You are on page 1of 7

ANALISA

1. Kronologi Kasus Penetapan Dispensasi Nikah Pada Putusan Nomor


0066/Pdt.P/2010/PA.JS
Dijelaskan pada uraian sebelumnya bahwa dalam Undang-Undang Perkawinan telah mengatur masalah
batas umur seseorang dapat melangsungkan perkawinan yaitu untuk pria berumur 19 (sembilan belas)
tahun dan pihak wanita 16 (enam belas) tahun, akan tetapi di dalam ketentuan undang-undang tersebut
adanya penyimpangan terhadap ketentuan usia kawin yang dapat dimintakan oleh kedua orang tua pihak
pria maupun pihak wanita untuk mengajukan permohonan dispensasi kepada pengadilan atau pejabat
lain. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada kasus penetapan Nomor 0066/Pdt.P/2010/PA.JS yang
kronologi kasusnya dapat diuraikan sebagai berikut.

Pada kasus ini yang mengajukan permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
yaitu orangtua pihak laki-laki. Diajukannya permohonan dispenasai nikah tersebut disebabkan karena
calon mempelai laki-laki belum mencapai syarat untuk melangsungkan pernikahan yaitu 19 tahun,
sedangkan calon mempelai laki-laki tersebut telah melakukan hubungan badan di luar nikah sehingga
mengakibatkan kehamilan pada wanita yang dipacarinya dan usia kandungan telah menginjak usia 6
bulan. Agar bayi yang dilahirkan dikemudian hari sebagai anak sah, maka kedua orangtua pihak laki-laki
dan perempuan sepakat untuk mengawinkan dengan cara melakukan upaya permohonan dispensasi
nikah.

Berdasarkan penetapan pengadilan agama, hakim mengabulkan permohonan dan menetapkan memberi
izin dispensasi nikah kepada anak pemohon untuk menikahkan dengan calon istri anak pemohon. Selain
itu, hakim pengadilan agama juga memerintahkan kepada Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan
Kebayoran Lama, Jakarta Selatan untuk menikahkan anak pemohon dengan calon isterinya.

Beberapa hal yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama mengabulkan permohonan
dispensasi nikah tersebut antara lain:

1. Calon suami
2. Anak pemohon sebagai calon suami menyatakan sangat mencintai calin istrinya dan tidak mau
dipisahkan;
3. Sudah ada kesiapan untuk menjadi seorang suami dan sudah bekerja sehingga mampu untuk
menafkahi istrinya.
4. Calon Isteri
5. Calon istri mencintai dan tidak mau dipisahkan dengan calon suaminya karena sudah hamil 6
bulan;
6. Calon istri akan menikah atas dasar suka sama suka dan tidak ada paksaan.
Selain pertimbangan tersebut, hakim mempertimbangkan pula bahwa anak Pemohon dengan calon
istrinya sudah berhubungan intim sehingga calon istrinya sudah hamil 6 bulan dan hubungan mereka
sudah demikian eratnya sehingga orang tua mereka kawatir kalau tidak segera dinikahkan akan terjadi
pelanggaran hukum agama yang berkepanjangan serta menimbulkan kemadharatan. Sedangkan
menghindari kemadharatan (kerusakan) lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan (kebaikan)
sesuai dengan kaidah fikihiyah dalam dalam kitab Al Asbah Wa Al Nadhlir.

Walaupun anak pemohon masih kurang umurnya dari 19 tahun yaitu berumur 18 tahun, namun majelis
hakim berpendapat karena sudah bekerja serta sudah mempunyai penghasilan sendiri, sehingga secara
biologis sudah cukup dewasa dan apabila menikah dapat memberikan nafkah kepada isterinya sehingga
tidak akan menggangu kesehatan istri maupun anak yang dilahirkannhya. Berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tersebut, hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengabulkan permohonan dispensasi
nikah orang tua pemohon dan menyatakan anak pemohon dapat melangsungkan perkawinan dengan
calon istreinya.

1. Data Hasil Wawanara Berkaitan Dengan Dispensasi Nikah dan Perlindungan Anak
Data hasil wawancara ini, pada dasarnya adalah untuk melengkapi hasil penelitian mengenai dispensasi
nikah anak di bawah umur pada kasus Penetapan Nomor 0066/Pdt.P/2010/PA.JS yang dihubungkan
dengan perlindungan anak. Oleh karena itu, penulis melakukan wawancara dengan pihak terkait seperti
berikut ini:

Aida Yahya, Wakil Panitera Pengadilan Agama Jakarta Selatan

Banyak kasus permohonan dispensasi nikah yang diajukan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, salah
satunya yaitu kasus Penetapan Nomor 0066/Pdt.P/2010/PA.JS. Berbagai macam alasan permohonan
dispensasi perkawinan diajukan oleh para pihak yang berkepentingan, diantaranya adalah anak yang
akan melangsungkan perkawinan menyatakan kehendak untuk berumah tangga dengan segala
konsekwensinya atau telah siap lahir batin, merasa tidak melanggar hukum agama karena telah akil
baligh, telah dilamar atau tunangan dan khawatir kalau terjerumus perbuatan yang dilarang agama, orang
tua siap mendukung moril atau materil dan lain sebagainya.

Alasan yang lain juga ditemukan karena baik calon mempelai pria maupun wanita belum memenuhi
cukup umur sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan. Pada umumnya,
pengajuan dispensasi nikah dikarenakan pihak wanita telah hamil dahulu di luar nikah. Ada juga
permohonan dispensasi nikah yang diajukan karena orangtua merasa khawatir terhadap pergaulan
anaknya yang sudah berhubungan sedemikian akrabnya, maka untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan yang dilarang agama, orangtua berinisiatif menikahkan anaknya meskipun usianya belum
mencukupi. Permohonan dispensasi nikah tersebut sebagian besar dikabulkan oleh hakim.

Adanya dipensasi nikah dalam Undang-Undang Perkawinan apabila dilihat dari kacamata hukum
perlindungan anak, beliau mengungkapkan bahwa masalah dispensasi nikah anak di bawah umur
mendapat perhatian masyarakat luas beserta kontroversinya, dan hal ini terlihat bukan menyentuh aspek
materiil perkawinannya (pelanggaran-pelanggaran dalam perkawinan seperti pelanggaran usia,
pelanggaran persyaratan), akan tetapi lebih menekankan kepada aspek adanya perampasan hak asasi
manusia terutama hak kebebasan anak.

Pernikahan pada usia anak-anak dilihat dari aspek perlindungan anak dianggap merupakan tindakan
melanggar hukum, karena tindakan tersebut dianggap suatu perampasan terhadap hak-hak anak.
Padahal pernikahan pada usia anak-anak akan berdampak kriminal ketika memenuhi adanya unsur
diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan
penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya, yang harus dibuktikan sesuai hukum dan
peraturan perundangan yang berlaku.

1. Analisis Dispensasi Nikah Terhadap Anak Si Bawah Umur Pada Kasusu Penetapan Nomor
: 0066/PDT.P/PA.JS Menurut Undang-undang Perlindungan Anak
Di dalam hukum Islam maupun hukum adat tidak ada ketentuan batasan umur perkawinan. Begitu
seseorang memasuki masa baligh, maka sebenarnya ia sudah siap untuk menikah. Usia baligh ini
berhubungan dengan penunaian tugas-tugas biologis seorang suami maupun seorang isteri. Demikian
juga dalam hukum adat tidak ada ketentuan batas umur untuk melakukan pernikahan. Biasanya
kedewasaan seseorang dalam hukum adat diukur dengan tanda-tanda bangun tubuh, apabila anak
wanita sudah haid (datang bulan), buah dada sudah menonjol berarti ia sudah dewasa. Bagi laki-laki
ukurannya dilihat dari perubahan suara, postur tubuh dan sudah mengeluarkan air mani atau sudah
mempunyai nafsu seks.

Sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia, di dalam pergaulannya muncul suatu permasalahan
yang terjadi dalam masyarakat, yaitu hamil sebelum nikah. Untuk menutupi rasa malu dan agar anak
yang dikandung memiliki ayah, orang tua segera menikahkan anaknya dengan laku-laki yang
menghamilinya. Namun yang menjadi permasalahan adalah bagaimana jika salah satu pihak belum
mencukup usia untuk melakukan perkawinan sebagaimana yang disyaratkan dalam undang-undang
perkawinan sebagaimana dalam kasus Penetapan Nomor 0066/PDT.P/2010/PA.JS.

Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan menganalisis tentang dispensasi
nikah terhadap anak di bawah umur pada kasus Penetapan Nomor 0066/PDT.P/2010/PA.JS menurut
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Perlindungan Anak dengan permasalahan apakah dispensasi
nikah terhadap anak di bawah umur pada Kasus Penetapan Nomor 0066/PDT.P/2010/PA.JS merupakan
suatu bentuk perlindungan anak?

Batasan usia perkawinan ini dipertegas lagi oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 15 ayat (1)
yaitu harus didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga. Kemaslahatan
keluarga dan rumah tangga. Terhadap kemaslahatan anak yang akan melangsungkan perkawinan
tentunya harus lebih diutamakan di atas kepentingan orangtua dan keluarganya.

Perkawinan di bawah umur dapat dicegah dan dibatalkan. Pasal 60 KHI dan juga Pasal 13 sampai
dengan Pasal 28 undang-undang perkawinan menyebutkan pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila
calon suami atau calon isteri tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut
hukum Islam dan perundang-undangan. Sedangkan di antara syarat perkawinan menurut hukum Islam
adalah calon mempelai laki-laki dan perempuan sudah aqil baligh, sehat rohani dan jasmani.

Selain itu, terdapat delapan asas atau prinsip perkawinan dalam undang-undang perkawinan,
diantaranya adalah asas kedewasaan calon mempelai. Maksudnya setiap calon suami dancalon isteri
yang hendak melangsungkan akad pernikahan, harus benar-benar telah matang secara fisik maupun
psikis. Berbagai hal yang telah diuraikan di atas harus menjadi dasar pertimbangan para pihak
khususnya pengadilan ketika menghadapi permasalahan hukum terkait dengan perkawinan di bawah
umur.

Hikmah disyariatkannya perkawinan adalah terciptanya keluarga sakinah, serta dalam rangka
memperoleh keturunan. Perkawinan merupakan fitrah yang bisa tercapai pada usia di mana calon
mempelai telah sempurna akal pikirannya serta siap melakukan proses reproduksi.

Hikmah perkawinan di sini lebih berorientasi pada terwujudnya kesejahteraan lahir bathin bagi para
pelakunya dansebagai media untuk meneruskan keturunan atau kesinambungan nasab.Perkawinan akan
semakin menjadi jelas dan sangat penting eksistensinya ketika dilihat dari aspek hukum. Perkawinan
dipandang sebagai suatu perbuatan hukum (rechtsfeit) yakni perbuatan dan tingkah laku subjek hukum
yang membawa akibat hukum, karena hukum mempunyai kekuatan mengikat subjek hukum atau karena
subjek hukum itu terikat oleh kekuatan hukum.

Perkawinan di sini tidak hanya dilihat sebagai sebuah ibadah semata, akan tetapi perkawinan juga
merupakan perbuatan hukum yang mempunyai berbagai konsekwensi akibat hukum. Di sinilaharti
pentingnya perkawinan di atur dalam sebuah peraturan perundangan untuk melindungi masyarakat.
Membicarakan perlindungan anak sangat erat hubungannya dengan hak asasi manusia. Instrumen hak
asasi manusia, yang bersifat internasional (Internasional Human Rights Law) ataupun yang sudah
diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia, tidak menyebutkan secara eksplisit tentang batas usia
perkawinan. Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child 1990 yang telah diratifikasi
melalui Keppres No. 36 Tahun 1990) tidak menyebutkan usia minimal perkawinan selain menyebutkan
bahwa yang disebut anak adalah mereka yang berusiadi bawah 18 tahun.

Setiap negara konvensi diwajibkan melindungi dan menghadirkan legislasi yang ramah anak (the best
interest of the child) termasuk regulasi tentang perkawinan. Kepentingan yang terbaik harus diberikan
kepada anak baik dalam hal hak-hak anak maupun kesejahteraan anak. Konvensi tentang kesepakatan
untuk melangsungkan perkawinan, umur minimum menikah dan pencatatan pernikahan (Convention on
Consent to Marriage) tahun 1964 menyebutkan bahwa negara peserta konvensi ini akan mengupayakan
lahirnya legislasi untuk mengatur permasalahan usia minimum untuk melangsungkan perkawinan dan
bahwasanya perkawinan yang dilakukan di luar usia minimum yang ditetapkan adalah tidak berkekuatan
hukum, terkecuali otoritas yang berwenang menetapkan dispensasi tertentu dengan alasan yang wajar
dengan mengedepankan kepentingan pasangan yang akan menikah.

Di dalam konvensi ini, juga membuka peluang munculnya perkawinan di bawah umur yaitu
dengan persyaratan adanya dispensasi dari otoritas yang berwenang. Meskipun Indonesia belum
menjadi negara yang meratifikasi konvensi 1964 tersebut, namun Indonesia telah menetapkan usia
minimum perkawinan sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yaitu umur 16 tahun bagi wanita dan umur 19 tahun bagi pria.

Lahirnya Undang-Undang Perkawinan terpaut sepuluh tahun dari konvensi internasional Convention on
Consent to Marriage. Di dalam Undang-Undang Perkawinan ini juga telah mereduksi aturan tentang
pemberian dispensasi perkawinan. Di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa anak adalah seseorang yang berusia di bawah 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Di dalam undang-undang ini juga
tidak disebutkan secara eksplisit tentang usia minimum bagi anak untuk melangsungkan perkawinan.
Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dinyatakan bahwa anak
adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah menikah. Batas Usia 21 tahun
ditetapkan berdasarkan pertimbangan usaha kesejahteraan anak, dimana kematangan sosial, pribadi
dan mental seseorang anak dicapai pada umur tersebut.

Pada dasarnya perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya dua hal yaitu hak-hak anak
dan kesejahteraan anak. Apapun perbuatan yang dilakukan oleh orang tua atau para pihak yang terlibat
dengan anak harus memperhatikan dua tujuan tersebut. Kepentingan terbaik bagi anak harus
didahulukan. Para pihak yang terlibat dengan dispensasi perkawinan harus memperhatikan dengan
sungguh-sungguhakan hak-hak anak dan juga kesejahteraan anak baik lahiriyah maupun bathiniyah,
baik fisik maupun psikis. Dalam hal ini yang dimaksud hak-hak anak adalah berbagai kebutuhan dasar
yang seharusnya diperoleh anak untuk menjamin kelangsungan hidup, tumbuh kembang
dan perlindungan dari segala bentuk perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran terhadap anak, baik
yang mencakup hak sipil, ekonomi, sosial dan budaya.

Orang tua memegang peranan yang cukup penting terhadap terwujudnya perlindungan anak dan
kesejahteraan anak. Meskipun undang-undang perkawinan telah mengatur batasan usia minimal
perkawinan bagi laki-laki berumur 19 tahun dan bagi wanita berumur 16 tahun, orang tua tidak boleh
serta merta mengizinkan atau merestui perkawinan tersebut. Orang tua harus mampu berfikir jernih dan
bijaksana dalam mengambil keputusan terkait perkawinan bagi anak-anak mereka. Orang tua wajib
mencegah terjadinya perkawinan apabila dirasa perkawinan tersebut justru akan mengakibatkan hal-hal
negatif bagi calon mempelai. Orang tua memikul tanggungjawab sepenuhnya atas segala akibat negatif
dari perkawinan anak-anaknya.

Kewajiban orang tua ini sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (1) huruf (c) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selanjutnya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) telah memberkan perlindungan hukum bagi anak-anak khususnya wanita yang karena
sesuatu hal terikatdengan perkawinan. Perlindungan hukum ini tercermin dari adanya sanksi pidana bagi
seseorang yang bersetubuh dengan wanita di bawah umur. Pasal 288 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
KUHP menyatakan bahwa:

Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau
sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk kawin, apabila
mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Jika mengakibatkan luka-luka berat diancam pidana penjara paling lamadelapan tahun dan
Jika mengakibatkan mati diancam pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pada kasus Penetapan Nomor 0066/PDT.P/2010/PA.JS, dalil atau alasan yang disampaikan oleh
pemohon dispensasi nikah di pengadilan, yaitu karena anak pemohon telah melakukan berhubungan
intim di luar nikah sehingga sang pacar mengandung 6 bulan. Disamping itu karena kedua orang tua
pemohon sudah sama-sama setuju untuk menikahkan dan untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan, Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengabulkan permohonan tersebut.

Menurut penulis, perkawinan terhadap anak di bawah umur sudah selayaknya dihindari karena untuk
menjamin hak-hak anak. Namun, karena kondisi sudah hamil terebih dahulu dan untuk menghindari hal-
hal yang tidak diinginkan, maka dispensasi sebagai alternatif terakhir dapat diajukan ke pengadilan
agama dengan mempertimbangkan hal-hal yang terbaik bagi anak.

Pernikahan dibawah umur oleh pasangan yang belum memenuhi batas usia pernikahan pada
hakekatnya merupakan suatu pernikahan yang dilakukan oleh seseorang pada usia anak-anak, hal ini
sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa anak merupakan seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Masalah pernikahan anak di bawah umur merupakan persoalan yang selalu mengemuka seiring dengan
munculnya berbagai faktor yang melatarbelakanginya. Salah satu faktornya yaitu adanya hamil di luar
nikah sehingga jalan yang sering ditempuh oleh orangtua yaitu mengajukan permohonan dispensasi
nikah melalui pengadilan agama.

Alasan tersebut sedikit banyak mempengaruhi sikap para hakim di pengadilan atau pejabat lain yang
ditunjuk dalam mengambil keputusan untuk memberikan izin dispensasi kawin bagi para pihak.
Sementara itu setiap anak yang belum berumur 18 tahun harus mendapatkan perlindungan akan hak-hak
anak dan kesejahteraannya sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang perlindungan anak.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Aida Yahya dan Soetan Budhi bahwa faktor-faktor yang
menyebabkan dikabulkannya permohonan dispensasi nikah pada anak di bawah umur oleh hakim
pengadilan agama lebih dikarenakan karena kondisi pihak perempuan sudah hamil di luar nikah. Selain
itu, Roslani lebih menegaskan bahwa hati nurani dan kebaikan hakim dapat menjadi faktor dikabulkannya
dispensasi nikah terhap anak kasus anak hamil di luar nikah.
Pada kasus Penetapan Nomor 0066/PDT.P/2010/PA.JS, hakim mengabulkan permohonan dispensasi
nikah dengan berpedoman kaidah fikih bahwa menghindari kemadharatan (kerusakan) lebih diutamakan
daripada menarik kemaslahatan (kebaikan). Artinya disini hakim mengambil keputusan tersebut untuk
menghindari kerusakan yang lebih besar yang akan ditimbulkannya di kemudian hari.

Menurut penulis, secara yuridis, hakim telah tepat mengabulkan permohonan dispensasi nikah tersebut
dikarenakan dasar hukum sebagai pijakan untuk mengambil keputusan tersebut telah sesuai dengan
Undang-Undang Perkawinan yang memperbolehkan seorang anak di bawah umur dapat melangsungkan
pernikahan dengan cara mengajukan dispensasi nikah (Pasal 7 ayat (2)). Meskipun undang-undang telah
menentukan usia nikah yaitu 16 tahun bagi perempuan dan 18 tahun bagi laki-laki, disisi lain pengadilan
agama secara yuridis diberikan kewenangan dalam hal dispensasi nikah sebagai jalan keluar untuk
mengatasi timbulnya kerusakan yang lebih besar. Namun, disini pengadilan agama tidak
menggampangkan terjadinya pernikahan pada anak di bawah umur.

Apabila dilihat dari sudut pandang hukum perlindungan anak, penulis tidak sependapat dengan ketiga
narasumber yang mengemukakan bahwa perkawinan anak di bawah umur bukan merupakan suatu
bentuk perlindungan anak, karena pernikahan pada usia anak-anak dianggap sebagai tindakan
melanggar hukum, dan tindakan tersebut dianggap suatu perampasan terhadap hak-hak anak. Bahkan
dispensasi merupakan bentuk pengabaian terhadap perlindungan anak. Meskipun demikian, bahwa
adanya dispensasi nikah yang diberikan oleh pengadilan agama bertujuan untuk menghindari tekanan
atau stress, anak yang dilahirkanpun menjadi kekuasaan hukum, agar anak tidak malu menjadi bahan
cemoohan.

Dalam kasus dispensasi nikah yang diakibatkan seorang perempuan hamil di luar nikah, dalam kondisi
seperti ini penulis perbendapat bahwa dispensasi nikah merupakan jalan satu-satunya yang harus
ditempuh sebagai bentuk perlindungan dan pencegahan terhadap mudharat (kerusakan) yang lebih
besar yang akan ditimbulkannya. Termasuk juga dikabulkannya permohonan dalam kasus Penetapan
Nomor 0066/PDT.P/2010/ PA.JS, sebagai perlindungan terhadap anak yang akan dilahirkan serta kondisi
psikologis baik kedua mempelai maupun keluarga secara keseluruhan.

Apabila melihat ketentuan Pasal 26 ayat 1 huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang
Perlindungan Anak dengan tegas melarang terjadinya pernikahan anak di bawah umur yang belum
mencapai usia 18 tahun. Begitu juga batasan usia nikah dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menegaskan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah
umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun. Namun, pada
saat yang sama Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan di dalamnya juga memperbolehkan seseorang untuk mengajukan permohonan dispensasi
nikah. Adanya hal demikian, penulis berpendapat bahwa adanya kontradiksi antara undang-undang
perlindungan anak dan undang-undang perkawinan perihal perkawinan anak di bawah umur. Untuk itu,
adanya kontradiksi pasal-pasal dari kedua undang-undang tersebut dibutuhkan ketelitian yang mendalam
bagi seorang hakim dalam mencari titik temu dalam penyelesaian dispensasi nikah anak di bawah umur
khususnya untuk kasus hamil di luar nikah.

Melihat hal demikian, pada intinya undang-undang perlindungan anak tetap dapat dijadikan sebagai
bahan dalam memutuskan perkara yang berkaiatan dengan usia pernikahan, namun tetap saja tidak
dapat menutup kemungkinan terjadinya dispensasi nikah yang juga memiliki sandaran yuridis dalam
perundang-undangan. Perlu diketahui pula bahwa dispensasi nikah merupakan aturan khusus sementara
undang-undang perlindungan anak tepatnya Pasal 26 ayat (1) huruf c yang melarang terjadinya
pernikahan bagi seorang anak yang belum mencapai usia delapan belas tahun merupakan aturan yang
bersifat umum.

PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian analisis di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Dispensasi nikah terhadap anak di bawah umur pada Kasus Penetapan Nomor
0066/PDT.P/2010/PA.JS merupakan suatu bentuk perlindungan anak dan terhadap anak yang
akan dilahirkan. Dispensasi nikah yang dikabulkan oleh pengadilan agama bertujuan untuk
menghindari tekanan atau stress, anak yang dilahirkanpun menjadi kekuasaan hukum, agar
anak tidak malu menjadi bahan cemoohan.
2. Hakim yang mengabulkan permohonan dispensasi nikah pada kasus anak di bawah umur yang
hamil di luar nikah sudah tepat karena telah berpedoman pada Undang-Undang Perkawinan
yang memperbolehkan seorang anak di bawah umur dapat melangsungkan pernikahan, dengan
mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak. Dispensasi nikah sendiri merupakan bentuk
tanggung jawab orang tua terhadap anak yang telah mengalami kecelakaan.
1. Saran
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, beberapa hal yang dapat penulis sarankan adalah sebagai
berikut:

1. Orangtua perlu mendidik anak dalam perkembangan anak dan pemerintah hendaknya
mamasukkan pendidikan seks di dalam kurikulim pendidikan.
2. Hakim dalam menangani permohohonan dispensasi nikah hendaknya mempertimbankan pula
undang-undang perlindungan anak.
3. Perlu adanya sinkronisasi antara Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang
Perkawinan tentang perkawinan anak di bawah umur atau perkawinan usia dini yaitu dengan
merevisi Undang-Undang Perkawinan khususnya Pasal 7 ayat (2) mengenai dispensasi nikah
yang secara tidak langsung mengizinkan pernikahan di bawah umur, karena apabila
dihubungkan dengan Pasal 26 ayat (1) huruf c kedua ketentuan tersebut saling bertentangan.

You might also like