berhubungan dengan pola diet dan defekasi seseorang. Diet tinggi serat dan defekasi
dengan toilet jongkok diyakini mampu menurunkan resiko hemoroid. Akhir-akhir ini,
keterlibatan anal cushion makin dipahami sebagai dasar terjadinya penyakit ini. Anal
cushion merupakan jaringan lunak yang kaya akan vaskularisasi. Agar stabil,
kedudukannya disokong oleh ligamentum Treitz dan lapisan muskularis submukosa.
Bendungan dan hipertrofi pada anal cushion menjadi mekanisme dasar terjadinya
hemoroid (Mansjur dkk, 1999).
Pertama, kegagalan pengosongan anal cushion secara cepat saat defekasi.
Kedua, anal cushionterlalu mobile, dan ketiga, anal cushionterperangkap oleh
sfingter anus yang ketat. Akibatnya pleksus hemorrhoidalis mengalami obstruksi dan
dilatasi (Mansjur dkk, 1999).
Proses pembendungan diatas diperparah lagi apabila seseorang mengejan atau
adanya feses yang keras melalui dinding rektum. Selain itu, gangguan rotasi anal
cushion juga menjadi terjadinya hemorrhoid. Dalam keadaan normal, anal cushion
menempel secara longgar pada lapisan otot sirkuler. Ketika defekasi, sfingter interna
akan relaksasi. Kemudian, anal cushion berotasi ke arah luar eversi membentuk bibir

8
anorektum. Faktor etiologi yang sebelumnya telah disebutkan, menyebabkan
gangguan eversi pada anal cushiontersebut (Sylvia AP, 2005).
Pada kondisi sirosis hepatic terjadi anatomosis antara system vena sistemik dan
portal pada daerah anus. Kejadian ini umum terjadi pada kondisi hipertensi portal.
Hipertensi portal menyebabkan peningkatan tekanan darah (>7 mmHg) dalam vena
portal hepatica, dengan peningkatan darah tersebut berakibat terjadinya pelebaran
pembuluh darah vena di daerah anus (Sylvia AP, 2005)

II.3.6Manifestasi Klinis
Dalam praktiknya, sebagian besar pasien tidak mengeluhkan gejala apapun
(asimtomatik). Pasien diketahui menderita hemorrhoid secara kebetulan pada waktu
pemeriksaan untuk gangguan saluran cerna bagian bawah dengan endoskopi atau
kolonoskopi. Nyeri yang hebat, jarang sekali ada hubungan dengan hemorrhoid
interna dan hanya timbul pada hemorrhoid eksterna yang mengalami trombosis (Jong
WD &Sjamsuhidajat, 2005). Gejala klinis hemorrhoid dapat dibagi berdasarkan jenis
hemorrhoid yaitu:
a. Perdarahan
Perdarahan umumnya merupakan tanda utama pada penderita hemorrhoid
interna akibat trauma oleh feses yang keras. Darah yang keluar berwarna
merah segar dan tidak tercampur dengan feses, dapat hanya berupa garis
pada anus atau kertas pembersih sampai pada pendarahan yang terlihat
menetes atau mewarnai air toilet menjadi merah. Walaupun berasal dari
vena, darah yang keluar berwarna merah segar. Pendarahan luas dan intensif
di pleksus hemorrhoidalis menyebabkan darah di anus merupakan darah
arteri. Datang dengan perdarahan hemorrhoid yang berulang dapat berakibat
timbulnya anemia berat.
b. Prolaps
Hemorrhoid yang membesar secara perlahan-lahan akhirnya dapat menonjol
keluar menyebabkan prolaps. Pada tahap awal penonjolan ini hanya terjadi
pada saat defekasi dan disusul oleh reduksi sesudah selesai defekasi. Pada

9
stadium yang lebih lanjut hemorrhoid interna didorong kembali setelah
defekasi masuk kedalam anus. Akhirnya hemorrhoid dapat berlanjut menjadi
bentuk yang mengalami prolaps menetap dan tidak dapat terdorong masuk
lagi.Prolaps, jika tidak diobati, biasanya menjadi kronik karena muskularis
tetap teregang, dan penderita mengeluh keluarnya mucus dan terdapatnya
feses pada pakaian dalam. Hemorrhoid yang prolaps bisa terinfeksi atau
mengalami trombosis, membran mukosa yang menutupinya dapat berdarah
banyak akibat trauma pada defekasi.
c. Rasa tidak nyaman hingga nyeri bila teregang
Nyeri hanya timbul apabila terdapat trombosis yang meluas dengan edema
meradang. Apabila hemorrhoid interna membesar, nyeri bukan merupakan
gambaran yang biasa sampai situasi dipersulit oleh trombosis, infeksi, atau
erosi permukaan mukosa yang menutupinya.
Hemorrhoid eksterna, karena terletak di bawah kulit, cukup sering terasa
nyeri, terutama jika ada peningkatan mendadak pada massanya. Peristiwa ini
menyebabkan pembengkakan biru yang terasa nyeri pada pinggir anus akibat
trombosis sebuah vena pada pleksus eksterna dan tidak harus berhubungan
dengan pembesaran vena interna. Karena trombus biasanya terletak pada
batas otot sfingter, spasme anus sering terjadi.
d. Gatal
Iritasi kulit perianal dapat menimbulkan rasa gatal yang dikenal sebagai
pruritus anus dan ini disebabkan oleh kelembaban yang terus menerus dan
rangsangan mucus, disertai proses pembersihan kulit perianal yang menjadi
sulit.
e. Konstipasi
Rasa nyeri yang dirasakan penderita dapat menghambat keinginan untuk
defekasi. Tidak adanya keinginan defekasi, penderita hemorrhoid dapat
terjadi konstipasi. Konstipasi disebabkan karena frekuensi defekasi kurang
dari tiga kali per minggu.

10
f. Nekrosis pada hemorrhoid interna yang prolapse dan tidak dapat direduksi
kembali

II.3.7 Diagnosis

Diagnosis hemorrhoid tidak sulit, dapat dilakukan dengan anamnesis dan


pemeriksaan fisik status lokalis, namun perlu diketahui beberapa pemeriksaan
penunjang yang digunakan untuk memperkuat diagnosa dan menyingkirkan diagnosa
banding lainnya (Simadibrata M, 2009).

a. Anamnesis
Pada anamnesis biasanya didapati bahwa pasien menemukan adanya darah
segar pada saat buang air besar. Selain itu pasien juga akan mengeluhkan
adanya gatal-gatal pada daerah anus. Pada derajat II hemorrhoid internal
pasien akan merasakan adanya masa pada anus dan hal ini membuatnya tak
nyaman. Pasien akan mengeluhkan nyeri pada hemorrhoid derajat IV yang
telah mengalami trombosis.
Perdarahan yang disertai dengan nyeri dapat mengindikasikan adanya
trombosis hemorrhoid eksternal, dengan ulserasi thrombus pada kulit.
Hemorrhoid internal biasanya timbul gejala hanya ketika mengalami
prolapsus sehingga terjadi ulserasi, perdarahan, atau trombosis. Hemorrhoid
eksternal bisa jadi tanpa gejala atau dapat ditandai dengan rasa tak nyaman,
nyeri akut, atau perdarahan akibat ulserasi dan thrombosis (Thornton, 2007).
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya pembengkakan vena yang
mengindikasikan hemorrhoid eksternal atau hemorrhoid internal yang
mengalami prolaps. Hemorrhoid internal derajat I dan II biasanya tidak dapat
terlihat dari luar dan cukup sulit membedakannya dengan lipatan mukosa
melalui pemeriksaan rektal, kecuali hemorrhoid tersebut telah mengalami
trombosis.

11
Daerah perianal juga diinspeksi untuk melihat ada atau tidaknya fisura,
fistula, polip, atau tumor. Selain itu ukuran, perdarahan, dan tingkat
keparahan inflamasi juga harus dinilai. Darah di anus, prolaps, perasaan tidak
nyaman pada anus, pengeluaran lendir, anemia sekunder.
Pemeriksa menggunakan handgloving (sarung tangan steril) yang dilumasi
pelicin dimasukkan ke lobang anus penderita sementara diminta mengedan.
Pada pemeriksaan colok dubur hemoroid interna tidak dapat diraba sebab
tekanan vena didalamnya tidak cukup tinggi, dan biasanya tidak nyeri. Colok
dubur diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan karsinoma rektum, bila
teraba massa harus dievaluasi lebih lanjut. Evaluasi tonus kanalis anal saat
istirahat, dan kontraksi otot ischiorektalis dan sfingter dapat dirasakan
(Simadibrata M, 2009).
c. Pemeriksaan penunjang
Setelah pemeriksaan inspeksi sekitar atau terdapat prolaps hemoroid,
kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan digital. Pemeriksaan tambahan
ini, dapat digunakan untuk menyingkirkan dugaan dari diagnosis banding
sepertifisura anal dan fistula, kolitis, polip rektal,tumor rectum, pembesaran
prostat dan abses (Simadibrata M, 2009).
1. Anoskopi
Sebagai konfirmasi gambaran hemoroid dapat dilakukan pemeriksaan
anoskopi. Pemeriksaan ini pada dasarnya menggunakan tabung dengan
cahaya yang dipancarkan untuk melihat hemoroid interna, yang mirip
dengan polip rectum. Anoskopi dilakukan untuk menilai mukosa rektal
dan mengevaluasi tingkat pembesaran hemorrhoid interna. Anoskop
dimasukkan dan diputar untuk mengamati daerah anterior kanan,
posterior kanan, kemudian lateral kiri lalu seluruh lapangan rektum sesuai
arah putaran jarum jam, penderita diminta mengejan sedikit. Hemorrhoid
interna terlihat sebagai struktur vaskular yang menonjol ke dalam lumen.
Permukaannya berwarna sama dengan mukosa sekitarnya, bila bekas
berdarah akan tampak bercak-bercak kemerahan. Perdarahan rectum

12
merupakan manifestasi utama hemorrhoid interna. Side-viewing pada
anoskopi merupakan instrumen yang optimal dan tepat untuk
mengevaluasi hemorrhoid.

Gambar 4. Derajat hemorrhoid interna yang terlihat dengan


anoskopi
2. Sigmoidoskopi
Pemeriksaan ini dilakukan bila dengan anoskopi tidak ditemukan tanda
signifikan hemorrhoid interna sedangkan keluhan pernderita adalah
perdarahan. Dengan menggunakan sigmoidoskopi, anus dan rektum dapat
dievaluasi untuk kondisi lain sebagai diagnosa banding untuk perdarahan
rektal dan rasa tak nyaman seperti pada fisura anal,fistula, kolitis, polip
rektal, tumor rectum, pembesaran prostat dan abses.

13
Gambar 5. Sigmoidoskopi

3. Kolonoskopi
Pada penderita yang lebih tua atau usia diatas 50 tahun, disertai riwayat
gangguan atau adanya perubahan kebiasaan defekasi, perlu dilanjutkan
dengan pemeriksaan kolonoskopi untuk memastikan ada tidaknya
neoplasia.

Gambar 6. Kolonoskopi

14
4. Mikroskopik
Hemorrhoid dengan thrombosis secara mikroskopik, dapat terlihat seperti
dinding vena yang menipis dan terisi oleh trombus yang kadang-kadang
telah menunjukkan tanda-tanda rekanalisasi (Bagian PA FKUI, 1999)

Gambar 7. Histopatologi thrombosis hemorrhoid

II.3.8 Diagnosa Banding


Selama evaluasi awal pasien, kemungkinan penyebab lain dari gejala-gejala
seperti perdarahan rektal, gatal pada anus, rasa tak nyaman, massa serta nyeri dapat
disingkirkan. Dibawah ini adalah diagnosa banding untuk gejala-gejala diatas:
a. Nyeri
1) Fisura ani
2) Proktitis ulseratif
3) Proctalgia fugax
b. Massa dan perdarahan
1) Polip kolorektal
2) Karsinoma kolorektal
3) Karsinoma rektum

15
II.3.9 Penatalaksanaan
Menurut Underwood, penatalaksanaan hemorrhoid dapat dilakukan dengan
beberapa cara sesuai dengan jenis dan derajathemorrhoid (Underwood, JCE, 2009).
a. Penatalaksanaan Konservatif
Terapi hemorrhoid non medis dapat berupa perbaikan pola hidup, makan
dan minum, perbaikan cara atau pola defekasi. Perbaikan defekasi disebut
bowel management program (BMP) yang terdiri dari diet, cairan, serat
tambahan, pelicin feses dan perubahan perilaku buang air. Dianjurkan untuk
posisi jongkok waktu defekasi,menghindari mengejan berlebihan saat
defekasi dan tindakan menjaga kebersihan lokal dengan cara merendam
anus dalam air selama 10-15 menit 3 kali sehari. Pasien dianjurkan untuk
tidak banyak duduk atau tidur, namun perbanyak bergerak atau berjalan.
Pasien harus banyak minum 30-40 cc/kgBB/hari, dan harus banyak makan
serat (dianjurkan sekitar 30 gram/hari) seperti buah-buahan, sayuran, sereal
dan bila perlu suplementasi serat komersial. Makanan yang terlalu
berbumbu atau terlalu pedas harus dihindari. Berikan antibiotik jika dinilai
ada infeksi dan pelembab kulit (sediaan suppositoria/krim yang
mengandung fluocortolone pivalate dan lidokain).
Selain itu suplemen flavonoid dapat membantu mengurangi tonus vena,
mengurangi hiperpermeabilitas serta efek antiinflamasi meskipun belum
diketahui bagaimana mekanismenya.
Hemorrhoid berespons terhadap terapi konservatif seperti sitz bath atau
bentuk lain seperti panas yang lembab, suppositoria, pelunak feses, dan tirah
baring.
b. Pembedahan
Hemorrhoid merupakan sesuatu yang fisiologis, maka terapi yang dilakukan
hanya untuk menghilangkan keluhan, bukan untuk menghilangkan pleksus
hemorrhoidalis. Pada hemorrhoid derajat III dan IV, terapi yang dipilih
adalah terapi bedah yaitu denganhemorrhoidectomy. Terapi ini bisa juga
dilakukan untuk pasien yang sering mengalami perdarahan berulang,

16
sehingga dapat menyebabkan anemia, ataupun untuk pasien yang sudah
mengalami keluhan-keluhan tersebut bertahun-tahun. Dalam hal ini
dilakukan pemotongan pada jaringan yang benar-benar berlebihan agar tidak
mengganggu fungsi normal anus.
Hemorrhoid Institute of South Texas (HIST), menetapkan indikasi
tatalaksana pembedahan hemorrhoid antara lain:
1) Hemorrhoid internal derajat II berulang
2) Hemorrhoid derajat III dan IV dengan gejala
3) Mukosa rektum menonjol keluar anus
4) Hemorrhoid derajat I dan II dengan penyakit penyerta seperti fisura.
Fistula, strangulasi, ulserasi
5) Kegagalan penatalaksanaan konservatif
6) Permintaan pasien

Pembedahan yang sering dilakukan yaitu:


1) Sclerotherapy
Teknik ini dilakukan dengan menginjeksikan 5 mL oil phenol 5 %,
vegetable oil, quinine dan urea hydrochlorate atau hypertonic
saltsolution. Lokasi injeksi adalah submukosa hemorrhoid. Efek
injeksisklerosan tersebut adalah edema, reaksi inflamasi dengan
proliferasi fibroblast, dan trombosis intravaskular. Reaksi ini akan
menyebabkanfibrosis pada sumukosa hemorrhoid. Hal ini akan
mencegah atau mengurangi prolapsus jaringan hemorrhoid. Teknik ini
murah dan mudah dilakukan, tetapi jarang dilaksanakan karena tingkat
kegagalan yang tinggi.

17
Gambar 8. Sclerotherapy

2) Rubber band ligation


Ligasi jaringan hemorrhoid dengan rubber band menyebabkan nekrosis
iskemia, ulserasi dan scarring yang akan menghasilkan fiksasi jaringan
ikat ke dinding rektum. Komplikasi prosedur ini adalah nyeri dan
perdarahan.

Gambar 9. Rubber band ligation

3) Infrared thermocoagulation
Sinar inframerah masuk ke jaringan danberubah menjadi panas.
Manipulasi instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengatur
banyaknya jumlah kerusakan jaringan. Prosedur ini menyebabkan

18
koagulasi, oklusi, dan sklerosis jaringan hemorrhoid. Teknik ini singkat
dan dengan komplikasi yang minimal.

Gambar 10. Infrared thermocoagulation

4) Bipolar Diathermy
Menggunakan energi listrik untuk mengkoagulasijaringan hemorrhoiddan
pembuluh darah yang memperdarahinya. Biasanya digunakan pada
hemorrhoid internal derajat rendah.
5) Hemorrhoidectomy

Gambar 11. Hemorrhoidectomy by Milligan-Morgan technique


6) Doppler ultrasound guided haemorrhoid artery ligation
Teknik inidilakukan dengan menggunakan proktoskop yang dilengkapi
dengan doppler probe yang dapat melokalisasi arteri. Kemudian arteri

19
yangmemperdarahi jaringan hemorrhoid tersebut diligasi menggunakan
absorbable suture. Pemotongan aliran darah ini diperkirakan
akanmengurangi ukuran hemorrhoid.
7) Cryotherapy
Teknik ini dilakukan dengan menggunakan temperaturyang sangat
rendah untuk merusak jaringan. Kerusakan ini disebabkan kristal yang
terbentuk di dalam sel, menghancurkan membran sel dan jaringan.
Namun prosedur ini menghabiskan banyak waktu dan hasil yang cukup
mengecewakan. Cryotherapy adalah teknik yang paling jarang dilakukan
untuk hemorrhoid.
8) Stappled Hemorrhoidopexy
Teknik ini dilakukan dengan mengeksisijaringanhemorrhoid pada bagian
proksimal linea dentate. Keuntungan pada stappled hemorrhoidopexy
adalah berkurangnya rasa nyeri post operasi, selain itu teknik ini juga
aman dan efektif sebagai standar hemorrhoidectomy.

Gambar 12. Stapled hemorrhoidectomy


II.3.10 Pencegahan
Menurut Brown dan Stuart (2005), pencegahan hemorrhoid dapat dilakukan
dengan:

20
a. Konsumsi serat 25-30 gram sehari. Makanan tinggi serat seperti buah-
buahan, sayur-mayur, dan kacang-kacangan menyebabkan feses menyerap
air di kolon. Hal ini membuat feses lebih lembek dan besar, sehingga
mengurangi proses mengedan dan tekanan pada pleksus hemorrhoidalis.
b. Minum air sebanyak 6-8 gelas sehari
c. Mengubah kebiasaan buang air besar. Segera ke kamar mandi saat merasa
akan buang air besar, jangan ditahan karena akan memperkeras feses.
Hindari mengejan terlalu sering dan usahakan untuk menggunakan toilet
jongkok.
d. Hindari kegiatan duduk, berdiri dan tidur yang terlalu lama. Jalani pola
hidup sehat dengan berolahraga secara teratur dan hindari merokok, minum
minuman keras dan menggunakan narkoba (Merdikoputro D, 2006).

21
BAB III
KESIMPULAN

Hemorrhoid adalah dilatasi pleksus vena hemorrhoidalis interna. Hemorrhoid


dibagi atas hemorrhoid interna bila pembengkakan vena pada pleksus hemorrhoidalis
interna, hemorrhoid eksterna apabila terjadi pembengkakan di pleksus
hemorrhoidalis ekterna (Murbawani EA, 2006).
Hemorrhoid interna jika varises yang terletak pada submukosa terjadi
proksimal terhadap otot sphincter anus. Letaknya distal dari linea pectinea dan
diliputi oleh kulit biasa di dalam jaringan di bawah epitel anus, yang berupa benjolan
karena dilatasi vena hemorrhoidalis. Faktor risiko hemorrhoid, yaitu; keturunan,
anatomic, pekerjaan, umur, endokrin, mekanis, fisiologis, dan radang (Murbawani
EA, 2006).
Gejala klinis hemorrhoid, yaitu perdarahan di anus disertai atau tanpa lendir,
perasaan tidak nyaman pada anus dan tampak kelainan khas pada inspeksi berupa
prolapse (Jong WD & Sjamsuhidajat, 2005).Terapi hemorrhoid derajat I dan II terapi
yang diberikan berupa terapi lokal dan himbauan tentang perubahan pola hidup sehat
serta defekasi. Derajat III dan IV, terapi yang dipilih adalah terapi bedah yaitu
dengan hemorrhoidektomi. Terapi ini bisa juga dilakukan untuk pasien yang sering
mengalami perdarahan berulang, sehingga dapat menyebabkan anemia (Underwood,
JCE, 2009).
Pencegahan dapat dilakukan dengan mencegah faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya hemorrhoid dengan menjalani pola hidup sehat dengan minum air putih
yang cukup, makan cukup sayuran dan buah-buahan, berolahraga secara teratur atau
menghindari duduk, berdiri atau tidur terlalu lama(Brown dan Stuart, 2005 &
Merdikoputro D, 2006).

22
DAFTAR PUSTAKA

Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 1994, Kumpulan Kuliah


Ilmu Bedah, Binarupa Aksara, Jakarta, hlm.266-71.

Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 1999,


Kumpulan Kuliah Patologi, Binarupa Aksara, Jakarta, hlm.263-79.

Brown, Stuart, J 2005, Buku Ajar dan Atlas Bedah Minor, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta, hlm.184-9.

David, C, Sabiston, 1994, Buku Ajar Bedah, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,
hlm.56-9.

Dudley, Hugh, AF, 1992, Ilmu Bedah Gawat Darurat, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, hlm.506-8.

Isselbacher, Braunwald, Wilson, dkk 1999, Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit


Dalam, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, hlm.255-6.

Isselbacher, Braunwald, Wilson, dkk 2000, Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit


Dalam, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, hlm.159-65.

Jong, WD, Sjamsuhidayat, R, 2005, Buku Ajar Ilmu Bedah, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, hlm. 672-5.

Junaidi, P, Soemasto, AS, Amelz, H 2002, Perdarahan per-anum,Media Aesculapius


FKUI,Jakarta, hlm. 362-4.

Kumar, R 2005, Buku Ajar Patologi II, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,
hlm.274-5.

23
Mansjur, A, dkk 1999, Kapita Selekta Kedokteran,Media AesculapiusFKUI, Jakarta,
hlm.321-4.

Merdikoputro, D 2006, Jalan Kaki Cegah Wasir,


Available at :http://www. suaramerdeka. com.

Murbawani, EA 2006,Wasir Karena Kurang Serat


Available at :http://www. suaramerdeka. com.

Simadibrata, M 2009, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam :Hemorrhoids, Pusat


Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, hlm.587-90.

Sylvia, AP 2005, Patofisiologi Konsep Klinis Penyakit : Gangguan Sistem


Gastrointestinal, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Thornton, SC 2007, Hemorrhoid


Available at : http://www.emedicine. com/med/topic2821.htm.

Underwood, JCE 2009, Patologi Umum dan Sistemik, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta, hlm. 468.

24

You might also like