Professional Documents
Culture Documents
LAPORAN KASUS
. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. N
Usia : 40 Tahun
Pendidikan : SD
Agama : Islam
Status : Menikah
Jumlah anak :2
Pekerjaan : IRT
B. AUTOANAMNESIS
Nyeri perut kanan atas sejak 30 menit SMRS. Muncul secara tiba-tiba dan
menetap selama 15 menit, setelah pasien makan malam dengan soto babat. Nyeri
bersifat tajam seperti ditusuk-tusuk dan menjalar ke bagian punggung belakang.
Keluhan juga disertai dengan nyeri ulu hati, mual dan muntah sebanyak 2 kali. Nyeri
diperberat bila pasien berjalan & berkurang jika beristirahat. Sebelumnya nyeri pernah
dirasakan 1 minggu lalu, namun nyeri hanya dirasakan 5 menit dan mengilang.
1
Pasien tidak mengeluhkan adanya demam, kulit atau mata menjadi kuning, bab
seperti dempul atau bak seperti teh sebelumnya. Riwayat penyakit hipertensi diakui
pasien namun pasien tidak rutin mengkonsumsi obat hipertensi. Riwayat kencing
manis, penyakit jantung, trauma, alergi dan sedang mengkonsumsi obat-obatan
disangkal pasien. Untuk keluhan perutnya ini pasien belum pernah melakukan
pengobatan
C. RIWAYAT PSIKOSOSIAL
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Pasien mengatakan bahwa pola makan
pasien tidak teratur. Frekuensi makan pasien 2-3 kali sehari. Pasien mengaku gemar
sekali mengkonsumsi makanan berlemak seperti mie bakso dan gorengan. Pasien
jarang mengkonsumi sayuran dan buah dalam menu makannya. Pasien mengaku tidak
pernah berolahraga.
D. PEMERIKSAAN FISIK
2
Hidung : Deviasi septum (-), PCH (-/-), sekret -/-
Telinga : Simetris, sekret -/-
Mulut : Mukosa lembab, sianosis (-)
Kelenjar tiroid : Tidak ada pembesaran
JVP : Tidak meningkat
KGB : Tidak teraba pembesaran
Trakea : Tidak ada deviasi
Thoraks : Cor bj I dan II intensitas reguler, murmur -
Pulmo kanan dan kiri : vesikuler
Abdomen
Inspeksi : datar, darm contour (-), darm stefung (-), perubahan warna
kulit (-), jejas operasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) 6x/menit
Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrik (+),
nyeri tekan di area hipokondrium kanan (+),
Murphy sign (-), massa (-), defense muskular (-),
hepar dan lien tidak teraba
Perkusi :
- Timpani seluruh regio abdomen
- Batas paru hepar ICS V kanan midclavicularis dextra, peranjakan 1 cm
- Nyeri ketuk area hipokondrium kanan (+)
- Ruang traube terisi
Ekstremitas
D. PLANNING
3
SGOT/SGPT
Ureum/kreatinin
EKG
USG Kandung empedu
E. ASSESSMENT
F. RESUME
Anamnesa
Abdomen: nyeri tekan hipokondrium kanan (+), nyeri tekan epigastrik (+)
4
Gall bladder : Dinding tidak menebal. Mukosa reguler. Tampak bayangan hyperechoic
dengan post shadow dengan diameter 1 cm dalam kandung empedu.
Kesan: Cholelitiasis
G. RENCANA PENATALAKSANAAN
Non Farmakologi
Farmakologi
5
Amlodipin tab 5 mg 1x1 p.o
FOLLOW UP
O: Kesadaran: CM, Nadi: 80x/menit, T: 36,3 oC, RR: 20x/menit, TD: 140/90mmHg
Status Lokalis
Abdomen: Datar, Supel , BU (+) 6x/menit, seluruh regio timpani, nyeri tekan hipokondrium kanan (+), nyer
P: Rencana Diagnostik
- Konsul dr bedah
Rencana Terapi
Non Farmakologis:
Farmakologis
6
- Sucralfat syr 3x1 C
O: Kesadaran: CM, Nadi: 82x/menit, T: 36,1 oC, RR: 20x/menit, TD: 120/80mmHg
Status Lokalis
Abdomen: Datar, Supel , BU (+) 6x/menit, seluruh regio timpani, nyeri tekan hipokondrium kanan (-),
P: Rencana Diagnostik
Rencana Terapi
Non Farmakologis:
Farmakologis
7
- Sucralfat syr 3x1 C
EDUKASI
Edukasi penyakit
Penjelasan penyakit, ini merupakan penyakit batu empedu yang dapat hilang dengan
dengan obat oral (non-operatif) namun memerlukan waktu dan syarat tertentu
Edukasi Pengobatan
PROGNOSIS
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ANATOMI
Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang
terletak pada permukaan visceral hepar, panjangnya sekitar 7 10 cm.
Kapasitasnya sekitar 30-50 cc dan dalam keadaan terobstruksi dapat
menggembung sampai 300 cc.
Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk
bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar yang dimana fundus
berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX
kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas,
belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam
omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis
membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea
dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral
hati.
Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri
hepatica kanan. Vena cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta.
Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena vena juga berjalan antara hati dan
kandung empedu.
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak
dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi
lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi
lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari plexus
coeliacus.
9
Gambar 1: Anatomi vesica fellea dan organ sekitarnya.
Arteria cystica mengantar darah kepada ductus choledochus dan ductus cysticus. Arteria
cystica biasanya berasal dari ramus dexter arteria hepatica propria di sudut antara ductus
hepaticus communis dan ductus cysticus (Moore K. & Agur A., 2002).
10
2.2. KOLELITIASIS
Kolelitiasis atau batu empedu merupakan gabungan dari beberapa unsur yang
membentuk suatu material yang menyerupai batu yang dapat ditemukan dalam kandung
empedu (kolesistolitiasis) atau di dalam saluran empedu (koledokolitiasis) atau pada kedua-
duanya (Schwartz S., Shires G., Spencer F., 2000).
EPIDEMIOLOGI
Kolelitiasis lebih sering dijumpai pada individu berusia diatas 40 tahun terutama pada
wanita dikarenaan memiliki faktor risiko, diantaranya : obesitas, usia lanjut, diet tinggi lemak
dan genetik (Jong W. & Sjamsuhidajat R., 2005).
Insidens kolelitiasis di negara Barat adalah 20% dan banyak menyerang orang dewasa
dan lanjut usia. Angka kejadian penyakit batu empedu dan penyakit saluran empedu di
Indonesia diduga tidak berbeda jauh dengan angka di negara lain di Asia Tenggara dan sejak
tahun 1980-an angkanya berkaitan erat dengan cara diagnosis dengan ultrasonografi (Jong W.
& Sjamsuhidajat R., 2005).
ETIOLOGI
Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti, adapun faktor predisposisi
terpenting, yaitu :
2. Statis Empedu
Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif,
perubahan komposisi kimia dan pengendapan unsur-unsur tersebut. Gangguan
11
kontraksi kandung empedu atau spasme spingter Oddi atau keduanya dapat
menyebabkan statis. Faktor hormonal (hormon kolesistokinin dan sekretin) dapat
dikaitkan dengan keterlambatan pengosongan kandung empedu (Hadi S., 2002).
FAKTOR RISIKO
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor risiko. Namun, semakin banyak
faktor risiko, semakin besar pula kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor risiko
tersebut antara lain :
Umur
Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah 40 50 tahun. Sangat sedikit
penderita batu empedu yang dijumpai pada usia remaja, setelah itu dengan semakin
bertambahnya usia semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan batu empedu
(Lesmana L., 2000).
Jenis Kelamin
Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan perbandingan
4 : 1. Di Indonesia, jumlah penderita wanita lebih banyak daripada laki-laki (Lesmana
L., 2000).
Obesitas
Pada orang yang mengalami obesitas dengan indeks massa butuh (BMI) tinggi maka
kadar kolestrol dalam kandung empedu sangat tinggi sehingga akan menurunkan garam
empedu dan mengurangi kontraksi atau pengosongan kandung empedu (Lesmana L.,
2000).
Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat mengakibatkan gangguan
terhadap unsur kimia empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung
empedu (Lesmana L., 2000).
Aktivitas fisik
12
Kurangnya aktivitas fisik berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya
kolelitiasis (Lesmana L., 2000).
Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena dalam jangka laa mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi
untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/nutrisi yang melewati intestinal.
Sehingga risiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu
(Lesmana L., 2000)
Tipe batu ini mengandung kristal kasar kekuning-kuningan, pada foto Rontgen terlihat
intinya. Bentuknya bulat dengan diameter 4 cm, dengan permukaan licin atau noduler.
Batu ini tidak mengandung Kalsium sehingga tidak dapat dilihat pada pemotretan sinar-
X biasa.
Batu ini terbentuk bilamana terjadi infeksi sekunder pada kandung empedu yaitu
mengandung batu empedu kholesterol yang soliter di mana pada permukaannya terdapat
endapan pigmen kalsium.
Pigmen kalkuli mengandung pigmen empedu dan berbagai macam kalsium dan matriks dari
bahan organik. Batu ini biasanya berganda, kecil, amorf, bulat, berwarna hitam atau hijau
tua
13
Bagan 1: proses pembentukan batu pigmen
Batu ini adalah jenis yang paling banyak dijumpai ( 80%), dan terdiri atas kolestrol,
pigmen empedu, berbagai garam kalsium dan matriks protein. Biasanya berganda dan
sedikit mengandung kalsium sehingga bersifat radioopaque.
MANIFESTASI KLINIS
Penderita batu kandung empedu baru memberi keluhan bila batu tersebut bermigrasi
menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus, sehingga gambaran klinisnya bervariasi
dari yang tanpa gejala (asimptomatik), ringan sampai berat karena adanya komplikasi.
bilier yang timbul menetap/konstan. Rasa nyeri kadang-kadang dijalarkan sampai di daerah
subkapula disertai nausea, vomitus dan dyspepsia, flatulen dan lain-lain. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan nyeri tekan hipokondrium kanan, dapat teraba pembesaran kandung empedu
dan tanda Murphy positif. Dapat juga timbul ikterus. Ikterus dijumpai pada 20 % kasus,
umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila kadar bilirubin tinggi, perlu
Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien. Nyeri viseral ini
berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus sistikus oleh batu. Dengan istilah
14
kolik bilier tersirat pengertian bahwa mukosa kandung empedu tidak memperlihatkan inflamasi
akut.
Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari, berlangsung lama antara 30
60 menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah epigastrium. Nyeri dapat menjalar ke
abdomen kanan, ke pundak, punggung, jarang ke abdomen kiri dan dapat menyerupai angina
pektoris. Kolik bilier harus dibedakan dengan gejala dispepsia yang merupakan gejala umum
Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat mencegah terjadinya komplikasi
yang berat. Komplikasi dari batu kandung empedu antara lain kolesistitis akut, kolesistitis
kronis, koledokolitiasis, pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier sekunder, ileus batu empedu,
abses hepatik dan peritonitis karena perforasi kandung empedu. Komplikasi tersebut akan
Sebagian besar (90 95 %) kasus kolesititis akut disertai kolelitiasis dan keadaan ini
timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan peradangan organ tersebut.
Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya mempunyai kolelitiasis dan telah sering
mengalami serangan kolik bilier atau kolesistitis akut. Keadaan ini menyebabkan penebalan
dan fibrosis kandung empedu dan pada 15 % pasien disertai penyakit lain seperti koledo
Batu kandung empedu dapat migrasi masuk ke duktus koledokus melalui duktus
sistikus (koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat juga terbentuk di dalam saluran
sulit diramalkan yaitu mulai dari tanpa gejala sampai dengan timbulnya ikterus obstruktif yang
nyata.
Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan tanpa
menimbulkan gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri sehingga timbul
15
pankreatitis akut dan lalu masuk ke duodenum (gallstone pancreatitis). BSE yang tidak keluar
spontan akan tetap berada dalam saluran empedu dan dapat membesar. Gambaran klinis
Diagnosis batu empedu dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan tanda klinis yang
ditemukan pada pemeriksaan fisik. Selain itu, diperlukan pemeriksaan penunjang untuk
kepastian diagnosis. Pmeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain adalah :
Pemeriksaan laboratorium
Tidak ada pemeriksaan yang spesifik untuk batu kandung empedu, kecuali bila terjadi
komplikasi kolesistitis akut bida didapatkan leukositosis, kenaikan kadar bilirubin
darah dan fosfatase alkali. Apabila terjadi sindrom Mirrizi akan ditemukan kenaikan
ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledokus oleh batu (Hadi S., 2002).
1. Uji Ekskresi Empedu
Fungsinya mengukur kemampuan hati untuk mengkonjugasi dan
mengekskresikan pigmen.
16
mengekskresi pigmen empedu. Bilirubin ini akan meningkat bila terjadi
gangguan ekskresi bilirubin terkonjugasi. Nilai normalnya antara 0,1-0,3 mg/dl
(Kee, L.J.).
o Bilirubin Urin/Bilirubinia
Merupakan bilitubin terkonjugasi diekskresi dalam urin bila kadarnya
meningkat dalam serum, mengesankan adanya obstruksi pada sel hati atau
saluran empedu. Urin berwarna coklat bila dikocok timbul busa berwarna
kuning (Kee, L.J.).
17
o Ultrasonografi
Penggunaan USG dalam mendeteksi batu di saluran empedu sensitivitasnya
sampai 98% dan spesifitas 97,7%. Keuntungan lain dari pemeriksaan cara ini
adalah mudah dikerjakan, aman karena tidak infasif dan tidak perlu persiapan
khusus, ditambah pula bahwa USG dapat dilakukan pada penderita yang sakit
berat, alergi kontras, wanita hamil dan tidak tergantung pada keadaan faal hati.
Ditinjau dari berbagai segi keuntungannya, pemeriksaan USG sebaiknya
dipakai sebagai langkah pemeriksaan awal. Dengan pemeriksaan ini bisa
ditentukan lokasi dari batu tersebut, ada tidaknya radang akut, besar batu,
jumlah batu, ukuran kandung empedu, tebal dinding, ukuran CBD (Common
Bile Duct) dan jika ada batu intraduktal (Hadi S., 2002).
o Tomografi Computer
Keunggulan tomografi komputer adalah dengan memperoleh potongan obyek
gambar suara secara menyeluruh tanpa tumpang tindih denagn organ lain,
karena mahalnya biaya pemeriksaan, maka alat ini bukan merupakan pilihan
utama (Hadi S., 2002).
o Kolesistografi
Foto dengan pemberian kontrak baik oral maupun intravena diharapkan batu
yang tembus sinar akan terlihat. Jika kandung empedu tidak tervisualisasikan
sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang dengan dosis ganda zat kontras.
Goldberg dan kawan-kawan menyatakan bahwa reliabilitas pemeriksaan
kolesistografi oral dalam mengidentrifikasikan batu kandung empedu kurang
lebih 75%. Bila kadar bilirubin serum lebih dari 3 mg% kolesistografi tidak
dierjakan karena zat kontras tidak diekskresi ke saluran empedu (Hadi S., 2002).
KOMPLIKASI
Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat mencegah terjadinya komplikasi
yang berat. Komplikasi dari batu kandung empedu antara lain kolesistitis akut, kolesistitis
kronis, koledokolitiasis, pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier sekunder, ileus batu empedu,
abses hepatik dan peritonitis karena perforasi kandung empedu. Komplikasi tersebut akan
mempersulit penanganannya dan dapat berakibat fatal.
18
a. Kolesistitis Akut
Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang paling umum dan sering
meyebabkan kedaruratan abdomen, khususnya diantara wanita usia pertengahan dan manula.
Peradangan akut dari kandung empedu, berkaitan dengan obstruksi duktus sistikus atau dalam
infundibulum. Gambaran tipikal dari kolesistitis akut adalah nyeri perut kanan atas yang tajam
dan konstan, baik berupa serangan akut ataupun didahului sebelumnya oleh rasa tidak nyaman
di daerah epigastrium post prandial (Jong W. & Sjamsuhidajat R., 2005). Nyeri ini bertambah
saat inspirasi atau dengan pergerakan dan dapat menjalar ke punggung atau ke ujung skapula.
Keluhan ini dapat disertai mual, muntah dan penurunan nafsu makan, yang dapat berlangsung
berhari-hari. Pada pemeriksaan dapat dijumpai tanda toksemia, nyeri tekan pada kanan atas
abdomen dan tanda klasik Murphy sign (pasien berhenti bernafas sewaktu perut kanan atas
ditekan). Masa yang dapat dipalpasi ditemukan hanya dalam 20% kasus. Kebanyakan pasien
akhirnya akan mengalami kolesistektomi terbuka atau laparoskopik (Jong W. & Sjamsuhidajat
R., 2005).
b. Kolesistitis Kronis
Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya mempunyai kolelitiasis dan telah sering
mengalami serangan kolik bilier atau kolesistitis akut. Keadaan ini menyebabkan penebalan
dan fibrosis kandung empedu dan pada 15 % pasien disertai penyakit lain seperti
koledokolitiasis, pankreatitis dan kolangitis (Jong W. & Sjamsuhidajat R., 2005).
c. Pankreatitis Akut
Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan tanpa menimbulkan
gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri sehingga timbul pankreatitis akut
dan lalu masuk ke duodenum (gallstone pancreatitis). BSE yang tidak keluar spontan akan tetap
berada dalam saluran empedu dan dapat membesar. Gambaran klinis koledokolitiasis
didominasi penyulitnya seperti ikterus obstruktif, kolangitis dan pankreatitis (Jong W. &
Sjamsuhidajat R., 2005).
19
TERAPI
A. Tindakan Operatif
1. Kolesistektomi
Terapi terbanyak pada penderita kandung empedu adalah dengan operasi. Kolesistektomi
dengan atau tanpa eksplorasi duktus komunis tetap merupakan tindakan pengobatan untuk
penderita dengan batu empedu simptomatik. Pembedahan untuk batu empedu tanpa gejala
masih diperdebatkan, banyak ahli menganjurkan terapi konservatif. Sebagian ahli lainnya
berpendapat lain, mengingat silent stone akhirnya akan menimbulkan gejala-gejala
bahkan komplikasi, maka mereka sepakat bahwa pembedahan adalah pengobatan yang
paling tepat yaitu kolesistektomi efektif dan berlaku pada setiap kasus batu empedu kalau
keadaan umum penderita baik.
1. Adanya gejala yang cukup sering atau parah hingg mengganggu aktivitas pasien
2. Adanya komplikasi dari batu empedu seperti akut cholecystisis, pancreatitis, fistul batu
empedu, dll
3. Adanya penyakit lain yang mempermudah timbulnya komplikasi misalnya DM,
kandung empedu yang tidak tampak pada foto kontras dan sebagainya.
Pasien dengan batu empedu yang besar (diameter lebih dari 3cm) dan pasien yang
mempunyai anomali kongenital dari kandung empedu harus dipertimbangkan untuk
cholecystectomy. Pasien anak-anak dengan cholesystectomy harus di operasi.
2. Obesitas
20
2. Kolesistostomi
B. Tindakan Non-Operatif
1. Terapi Disolusi
- Wanita hamil
Efek samping pengobatan CDCA yang terlalu lama menimbulkan kerusakan jaringan hati,
terjadi peningkatan transaminase serum, nausea dan diare. Asam Ursodioxycholat (UDCA)
merupakan alternatif lain yang dapat diterima dan tidak mengakibatkan diare atau gangguan
21
fungsi hati namun harganya lebih mahal. Pada saat ini pemakaiannya adalah kombinasi
antara CDCA dan UDCA, masing-masing dengan dosis 7,5 mg/kg berat badan/hari.
Dianjurkan dosis terbesar pada sore hari karena kejenuhan cairan empedu akan kolesterol
mencapai puncaknya pada malam hari.
Mekanisme kerja dari CDCA adalah menghambat kerja dari enzim HMG Ko-a reduktase
sehingga mengurangi sintesis dan ekskresi kolesterol ke dalam empedu. Kekurangan lain
dari terapi disolusi ini selain harganya mahal juga memerlukan waktu yang lama serta tidak
selalu berhasil (Devid D., Sabiston, 1994).
ESWL merupakan litotripsi untuk batu empedu dimana dasar terapinya adalah disintegrasi
batu dengan gelombang kejut sehingga menjadi partikel yang lebih kecil. Pemecahan batu
menjadi partikel kecil bertujuan agar kelarutannya dalam asam empedu menjadi meningkat
serta pengeluarannya melalui duktus sistikus dengan kontraksi kandung empedu juga
menjadi lebih mudah (Devid D., Sabiston, 1994).
Setelah terapi ESWL kemudian dilanjutkan dengan terapi disolusi untuk membantu
melarutkan batu kolesterol. Kombinasi dari terapi ini agar berhasil baik harus memenuhi
beberapa kriteria mengingat faktor efektifitas dan keamanannya (Devid D., Sabiston, 1994).
1. Kriteria Munich :
- Batu radiolusen
arah batu
2. Kriteria Dublin :
- Batu radiolusen
22
- Batu radioopak dengan diameter kurang dari 3 cm untuk batu tunggal
maksimal
Terapi ESWL sangatlah menguntungkan bila dipandang dari sudut penderita karena dapat
dilakukan secara rawat jalan, sehingga tidak mengganggu aktifitas penderita. Demikian juga
halnya dengan pembiusan dan tindakan pembedahan yang umumnya ditakutkan penderita
dapat dihindarkan. Namun tidak semua penderita dapat dilakukan terapi ini karena hanya
dilakukan pada kasus selektif. Di samping itu penderita harus menjalankan diet ketat, waktu
pengobatan lama dan memerlukan biaya yang tidak sedikit, serta dapat timbul rekurensi
setelah pengobatan dihentikan. Faal hati yang baik juga merupakan salah satu syarat bentuk
terapi gabungan ini, karena gangguan faal hati akan diperberat dengan pemberian asam
empedu dalam jangka panjang (Devid D., Sabiston, 1994).
ESWL dapat dikatakan sangat aman serta selektif dan tidak invasif namun dalam
kenyataannya masih terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi misalnya rasa sakit di
hipokondrium kanan, kolik bilier, pankreatitis, ikterus, pendarahan subkapsuler hati,
penebalan dinding dan atrofi kandung empedu (Devid D., Sabiston, 1994).
C. Dietetik
Prinsip perawatan dietetik pada penderita batu kandung empedu adalah memberi istirahat
pada kandung empedu dan mengurangi rasa sakit, juga untuk memperkecil kemungkinan
batu memasuki duktus sistikus. Di samping itu untuk memberi makanan secukupnya untuk
memelihara berat badan dan keseimbangan cairan tubuh (Devid D., Sabiston, 1994).
Pembatasan kalori juga perlu dilakukan karena pada umumnya batu kandung empedu
tergolong juga ke dalam penderita obesitas. Bahan makanan yang dapat menyebabkan
gangguan pencernaan makanan juga harus dihindarkan.
Kadang-kadang penderita batu kandung empedu sering menderita konstipasi, maka diet
dengan menggunakan buah-buahan dan sayuran yang tidak mengeluarkan gas akan sangat
membantu.
23
Syarat-syarat diet pada penyakit kandung empedu yaitu :
- Rendah lemak dan lemak diberikan dalam bentuk yang mudah dicerna.
- Cukup kalori, protein dan hidrat arang. Bila terlalu gemuk jumlah kalori
dikurangi.
- Cukup mineral dan vitamin, terutama vitamin yang larut dalam lemak
PENCEGAHAN
24
DAFTAR PUSTAKA
Devid C., Sabiston, 1994, Sistem Empedu, Sars MG, L John Cameron, Dalam Buku Ajar
Bedah, Edisi 2, hal 121, Penerbit EGC, Jakarta
Jong W., Sjamsuhidajat R., 2005, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta
Kee, L.J., Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik. Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta
Lesmana L., 2000, Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1, Edisi 3, hal : 380-
4, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Moore K., Agur A., 2002. Anatomi Klinis Dasar. Hipokrates. Jakarta
Schwartz S, Shires G, Spencer F., 2000, Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery)
Edisi 6, hal : 459-64, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
25