You are on page 1of 41

LAPORAN KASUS BESAR ANESTESI

GENERAL ANESTESI PADA TINDAKAN OPERASI REKONSTRUKSI


TULANG WAJAH SEORANG LAKI LAKI USIA 18 TAHUN

Diajukan untuk melengkapi syarat kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu


Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh :

Bima Utama 22010115210165

Pembimbing :

dr. Arie Faishal

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU ANESTESIOLOGI DAN


TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Bima Utama - 22010115210165

Fakultas : Kedokteran Umum

Judul : GENERAL ANESTESI PADA TINDAKAN OPERASI


REKONSTRUKSI TULANG WAJAH SEORANG LAKI-
LAKI USIA 18 TAHUN

Bagian/SMF : Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran


Universitas Diponegoro Semarang

Semarang,30 September 2016

Pembimbing

dr. Arie Faishal


1

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesia umum merupakan suatu tindakan yang meniadakan nyeri secara


sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversibel).
Keadaaan anestesi ditandai oleh tahap tidak sadar diinduksi, yang selama itu
rangsang operasi hanya menimbulkan respon reflek autonom. Keadaan anestesi
berbeda dengan keadaan analgesia, yang didefinisikan sebagai tidak adanya nyeri
yang ditimbulkan oleh agen narkotika yang dapat menghilangkan nyeri sampai
pasien sama sekali tidak sadar.1
Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasan pasien
dan memantau fungsi vital tubuh pasien selama prosedur anestesi berlangsung.
Anestesi umum diberikan oleh dokter yang terlatih khusus, yang disebut ahli
anestesi, ataupun bisa juga dilakukan oleh perawat anestesi yang berkompeten.1
Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai jaringan
keras dan lunak wajah. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup
kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat
senjata api. Trauma pada wajah sering mengakibatkan terjadinya gangguan
saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak, hilangnya dukungan terhadap
fragmen tulang dan rasa sakit. Oleh karena itu, diperlukan perawatan
kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin.1
Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab dengan persentase yang
tinggi terjadinya kecacatan dan kematian pada orang dewasa secara umum
dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya mengenai batas usia 21-30
tahun. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma
maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Pasien dengan
kecelakaan lalu lintas yang fatal harus menjalani rawat inap di rumah sakit dan
dapat mengalami cacat permanen. Oleh karena itu, diperlukan perawatan
kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin.2

1
2

Cedera maksilofasial, juga disebut sebagai trauma wajah, meliputi cedera


pada wajah, mulut dan rahang. Hampir setiap orang pernah mengalami seperti
cedera, atau mengetahui seseorang yang memiliki.2
Sebagian besar fraktur yang terjadi pada tulang rahang akibat trauma
maksilofasial dapat dilihat jelas dengan pemeriksaan dan perabaan serta
menggunakan penerangan yang baik. Trauma pada rahang mengakibatkan
terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan
lunak,hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Namun, trauma
pada rahang jarang menimbulkan syok dan bila hal tersebut terjadi mungkin
disebabkan adanya komplikasi yang lebih parah, seperti pasien dengan kesadaran
yang menurun tidak mampu melindungi jalan pernafasan dari darah, patahan
gigi.2
Kedaruratan trauma maksilofasial merupakan suatu penatalaksanaan tindakan
darurat pada orang yang baru saja mengalami trauma pada daerah maksilofasial
(wajah). Penatalaksanaan kegawatdaruratan pada trauma maksilofasial oleh dokter
umum hanya mencakup bantuan hidup dasar (basic life support) yang berguna
menurunkan tingkat kecacatan dan kematian pasien sampai diperolehnya
penanganan selanjutnya di rumah sakit. Oleh karena itu, para dokter umum harus
mengetahui prinsip dasar ATLS (Advance Trauma Life Support) yang merupakan
prosedur-prosedur penanganan pasien yang mengalami kegawatdaruratan.2
Prinsip-prinsip untuk mengobati patah tulang wajah adalah sama seperti
untuk patah lengan atau kaki. Bagian-bagian dari tulang harus berbaris (dikurangi)
dan ditahan dalam posisi cukup lama untuk memungkinkan mereka waktu untuk
menyembuhkan. Ini mungkin membutuhkan enam minggu atau lebih tergantung
pada usia pasien dan kompleksitas fraktur itu.3
Untuk mendapatkan hasil yang optimal dibutuhkan cara anestesi yang tepat
pada tindakan transphenoid surgery. Pemilihan cara anestesi dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain umur, status fisik, posisi pembedahan, keinginan
pasien, penyakit penyerta, dan lain sebagainya.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi Umum (General Anesthesia)


Anestesi general atau biasa disebut dengan anestesi umum adalah teknik anestesi
yang digunakan untuk menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral dan
disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel (dapat kembali sadar jika efek
anestesi dihilangkan). Komponen anestesia yang ideal terdiri analgesia, sedasi,
relaksasi.1
Teknik pemberian anestesi general bermacam macam, dapat secara parenteral,
inhalasi, atau dapat pula per-rectal. Obat anestesi general yang diberikan secara
parenteral dapat berupa injeksi intravena (obat yang sering digunakan antara lain
penthotal, ketamin, propofol, etomidate dan golongan benzodiazepin), injeksi
intramuskular (obat yang sering digunakan adalah ketamin), dan per-rectal (obat yang
sering digunakan adalah etomidate untuk induksi anestesi pada pasien anak anak).
Pemberian obat anestesi general dapat yang mana saja tergantung kondisi, indikasi
dan kontraindikasi pasien yang akan dilakukan anestesi.
Dikatakan anestesi general atau anestesi umum karena semua obat anestesi
yang dilakukan secara general anestesi akan memasuki peredaran darah (baik
diberikan secara parenteral, inhalasi ataupun perectal) dan akan didistribusikan ke
seluruh tubuh, sehingga efek anestesi (sedasi, analgesi dan atau relaksasi) akan
mengenai seluruh bagian tubuh, mulai dari sentral maupun perifer.

2.1.1 Sifat-Sifat Anestesi Umum yang Ideal


Sifat anestesi umum yang ideal adalah:
(1) bekerja cepat, induksi dan pemilihan baik
(2) cepat mencapai anestesi yang dalam

2
3

(3) batas keamanan lebar


(4) tidak bersifat toksik
Untuk anestesi yang dalam diperlukan obat yang secara langsung mencapai
kadar yang tinggi di SSP (obat intravena) atau tekanan parsial yang tinggi di
SSP (obat inhalasi). Kecepatan induksi dan pemulihan bergantung pada kadar
dan cepatnya perubahan kadar obat anastesi dalam SSP.5

2.1.2 Stadium anestesi umum


Guedel membagi stadium kedalaman anestesi menjadi 4 stadium dengan
menilai beberapa aspek seperti pernafasan, gerakan bola mata, pupil, tonus otot
dan refleks.6
Stadium I : disebut juga stadium analgesi atau disorientasi. Stadium ini
dimulai sejak diberikan anestesi hingga terjadi hilangnya
kesadaran. Pada stadium ini operasi kecil dapat mulai
dilakukan.
Stadium II: disebut juga stadium delirium atau stadium eksitasi.
Stadium ini dimulai dari hilang kesadaran dan diakhiri
dengan tanda tandan berupa hilang refleks menelan, refleks
kelopak mata dan timbul nafas teratur. Pada stadium ini
pasien dalam kondisi yang berbahaya, untuk itu harus
segera diakhiri dan pasien harus mendapat premedikasi
yang adekuat sebelumnya. Segera setelah stadium II
berakhir, pasien akan masuk stadium dan fase yang siap
untuk dilakukan prosedur operasi.
Stadium III : Disebut juga stadium operasi. Dimulai dari nafas teratur
sampai paralisis otot nafas. Stadium III dibagi menjadi 4
plana :
4

Tabel 1. Plana stadium III anestesi umum


Plana I Dimulai dari nafas teratur sampai dengan
berhentinya gerakan bola mata. Gerakan bola
mata berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya
(+), lakrimasi meningkat, refleks faring dan
muntah menghilang, tonus otot menurun.
Plana II Dimulai dari berhentinya gerakan bola mata
sampai permulaan paralisis sebagian otot
intercostal. Nafas teratur, volume tidal
menurun oleh karena itu frekuensi nafas akan
meningkat, mulai terjadi depresi nafas thoracal,
pupil mulai melebar dan refleks cahaya
menurun, refleks kornea menghilang dan tonus
otot akan semakin menurun.
Plana III Dimulai dari paralisis sebagian otot intercostal
sampai paralisis otot intercostal total. Nafas
abdominal akan menjadi lebih dominan, pupil
makin melebar dan refleks cahaya menghilang,
lakrimasi (-), refleks laring dan peritoneal (-),
tonus otot semakin menurun dari sebelum
sebelumnya.
Plana IV Dimulai dari paralisis otot intercostal total
sampai paralisis diafragma. Pernafasan
melambat, iregular dan tidak adekuat, terjadi
jerk karena paralisis otot diafragma. Tonus otot
menjadi flaccid dan refleks spincter ani (-).
5

Stadium IV : Disebut juga stadium overdosis atau stadium paralisis.


Dimulai dari paralisis diafragma sampai apneu dan
akhirnya pasien akan meninggal. Ditandai dengan
hilangnya semua refleks, pupil dilatasi, terjadi respiratory
failire dan diikuti circulatory failure.

2.1.3 Jenis-jenis anestesi umum1


1. Anestesi inhalasi
Anestesi inhalasi bekerja secara spontan menekan dan
membangkitkan aktivitas neuron berbagai area di dalam otak.
Untuk mendapatkan reaksi yang secepat-cepatnya, obat ini pada
permulaan harus diberikan dalam dosis tinggi, yang kemudian
diturunkan sampai hanya sekadar memelihara keseimbangan antara
pemberian dan pengeluaran. Keuntungan anestesi inhalasi
dibandingkan dengan anestesi intravena adalah kemungkinan untuk
dapat lebih cepat mengubah kedalaman anestesi dengan mengurangi
konsentrasi dari gas / uap yang diinhalasi. Contoh obat-obat
anestesi inhalasi Halothane, Enflurane, Isoflurane, Sevoflurane,
Desflurane, dan methoxyflurane merupakan cairan yang mudah
menguap.
a. Halothane
Halothane merupakan cairan yang mudah menguap, tidak
berwarna, berbau manis, tidak mudah terbakar, mudah rusak jika
kena cahaya, tetap stabil disimpan memakai botol berwarna gelap.
Kelarutannya dalam darah relative rendah induksi lambat, mudah
digunakan, tidak merangsang mukosa saluran napas. Bersifat
menekan refleks dari faring dan laring, melebarkan bronkioli dan
mengurangi sekresi ludah dan sekresi bronchi. Famakokinetik:
6

sebagian dimetabolisasikan dalam hati bromide, klorida anorganik,


dan trifluoacetik acid. Efek samping Halothane menekan
pernapasan dan kegiatan jantung, hipotensi, jika penggunaan
berulang, maka dapat menimbulkan kerusakan hati. Dosis induksi
inhahalasi adalah 2-4%. Dosis induksi anak 1,5-2%. Pada induksi
inhalasi kedalaman yang cukup terjadi setelah 10 menit. Dosis
pemeliharaan adalah 1-2% dan dpat dikurangi bila digunakan N2O
atau narkotik. Waktu pulih sadar sekitar 10 menit.
Pada system kardiovaskuler, Halothane dapat menurunkan
aliran darah coroner akibat turunnya tekanan darah sistemik. Pada
bayi Halothane dapat menurunkan curah jantung karena turunnya
kontraktilitas miokardium dan menurunnya laju jantung.
Halothane juga dapat menyebabkan Ventrikel ekstra sistol
(VES), ventrikel takikardi, dan ventrikel fibrilasi. Halothane juga
dapat menyebabkan sensitifitas jantung pada adrenalin meningkat,
maka dari itu harus dihindari pemakaian epinefrin melebihi 1,5
mikrogram/kgbb pada anestesi dengan Halothane.

b. Enflurane
Anestesi inhalasi kuat yang digunakan pada berbagai jenis
pembedahan, juga sebagai analgetikum pada persalinan. Memiliki
daya relaksasi otot dan analgetik yang baik, melemaskan otot
uterus. Tidak begitu menekan SSP. Resorpsinya setelah inhalasi,
cepat dengan waktu induksi 2-3 menit. Sebagian besar
diekskresikan melalui paru-paru dalam keadaan utuh, dan sisanya
diubah menjadi ion fluoride bebas.
Pada system kardiovaskuler, Enflurane menimbulkan depresi
kontraktilitas miokard, disritmia dan hipotensi akibat turunnya
7

curah jantung.Efek samping: hipotensi, menekan pernapasan,


aritmia, dan merangsang SSP. Pasca bedah dapat timbul hipotermi
(menggigil), serta mual dan muntah, dapat meningkatkan
perdarahan pada saat persalinan, SC dan abortus.

c. Isoflurane
Bau tidak enak. Termasuk anestesi inhalasi kuat dengan sifat
analgetik dan relaksasi otot baik. Daya kerja dan penekanannya
terhadap SSP = Enflurane. Efek samping: hipotensi, aritmia,
menggigil, konstriksi bronkhi, meningkatnya jumlah leukosit. Pasca
bedah dapat timbul mual, muntah, dan keadaan tegang. Sediaan :
Isoflurane 3-3,5% dlm O2; + NO2-O2 = induksi; maintenance :
1%-2,5%. MAC : 1,2.
Pada system kardiovaskuler, Isoflurane menimbulkan depresi
ringan pada jantung, curah jantung dipertahankan dengan
meningkatnya frekuensi jantung. Isoflurane dapat meningkatkan
aliran darah pada otot rangka, menurunkan tahanan vaskuler
sistemik, dan menurunnya tekanan darah. Isoflurane dapat
menyebabkan iskemik miocard karena dilatasi arteri coroner normal
yang menyebabkan aliran darah mengalir ke a. coronaria dan
menjauh dari a. coronaria yang mengalami stenosis.
Pada ginjal Isoflurane dapat menurunkan GFR dan produksi
urin.

d. Desflurane
Desflurane merupakan senyawa yang sangat stabil, jernih, tidak
berwarna, berbau tajam, tidak mudah terbakar. Desflurane sangat
mudah menguap dibandingkan anestesi volatil lain, sehingga perlu
8

menggunakan vaporizer khusus (TEC-6). Titik didihnya mendekati


suhu ruangan (23.5C).
Pada kardiovaskuler, Desflurane menurunkan resistensi
vaskuler sistemik, menyebabkan turunnya tekanan darah.
Menyebabkan peningkatan tekanan darah, laju jantung, dan
katekolamin. Desfluranee aman digunakan bersama epinefrin
karena tidak mengubah sensisitas disritmogenik epinefrin pada
miokardium. Merangsang jalan napas atas, sehingga tidak
digunakan untuk induksi anestesi. MAC : 6,0

e. Sevoflurane
Merupakan halogenasi eter, cairan jernih, tidak berwarna,
berbau enak, dan tidak iritatif. . Induksi dan pulih dari anestesi lebih
cepat dibandingkan dengan Isoflurane. Baunya tidak menyengat
dan tidak merangsang jalan napas.
Pada kardiovaskuler menimbulkan depresi ringan kontraksi
miokardium, penurunan tekanan vaskuler sistemi.. Sevoflurane
dapat memperpanjang interval QT. Efek terhadap sistem saraf pusat
seperti Isoflurane dan belum ada laporan toksik terhadap hepar.
Setelah pemberian dihentikan Sevoflurane cepat dikeluarkan oleh
badan. MAC : 2,0

f. Nitrogen Oksida (N20)


N2O merupakan gas inert yang tidak berwarna, tidak iritatif,
berbau manis. N2O diabsorbsi melalui paru masuk kedalam plasma
dan didistribusikan ke seluruh tubuh. Pemakaian N2O biasanya
didahului dengan premedkasi, induksi obat intravena atau obat
inhalasi lainnya. Pada system kardiovaskuler N2O cenerung
9

merangsang system saraf simpatis, mendepresi kontraktilitas


miokardium sehingga tekanan darah, curah jantung, dan laju
jantung tidak mengalami perubahan apapun. Depresi miokardium
dapat terjadi pada pasien dengan penyakit jantung koroner dan
hipovolemi berat. Kontriksi otot polos pembuluh darah paru akan
meningkatkan tekanan atrium kanan.
Hampir semua anestesi inhalasi yang mengakibatkan
sejumlah efek samping dan yang terpenting adalah :
1. Menekan pernapasan pada anestesi dalam terutama
ditimbulkan oleh Halothane, Enflurane dan Isoflurane.
Efek ini paling ringan pada N2O dan eter.
2. Menekan sistem kardiovaskuler, terutama oleh
Halothane, Enflurane dan Isoflurane. Efek ini juga
ditimbulkan oleh eter.
3. Merangsang sistem saraf simpatis, maka efek
keseluruhannya menjadi ringan.
4. Merusak hati dan ginjal, terutama senyawa klor,
misalnya kloroform.
5. Oliguri (reversibel) karena berkurangnya pengaliran
darah di ginjal, sehingga pasien perlu dihidratasi
secukupnya.
6. Menekan sistem regulasi suhu, sehingga timbul
perasaan kedinginan (menggigil) pasca-bedah.

2. Anestesi intravena
Obat-obat intravena seperti thiopental, etomidate, dan propofol
mempunyai mula kerja anestetis yang lebih cepat dibandingkan
terhadap senyawa gas inhalasi yang terbaru, misalnya Desflurane
10

dan Sevoflurane. Senyawa intravena ini umumnya digunakan untuk


induksi anestesi. Kecepatan pemulihan pada sebagian besar
senyawa intravena juga sangat cepat.
Beberapa obat digunakan secara intravena (baik tunggal atau
dikombinasikan dengan obat lain) untuk menimbulkan anestesi,
atau sebagai komponen anestesi berimbang (balanced anesthesia),
atau untuk menenangkan pasien di unit rawat darurat yang
memerlukan bantuan napas buatan untuk jangka panjang. Termasuk
golongan ini adalah: barbiturate (thiopental, methothexital);
benzodiazepine (midazolam); opioid analgetik (morphine, fentanyl,
sufentanil, alfentanil, remifentanil); propofol; ketamin, suatu
senyawa arylcylohexylamine yang dapat menyebabkan keadaan
anestesi .
a. Barbiturat
Blokade sistem stimulasi di formasi retikularis. Hambat
pernapasan di medula oblongata. Hambat kontraksi otot jantung,
tidak timbulkan sensitisasi jantung terhadap ketekolamin.

b. Ketamin
Sifat analgetik, anestetik, kataleptik dengan kerja singkat.
Analgetik kuat untuk sistem somatik, lemah untuk sistem visceral.
Ketamin sering menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi,
nyeri kepala, pasca anestesi dapat menimbulkan mual-muntah,
pandangan kabur, dan mimpi buruk.. Kalau harus diberikan
sebaiknya sebelumnya diberikan sedasi midazolam dengan dosis
0.1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi salivasi diberikan sulfas
atropin 0.001 mg/kg. Dosis bolus untuk induksi intravena adalah 1-
2 mg/kg dan untuk intramuskular 3-10 mg.
11

c. Fentanil dan droperidol


Analgetik & anestesi neuroleptik. Aman diberikan pada pasien
yang mengalami hiperpireksia oleh karena anestesi umum lain.
Fentanil : masa kerja pendek, mula keja cepat. Droperidol : masa
kerja lama & mula kerja lambat. Dosis fentanil : 50-100mcg/kgBB
iv. Dosis droperidol : 1,25 mg iv/im

d. Propofol
Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih
susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml=10 mg).
Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa
detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena..
Dosis bolus untuk induksi 2-2.5 mg/kg, dosis rumatan untuk
anestesi intravena total 4- 12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk
perawatan intensif 0.2 mg/kg. . Pengenceran propofol hanya boleh
dengan dekstrosa 5%. Pada manula dosis harus dikurangi, pada
anak <3 tahun dan pada wanita hamil tidak dianjurkan.

e. Ketorolac
Tersedia dalam bentuk tablet dan injeksi. Terapi Ketorolac
tromethamine baik secara injeksi ataupun tablet hanya diberikan
selama 5 hari untuk mencegah ulcerasi peptic dan nyeri abdomen.
Efek analgetik selama 4-6 jam setelah injeksi.
Injeksi intramuscular :
Pasien dengan umur <65 tahun diberikan dosis 60 mg
Ketorolac/dosis.
12

Pasien dengan umur >65 tahun dan mempunyai riwayat


gagal ginjal atau berat badannya kurang dari 50 kg,
diberikan dosis 30 mg/dosis.
Injeksi intravena :
Pasien dengan umur <65 tahun diberikan dosis 30 mg
Ketorolac/dosis.
Pasien dengan umur >65 tahun dan mempunyai riwayat
gagal ginjal atau berat badannya kurang dari 50 kg,
diberikan dosis 15 mg/dosis.
Selain mempunyai efek yang menguntungkan, ketorolac juga
mempunyai efek samping, diantaranya : Efek pada gastrointestinal,
ginjal, perdarahan, dan hipersensitifitas.

2.2 Klasifikasi ASA

Klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiologist) merupakan deskripsi


yang mudah menunjukkan status fisik pasien yang berhubungan dengan indikasi
apakah tindakan bedah harus dilakukan segera/cito atau elektif. Klasifikasi ini sangat
berguna dan harus diaplikasikan pada pasien yang akan dilakukan tindakan
pembedahan, meskipun banyak faktor lain yang berpengaruh terhadap hasil keluaran
setelah tindakan pembedahan. Klasifikasi ASA dan hubungannya dengan tingkat
mortalitas tercantum pada tabel 2 di bawah ini.
13

Tabel 2. Klasifikasi ASA7

Angka
Klasifikasi
Deskripsi Pasien Kematian
ASA
(%)
Kelas I Pasien tidak memiliki kelainan organik maupun 0,06- 0,08
sistemik selain penyakit yang akan dioperasi
Kelas II Pasien yang memiliki kelainan sistemik ringan 0,27-0.4
sampai dengan sedang selain penyakit yang
akan dioperasi
Kelas III Pasien yang memiliki kelainan sistemik berat 1,8-4,3
selain penyakit yang akan dioperasi, tetapi
belum mengancam jiwa.
Kelas IV Pasien yang memiliki kelainan sistemik berat 7,8-23
yang mengancam jiwa selain penyakit yang
akan dioperasi.
Kelas V Pasien dalam kondisi sangat jelek dimana 9,4- 51
tindakan anestesi mungkin saja dapat
menyelamatkan tapi risiko kematian tetap jauh
lebih besar.
Kelas VI Pasien yang telah dinyatakan telah mati
otaknya yang mana organnya akan diangkat
untuk kemudian diberikan sebagai organ donor
bagi yang membutuhkan.

Kelas E Bila operasi dilakukan darurat/ cito

2.3 Premedikasi1
Maksud dan tujuan dari premedikasi yang terpenting adalah :

1. Menghilangkan cemas dan takut


2. Mengurangi sekret pada saluran nafas dan rongga mulut
3. Memperkuat efek hipnotik dari agen anesthesia umum(sedasi)
4. Mengurangi mual muntah pasca operasi.
Contoh: Metoclopramid 10-20 mg oral,im/iv
Ondansetron 4-8 mg im/iv
14

5. Menimbulkan amnesia
6. Mengurangi volume dan meningkatkan keasaman isi lambung
Contoh: Ranitidin 150 mg oral
Omeprazol 40 mg oral
7. Menghindari terjadinya vagal reflex
8. Membatasi respons simpatoadrenal

2.3.1 Jenis obat premedikasi


Sesuai dengan maksud dan tujuan dari premedikasi, maka obat yang
dipilih umumnya dari golongan anti kholinergik, sedatif hipnotik dan narkotik
analgetik.

a. Golongan Anti Kholinergik


1. Sulfas Atropin dan Skopolamin
Atropin lebih unggul dibandingkan skopolamin untuk
mengendalikan bradikardia dan aritmia lainnya terutama pada
bayi usia kurang dari enam bulan. Biasanya bradikardia timbul
karena manipulasi pembedahan atau karena obat obat anestesi
seperti halothan dosis tinggi dan suksinilkolin. Sedangkan apabila
diharapkan mengurangi sekresi lair liur (Drying Effect) yang
disertai dengan efek sedasi dan amnesia maka sebaiknya dipilih
skopolamin. Atropin dan skopolamin sebaiknya tidak diberikan
kepada penderita dengan suhu tinggi dan takikardia. Dosis sulfas
atropine : 0,02 0.03 mg /kg BB.

2 .Glikopirolat
Merupakan senyawa garam amonium kwartener dengan
khasiat anti kholinergik yang kuat dan panjang efek sampingnya
tidak begitu kuat dibanding dengan sulfas atropin. Glikopirolat
15

sering digunakan sebagai alternatif pilihan lain sealain ataropi.


Dosis : 5 10 U gr / kg BB intra vena.

b. Golongan Hipnotik Sedatif

1. Diazepam
Merupakan obat golongan sedatif yang banyak digunakan
sebagai premedikasi untuk anak, karena berkhasiat menenangkan
pada sekitar 80% kasus tanpa mendepresi nafas dan sedikit sekali
menimbulkan muntah.
2. Midazolam
Termasuk golongan benzodiazepin yang mudah larut dalam
air dengan waktu kerja sangat cepat dan lama kerja yang tidak
terlalu lama Dapat diberikan secara parenteral dan oral. Dosis :
IM : 0,05 mg per kg BB Per oral : 7,5 15 mg, Per rectal : 0,35
0.45 mg per kg BB.
3. Promethazine (Phenergan)
Termasuk golongan antihistamin yang mempunyai efek
sedasi cukup baik, dapat diberikan secara peroral dengan dosis
1mg per kg BB. Dosis maksimal 30 mg.
4. Trimeprazine (Valergan)
Telah digunakan untuk premedkasi pada anak sejak tahun
1959, dalam bentuk larutan dengan dosis 2 4 mg per kg BB per
oral 2 jam sebelum induksi. Dengan dosis ini cukup efektif untuk
anak usia 2 10 tahun. Kerugian dari obat ini menimbulkan
takikardia post operatif, tetapi keuntungannya selain
menimbulkan sedasi , juga bersifat anti emetik.
16

5. Barbiturat
Terdapat dua sediaan yang sering digunakan untuk
premedikasi yaitu Pentobarbitone (Nembutal) dan Quinal
Barbitone (Seconal) diberikan secara oral 1 jam pra bedah
dengan dosis 2 5 mg per kg BB. Obat ini tidak pernah diberikan
pada bayi dibawah usia 6 bulan karena metabolismenya lama dan
juga tidak dianjurkan untuk diberikan secara intramuskular karena
akan menimbulkan rasa sakit , nekrosis dan abses.

c. Golongan Narkotik Analgetik


Narkotik jarang diberikan sebagai obat premedikasi pada bayi /
anak kecil karena sering menimbulkan rasa pusing, mual, muntah dan
sampai depresi pernafasan. Pemberian morfin biasanya diberikan atas
indikasi adanya cacat jantung bawaan yang sianotik dengan dosis 0,05
0,20 mg per kg BB IM, 1 jam pra bedah. Meperidine
(Pethidin) merupakan obat golongan narkotik dengan sedasi ringan dan
juga sering menimbulkan muntah sehingga jarang dipergunakan untuk
premedikasi pada anak. Methadone merupakan obat golongan narkotik
yang dapat diberikan per oral dengan dosis 0,1 0,3 mg per kg BB.

2.4 Intubasi Nasotrakeal

Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut atau
hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan intubasi
nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam
trakea melalui rima glottidis dengan mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya
berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Intubasi
nasotrakeal yaitu tindakan memasukan pipa nasal melalui nasal dan nasopharing ke
dalam oropharing sebelum laryngoskopi.
17

Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan menjalani


operasi maupun tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa orotrakeal, diameter
maksimal dari pipa yang digunakan pada intubasi nasotrakeal biasanya lebih kecil
oleh karenanya tahanan jalan napas menjadi cenderung meningkat. Intubasi
nasotrakeal pada saat ini sudah jarang dilakukan untuk intubasi jangka panjang
karena peningkatan tahanan jalan napas serta risiko terjadinya sinusitis. Teknik ini
bermanfaat apabila urgensi pengelolaan airway tidak memungkinkan foto servikal.
Intubasi nasotrakeal secara membuta (blind nasotrakeal intubation) memerlukan
penderita yang masih bernafas spontan.
Prosedur ini merupakan kontraindikasi untuk penderita yang apnea. Makin
dalam penderita bernafas, makin mudah mengikuti aliran udara sampai ke dalam
laring. Kontraindikasi lain dari pemasangan pipa nasotrakeal antara lain fraktur basis
cranii, khususnya pada tulang ethmoid, epistaksis, polip nasal, koagulopati, dan
trombolisis.8
2.4.1 Indikasi dan kontraindikasi intubasi nasotrakeal
Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan menjalani
operasi maupun tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa orotrakeal, diameter
maksimal dari pipa yang digunakan pada intubasi nasotrakeal biasanya lebih kecil
oleh karenanya tahanan jalan napas menjadi cenderung meningkat. Intubasi
nasotrakeal pada saat ini sudah jarang dilakukan untuk intubasi jangka panjang
karena peningkatan tahanan jalan napas serta risiko terjadinya sinusitis. Teknik ini
bermanfaat apabila urgensi pengelolaan airway tidak memungkinkan foto servikal.
Intubasi nasotrakeal secara membuta (blind nasotrakeal intubation) memerlukan
penderita yang masih bernafas spontan. Prosedur ini merupakan kontraindikasi untuk
penderita yang apnea. Makin dalam penderita bernafas, makin mudah mengikuti
aliran udara sampai ke dalam laring. Kontraindikasi lain dari pemasangan pipa
nasotrakeal antara lain fraktur basis cranii, khususnya pada tulang ethmoid,
epistaksis, polip nasal, koagulopati, dan trombolisis.
18

2.4.2 Posisi Pasien untuk Tindakan Intubasi nasotrakea


Gambaran klasik yang benar adalah leher dalam keadaan fleksi ringan,
sedangkan kepala dalam keadaan ekstensi. Ini disebut sebagai Sniffing in the air
position. Kesalahan yang umum adalah mengekstensikan kepala dan leher.11,12

Gambar 1. Posisi Intubasi

2.4.3 Persiapan intubasi nasotrakeal


Sebelum dilakukan intubasi, terlebih dahulu dilakukan oksigenasi
dengan menggunakan orotracheal tube atau nasotracheal tube dan bag valve
kurang lebih selama 30 detik. Untuk melakukan intubasi, perlu mengetahui
teknik-teknik khusus. Berhasilnya intubasi sangat tergantung dari posisi pasien,
kepala pasien harus setentang dengan pinggang anestesiologis atau lebih tinggi
untuk mencegah ketegangan pinggang selama laringoskopi. Persiapan untuk
induksi dan intubasi juga melibatkan preoksigenasi rutin. Preoksigenasi dengan
nafas yang dalam dengan oksigen 100%.11,13
19

Persiapan untuk intubasi antara lain :


a. Jalur intravena yang adekuat
b. Obatobatan yang tepat untuk induksi dan relaksasi otot
c. Pastikan alat suction tersedia dan berfungsi
d. Peralatan yang tepat untuk laringoskopi termasuk laryngoskop
dengan blade yang tepat, ETT dengan ukuran yang diinginkan,
jelly, dan stylet
e. Pastikan lampu laringoskop hidup dan berfungsi serta cuff ETT
berfungsi
f. Sumber oksigen, sungkup dengan ukuran yang tepat, ambu bag dan
sirkuit anestesi yang berfungsi
g. Monitor pasien termasuk elektrokardiografi, pulse oksimeter dan
tekanan darah noninvasive
h. Tempatkan pasien pada posisi Sniffing Position selama tidak ada
kontraindikasi
i. Alatalat untuk ventilasi
j. Stetoskop

2.4.4 Cara Intubasi Nasotrakeal 11


Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa NTT masuk
lewat hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi.
Lubang hidung yang dipilih dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien
bernafas lebih gampang. Tetes hidung phenylephrine (0,5 0,25%)
menyebabkan pembuluh vasokonstriksi dan menyusutkan membran mukosa. Jika
pasien sadar, lokal anestesi secara tetes dan blok saraf dapat digunakan. Intubasi
nasotrakeal biasanya dilakukan setelah pemberian anastesi intravena dan pasien
telah dilumpuhkan.
20

NTT yang telah dilubrikasi dengan jelly yang larut dalam air,
dimasukkan ke dasar hidung, dibawah turbin inferior. Bevel NTT berada disisi
lateral jauh dari turbin. Untuk memastikan pipa lewat di dasar rongga hidung,
ujung proksimal dari NTT harus ditarik ke arah kepala. Pipa secara berangsur-
angsur dimasukan hingga ujungnya terlihat di orofaring. Umumnya ujung distal
dari NTT dapat dimasukan pada trachea tanpa kesulitan. Jika ditemukan kesulitan
dapat diguankan forcep Magil. Penggunaannya harus dilakukan dengan hati-hati
agar tidak merusakkan balon. Memasukkan NTT melalaui hidung berbahaya
pada pasien dengan trauma wajah yang berat disebabkan adanya resiko masuk ke
intrakranial.

Gambar 2. Memasukkan blade laringoskop

Penggunaan laringoskop untuk mempermudah under vision intubasi


nasotrakeal dan laringoskop harus diposisikan saat bagian ujung tube telah
mencapai orofaring.
Kepala yang di ekstensikan mungkin bisa digunakan untuk membuat
bagian ujung dari trakeal tube lebih ke arah anterior. Kemajuan yang lebih jauh
dari trakeal tube mungkin bisa dipermudah dengan memflexikan posisi kepala
dan leher, yang meluruskan axis dari ujung tube terhadap trakea. Teknik
alternatif yang bisa digunakan adalah dengan memakai Margill forceps untuk
21

memegang trakeal tube dan menuntunnya menuju trakea, kemudia asisten


mendorong tube.

Gambar 3. Peletakkan Nasotracheal tube

Dada dipastikan mengembung saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi,


dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri
sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakeal. Bila terjadi
intubasi endotrakeal yang terlalu dalam akan terdapat tanda-tanda berupa suara nafas
kanan berbeda dengan kiri, kadang timbul wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan
jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik
sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah
esophagus maka daerah epigastrium atau gaster akan mengembang, terdengar suara
saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang-kadang keluar cairan lambung dan makin
lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan
intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.

2.5 Trauma Maksilofasial


Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan
jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan
lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah
22

jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud
dengan jaringan keras wajah adalah tulang kepala yang terdiri dari 7 :
1. Tulang hidung
2. Tulang arkus zigomatikus
3. Tulang mandibula
4. Tulang maksila
5. Tulang rongga mata
6. Gigi
7. Tulang alveolus.2,3

2.5.1 Klasifikasi Trauma Wajah 3


Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma
jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak
biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu
lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.

2.5.1.1 Trauma Jaringan Lunak Wajah 2


Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena
trauma
dari luar.13,14
Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan: 13,14
1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab
a. Ekskoriasi
b. Luka sayat, luka robek , luka bacok.
c. Luka bakar
d. Luka tembak
2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan
3. Dikaitkan dengan unit estetik
23

Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer.


(Gambar 4)

Gambar 4. (A) Laserasi yang menyilang garis Langer tidak menguntungkan mengakibatkan
penyembuhan yang secara kosmetik jelek. B. Insisi fasial ditempatkan sejajar dengan garis Langer
(Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut (Oral surgery). Alih bahasa Purwanto, Basoeseno.
Jakarta:EGC, 1987:226).

2.5.1.2 Trauma jaringan keras wajah 2,3


Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang
terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat
dariterminologinya ( pengistilahan ) :
I. Tipe fraktur
1. Fraktur simpel
Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada
kondilus,
koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi.
Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut.
Termasuk greenstik
24

fraktur yaitu keadaan retak tulang, terutama pada anak dan jarang
terjadi.
2. Fraktur kompoun
Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak
Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan
hampir selalu tipe fraktur kompoun meluas dari membran periodontal ke
rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah dapat meluas dengan
sobekan pada kulit.
3. Fraktur komunisi
Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti
peluru yang mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian yang kecil
atau remuk.
Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun
dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak.
4. Fraktur patologis
keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang,
seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang
sistemis sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan.
II. Perluasan tulang yang terlibat
1. Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang.
2. Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan kropresi ( lekuk )
III. Konfigurasi ( garis fraktur )
1. Tranversal, bisa horizontal atau vertikal.
2. Oblique ( miring )
3. Spiral (berputar)
4. Komunisi (remuk)
IV. Hubungan antar Fragmen
1. Displacement, disini fragmen fraktur terjadi perpindahan tempat
25

2. Undisplacement, bisa terjadi berupa :


a. Angulasi / bersudut
b. Distraksi
c. Kontraksi
d. Rotasi / berputar
e. Impaksi / tertanam
Pada mandibula, berdasarkan lokasi anatomi fraktur dapat mengenai daerah
:
a. Dento alveolar
b. Prosesus kondiloideus
c. Prosesus koronoideus
d. Angulus mandibula
e. Ramus mandibula
f. Korpus mandibula
g. Midline / simfisis menti
h. Lateral ke midline dalam regio insisivus
2.5.2 Penatalaksanaan2,3
Penatalaksanaan awal pada pasien dengan kecurigaan trauma maksilofasial
yaitu meliputi :
1. Periksa kesadaran pasien.
2. Memperhatikan secara cermat wajah pasien :
Apakah asimetris atau tidak.
Apakah hidung dan wajahnya menjadi lebih pipih.
3. Apakah ada hematoma :
a. Fraktur zigomatikus
Terjadi hematoma yang mengelilingi orbita, berkembang secara
cepat sebagai permukaan yang bersambungan secara seragam.
Periksa mulut bagian dalam dan periksa juga sulkus bukal atas
26

apakah ada hematoma, nyeri tekan dan krepitasi pada dinding


zigomatikus.
b. Fraktur nasal
Terdapat hematoma yang mengelilingi orbita, paling berat ke arah
medial.
c. Fraktur Orbita
Apakah mata pasien cekung kedalam atau kebawah
Apakah sejajar atau bergeser
Apakah pasien bisa melihat
Apakah dijumpai diplopia
Hal ini karena :
Pergeseran orbita
Pergeseran bola mata
Paralisis saraf ke VI
Edema
d. Fraktur pada wajah dan tulang kepala.
Raba secara cermat seluruh bagian kepala dan wajah : nyeri tekan,
deformitas, iregularitas, dan krepitasi.
Raba tulang zigomatikus, tepi orbita, palatum dan tulang hidung,
pada fraktur Le Fort tipe II atau III banyak fragmen tulang kecil
sub cutis pada regio ethmoid. Pada pemeriksaan ini jika rahang
tidak menutup secara sempurna berarti pada rahang sudah terjadi
fraktur.
e. Cedera saraf
Uji anestesi pada wajah (saraf infra orbita) dan geraham atas (saraf
gigi atas).
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. FAA
Umur : 18 tahun
Jenis kelamin : Laki - laki
Ruang : Kutilang
No. CM : C603289
MRS : 19 September 2016
Tgl Operasi : 29 September 2016

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama:
Nyeri pada wajah
B. Riwayat Penyakit Sekarang:
3 jam yang sebelum pasien mengalami kecelakaan lalu lintas saat
mengendarai sepeda motor, pasien tiba-tiba terjungkal saat menghindari orang
yang menyebrang, pada saat di lokasi kejadian tidak dilakukan tindakan apapun
pasien langsung dibawa ke RSDK, pasien sadar sepenuhnya, tidak pingsan, tidak
muntah, dan mengeluh adanya nyeri pada bagian wajah pipi sebelah kiri.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat trauma disangkal
Riwayat alergi disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat alergi udang
Riwayat penyakit keganasan disangkal
E. Riwayat Sosial Ekonomi

26
27

Pasien bekerja sebagai pegawai ibu rumah tangga dan pembiayaan


menggunakan JKN NON PBI. Kesan : sosial ekonomi kurang.
F. Anamnesis yang berkaitan dengan anestesi:
Riwayat alergi obat disangkal, riwayat alergi makanan udang
Riwayat asma disangkal
Riwayat penyakit kencing manis (-)
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat hipertensi (-)
Demam disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis
Tanda Vital (29 September 2016, pukul 13.00 WIB)
TD : 120/80 mmHg T : 37C
N : 80 x/menit RR : 16 x/menit
BB : 80 kg
TB : 156 cm
ASA :I
Kepala : mesosefal
Mata :
Kanan : conjunctiva palpebra anemis (-), sklera ikterik (-)
Kiri : conjunctiva palpebra anemis (-), sklera ikterik (-)
Telinga : discharge (-/-)
Hidung : discharge (-/-), epistaksis (-/-)
Mulut : sianosis (-)
Leher : pembesaran nnll (-), deviasi trakea (-), kaku kuduk (-)
Thorax : dalam batas normal
28

Cor :
Inspeksi : iktus cordis tak tampak
Palpasi : iktus cordis di SIC V, 2 cm medial LMCS
Perkusi : konfigurasi jantung dalam batas normal
Auskultasi: BJ I-II normal, bising (-), gallop (-)
Pulmo :
Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi: suara dasar vesikuler (+/+), tidak didapatkan suara tambahan
pada kedua lapangan paru.
Abdomen :
Inspeksi : datar, distensi (-)
Auskultasi: bising usus (+) normal
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak terjadi pembesaran
Perkusi : timpani pada lapangan abdomen
Ekstremitas :
Akral dingin -/-
Edema -/-
Sianosis -/-
Capillary refill <2/<2

IV. DIAGNOSIS
a. Diagnosis preoperasi :
Laki laki usia 18 tahun
Fraktur zygomaticus sinistra
29

b. Pemeriksaan yang berkaitan dengan anestesi:


Terdapat alergi makanan (udang)

V. TINDAKAN OPERASI
Rekonstruksi fraktur tulang wajah

VI. TINDAKAN ANESTESI


Jenis anestesi : General Anestesi
Risiko anestesi : Ringan
ASA :I
Premedikasi di OK : Midazolam 5 mg
1. Anestesi :
Dilakukan secara general anestesi menggunakan:
Obat Induksi:
Propofol 150 mg
Rocuronium 40 mg
Fentanyl 100 mg
Dilakukan oksigenasi selama 3 menit dengan dosis 5 lpm
Dilakukan intubasi nasotrakeal dengan orotrakheal tube no 7
Maintenance : Sevoflurane 1 MAC, O2 2 lpm
Mulai anestesi : 13.00 WIB
Selesai anestesi : 17.00 WIB
Lama anestesi : 240 menit

2. Terapi cairan :
BB : 80 kg
EBV : 70 cc/kgBB x 80 kg = 5600 cc
Jumlah perdarahan : 100 cc
30

% perdarahan : 100/5600 x 100% = 2,34 %


Kebutuhan cairan : Maintenance = 2cc x 80 kg = 160 cc/jam
Stress operasi= 4 cc x 80 kg = 320 cc/jam
Depresi Puasa= 160 cc/jam x 4 jam = 640 cc
Total kebutuhan cairan durante operasi
Jam I : M + SO + DP =160 + 320 + 320 = 800 cc
Jam II : M + SO + DP = 160 + 320 + 160 = 640 cc
Cairan yang diberikan :
- RL : 1440 cc

Waktu Keterangan HR Tensi SpO2


(x/menit) (mmHg)
13.00 Pre-oksigenasi 98 120/80 100
13.30 Anestesi mulai 80 100/60 100
14.00 Operasi mulai 85 110/70 100
17.00 Operasi selesai 80 100/60 100
17.00 Anestesi selesai 80 100/60 100

3. Obat tambahan:
I. Obat suntik:
Propofol 1 amp
Rocuronium 1 amp
Ketorolac 1 amp
Tramadol 1 amp
Ondansetron 1 amp
Midazolam 1 amp
Fentanyl 1 amp
Lidocain 1 amp
II. Obat inhalasi :
Sevoflurane 1 MAC
O2 : ventilator 2 L/menit
31

III. Cairan : Ringer Laktat 3 botol


IV. Alat/lain-lain :
Spuit 3 cc 3
Spuit 5 cc 3
Spuit 10 cc 3
Lead EKG 3
Suction 1
Guedel 1
Nasal O2 1
Hipafix 1
Endotracheal tube 1

4. Pemantauan di recovery room :


a. Beri oksigen 3 L/menit nasal kanul
b. Post Op. Rawat di RR selama 6 jam
c. Bila Aldrete score 8 nilai, pasien boleh pindah ruangan.
5. Perintah di ruangan
- Pengawasan keadaan umum, tanda vital, dan stabilisasi
hemodinamik, tiap jam selama 24 jam.
- Bila terjadi kegawatan menghubungi anestesi (8050)
- Jika pasien menggigil diberi selimut hangat
- Program cairan infus :
a. RL II 24 jam, 28 tetes/menit
- Injeksi omeprazole 40 mg/12 jam IV
- Injeksi paracetamol 1 g/8 jam IV selama 2 hari.
- Injeksi Tramadol 50 mg/8 jam IV selama 2 hari.
32

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1.Pemeriksaan yang dilakukan pada tanggal 26 September 2016 pukul 19.00
WIB
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi
Hemoglobin 14,0 gr/dL 12 15
Hematokrit 44 % 35 47
Eritrosit 5,05 x 10^6 /uL 4,4 - 5,9
MCH 27,7 pg 27 - 32
MCV 87,1 fL 76 - 96
MCHC 31,8 gr/dL 29 - 36
Leukosit 11,9 x 10^3 /uL 3,8 11
Trombosit 373 x 10^3 /uL 150 - 400
RDW 12,3 % 11,6 - 14,8
MPV 10,3 fL 4 - 11
Kimia klinik
Glukosa sewaktu 99 mg/dL 80 - 160

Ureum 24 mg/dL 15 - 39
Kreatinin 1,2 mg/dL 0,6 - 1,3
Elektrolit
Natrium 139 mmol/L 136 - 145
Kalium 4,2 mmol/L 3,5 - 5,1
Chlorida 104 mmol/L 98 - 107
Koagulasi
Plasma prothrombin time
Waktu prothrombin 10,0 detik 9,4 - 11,3
PPT control 10,5 detik
Partial thromboplastin
Time (PTTK) 32,3 detik 23,4 - 36,8
Tromboplastin
APTT control 32,7 detik
33

2. Pemeriksaan MSCT 3D Wajah(20 September 2016)

Kesan :
- fraktur pada os zigomatikus kiri, os nasal kiri, dinding anterior, medial dan lateral
serta superior maxillaris kiri, dinding inferior cavum orbita kiri
- Hematosinus pada frontalis kiri , etmoid kiri, maxillaris kiri serta hematom pada
cavum nasi kiri
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, tindakan yang dilakukan adalah rekonstruksi fraktur tulang
wajah pada fraktur zygomaticus sinistra dengan keadaan umum dan tidak ada
kelainan sistemik maka anestesi yang dipilih dalam tindakan pada pasien ini adalah
general anestesi. Pemilihan GA dilakukan selain untuk kemudahan operator bekerja
juga untuk kenyamanan pasien. Premedikasi dengan midazolam diberikan agar pasien
tidak cemas saat akan dilakukan induksi dan memberikan efek sedasi. Premedikasi
ini diberikan di OK. Induksi menggunakan Propofol dengan dosis 150 mg untuk
memperdalam sedasi.
Intubasi dilakukan menggunakan laringoskop macintosh dan berukuran
no.3,5. Endotracheal tube no.7 jenis non-king-king yang digunakan dengan cuff.
Intubasi endotrakeal ini juga memiliki risiko maupun komplikasi, salah satunya
adalah gigi patah, perdarahan saluran nafas, serta vagal reflex, sehingga sebelum
dilakukan tindakan pembiusan serta pemasangan intubasi dilakukan penjelasan dan
pesetujuan kepada keluarga pasien sehingga mereka telah siap dengan segala risiko
komplikasi intubasi. Intubasi dilakukan sesudah pasien tidur tanpa pelumpuh otot.
Maintenance anestesi diberikan melalui inhalasi agen sevoflurane dan O2.
Pemilihan agen anestesi sevoflurane dipilih karena sevoflurane merupakan anestesi
kuat dengan sifat analgetik dan relaksasi otot yang baik. Walaupun agen inhalasi
seperti sevoflurane maupun isoflurane dapat meningkatkan tekanan intrakranial pada
saat operasi ini, tetapi sevoflurane tetap menjadi pilihan karena lebih menguntungkan
berdasarkan kondisi fisik pasien. Selama operasi berlangsung, obat-obatan yang
diberikan adalah propofol, rocuronium, lidocain, fentanyl, ketorolac, dan tramadol.
Propofol untuk memperdalam sedasi, fentanyl, ketorolac, tramadol, dan lidocain
sebagai analgetik opioid, dan rocuronium sebagai muscle relaxant.

34
35

Banyaknya cairan yang harus diberikan selama operasi melalui intravena


disesuaikan dengan banyaknya cairan yang hilang. Terapi cairan dimaksudkan untuk
mengganti cairan yang hilang pada waktu puasa, pada waktu pembedahan, dan
adanya perdarahan. Proses pembedahan rekostruksi tulang wajah dilakukan dengan
cara fiksasi internal, dengan memasang plat pada tulang zygomaticus dan maxilla
sehingga stres operasinya termasuk stres sedang. Jumlah cairan yang diperlukan pada
operasi yang berlangsung 240 menit ini sebesar 1440 cc dan jumlah perdarahan
sebesar 100 cc (2,34% dari EBV). Penggantian keduanya didapatkan dari pemberian
ringer lactate sebanyak 1400 cc.
Ekstubasi dapat dikerjakan kalau pasien sudah sadar benar, anggota badan
bergerak-gerak, mata terbuka, nafas spontan adekuat. Ekstubasi dalam keadaan
anestesia ringan, akan menyebabkan batuk-batuk, spasme laring atau bronkus.
Ekstubasi dalam keadaan anestesia dalam lebih digemari karena kurang traumatis.
Dikerjakan kalau nafas spontannya adekuat, keadaan umumnya baik dan diperkirakan
tidak akan menimbulkan kesulitan pasca intubasi.
Setelah selesai anestesia dan keadaan umum baik, penderita dipindahkan ke
ruang pemulihan. Di sini diawasi seperti di kamar bedah dan dihitung Aldrete Score.
Setelah 45 menit berada di ruang pemulihan, Aldrete score pasien 10 (gerak 4
ekstremitas atas perintah: 2, batuk: 2, TD 20 mmHg nilai pra anestesi: 2, sadar
penuh: 2, kulit kemerahan: 2) sehingga pasien dapat dipindahkan ke ruangan.
Di ruangan, pasien diawasi keadaan umum, tanda vital, dan stabilisasi
hemodinamik. Pasien juga diberikan omeprazole 40 mg/ 12 jam IV, paracetamol 1 g/
8 jam IV, tramadol 50 mg/ 8 jam IV, dan infus dextrosa 5% dan NaCl dengan tetesan
28 tetes/menit.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soenarjo PD, Jatmiko HD, et.al. Anestesiologi. Edisi ke 2. Semarang:


Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesi dan terapi Intensif (PERDATIN)
Cabang Jawa-Tengah; 2013.
2. Hafid, A., 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua. Jong WD Jakarta:
penerbit buku kedokteran EGC.
3. Nasution, R.M., 2015. Hubungan Cedera Maksilofasial dengan Cedera Kepala
Di RSUP H. Adam Malik Medan.
4. Schaberg MR, Anand VK, Schwartz TH, Cobb W. Microscopic versus
endoscopic transnasal pituitary surgery. 2010:8-14.
doi:10.1097/MOO.0b013e328334db5b.
5. Morgan G. Airway Management, in Clinical Anesthesiology. 3th editio. New
York: McGraw-Hill; 2002.
6. Brown EN, Lydic R, Schiff ND. General Anesthesia, Sleep, and Coma. N Engl
J Med. 2010;(December 30, 2010):363;27. NEJM.org.
7. American Society of Anesthesiologists - ASA Physical Status Classification
System. https://www.asahq.org/resources/clinical-information/asa-physical-
status-classification-system. Accessed June 2, 2016.
8. Yatindra B, Mathew P. Airway Management with Endotracheal
Intubation(Including Awake Intubation and Blind Intubation). Indian J
Anaesth. 2005;49:263-268. http://medind.nic.in/iad/t05/i4/iadt05i4p263.pdf.
9. Latief, Said A, Kartini A. Suryadi dan M. Ruswan Dachlan. 2001. Petunjuk
Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI:
Jakarta. Universitas Indonesia. 2007; 2.p:3-45.
10. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Airway Management. In : Morgan GE,
Mikhail MS, Murray MJ, editors. Clinical Anesthesiology 4th ed. USA,
McGrawHill Companies, Inc.2006, p. 9806.

36
37

11. G. Edward Morgan, Clinical Anestesiologi, 4th edition, chapter 45.


12. Decision Making in Anestesiologi, An Algoritmic Approach. 3th edition; By
Louis L. Bready Rhoda M. Mullins, Swan Helene Npprity, R Brain Smith,
Mosby Inc. 2000, page 86-105
13. Chandra S, Adji Prakoso M. Buku Ajar Anestesiologi. FKUI/RSCM.
Jakartata; 2012.
14. Marzoeki D. Luka dan perawatannya asepsis/ antisepsis disinfektan. Surabaya :
Airlangga University Press, 1993 : 1-12
15. Hussain SS, dkk. Maxilloficial trauma: Current practice in management at
pakistan institute of medical science. Department of Plastic Surgery Islamabad:
1-5
16. Connolly RC. Trauma Kapitis. In : Aston JN. Kapita selekta traumatologik dan
ortopedik. 3th ed. Alih Bahasa. Petrus Andrianto. Jakarta : EGC, 1994 : 11-12

You might also like