You are on page 1of 10

1.

Memahami dan Menjelaskan Demam


1.1. Definisi
1.2. Klasifikasi
1.3. Etiologi
1.4. Patofisiologi
2. Memahami dan Menjelaskan Bakteri Salmonella enterica
2.1. Definisi
2.2. Morfologi
2.3. Sifat
2.4. Cara transmisi
2.5. Daur hidup
3. Memahami dan Menjelaskan Demam Tifoid
3.1. Definisi
3.2. Etiologi
3.3. Epidemiologi
3.4. Patogenesis
3.5. Manifestasi klinis
3.6. Penegakkan diagnosis
3.7. Tatalaksana
3.8. Komplikasi
3.9. Pencegahan
3.10. Prognsis

4. Memahami dan Menjelaskan Farmakokinetik dan Farmakodinamik

1
1. Memahami dan Menjelaskan Demam

1.1. Definisi

Kata demam merujuk kepada peningkatan suhu tubuh akibat infeksi atau peradangan. [Sherwood, 2012]

Peningkatan temperature tubuh di atas normal (98,6F atau 37C). Setiap penyakit yang ditandai oleh
peningkatan suhu tubuh. [Dorland, 1998]

1.2. Klasifikasi

Demam septik: Pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada
malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari. Sering disertai keluhan menggigil
dan berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun ke tingkat yang normal dinamakan juga demam
hektik.

Demam remiten: Pada tipe demam remiten, suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah
mencapai suhu badan normal. Perbedaan suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat dan
tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat pada demam septik.

Demam intermiten: Pada tipe demam remiten, suhu badan turun ke tingkat yang normal selama
beberapa jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi setiap dua hari sekali disebut tersiana dan
bila terjadi dua hari bebas demam di antara dua serangan demam disebut kuartana.

Demam kontinyu: Pada tipe demam kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu
derajat. Pada tingkat demam yang terus menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia.

Demam siklik: Pada tipe demam siklik terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh
periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.

Sumber: [IPD]

1.3. Etiologi

Demam disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi.

Demam akibat infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun parasit.

Infeksi bakteri yang pada umumnya menimbulkan demam pada anak-anak antara lain
pneumonia, bronchitis, osteomyelitis, appendicitis, tuberculosis, bacteremia, sepsis, bacterial
gastroenteritis, meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis media, infeksi saluran kemih, dan lain-lain.
Infeksi virus yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain viral pneumonia, influenza,
demam berdarah dengue, demam chikungunya, dan virus-virus umum seperti H1N1.
Infeksi jamur yang pada umumnya menimbukan demam antara lain coccidioides imitis,
criptococcosis, dan lain-lain.
Infeksi parasit yang pada umumnnya menimbulkan demam antara lain malaria, toksoplasmosis,
dan hemintiasis.

Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal:

Faktor lingkungan (suhu lingkungan eksternal yang terlalu tinggi, keadaan tumbuh gigi, dll).

2
Penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus erythematosus, vasculitis, dll).
Keganasan (Penyakit Hodgkin, Limfoma nonhodgkin, leukemia, dll).
Pemakaian obat-obatan (antibiotik, difenilhidantoin, dan antihistamin).

1.4. Patofisiologi

Hipotalamus berfungsi sebagai thermostat tubuh, menerima informasi aferen tentang suhu di berbagai
bagian tubuh dan memicu penyesuaian yang sangat kompleks dan terkoordinasi dalam mekanisme
penerimaan panas dan pembuangan panas sesuai kebutuhan untuk mengoreksi setiap penyimpangan
suhu inti dari patokan normal.

Hipotalamus harus diberi informasi secara terus-menerus tentang suhu inti dan suhu kulit oleh resptor
peka suhu khusus yang disebut termoreseptor. Suhu inti dipantau oleh termoreseptor sentral, yang
terletak di hipotalamus itu sendiri serta di tempat lain di susunan saraf pusat dan organ abdomen.
Termoreseptor perifer memantau suhu kulit di seluruh tubuh dan menyalurkan informasi tentang
perubahan suhu permukaan ke hipotalamus.

Demam merujuk kepada peningkatan suhu tubuh akibat infeksi atau peradangan. Sebagai respon
terhadap masuknya mikroba, sel-sel fagositik tertentu (makrofag) mengeluarkan suatu bahan kimia yang
dikenal sebagai pirogen endogen yang, selain efek-efeknya dalam melawan infeksi, bekerja pada pusat
termoregulasi hipotalamus untuk meningkatkan patokan thermostat. Hipotalamus sekarang
mempertahankan suhu di tingkat yang baru dan tidak mempertahankannya di suhu normal tubuh. Jika,
sebagai contoh, pirogen endogen, meningkatkan titik patokan menjadi 102F (38,9C), maka hipotalamus
mendeteksi bahwa suhu normal terlalu dingin sehingga bagian otak ini memicu mekanisme-mekanisme
respon dingin untuk meningkatkan suhu menjadi 102F. Secara spesifik, hipotalamus memicu menggigil
agar produksi panas segera meningkat, dan mendorong vasokonstriksi kulit untuk segera mengurangi
pengeluaran panas. Kedua tindakan ini mendorong suhu naik dan menyebabkan menggigil yang sering
terjadi pada permukaan demam. Karena merasa dingin maka yang bersangkutan memakai selimut sebagai
mekanisme volunteer untuk membantu meningkatkan suhu tubuh dengan menahan panas tubuh. Setelah
suhu baru tercapai maka suhu tubuh diatur sebagai normal dalam respons terhadap panas dan dingin
tetapi dengan patokan yang lebih tinggi. Karena itu, terjadinya demam sebagai respons terhadap infeksi
adalah tujuan yang disengaja dan bukan disebabkan oleh kerusakan mekanisme termoregulasi. Meskipun
makna fisiologis demam belum jelas namun banyak pakar kedokteran percaya bahwa peningkatan suhu
tubuh bermanfaat dalam mengatasi infeksi. Demam memperkuat respons peradangan dan mungkin
menghambat perkembangbiakan bakteri.

Selama demam, pirogen endogen meningkatkan titik patokan hipotalamus dengan memicu pelepasan
local prostaglandin, yaitu mediator kimiawi local yang bekerja langsung pada hipotalamus. Aspirin
mengurangi demam dengan menghambat sintesis prostaglandin. Aspirin tidak menurunkan suhu pada
orang yang tidak demam karena tanpa adanya pirogen endogen maka di hipotalamus tidak terdapat
prostaglandin dalam jumlah bermakna.

Mekanisme molecular yang pasti tentang hilangnya demam secara alami belum diketahui, meskipun ha
in diperkirakan karena berkurangnya pengeluaran pirogen atau sintesis prostaglandin. Ketika titik patokan
hipotalamus kembali ke normal, suhu pada 102F (dalam contoh ini) menjadi terlalu tinggi. Mekanisme-
mekanisme respon panas diaktifkan untuk mendinginkan tubuh. Terjadi vasodilatasi kulit dan

3
pengeluaran keringat. Yang bersangkutan merasa panas dan membuka semua penutup tambahan,
Pengaktifan mekanisme pengeluaran panas oleh hipotalamus ini menurunkan suhu ke normal.

Sumber: [Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.]

2. Memahami dan Menjelaskan Bakteri Salmonella enterica

2.1. Definisi

Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, sebuah bakteri gram negatif. Tata nama untuk bakteri ini
membingungkan karena kriteria untuk mendesain bakteri sebagai spesies individual tidak jelas. Dua sudut
pandang dalam tata nama genus Salmonella telah di diskusikan. Le Minor dan Popoff menyarankan dua
spesies itu dikenal: Salmonella bongori dan Salmonella enterica. S. enterica termasuk enam subspecies,
dimana subspesies I (pertama) mengandung semua patogen dari darah hangat hewan.

S. typhi dulunya adalah serotipe dalam subspesies I: Salmonella enterica subspesies I serotipe typhi.
Proposal ini ditolak oleh Komisi Yudisial Internasional karena namanya tidak begitu diketahui oleh klinisi
dan dapat membahayakan kesehatan atau hidup. Ezaki dan rekannya telah dicatat dalam International
Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology bahwa tata nama yang benar untuk agent penyebab
demam tifoid adalah Salmonella typhi dan meminta status subspesifik sekarang dari serotipe paratyphi A
harus dinaikan status spesifiknya, Salmonella paratyphi A.

S. typhi dapat diidentifikasi dalam laboratorium dari berbagai tes biokimia dan tes serologi.

Sumber: [WHO]

2.2. Morfologi

Kuman berbentuk batang, tidak berspora, pada pewarnaan gram bersifat negatif Gram, ukuran 1-3,5m
x 0,5-0,8 m, besar koloni rata-rata 2-4 mm, mempunyai flagel peritrik kecuali Salmonella pullorum dan
Salmonella gallinarum.

2.3. Sifat

2.4. Cara transmisi

Makanan yang mengandung Salmonella belum tentu menyebabkan infeksi Salmonella, tergantung jenis
bakteri, jumlah dan tingkat virulensi (sifat racun dari suatu mikroorganisme). Misalnya saja Salmonella
enteritidis baru menyebabkan gejala bila sudah berkembang biak menjadi 100.000, dalam hal ini bisa saja
si penderita meninggal. Perkembangan Salmonella pada tubuh manusia dapat dihambat dengan asam
lambung yang ada di tubuh kita.

Makanan, termasuk daging dan hasil olahan daging, telur, ikan, susu, produk dari susu, dan sayuran yang
tercemar tinja dapat pula menularkan bakteri ini. Makanan yang telah dimasak dapat tercemar bakteri
Salmonella sp. lewat sisa-sisa bahan makanan mentah yang masih menempel pada peralatan dapur
seperti pisau, talenan, dsb. Tikus, lalat, kecoa, dan serangga lain juga merupakan penularan yang potensial
bagi manusia dan ternak. Letupan Salmonellosis dapat terjadi berupa keracunan makanan lewat produk
restoran atau jasa catering. Penelitian juga membuktikan bahwa penularan demam tifoid dan demam

4
enterik lain terutama disebabkan oleh penularan dari orang ke orang. Penularan yang paling sering terjadi
yaitu melalui air yang tercemar oleh tinja yang mengandung Salmonella.

2.5. Daur hidup

3. Memahami dan Menjelaskan Demam Tifoid

3.1. Definisi

Demam tifoid atau demam enterik adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh kuman S. typhi.
Penyakit ini dapat pula disebabkan oleh S. enteritidis bioserotip paratyphi A dan S. enteritidis serotip
paratyphi B yang disebut demam paratifoid. Tifoid berasal dari Bahasa Yunani yang berarti smoke, karena
terjadinya penguapan panas tubuh serta gangguan kesadaran disebabkan demam yang tinggi.

Sumber: [Saputra, Lyndon. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Binarupa Aksara Publisher]

3.2. Etiologi

Etiologi demam tifoid adalah Salmonella typhi. Sedangkan demam paratifoid disebabkan oleh organisme
yang termasuk dalam spesies Salmonella enteritidis, yaitu S. enteritidis bioserotipe paratyphi A, S.
enteritidis bioserotipe paratyphi B, S. enteritidis bioserotipe paratyphi C. Kuman-kuman ini lebih dikenal
dengan nama S. paratyphi A, S. schottmuelleri, dan S. hirschfeldii.

Sumber: [Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Pertama. Jakarta: Media
Aesculapius.]

3.3. Epidemiologi

Demam tifoid dan paratifoid endemik di Indonesia. Penyakit ini jarang ditemukan secara epidemik, lebih
bersifat sporadik, terpencar-pencar di suatu daerah, dan jarang terjadi lebih dari satu kasus pada orang-
orang serumah. Di Indonesia, demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun dan insidens tertinggi pada
daerah endemik terjadi pada anak-anak. Terdapat dua sumber penularan S. typhi, yaitu pasien dengan
demam tifoid dan yang lebih sering karier. Di daerah endemik, transmisi terjadi melalui air yang tercemar
S. typhi, sedangkan akanan yang tercemar oleh karier merupakan sumber penularan tersering di daerah
nonendemik.

Sumber: [Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Pertama. Jakarta: Media
Aesculapius.]

3.4. Patogenesis

S. typhi masuk tubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan
oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plak Peyeri di
ileum terminalis yang hipertrofi. Bila terjadi komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal, kuman
menembus lamina propia, masuk aliran limfe mencapai kelenjar limfe mesenterial, dan masuk aliran
darah melalui ductus torasikus. S. typhi lain dapat mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus. S. typhi
bersarang di plak Peyeri, limpa, hati, dan bagian-bagian lain system retikuloendotelial. Endotoksin S. typhi
berperan dalam proses inflamasi local pada jaringan tempat kuman tersebut berkembang biak. S. typhi
dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen dan leukosit pada jaringan yang
meradang, sehingga terjadi demam.

5
Sumber: [Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Pertama. Jakarta: Media
Aesculapius.]

3.5. Manifestasi klinis

Gejala-gejala yang timbul bervariasi. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit
onfekso akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah,
obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya
didapatkan peningkatan suhu badan.

Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif, lidah tifoid (kotor
di tengah, tepid an ujung merah dan tremor), hepatomegaly, splenomegaly, meteorismus, gangguan
kesadaran berupa somnolen sampai koma, sedangkan roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.

Sumber: [Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Pertama. Jakarta: Media
Aesculapius.]

3.6. Penegakkan diagnosis

Ada tiga metode untuk mendiagnosis penyakit tinggi demam tifoid, yakni:

1. Diagnosis mikrobiologik atau pembiakkan kuman

Metode yang paling spesifik dan lebih dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positif dalam
minggu pertama. Hasil ini menurun drastic setelah pemakaian antibiotika, dimana hasil positif menjadi
42%. Meskipun demikian kultur sumsum tulang tetap memperlihatkan hasil yang tingg yaitu 90% positif.
Pada minggu-minggu selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur tinja dan kultur urin meningkat
yaitu 85% dan 25% berturut-turut positif pada minggu ketiga dan keempat. Organisme dalam tinja masih
dapat ditemukan selama tiga bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3% penderita tetap mengeluarkan
kuman S. typhi dalam tinjanya untuk jangka waktu yang lama. Dapat terjadi seorang karier kronik
mengeluarkan kuman S. typhi dalam tinja seumur hidupnya, dan karier lebih banyak terjadi pada orang
dewasa daripada anak-anak dan lebih sering mengenai wanita daripada laki-laki.

2. Diagnosis serologik

Tergantung pada antibody yang timbul terhadap antigen O dan H, yang dapat dideteksi dengan reaksi
aglutinasi (tes Widal). Antibodi terhadap antigen O dari grup D timbu dalam minggu pertama sakit dan
mencapai puncaknya pada minggu ketiga dan keempat yang akan menurun setelah 9 bulan sampai 1
tahun. Titer agglutinin 1/300 atau kenaikan titer lebih dari empat kali berarti tes Widal positif, hal ini
menunjukkan adanya infeksi akut S. typhi.

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan yang mempengaruhi tes Widal adalah stadium penyakit, vaksinasi,
reaksi anamnestik, daerah yang endemik serta pengobatan.

3. Diagnosis klinik

Sumber: [Saputra, Lyndon. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Binarupa Aksara Publisher]

3.7. Tatalaksana

Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:

6
1. Pemberian antibiotik; untuk menghentikan dan memusnahkan penyebaran kuman.

Antibiotik yang dapat digunakan:

a. Kloramfenikol; dosis hari pertama 4 x 250 mg, hari kedua 4 x 500 mg, diberikan selama demam
dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam, kemudian dosis diturunkan menjadi 4 x 250 mg selama 5 hari
kemudian. Penelitian terakhir (Nelwan, dkk. di RSUP Persahabatan), penggunaan kloramfenikol masih
memperlihatkan hasil penurunan suhu 4 hari, sama seperti obat-obat terbaru dari jenis kuinolon.

b. Ampisilin / Amoksisilin; dosis 50-150 mg/kg BB, diberikan selama 2 minggu.

c. Kotrimoksazol; 2x2 tablet (1 tablet mengandung 400 mg sulfametoksazol-80 mg trimethoprim,


diberikan selama dua minggu pula.

d. Sefalosporin generasi II dan III. Di subbagian Penyakit Tropik dan Infeksi FKUI-RSCM, pemberian
sefalosporin berhasil mengatasi demam tifoid dengan baik. Demam pada umumnya mengalami mereda
pada hari ke-3 atau menjelang hari ke-4. Regimen yang dipakai adalah

Seftriakson 4 g/hari selama 3 hari


Norfloksasin 2x400 mg/hari selama 14 hari
Siprofloksasin 2x500 mg/hari selama 6 hari
Ofloksasin 600 mg/hari selama 7 hari
Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari
Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari

2. Istirahat dan perawatan professional; bertujuan mencegah komplikasi dan mempercepat


penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 haru bebas demam atau kurang lebih
selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Dalam perawatan
perlu sekali dijaga hygiene perseorangan, kebersihan tempat tidur, pakaian dan peralatan yang dipakai
oleh pasien. Pasien dengan kesadaran menurun, posisinya perlu diubah-ubah untuk mecegah decubitus
dan pneumonia hipostatik. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan, karena kadang-kadang terjadi
obstipasi dan retensi urin.

3. Diet dan terapi penunjang (simtomatis dan suportif)

Pertama pasien diberi diet bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya nasi sesuai tingkat
kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini,
yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan
aman. Juga diperlukan pemberian vitamin dan mineral yang cukup untuk mendukung keadaan umum
pasien. Diharapkan dengan menjaga keseimbangan dan homeostasis, system imun akan tetap berfungsi
dengan optimal.

Pada kasus perforasi intestinal dan renjatan septik diperlukan perawatan intensif dengan nutrisi
parenteral total. Spektrum antibiotic maupun kombinasi beberapa obat yang bekerja secara sinergis dapat
dipertimbangkan. Kortikosteroid selalu perlu diberikan pada renjatan septik. Prognosis tidak begitu baik
pada kedua keadaan di atas.

Sumber: [Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Pertama. Jakarta: Media
Aesculapius.]

7
3.9. Pencegahan

Memperhatikan faktor kebersihan lingkungan


Pembuangan sampah, dan
Klorinasi air minum

Sumber: [Saputra, Lyndon. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Binarupa Aksara Publisher]

3.10. Prognosis

Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh, jumlah dan
virulensi Salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian pada anak-anak 2,6%, dan
pada orang dewasa 7,4%, rata-rata 5,7%.

Sumber: [Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Pertama. Jakarta: Media
Aesculapius.]

4. Memahami dan Menjelaskan Farmakokinetik dan Farmakodinamik

Salmonella dan Shigella.

Pada gastroenteritis yang tidak berat oleh basil yang sensitive terhadap ampisilin, terapi dengan dosis oral
ampisilin 0,5-1,0 g 4 kali sehari cukup efektif. Untuk penyakit yang lebih berat (bacteremia, demam enterik
oleh Salmonella) diperlukan terapi parenteral. Untuk demam tifoid sampai awal 1970-an, kloramfenikol
adalah obat pilihan utama, kemudian mulai timbul strain Salmonella yang resisten terhadap
kloramfenikol. Selain itu efek samping yang fatal terhadap sumsum tulag dapat terjadi, maka dewasa ini
fluorokuinolon (misalnya: siprofloksasin, levofloksasin) oral atau seftriakson suntik, menjadi pilihan
utama, dan kombinasi trimethoprim-sulfametoksazol atau ampisilin menjadi pilihan kedua sedangkan
kloramfenikol menjadi pilihan ketiga. Dosis yang dianjurkan untuk ampisilin 1 g setiap 6 jam sehari selama
14 hari, dosis trimethoprim 800 mg dan sulfametoksazol 160 mg setiap 12 jam selama 14 hari.

KLORAMFENIKOL

Farmakokinetik

Setelah pemberian oral, kloramfenikol diserap dengan cepat. Kadar puncak dalam darah tercapai dalam
2 jam. Untuk anak biasanya diberikan bentuk ester kloramfenikol palmitat atau stearate yang rasanya
tidak pahit. Bentuk ester ini akan mengalami hidrolisis dalam usus dan membebaskan kloramfenikol.

Untuk pemberian secara parenteral digunakan kloramfenikol suksinat yang akan dihidrolisis dalam
jaringan dan membebaskan kloramfenikol.

Masa paruh eliminasinya pada orang dewasa kurang lebih 3 jam, pada bayi berumur kurang dari 2 minggu
sekitar 24 jam. Kira-kira 50% kloramfenikol dalam darah terikat dengan albumin. Obat ini didistribusikan
secara baik ke berbagai jaringan tubuh, termasuk jaringan otak, cairan serebrospinal dan mata.

Di dalam hati kloramfenikol mengalami konjugasi dengan asam glukuronat oleh enzim glukuronil
transferase. Oleh karena itu waktu paruh kloramfenikol memanjang pada pasien gangguan faal hati.
Sebagian kecil kloramfenikol mengalami reduksi menjadi senyawa aril-amin yang tidak aktif lagi. Dalam
waktu 24 jam, 80-90% kloramfenikol yang diberikan oral telah diekskresi melalui ginjal. Dari seluruh

8
kloramfenikol yang diekskresi melalui urin, hanya 5-10% dalam bentuk aktif. Sisanya terdapat dalam
bentuk glukuronat atau hidrolisat lain yang tidak aktif. Bentuk aktif kloramfenikol diekskresikan terutama
melalui filtrat glomerulus sedangkan metabolitnya dengan sekresi tubulus.

Pada gagal ginjal, masa paruh kloramfenikol bentuk aktif tidak banyak berubah sehingga tidak diperlukan
pengurangan dosis. Dosis perlu dikurangi bia terdapat gangguan fungsi hepar.

INTERAKSI.

Dalam dosis terapi, kloramfenikol menghambat biotransformasi tolbutamid, fenitoin, dikumarol dan obat
lain yang di metabolism oleh enzim mikrosom hepar. Dengan demikian toksisitas obat-obat ini lebih tinggi
bila diberikan bersama kloramfenikol. Interaksi obat dengan fenobarbital dan rifampisin akan
memperpendek waktu paruh dari kloramfenikol sehingga kadar obat ini dalam darah menjadi
subterapeutik.

Farmakodinamik

Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Obat ini terikat pada ribosom subunit
50s dan menghambat enzim peptidyl transferase sehingga ikatan peptide tidak terbentuk pada proses
sintesis protein kuman. Efek toksik kloramfenikol pada system hemopoetik sel mamalia diduga
berhubungan dengan mekanisme kerja obat ini.

Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi kloramfenikol kadang-kadang


bersifat bakteriosid terhadap kuman-kuman tertentu.

Spektrum antibakteri kloramfenikol meliputi D. pneumoniae, S. pyogenes, S. viridans, Neisseria,


Haemophilus, Bacillus spp, Listeria, Bartonella, Brucella, P. multocida, C. diptheriae, Chlamydia,
Mycoplasma, Rickettsia, Treponema, dan kebanyakan kuman anaerob.

RESISTENSI.

Mekanisme resistensi terhadap kloramfenikol terjadi melalui inaktivasi obat oleh asetil transferase yang
diperantarai oleh faktor-R. Resistensi terhadap P. aeruginosa, Proteus dan Klebsiella terjadi karena
perubahan permeabilitas membaran yang mengurangi masuknya obat ke dalam sel bakteri.

Beberapa strain D. pneumoniae, H. influenzae, dan N. meningitides bersifat resisten; S. aureus umumnya
sensitif, sedang Enterobactericeae banyak yang telah resisten.

Obat ini juga efektif terhadap kebanyakan strain E. coli, K. Pneumoniae dan P. mirabilis, kebanyakan strain
Serratia, Providencia dan Proteus rettgerii resisten, juga kebanyakan strain P. aeruginosa dan strain
tertentu S. typhi.

EFEK SAMPING

Reaksi hematologik
a. Reaksi toksik dengan manifestasi depresi sumsum tulang
Kelainan ini berhubungan dengan dosis, progresif dan pulih bila pengobatan dihentikan.
Kelainan darah yang terlihat ialah anemia, retikulositopenia, peningkatan serum iron dan iron
binding capacity serta vakuolisasi seri eritrosit bentuk muda. Reaksi ini terlihat bila kadar
kloramfenikol dalam serum melampaui 25 g/mL.

9
b. Anemia aplastik dengan pansitopenia yang ireversibel dan memiliki prognosis sangat buruk.
Reaksi saluran cerna
Bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, glositis, diare dan enterokolitis.
Sindrom Gray
Pada neonatus, terutama bayi prematur yang mendapat dosis tinggi (200 mg/kgBB) dapat timbul
sindrom Gray, biasanya antara hari ke 2 sampai hari ke 9 masa terapi, rata-rata hari ke 4. Mula-
mula bayi muntah, tidak mau menyusu, pernapasan cepat dan tidak teratur perut kembung,
sianosis dan diare dengan tinja berwarna hijau dan bayi tampak sakit berat. Pada hari berikutnya
tubuh bayi menjadi lemas dan berwarna keabu-abuan; terjadi pula hipotermia. Angka kematian
kira-kira 40%, sedangkan sisanya sembuh dengan sempurna. Efek toksik ini diduga disebabkan
oleh:
1. Sistem konjugasi oleh enzim glukuronil transferase belum sempurna, dan
2. Kloramfenikol yang tidak terkonjugasi belum dpaat diekskresi dengan baik oleh ginjal.

Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya efek samping ini maka dosis kloramfenikol untuk bayi
berumur kurang dari 1 bulan tdak boleh melebihi 25 mg/kgBB sehari. Setelah umur ini, dosis 50
mg/kgBB biasanya tidak menimbulkan efek samping tersebut di atas.

Sumber: [Gunawan, Sulistia Gan. 2009. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.]

10

You might also like