You are on page 1of 24

MAKALAH ANALISIS INVESTASI TAMBANG

PERPAJAKAN PERTAMBANGAN

FAJRURRAHMAN

D621 15 015

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN

GOWA
2017

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan penyusunan
makalah ini dan alhamdulillah tepat pada waktunya. Makalah ini berjudul Pengenalan
Perpajakan Pertambangan. Penyusunan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Analisis Investasi Tambang pada semester ganjil tahun
2017/2018. Dalam makalah ini diuraikan tentang pajak yang perlu dikeluarkan oleh
industri pertambangan dan undang-undang yang mengatur perpajakan petambangan di
Indonesia.
Kami menyadari, penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna serta masih
banyak kekurangan. Penyusun mohon kritik dan saran dari rekan-rekan semua kearah
kesempurnaan makalah ini. Saya mengucapkan terimakasih kepada Dosen Mata Kuliah
Analisis Investasi Tambang atas bimbingannya dan rekan-rekan yang terlibat di
dalamnya, sehingga makalah ini dapat tersusun. Akhir kata kami berharap, makalah ini
bermanfaat bagi semua pihak.

Gowa, 15 Septembar 2017

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................. i

DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1

1.2 Tujuan ................................................................................................ 3

1.3 Manfaat .............................................................................................. 3

BAB II PAJAK DAN ROYALTI PERTAMBANGAN

2.1 Definisi Pajak....................................................................................... 4

2.2 Sistem Perpajakan Kompetitif................................................................ 4

2.3 Jenis-Jenis Pajak Pertambangan ............................................................ 6

2.4 Royalti Bahan Tambang........................................................................ 7

2.5 Jenis-Jenis Royalti ................................................................................ 7

2.6 Rekomendasi Penyusunan Pajak Pertambangan ..................................... 8

2.7 Pendapatan Dari Pertambangan Minerba ............................................... 9

2.8 Potensi Penerimaan Pajak Pertambangan ............................................... 12

2.9 Kendala Optimalisasi Pajak Pertambangan: Eksternal dan Internal ........... 15

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ......................................................................................... 19

3.2 Saran .................................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 20

ii
i
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai potensi sumber daya alamyang


menjanjikan yakni berupa mineral dan bahan tambang sebagai penopangkelanjutan
kehidupan bangsa. Indonesia telah menjadi produsen timah kedua terbesar di dunia,
eksportir batubarathermal ketiga terbesar di dunia, penghasil tembaga ketiga terbesar
di dunia dan berada pada urutan kelima dan ketujuh untuk masing masing produksi nikel
dan emas. Indonesia menjadi tuan rumah bagi pertambangan kelas dunia, termasuk
tambangtembaga dan emas Grasberg di Irian Jaya, tambang tembaga Batu Hijau di
Sumbawa, tambang Nikel di Inco Soroako, Kaltim Prima Coal di Kalimantan Timur
danpenambangan Timah dari PT Timah di Bangka. Sektor pertambangan sebagai salah
satu primadona dari sumber penerimaan negara memainkan peran yang penting dalam
pembangunan ekonomi nasional.
Kendati Indonesia mengalami krisis ekonomi dan keuangan yang cukup
parah,industri pertambangan tetap dapat menyumbangkan pendapatan yang berarti
bagi negara. Sejak diundangkannya Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuanPokok Pertambangan dan selanjutnya Undang-undang No. 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, sektor pertambangan kita mengalami
transformasi yang mengesankan. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk
memperbaiki iklim investasi dengan menyederhanakan proses perijinan, transparansi,
keringanan pajak,penegakan hukum dan pemantapan situasi keamanan dengan harapan
meningkatkansumber penerimaan negara dari sektor pajak. Namun demikian
kegiatanpertambangan ilegal, peraturan pajak yang dinilai kurang mendukung serta
lemahnyakoordinasi antara pusat dan daerah merupakan kendala yang dihadapi industry
pertambangan sehingga menyebabkan arus investasi yang masuk ke Indonesia kurang
optimal.
Negara telah menjamin pengelolaan sumber daya alam tersebut
sebagaimanadiatur dalam Pasal 33 UUD 1945 Amandemen keempat, yang dinyatakan
bahwa :Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

1
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Atas hal
tersebut negara mempunyai hak menguasai atas sumber daya alamsebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Pokok AgrariaNo. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Namun demikian ketentuan dalam
Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan
(selanjutnya disebut UU No. 11 Tahun1967) mempunyai penafsiran yang berbeda
mengenai hak menguasai. Hal inisebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum pada
bagian penjelasan pokokpersoalan yang dinyatakan bahwa: ....Negara menguasai
semua bahan-bahan galian dengan sepenuh-penuhnya untuk kepentingan negara serta
kemakmuran rakyat, karena bahan-bahan galian tersebut adalah merupakan kekayaan
nasional.
Perbedaan penafsiran kedua ketentuan tersebut di atas yang bersumber pada
Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 Amandemen ke-4 menunjukkan jika ketentuan
Pasal 33 UUD 1945 tersebut tidak memberikan rumusan yang jelas mengenai
batasanpengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam oleh Negara. Menurut Bagir
Manan menyatakan apabila pengertian hak penguasaan negaradipahami secara umum,
termasuk hal-hal di luar bumi, air dan ruang angkasa sertakekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, maka unsur utama penguasaan negaraadalah untuk mengatur
dan mengurus (regelen en besturen). Oleh karena negara adalah badan hukum publik
dan penguasaannya dalam lingkuphukum publik, maka sifat pengalihan hak pengusaan
itu tunduk kepada kaidahkaidahhukum publik yang banyak terkait dengan ajaran
kewenangan. Sifatpengalihan hak penguasaan adalah pelaksanaan atau
penyelenggaaan dalam bentukpenguasaan pertambangan kepada pemegang Kuasa
Pertambangan. Dengan demikian bentuk pengelolaan dan pemanfaatan pertambangan
tidaksepenuhnya berada di tangan negara, namun dapat diserahkan kepada badan
hukumatau perseorangan dengan suatu kuasa pertambangan, kontrak karya atau
kontrak. production sharing (kontrak bagi hasil). Adapun konsekuensi dari
pelimpahantersebut badan hukum atau perseorangan yang telah mempunyai suatu
kuasapertambangan, kontrak karya atau kontrak production sharing kontrak bagi hasil
akan mendapatkan hak kepemilikan yang sifatnya tidak absolut atas
pengusahaanpertambangan setelah memenuhi sejumlah persyaratan atau kewajiban
sebagaimanaditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Salah satu kewajiban dari pemilik bahan galian yang sudah ditambang
adalahmembayar sejumlah pungutan yang berhubungan dengan izin pertambangan,

2
yakniberupa iuran tetap pertambangan, iuran eksplorasi, iuran eksploitasi, dan/
ataupembayaran-pembayaran lain yang berhubungan dengan kuasa pertambangan
yangbersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU No. 11 Tahun 1967.
Selanjutnya pungutan tersebut merupakan salah satu komponen dari
penerimaannegara. Penerimaan negara diartikan sebagai penerimaan pemerintah dalam
arti yangseluas-luasnya yaitu yang meliputi penerimaan pajak, penerimaan yang
diperolehdari hasil penjualan barang dan jasa yang dimiliki dan dihasilkan oleh
pemerintah,pinjaman pemerintah, mencetak uang dan sebagainya.Pada hakekatnya
sangatsusah untuk menarik suatu batas yang jelas dari macam-macam sumber
penerimaannegara karena belum adanya suatu pengaturan yang tegas mengenai hal
tersebutdalam beberapa literatur. Sumber-sumber penerimaan negara dapat
dikelompokkan menjadi penerimaandari sektor: pajak; kekayaan alam; bea dan cukai;
retribusi; iuran; sumbangan; labadari badan usaha milik negara, sumber-sumber lain.

2.2 Tujuan

Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :


1. Mengetahui pajak yang perlu dikeluarkan oleh industri pertambangan
2. Memahami undang-undang yang mengatur perpajakan petambangan di
Indonesia
3. Mengetahui kondisi dan perkembangan pajak pertambangan di Indonesia

2.3 Manfaat

Manfaat dari penyusunan makalah ini yaitu pembaca dapat mengetahui kondisi
serta perkembangan pajak pertambangan di Indonesia dan Undang-undang yang
berlaku dalam perpajakan tersebut.

3
BAB 2

PAJAK DAN ROYALTI PERTAMBANGAN

2.1 Definisi Pajak

Definisi pajak dalam pertambangan dapat ditinjau dari dua sisi yaitu berdasarkan
perspektif pemerintah dan perspektif perusahaan. Perspektif pemerintah mendefinisikan
perpajakan sebagai pajak pendapatan yang diperoleh dari perusahaan sebagai royalti
maupun pajak lainnya. Perpajakan sebagai dimensi sosial dan politik, selain berfungsi
sebagai pendapatan negara juga berfungsi sebagai instrumen pendorong atau
penghambat investasi. Perspektif perusahaan mendefinisikan perpajakan sebagai
keseluruhan pendapatan perusahaan yang dibayarkan kepada pemerintah. Pajak berupa
kewajiban penyerahan saham tanpa bayaran (free equity) termasuk kewajiban menjual
produksi tambang dibawah harga pasar.

2.2 Sistem Perpajakan Kompetitif

Sistem perpajakan kompetitif menurut perusahaan pertambangan:


1. Responsif terhadap upaya pencapaian keuntungan; tidak ada halangan untuk
meraih keuntungan secara wajar; kemungkinan pengembalian investasi secara
cepat.
2. Mempertimbangkan variasi pendapatan perusahaan dengan beban pajak adaptif
disaat harga rendah.
3. Stabilitas, dapat diprediksi dan transparan sehingga mengurangi risiko usaha.
4. Sistem yang mendistorsi komponen biaya dan mendorong timbulnya inefisiensi
sebaiknya tidak diterapkan.
5. Pemberian pajak rendah di awal produksi.
Penerapan pajak menurut pemerintah ditetapkan berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan berikut ini:
1. Mendukung stabilitas makro ekonomi dengan upaya memperoleh pendapatan
yang dapat diperkirakan dan stabil

4
2. Mengantisipasi disaat perusahaan mendapatkan keuntungan besar (atau kecil)
disatu sisi atau memiliki biaya operasi perusahaan rendah (atau besar) di sisi
lain
3. Bersifat sederhana, mudah secara administratif, pungutan rendah dan
kemungkinan menghindarinya kecil.
4. Memperhitungkan nilai sekarang (present value) pendapatan perusahaan
5. Sistem perpajakan secara ekonomi bersifat netral dan efisien.
Karakteristik sistem perpajakan harus memenuhi kriteria berikut:
1. Netralitas
Pengenaan pajak terhadap perusahaan pertambangan diharapkan dapat
mendorong perusahaan untuk bekerja lebih efisien. Pajak membuat perusahaan
tidak mengeluarkan biaya yang tidak terkait dengan bisnis utamanya yang
membuat perusahaan inefisien. Semakin netral sistem perpajakan, maka
semakin rendah dampaknya terhadap keputusan investasi.
2. Efisiensi
Efisiensi diukur melalui alokasi dan optimalisasi sumberdaya secara tepat agar
tidak terjadi kegagalan pasar. Hal ini dapat dilakukan dengan menginternalisasi
dampak kegiatan pertambangan (biaya eksternal) dan pajak merupakan salah
satu bentuk internalisasi biaya eksternal.
3. Kesetaraan
Kesetaraan adalah keadilan berdasarkan kemampuan membayar (ability to pay)
dari setiap pembayar pajak.
4. Kejelasan
Sistem perpajakan harus jelas dan mudah dipahami untuk menghindari
kesalahan penafsiran. Sistem perpajakan yang menganut kejelasan dapat
menekan biaya pemungutan pajak, transaksi, dan adiministrasi.
5. Stabilitas
Stabilitas berarti adanya kepastian hukum dalam sistem perpajakan. Stabilitas
sangat penting bagi perusahaan pertambangan sebagai bahan informasi untuk
menghitung break even point secara tepat.
Filosofi penerapan pajak memenuhi komponen-komponen berikut:
1. Tujuan pengenaan

5
Pajak yang dikenakan harus jelas, karena tujuan pengenaan bervariasi mulai dari
ketegasan kepemilikan bahan tambang, distribusi kesejahteraan hingga sumber
pendapatan bagi negara.
2. Basis pengenaan
Basis pengenaan pajak bervariasi, misalnya pajak yang dihitung atas volume
produksi atau nilai bahan tambang.
3. Tarif pengenaan
Tarif pengenaan hendaknya dijelaskan penentuan tarif dan besarnya biasanya
bervariasi.
4. Tatalaksana pengenaan
Sistem perpajakan yang baik membutuhkan peraturan administrasi dan teknis
yang jelas dan mudah dipahami oleh para pembayar pajak.

2.3 Jenis-Jenis Pajak Pertambangan

Pajak pertambangan terdiri dari tiga jenis, yaitu:

1. Rente Ekonomi (Economic Rents)


Rente ekonomi merupakan jenis pajak berupa royalti yang dikenakan atas dasar
produksi, pendapatan, atau keuntungan. Pemerintah berpartisipasi dalam bentuk
free equity dan up-front bonus payment, yaitu pembayaran bonus di depan yang
dibayarkan saat perusahaan mengikuti lelang mendapatkan hak atas lahan.
Menurut sudut pandang teoritik, rente ekonomi menunjukkan windfall profit,
yaitu pajak dibayarkan atas keuntungan yang berlebih akibat peningkatan harga
komoditas barang.
2. Pajak User-Pay
Pajak user pay didasarkan pada pertimbangan perusahaan membayar kepada
pemerintah yang telah memberikan jasa pelayanan atau informasi. Jasa
pelayanan oleh pemerintah dapat berjalan baik melalui pungutan pajak user pay.
Oleh karena itu, dikenakan pungutan untuk beberapa kepentingan pelayanan
jasa pemerintahan, seperti pungutan terhadap akses lahan, ijin lahan (dead
rent), payroll taxes, dan pajak properti. Pungutan-pungutan pajak dikenakan
terhadap akses lahan guna merawat fasilitas seperti jalan dan jembatan.
Pungutan diberlakukan pula atas ijin lahan (dead rent) yang digunakan untuk
membiayai pengeluaran bentuk-bentuk administrasi lahan, menyusun, dan

6
memperbaharui basis data potensi cebakan tambang. Payroll taxes dikenakan
untuk pembayaran pelayanan sosial. Pajak properti untuk mendanai proyek
publik seperti jalan dan jembatan.
3. Pajak Corporate Citizenship
Pajak corporate citizenship terdiri dari beberapa jenis pajak, seperti:
a. Pajak pendapatan perusahaan
b. Pajak pertambahan nilai
c. Pajak penjualan
d. Bea dan cukai
Pajak dapat dihitung dengan menggunakan persamaan umum (Blank and
Tarquin, 1989), yaitu:
T=TIxt
dimana:
T = pajak
t = persentase pajak
TI = pendapatan kotor pengeluaran depresiasi

2.4 Royalti Bahan Tambang

Royalti dapat memengaruhi biaya variabel perusahaan. Hal ini dipengaruhi oleh
beberapa kelebihan dan kelemahan royalti.
Kelebihan royalti adalah:
1. Mengikuti volume produksi bahan tambang
2. Memberikan pendapatan yang stabil bagi pemerintah
3. Mudah dihitung, dipungut, dan diawasi
Kelemahan royalti adalah:
1. Tidak peka terhadap perubahan harga, kecuali royalti yang dirumuskan dengan
mempertimbangkan fluktuasi harga
2. Bersifat regresif, tidak didasarkan ability to pay
3. Kurang memenuhi konsep netralitas dan efisiensi

2.5 Jenis-Jenis Royalti

Royalti terdiri dari tiga jenis, yaitu:

1. Royalti Unit-Based

7
Royalti yang dikenakan atas dasar basis volume atau tonase bahan tambang
yang dieksploitasi. Keuntungannya mudah dipahami dan dihitung, mudah
diverifikasi dan diaudit, menghasilkan pendapatan stabil dan dapat diprediksi
oleh pemerintah. Kelemahannya tidak peka terhadap perubahan harga, biaya
operasi, tidak memperhitungkan kadar atau kualitas bahan tambang, tidak peka
terhadap kondisi aliran kas perusahaan terutama di saat awal produksi.
2. Royalti Value-Based atau ad-Valorem
Royalti dihitung berdasarkan basis nilai penjualan bahan tambang.
Keuntungannya dapat memperhitungkan harga jual dan kualitas bahan tambang.
Kelemahannya tidak peka terhadap perubahan harga, biaya operasi, dan tidak
peka terhadap kondisi aliran kas perusahaan terutama di saat awal produksi.
3. Royalti Profit-Based
Royalti dihitung berdasarkan keuntungan bersih operasional penambangan.
Keuntungannya royalti ini ditentukan berdasarkan tingkat keuntungan,
memperhitungkan tonase terjual dan perubahan harga bahan tambang, peka
terhadap aliran kas perusahaan. Kelemahan royalti ini adalah sulit diverifikasi.
Royalti ini dapat dikategorikan sebagai pajak pendapatan. Artinya, jika
perusahaan merugi maka pemerintah tidak mendapat pembayaran royalty,
padahal bahan tambang telah diambil.
Di Indonesia royalti termasuk Pendapatan Negara Bukan Pajak, diantaranya
berbentuk iuran produksi, yaitu iuran atas produksi bahan tambang yang wajib
dibayarkan oleh produsen kepada pemerintah atas upaya yang dilakukan untuk
mengeksploitasi bahan tambang tersebut. Indonesia menerapkan royalty jenis unit-
based, misalnya dalam COW, dan royalty jenis ad-valorem, misalnya dalam Penerimaan
Negara Bukan Pajak, dan tidak ada royalti profit-based.

2.6 Rekomendasi Penyusunan Pajak Pertambangan

Perencana sebaiknya memahami bahwa pengenaan pajak akan berakibat pada


pencapaian tingkat profitabilitas pertambangan yang tengah berjalan dan juga potensi
investasi di masa depan. Perencana sebaiknya tidak hanya mempertimbangkan tujuan
pengenaan satu jenis pajak tunggal tetapi juga akumulasi dampak keseluruhan pajak
yang dibebankan kepada pelaku usaha dan mengurangi jenis pajak yang tidak
didasarkan ability to pay perusahaan. Implementasi sistem perpajakan secara
transparan dan jelas akan mendorong tumbuhnya akuntabilitas publik. Pelaku usaha
8
dapat pula membantu pemerintah dengan melakukan kajian kualitatif dampak suatu
pajak terhadap aktivitasnya. Perlu dipahami bahwa dari perspektif ekonomi makro,
tujuan perpajakan adalah maksimasi net present value dari social benefit industri
pertambangan secara jangka pendek, bukan jangka panjang.

2.7 Pendapatan Dari Pertambangan Minerba

Kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan


usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah
mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada
pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan. Pada
umumnya suatu perusahaan yang bergerak dibidang pertambangan mempunyai siklus
usaha sebagai berikut :
1. Penyelidikan umum;
2. Eksplorasi;
3. Studi Kelayakan;
4. Konstruksi;
5. Pertambangan/Eksploitasi;
6. Reklamasi

Gambar 2.1 Proses Penambangan dalam Industri Pertambangan.

9
Masing-masing proses tersebut terdapat kewajiban perpajakan yang harus
dipenuhi oleh perusahaan. Berikut diampaikan kewajiban perpajakan masing-masing
siklus:
1. Penyelidikan Umum: Untuk menentukan potensi mineral pada suatu daerah perlu
dilakukan pengujian geologis, untuk itu dibutuhkan jasa dari pihak peneliti
geologis untuk melakukan Penelitian. Atas jasa tersebut terutang PPN dan PPh
Pasal 23/26 tergantung siapa yang melaksanakan.
2. Eksplorasi: Adalah rangkaian kegiatan penelitian, pengujian kandungan mineral,
pemetaan wilayah dan kegiatan lainnya yang dibutuhkan untuk mendapatkan
informasi tentang lokasi, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya serta info
lingkungan sosial dan lingkungan hidup. Diperlukan jasa dari pihak ketiga yang
akan terutang PPN dan PPh Pasal 23/26 tergantung pihak yang melaksanakan.
3. Studi Kelayakan: Dilakukan untuk mendapatkan informasi kelayakan ekonomis
dan teknis pertambangan dan proses analisis mengenai dampak lingkungan dan
perencanaan pasca tambang, studi kelayakan tersebut memuat data dan
keterangan mengenai usaha tambang tersebut. Proses ini dilakukan oleh pihak
ketiga yang ahli mengenai hal tersebut. Atas jasa pengujian tersebut terutang
PPN dan PPh Ps 23.
4. Konstruksi: Setelah diketahui bahwa proyek pertambangan layak secara
ekonomis teknis dan lingkungan, maka dilakukan pembangunan infrastruktur.
Pembangunan infrastruktur biasanya dilakukan oleh perusahaan konstruksi. Jasa
akan terutang PPN dan PPh Pasal 4 ayat (2) atas jasa konstruksi.
5. Pertambangan/Eksploitasi: Kegiatan ini biasanya meliputi Land clearing (proses
pembukaan lahan), Pengeboran dan penggalian, pengolahan/pemurnian,
pengangkutan dan penjualan. Atas jasa yang dilakukan oleh pihak ketiga
terutang PPh Pasal 23/26 dan PPN.
6. Reklamasi: Adalah proses rehabilitasi lingkungan yang rusak akibat kegiatan
penambangan. Apabila proses reklamasi dilakukan oleh pihak ketiga maka akan
terutang PPh Pasal 23/26 dan PPN.
Selain jenis pajak tersebut diatas, juga terdapat kewajiban pembayaran pajak
atas PPh Pasal 21 yaitu untuk pegawai tetap, pegawai tidak tetap, orang pribadi yang
bukan pegawai atas upah yang diterima. Selain hal-hal diatas, harus diperhatikan juga
tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

10
1. Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009
Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pada:
a. Pasal 1 Angka 1 menyatakan bahwa Pertambangan adalah sebagian atau
seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan
pengusahaan mineral atau batubara yang rneliputi penyelidikan umum,
eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan
pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang;
b. Pasal 128 menyatakan bahwa Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar
pendapatan negara dan pendapatan daerah. Pendapatan negara yang
dimaksud yang terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan negara
bukan pajak. Adapun penerimaan pajak yang dimaksud terdiri atas pajak-
pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan serta bea masuk
dan cukai. Sedangkan penerimaan negara bukan pajak terdiri atas iuran
tetap, iuran eksplorasi, iuran produksi, dan kompensasi data informasi.
Dalam hal pendapatan daerah terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah
dan pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2. Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985
Tentang pajak Bumi dan Bangunan yang menjadi obyek pajak bumi dan
bangunan adalah bumi dan/atau bangunan dan yang menjadi subyek pajak
adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi,
dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai,
dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan
3. Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-16/PJ.6/1998
Tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada Pasal 1 Angka 8, Sektor
Pertambangan adalah objek Pajak Bumi dan Bangunan yang meliputi areal usaha
penambangan bahan-bahan galian dari semua golongan yaitu bahan galian
strategis, bahan galian vital dan bahan galian lainnya;
4. Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-16/PJ.6/1998
Tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada Pasal 8, Besarnya Nilai Jual
Objek Pajak atas objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas selain
Pertambangan Energi Panas Bumi dan Galian C ditentukan sebagai berikut:

11
a. Areal Produktif adalah sebesar 9,5 x hasil bersih galian tambang dalam satu
tahun sebelum tahun pajak berjalan.
b. Areal belum produktif, tidak produktif dan emplasemen serta areal lainnya
didalam atau diluar wilayah kuasa pertambangan, adalah sebesar Nilai Jual
Objek Pajak berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya.
c. Objek Pajak berupa bangunan adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak
sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 15.
5. Sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-47/PJ.6/1999
Tentang Penyempurnaan Tata Cara Pengenaan Pbb Sektor Pertambangan Non
Migas Selain Pertambangan Energi Panas Bumi Dan Galian C Sebagaimana Diatur
Dengan Surat Edaran Nomor : Se-26/Pj.6/1999, pengenaan PBB atas areal belum
produktif dan areal tidak produktif disempurnakan dengan memperhitungkan
tahapan kegiatan penambangan sebagai berikut:
a. Penyelidikan umum, adalah sebesar 5% dari luas areal Wilayah Kuasa
Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana
ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak atas nama Menteri Keuangan;
b. Eksplorasi pada tahun ke-satu s/d ke-lima, masing-masing sebesar 20%
dari luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek
Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan;
c. Eksplorasi untuk perpanjangan I dan II, adalah sebesar 50% dari luas
areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa
tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan;
d. Pembangunan Fasilitas Eksploitasi (konstruksi) sampai dengan produksi
adalah luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek
Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan.

2.8 Potensi Penerimaan Pajak Pertambangan

Sebelum memulai aktivitas penambangan, usaha pertambangan harus memiliki


Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan oleh Bupati/walikota, Gubernur, dan

12
Menteri tergantung dari letak wilayah pertambangan yang diatur di Peraturan
Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara. IUP dibagi menjadi 2 yaitu IUP eksplorasi dan IUP produksi.
Berdasarkan data yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dari
rekapitulasi data per April 2014 Ditjen Minerba, terdapat 10.922 IUP di seluruh
Indonesia. Dengan adanya IUP, sebuah usaha pertambangan dapat memulai kegiatan
eksplorasi dan produksi. Produksi dilakukan untuk mendapatkan bahan galian yang
diinginkan kemudian dijual ke pasar yang ada baik dalam negeri maupun luar negeri.
Pendapatan yang diterima perusahaan tersebut akan dikenakan pajak penghasilan yang
harus dibayarkan ke negara. Dari sistem pajak itulah negara kita mendapatkan
pendapatan dari sektor pertambangan.

Data diatas adalah penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) pada tahun 2012 tetapi masih dapat merepresentasikan pada tahun 2013.
Data tersebut menunjukkan bahwa potensi PPh pada sektor pertambangan penggalian
sebesar 140,96 triliun tetapi yang dapat direalisasikan hanya sebesar 43,48 triliun berarti
30,8% besar pajak yang diterima negara sedangkan 70,2% hilang karena banyaknya
perusahaan yang belum membayar pajak.

13
Potensi dan realisasi ini berbeda besar dalam hal jumlah, salah satu penyebabnya
adalah masih banyak perusahaan yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP). Untuk membayar pajak diperlukan NPWP sebagai sarana untuk administrasi
perpajakan. Data Ditjen Pajak Maret 2014, ada 7.754 perusahaan pemegang IUP, 3.202
di antaranya belum teridentifikasi NPWP-nya. Hal ini berakibat hilangnya sebagian
pemasukan negara dari pajak pertambangan.
Kesalahan ini diakibatkan oleh 2 pihak yaitu pihak pemberi izin IUP dan pihak
pengelola pajak. Di PP No. 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral Dan Batubara diatur bahwa untuk mendapatkan IUP terdapat
salah satu persyaratan administrasi yaitu perusahaan harus memiliki NPWP. Dengan
banyaknya perusahaan yang tidak memiliki NPWP berarti terdapat kesalahan dalam
sistem yang berjalan selama ini. Seharusnya perusahaan yang belum memiliki NPWP
maka tidak diperkenankan untuk mendapatkan IUP.
Pihak pemberi izin IUP terkadang mengeluarkan izin namun tidak memiliki data
produksi dari perusahan-perusahaan yang sudah diberikan izin. Sehingga, terdapat
perbedaan antara jumlah IUP dari pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kita
bisa menganggap bahwa perbedaan data ini juga berpengaruh pada sistem
pengawasannya terkait perpajakan. Kita harus mengevaluasi sistem yang digunakan
saat ini. Sebelum kita berpikir jangka panjang untuk melakukan penambahan nilai akan
mineral yang ada di indonesia, seharusnya kita perbaiki dulu sistem agar pendapatan
negara yang didapat itu sesuai dengan potensi sebenarnya.
Ada beberapa hal yang harus kita benahi. Pertama, pihak pemberi IUP yaitu
Bupati/walikota, Gubernur, dan Menteri harus tegas dalam menjalankan hal-hal yang
tertuang dalam PP Nomor 23 Tahun 2010 dan adanya sistem kontrol dari kementrian
ESDM supaya IUP yang keluar memenuhi semua persyaratan yang ada. Kedua, setiap
pemberian izin oleh pihak yang berwenang harus didata yang kemudian dilaporkan ke
pemerintah pusat sehingga tidak ada bias diantara kedua pihak terkait jumlah pemegang
IUP yang ada di Indonesia. Ketiga, Dirjen Pajak bersama dengan Kementerian ESDM
membangun Sistem Pengelolaan Pajak Minerba berbasis IT yang disertai dengan sistem
monitoring dan evaluasinya. Sistem berbasis IT ini terintegrasi secara real time dengan
semua pihak terkait.
Kita harus mengupayakan agar pendapatan yang diterima negara sesuai dengan
potensi yang ada. Dirjen Pajak, Kementerian ESDM, dan KPK dapat bersinergis untuk
memberantas pihak-pihak yang belum membayar pajak ke pemerintah. Penerimaan

14
negara dari sektor pajak sangat penting dalam pemenuhan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) karena 70% pendapatan negara berasal dari pajak. APBN
merupakan perwujudan dari pengelolaan keuangan negara yang merupakan instrumen
bagi Pemerintah untuk mengatur pengeluaran dan penerimaan negara dalam rangka
membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, mencapai
pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan nasional, mencapai stabilitas
perekonomian, dan menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum.

2.9 Kendala Optimalisasi Pajak Pertambangan: Eksternal dan


Internal

Kendala dalam optimalisasi pajak pertambagan berasal dari faktor eksternal


maupun internal Dirjen Pajak. Faktor eksternal berupa modus-modus kecurangan yang
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pertambangan untuk menghindari pajak.
Beberapa modus penghindaran pajak tambang, antara lain dengan penambangan di luar
rencana tahunan, transfer pricing, pengeluaran biaya perusahaan satu grup, kontrak
derivative, pembayaran bungan pinjaman, non deductable cost, dan depresiasi. Jumlah
produksi tahunan mungkin disetujui ESDM, tetapi adanya rencana percepatan pelunasan
bunga dan hutang, menurut perusahaan menambah produksi di luar rencana produksi
tahunan. Modus ini mirip yang terjadi pada perusahaan HPH yang melakukan
penebangan kayu di luar jumlah tebang di RKT (Rencana Kerja Tahunan).
Transfer pricing bisa menjadi modus lain. Dengan membuat anak perusahaan
papan nama di luar negeri, batu bara kalori tinggi dijual dengan harga batu bara kalori
rendah. Nantinya dari perusahaan afiliasi ini, batubara dijual ke end user dengan harga
normal. Modus paling banyak, dengan memperbesar biaya produksi kepada perusahaan
afiliasi dengan mengabaikan prinsip arm length transaction. Pelu dicermati biaya
penggalian tambang karena umumnya dialihdayakan (outsourcing) serta biaya
transportasi (pengapalan) hasil tambang kepada perusahaan pelayaran. Beberapa
perusahaan tambang memiliki anak perusahaan pelayaran dan kereta api, sehingga dari
sini perlu diteliti kewajaran pembebanan biaya.Untuk meminimalkan kerugian kurs,
perusahaan membuat kontrak derivatif untuk mengaman selisih kurs karena emisi surat
utang, pembelian bahan baku, pembelian mesin tambang dan kurs penjualan tambang.
Suatu hal yang tidak lazim jika perusahaan tambang dengan pendapatan dalam dollar
atau valuta asing lainnya, banyak membuat kontrak derivatif seperti hedging dan swap.

15
Jika mengacu pada prinsip akuntansi perusahaan mungkin mengalami kerugian kurs jika
rupiah menguat, tetapi secara cash flow perusahaan tidak mengalami kerugian
apapun.Modus lainnya adalah penerbitan surat utang atau pengajuan kredit
menggunakan SPV (Special Purpose Vehicle) atau perusahaan papan nama di negara
yang membebaskan pajak (tax heaven country). Atas penerbitan surat utang ini,
perusahaan membayar fee kepada SPV tersebut. Padahal SPV tersebut masih ada afiliasi
kepemilikkan dengan pemegang saham perusahaan tambang. Pembayaran fee ini masih
lebih menguntungkan daripada membayar PPh Badan sebesar 25 persen. Pembayaran
fee bisa juga sebagai dividen terselubung.
Perbedaan penyusutan aset antara akuntansi dan pajak, menjadi modus
pengecilan pajak. Perusahaan yang sedang produktif bisa jadi akan membeli aktiva yang
memiliki penyusutan cukup besar seperti alat berat penambangan dan truk pengangkut.
Dalam perhitungan pajak, aktiva tersebut dapat disusutkan dalam waktu lebih cepat
sehingga biaya menjadi besar dan pajak penghasilan mengecil. Namun, dalam
perhitungan akuntansi dengan penyusutan lebih lambat, maka laba perusahaan tetap
lebih besar daripada pendapatan kena pajak. Bisa juga pembelian alat tambang itu
hanya di atas kertas, tidak secara riil semata-mata memperbesar depresiasi fiskal. Perlu
disadari bahwa tidak semua biaya operasional penambangan ada bukti pengeluarannya.
Jika saja ada pengeluaran-pengeluaran tak resmi perusahaan tambang, maka
pengeluaran ini tidak bisa dibiayakan oleh perusahaan (non deductable cost) sebagai
pengurang penghasilan kena pajak.
Kenyataannya, uang tetap keluar, sehingga atas pengeluaran tak resmi tersebut
kemudian di-posting pada neraca perusahaan dengan pos biaya yang berbeda, yang
penting bisa menjadi pengurang penghasilan kena pajak. Selain faktor eksternal tersebut
diatas, permasalahan-permasalahan yang dihadapi Dirjen Pajak juga menjadi kendala
dalam mengoptimalkan penerimaan pajak pertambangan, diantaranya sebagai berikut :
Pertama, penggalian potensi perpajakan tidak maksimal. Penggalian potensi
tidak optimal karena wajib pajak perusahaan migas dan pertambangan tersebar di
banyak KPP, dimana pertugas pada KPP tersebut tidak memiliki pemahaman yang sama
terhadap isi Kontrak Kerjasama Migas dan terhadap isi kontrak karya ataupun isi
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) bagi perusahaan
tambang. Selain itu, tingkat pemahaman para petugas pada masing-masing KPP itu
tehadap Kegiatan Bisnis Migas dan Pertambangan tidak sama dan tidak menyeluruh

16
Kedua, pengawasan dan pelayanan kewajiban perpajakan tidak seragam.
Pengawasab dan pelayanan kewajiban perpajakan tidak seragam karena masing-masing
KPP tidak memahami ketentuan perpajakan yang seharusnya berlaku sesuai Kontrak
Karya / PKP2B bagi wajib pajak perusahaan tambang dan sesuai Kontrak Kerjasama bagi
waib pajak KKKS Migas. Akibatnya, pelaporan dan pengawasan kewajiban perpajakan
tidak sama antara satu KPP dengan KPP lainnya. Kini dengan beroperasinya KPP Migas
dan KPP Pertambangan maka pengawasan kewajiban formal dan material PP Cost
Recovery bagi perusahaan migas dapat ditingkatkan, pelaksanaan pemeriksaan
terhadap wajib pajak KKKS Migas dan Pertambangan dapat lebih diintensifikasikan, dan
pelayanan untuk semua wajib pajak perusahaan migas seragam, demikian pula
pelayanan perpajakan untuk semua wajib pajak perusahaan pertambangan pun sama.
Tentu bukan hanya keseragaman, tetapi juga mutu pelayanan bagi wajib pajak
perusahaan migas dan perusahaan pertambangan akan terus ditingkatkan oleh KPP
Migas dan KPP Pertambangan. Ketiga, pengawasan oleh dan antar instansi pemerintah
(DJP, DJA, BPKP, BP Migas, dan KESDM) kurang terkoordinir.

17
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan


usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah
mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata
kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara
berkelanjutan. Pada umumnya suatu perusahaan yang bergerak dibidang
pertambangan mempunyai siklus usaha yaitu ; Penyelidikan umum; Eksplorasi;
Studi Kelayakan; Konstruksi; Pertambangan/Eksploitasi; Reklamasi. Setiap tahap
tersebut perusahaan wajib mengeluarkan pajak sesuai yang tercantum dalam
Undang-undang. Selain jenis pajak tersebut diatas, juga terdapat kewajiban
pembayaran pajak atas PPh Pasal 21 yaitu untuk pegawai tetap, pegawai tidak
tetap, orang pribadi yang bukan pegawai atas upah yang diterima
2. beberapa undang-undang yang mengatur tentang perpajakan pertambangan di
Indonseia yaitu diantrnya
a. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara
b. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 Tentang pajak
Bumi dan Bangunan
c. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-16/PJ.6/1998 Tentang
Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada Pasal 1 Angka 8
d. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-16/PJ.6/1998 Tentang
Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada Pasal 8
e. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-47/PJ.6/1999 Tentang
Penyempurnaan Tata Cara Pengenaan Pbb Sektor Pertambangan Non
Migas Selain Pertambangan Energi Panas Bumi Dan Galian C.
3. Perkembangan pajak pertambangan di Indonesia yaitu sejak diundangkannya
Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

18
Pertambangan dan selanjutnya Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal, sektor pertambangan Indonesia mengalami transformasi
yang mengesankan. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk
memperbaiki iklim investasi dengan menyederhanakan proses perijinan,
transparansi, keringanan pajak,penegakan hukum dan pemantapan situasi
keamanan dengan harapan meningkatkan sumber penerimaan negara dari
sektor pajak. Namun, dari data penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) pada tahun 2012 tetapi masih dapat merepresentasikan
pada tahun 2013. Data tersebut menunjukkan bahwa potensi PPh pada sektor
pertambangan penggalian sebesar 140,96 triliun tetapi yang dapat direalisasikan
hanya sebesar 43,48 triliun berarti 30,8% besar pajak yang diterima negara
sedangkan 70,2% hilang karena banyaknya perusahaan yang belum membayar
pajak. Potensi dan realisasi ini berbeda besar dalam hal jumlah, salah satu
penyebabnya adalah masih banyak perusahaan yang belum memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP). Untuk membayar pajak diperlukan NPWP sebagai
sarana untuk administrasi perpajakan. Data Ditjen Pajak Maret 2014, ada 7.754
perusahaan pemegang IUP, 3.202 di antaranya belum teridentifikasi NPWP-nya.
Hal ini berakibat hilangnya sebagian pemasukan negara dari pajak
pertambangan. Hal ini mengakibatkan perkembangan pajak di Indonesia
sebenarnya masih minim. Kendala dalam optimalisasi pajak pertambagan berasal
dari faktor eksternal maupun internal Dirjen Pajak. Faktor eksternal berupa
modus-modus kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
pertambangan untuk menghindari pajak. Beberapa modus penghindaran pajak
tambang, antara lain dengan penambangan di luar rencana tahunan, transfer
pricing, pengeluaran biaya perusahaan satu grup, kontrak derivative,
pembayaran bungan pinjaman, non deductable cost, dan depresiasi. Jumlah
produksi tahunan mungkin disetujui ESDM, tetapi adanya rencana percepatan
pelunasan bunga dan hutang, menurut perusahaan menambah produksi di luar
rencana produksi tahunan.

3.2 Saran

Kritik dan saran sangat diperlukan dalam penyusunan makalah ini.

19
DAFTAR PUSTAKA

Ekawan, Rudianto. 2007. Pengenalan Perpajakan Pertambangan. Jakarta: Perhapi


Handi, Suang. Perpajakan Pertambangan Minerba. https://www.academia.edu
/21364195/Perpajakan_PertambanganMinerba/ Potensi Sumber Daya Tambang
Indonesia. http://blog.unsri.ac.id/
Virtanti A, Aryanti. 2014. Buku Ajar Analisis Investasi Tambang. Makassar: Universitas
Hasanuddin

20

You might also like