Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Virus herpes simpleks merupakan patogen yang ada di mana-mana dan
dapat beradaptasi dengan hospes yang menyebabkan keadaan penyakit yang bervariasi. Ada
dua tipe virus herpes simpleks yaitu Herpes Simplex Virus tipe 1 (HSV-1) dan
tipe 2 (HSV-2). Keduanya mirip tetapi berbeda secara epidemiologi. HSV-1
biasanya merupakan penyakit orofasial, sedangkan HSV-2 merupakan penyakit
genital. Akan tetapi, lokasi lesi tidak selalu menunjukkan tipe virus. Daerah
predileksi ini sering kacau karena adanya cara hubungan seksual seperti
orogenital, sehingga herpes yang terdapat di daerah genital kadang-
kadangdisebabkan oleh HSV tipe I sedangkan di daerah mulut dan rongga
mulut dapat disebabkanHSV tipe II.
Lebih dari 80% infeksi herpes simpleks tidak menimbulkan gejala.
Infeksi simtomatik dapat ditandai dengan morbiditas dan rekurensi. Pada
hospes imunokompromais, infeksi HSV dapat menimbulkan komplikasi yang
mengancam nyawa.
Prevalensi infeksi HSV di seluruh dunia telah meningkat pada beberapa
decade terakhir, sehingga menjadi masalah dunia yang diperhatikan.
Pengenalan segera infeksi herpes simpleks dan pentalaksanaan segera sangat
penting dalam penanganan penyakit ini.
1.2 Tujuan
1. Untuk memenuhi tugas makalah bagian penyakit kulit.
2. Mengetahui lebih rinci tentang herpes genitalia dan penanganan dari
herpes genitalia.
3. Mengetahui dampak dari herpes genitalia pada wanita hamil terhadap
bayinya.
4. Mengetahui cara penanganan herpes neonatus.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Herpes genitalia adalah infeksi akut pada genital yang disebabkan oleh
Herpes Simplex Virus (HSV) tipe I atau tipe II dengan gejala khas berupa
vesikel yang berkelompok dengan dasar eritema dan bersifat rekurens.
2.2 Etiologi
Gambar 2. HSV-1
2
Secara serologik, biologik dan sifat fisiokimia HSV-1 dan HSV-2 sukar
dibedakan. Dari penilitian seroepidemiologik didapat bahwa antibodi HSV-1
sudah terdapat pada anak-anak sekitar umur 5 tahun, meningkat 70% pada usia
remaja dan 97% pada orangtua. Penelitian seroepidemiologik terhadap antibodi
HSV-2 sulit untuk dinilai berhubung adanya reaksi silang antara respons imun
humoral HSV-1 dan HSV-2.
2.3 Patogenesis
Bila seorang terpajan HSV, maka infeksi dapat terbentuk episode I
infeksi primer (inisial), episode I non infeksi primer, infeksi rekurens,
asimptomatik atau tidak terjadi infeksi sama sekali. Pada episode I infeksi
primer, virus yang berasal dari luar masuk kedalam tubuh hospes. Kemudian
terjadi penggabungan dengan DNA hospes didalam tubuh hospes tersebut dan
mengadakan multiplikasi atau replikasi serta menimbulkan kelainan pada kulit.
Pada waktu itu hospes sendiri belum ada antibodi spesifik, ini bisa
mengakibatkan timbulnya lesi pada daerah yang luas dengan gejala konstitusi
berat. Selanjutnya virus menjalar melalui serabut saraf sensorik ke ganglion
saraf regional ( ganglion sakralis) dan berdiam disana serta bersifat laten.
Pada episode I non infeksi primer, infeksi sudah lama berlangsung
tetapi belum menimbulkan gejala klinis, tubuh sudah membentuk zat anti
sehingga pada waktu terjadinya episode I ini kelainan yang timbul tidak seberat
episode I dengan infeksi primer.
Bila pada suatu waktu ada faktor pencetus (trigger factor), virus
akan mengalami reaktivasi dan multiplikasi kemballi sehingga terjadilan
3
infeksi rekurens. Pada saat ini didalam tubuh hospes sudah ada antibodi
spesifik sehingga kelainan yang timbul dan gejala konstitusinya tidak seberat
pada waktu infeksi primer. Trigger factor tersebut antara lain adalah trauma,
koitus yang berlebihan, demam, gangguan pencernaan, stres emosi, kelelahan,
makanan yang merangsang, alkohol, obat-obatan (imunosupresif,
kortikosteroid) dan pada beberapa kasus sukar diketahui dengan jelas
penyebabnya. Ada beberapa pendapat mengenai terjadinya infeksi rekurens:
1. Faktor pencetus akan mengakibatkan reaktivasi virus dalam ganglion dan
virus akan turun melalui akson saraf perifer ke sel epitel kulit yang
dipersarafinya dan disana akan mengalami replikasi dan multiplikasi serta
menimbulkan lesi.
2. Virus secara terus menerus dilepaskan ke sel-sel epitel dan adanya faktor
pencetus ini menyebabkan kelemahan setempat dan menimbulkan lesi
rekurens.
4
Pada infeksi inisial gejalanya lebih berat dan berlangsung lebih lama.
Kelenjer limfe regional dapat membesar dan nyeri pada perabaan. Infeksi di
daerah serviks, dapat menimbulkan beberapa perubahan termasuk peradangan
difus, ulkus multipel sampai terjadinya ulkus yang besar dan nekrotik. Tetapi
dapat juga tanpa gejala klinis. Pada saat pertama kali timbul, penyembuhan
memerlukan waktu yang cukup lama, dapat 2-4 minggu, sedangkan pada
serangan berikutnya penyembuhan akan lebih cepat. Disamping itu pada
infeksi pertama dapat terjadi disuria bila lesi terletak didaerah uretra dan
periuretra, sehingga dapat menimbulkan retensi urin. Hal lain yang
menyebabkan retensin urin adalah lesi pada daerah sakral yang militis dan
radikulitis.
Infeksi rekuren dapat terjadi dengan cepat atau lambat, sehingga gejala
yang timbul biasanya lebih ringan, karena telah ada antibodi spesifik dan
penyembuhan juga akan lebih cepat. Sebagaimana telah disebutkan diatas,
infeksi inisial dan rekurens selain disertai gejala klinis dapat juga tanpa gejala.
Hal ini dapat dibuktikan ditemukannya antibodi terhadap HSV-2 pada orang
yang tidak ada penyakit herpes genitalis sebelumnya. Adanya antibodi terhadap
HSV-1 menyebabkan infeksi HSV lebih ringan. Hal ini memungkinkan infeksi
inisisal HSV-2 berjalan asimptomatik pada penderita yang pernah mendapat
HSV-1.
Tempat predileksi pada pria biasanya di preputium, glans penis, batang
penis, dapat juga diuretra dan daerah anal (pada homoseks), sedangkan daerah
skrotum jarang terkena. Lesi pada wanita dapat ditemukan didaerah labia
mayor atau minor, klitoris, introitus vaginae, serviks, sedangkan pada daerah
perianal, bokong dan mons pubis jarang ditemukan. Infeksi pada wanita sering
dihubungkan dengan servisitis, karena itu perlu pemeriksaan sitologi secara
teratur.
2.4.1 Herpes Genitalis Pada Kehamilan
5
janin. Infeksi neonatal mempunyai angka mortalitas 60%, separuh dari
yang hidup menderita cacat neurologis atau kelainan pada mata.
2.5 Komplikasi
Komplikasi yang paling ditakutkan adalah akibat penyakit ini pada bayi
yang baru lahir. Herpes genitalis pada permulaan kehamilan bisa menimbulkan
abortus atau malformasi kongenital berupa mikroensefali. Pada bayi yang lahir
dari ibu yang menderita herpes genitalis pada waktu kehamilan dapat
ditemukan kelainan berupa hepatitis, infeksi berat, ensefalitis,
keratokonjungtivitis, erupsi kulit berupa vesikel herpetifomis dan bahkan bisa
lahir mati.
Pada orang tua hepatitis karena HSV jarang ditemukan sedangkan
meningitis dan ensefalitis pernah dilaporkan. Pada orangtua meningitis
herpetika biasanya disebabkan HSV-2 sedangkan ensefalitis oleh HSV-1.
Disamping itu juga ditemukan hipersensitivitas terhadap virus, sehingga timbul
6
reaksi pada kulit berupa eritema eksudativum multiforme. Dapat juga timbul
ketakutan dan depresi terutama bila terjadi salah penanganan pada penderita.
7
cara ini memiliki kekurangan karena waktu pemeriksaan yang lama dan biaya
yang mahal.
Masih ada sejumlah tes untuk mendeteksi antigen HSV dengan harapan
diagnosis lebih cepat ditegakkan dibandingkan dengan kultur. Tes ini
dilakukan secara imunologik memakai antibodi poliklonal atau monoklonal
misalnya teknik pemeriksaan dengan imunofluoresensi, imunoperoksidase dan
ELISA ( enzyme linked immunosorbent assays). Deteksi antigen secara
langsung dari spesimen sangat potensial, cepat dan dapat merupaka deteksi
paling awal pada infeksi HSV .
Pemeriksaan imunoperoksidase tak langsung dan imunofluoresensi
langsung memakai antibodi poliklonal memberikan kemungkinan hasil positif
palsu dan negatif palsu. Dengan memakai antibodi monoklonal pada
pemeriksaan imunofluoresensi, dapat ditentukan tipe virus. Pemeriksaan
imunofluoresensi memerlukan tenaga yang terlatih dan mikroskop khusus.
Pemeriksaan antibodi monoklonal dengan cara mikroskopik imunofluoresensi
tak langsung dari kerokan lesi, sensitifitasnya 78% sampai 88%.
Pemeriksaan dengan cara ELISA ( enzyme linked immunosorbent assays)
adalah pemeriksaan untuk menentukan antigen HSV. Pemeriksaan ini
sensitifitasnya 95% dan sangat spesifik, tapi dapat berkurang jika spesimen
tidak segera diperiksa. Tes ini memerlukan waktu 4,5 jam. Tes ini juga dapat
dipakai untuk mendeteksi antibodi terhadap HSV dalam serum penderita. Tes
ELISA ini merupakan tes alternatif yang terbaaik disamping kultur karena
mempunyai beberapa keuntungan seperti hasilnya cepat dibaca dan tidak
memerluka tenaga terlatih.
8
2.7 Penatalaksaan
Setelah diagnosis ditegakkan, baik secara klinis, dengan maupun tanpa
pemeriksaan penunjang, maka langkah selanjutnya adalah memberikan
pengobatan. Pengobatan dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu profilaksis,
pengobatan non spesifik dan pengobatan spesifik.
1. Tindakan profilaksis
a. Penderita diberi penerangan tentang sifat penyakit yang dapat menular
terutama bila sedang terkena serangan, karena itu sebaiknya
melaksanakan abstinensia.
b. Proteksi individual. Digunakan dua macam alat perintang, yaitu busa
spermisidal dan kondom. Kombinasi tersebut, bila diikuti dengan
pencucian alat kelamin memakai air dan sabun pasca koitus, dapat
mencegah transmisi herpes genitalis hampir 100%.
c. Factor-faktor pencetus sedapat mungkin dihindari.
d. Konsultasi psikiatrik dapat membantu karena factor psikis mempunyai
peranan untuk timbulnya serangan.
3. Pengobatan spesifik
Berbagai macam obat antivirus telah pernah dipakai untuk
mengatasi penyakit herpes genitalis, misalnya idoksuridin topical,
sitarabin (Ara-C) dan vidarabin (Ara-A) secara intravena, inosipleks
(isoprinosin), dan interferon. Obat anti virus yang kini telah banyak
9
dipakai adalah asiklovir, dan saat ini ada lagi dua macam obat antivirus
baru yaitu valasiklovir dan famsiklovir.
a. Asiklovir
Asiklovir merupakan obat anti virus yang spesifik terhadap virus
herpes, dapat diberikan pada penderita dengan infeksi mukotan disertai
defisiensi imunitas. Obat ini hanya bekerja terhadap sel-sel yang
terkena infeksi. Tidak mempunyai efek teratogenik. Toleransi obat
baik, tidak ada toksisitas akut dan tidak menimbulkan penekanan
sumsum tulang, hati dan ginjal. Tetapi walaupun demikian pernah
dilaporkan efek samping seperti kolik ginjal, kenaikan kadar ureum /
kreatinin dalam serum, reaksi setempat pada suntikan nausea dan
vomitus.
Asiklovir dapat diberikan secara intravena, oral dan topical. Cara
pemberian intravena harus perlahan-lahan dan perlu pengawasan. Oleh
karena itu sebaiknya diberikan di rumah sakit. Dosis setiap kali
pemberian adalah 5 mg/kgBB, dengan interval setiap 8 jam.
Pengobatan asiklovir secara intravena pada herpes genital episode
pertama, yang memerlukan waktu selama 5-10 hari, ternyata tidak
dapat mengurangi rekurensi (Corey dkk, 1985). Bila secara oral obat
diberikan dengan dosis 200 mg 5 kali sehari selama 5-10 hari. Seperti
secara intravena, pengobatan per oral mengurangi viral shedding
secara dramatis.
Banyak yang berpendapat bahwa pada infeksi primer sebaiknya
diberi asiklovir secara intravena dan pada infeksi rekurens diberikan
secara oral. Pemberian obat oral juga tidak menjamin tidak timbul
rekurensi. Kinghorn dkk (1986) telah membuktikan bahwa asiklovir
200 mg lima kali sehari peroral ditambah kotrimoksazol (160 mg
trimetropin dan 800 mg sulfametoksazol) dua kali sehari selama 7 hari
memperpendek waktu penyembuhan lesi secara bermakna
dibandingkan dengan pengobatan asiklovir saja.
10
Penanganan infeksi rekurens menurut Moreland dkk (1990) dapat
ditempuh dengan 4 cara :
1) Tidak diberi terapi spesifik (terutama pada infeksi yang
ringan).
2) Asiklovir per oral secara episodic dengan dosis 5 x 200 mg /
hari selama 5 hari. Cara ini diberikan pada penderita dengan
riwayat lesi multiple atau serangan yang lama (7 hari).
3) Supresi kronis asiklovir, dapat dipertimbangkan bila seseorang
mengalami keadaan sebagai berikut :
a) Rekurensi lebih dari 8 kali pertahun.
b) Rekurensi lebih dari 1 kali dalam sebulan.
c) Bila terapi dirasakan lebih bermanfaat dibandingkan
biaya untuk penderita tersebut.
11
b. Valasiklovir
Obat ini merupakan derivate ester L-valil dari asiklovir. Bahan
aktif antivirusnya ialah asiklovir, sehingga kemanjuran dan
spesifitasnya berhubungan dengan cara kerja asiklovir. Setelah
diabsorbsi, valasiklovir dengan cepat dan hampir seluruhnya, diubah
menjadi asiklovir dan L-valin. Bioavailabilitasnya 3-5 kali lebih tinggi
daripada yang dapat dicapai oleh asiklovir oral dosis tinggi. Kadar
dalam plasma setelah valasiklovir oral 1000 mg mendekati kadar yang
dapat dicapai oleh asiklovir yang diberikan secara intravena.
Pada uji klinik yang membandingkan valasiklovir 2 x 500 1000
mg per hari, dengan asiklovir oral 5 x 200 mg/hari, dan placebo dalam
waktu 24 jam setelah timbulnya keluhan dan gejala klinis pertama
episode herpes genitalis rekurens menunjukkan bahwa terapi
valasiklovir secara bermakna mengurangi rasa nyeri dan mempercepat
masa viral shedding. Efek samping yang paling sering dilaporkan ialah
nyeri kepala dan mual.
c. Famsiklovir
Obat antivirus baru lain ialah famsiklovir (famciclovir), yang
merupakan derivate diasetil-6-deoksi pensiklovir. Sedangkan
famsiklovir sendiri merupakan golongan antivirus dengan komponen
guanine, yang dapat diberikan secara topical dan intravena.
Famsiklovir, dikembangkan untuk pengobatan infeksi virus herpes,
dengan cara pemberian per oral. Cara kerja famsiklovir sama seperti
asiklovir, yaitu menghambat sintesis DNA.
Pada penderita herpes genitalis episode pertama, pemberian
famsiklovir 3 kali 500 mg per hari selama 5 hari, ternyata
mempersingkat viral shedding dan waktu penyembuhan, dibandingkan
placebo. Bila dibandingkan dengan pengobatan asiklovir 5 kali 200
mg/hari selama 5 hari, pemberian famsiklovir 3 kali 750 mg per hari
dalam waktu yang sama, secara statistik tidak menujukkan perbedaan
12
dalam lamanya viral shedding, waktu menghilangnya vesikel dan
ulkus, serta terjadinya krustasi dan hilangnya rasa sakit.
Pada pengobatan herpes genitalis rekurens, pemberian famsiklovir
3 kali 500 mg selama 5 hari dibandingkan asiklovir 5 kali 200 mg per
hari selama 5 hari, tidak berbeda dalam hal mempersingkat waktu viral
shedding. Dari hasil-hasil tersebut di atas, pengobatan dengan
famsiklovir ternyata sama efektivitasnya dengan asiklovir pada kasus
herpes genitalis, namun frekuensi pemberiannya lebih jarang.
13
serta usia kehamilan dengan gejala yang berat, dianjurkan untuk
diberikan asiklovir oral 5 x 200 mg/hari selama 7-10 hari. Asiklovir
oral dosis supresif secara rutin tidak dianjurkan untuk herpes genitalis
rekurens selama kehamilan atau dekat akhir kehamilan.
14
Pada yang beresiko tinggi untuk menjadi diseminata, atau yang tidak
dapat menerima pengobatan oral, maka asiklovir diberikan secara
intravena 3 x 5 mg/kgBB/hari selama 7-14 hari. Bila terdapat bukti
terjadinya infeksi sistemik, dianjurkan terapi asiklovir intravena 3 x 10
mg/kgBB/hari selama paling sedikit 10 hari.
2.8 Prognosis
15
Lampiran 1. Skrining serologi wanita hamil dan pasangannya
WANITA HAMIL
Apakah
seropositif HSV
Ya Tidak
Ya Tidak Ya Tidak
Observasi bayi
16
Lampiran 2. Penanganan wanita hamil dengan herpes genitalis rekurens dan
bayinya
Tandai riwayat
penyakit HSV pada
status ibu dan bayi
Ya Tidak
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Herpes genital adalah infeksi akut pada genital yang disebabkan oleh
HSV. Sebagian besar dapat disebabkan oleh HSV- 2 namun, walaupun
demikian dapat juga disebabkan oleh HSV- 1.
Infeksi dapat dimulai dari episode I infeksi primer, episode I non infeksi
primer dan infeksi rekurens. Gejala yang ditimbulkan dapat di pengaruhi oleh
faktor hospes maupun tipe virusnya seperti rasa terbakar dan gatal disekitar
lesi, malaise, demam dan nyeri otot.
Penatalaksanaannya dapat diberikan antiviral berupa asiklovir,
valasiklovir dan famsiklovir. Infeksi dini yang segera diobati dapat
memberikan gambaran prognosis yang lebih baik.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, Ronny P. 2013, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi keena.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesi.
2. Daili SF. 1990, Diagnosa dan Penatalaksanaan Herpes Genitais. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Hartono MJ. 1989, Penatalaksanaan Herpes Genitalis. Makalah Sub Bag.
Penyakit Akibat Hubungan Seksual, Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin FKUI/ RSCM.
4. Thin RN. Management of Genital Herpes Simplex Infection. Dalam:
Kumpulan Naskah Simposium Virus Herpes pada Kulit dan Kelamin.
Perkumpulan ahli dermato-venereologi Indonesia, Jakarta 1986: 44-9.
19