You are on page 1of 3

PERUBAHAN FUNGSI PERNAFASAN

Perubahan dalam fungsi pernafasan disebabkan penyakit dan kondisi-kondisi


yang mempengaruhi ventilasi atau transpor oksigen. Ketiga perubahan primer
tersebut adalah hiperventilasi, hipoventilasi, dan hipoksia.

Hiperventilasi

Tujuan ventilasi ialah menghasilkan tegangan karbondiaksoda di arteri yang


normal (PaCO2) dan mempertahankan tegangan oksigen diarteri yang normal
(PaO3) (Dettenmeier, 1992). Hiperventilasi dan hipoventilasi berkaitan dengan
ventilasi alveolar dan bukan berkaitan dengan frekuensi pernafasan klien.

Hiperventilasi merupakan suatu kondisi ventilasi yang berlebih, yang dibutuhkan


untuk mengeliminasi karbondiaksoda normal di vena, yang diproduksi melalui
metabolisme selular. Hiperventilasi dapat disebabkan oleh ansietas, infeksi, obat-
obatan, ketidakseimbangan asam-basa, dan hipoksia yang berkaitan dengan
embolus paru atau syok. Ansietas akut dapat mengarah kepada hiperventilasi
dan menyebabkan kehilangan kesadaran akibat ekshalasi karbon diaksoda yang
berlebihan. Demam menyebabkan hiperventilasi. Untuk setiap peningkatan satu
derajat Fahrenheit, terdapat peningkatan kecepatan metabolisme sebesar 7%,
sehingga menyebabkan peningkatan produksi karbondioksida. Respon klinis
yang dihasilkan ialah peningkatan frekuensi dan kedalaman pernapasan.

Hiperventilasi juga disebabkan oleh kimiawi. Keracunan salisilat (aspirin)


menyebabkan kelebihan stimulasi pada pusat pernafasan karena tubuh
berusaha mengompensasi kelebihan karbondioksida. Amfetamin juga
meningkatkan ventilasi dengan meningkatkan produksi karbondioksida.

Hiperventilasi juga dapat terjadi ketika tubuh berusaha mengompensasi asidosi


metabolik dengan memproduksi alkalosis respiratorik. Ventilasi meningkat untuk
menurunkan jumlah karbon diosida yang tersedia untuk membentuk asam
karbonat.

Hiperventilasi alveolar menghasilkan banyak tanda dan gejala yang dapat dikaji.
Hemoglobiln tidak membebaskan oksigen ke jaringan dengan mudah sehingga
terjadi hipoksia jaringan. Apabila gejala memburuk, klien menjadi lebih terganggu,
yang pada tahap lanjut akan meningkatkan frekuensi pernapasan dan
menyebabkan alkalosis respiratorik.

Hipoventilasi

Hipoventilasi terjadi ketika ventilasi alveolar tidak adekuat memenuhi kebutuhan


oksigen tubuh atau mengeliminasi karbondioksida secara akurat. Apabila
ventilasi alveolar menurun maka PaCO2 akan meningkat. Atelektasis akan
menghasilkan hipoventilasi. Atelektasis merupakan kolaps alveoli yang
mencegah pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam pernafasan. Karena
alveoli kolaps, maka paru yang diventilasi lebih sedikit dan menyebabkan
hipoventilasi.

Pada klien yang menderita penyakit obstruksi paru, pemberian oksigen yang
berlebihan dapat mengakibatkan hipoventilasi. Klien beradaptasi terhadap kadar
karbondioksida yang tinggi dan kemoreseptor yang peka pada karbondioksida
pada hakikatnya tidak berfungsi. Klien ini terstimulus untuk bernafas jika PaO2
menurun. Apabila jumlah oksigen yang diberikan berlebihan, maka kebutuhan
oksigen dipenuhi dan stimulus untuk bernafas negatif. Konsentrasi oksigen yang
tinggi (misal lebih besar dari 24 % sampai 28% [1 sampai 3 liter/menit])
mencegah penurunan PaO2 dan menghilangkan stimulus untuk bernafas,
sehingga terjadi hipoventilasi. Retensi CO2 yang berlebihan menyebabkan henti
nafas.

Tanda dan gejala hipoventilasi tertera dalam kotak di bawah. Apabila tidak
ditangani, maka kondisi klien akan menurun dengan cepat. Akibatnya, dapat
terjadi kebingungan, tidak sadar, dan kematian.

Terapi untuk menangani hiperventilasi dan hipoventilasi dimulai dengan


mengobati penyebab yang mendasari gangguan tersebut, kemudian tingkatkan
oksigenasi jaringan, perbaiki fungsi ventilasi, dan upayakan keseimbangan
asam-basa.

Hipoksia

Hipoksia adalah oksigenasi jaringan yang tidak adekuat pada tingkat jaringan.
Kondisi ini terjadi akibat defisiensi penghantaran oksigen atau penggunaan
oksigen diselular. Hipoksia dapat disebabkan oleh (1) penurunan kadar
hemoglobin dan penurunan kapasitas darah yang membawa oksigen, (2)
penurunan konsentrasi oksigen yang diinspirasi, (3) ketidakmampuan jaringan
untuk mengambil oksigen dari darah, seperti yang terjadi pada kasus keracunan
sianida, (4) penurunan difusi oksigen dari alveoli ke darah, seperti yang terjadi
pada kasus pneumonia, (5) perfusi darah yang mengandung oksigen di jaringan
yang buruk, seperti yang terjadi pada syok, dan (6) kerusakan ventilasi, seperti
yang terjadi pada fraktur iga multipel atau trauma dada.

Tanda dan gejala klinis hipoksia termasuk rasa cemas, gelisah, tidak mampu
berkonsentrasi, penurunan tingkat kesadaran, pusing, perubahan perilaku. Klien
yang mengalami hipoksia tidak mampu berbaring, tampak letih dan gelisah.
Perubahan tanda vital meliputi peningkatan frekuensi nadi dan peningkatan
prekuensi dan kedalaman pernafasan. Selama tahap awal hipoksia, tekanan
darah meningkat, kecuali jika kondisi tersebut disebabkan syok. Seiring dengan
semakin memburuknya hipoksia, maka frekuensi pernafasan menurun sebagai
akibat keletihan otot pernafasan.
Sianosis, suatu perubahan warna kulit dan membran mukosa menjadi kebiruan
akibat adanya hemoglobin yang tersaturasi di kapiler, merupakan tanda hipksia
tahap lanjut. Ada tidaknya sianosis bukan merupakan alat ukur status oksigenasi
yang dapat dipercara. Sianosis pusat, yang terlihat di lidah, palatum mole, dan
konjungtiva mata, tempat aliran darah tinggi, mengindikasikan hipokasemia.
Sianosis perifer, yang terlihat pada ekstremitas, bantalan kuku, dan daun telinga
seringkali merupakan akibat vasokonstriksi dan aliran darah yang mengalami
stagnansi.

Hipoksia merupakan kondisi yang mengancam kehidupan. Apabila tidak


ditangani, kondisi ini menyebabkan disritmia jantung, yang mengakibatkan
kematian. Hipoksia ditangani dengan pemberian oksigen dan mengobati
penyebab yang mendasari hipoksia, seperti obstruksi jalan nafas.

You might also like