You are on page 1of 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit kusta atau lepra (leprosy) atau disebut juga Morbus Hansen,
adalah sebuah penyakit infeksi menular kronis yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium leprae. Indonesia dikenal sebagai satu dari tiga negara yang
paling banyak memiliki penderita kusta. Dua negara lainnya adalah India dan
Brazil.
Bakteri Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang ahli fisika
Norwegia bernama Gerhard Armauer Hansen, pada tahun 1873 lalu.
Umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan
sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah.
Penyakit kusta disebabkan oleh kuman yang dimakan sebagai
microbakterium, dimana microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak
membentuk spora, berbentuk batang yang tidak mudah diwarnai namun jika
diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga
oleh karena itu dinamakan sebagai basil tahan asam.
Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis
telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara.
Dan diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan
pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum
diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap
individu.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep medis dari Morbus Hansen ?
2. Bagaimana konsep keperawatan dari Morbus Hansen ?
1.3. Tujuan
1. Bagaimana konsep medis dari Morbus Hansen ?
2. Bagaimana konsep keperawatan dari Morbus Hansen ?

1
2
BAB II

(KONSEP MEDIK)

2.1. Definisi
Penyakit kusta (Morbus hansen) adalah suatu penyakit infeksi menahun
akibat bakteri tahan asam yaitu Mycobacterium leprae yang secara primer
menyerang saraf tepi dan secara sekunder menyerang kulit serta organ
lainnya (Depkes RI, 2007)
Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang dapat menimbulkan masalah
kecacatan. Masalah yang timbul tidak hanya pada masalah kesehatan fisik
saja, tetapi juga masalah psikologis, ekonomi dan sosial bagi penderitanya
(Djuanda, 2008).
Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium leprae yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat
menyerang kulit, mulut, otot, tulang dan testis, kecuali susunan saraf pusat
(Friedman, 2010).

2.2. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit kusta menurut Depkes (2007) yaitu dibagi menjadi
tipe paucibacillary (PB) dan multibacillary (MB).
1. paucibacillary (PB)
Tipe paucibacillary atau tipe kering memiliki ciri bercak atau
makula dengan warna keputihan, ukurannya kecildan besar, batas tegas,
dan terdapat di satu atau beberapa tempat di badan (pipi,punggung, dada,
ketiak, lengan, pinggang, pantat, paha, betis atau pada punggung kaki ),
dan permukaan bercak tidak berkeringat. Kusta tipe ini jarang menular
tetapi apabila tidak segera diobati menyebabkan kecacatan.
2. multibacillary (MB).
Tipe yang kedua yaitu multibacillary atau tipe basah memiliki ciri-
ciri berwarna kemerahan, tersebar merata diseluruh badan, kulit tidak

3
terlalu kasar, batas makula tidak begitu jelas, terjadi penebalan kulit
dengan warna kemerahan, dan tanda awal terdapat pada telinga dan wajah.

2.3. Etiologi
Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae yang berbentuk
pleomorf lurus, batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran
0,3-0,5 x 1-8 mikron. Basil ini berbentuk batang gram positif dan bersifat
tahan asam, tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap
dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan
sebagai basil tahan asam, tidak bergerak dan tidak berspora, dan dapat
tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk masa
irreguler besar yang disebut globi. Bakteri Mycobacterium leprae menular
kepada manusia melalui kontak langsung dengan penderita dan melalui
pernapasan, kemudian bakteri membelah dalam jangka 14-21 hari dengan
masa inkubasi rata-rata 2-5 tahun. Setelah lima tahun, tanda-tanda seseorang
menderita penyakit kusta mulai muncul antara lain, kulit mengalami bercak
putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh hingga tidak berfungsi
sebagaimana mestinya

4
2.4. Patofisiologi
Mycobacterium Leprae

Droplet infection atau kontak dg kulit

Masuk dlm pem.darah dermis & sel saraf schwan

System imun seluler meningkat

fagositosis

Pembentukan tuberkel

Morbus Hansen (kusta)

Pause Basiler (PB) Multi Basiler (MB)

G3 saraf tepi

Saraf motor Saraf otonom Saraf sensorik

Kelemahan otot G3 kelenjar minyak & fibrosis


aliran darah

Penebalan saraf
Kulit kering, bersisik,
macula seluruh tubuh
Mati rasa

sekresi histamin G3 fungsi barrier kulit


Terjadi trauma/cedera

Respon gatal Kerusakan


Terjadi luka
integritas kulit
Merangsang mediator
inflamasi

Sekresi mediator
nyeri

5
2.5. Manifestasi klinis

Menurut WHO (2007), diagnosis kusta ditegakkan bila terdapat satu dari
tanda kardinal berikut:

1. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.


Lesi kulit dapat tunggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi
kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi dapat bervariasi
tetapi umumnya berupa makula, papul, atau nodul. Kehilangan sensibilitas
pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf
tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot.
Penebalan saraf tepi saja tanpa disertai kehilangan sensibilitas dan/atau
kelemahan otot juga merupakan tanda kusta.
2. BTA positif.
Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan kulit.
Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan diperiksa ulang
setiap 3 bulan sampai ditegakkan diagnosis kusta atau penyakit lain.

Menurut (Dep Kes RI. Dirjen PP & PL, 2007). Tanda-tanda utama atau
Cardinal Sign penyakit kusta, yaitu:

1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa


Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi)
atau kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesi).

2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan
fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis
perifer). Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa :
a) Gangguan fungsi sensori seperti mati rasa
b) Gangguan fungsi motoris seperti kelemahan otot (parese) atau
kelumpuhan (paralise)
c) Gangguan fungsi otonom seperti kulit kering dan retak-retak.

3. Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (BTA+)

6
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta apabila di temukan satu atau
lebih dari tanda-tanda utama diatas. Pada dasarnya sebagian besar penderita
dapat didiagnosis dengan pemeriksaan klinis. Namun demikian pada
penderita yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan kerokan kulit.
Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua perlu dirujuk kepada wasor
atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap sebagai penderita
yang dicurigai.

2.6. Komplikasi
Penderita lepra dapat mengalami reaksi hampir setiap saat yaitu sebelum
pengobatan, saat diagnosis ditegakkan, selama pengobatan maupun setelah
pengobatan selesai. Sebagian besar reaksi terjadi dalam satu tahun setelah
diagnosis. Pada penderita tipe MB, reaksi dapat timbul setiap saat selama
pengobatan bahkan sampai dengan beberapa tahun setelah pengobatan
(Mansjoer, 2007)

Berikut ini adalah tanda-tanda terjadinya reaksi lepra


1. Pada kulit: peradangan bercak kulit
2. Pada saraf: rasa sakit atau nyeri tekan pada saraf, timbul kehilangan rasa
raba baru dan timbul kelemahan otot baru
3. Pada mata: rasa sakit atau kemerahan pada mata, timbul penurunan daya
penglihatan yang baru, timbul kelemahan otototot penutup mata yang baru

Reaksi lepra dapat digolongkan menjadi dua kategori yaitu:


1. Reaksi tipe 1 disebut juga reaksi reversal.
Reaksi tipe 1 ini disebabkan peningkatan aktivitas sistem
kekebalan tubuh dalam melawan basil lepra atau bahkan sisa basil yang
mati. Peningkatan aktivitas ini menyebabkan terjadi peradangan setiap
terdapat basil lepra pada tubuh, terutama kulit dan saraf. Penderita lepra
dengan tipe MB maupun PB dapat mengalami reaksi tipe 1. Sekitar
seperempat dari seluruh penderita lepra kemungkinan akan mengalami

7
reaksi tipe Reaksi tipe 1 paling sering terjadi dalam enam bulan setelah
mulai minum obat. Beberapa penderita mengalami reaksi tipe 1 sebelum
mulai berobat dimana belum terdiagnosis. Reaksi merupakan tanda
penyakit yang sering muncul pertama yang menyebabkan penderita datang
untuk berobat. Sebagian kecil penderita mengalami reaksi lebih lambat,
baik selama masa Reaksi tipe 1 paling sering terjadi dalam enam bulan
setelah mulai minum obat. Beberapa penderita mengalami reaksi tipe 1
sebelum mulai berobat dimana belum terdiagnosis. Reaksi merupakan
tanda penyakit yang sering muncul pertama yang menyebabkan penderita
datang untuk berobat. Sebagian kecil penderita mengalami reaksi lebih
lambat, baik selama masa
2. Reaksi tipe 2 disebut juga reaksi Erythema Nodusum Leprosum (ENL).
Reaksi tipe 2 ini terjadi apabila basil leprae dalam jumlah besar
terbunuh dan secara bertahap dipecah. Protein dari basil yang mati
mencetuskan reaksi alergi. Reaksi tipe 2 akan mengenai seluruh tubuh dan
menyebabkan gejala sistemikkarena protein ini terdapat dialiran pembuluh
darah Erythema nodusum leprosumhanya terjadi pada penderita tipe MB,
terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada tipe BL,
serta pada ENL tidak terjadi perubahan tipe, berarti bahwa semakin tinggi
tingkat multibasilarnya semakin besar kemungkinan timbulnya ENL.
Secara imunopatologis, ENL termasuk respon imun humoral, berupa
fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. leprae, antibodi
(IgM, IgG) dan komplemen, maka ENL termasuk didalam golongan
penyakit kompleks imun, karena salah satu protein M. leprae bersifat
antigenik maka antibodi dapat terbentuk. Kadar immunoglobulin penderita
lepra lepromatosa lebih tinggi daripada tipe tuberculoid. Hal ini terjadi
oleh karena tipe lepromatosa jumlah kuman jauh lebih banyak daripada
tipe tuberculoid. ENL lebih sering terjadi pada masa pengobatan. Hal ini
dapat terjadi karena banyak kuman lepra yang mati dan hancur, berarti
banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta
mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar

8
dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ.
(Mansjoer, 2007)

2.7. Faktor resiko

- Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Kusta Timbulnya


penyakit kustadiduga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

1. Jenis Kelamin

Dalam menjaga kesehatan biasanya kaum perempuan lebih


memperhatikan kesehatannya dibandingkan laki-laki.Jenis kelamin
berkaitan dengan peran kehidupan dan perilaku yang berbeda antara
laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Perbedaan pola perilaku
sakit juga dipengaruhi oleh jenis kelamin ,perempuan lebih sering
mengobatkan dirinya dibandingkan laki-laki (Soekidjo
Notoatmodjo,2013:114).

Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan.Menurut catatan


sebagian besar negara di dunia kecuali dibeberapa negara di Afrika
menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang dari pada
wanita.Relatif rendahnya kejadian kusta pada perempuan kemungkinan
karena faktor lingkungan atau faktor biologi. Seperti kebanyakan
penyakit menular lainnya laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor
risiko sebagai akibat gaya hidupnya (Depkes RI, 2012: 8).9

2. Umur

Pada penyakit kronik seperti kusta, informasi berdasarkan data


prevalensi dan data umur pada saat timbulnya penyakit mungkin tidak
menggambarkan resiko spesifik umur.Kusta diketahui terjadi pada
semua umur berkisar antara bayi sampai umur tua (3 minggu sampai
lebih dari 70 tahun).Namun yang terbanyak adalah pada umur muda
dan produktif. Diagnosis umur kusta pada fenomena Lucio diketahui

9
antara umur 15 hingga 71 tahun dengan rata-rata umur 34 tahun
(Depkes RI, 2012 : 8; Latapis Lepromatosis, 2013:177)

Pada penyakit kronik seperti kusta diketahui diketahui terjadi pada


semua umur ,namun yang terbanyak adalah pada umur muda dan
produktif. Kejadian suatu penyakit erat hubungannya dengan umur.
(DepKes RI , 2012;:8).

3. Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan disini yaitu pekerjaan atau mata pencaharian
sehari-hari yang dilakukan responden, digolongkan menjadi pekerjaan
ringan (tidak bekerja,pelajar, pegawai kantor) dan pekerjaan berat
(pekerja bangunan, buruh, tukang batu, pekerja bengkel, penjahit,
buruh angkut, pembantu, petani dan nelayan). Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Nur Laily Afidah (2013) tentang analisis faktor
risiko kejadian kusta di Kabupaten Brebes tahun 2010, prosentase jenis
pekerjaan yang berisiko kusta sebesar 85,5% dan yang tidak berisiko
sebesar 14,5%. Uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara
jenis pekerjaan dengan kejadian kusta.Jenis pekerjaan disini yaitu
pekerjaan atau mata pencaharian sehari-hari yang mayoritas dilakukan
warga sekitar wilayah kerja puskesmas kunduran adalah Petani.10
4. Status Sosial
Faktor ini juga sangat berpengaruh terhadap terjadinya kusta
adalah tingkat ekonomi atau status sosial, yang bisa dideskripsikan
dengan besarnya penghasilan.Besarnya penghasilan seseorang turut
mempengaruhi pemenuhan kebutuhan hidup kesehariannya, termasuk
kebutuhan makan dan kesehatan. Jika kebutuhan akan makanan sehat
tidak terpengaruhi maka dapat melemahkan imunitas atau daya tahan
tubuh, sehingga mudah terserang suatu penyakit (Indan, 2013:24)

10
5. Tingkat Pendidikan
Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada
masyarakat agar masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan
(praktik) untuk memelihara (mengatasi masalah-masalah) dan
meningkatkan kesehatannya.Tingkat pendidikan dianggap sebagai
salah satu unsur yang menentukan pengalaman dan pengetahuan
seseorang, baik dalam ilmu pengetahuan maupun kehidupan sosial
(Soekidjo Notoatmodjo, 2013: 26; Budioro, 2012:113).
6. Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu
seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata,
hidung, telinga dan sebagainya).Secara sendirinya, pada waktu
penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat
dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek yang
berbeda-beda (Soekidjo Notoatmodjo, 2013:50).

Pengetahuan yang baik diharapkan menghasilkan kemampuan


seseorang dalam mengetahui gejala, cara penularan penyakit kusta dan
penanganannya11

7. Personal Hygiene

Personal hygiene adalah tindakan pencegahan yang menyangkut


tanggung jawab individu untuk meningkatkan kesehatan serta
membatasi menyebarnya penyakit menular, terutama yang ditularkan
secara kontak langsung (Nur Nasry Noor, 2011: 24).

Penularan penyakit kusta belum diketahui secara pasti, tetapi menurut


sebagian ahli melalui saluran pernafasan dan kulit ( kontak langsung
yang lama dan erat), kuman mencapai permukaan kulit melalui folikel
rambut , kelenjar keringat, dan diduga melalui saluran air susu ibu (
Arief Mansjoer, 2010:65)

11
2.8. Pemeriksaan diagnostic
1. Pemeriksaan bakterioskop
Skin smear atau kerokan kulit adalah pemeriksaan sediaan yang
diperoleh melalui irisan dan kerokan kecil pada kulit yang kemudian
diberi pewarnaan tahan asam untuk melihat M. leprae. Pemeriksaan ini
digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan
pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan
kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil
tahan asam (BTA) yaitu dengan menggunakan Ziehl-Neelsen.
Bakterioskopik negatif pada seorang penderita bukan berarti orang
tersebut tidak mengandung kuman M. leprae

Pertama harus ditentukan lesi kulit yang diharapkan paling padat


oleh kuman, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang
akan diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk
pemeriksaan rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping
telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif yaitu yang paling
eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan kedua cuping telinga tersebut
tanpa melihat ada tidaknya lesi di tempat tersebut, karena pada tempat
tersebut mengandung kuman paling banyak.

Mycobacterium leprae tergolong BTA tampak merah pada sediaan.


Dibedakan atas batang utuh (solid), batang terputus (fragmented) dan
butiran (granular). Bentuk solid adalah kuman hidup, sedangkan pada
bentuk fragmented dan granular adalah kuman mati. Kuman dalam
bentuk hidup lebih berbahaya karena dapat berkembang biak dandapat
menularkan ke orang lain.

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non-solid pada


sebuah sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan rentang
nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley. Indeks bakteri seseorang adalah
IB rata-rata semua lesi yang dibuat sediaan. Pemeriksaan dilakukan

12
dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak emersi pada
pembesaran lensa objektif 100 kali.

Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid


dibandingkan dengan jumlah solid dan non-solid yang berguna untuk
mengetahui daya penularan kuman dan untuk menilai hasil pengobatan
dan membantu menentukan resistensi terhadap obat (Chandrasoma,
2006)..

2. Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologi pada penyakit lepra dilakukan untuk
memastikan gambaran klinik, misalnya lepra Indeterminate atau
penentuan klasifikasi lepra. Granuloma adalah akumulasi makrofag dan
atau derivat-derivatnya. Gambaran histopatologi tipe tuberculoid adalah
tuberkel dengan kerusakan saraf lebih nyata, tidak terdapat kuman atau
hanya sedikit dan non-solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi
subepidermal (subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah langsung
dibawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel
Virchow dengan banyak kuman. Terdapat campuran unsur-unsur tersebut
pada tipe Borderline (Djuanda, 2008 ).

3. Pemeriksaan serologis
Pada pemeriksaan serologis lepra didasarkan atas terbentuknya
antibodi tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang
terbentuk dapat bersifat spesifik dan tidak spesifik. Antibodi yang
spesifik terhadap M. leprae yaitu antibody antiphenolic glycolipid-1(PGL
1) dan antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang
tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang
juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis.

Pemeriksaan serologis ini dapat membantu diagnosis lepra yang


meragukan karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Selain itu

13
dapat juga membantu menentukan lepra subklinis, karena tidak terdapat
lesi kulit, misalnya pada narakontak serumah. Macam-macam
pemeriksaan serologik lepra adalah uji MLPA (Mycobacterium Leprae
Particle Aglutination), uji ELISA (Enzym Linked Immuno-sorbent
Assay), ML dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick) (Chandrasoma,
2006)..

2.9. Penatalaksaan
1. TERAPI MEDIK
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan
pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata
rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada
orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi
rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini
bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat,
mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan
mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO
2007 sebagai berikut:
a) Tipe PB ( PAUSE BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
1. Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
2. DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah

Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah


selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya
masih aktif. Menurut WHO(2007) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi
menggunakan istilah Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi
dalam pengawasan.

14
b) Tipe MB ( MULTI BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
1. Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
2. Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan
klofazimin 50 mg /hari diminum di rumah
3. DDS 100 mg/hari diminum dirumah

Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan


sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis
lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO
(2007) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam
12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.

c) Dosis untuk anak


Klofazimin:
1. Umur dibawah 10 tahun :
Bulanan 100mg/bln
Harian 50mg/2kali/minggu
2. Umur 11-14 tahun
Bulanan 100mg/bln
Harian 50mg/3kali/minggu

DDS:1-2mg /Kg BB

Rifampisin:10-15mg/Kg BB

d) Pengobatan MDT terbaru


Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. pasien kusta tipe
PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600
mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung
dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6

15
dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif
dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.
e) Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis
dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta
tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang
seharusnya.

Kemoterapi kusta dimulai pada tahun 1949 dengan DDS sebagai


obat tunggal (monoterapi DDS). DDS harus diminum selama 3-5
tahun untuk PB, sedangkan untuk MB 5-10 tahun, bahkan seumur
hidup. Kekurangan monoterapi DDS adalah terjadinya resistensi,
timbulnya kuman persister serta terjadinya pasien defaulter.

Pada tahun 1964 ditemukan resistensi terhadap DDS. Oleh sebab


itu pada tahun 1982 WHO merekomendasi pengobatan kusta dengan
Multi Drug Therapy (MDT) untuk tipe MB maupun PB.

Tujuan pengobatan adalah :


1. Memutuskan mata rantai penularan.
2. Mencegah resistensi obat.
3. Memperpendek masa pengobatan.
4. Meningkatkan keteraturan berobat.
5. Mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat
yang sudah ada sebelum pengobatan.

Dengan matinya kuman maka sumber penularan dari pasien,


terutama tipe MB ke orang lain terputus. Cacat yang sudah terjadi
sebelum pengobatan tidak dapat diperbaiki oleh MDT. Bila pasien
kusta tidak minum obat secara teratur, maka kuman kusta dapat
menjadi resisten/kebal terhadap MDT, sehingga gejala penyakit

16
menetap, bahkan meburuk. Gejala baru dapat timbul pada kulit dan
saraf.

2. PERAWATAN UMUM

Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan.


Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi,
baik karena kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan
reaksi netral.

a. Perawatan mata dengan lagophthalmos


1) Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau
kotoran
2) Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat
3) Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu
b. Perawatan tangan yang mati rasa
1) Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda-
tanda luka, melepuh
2) Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih kurang
setengah jam
3) Keadaan basah diolesi minyak
4) Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
5) Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku
6) Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka
c. Perawatan kaki yang mati rasa
1) Penderita memeriksa kaki tiap hari
2) Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang jam
3) Masih basah diolesi minyak
4) Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
5) Jari-jari bengkok diurut lurus
6) Kaki mati rasa dilindungi
d. Perawatan luka

17
1) Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
2) Luka dibalut agar bersih
3) Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
4) Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas

Tanda penderita melaksanakan perawatan diri:


1. Kulit halus dan berminyak
2. Tidak ada kulit tebal dan keras
3. Luka dibungkus dan bersih
4. Jari-jari bengkak menjadi kaku

2.10. Pencegahan
1. Pencegahan Primer dapat dilakukan dengan :
a. Penyuluhan Kesehatan
Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang
belum terkena penyakit kusta dan memiliki resiko tertular karena
berada disekitar atau dekat dengan penderita seperti keluarga
penderita dan tetangga penderita, yaitu dengan memberikan
penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan yang diberikan petugas
kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan
pengetahuan, kemauan, dan kemampuan masyarakat yang belum
menderita sakit sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan
melindungi kesehatannya dari penyakit kusta.
b. Pemberian Imunisasi
Sampai saat ini ditemukan upaya pencegahan primer penyakit
kusta seperti pemberian imunisasi. Dari hasil penelitian di Malawi
tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali
dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%,
sedangkan pemberian dua kali dapat memberikan perlindungan
terhadap kusta sebanyak 80%, namun demikian penemuan ini belum
menjadi kebijakan program di indonesia karena penelitian beberapa

18
negara memberikan hasil berbeda pemberian vaksinasi BCG
tersebut.
2. Pencegahan Sekunder dapat dilakukan dengan :
a. Pengobatan pada penderita kusta
Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai
penularan, menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya
cacat, atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum
pengobatan. Pemberian Multi drug therapy pada penderita kusta
terutama pada tipe multibaciler karena tipe tersebut merupakan
sumber kuman menularkan pada orang lain.
3. Pencegahan Tersier dapat dilakukan dengan :
a. Pencegahan Cacat Kusta
Pencegahan tersier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada
penderita. Upaya pencegahan cacat terdiri atas :
- Upaya Pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini
penderita sebelum cacat, pengobatan secara teratur dan
penanganan reaksi untuk mencegah terjadinya kerusakan fungsi
saraf.
- Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri
untuk mencegah luka dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang
sudah mengalami gangguan fungsi saraf.
b. Rehabilitasi Kusta
Rehabilitasi pada penderita kusta meliputi :
- Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk
mencegah terjadinya kontraktur .
- Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami
kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan.
- Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi
- Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan
normal terbatas pada tangan.

19
- Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita
cacat. (Depkes, 2007)

20
KONSEP KEPERAWATAN

2.11 PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
Mencakup Nama, umur Jenis Kelamin alamat, pekerjaan pendidikan
agama dll.
2. Riwayat Kesehatan
- Riwayat Kesehatan Dahulu :
Biasanya klien pernah menderita penyakit atau masalah dengan
kulit misalnya: penyakit panu.kurab. dan perawatan kulit yang
tidak terjaga atau dengan kata lain personal higine klien yang
kurang baik
- Riwayat Kesehatan Sekarang :
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan
keluhan adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri
tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum
penderita (demam ringan) dan adanya Komplikasi pada organ
tubuh dan gangguan perabaan ( mati rasa pada daerah yang lesi )
- Riwayat Kesehatan keluarga :
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang
disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa
inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota
keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular
3. Riwayat Psikososial
Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar
masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit
kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga
klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan
fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita
4. Riwayat Sosial Ekonomi

21
Biasanya klien yang menderita penyakit ini kebanyakan dari
golonganmenengah kebawah terutam apada daerah yang
lingkungannya kumuh dan sanitasi yang kurang baik
5. Pola Aktifitas Sehari-hari
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan
dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada
orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak
memungkinkan.
6. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi
berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah
karena adanya gangguan saraf tepi motorik.
1) Sistem penglihatan
Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi
sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan
kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan
lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe
II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh
akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada
bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok
2) Sistem pernafasan
Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat
gangguan pada tenggorokan
3) Sistem Persyarafan
- Kerusakan Fungsi Sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/
mati rasa. Alibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan
kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan
kurang/ hilangnya reflek kedip.
- Kerusakan fungsi motorik

22
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh
dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak
dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan
akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila
terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat
dirapatkan (lagophthalmos).
- Kerusakan fungsi otonom
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan
gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering,
menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.
4) Sistem musculoskeletal
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau
kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
5) Sistem Integumen.
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak
eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul
(benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan
kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah
sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut:
sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.

23
2.12 DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kerusakan Integritas Kulit (00046)
Domain 11 : Keamanan/Perlindungan
Kelas 2 : Cedera Fisik
2. Hambatan Mobilitas fisik (00085)
Domain 4 : Aktivitas/Istirahat
Kelas 2 : Aktivitas/Olahraga
3. Hipertermi (00007)
Domain 11 : Keamanan/Perlindungan
Kelas 6 : Termoregulasi
4. Gangguan Citra Tubuh (00118)
Domain 6 : Persepsi Diri
Kelas 3 : Citra Tubuh
5. Resiko Cedera (00035)
Domain 11 : Keamanan/Perlindungan
Kelas 2 : Cedera Fisik

24
2.13 RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA NOC NIC RASIONAL


KEPERAWATAN
1 Kerusakan Integritas Kulit 1. Integritas jaringan Observasi : Observasi
(00046) 2. Respon alergi 1. Kaji ada atau tidaknya 1. Untuk mengetahui ada
Domain 11 : Keamanan / tanda-tanda infeksi luka tidaknya infeksi
Perlindungan Kelas 2 Cedera Kriteria hasil : setempat ( mis. Nyeri saat khususnya pada saat
Fisik Setelah dilakukan tindakan palpasi, edema, pruritus, klien mengalai pritus
keperawatan selama 2x24jam indurasi, hangat , bau
Definisi : Perubahan masalah integritas kulit dapat busuk, eskar, dan eksudat Mandiri
/gangguan epidermis dan/atau teratasi : ) 2. Agar tidak
dermis. 1. Menunjukan integritas terkontaminas dengan
Mandiri
kulit dan membran mukosa bakteri yang ada
2. Lindungi pasien dari
Batasan karakteristik : tidak ada didaerah laen
ekskresi luka lain
- Kerusakan pada lapisan gangguan(suhu,elastisitas,h 3. Agar daerah tersebut
3. Bersihkan area yang gatal
kulit ( dermis ) idrasi,dan sensasi) bersih dari bakteri
prinsip steril.
- Kerusakan pada 2. Tidak ada lepuh atau 4. Untuk mencegah dan
4. Manajemen pruritus :
permukaan kulit maserasu pada kulit mengurangi gatal
mencegah dan mengobati

25
(epidermis) 3. Nekrosis, selumur, lubang , gatal Health education
- Invasi struktur tubuh perluasan luka ke jaringan 5. Untuk menjaga
Health education
dibawah kulit, atau kenyamanan klien
Faktor yang berhubungan : pembentukan saluran sinus 5. Intruksikan pada 6. Sehingga dapat
1. Faktor eksternal berkurang atau tidak ada keluarga/pasien untuk mencegah dari adanya
- Zat kimia 4. Eritema kulit dan disekitar menggantikan pakaian bekas luka atau
- Kelembapan luka minimal. yang bersih. kerusakan kulit lainnya
- Hipertermia 6. Ajarkan kepada klien 7. Agar klien dan keluarga

- Hipotermia untuk tidak menggaruk memahami penyakit


- Obat pada saat gatal yang didertita dan dapat
- Radiasi 7. Ajarkan kepada klien dan melakukan pencegahan.
2. Faktor internal kelurarga tentang penyakit

- Perubahan turgor ( herpes zozter dan cara Kolaborasi

perubahan elastisitas ) penukarannya 8. Untuk mengurangi rasa


- Defisit imunologi Kolaborasi gatal yang dirasakan
- Gangguan sirkulasi 8. Melakukan kolaborasi 9. Obat asiklovir salah satu
- Gangguan status dengan dokter dalam jenis obat untuk
metabolik pemberian obat kulit ( mengobati virus herpes
zoster

26
salep) 10. Pemberian antiobiotik
9. Kolaborasikan dengan untuk mencegah adanya
dokter untuk pemberian infeksi bakteri yang
obat horpes zozter seperti berkembangbiak.
asiklovir.
10. Kolaborasikan dnegan
dokter untuk pemberian
antibiotik sebagai
pencegahan untuk
terjadinya infeksi.

2 Hambatan Mobilitas Fisik 1. Ambulasi Observasi Observasi


(00085) 2. Mobolitas 1. Kaji kemampuan pasien 1. Untuk mengetahui
Domain 4 : Aktivitas/ Istrahat 3. Fungsi skeletal dalam mobilisasi kemampuan klien
Kelas 2 : Aktivitas/ Latihan 2. Monitor vital sign berpindah dari satu
Kriteria Hasil : sebelum/sesudah latihan tempat ketempat yang
Definisi : Keterbatasan pada Setelah dilakukan asuhan dan lihat respon pasien lain.
pergerakan fisik tubuh atau keperawatan selama ...x 24 jam saat latihan 2. Untuk mengetahui
satu atau lebih ekstremitas klien dapat : TTV klien sebelum

27
secara mandiri dan terarah. 1. Melakukan aktivitas Mandiri dan sesudah
kehidupan sehari-hari 3. Terapi latihan fisik melakukan latihan
Batasan Karakteristik : secara mandiri dengan (latihan kekuatan) berubah atau tidak.
- Perubahan cara berjalan atau tanpa alat bantu 4. Terapi latihan fisik :
- Keterbatasan 2. Melakukan pergerakan Ambulasi Mandiri
kemampuan melakukan dalam lingkungan secara 5. Terapi latihan fisik : 3. Untuk
keterampilan motorik mandiri dengan atau tanpa pengendalian otot mempertahankan atau
halus alat bantu. meningkatkan
- Keterbatasan melakukan 3. Klien meningkat dalam Health Education kekuatan otot
keterampilan motorik melakukan aktivitas fisik 6. Ajarkan pasien tentang 4. Untuk meningkatkan
kasar tentang teknik ambulasi dan membantu dalam
- Pergerakan lambat berjalan dalam
- Gerakan tidak teratur Kolaborasi mempertahankan atau
atau tidak terkoordinasi 7. Konsultasikan dengan mengembalikan fungsi
terapi fisik tentang tubuh dari kondisi
Faktor yang berhubungan : rencana ambulasi sesuai sakit atau cedera.
- Penurunan kendali otot dengan kebutuhan 5. Untuk meningkatkan
- Gangguan atau mengembalikan
musculoskeletal gerakan tubuh yang

28
- Gangguan terkendali
neuromuskulor
- Hilangnya integritas Health Education
struktur tulang 6. Agar klien dapat
berpindah tempat
secara mandiri

Kolaborasi
7. Agar kelemahan otot
yang dialami klien
bisa segera teratasi.

29
3 Hipertemia (00007) 1. Termoregulasi Observasi Observasi
Domain : 11 Keamanan / 1. Kaji vital sign 1. Untuk mengetahui
Perlindungan Kriteria hasil: 2. Kaji suhu tubuh sesering keadaan tanda-tanda
Kelas : 6 Termogulator Setelah dilakukan asuhan mungkin tiap 2 jam sekali vital
keperawatan selama ...x 24 jam 3. Monitor warna kulit 2. Untuk mengetahui
Definisi : peningkatan suhu klien dapat.. 4. Monitor intake dan output adanya perubahan pada
tubuh diatas kisaran normal 1. Suhu tubuh klien dalam setiap kali pemeriksaan
rentang normal Mandiri 3. Untuk mengetahui ada
Batasan karakteristik: 2. Tidak ada perubahan 5. Tingkatkan intake cairan perubahan warna kulit
- konvulsi warna kulit kemerahan dan nutrisi melalui oral 4. Untuk mengetahui
- kulit kemerahan 3. Vital sign klien normal 6. Selimuti klien apakah intake sama
- peningkatan suhu tubuh 4. Klien tidak merasa lemah 7. Berikan pakaian yang tipis dengan output
diatas normal dan pusing 8. Batasi aktivitas klien dan Mandiri :
- kejang tingkatkan istirahat pada 5. Untuk memenuhi
- takikardi klien nutrisi yang adekuat
- takipnea 6. Agar proses penurunan
- kulit terasa hangat Health education panas berjalan dengan
9. Ajarkan kepada keluarga efektif
Faktor yang berhubungan: tentang definisi, etiologi, 7. Agar bisa menyerap

30
- anastesia manifestasi dan keringat
- penurunan respirasi penatalaksanaan dari herpes 8. Untuk meningkatkan
- dehidrasi simpleks kestabilan kondisi klien
- medikasi 10. Ajarkan kepada klien
- trauma untuk mencegah keletihan Health edukasi:
- aktivitas berlebihan 9. Agar kien dan keluarga
- peningkatan laju Kolaborasi mengetahui lebih jelas
metabolisme 11. Kolaborasikan dengan mengenai penyakit
- penyakit dengan dokter pemberian yang di alami
cairan infus 10. Agar klien bisa
12. Kolaborasikan dengan membatasi aktivitas
dokter pemberian obat
antipiuretik Kolaborasi
11. Untuk memenuhi
kebutuhan cairan klien
12. Untuk mengurangi
peningkatan suhu tubuh

4 Gangguan Citra Tubuh - Citra tubuh Observasi : Observasi :

31
(00118) 1. Kaji dan dokumentasikan 1. Untuk mengetahui
Domain 6 : Persepsi Diri Kriteria Hasil : respon verbal dan perasaan klien
Kelas 3 : Citra Tubuh Setelah dilakukan tindakan nonverbal terhadap tubuh mengenai kondisi
keperawatan selama x24 jam pasien tubuhnya yang
Definisi : gangguan citra tubuh teratasi 2. Identifikasi pengaruh sekarang
Konfusi pada gambaran dengan kriteria hasil : budaya ,agama, ras jenis 2. Mengetahui jika
mental fisik diri seseorang - Body image positif kelamin, dan usia pasien gangguan citra tubuh
- Mendiskripsikan secara menyangkut citra tubuh klien berhubungan
Batasan karakteristik : factual perubahan fungsi 3. Pantau frekuensi dengan salah satu
Subjektif : tubuh mengkritik diri factor
- Rasa takut terhadap - Kepuasan terhadap 3. Mengetahui seberapa
penolakan atau reaksi dari penampilan dan fungsi Mandiri : sering klien mengkritik
orang lain tubuh 4. Beri dorongan kepada diri dan ketidakpuasan
- Berfokus pada kekuatan, pasien untuk akan tampilan diri
fungsi atau penampilan di mengungkapkan perasaan
masa lalu 5. Dukung mekanisme Mandiri :
- Perasaan negative tentang koping yang biasa 4. Agar pasien bisa
tubuh (misalnya, perasaan digunakan pasien , contoh mengungkapkan
putus asa, tidak mampu, tidak meminta pasien perasaannya mengenai

32
atau tidak berdaya) untuk megeksplorasi tubuhnya
perasaannya jika pasien 5. Untuk menghargai
Objektif : tampak enggan perasaan pasien
- Perubahan actual pada melakukannya mengenai perubahan
struktur dan fungsi 6. Berikan perawatan dengan citra tubuh yagn
[tubuh] cara tidak menghakimi, diasakan
- Perilaku menghindar, jaga privasi dan martabat 6. Agar klien tidak merasa
memantau, atau mencari pasien bahwa harga dirinya
tahu tentang tubuh telah direndahkan
individu HE : karena mempunyai
- Perubahan dalam 7. Ajarkan tentang cara gangguan pada
keterlibatan social merawat dan perawatan tubuhnya
- Menutupi atau terlalu diri, termasuk komplikasi
memperlihatkan bagian kondisi medis. HE :
tubuh (dengan sengaja 7. Agar klien dan keluarga
atau tidak sengaja) Kolaborasi : bisa merawat bagian
- Tidak menyentuh bagian 8. Tawarkan untuk tubuh yang sedang
tubuh menghubungi sumber- mengalami gangguan
sumber komunitas yang

33
Faktor yang berhubungan : tersedia untuk Kolaborasi :
- Penyakit pasien/keluarga 8. Agar klien bisa
- Trauma atau cedera mendapatkan komunitas
dan berkonsultasi
mengenai gangguan
citra tubuh yang
dialami.
5 Resiko Cedera (00035) 1. Risk Control Observasi Observasi
Domain 11 : Kriteria hasil 1. Identifikasi kebutuhan 1. Untuk mengetahui
Keamanan/Perlindungan 1. Klien terbebas dari cedera keamanan klien sesuai kebutuhan keamanan
Kelas 2 : Cedera Fisik 2. Klien mampu dengan kondisi fisik dan klien sesuai dengan
Definisi : Rentan mengalami menjelaskan cara/ metode fungsi kognitif klien dan kondisi fisik dan fungsi
cedera fisik akibat kondisi untuk mencegah injury/ riwayat penyakit terdahulu kognitif klien dan
lingkungan yang berinteraksi cedera klien riwayat penyakit
dengan sumber adaptif dan 3. Klien mampu 2. Mengontrol lingkungan terdahulu klien
sumber defensive individu, menjelaskan factor dari kebisingan 2. Agar klien dapat
yang dapat mengganggu resikodari lingkungan/ merasakan
kesehatan perilaku personal Mandiri kenyamanan
Faktor Resiko : 4. Mampu memodifikasi 3. Sediakan lingkungan yang lingkungan sekitar

34
1. Ekterna gaya hidup untuk aman untuk klien Mandiri
- Agens nosokomial mencegah injury 4. Menghindarkan 3. Agar klien terhindar
- Gangguan fungsi 5. Menggunakan fasilitas lingkungan berbahaya dari cedera fisik
kognitif kesehatan yang ada (misalnya memindahkan 4. Untuk menghidari
- Gangguan fungsi 6. Mampu mengenali perabotan) klien dari cedera
psikomotor perubahan status 5. Memasang side prail 5. Untuk keamanan
- Hambatan fisik kesehatan tempat tidur tempat tidur klien
(mis : desain, 6. Menyediakan tempat tidur 6. Agar klien merasa
struktur, yang nyaman dan bersih nyaman dan terhindar
pengaturan 7. Membatasi pengunjung dari bahaya fisik
komunitas, 8. Menganjurkan keluarga 7. Agar klien merasakan
pembangunan, untuk menemani klien kenyamanan
peralatan) lingkungan
- Hambatan sumber Health Education 8. Agar klien merasa
nutrisi (mis : 9. Berikan penjelasan pada aman
vitamin, tipe klien dan keluarga atau
makanan) pengunjung adanya Health Education
- Moda transportasi perubahan status 9. Agar klien mengetahui
tidak aman kesehatan dan penyebab adanya perubahan

35
- Pajanan pada kimia penyakit status kesehatan dan
toksik Kolaborasi - penyebab penyakit.
- Pajanan pada
patogen
- Tingkat imunisasi
dikomunitas
2. Internal
- Disfungsi biokimia
- Disfungsi efektor
- Disfungsi imun
- Disfungsi integrasi
sensori
- Gangguan
mekanisme
pertahanan primer
(kulit robek)
- Gangguan orientasi
afektif
- Gangguan sensasi

36
(akibat cedera
medulla spinalis,
diabetes mellitus,
dll)
- Hipoksia jaringan
- Malnutrisi
- Profil darah yang
abnormal
- Usia ekstrem

37
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kusta (Lepra) adalah penyakit infeksi yang kronik penyebabnya ialah


Mycobacterium leprae yang intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas
pertama, lalu kulit dan mukosa traktur respiratorius bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecuali sususan saraf pusat. Terdiri atas beberapa macam
yaitu Lepra Tuborkoloid, Lepra Lepromatosa, dan Lepra Borderline. Gejala
yang ditimbulkan dapat berupa lesi kulit, penebalan dan perubahan sensibilitas
kulit, serta dapat terjadi kelemahan otot akibat kerusakan saraf tepi.

3.2 Saran

Dalam pembuatan makalah ini penyusun menyadari tentu banyak kekurangan


dan kejanggalan baik dalam penulisan maupun penjabaran materi serta
penyusunan atau sistematik penyusunan.
Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca semua. Dan penyusun juga berharap semoga makalah ini dapat
memberi manfaat bagi kita semua.

38
DAFTAR PUSTAKA

Afidah laily nur (2013) , Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian


Cacat Tingkat 2 Pada Penderita Kusta. Skripsi : Universitas Negeri

Arif Mansjoer, 2010, : 65Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius


Fakultas.

Budioro, 2012, : 113 Pengantar Ilmu Kesehatan Masyarakat, Semarang: FKM


UNDIP.Chandrasoma, Parakrama dan Clive R. Taylor. 2006. Ringkasan
Patologi Anatomi Edisi 2. Jakarta : EGC

Departemen Kesehatan RI. (2007). Buku Pedoman Nasional Pengendalian


Penyakit Penyakit Kusta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2012,: hal. 8 . Buku Pedoman


Pemberantasan
Djuanda, A. (2008). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi Kelima. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Friedman. (2010). Buku Ajar Keperawatan Keluarga Riset, Teori dan Praktek,
Edisi Kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Indan, 2013, : 24 ilmu penyakit kulit dan kelamin Jakarta : FKUI.

Judith M. Wilkinson, Nancy R Ahern. (2014). Buku Saku Diagnosis Keperawatan


Edisi 9. Jakarta : EGC.
lepromatosis Latapis, 2013. Faktor-Faktor Resiko yang Berpengaruh Terhadap
Terjadinya reaksi kusta39

Mansjoer, arif dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 2. Jakarta :
Media Aesculapius

Notoatmojo, Soekidjo. 2013.:hal 26,50 114, Metodologi Penelitian Kesehatan.


Jakarta: Rineka Cipta.

39
Noor Nasry Nur, 2011, : hal. 24. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular,
Jakarta : Rineka Cipta

Price, Sylvia Anderson, Ph.D., R.N . (2013). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-
proses penyakit. (Edisi keempat). Jakarta : EGC
RI, D. K. (2007). Buku Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit-penyakit Kusta

T. Heather Herdman, P. R. (2016). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi


Edisi 10. Jakarta: EGC.

Wilkinson, J. M. (2016). Diagnosis Keperawatan Edisi 10. Jakarta: EGC.

40
41

You might also like