You are on page 1of 25

LAPORAN KASUS

Dosen Pembimbing :
dr. Rosa, Sp.P

Oleh :
Nia Nurhayati Zakiah 2012730067

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA SUKAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan sesuai pada waktu yang telah
ditentukan.
Salawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga,
serta para pengikutnya hingga akhir zaman. Laporan ini dibuat buat sebagai dasar
kewajiban dari suatu proses kegiatan yang dilakukan yang kemudian diaplikasikan dalam
bentuk praktik kehidupan sehari-hari.
Terimakasih kami ucapkan kepada pembimbing yang telah membantu dalam
kelancaran pembuatan laporan ini, dr. Rosa, Sp.P Semoga laporan ini dapat bermanfaat
bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Kami harapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk menambah
kesempurnaan laporan kami.

Jakarta, September 2017

Penyusun

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi saluran pernapasan menjadi penyebab angka kematian dan kesakitan yang tinggi
di dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek umum berhubungan dengan infeksi saluran
napas yang terjadi di masyarakat atau di dalam rumah sakit. Pneumonia yang merupakan bentuk
infeksi saluran napas bawah akut di parenkim paru dijumpai sekitar 15-20%. 1
Insidensi pneumonia di Indonesia menurut WHO pada tahun 2007 adalah 65,9%.2 Di
RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data sekitar 180 pneumonia dengan angka kematian
antara 20 - 35%. Pneumonia menduduki peringkat keempat dari sepuluh penyakit terbanyak
yang dirawat per tahun.1
Pneumonia dapat terjadi secara primer atau merupakan tahap lanjutan dari infeksi saluran
pernapasan lainnya. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari
untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak
segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotik secara empiris.1

2
BAB II
KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. M
Usia : 36 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Cilincing, Jakarta Utara
Tanggal masuk : 20 September 2017

B. Anamnesis
- Keluhan Utama
Sesak sejak 2 hari SMRS.

- Keluhan Tambahan
Demam, batuk berdahak, lemas, penurunan nafsu makan, mual, muntah.

- Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan sesak sejak 2 hari sebelum masuk
rumah sakit (SMRS). Sesak dirasakan semakin memberat. Sesak tidak dipengaruhi
cuaca & emosi. Sesak timbul saat pasien beraktivitas dan diperberat terutama ketika
pasien batuk. Pasien mengaku sesak tidak disertai dengan nyeri dada.
Sebelum sesak pasien mengaku mengalami batuk batuk yang hilang timbul
sejak kurang lebih 3 hari terakhir, batuk dirasakan semakin memberat dan berdahak
dengan dahak berwarna putih kekuningan kental. Bunyi ngik saat batuk (-), batuk
darah (-), batuk terutama malam atau dini hari (-).
Pasien juga mengatakan demam sejak 7 hari SMRS, demam memuncak di sore
menjelang malam hari, demam biasanya turun setelah meminum obat penurun panas.
Keluhan disertai dengan keluhan mual dan muntah, muntah sudah 3 kali berisi
makanan, lendir dan darah disangkal. Pasien mengalami penurunan nafsu makan
semenjak sakit sehingga terasa lemas. Pasien menyangkal adanya penurunan berat

3
badan (-), keringat malam (-), pusing (-), nyeri kepala (-), pilek (-), mimisan (-), nyeri
menelan (-), buang air kecil dan buang air besar tidak ada keluhan.

- Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat penyakit jantung, diabetes mellitus, asma, TB dan hipertensi disangkal.

- Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit jantung, diabetes mellitus, asma, TB dan hipertensi pada keluarga
disangkal.

- Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku sudah berobat ke puskesmas dan diberikan obat amoxicillin,
paracetamol, vitamin B6 dan vitamin B complex namun tidak ada perubahan.

- Riwayat Alergi
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi pada obat, makanan, dan cuaca.

- Riwayat Psikososial
Pasien seorang ibu rumah tangga, makan biasanya 3 kali dalam sehari. Tetapi saat
sakit nafsu makan pasien menurun. Dilingkungan pasien tidak ada yang mengeluhkan
apa yang pasien keluhkan. Pasien tidak pernah merokok dan tidak pernah
mengkonsumsi minuman yang mengandung alkohol.

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Antropometri : BB 45 kg TB 150 cm IMT = 45 = 20.0 (Normoweight)
(1.5)2
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 84x/menit

4
Pernafasan : 26x/menit
Suhu : 38C
Status generalis
- Kepala : Normocepal, rambut warna hitam merata, tidak mudah rontok
- Mata : CA (-/-), SI (-/-), pupil bulat isokor 2mm, reflex cahaya langsung
+/+.
- Hidung : Deviasi septum (-), secret (-/-), deformitas (-)
- Mulut : Mukosa bibir lembab, faring hiperemis (+), T1/T2
- Telinga : Normotia, secret (-/-)
- Leher : Pembesaran KGB (-)

- Thoraks
Paru-paru : Inspeksi : Paru simetris, tidak ada yang tertinggal.
Palpasi : Vocal fremitus sama kanan dan kiri.
Perkusi : sonor kedua lapang paru.
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronki (+/-),wheezing (-/-)
Jantung Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V linea
midcalvicularis sinistra
Perkusi : Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Batas kanan : ICS IV linea sternalis dextra
Batas kiri : ICS VI linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop
(-)
- Abdomen : Inspeksi : Tampak datar, tidak ada bekas bekas operasi
Auskultasi : BU (+)
Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (+)
Perkusi : Timpani dikeempat kuadran abdomen
- Ektremitas atas : Akral hangat, edema (-/-), CRT < 2 detik
- Ekstremitas bawah : Akral hangat, edema (-/-), CRT < 2 detik

5
D. Pemeriksaan Penunjang
Tanggal Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
19 September
Hemoglobin 12.5 g/dL 11.3 15.7
2017
Leukosit 11.0 103/L 3.98 10.04
Hematokrit 37.4 % 34.1 44.9
Trombosit 377 103/L 182 369
Karbohidrat
Gula Darah
128 Mg/dL <120
Sewaktu
Enzym
Kreatinin 0.6 mg/dL 0.6 1.1
20 September
Enzym
2017
SGPT 8 U/L <31
Uji Widal
S. Typhosa H 1/320 Negatif
S. Paratyphosa
Negative Negatif
AH
S. Paratyphosa
1/80 Negatif
BH
S. Typhosa O Negative Negatif
S. Paratyposa
Negative Negatif
AO
S. Paratyposa
1/80 Negatif
BO

6
COR CTR Normal. Aorta normal
Sinus dan diafragma normal
Pulmo : Hili normal, corakan vascular ramai
Tampak infiltrate di suprahiler kanan
Trachea di tengah
Kesan : COR tidak membesar
Bronchopneumonia kanan.
E. Resume
Ny. M 36 tahun datang dengan dispnea sejak 2 hari SMRS yang semakin
memberat terutama saat aktivitas & batuk. Dispnea tanpa disertai nyeri dada. Sebelumnya
pasien batuk batuk hilang timbul sejak 3 hari terakhir, yang semakin memberat dan
batuk berdahak dengan dahak berwarna putih kekuningan kental. Keluhan disertai febris
sejak 7 hari, febris meningkat terutama pada sore menuju malam hari dan turun setelah
minum obat. Pasien mengeluhkan mual dan muntah 3 kali. Os menyangkal memiliki
riwayat Asma Bronkial dan riwayat alergi obat dan makanan.
Pada pemeriksaan fisik :

7
o TD : 120/80 mmHg
o Nadi : 84 x/menit
o RR : 26 x/menit
o Suhu : 38 C
o Auskultasi Paru : vesikuler (+/-), rhonki (+/-), wheezing (-/-)
Pemeriksaan Lab didapatkan peningkatan leukosit dan peningkatan titer S. Typhosa H
Rontgen: corakan vascular ramai, tampak infiltrate di suprahiler kanan, Kesan :
Bronchopneumonia kanan.

F. Daftar Masalah
Dispnea e.c Pneumonia
Febris e.c Demam Typhoid

G. Assesment
Dispnea e.c Pneumonia
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang pada pasien didapatkan gejala-
gejala Bronchopneumonia seperti:
o Dispnea sejak 2 hari SMRS yang semakin memberat terutama saat beraktivitas dan
batuk
o Sebelumnya pasien mengalami batukbatuk hilang timbul sejak kurang lebih 3 hari
terakhir
o Batuk berdahak dengan dahak berwarna putih kekuningan kental
o Sebelumnya ada keluhan demam, yang menurun setelah minum obat.
o Tidak ditemukan adanya batuk dan sesak saat malam atau dini hari, batuk darah,
Penurunan berat badan, keringat malam.
o Tekanan Darah :120/80 mmHg, Suhu : 38 0 C, Nadi : 84 x/m, RR : 26 x/m
o Paru-paru
Auskultasi: Vesikuler (+/+), ronki (+/-),wheezing (-/-)
o Pada pemeriksaan lab di dapatkan peningkatan leukosit.
o Rontgen thorax : corakan vascular ramai, tampak infiltrate di suprahiler kanan.
Kesan bronchopneumonia kanan.

8
Planning Terapi
o Edukasi hindari faktor pencetus
o Memakai masker saat keluar rumah dengan kendaraan bermotor
o Oksigenasi 3 L/menit
o Ceftriaxone 1x2gr
o Inhalasi Fentolin 1 ampul + flexotide 1 ampul 3x1
o Ambroxol 3 x 30 mg

Epigastric pain e.c Demam Typhoid


Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang pada pasien didapatkan gejala-
gejala demam typhoid seperti:
o Demam sejak 7 hari SMRS, demam naik terutama pada sore hari dan turun setelah
minum obat penurun panas.
o Vomitus dan nausea sejak 1 hari SMRS sebanyak 3 kali berisi makanan.
o Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan epigastrium.
o Tekanan Darah :120/80 mmHg, Suhu : 38 0 C, Nadi : 84 x/m, RR : 26 x/m
o Uji Widal : S. Typhosa H 1/320, S. Paratyphosa BH 1/80, S.Paratyposa BO 1/80.
Planning Terapi
o Banyak minum air putih
o Menjaga hygiene dan tidak boleh makan sembarangan.
o Edukasi untuk makan dengan frekuensi sering dengan porsi yang sedikit, makan
tepat waktu.
o IVFD Ringer Laktat 500cc
o Ranitidin inj 2x1 ampul
o Ondancentron inj 3x8 mg
o Antasida 3x1 cth
o Sucralfat syr 3x1 cth
o Paracetamol 3x500mg

9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
PNEUMONIA
3.1. Definisi
Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru akut yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk kedalam pneumonia. Sedangkan peradangan
paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik,
obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis.3

3.2 Epidemiologi
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran napas yang terbanyak di
dapatkan dan sering merupakan penyebab kematian hampir di seluruh dunia. Di Inggris
pneumonia menyebabkan kematian 10 kali lebih banyak dari pada penyakit infeksi lain,
sedangkan di AS merupakan penyebab kematian urutan ke 15. Di Indonesia berdasarkan hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, menunjukkan prevalensi nasional ISPA: 25,5%
(16 provinsi di atas angka nasional), angka kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi: 2.2 %,
Balita: 3%, angka kematian (mortalitas) pada bayi 23,8%, dan Balita 15,5%.3
Pneumonia dapat terjadi pada orang tanpa kelainan imunitas yang jelas. Namun pada
kebanyakan pasien dewasa yang menderita pneumonia didapati adanya satu atau lebih penyakit
dasar yang mengganggu daya tahan tubuh. Frekuensi relatif terhadap mikroorganisme petogen
paru bervariasi menurut lingkungan ketika infeksi tersebut didapat. Misalnya lingkungan
masyarakat, panti perawatan, ataupun rumah sakit. Selain itu faktor iklim dan letak geografik
mempengaruhi peningkatan frekuensi infeksi penyakit ini.2

3.3 Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu bakteri, virus,
jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang diderita oleh masyarakat luar
negeri banyak disebabkan bakteri gram positif, sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak
disebabkan bakteri gram negatif sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri
anaerob. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri

10
yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri gram
negatif.3
Pneumonia lainnya disebabkan oleh virus, dimana paling sering terjadi pada anak-anak.4
Pneumonia lobaris adalah peradangan jaringan paru akut yang berat yang disebabkan oleh
pneumococcus. Nama ini menunjukkan bahwa hanya satu lobus paru yang terkena. Ada
bermacam-macam pneumonia yang disebabkan oleh bakteri lain, misalnya bronkopneumonia
yang penyebab tersering adalah haemophylus influenza dan pneumococcus.3

3.4 Patogenesis
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja, dari bayi sampai usia
lanjut. Pecandu alkohol, pasien pasca operasi, orang-orang dengan gangguan penyakit
pernapasan, sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling
berisiko. Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat.
Pada saat pertahanan tubuh menurun, misalnya karena penyakit, usia lanjut, dan malnutrisi,
bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru.
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak disebabkan oleh
reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu. Selain itu, toksin-toksin yang
dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak sel-sel
sistem pernapasan bawah. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan1,4:
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi. Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan
bakteri dengan ukuran 0,5 2,0 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli
dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung,
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga pada
keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse). Sekresi

11
orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml, sehingga aspirasi dari
sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan
terjadi pneumonia.
Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi.
Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas sama dengan di saluran
napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak di temukan jenis
mikroorganisme yang sama.
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Pneumonia bakterialis
menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok. Jika terjadi infeksi, sebagian
jaringan dari lobus paru-paru, ataupun seluruh lobus, bahkan sebagian besar dari lima lobus
paru-paru (tiga di paru-paru kanan, dan dua di paru-paru kiri) menjadi terisi cairan. Bakteri
pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai penyebab pneumonia.3
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas:3
1. Stadium kongesti (4 12 jam pertama)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran
darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan
mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera
jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi
sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin
dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan
permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam
ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus
ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium hepatisasi merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang
dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang

12
terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan,
sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini
udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga pasien akan bertambah sesak.
Stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium hepatisasi kelabu (konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi.
Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi
fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih
tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan
kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium akhir (resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara
enzimatis yang diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk. Parenkim paru kembali
menjadi penuh dengan cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal.

3.5 Patologi
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak
bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis
sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian dimakan. Pada waktu terjadi peperangan
antara host dan bakteri maka akan tampak 4 zona pada daerah parasitik terget yaitu :
1. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.
2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah merah.
3. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan jumlah
PMN yang banyak.
4. Zona resolusi : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati, leukosit
dan alveolar makrofag.

3.6. Klasifikasi
1. Berdasarkan klinis dan epidemiologi:

13
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
b. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial pneumonia)
c. Pneumonia aspirasi
d. Pneumonia pada penderita Immunocompromised
Pembagian ini penting untuk memudahkan penatalaksanaan.
2. Berdasarkan bakteri penyebab
a. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri
mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada
penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada
penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised)
3. Berdasarkan predileksi infeksi
a. Pneumonia lobaris.
Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia
yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder disebabkan oleh
obstruksi bronkus misalnya pada aspirasi benda asing atau proses keganasan
b. Bronkopneumonia.
Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru. Dapat disebabkan
oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan
dengan obstruksi bronkus. Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus
terminalis. Bronkiolus terminalis menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen
membentuk bercak-bercak konsolidasi di lobulus yang bersebelahan. Penyakit ini
seringnya bersifat sekunder, mengikuti infeksi dari saluran nafas atas, demam pada
infeksi spesifik dan penyakit yang melemahkan sistem pertahanan tubuh. Pada bayi
dan orang-orang yang lemah, Pneumonia dapat muncul sebagai infeksi primer.
c. Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga, yaitu interstitial dinding bronkus dan
peribronkil. Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma.
Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial.

14
Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat, diliputi perselubungan
yang tidak merata

3.7 Diagnosis
Penegakan diagnosis pneumonia dapat dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.3

a. Gambaran Klinis
Dari anamnesis dapat ditemukan gejala-gejala yang serupa untuk semua jenis
pneumonia. Adapun gejala-gejalanya meliputi:
1. Demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 400C
2. Batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah
3. Sesak napas
4. Nyeri dada
b. Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi
dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus dapat
mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler
sampai bronkial yang mungkin disertai ronkhi basah halus, yang kemudian menjadi ronki
basah kasar pada stadium resolusi.
c. Pemeriksaan Penunjang
Gambaran Radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan air bronchogram, penyebab bronkogenik dan interstisial serta
gambaran kavitas. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab
pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya
gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae,
Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran
bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan

15
konsolidasi yang terjadi pada lobus kanan atas meskipun dapat mengenai
beberapa lobus.
Pneumonia Lobaris
Foto Thorax
Tampak gambaran gabungan konsolidasi berdensitas tinggi pada satu
segmen/lobus (lobus kanan bawah PA maupun lateral) atau bercak yang
mengikut sertakan alveoli yang tersebar. Air bronchogram biasanya ditemukan
pada pneumonia jenis ini.5,6
Bronchopneumonia
Foto Thorax
Merupakan Pneumonia yang terjadi pada ujung akhir bronkiolus yang
dapat tersumbat oleh eksudat mukopurulen untuk membentuk bercak
konsolidasi dalam lobus.5,6
Pneumonia Interstisial
Foto Thorax
Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstitial
prebronkial. Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat,
diliputi oleh perselubungan yang tidak merata.5,6
d. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya
lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit
terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis
etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat
positif pada 20%-25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan
hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
e. Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan dapat berasal dari sputum, darah, aspirasi nasotrakeal/transtrakeal, aspirasi
jarum transtorakal, torakosintesis, bronkoskopi, atau biopsi. Untuk tujuan terapi empiris
dilakukan pemeriksaan apus gram, Burri Gin, Quellung test dan Z. Nielsen. Kuman yang
predominan pada sputum yang disertai PMN yang kemungkinan merupakan penyebab

16
infeksi. Kultur kuman merupakan pemeriksaan utama pra terapi dan bermanfaat untuk
evaluasi terapi selanjutnya.
f. Pemeriksaan Khusus
Adapun pemeriksaan khusus pada kasus pneumonia adalah titer antibodi terhadap
virus, legionella, dan mikoplasma. Nilai diagnostik adalah bila titer tinggi atau ada
kenaikan titer 4 kali. Selain itu analisis gas darah dilakukan untuk menilai tingkat
hipoksia dan kebutuhan oksigen. Pada pasien pneumonia nosokomial perlu diperiksakan
analisa gas darah, dan kultur darah.

3.8 Pengobatan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya,
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu :1,3
1. Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
2. Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia.
3. Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara umum
pemilihan antibiotik berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut :
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
Golongan Penisilin
TMP-SMZ
Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi
Marolid baru dosis tinggi
Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
Aminoglikosid
Seftazidim, Sefoperason, Sefepim
Tikarsilin, Piperasilin

17
Karbapenem : Meropenem, Imipenem
Siprofloksasin, Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
Vankomisin
Teikoplanin
Linezolid
Hemophilus influenzae
TMP-SMZ
Azitromisin
Sefalosporin gen. 2 atau 3
Fluorokuinolon respirasi
Legionella
Makrolid
Fluorokuinolon
Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
Doksisiklin
Makrolid
Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
Doksisikin
Makrolid
Fluorokuinolon

3.9 Penatalaksanaan
Dalam mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila
keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat dirawat dirumah.
Penderita yang tidak dirawat di RS
Istirahat ditempat tidur, bila panas tinggi di kompres
Minum banyak

18
Obat-obat penurunan panas, mukolitik, ekspektoran
Antibiotika
Penderita yang dirawat di Rumah Sakit, penanganannya dibagi dua :
Penatalaksanaan Umum
Pemberian Oksigen
Pemasangan infuse untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit
Mukolitik dan ekspektoran, bila perlu dilakukan pembersihan jalan nafas
Obat penurunan panas.
Bila nyeri pleura hebat dapat diberikan obat anti nyeri.
Pengobatan Kausal
Dalam pemberian antibiotika pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan MO
(mikroorganisme) dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi beberapa hal perlu diperhatikan:
Penyakit yang disertai panas tinggi untuk penyelamatan nyawa dipertimbangkan
pemberian antibiotika walaupun kuman belum dapat diisolasi.
Kuman pathogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab sakit, oleh karena
itu diputuskan pemberian antibiotika secara empiris. Pewarnaan gram sebaiknya
dilakukan.
Perlu diketahui riwayat antibiotika sebelumnya pada penderita.
Pengobatan awal biasanya adalah antibiotik, yang cukup manjur mengatasi pneumonia oleh
bakteri, mikroplasma, dan beberapa kasus ricketsia. Kebanyakan pasien juga bisa diobati di
rumah. Selain antibiotika, pasien juga akan mendapat pengobatan tambahan berupa pengaturan
pola makan dan oksigen untuk meningkatkan jumlah oksigen dalam darah. Pada pasien yang
berusia pertengahan, diperlukan istirahat lebih panjang untuk mengembalikan kondisi tubuh.
Namun, mereka yang sudah sembuh dari pneumonia mikroplasma akan letih lesu dalam waktu
yang panjang.
1. Penatalaksanaan pada pneumonia komunitas
a. Antibiotik Empirik
Pasien pada awanya diberikan terapi empirik yang ditujukan pada patogen yang
paling mungkin menjadi penyebab. Bila telah ada hasil kultur dilakukan penyesuaian
obat. Pada pasien rawat inap antibiotik harus diberikan 8 jam pertama dirawat di RS.
Pada prinsipnya terapi utama pneumonia adalah pemberian antibiotik tertentu

19
terhadap kuman tertentu pada sesuatu tipe dari infeksi saluran napas bawah akut baik
pneumonia ataupun bentuk lain dan antibiotik ini dimaksudkan sebagai terapi kausal
terhadap kuman penyebab. Berdasarkan perbedaan tempat perawatan (rawat jalan,
rawat ruang umum dan di ruang ICU), adanya penyakit kardiopulmoner dan faktor
perubah (modifying factor) maka PK terbagi atas 4 grup dengan kuman penyebab
yang berbeda. Faktor yang dipertimbangkan pada pemilihan antibiotik:
Faktor pasien : urgensi atau cara pemberian obat berdasarkan tingkat berat sakit
ISNBA dan keadaan umum atau kesadaran, mekanisme imunologis, umur,
defisiensi genetik atau organ, kehamilan, alergi.
Faktor antibiotik : dipilih antibiotik yang ampuh dan secara empirik telah
terbukti merupakan obat pilihan utama dalam mengatasi kuman penyebab yang
paling mungkin pada pneumonia berdasarkan data antibiogram mikrobiologi
dalam 6-12 bulan terakhir. Efektifitas antibiotik tergantung kepada kepekaan
kuman terhadap antibiotik ini, penetrasinya ke tempat lesi infeksi, toksisitas,
interaksi dengan obat lain dan reaksi pasien misalnya alergi atau intoleransi.
Faktor farmakologis : fakmakokinetik antibiotik mempertimbangkan proses
bakterisidal dengan Kadar Hambat Minimal (KHM) yang sama dengan Kadar
Bakterisidal Minimal (KBM) dan bakteriostatik dengan KBM yang jauh lebih
tinggi daripada KHM. Untuk mencapai efektivitas optimal, obat yang tergolonh
mempunyai sifat dose dependent (misalnya sefalosporin) perlu diberikan 3-4
pemberian/hari. Sedangkan golongan concentration dependent (misalnya
aminoglikosida, kuinolon) cukup 1-2 kali sehari namum dengan dosis yang lebih
besar.
Cara pemilihan antibiotik dapat berupa antibitik tunggal (pasien yang
asalnya sehat) dan kombinasi antibiotik. Antibiotik yang diberikan adalah
spektrum luas yang kemudian sesuai hasil kultur. Lama pemberian terapi
ditentukan berdasarkan adanya penyakit penyerta dan atau bakterimi, beratnya
penyakit pada onset terapi dan perjalanan penyakit pasien. Umumnya terapi
diberikan 7-10 hari. Untuk infeksi M.pneumoniae dan C.pneumoniae selama 10-
14 hari, sedangkan pasien dengan terapi steroid jangka panjang selama 10-14 hari
atau lebih. Pada terapi PK rawat inap, proses perbaikan akan terlihat 3 tahap yaitu

20
tahap 1 pada saat pemberian antibiotik IV selama 3 hari akan terlihat pasien stabil
secara klinik, tahap 2 terlihat perbaikan keluhan dan tanda fisik serta nilai
laboratorium, dan fase 3 terlihat penyembuhan dan resolusi penyakit.
Keterlambatan perbaikan klinik dapat disebabkan patogen yang resisten atau
bakterimia. Selain itu faktor inang berupa usia tua, penyakit penyerta jamak atau
progresivitas penyakit, alkoholik, pneumonia multilobular, atau empiema. Bila
keadaan klinik membaik dengan berkurangnya batuk, afebril dalam 2x8 jam
berturutan, leukositosis menurun dan fungsi saluran cerna membaik maka
dilakukan alih terapi ke antibiotik oral yang dianggap cocok dengan patogen
penyebabnya. Bila belum ada respon yang baik dalam 72 jam (10% pasien)
lakukan evaluasi terhadap adanya kemungkinan patogen yang resisten,
komplikasi atau penyakitnya bukan pneumonia.
2. Penatalaksanaan pneumonia nosocomial
Pada PN dengan imunitas yang normal terapi antibiotik diberikan selama 2
minggu, dapat diperpanjang bila terdapat gangguan daya tahan tubuh. Modifikasi
antibiotik perlu dilakukan bila telah didapat hasil bakteriologik dari bahan sputum atau
darah. Respon antibiotik dievaluasi 72 jam. Diberikan juga terapi suportif seperti oksigen,
humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dan bronkodilator,
fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam, pengaturan cairan, pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat, obat inotropik
seperti dobutamin dan dopamin, ventilasi mekanis, drainase empiema bila ada, dan nutrisi
cukup kalori terutama dari lemak (>50%).

3.11 Komplikasi
Efusi pleura dan empiema. Terjadi pada sekitar 45% kasus,terutama pada infeksi
bakterial akut berupa efusi parapneumonik gram negatif sebesar 60%,
Staphylococcus aureus 50%. S. pneumoniae 40-60%, kuman anaerob 35%.
Sedangkan pada Mycoplasmapneumoniae sebesar 20%. Cairannya transudat dan
steril. Terkadang pada infeksi bakterial terjadi empiema dengan cairan eksudat.6
Komplikasi sistemik. Dapat terjadi akibat invasi kuman atau bakteriemia berupa
meningitis. Dapat juga terjadi dehidrasi dan hiponatremia, anemia, peninggian ureum

21
dan enzim hati. Kadang-kadang terjadi peninggian fostase alkali dan bilirubin akibat
adanya kolestasis intrahepatik.
Hipoksemia akibat gangguan difusi.
Bronkiektasis. Biasanya terjadi karena pneunomia pada masa anak anak tetapi dapat
juga oleh infeksi berulang di lokasi bronkus distal pada cystic fibrosis atau
hipogamaglobulinemia, tuberkulosis, atau pneumonia nekrotikans.

3.12 Pencegahan
Pneumonia Komunitas
Di luar negeri dianjurkan pemberian vaksinasi influenza dan pnemukokus
terhadap orang dengan risiko tinggi, misalnya pasien dengan gangguan imunologis,
penyakit berat termasuk penyakit paru kronik, hati, ginjal dan jantung. Di samping itu
vaksinasi juga perlu diberikan untuk penghuni rumah jompo atau rumah penampungan
penyakit kronik, dan usia di atas 65 tahun.
Pneumonia Nosokomial
Pencegahan PN berkaitan erat dengan prinsip umum pencegahan infeksi dnegan
cara penggunaan peralatan invasif yang tepat. Perlu dilakukan terapi agresif terhadap
penyakit pasien yang akut atau dasar. Pada pasien dengan gagal organ multipel (multiple
organ failuere), penyakit dasar yang dapat berakibat fatal perlu diberikan terapi
pencegahan. Terdapat berbagai faktor terjadinya PN. Selain itu ,harus mengontrol
pemakaian selang nasogastrik atau endotrakeal atau pemakaian obat sitoprotektif sebagai
pengganti antagonis H2 dan antasid.

3.13 Prognosis
Pneumonia Komunitas
Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia menurun sejak ditemukannya
antibiotik. Faktor yang berperan adalah patogenitas kuman, usia, penyakit dasar dan
kondisi pasien. Secara umum angka kematian pneumonia pneumokokus adalah sebesar
5%, namun dapat meningkat menjadi 60% pada orang tua dengan kondisi yang buruk
misalnya gangguan imunologis, sirosis hepatis, penyakit paru obstruktif kronik, atau
kanker. Adanya leukopenia, ikterus, terkenanya 3 atau lebih lobus dan komplikasi

22
ekstraparu merupakan petanda prognosis yang buruk. Kuman gram negatif menimbulkan
prognosis yang lebih jelek.9
Prognosis pada orang tua dan anak kurang baik, karena itu perlu perawatan di RS
kecuali bila penyakitnya ringan. Orang dewasa (<60 tahun) dapat berobat jalan kecuali:
1. Bila terdapat penyakit paru kronik
2. PN Meliputi banyak lobi
3. Disertai gambaran klinis yang berkaitan dengan mortalitas yang tinggi yaitu:
a. Usia > 60 tahun.
b. Dijumpai adanya gejala pada saat masuk perawatan RS: frekuensi napas > 30
x/menit, tekanan diastolik < 60 mmHg bingung.
c. Hasil pemeriksaan setelah perwatan: tensi < 60 mmHg, leukosit abnormal
(<4.000 atau > 30.00/mm3), Urea N meningkat, pO2= turun, dan albumin
serum rendah (< 3,5 g%).
Pneumonia Nosokomial
Pneumonia nosokomial di Amerika Serikat merupakan urutan ke-2 penyebab
kematian yang diakibatkan infeksinosokomial. Pneumonia nosokomial merupakan
penyebab kematian utama oleh infeksi pada pasien yang berusia tua, pascaoperatif, dan
yang menjalani ventilasi mekanis.

Broncopneumonia
sembuh total, mortalitas kurang dari 1%, mortalitas bias lebih tinggi didapatkan pada
anak-anak dengan keadaan malnutrisi dan terlambat untuk pengobatan.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Aru W, Bambang, Idrus A, Marcellus, Siti S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.
Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM; 2007
2. WHO http://www.who.int/gho/countries/en/
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti.2003
4. Seema J, Krow A, Sandra R, Derek J, Evan A. Etiology of Community-acquired
Pneumonia among Hospitalized Children in the United States: Preliminary Data from the
CDC Etiology of Pneumonia in the Community (EPIC) Study. Jude Children's Research
Hospital, Memphis: 2011
5. American thoracic society. Guidelines for management of adults with community-
acquired pneumonia. Diagnosis, assessment of severity, antimicrobial therapy, and
prevention. Am J Respir Crit.Care Med 2001; 163: 1730-54.
6. American thoracic society. Guidelines for management of adults with Guidelines for the
Management of Adults with Hospital-acquired,33 Ventilator-associated, and Healthcare-
associated Pneumonia. Am J Respir Crit.Care Med 2005; 171: 388-416.
7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia nosokomial.2003
8. PB PABDI. Panduan Pelayanan Medik-PAPDI. Jakarta: PB PABDI. 2008
9. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi. Volume 2. Jakarta: EGC; 2005: 843-51.
10. Djojodibroto RD. Respirologi : Respiratory medicine. Jakarta : EGC. 2009.

24

You might also like