Professional Documents
Culture Documents
1.1. Definisi
Imunitas spesifik memainkan fungs penting pada pertahanan infeksi mikroba, tetapi respon imun juga
dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan dan menimbulkan penyakit. Penyakit yyang disebabkan oleh
respon imun disebut penyakit hipersensitivitas.
(Abbas, Abul K et al. Cellular and molecular immunology 8th ed. Elsevier. 2015)
1.2. Klasifikasi
Menurut waktu
1. Reaksi Cepat
Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam. Ikatan silang antara allergen dan
IgE pada permukaan sel mast menginduksi penglepasan mediator vasoaktif.
2. Reaksi Intermediet
Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam. Reaksi ini melibatkkan
pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan melalalui aktivasi komplemen dan atau sel
NK/ADCC . menifestasi reaksi intermediet dapat berupa:
Reaksi transfusi darah
Reaksi athus lokal dan sistemik seperti serum sickness
3. Reaksi lambat
Reaksi lambat terlihat sampai sekitar 48jam setelah terjadi pajanan dengan antigen yang terjadi oleh
aktivasi sel Th.
Reaksi hipersensitivitas oleh Robert Coombs dan Philip HH Gell (1963) di bagi dalam 4 tipe yaitu :
Respon imun yang melawan antigen dari berbagai sumber dapat menyebabkan hipersensitivitas.
Autoimun: reaksi melawan antigen diri (self-antigen). Kegagalan dari mekanisme toleransi tubuh
menghasilkan reaksi terhadap sel dan jaringan itu sendiri yang disebut autoimunitas. Penyakit
autoimun menyerang sedikitnya 2%-5% dari populasi Negara berkembang. Penyakit ini menyerang
pada individu berusia 20-40 tahun dan lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria. Penyakit ini
kronis dan membuat individu menjadi lemah, dan juga menyebabkan beban ekonomi.
Reaksi terhadap mikroba: respon imun terhadap antigen dapat menyebabkan penyakit jika reaksinya
berlebihan atau mikrobanya terlalu kuat (persisten). Sel T yang merespon mikroba persisten ini dapat
menyebabkan inflamasi yang berat, kadang-kadang diiringi dengan pembentukan granuloma; ini
adalah penyebab kerusakan jaringan pada infeksi kronis tuberculosis. Jika antibodi yang diproduksi
untk melawan antigen, antibody dapat mengikat antigen untuk memproduksi kompleks imun, yang
bertumpuk pada jaringan dan menyebabkan inflamasi.
Reaksi terhadap antigen lingkungan: pada individu sehat biasanya tidak terjadi reaksi terhadap zat
yang tidak berbahaya pada lingkungan, tetapi 20% dari populasi memberi respon terhadap 1 atau
lebih zat-zat tersebut. Individu ini memproduksi IgE yang menyebabkan alergi. Beberapa individu
menjadi sensitif terhadap antigen lingkungan dan bahan kimia yang kontak dengan kulit kemudian sel
T yang sedang berkembang memberi reaksi yang menyebabkan inflamasi termediasi-sitokin,
menghasilkan kontak sensitivitas.
(Abbas, 2015)
1.4. Tatalaksana
2.1. Definisi
Reaksi hipersensitifitas tipe 1 adalah suatu reaksi yang terjadi secara cepat atau reaksi anafilaksis atau
reaksi alergi mengikuti kombinasi suatu antigen dengan antibodi yang terlebih dahulu diikat pada
permukaan sel basofilia (sel mast) dan basofil.
2.2. Mekanisme
Banyak reaksi tipe I yang terlokalisasi mempunyai dua tahap yang dapat ditentukan secara jelas:
1. Respon awal, ditandai dengan vasodilatasi, kebocoran vascular, dan spasme otot polos, yang
biasanya muncul dalam rentang waktu 5-30 menit setelah terpajan oleh suatu allergen dan
menghilang setelah 60 menit.
2. Reaksi fase lambat, yang muncul 208 jam setelah terpajan, dan berlangsung selama beberapa
hari. Reaksi lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinophil serta sel peradangan akut dan kronis
lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga ditandai dengan penghancuran jaringan dalam
bentuk kerusakan sel epitel mukosa. (Robbins)
Pertemuan pertama dengan allergen akan menimbulkan dosis kepekaan yang memancing sistem imun
pada pertemuan selanjutnya dengan allergen tetapi tidak menimbulkan tanda atau gejala apapun. Sel
memori dan immunoglobulin selanjutnya siap terhadap pertemuan berikutnya jika dosis allergen
provokatif yang sama menyerang. Dosis ini akan menimbulkan tanda dan gejala. (Jadi kalau satu individu
dikatakan mendapat alergi pada kontak pertama, sebenarnya individu itu pernah mempunyai kontak
dengan zat yang sama sebelumnya). Hubungan janin dengan sirkulasi darah ibu dan makanan adalah salah
satu kemungkinan sumber alergi tersembunyi seperti penisilin.
Peran penting dari sel mast dan basophil pada reaksi alergi adalah:
1. Lokasi mereka yang terdapat dimana-mana. Sel mast terletak di jaringan penghubung yang terdapat
pada semua organ, dan dengan konsentrasi tinggi pada paru-paru, kulit, jalur pencernaan, dan
kandung kemih. Basofil bersirkulasi di dalam darah dan bermigrasi ke tempat peradangan.
2. Sel mast dan basophil diaktivasi oleh IgE yang berikatan silang yang terikat pada permukaan sel
melalui reseptor Fc yang berafinitas tinggi; sel mast dapat pula dipicu oleh rangsangan lain seperti
komponen komplemen C5a dan C3a (anafilotoksin) yang berikatan pada reseptor membrane sel mast
spesifik. Kapasitas mereka untuk mengikat IgE saat sensitisasi. Setiap selnya dapat menampung
30.000 hingga 100.000 sel reseptor yang mengikat 10.000-40.000 antibodi IgE.
3. Sitoplalsmanya mengandung granula dilapisi membrane yang mempunyai berbagai mediator yang
aktif secara biologis (histamine, serotonin).
4. Sel mast dapat diinduksi untuk degranulasi oleh sitokin tertentu yang berasal dari mekrofag.
Pada kontak pertama dan sensitisasi, allergen berpenetrasi melewati tempat masuk, ketika partikel
seperti polen, rambut dan spora sampai pada membrane yang lembap, mereka melepaskan allergen yang
nantinya melewati cairan jaringan dan limfatik. Limfatik membawa allergen ke nodus limfatik, dimana
spesifik sel B mengenalnya dan teraktivasi lalu mengalami proliferasi menjadi sel plasma. Alergen tersebut
merangsang induksi sel TCD4+ tipe TH2. Sel CD4+ ini berperan penting dalam pathogenesis
hipersensitivitas tipe I karena sitokin yang diekskresikannya (khususnya IL-4 dan IL-5) menyebabkan
diproduksinya IgE oleh sel B, yang bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel mast serta merekrut
dan mengaktivasi eosinophil. Sel B mengalami maturasi dan menjadi sel plasma. Sel plasma memproduksi
IgE. Antibodi IgE berikatan pada reseptor Fc berafinitas tinggi yang terdapat pada sel mast dan basophil.
Tempat pengikatan IgE pada sel di dalam jaringan, mempersiapkan reaksi jika terdapat pajanan terhadap
allergen yang sama. Jika terjadi pajanan ulang terhadap antigen yangsama mengakibatkan pertautan
silang pada IgE yang terikat pada sel dan memicu suatu kaskade sinyal intrasel sehingga terjadi pelepasan
beberapa mediator kuat. Salah satu perangkat sinyal mengakibatkan degranulasi sel mast yang disertai
pengeluaran mediator prainflamasi atau primer, perangkat sinyal lainnya akan menginduksi sintesis de
novo serta melepaskan mediator sekunder seperti metabolit asam arakhidonat dan sitokin.
(Robbins) (Cowan)
Setelah sensitisasi, sel mast dengan IgE bisa menetap di jaringan hingga bertahun-tahun. Walaupun waktu
yang lama individu tidak kontak dengan allergen, jika terjadi reexposure akan timbul reaksi yang cepat.
Jika molekul allergen kontak dengan sel sensitis, mereka akan berikatan pada reseptor yang berdekatan
dan menstimulasi degranulasi. Saat mediator kimiawi dilepaskan, mereka berdifusi ke jaringan dan
peredaran darah. Sitokin meningkatkan beberapa reaksi local dan sistemik, kebanyakan muncul dengan
cepat. Gejala dari alergi tidak disebabkan oleh aksi langsung dari allergen pada jaringan, tetapi efek
fisiologis dari mediator sel mast pada organ target.
Setelah pemicuan IgE, mediator primer dan sekunder di dalam granula sel mast dilepaskan untuk memulai
tahapan awal reaksi hipersensitivitas tipe I. Histamin adalah salah satu zat yang dilepas secara besar dan
cepat pada reaksi alergi, histamine adalah zat ampuh untuk menstimulasi otot polos, kelenjar dan
eosinophil. Reaksi histamine pada otot polos beragam tergantung dari lokasinya. Zat ini mengkontriksi
otot polos pada bronkus kecil dan intestine, yang menyebabkan sulit bernapas dan menigkatkan motilitas
pada intestine. Pada hal lainnya, histamine merelaksasi otot polos pada pembuluh darah dan mendilatasi
arteriol dan venula yang menyebabkan munculnya whale and flare di kulit, gatal-gatal (pruritus), dan sakit
kepala. Reaksi yang lebih parah dapat menyebabkan anafilaksis yang dibarengi dengan edema dan dilatasi
pembuluh darah, yang menyebabkan hipotensi, kegagalan sirkulasi dan shock. Kelenjar saliva dan
lacriima, mukosa dang aster juga salah satu target dari histamine. Histamin merupakan mediator primer.
Mediator sekunder mencakup dua kelompok senyawa: mediator lipid dan sitokin. Mmediator lipid
dihasilkan melalui aktivasi fosfolipase A2 yang memecah fosfolipid membrane sel mast untuk
menghasilkan asam arakhidonat. Selanjutnya asam arakhidonat menyintesis leukotriene dan
prostaglandin. Sitokin yang diproduksi sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5, dan IL-6) dan kemokin berperan
penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui kemampuannya merekrut dan mengaktivasi berbagai
macam sel radang. TNF merupakan mediator yang sangat poten dalam adhesi, emigrasi dan aktivasi
leukosit. IL-4 merupakan faktor pertumbuhan sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE
oleh sel B. (Robbins)
Serotonin pada reaksi alergi manusia tidak begitu jelas. Percobaan pada hewan, serotonin meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah, dilatasi kapiler, kontraksi otot polos, peristaltis pada intestine dan laju
pernapasan. Tetapi juga mengurangi aktivitas saraf pusat.
Leukotrin C4 dan D4 berperan pada bronkospasm yang lama dan vasoaktif yang paling poten; pada dasar
molar, agen ini beberapa ribu lebih aktif daripada histamine dalam meningkatkan permeabilitas vascular
dan dalam menyebabkan kontraksi otot polos pada bronkus. Leukotrien B4 sangat kemotaktik untuk
neutrophil, eosinophil dan monosit.
Prostaglandin adalah kelompok dari agen inflamasi yang kuat. Secara normal, zat ini meregulasi kontraksi
otot polos (seperti kontraksi uterus saat melahirkan). Pada reaksi alergi, prostaglandin berperan pada
vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, meningkatkan sensitivitas pada rasa sakit dan
kontriksi pada bronkus. Obat anti inflamasi tertentu bekerja untuk mencegah reaksi dari prostaglandin.
Bradikinin berhubungan dengan kelompok dari plasma dan peptide jaringan yang dikenal sebagai kinin
yang berperan terhadap penggumpalan darah dan kemotaksis. Pada reaksi alergi, bradykinin
menyebabkan kontraksi otot polos bronkiolus, dilatasi arteriol perifer, meningkatkan permeabilitas dan
meningkatkan sekresi lendir.
(Cowan, M. Kelly. Microbiology: a systems approach 3rd ed. McGraw-Hill. 2012)
Mediator Efek
Peningkatan permeabilitas kapiler, vasodilatasi, kontraksi otot polos,
Histamin
sekresi mukosa gaster
Mediator Efek
Sitokin Aktivasi berbagai sel radang
Respon umum yang terjadi pada organ-organ ini termasuk kemerahan, gatal-gatal, ruam, rhinitis, bersin-
bersin, diare dan menitikkan air mata. Target sistemik termasuk otot polos, kelenjar mukosa dan jaringan
saraf.
Reaksi local biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai dengan jalur
pemajanannya, seperti kulit (menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (menyebabkan diare) atau
paru (inhalasi menyebabkan bronkokonstriksi). Bentuk umum alergi kulit dan makanan, hay fever serta
bentuk tertentu asma merupakan contoh reaksi anafilaksis yang terlokalisasi. (Robbins)
Hay fever adalah ungkapan genetic untuk alergi rhinitis, reaksi musiman terhadap polen atau jamur yang
terinhalasi, atau reaksi kronik, sepanjang tahung terhadap spectrum besar allergen udara. Targetnya
merupakan membrane pernapasan dan gejalanya termasuk hidung mampet; bersin-bersin; batuk; sekresi
lendir berlebihan; gatal, kemerahan dan mata yang berair; dan bronkokonstriksi sedang. Asma merupakan
penyakit pernapasan yang disebabkan karena gangguan pernapasan yang berulang kali disebabkan oleh
bronkokonstriksi. Jalur pernapasan pada penderita asma menjadi terlalu responsive terhadap allergen
atau agen infeksi. Jalur pernapasan penderita asma biasanya mengalami inflamasi yang kronis dan
overreaktif terhadap leukotrin dan serotonin dari sel mast paru-paru.
Atopik dermatitis adalah kondisi dari kulit dimana terjadi reaksi inflamasi gatal-gatal yang intens, yang
juga disebut eczema. Sensitisasi muncul lewat pencernaan, inhalasi dan kontak kulit terhadap allergen.
Anafilaksis sistemik dicirikan dengan gangguan mendadak pada pernapasan dan sirkulasi yang berakibat
fatal dalam beberapa menit. Individu dengan anafilaktik dapat meninggal dalam 15 menit jika terjadi
halangan jalur napas.
2.4. Penanganan
Menjauhi allergen
Konsumsi obat yang menghalang kerja dari limfosit, sel mast atau mediator kimia
Obat antialergi menghalang proses respon alergi, beberapa saat produksi IgE. Obat antiinflamasi
seperti kortikosteroid menghambat kerja limfosit yang hasilnya penurunan produksi IgE.
Vaksin untuk memendek sirkuit reaksi alergi
Dengan meyuntikkan allergen seperti skin test. Teknik ini disebut desentisasi atau hiposensitisasi.
Alergen yang diinjeksi akan menstimulasi pembentukan IgG spesifik allergen. IgG ini nantinya akan
mengeluarkan allergen dari system sebelum allergen berikatan dengan IgE dan mencegah
degranulasi dari sel mast.
3.1. Definisi
Reaksi hipersensitivitas tipe II atau sitotoksik atau sitoliktik terjadi akibat di bentuk antibodi jenis IgG atau
IgM terhadap antigen IgM yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi terhadap
antibodi dan determinan antigen yang merupakan bagian dari membran sel tergantung apakah
komplemen atau molekul asesori dan metabolisme sel dilihatkan.
Reaksi sitotoksik lebih tepat mengingat reaaksi oleh lisis bukan efek toksik. Antibodi tersebut dapat
mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcy-R dan Juga sel NK yang dapat berperan sebagai sel efektor
dan menimbulkan kerusakan melalui ADCC. Reaksi tipe II mengambarkan dan menunjukkan manisfestasi
klinik.
(Karnen, Garna Baratwidjaja, Iris Rengganis: Imunologi Dasar, Edisi 10, 2012)
3.2. Mekanisme
Hipersensitivitas tipe II ini adalah reaksi kompleks dari sindrom yang melibatkan bantuan dari komplemen
untuk melisiskan sel oleh antibody (IgG dan IgM) secara langsung terhadap antigen. Tipe ini termasuk
transfuse dan beberapa tipe autoimun. Sel yang biasanya menjadi sel target adalah sel darah merah,
tetapi sel lain dapat terlibat. Antigen tersebut merupakan molekul intrinsic normal bagi membrane sel
atau matriks sel ekstraseluler, atau dapat merupakan antigen eksogen yang diadsorbsi (seperti metabolit
obat). Pada setiap kasus, respon hipersensitivitas disebabkan oleh pengikatan antibody yang diikuti salah
satu dari tiga mekanisme bergantung antibody.
Komplemen dapat memerantarai hipersensitivitas tipe II melalui dua mekanisme, lisis langsung dan
opsonizasi. Pada sitotoksisitas yang diperantarai komplemen, antibody yang terikat pada antigen
permukaan sel menyebabkan fiksasi komplemen pada permukaan sel yang selanjutnya diikuti lisis melalui
kompleks penyerang membrane (MAC). Sel yang diselubungi oleh antibody dan fragmen komplemen C3b
(teroposinasi) rentan terhadap fagositosis. Sel darah dalam sirkulasi adalah yang paling sering dirusak
melalui mekanisme ini, meskipun antibody yang terikat pada jaringan yang tidak dapat difagosit dapat
menyebabkan fagositosis gagal dan jejas. Hal ini terjadi karena adanya pelepasan enzim lisosom eksogen
dan atau metabolit toksik (seperti sindrom goodpasture). Reaksi diperantarai antibody ini terjadi pada
keadaan:
Transfusi. Sel darah merah dari seorang donor yang tidak sesuai dengan darah resipien akan dirusak
setelah diikat oleh antibody resipien. Jika golongan darah B menerima donor dari golongan A, antigen
A akan berikatan dengan anti-A yang dimiliki oleh golongan B dan menyebabkan penggumpalan sel
donor, kompleks aglutinasi ini dapat menghalangi sirkulasi pada organ vital. Aktivasi komplemen pada
antibody pada sel darah merah dapat menyebabkan hemolysis dan anemia.
Eritroblastosis fetalis. Karena inkompatibilitas antigen rhesus; antibody maternal yang melawan Rh
pada seorang Ibu Rh- yang telah tersensitisasi akan melewati plasenta dan menyebabkan kerusakan
sel darah merah janin yang Rh-.
Anemia hemolitik autoimun, agranulositosis atau trombositopenia yang disebabkan oleh antibody
yang dihasilkan oleh seorang individu yang menghasilkan antibody terhadap sel darah merahnya
sendiri.
Reaksi obat. Antibodi diarahkan untuk melawan obat tertentu atau metabolitnya yang secara
nonspesifik diadsorpsi pada permukaan sel. Contohnya hemolysis pada pemberian penisilin.
Pemfilgus vugaris disebabkan oleh antibody terhadap protein desmosome yang menyebabkan
lepasnya tautan antarsel epidermis.
Anemia hemolitik
Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan streptomisin dapat diabsorpsi nonspesifik pada
protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks molekul hapten pembawa. Pada
beberapa yang membentuk antibodi yang selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan Bantuan
komplemen dapat menimbulkan lisis. Dengan dan anemia progresif.
Reaksi transfusi
Bila darah individu golongan darah A mendapat transufusi darah golongan B terjadi reaksi transfuse,
oleh karena anti B isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yang menimbulkan kerusakan darah
direk oleh hemolysis massif intravascular.
Reaksi cepat biasanya disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO yang dipicu oleh IgM.
Reaksi transfuse darah yang lambat terjadi pada mereka yang pernah mendapat transfuse berulang
dengan darah yang kompatibel ABO namun inkompatibel dengan golongan darah lainnya. Reaksi
terjadi 2 sampai 6 hari setelah transfusi.
Lisis sel:
Sindrom goodpasture
Penyakit grave
Rangsang pertumbuhan
Goiter eutiroid
Hambatan reseptor
Mobilitas
Infertilitas
Pertumbuhan
Miksedema
4.1. Definisi
Reaksi hipersensitivitas tipe III atau yang disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi imun tubuh
yang melibatkan kompleks imun yang kemudian mengaktifkan komplemen sehingga terbentuklah
respons inflamasi melalui infiltrasi masif neutrofil.
4.2. Mekanisme
Dalam keadaan normal, kompleks imun yang terbentuk akan diikat dan diangkut oleh eritrosit ke hati, limpa
dan paru untuk dimusnahkan oleh sel fagosit dan PMN. Kompleks imun yang besar akan mudah untuk di
musnahkan oleh makrofag hati. Namun, yang menjadi masalah pada reaksi hipersensitivitas tipe III adalah
kompleks imun kecil yang tidak bisa atau sulit dimusnahkan yang kemudian mengendap di pembuluh darah
atau jaringan.
1. Neutrofil menempel pada endotel vaskular kemudian bermigrasi ke jaringan tempat kompleks
imun diendapkan. Reaksi yang timbul yaitu berupa pengumpulan cairan di jaringan (edema) dan
sel darah merah (eritema) sampai nekrosis.
2. C3a dan C5a yang terbentuk saat aktivasi komplemen meningkatkan permeabilitas pembuluh
darah sehingga memperparah edema. C3a dan C5a juga bekerja sebagai faktor kemotaktik
sehingga menarik neutrofil dan trombosit ke tempat reaksi. Neutrofil dan trombosit ini kemudian
menimbulkan statis dan obstruksi total aliran darah.
3. Neutrofil akan memakan kompleks imun kemudian akan melepas bahan-bahan seperti protease,
kolagenase dan bahan-bahan vasoaktif bersama trombosit sehingga akan menyebabkan
perdarahan yang disertai nekrosis jaringan setempat.
1. Komplemen yang telah teraktivasi melepaskan anafilatoksin (C3a dan C5a) yang memacu sel mast
dan basofil melepas histamin.
2. Kompleks imun lebih mudah diendapkan di daerah dengan tekanan darah yang tinggi dengan
putaran arus (contoh: kapiler glomerulus, bifurkasi pembuluh darah, plexus koroid, dan korpus
silier mata)
3. Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk mkrotrombi kemudian
melepas amin vasoaktif. Bahan-bahan vasoaktiv tersebut mengakibatkan vasodilatasi, peningkatan
permeabilitas pembuluh darah dan inflamasi.
4. Neutrofil deikerahkan untuk menghancurkan kompleks imun. Neutrofil yang terperangkap di
jaringan akan sulit untuk memakan kompleks tetapi akan tetap melepaskan granulnya (angry cell)
sehingga menyebabkan lebih banyak kerusakan jaringan.
5. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut juga meleaskan mediator-mediator antara lain
enzim-enzim yang dapat merusak jaringan
Dari mekanisme diatas, beberapa hari minggu setelah pemberian serum asing akan mulai terlihat
manifestasi panas, gatal, bengkak-bengkak, kemerahan dan rasa sakit di beberapa bagian tubuh sendi dan
kelenjar getah bening yang dapat berupa vaskulitis sistemik (arteritis), glomerulonefritis, dan artiritis.
Reaksi tersebut dinamakan reaksi Pirquet dan Schick.
5.1. Definisi
Baik CD4+ maupun CD8+ berperan dalam reaksi tipe IV. Sel T melepas sitokin bersama dengan produksi
mediator sitotoksik lainnya menimbulkan respons inflamasi yang terlihat pada penyakit kulit
hipersensitivitas lambat. (Imunologi Dasar FK UI Edisi ke-10)
5.2. Mekanisme
Ada 2 fase pada respons tipe IV yang dimulai dengan fase sensitasi yang mebutuhkan 1-2 minggus etelah
kontak primer. Dalam fase itu, Th diaktifkan oleh APC melalui MHC-II. Reaksi khas DTH seperti respons imun
lainnya mempunyai 2 fase yang dapat dibedakan yaitu fase sensitasi dan fase efektor.
Pada fase sensitasi bakteri intarseluler dimakan oleh makrofag APC, lalu APC mensekresi sitokin,
terbentuklah sel T CD4+ dan sel TDTH. Lalu pada fase efektor sel TDTH yang tersensitasi mensekresikan
IFN-gamma yang akan membuat makrofag beristirahat. Sel TDTH juga mensekresikan TNF-beta membrane
yang akan mengaktivasi makrofag. Dampak aktivasi dari makrofag adalah sintesis molekul MHC-II, sintesis
reseptor TNF, sintesis oksigen radikal, dan sintesis oksida nitrit. (Imunologi Dasar FK UI ke-10: hal. 391)
1. Dermatitis Kontak
Penyakit CD4+ yang dapat terjadi akibat kontak dengan bahan tidak berbahaya, merupakan contoh
reaksi DTH. Kontak sdengan bahan seperti formaldehid, nikel, terpenting dan berbagai bahan aktif
dalam cat rambut yang menimbulkan dermatitis kontak terjadi melalui sel Th1.
(Imunologi Dasar FK UI ke-10: hal. 393)
2. Hipersensitivitas Tuberkulin
Bentuk alergi bacterial spesifik terhadap produk filtrate biakan M. Tuberkulosis yang bila disuntikan ke
kulit, akan menimbulkan reaksi hipersensitivitas lambat tipe IV. Yang berperan dalam reaksi ini adalah
sel limfosit CD4+ T. Setelah suntikan intrakutan ekstrak tuberculin atau derivate protein yang
dimurnikan (PPD), daerah kemerahan dan indurasi timbul di tempat suntikan dalam 12-24 jam. Pada
individu yang pernah kontak dengan M. Tuberkulosis, kulit bengkak terjadi oada hari 7-10 pasca induksi.
Reaksi dapat dipindahkan melalui sel T. (Imunologi Dasar FK UI ke-10: hal. 393)
3. Reaksi Jones Mote
Reaksi hipetsensitivitas tipe IV terhadap antigen protein yang ebrhubungan dengan infiltrasi basophil
mencolok di kulit di bawah dermis. Reaksi juga disebut hipersensitivitas basophil kutan. Dibanding
dengan hipersensitivitas tipe IV lainnya, reaksi ini adalah lemah dan nampak beberapa hari setelah
pajanan dengan protein dalam jumlah kecil. Tidak terjadi nekrosis dan reaksi dapat diinduksi dengan
suntikan antigen larut seperti ovalbumin dengan ajuvan Freund. (Imunologi Dasar FK UI ke-10: hal. 393)
4. T Cell Mediated Cytolisis (Penyakit CD8+)
Dalam T Cell Mediated Cytolisis, kerusakan terjadi melalui sel CD8+/ CTL/ Tc yang langsung membunuh
sel sasaran. Penyakit yang ditimbulkan hipersensitivitas selular cenderung terbatas kepada beberapa
organ saja dan biasanya tidak sistemik. Pada penyakit virus hepatitis, virus sendiri tidak sitopatik, tetapi
kerusakan ditimbulkan oleh respons CTL terhadap hepatosit yang terinfeksi. (Imunologi Dasar FK UI ke-
10: hal. 394)
6.1. Farmakokinetik
Antihistamin
Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorpsi secara baik. Efeknya timbul 15-30 menit setelah
pemberian oral dan maksimal 1-2 jam. Lama kerja AH1 generasi I setelah pemberian dosis tunggal
umumnya 4-6 jam, sedangkan beberapa derivat piperizin seperti meklizin dan hidroksizin memiliki masa
kerja yang lebih panjang, seperti juga umumnya antihistamin generasi II. Difenhidramin yang diberikan
secara oral akan mencapai kadar maksimal dalam darah setelah kira-kira 2 jam, dan menetap pada kadar
tersebut untuk 2 jam berikutnya, kemudian dieliminasi dengan masa paruh kira-kira 4 jam. Kadar tertinggi
terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot dan kulit kadarnya lebih rendah. Tempat
utama biotransformasi AH1 ialah hati, tetapu dapat juga pada paru-paru dan ginjal. Tripelenamin
mengalami hidroksilasi dan konjugasi, sedangkan klorsiklizin dan siklizin mengalami demetilasi.
Hidroksizin merupakan produg, dan metabolit aktif hasil karboksilasi adalah setirizin, sedangkan
feksofenadin merupakan metabolit aktif hasil karboksilasi terfenadin. AH1 diekskresi melalui urin setelah
24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.
Kortikosteroid
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormone memasuki
sel melewati membrane plasma secara difusi pasif. Hanya di jaringan target hormone ini bereaksi dengan
reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel dan membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks
ini mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nucleus dan berikatan dengan kromatin.
Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini yang akan
menghasilkan efek fisiologik steroid.
6.2. Farmakodinamik
Antihistamin
Antagonisme terhadap histamine. AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan
bermacam-macam otot polos; selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau
keadaan lain yang disertai penglepasan histamin endogen berlebihan.
Otot polos. Secara umum AH1 efektif menghambat kerja histamin pada otot polos usus dan bronkus.
Bronkokonstriksi akibat histamin dapat dihambat oleh AH1 pada percobaan dengan marmot.
Permeabilitas kapiler. Peninggian permeabilitas kapiler dan edema akibat histamin, dapat dihambat
dengan efektif oleh AH1.
Reaksi anafilaksis dan alergi. Reaksi anafilaksis dan beberapa reaksi alergi refrakter terhadap pemberian
AH1, karena di sini bukan histamin saja yang berperan tetapi autokoid lain yang dilepaskan. Efektivitas AH1
melawan beratnya reaksi hipersensitivitas berbeda-beda, tergantung beratnya gejala akibat histamin.
Kelenjar eksokrin. Efek perangsangan histamin terhadap sekresi cairan lambung tidak dapat dihambat
oleh AH1. AH1 dapat mencegah asfiksi pada marmot akibat histamin, tetapi hewan ini mungkin mati karena
AH1 tidak mencegah perforasi lambung akibat hipersekresi cairan lambung. AH1 dapat menghambat
sekresi saliva dan sekresi kelenjar eksokrin lain akibat histamin.
Susunan saraf pusat. AH1 dapat merangsang maupun menghambat SSP. Efek perangsangan yang kadang-
kadang terlihat dengan dosis AH1 biasanya ialah insomnia, gelisah dan eksitasi. Efek perangsangan ini juga
dapat terjadi pada keracunan AH1. Dosis terapi AH1 umumnya menyebabkan penghambatan SSP dengan
gejala misalnya kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat.
Anestetik lokal. Beberapa AH1 bersifat anestetik lokal dengan intensitas berbeda. AH1 yang baik sebagai
anestetik lokal ialah prometazin dan pirilamin. Akan tetapi untuk menimbulkan efek tersebut dibutuhkan
kadar yang beberapa kali lebih tinggi daripada sebagai antihistamin.
Antikolinergik. Banyak AH1 bersifat mirip atropin. Efek ini tidak memadai utuk terapi, tetapi efek
antikolinergik ini dapat timbul pada beberapa pasien berupa mulut kering, kesukaran miksi dan impotensi.
Terfenadin dan astemizol tidak berpengaruh terhadap reseptor muskarinik.
Sistem kardiovaskular. Dalam dosis terapi, AH1 tidak mempeprlihatkan efek yang berarti pada sistem
kardiovaskular. Beberapa AH1 memperlihatkan sifat seperti kuinidin pada konduksi miokard berdasarkan
sifat anestetik lokalnya.
Kortikosteroid
Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan lemak; dan mempengaruhi juga
fungsi system kardiovaskular, ginjal, otot lurik, system saraf dan organ lain. Korteks adrenal berfungsi
homeostatic, artinya penting bagi organisme untuk dapat mempertahankan diri dalam menghadapi
perubahan lingkungan.
Efek kortikosteroid kebanyakan berhubugan dengan besarnya dosis, makin besar dosis terapi makin besar
efek yang didapat. Tetapi disamping itu juga ada keterkaitan kerja kortikosteroid dengan hormone-
hormon lain. Peran kortikosteroid dalam kerjasama ini disebut permissive effects yaitu kortikosteroid
diperlukan supaya terjadi suatu efek hormone lain, diduga mekanismenya adalah melalui pengaruh
steroid terhadap pembentukan protein yang mengubah respons jaringan terjadap hormone lain.
Pengaruh kortikosteroid terhadap fungsi dan organ tubuh ialah sebagai berikut:
Metabolisme lemak. Pada penggunaan glukokortikoid dosis besar jangka panjang atau pada sindrom
Cushing, terjadi gangguan distribusi lemak tubuh yang khas. Lemak akan berkumpul secara berlebihan
pada depot lemak; leher bagian belakang (buffalo hump), daerah supraklavikula dan juga di muka (moon
face), sebaliknya lemak di daerah ekstremitas akan menghilang. Salah satu hipotesis yang menerangkan
keadaan di atas adalah kadar insulin meningkat akibat hiperglikemia yang ditimbulkan oleh
glukokortikoid, insulin ini mempunyai efek lipogenik dan antilipolitik pada jaringan lemak di batang tubuh
sehingga lemak terkumpul di tempat-tempat yang disebut tadi. Sedangkan sel lemak di ekstremitas
kurang sensitive terhadap insulin dan lebih sensitive terhadap efek lipolitik hormone lain (epinefrin,
norepinefrin, hormone pertumbuhan) yang diinduksi oleh glukokortikoid.
Antihistamin
Efek samping yang paling sering ialah sedasi, yang justru menguntungkan pasien yang dirawat di RS atau
pasien yang perlu banyak tidur. Tetapi efek ini mengganggu bagi pasien yang memerlukan kewaspadaan
tinggi sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya kecelakaan.
Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah vertigo, tinnitus, lelah, penat, inkoordinasi,
pengelihatan kabur, diplopia, euphoria, gelisah, insomnia dan tremor. Efek samping yang termasuk sering
juga ditemukan ialah nafsu makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau
diare; efek samping ini akan berkurang bia AH1 diberikan sewaktu makan.
Efek samping lain yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit
kepala, rasa berat dan lemah pada tangan. Insidens efek samping karena efek antikolinergik tersebut
kurang pada pasien yang mendapat antihistamin nonsedatif.
AH1 bisa menimbulkan alergi pada pemberian oral, tetapi lebih sering terjadi akibat penggunaan local
berupa dermatitis alergik. Demam dan fotosensitivitas juga pernah dilaporkan terjadi. AH1 sangat jarang
menimbulkan komplikasi berupa leukopenia dan agranulositosis.
Kortikosteroid
Ada dua penyebab timbulnya efek samping pada pengguaan kortikosteroid. Efek samping dapat timbul
karena penghentian pemberian secara tiba-tiba atau pemberian terus-menerus terutama dengan dosis
besar.
Pemberian kortikosteroid jangka lama yang dihentikan tiba-tiba dapat menimbulkan insufisiensi adrenal
akut dengan gejala demam, myalgia, arthralgia dan malaise. Insufisiensi terjadi akibat kurang berfungsinya
kelenjar adrenal yang telah lama tidak memproduksi kortikosteroid endogen karena rendahnya
mekanisme umpan balik oleh kortikosteroid eksogen. Gejala-gejala ini sukar dibedakan dengan gejala
reaktivasi artritis rheumatoid atau demam reumatik yang sering terjadi bila kortikosteroid dihentikan.
Komplikasi yang timbul akibat pengobatan lama ialah gangguan cairan dan eletrolit, hiperglikemia dan
glikosuria, mudah mendapat infeksi terutama tuberculosis, pasien tukak peptic mungkin dapat mengalami
perdarahan atau perforasi, osteoporosis, miopati yang karakteristik, psikosis, habitus pasien Cushing
(antara lain moon face, buffalo hump, timbunan lemak supraklavikular, obesitas sentral, ekstremitas
kurus, striae, ekimosis, akne dan hirsutisme).
Antihistamin
Sopir atau pekerja yang memerlukan kewaspadaan yang menggunakan AH1 harus diperingatkan tentang
kemungkinan timbulnya rasa kantuk. Juga AH1 sebagai campuran pada resep, harus digunakan dengan
hati-hati karena efek AH1 bersifat aditif dengan alkohol, obat penenanag atau hipnotik sedative.
Kortikosteroid
Pemberian dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan, keadaan yang mungkin dapat
merupakan kontraindikasi relatif dapat dilupakan, terutama pada keadaan yang mengancam jiwa pasien.
Bila obat akan diberikan untuk beberapa hari atau beberapa minggu, kontraindikasi relatif yaitu diabetes
mellitus, tukak peptik/duodenum, infeksi berat, hipertensi atau gangguan sistem kardiovaksular lan patut
diperhatikan. Dalam hal yang terakhir ini dibutuhkan pertibangan matang antara risiko dan keuntungan
sebelum obat diberikan.
Agama Islam adalah agama yang kaffah atau sempurna dan lengkap. Semua permasalahan hidup
termasuk mengenai pengobatan terhadap penyakit yang diderita oleh manusia. Ajaran Islam mendorong
kita untuk tetap mengobati penyakit yang kita derita dengan cara yang Islami, tentunya dengan obat dan
terapi yang ditawarkan oleh Al-Quran dan Nabi saw.
Sesungguhnya apa yang diciptakan oleh Allah swt. mempunyai hikmah yang amat besar dan apa yang
dilarang atau diharamkan sesungguhnya demi manusia itu sendiri.
Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit beserta obatnya dan Dia telah menjadikan setiap
penyakit ada abatnya, maka berobatlah kalian dan jangan berobat dengan barang yang haram (H.R.
Abu Dawud).
Sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan kesembuhan dengan sesuatu yang ia haramkan atasmu
(H.R. Bukhari).
Islam tidak mengajarkan kita untuk melakukan pengobatan yang mengandung nilai kemusyrikan dan
penggunaan bahan-bahan yang diharamkan. Semua tuntunan tersebut telah disampaikan oleh Rasulullah
saw ribuan tahun yang lalu ketika ilmu pengetahuan pengobatan belum berkembang pesat. Nash Al-
Quran dan hadist dapat menjadi panduan untuk mencari solusi dalam permasalahan kehidupan di dunia,
terutama mengenai dunia pengobatan.
1. Kurma
Rasulullah saw berbuka puasa dengan beberapa biji buah kurma sebelum salat. Sekiranya tidak
terdapat kurma, maka Rasulullah saw akan berbuka dengan beberapa biji anggur. Sekiranya tiada
anggur, maka Baginda meminum beberapa teguk air (H.R. Ahmad).
2. Habbatus saudah
3. Madu
Allah berfirman: Dari perut lebah ini keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di
dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berfikir (Q.S. An Nahl: 69).
4. Zaitun
Rasulullah bersabda: Makanlah minyak zaitun dan lumurlah minyaknya karena ia berasal dari pohon
yang penuh berkah (H.R. At Tirmizi dan Ibnu Majah).
Wasito, H. dan D. Herawati. 2008. Etika Farmasi dalam Islam. Yogyakarta: Graha Ilmu.