You are on page 1of 5

ANALISA PROSES NEGOSIASI: SENGKETA AIR

KABUPATEN KLATEN KOTA SURAKARTA

(PERSPEKTIF: KOTA SURAKARTA)

Disusun oleh :
Mario Wahyu Slamet Harenda
10430001

ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SLAMET RIYADI

SURAKARTA

2013
1. Pendahuluan

Pasca reformasi tahun 1998 munculah suatu sistem baru yakni otonomi daerah.
Dalam sistem tersebut, masing masing daerah diperbolehkan untuk mengurusi rumah
tangga nya sendiri. Mulai dari mencari pendapatan sendiri hingga mengelola sumber
daya alam yang ada di masing masing daerah. Peran pemerintah pusat saat ini sangatlah
kecil. Implikasi dari hal tersebut adalah daerah berlomba lomba meningkatkan
pendapatannya. Banyak daerah hanya asal ngawur saja dalam proses peningkatan
pendapatan ini. Ada daerah yang meningkatkan pajak, menarik pajak pada benda/obyek
yang seharusnya tidak terkena pajak, hingga monopoli sumber daya alam yang ada di
daerahnya.

Sebenarnya tujuan utama dari sistem otonomi daerah ini adalah kesejahteraan
masyarakat. Diharapkan dengan adanya pelimpahan wewenang dari pemerintah ke pusat
ke daerah ini akan lebih efektif, karena daerah dianggap sebagai pihak yang bersentuhan
langsung dengan masyarakat. Namun banyak daerah salah menerima maksud dari
pemerintah pusat ini. Banyak daerah sekarang ini menganggap otonomi daerah sebagai
suatu kompetisi antar daerah untuk menjadi daerah yang paling kaya di negeri ini. Untuk
itu saat ini daerah lebih berfokus kepada peningkatan Pendapatan Asli Daerah atau PAD.

Begitu juga yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Klaten dalam kasus
sengketa air dengan Pemerintah Kota Surakarta. Pemerintah Kabupaten Klaten sebagai
pemilik sumber daya (dalam hal ini air) melakukan monopoli terhadap sumber daya yang
dimilikinya tersebut. Sedangkan di pihak lain, Pemerintah Kota Surakarta selama ini
sangat tergantung dengan mata air yang dimiliki oleh Kabupaten Klaten tersebut. Bahkan
data menunjukan bahwa lebih dari 50% pasokan air yang diambil Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM) Kota Surakarta berasal dari Klaten.

Lalu langkah negosiasi apa yang sudah dan akan dilakukan oleh Pemerintah Kota
Surakarta dalam menyelesaikan masalah tersebut? Untuk itu penulis berniat untuk
menelitinya lebih dalam. Makalah ini memiliki tujuan untuk menganalisa proses
negosiasi yang dilakukan oleh Pemkot Surakarta dalam menyelesaikan sengketa air
tersebut.
2. Pembahasan

Sengketa air antara Pemerintah Kabupaten Klaten dengan Pemerintah Kota


Surakarta ini kembali mencuat ke permukaan setelah Pemkab Klaten ingin menaikan
harga air demi meningkatkan pendapatan daerahnya. Hal tersebut membuat Pemerintah
Kota Surakarta yang posisinya dalam kasus ini sebagai konsumen merasa dirugikan
karena harus membayar lebih dari harga sebelumnya. Tingkat ketergantungan Kota
Surakarta terhadap sumber mata air Cokro yang ada di Kabupaten Klaten ini sangatlah
tinggi.

Pihak Kabupaten Klaten meminta kontribusi dari Pemkot Solo sebesar 2,1
Miliyar, sedangkan DPRD Solo hanya mengizinkan kontribusi untuk air sebesar 1,5
Miliyar. Berbagai cara sudah ditempuh baik bertemu secara langsung maupun mediasi
melalui Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Semua usaha tersebut masih menemui
kebuntuan. Bahkan kedua kepala daerah (Solo dan Klaten) saling sindir dan tidak jarang
saling melontarkan ancaman di media. Menurut saya hal tersebut bukanlah jalan yang
baik dalam menyelesaikan masalah sengketa ini.

Jika melihat dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat 3 jelas
menyebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Maka
seharusnya kepada Bupati Klaten dapat lebih arif lagi dalam membuat kebijakan. Karena
dalam ayat tersebut jelas tertulis tujuan dari pemanfaatan sumber daya alam termasuk air
adalah untuk kemakmuran rakyat. Dan kata rakyat disini merujuk pada rakyat
Indonesia, bukan rakyat Klaten saja atau Solo saja.

Negosiasi ditingkat Pemerintahan Provinsi pun juga gagal karena masing


masing pihak tetap teguh pada pendiriannya. Memang dalam sebuah forum negosiasi
masing masing pihak membawa kepentingan masing masing yang harus di
perjuangkan, namun jika ini berjalan terus menerus maka mustahil suatu maslah bisa
terselesaikan melalui forum negosiasi. Masing masing pihak seharusnya juga melirik
kepada BATNA (Best Alternative to a Negotiated Agreement) sebagai second worst
options dimana masing masing pihak mau sedikit mengalah demi tercapainya kata
sepakat, dan akhirnya tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

Opsi yang bisa diambil dan disepakati adalah Pemerintah Kota Surakarta tetap
membayar kontribusi sebesar 1,5 Miliyar Rupiah kepada Kab. Klaten, dan Pemerintah
Kabupaten Klaten tetap mengalirkan air ke Kota Solo. Karena jika penulis lihat opsi ini
tidak akan menimbulkan kerugian bagi Pemkab Klaten dan bahkan malah saling
menguntungkan. Klaten mendapatkan pendapatan daerah dan Kota Solo mendapat
pasokan air. Jika ditinjau dari ilmu sains, Pemkab Klaten juga akan tetap untung
mengingat volume air di bumi sifatnya adalah tetap.
3. Kesimpulan

Proses negosiasi yang sedang berjalan antara kedua belah pihak memang terbilang
cukup alot mengingat yang disengketakan adalah sumber daya alam. Saran yang penulis
berikan adalah agar sumber mata air ini dapat diambil alih saja oleh Pemerintah Provinsi
Jawa Tengah. Hal ini didasarkan pada UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3. Potensi konflik juga
akan berkurang jika sumber mata air ini dikelola Pemprov. Selanjutnya mengenai
distribusi air juga akan diatur oleh Pemprov Jateng. Alternatif lain adalah Pemerintah
Kota Surakarta harus berusaha untuk mencari sumber mata air di dalam Kota Solo
sendiri, sehingga nantinya Kota Solo tidak lagi terlalu tergantung dengan daerah lain.

You might also like