You are on page 1of 13

REFERAT

GANGGUAN BERPURA-PURA
(FACTITIOUS DISORDER)

Disusun oleh :
Elva Oktiana Rahmi 1102012075

Pembimbing :
Dr. Eri Achmad Achdiar, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD ARJAWINANGUN
MEI 2017
DAFTAR ISI

BAB I Pendahuluan ......................................................................................... 2


BAB 2 Tinjauan Pustaka ..................................................................................
DEFINISI ........................................................................................... 3
EPIDEMIOLOGI ............................................................................... 3
ETIOLOGI ......................................................................................... 3
FAKTOR RISIKO ............................................................................. 4
KLASIFIKASI ................................................................................... 4
DIAGNOSIS ...................................................................................... 6
DIAGNOSIS BANDING .................................................................. 9
TATALAKSANA .............................................................................. 10
PROGNOSIS ..................................................................................... 11
BAB 3 Kesimpulan .......................................................................................... 12

BAB I
PENDAHULUAN

1
Gangguan berpura-pura dalam bahasa latin dinamakan Factitious adalah
suatu kondisi kejiwaan seseorang yang bertindak seolah-olah memiliki suatu penyakit
fisik ataupun mental. Orang yang mengalami kelainan tersebut memiliki kebutuhan
batin untuk dilihat sebagai orang yang sakit atau terluka, namun bukan untuk
memperoleh keuntungan seperti mendapatkan uang atau bebas dari tuntutan hukum.
Apapun akan dilakukan seperti melukai diri sendiri atau mengubah tes labotorium
seperti mencemari sampel urin dengan darah.
Gangguan ini disebut juga Munchausen Syndrome. Munchausen sendiri
berasal dari nama seorang jurnalis asal Jerman, Karl Friedrich Hieronymus Baron von
Munchausen. Ia menulis kejadian-kejadian diberbagai tempat yang ia kunjungi.
Tulisan-tulisan tentang perjalanannya dimuat dalam beberapa media massa. Pada
tahun 1786 seorang pakar kepustakaan Rudolf Erich Raspe mempublikasikan sebuah
karya Baron dengan judul Baron von Munchausens narrative of his marvelous
travels and campaigns in Rusia. Buku tersebut laku di pasaran. Padahal, kisah
tersebut merupakan fantasi-fantasi Munchausen dan Burger memperkaya fantasi-
fantasinya. Fantasi yang ditulis oleh Munchausen ini merupakan fantasi yang
berperan sebagai orang sakit dan dirawat dirumah sakit. Seorang penulis Gottfried
August Burger menerjemahkannya ke dalam bahasa Jerman lalu menambahkan
beberapa cerita lain menurut versinya ke dalam buku tersebut sehingga buku tersebut
menjadi kian menarik. Banyak orang mengganggap kisah dalam buku tersebut adalah
kisah nyata. 1
Orang dengan Factitious Disorder kebanyakan juga menderita gangguan
mental lainnya, terutama gangguan kepribadian. Orang dengan gangguan kepribadian
umumnya memiliki kesulitan dalam mengatasi masalah dan membentuk hubungan
yang sehat. Namun, saat individu berhasil dirawat di rumah sakit, dia akan menjalin
hubungan intens dengan pasien atau staf lain selama dirawat.
Mendiagnosis gangguan ini sangat sulit, karena individu sering kali tidak
jujur. Dokter harus menyingkirkan kemungkinan penyakit fisik dan mental lain
sehingga diagnosis Factitious Disorder dapat dipertimbangkan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2
DEFINISI
Factitious Disorder atau disebut juga Gangguan Berpura-pura adalah kondisi
dimana tidak adanya gangguan fisik atau mental, penyakit atau cacat yang pasti,
individu berpura-pura mempunyai gejala sakit secara berulang-ulang dan konsisten.1
Gejala fisik dapat meluas sampai membuat irisan atau luka sendiri untuk
menciptakan perdarahan atau menyuntikan bahan beracun. Motivasi untuk perilaku
dianggap dari faktor internal, dan kondisi ini diinterpretasikan sebagai suatu gangguan
perilaku sakit dan peran sakit (disorder of illness behavior and the sick role).1

EPIDEMIOLOGI
Prevalensi gangguan berpura-pura tidak jelas. Data epidemiologis tentang
kelainan ini jarang, karena sebagian besar pasien yang memiliki perilaku penyakit
tersebut umumnya tidak terbuka dan jujur mengenai keadaan medis mereka yang
sebenarnya. Gangguan tersebut kurang terdiagnosis karena tipu muslihat pasien
biasanya terlewatkan oleh staf medis. 2

ETIOLOGI (Kaplan Sadock)


Faktor Psikososial
Jika di gali pada riwayat keluarganya, pasien merasakan salah satu atau
kedua orang tua tidak dapat menjalin hubungan dekat dengannya. Pada
pasien yang menginginkan tindakan operasi atau pemeriksaan yang invasif,
cenderung memiliki gangguan kepribadian masokistik. Beberapa pasien, ada
yang menguasai riwayat penyakit dahulunya dan penyakit sekarang. Pasien
mengaku sering dirawat di Rumah Sakit, agar peran sakit semakin terlihat.
Faktor Biologis
Beberapa peneliti menduga bahwa kerusakan otak merupakan penyebab
gangguan berpura-pura. Adanya gangguan proses berpikir berkontribusi
menjadi penyebab terjadinya gangguan tersebut dan penyimpangan perilaku
pada pasien Munchausen Syndrome. Namun, tidak ada pengaruh dari genetik
dan pada Elektroencefalografi (EEG) tidak menunjukan kelainan.
FAKTOR RISIKO
Beberapa faktor dapat meningkatkan risiko pengembangan gangguan ini, termasuk 5:
- Trauma masa kecil, seperti pelecehan emosional, fisik atau seksual

3
- Penyakit serius pada masa kanak-kanak
- Rasa identitas atau harga diri yang buruk
- Kehilangan orang yang dicintai melalui kematian, penyakit atau
ditinggalkan di awal kehidupan
- Keinginan yang tak terpenuhi untuk menjadi dokter atau profesional
kesehatan lainnya
- Bekerja di bidang perawatan kesehatan
- Gangguan kepribadian

KLASIFIKASI

Dalam Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental, Edisi Kelima


(DSM-5), Factitious Disorder berada di bawah Gejala dan Kelainan Somatik. DSM-5
mengkategorikannya ke dalam dua jenis 6 :
1. Gangguan Berpura-pura yang Ditimbulkan untuk Diri Sendiri
Gangguan ini mengacu pada kondisi kejiwaan dimana pasien sengaja
membuat atau memalsukan gejala dan / atau tanda-tanda penyakit untuk
berperan sebagai orang sakit.7
2. Gangguan Berpura-pura yang Ditimbulkan untuk Orang Lain
Individu dengan gangguan ini membuat gejala penyakit pada orang lain
seperti anak-anak, orang dewasa lanjut usia, orang cacat, atau hewan
peliharaan. Paling sering terjadi pada ibu atau pada ayah, yang sengaja
menyakiti anak mereka agar mendapat perhatian. Diagnosis tidak
diberikan kepada korban, melainkan kepada pelaku.6

Berdasarkan pada jenisnya DSM V membagi Gangguan Berpura-pura


kedalam 3 subtipe yaitu 8:

1. Gangguan Berpura-pura dengan tanda dan gejala psikologis yang menonjol.

4
Umumnya pasien melaporkan dan menirukan gejala psikiatri. Gejala
psikiatri yang dilaporkan yaitu gangguan psikosis palsu, Post Traumatic
Stress Disorder, ide bunuh diri, ketergantungan alhohol, atau berpura-pura
menjadi korban pemerkosaan. Pasien dengan gejala psikologis yang
menonjol biasanya juga memiliki komorbid gangguan mental terutama
gangguan axis 2 dan penyalahgunaan zat.

2. Gangguan Berpura-pura dengan tanda dan gejala fisik yang menonjol.

Terdapat tiga cara pasien untuk memalsukan gejala yaitu memberikan


riwayat penyakit yang salah, memanipulasi hasil lab, dan menggunakan
obat-obatan secara rahasia. Penyakit yang sering dikeluhkan pasien yaitu
demam, infeksi, gejala gastrointestinal, luka yang tidak sembuh, kanker,
sakit ginjal (hematuria dan batu ginjal), anemia, perdarahan, dan epilepsy.
Umumnya pasien melebih-lebihkan gejalanya dan sudah paham akan
prosedur rumah sakit.

3. Gangguan Berpura-pura dengan kombinasi tanda dan gejala psikologis dan


fisik.

Tanda dan gejala psikologis maupun fisik ditemukan tetapi tidak ada yang
mendominasi gambaran klinis.

Gangguan Berpura-pura YTT (Not otherwise specified)

Beberapa pasien yang memiliki gejala seperti Factitious Disorder


namun tidak masuk kedalam kriteria diagnosis DSM IV-TR diklasifikasikan
kedalam kategori ini. Di mana seseorang membuat informasi yang
menyesatkan tentang kesehatan orang lain atau menginduksi gejala penyakit
yang sebenarnya pada orang lain. Pertama kali dijelaskan pada tahun 1977
oleh seorang dokter anak Amerika, sindrom ini dikenal dengan sindrom
Munchausen oleh proxy (MSBP) dan hampir selalu melibatkan orang tua
(biasanya ibu) dan anak. MSBP sekarang dipahami sebagai bentuk pelecehan
anak yang melibatkan tindakan terlebih dahulu daripada tindakan impulsif.
Banyak dokter anak di Amerika Serikat percaya bahwa MSBP kurang
terdiagnosis. 1

5
DIAGNOSIS

Anamnesis
Pasien dapat merekayasa dengan riwayat penyakit sebelumnya atau
dengan riwayat buatan ditambah manipulasi dari instrumen pemeriksaan
(misalnya mengklaim dan memanipulasi termometer yang menunjukkan demam),
dengan riwayat dan menggunakan agen eksternal untuk meniru penyakit
(misalnya menambahkan darah eksogen kedalam urin dan mengaku hematuria),
atau dengan riwayat buatan dan merangsang keadaan medis aktual (misalnya
suntik bakteri untuk menghasilkan infeksi, menelan obat SSP aktif menyebabkan
gejala kejiwaan).6
Untuk membuat diagnosis, penting untuk menyingkirkan delusi atau bukti
psikosis lainnya. Factitious Disorder dapat terjadi sebagai episode tunggal atau
rekuren. Individu tersebut juga bisa mencederai diri sendiri seperti membuat
sayatan pada kulit untuk menghasilkan darah. Tidak ada keuntungan yang jelas
mengapa individu menipu orang lain. 6

Menurut PPDGJ III kriteria diagnosis untuk Gangguan ini sebagai berikut :
1. Dengan tidak adanya gangguan fisik atau mental, penyakit atau cacat yang
pasti, individu berpura-pura mempunyai gejala fisik / mental secara berulang-
ulang dan konsisten.
2. Untuk gejala fisik dapat meluas sampai melukai diri sendiri untuk
menciptakan perdarahan atau menyuntik diri dengan bahan beracun.
3. Pura-pura nyeri dan adanya perdarahan dapat begitu meyakinkan dan menetap
sehingga menyebabkan pemeriksaan harus di ulang dan dilakukan operasi di
beberapa klinik dan rumah sakit, meskipun hasilnya berulang-ulang negatif.
4. Motivasi untuk perilaku ini selalu kabur dan dianggap adanya faktor internal,
dan hal ini diinterpretasikan suatu gangguan perilaku sakit dan peran sakit
(disorder of illness behavior and the sick role).
5. Individu dengan pola perilaku demikian biasanya menunjukkan sejumlah
tanda dari kelainan yang berat lainnya dari kepribadian dan hubungan dengan
lingkungan.

Kriteria diagnostik untuk Gangguan Buatan dalam Diagnostic and

6
Statistical Manual of Mental Disorders edisi kelima (DSM-V) adalah sebagai
berikut :

1. Membuat tanda atau gejala fisik atau psikologis atau menyebabkan luka atau
penyakit dengan niat sengaja untuk menipu
2. Berpura-pura sakit atau terluka
3. Penipuan dilakukan tanpa menerima manfaat atau imbalan yang nyata
4. Perilaku tidak sama dengan gangguan mental lainnya

Kriteria DSM-V untuk Gangguan Berpura-pura yang ditimbulkan pada orang


lain meliputi:
1. Membuat tanda atau gejala fisik atau psikologis atau menyebabkan luka atau
penyakit pada orang lain dengan maksud untuk menipu
2. Menyerahkan orang lain (tenaga medis) kepada orang lain sebagai orang sakit,
orang yang terluka atau memiliki masalah fungsi.
3. Penipuan dilakukan tanpa menerima manfaat atau imbalan yang nyata
4. Perilaku tidak sama dengan gangguan mental lain

Gambar 1. Diagnosis Gangguan Berpura-pura 8

7
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Studi laboratorium dapat sangat membantu dalam memfasilitasi
diagnosis penyakit fisik seperti faktual. Misalnya, pasien dengan hipoglikemia
dapat dinilai untuk injeksi insulin eksogen dengan menentukan rasio insulin-
to-C-peptida serum selama episode hipoglikemik. Pasien yang mengeluh batu
ginjal dapat diminta untuk dilakukan pemeriksaan urinalisis. Biopsi jaringan
dapat membantu dalam mengungkapkan sifat faktual dari lesi dimana bahan
asing telah disuntikkan untuk mensimulasikan penyakit alami. Pada gangguan
ini hasil tes yang tidak sesuai dengan penyakit yang diklaim. Namun, pasien
juga dapat membuat hasil laboratorium palsu contohnya proteinuria dengan
menambahkan setetes putih telur (protein murni) ke spesimen urin mereka
atau hematuria dengan setetes darah. 12
Imaging
Pemeriksaan dengan teknik pencitraan berguna dalam pemeriksaan
pasien dengan dugaan gangguan berpura-pura yang datang dengan keluhan
menderita keganasan yang tidak dapat dioperasi atau penyakit
kardiovaskular.12
DIAGNOSIS BANDING
Gangguan berpura-pura (Factitious Disorder) memiliki kesamaan dengan Gangguan
Somatoform dan Malingering yaitu bertujuan untuk berperan sebagai orang sakit.4
1. Gangguan Somatoform
Gangguan somatoform adalah gangguan neurotic dimana penderita mengeluh
memiliki gejala fisik (sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) yang
menandakan adanya gangguan fungsi tubuh tapi tidak dapat ditemukan
penjelasan medis atau sumber organik. Lima gangguan somatoform yang
spesifik adalah 9:
a) Gangguan somatisasi ditandai oleh banyak keluhan fisik yang
mengenai banyak sistem organ.
b) Gangguan konversi ditandai oleh satu atau dua keluhan neurologis.
c) Hipokondriasis ditandai oleh fokus gejala yang lebih ringan dan pada
kepercayaan pasien bahwa ia menderita penyakit tertentu.

8
d) Gangguan dismorfik tubuh ditandai oleh kepercayaan palsu atau
persepsi yang berlebih-lebihan bahwa suatu bagian tubuh mengalami
cacat.
e) Gangguan nyeri ditandai oleh gejala nyeri yang semata-mata
berhubungan dengan faktor psikologis atau secara bermakna
dieksaserbasi oleh faktor psikologis.

2. Malingering
Malingering adalah perilaku berpura-pura sakit untuk mendapatkan
keuntungan tertentu. Malingering tidak dianggap sebagai penyakit mental.
Namun, termasuk ke dalam kondisi lain yang menjadi fokus perhatian klinis.
DSM-5 menggambarkan seperti orang yang berpura-pura sakit dengan
menimbulkan masalah fisik atau psikologis palsu atau terlalu dibesar-
besarkan. Motivasi untuk berpura-pura sakit biasanya eksternal (misalnya,
menghindari tugas militer atau bekerja, memperoleh kompensasi finansial,
menghindari tuntutan pidana, atau memperoleh obat-obatan). Ketika tujuan
mereka telah tercapai, maka gejala malingering akan hilang.10

TATALAKSANA
Tujuan pertama pengobatan untuk Factitious Disorder adalah memodifikasi
perilaku seseorang dan mengurangi penyalahgunaan atau penggunaan sumber daya
medis secara berlebihan. Dalam kasus Gangguan Berpura-pura yang Ditimbulkan
untuk Orang Lain, tujuan utamanya adalah untuk menjamin keamanan dan
perlindungan korban. Begitu tujuan awal terpenuhi, pengobatan bertujuan untuk
mengatasi masalah psikologis yang mendasarinya yang mungkin menyebabkan
perilaku seseorang.

Terapi Somatik
Penting sekali mengobati gejala klinis yang menjadi komorbid gangguan
berpura-pura tersebut. Pasien dengan gangguan tersebut sering kali melebih-
lebihkan penyakitnya. Pada prinsipnya penyakit dasarnya harus ditangani.
Pada pasien dengan Factitious Disorder dan Depresi sebagai komorbidnya

9
diberikan obat pimozide (antidepresan) dan dilaporkan kondisi pasien
mengalami perbaikan.8

Terapi Psikososial
Metode lain berupa konseling digunakan untuk mengobati gangguan tersebut.
Pengobatan fokus pada perubahan pola pikir dan perilaku individu dengan
gangguan (terapi kognitif-perilaku). Pasien dengan gangguan ini akan
menyangkal dan mencari dokter yang tidak bisa mendiagnosis penyakit
mereka. Ada 3 cara untuk membuktikan pasien ini mengalami Gangguan
Berpura-pura yaitu pertama Interpretasikan penyakitnya. Dokter menganggap
penyakit yang dialami pasien merupakan kelainan perilaku dan tidak ada
penyakit biologis. Dokter menawarkan terapi yang tepat untuk pasien namun
pasien harus mengakui dulu kejadian yang sebenarnya agar terapi tersebut
berhasil. Kedua, Terapi Double-Blind dimana dokter menjelaskan bahwa ada
terapi terbaru untuk menyembuhkan penyakitnya. Apabila pasien tidak
sembuh dengan terapi itu, maka jelas pasien mengalami Gangguan Berpura-
pura. Apabila, terapi tersebut berhasil, maka pasien benar-benar sedang sakit.
Pasien harus memilih mengakui kebohongannya atau tetap menjalani terapi.
Ketiga, berikan pasien hipnosis atau hentikan gejala-gejalanya tanpa memaksa
pasien untuk mengakui kebohongannya.8

Terapi Keluarga
Dalam terapi seperti itu, keluarga dibantu untuk lebih memahami pasien
(individu dalam keluarganya dengan Gangguan Buatan) dan kebutuhan
mereka akan perhatian. Dalam pengaturan terapeutik, keluarga didesak untuk
tidak membiarkan atau membenarkan perilaku individu. Gangguan Buatan.
Perawatan tidak akan berhasil jika keluarga tidak mampu bekerja sama atau
menampilkan tanda-tanda penolakan dan / atau gangguan antisosial.12

PROGNOSIS

Dalam kebanyakan kasus, Factitious Disorder adalah kondisi kronis, atau jangka
panjang, yang sangat sulit diobati. Selain itu, banyak orang dengan Factitious

10
Disorder menyangkal bahwa mereka memalsukan gejala dan tidak akan mencari atau
mengikuti pengobatan.6

BAB III
KESIMPULAN

Factitious Disorder atau Gangguan Berpura-pura adalah suatu kondisi gangguan


jiwa dimana seseorang membuat atau memalsukan gejala fisik atau psikologis
dengan tujuan agar bisa dirawat sebagai orang sakit.
Individu dengan gangguan ini biasanya disertai dengan gangguan kepribadian
atau gangguan mental yang lain.
Menurut DSM-V Gangguan berpura-pura dibagi menjadi 3 subtipe yaitu
Gangguan Berpura-pura dengan gejala fisik yang menonjol, Gangguan Berpura-
pura dengan gejala psikologis yang menonjol, dan Gangguan Berpura-pura
dengan gejala kombinasi fisik dan psikologis.

11
Diagnosis gangguan berpura-pura berdasarkan kriteria diagnosis DSM-V atau
PPDGJ III.
Tatalaksana untuk gangguan ini dapat dilakukan dengan terapi somatik, terapi
psikososial, dan terapi keluarga.
Pentingnya menjalin hubungan yang baik antar tenaga medis dengan pasien
gangguan tersebut agar mendapatkan pernyataan yang tepat dan jujur sehingga
terapi yang diberikan bisa berhasil.

12

You might also like