You are on page 1of 10

84

BAB VI

PEMBAHASAN

Pada bab ini peneliti akan membahas hasil penelitian dan interpretasi tentang

karakteristik perawat, penerapan metode tim dan kinerja perawat di ruang Sr

Gabriel dan St. Yakobus Rumah Sakit Dirgahayu Samarinda. Pada akhir bab ini

juga akan disajikan tentang keterbatasan penelitian ini.

A. Pembahasan hasil penelitian Univariat

1. Karakteristik Perawat

a. Usia

Hasil penelitian didapatkan usia perawat di ruang St. Yakobus dan St.

Gabriel Rumah Sakit Dirgahayu Samarinda mayoritas responden

berusia 21 30 tahun sebanyak 30 orang (68 % ), 31 40 tahun

sebanyak 28 orang responden (28%), responden berusia 20 tahun

sebanyak 5 orang (5.6%).

Jika melihat hasil penelitian ini, rata-rata perawat berada dalam masa

usia produktif dan jika dikembangkan, dimotivasi dan diberikan

pengarahan yang baik akan menjadi modal dasar untuk melakukan

kinerja yang baik. Hal ini sesuai pendapat Robbins dalam Haeriyanto,

Yardes dan Sudrajat, (2005) bahwa sumber daya manusia usia

produktif yang dikelola dengan baik akan mendukung kinerja suatu

pelayanan dengan baik.

Menurut peneliti sebagian besar responden yang ada di di ruang St.

Yakobus dan St. Gabriel Rumah Sakit Dirgahayu Samarinda rata-rata


85

perawat berada kelompok usia 21 - 30 tahun memiliki semangat kerja

yang tinggi, lebih produktif dan masih energik dalam memberikan

asuhan keperawatan. Karena pada penerapan metode tim, satu orang

perawat yang berusia 21 - 30 tahun dalam memberikan asuhan

keperawatan dapat merawat 6 - 7 pasien setiap shift pagi dan sore

namun pada shift malam bisa sampai 8 - 9 orang pasien. Begitu juga

dengan perawat pada usia 31 40 tahun sama sama menunjukkan

penerapan metode tim baik pada sekelompok pasien dengan

pembagian paisen yang sama didapatkan kinerja yang baik dalam

memberikan asuhan keperawatan. Hal ini membuktikan bahwa adanya

kerja sama yang baik antara perawat yang lebih tua dengan perawat

yang lebih muda dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien,

perawat yang lebih tua juga selalu memberikan bimbingan dan

motivasi serta menunjukkan kinerja yang baik pada perawat yang

berusia yang lebih muda sehingga pelayanan keperawatan dapat

menunjukkan hasil yang baik. Bahkan penelitian Alam (2008) lebih

mempertegas temuan Haeriyanto, Yardes dan Sudrajat (2005) diatas,

dimana perawat yang telah berusia 40 tahun atau lebih akan memiliki

kinerja asuhan keperawatan yang lebih rendah dibandingkan dengan

yang berusia kurang dari 40 tahun.

Pembagian usia ini didasari oleh pendapat Levinson 1978 dalam Potter

(2005) mengatakan bahwa masa dewasa dimulai pada usia 21- 30


86

tahun merupakan masa ketika seseorang mau mencoba karir,

memodifikasi aktivitasnya dan memikirkan tujuan masa depannya.

Hal ini berbeda dengan pendapat Gibson dalam Ilyas (2007) hubungan

antara usia dengan kinerja menjadi issu yang penting antara lain oleh

karena semakin tua usia seseorang semakin tinggi kebijaksanaan dalam

mengambil keputusan, mengendalikan emosi dan berpikir rasional

serta bertoleransi dalam pandangan orang lain yang pada akhirnya

dapat mempengaruhi kinerja seseorang menjadi lebih baik. Hal ini

didukung juga oleh Kresensia (2011) menunjukkan bahwa terdapat

hubungan antara umur dengan kinerja perawat dalam penerapan

Standar Asuhan Keperawatan yang mengatakan bahwa semakin tua

usia sesorang maka akan semakin matang kinerjanya dalam

memberikan asuhan keperawatan.

b. Jenis Kelamin.

Hasil penelitian didapatkan jumlah perawat terbanyak adalah

perempuan sebanyak : 89 0rang (98,9%) dan laki-laki sebanyak 1orang

(1.1 %).

Banyaknya tenaga perempuan dibandingkan laki-laki tetapi dalam

pelaksanaan metode tim sama-sama memiliki tanggung jawab dalam

meyelesaikan pekerjaan dan saling mendukung dalam memberikan

asuhan keperawatan sehingga penerapan metode tim dapat berjalan


87

dengan baik. Menurut peneliti banyaknya perawat yang bekerja di

rumah sakit karena seorang perempuan juga memiliki sifat atau naluri

keibuan yang sangat dibutuhkan bagi seorang perawat. Dengan sifat

atau naluri yang dimiliki tersebut maka diharapkan perawat perempuan

dapat lebih memberikan perhatian kepada pasien. Karena perhatian

yang diberikan oleh perawat dapat meningkatkan kenyamanan pasien

selama dirawat di rumah sakit. Florence Nightingale mendirikan

Nightingale untuk pelatihan perawat khusus untuk wanita yang

pertama saat itu bahkan perawat-perawat pria pun jarang ada yang

berpendidikan. Florence berargumen bahwa dengan adanya sekolah

perawat, maka profesi perawat perempuan akan menjadi lebih dihargai

dan menghilangkan gambaran lama tentang perawat perempuan.

Hal ini diperkuat oleh Stephen P. Robins, (2006) Perempuan dalam

melaksanakan pekerjaannya lebih disiplin dan optimal dalam

memberikan pelayanan. Namun penelitian oleh Shye (Ilyas,2005)

menemukan bahwa tidak ada perbedaan produktivitas antara tenaga

kesehatan laki-laki dan perempuan dalam pelayanan kesehatan.

c. Tingkat Pendidikkan

Hasil penelitian didapatkan mayoritas responden berpendidikan DIII

Keperawatan sebanyak 82 orang (91.1%) , dan S1 Keperawatan 8

orang (8.9 %.)


88

Berdasarkan hasil penelitian perawat terbanyak adalah Diploma III

keperawatan yang merupakan professional pemula pada jenjang

keperawatan, sehingga pengetahuan, keterampilan dan kemampuan

intelektualnya khususnya dibidang penerapan metode tim sudah

didapatkan dalam kurikulum D- III dan pengetahuan dan ketrampilan

sudah diperoleh selama melakukan praktek dan juga bimbingan serta

peran kepala ruangan, ketua tim dan kerja sama anggota timyang baik

sehingga penerapan metode tim dengan kinerja perawat dalam

memberikan asuhan keperawatan dapat dilakukan dengan baik.

Namun ada sebagian perawat menunjukan kinerja yang kurang baik

hal ini kemungkinan kepala ruangan dan ketua tim yang berpendidikan

S-I keperawatan belum banyak,dan kurangnya pelatihan tentang

penerapan metode tim sehingga kompetensi profesionalnya belum

meningkat, akan mempengaruhi kinerjanya dalam memberikan asuhan

keperawatan kepada pasien. Praktek professional menuntut kompetensi

dalam kaitannya dengan pendidikan, pengetahuan dan keterampilan

teknis. sehingga memperkuat teori Notoatmodjo (2007) bahwa orang

yang berpendidikan tinggi mempunyai tujuan, harapan dan wawasan

untuk meningkatkan prestasi kerja melalui kinerja yang optimal.

Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Kresensia (2011) menunjukkan

tidak ada hubungan bermakna antara pendidikan dengan kinerja


89

asuhan keperawatan, dimana kinerja ini dinilai berdasarkan hasil

dokumentasi keperawatan.

2. Penerapan Metode Tim

Hasil penelitian terhadap 90 responden diperoleh hasil penerapan metode

tim baik sebanyak 51 orang (56.7 %) dan kurang baik sebanyak 39 orang

(43.3%)

Menurut peneliti hasil penerapan metode tim adalah baik disebabkan peran

serta kepala ruangan, Ketua tim sebagai motivator menyusun

perencanaan,melakukan supervise dan evaluasi terhadap asuhan

keperawatan, sedangkan anggota tim sebagai perawat pelaksana menerima

tanggung jawab untuk melaksanakan asuhan keperawatan. Faktor lain

yaitu dari organisasi dan manajemen yang mendukung program penerapan

metode tim sehingga saling melengkapi terhadap segala keterbatasasan dan

kekurangan sehingga asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien

lebih efektif dan berkualitas.

Hasil penelitian sesuai dengan pendapat Kron & Gray (1997) dalam Sitorus

(2006) yang menyatakan bahwa peran kepala ruangan, ketua tim dan

anggota perawat dalam penerapan model asuhan keperawatan professional

tim sangat penting dan besar, karena semakin baik tanggung jawab dan

peran kepala ruangan dalam hal perencanaan, pengorganisasian,

pengarahan, dan pengawasan dijalankan maka kinerja perawat dalam


90

memberikan asuhan keperawatan semakin baik. Hasil penelitian sesuai juga

dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Keperawatan FK

Universitas airlangga bekerja sama dengan PPNI Jawa Timur tentang

Analisis Hubungan Penerapan Model Asuhan Keperawatan Tim dengan

Kepuasan Pasien dalam Jurnal Ners (2006), bahwa didapatkan gambaran

bahwa peran dari kepala ruangan, ketua tim dan anggota tim merupakan

factor penting dalam meningkatkan mutu asuhan keperawatan.

3. Kinerja Perawat

Hasil penelitian kinerja perawat dalam memberikan asuhan keperawatan

menunjukkan hasil yang baik yaitu sebesar 54%. Namun masih sebagian

besar lagi menunjukkan kinerja yang kurang baik yaitu sebesar 46%

Kinerja perawat yang baik maka kualitas layanan keperawatan lebih

konprehensif yang meliputi bio,psikososial dan cultural tanpa membedakan

agama, ras dan jenis kelamin seseorang sehingga kepuasan pasien akan

pelayanan kesehatan semakin meningkat dan semakin memperpendek hari

rawat pasien di rumah sakit. Hasil penelitian ini memperkuat teori

Mangkunegara (2009) Kinerja merupakan penampilan secara kualitas dan

kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya

sesuai tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Sedangkan Haryono,

(2004) Kinerja perawat adalah aktivitas perawat mengimplementasikan

sebaik-baiknya suatu wewenang, tugas dan tanggung jawabnya dalam


91

rangka pencapaian tujuan tugas pokok profesi dan terwujudnya tujuan dan

sasaran unit organisasi.

Namun ada juga perawat yang menunjukan kinerjanya kurang baik,

penyebab menurunnya kinerja perawat kemungkinan pada individu itu

sendiri juga pada dukungan organisasi dan manajemen. Masalah

manajemen keperawatan dapat berupa kelemahan dalam perencanaan,

pengorganisasian, pengarahan dan pengelolaan staf atau menyiapkan

sumber daya yang berkualitas dalam memberikan asuhan keperawatan.

Kelemahan lainnya adalah kurangnya supervisi kepala ruangan terhadap

staf karena kepala ruangan juga berfungsi sebagai perawat pelaksana

karena keterbatasan tenaga begitu juga perawat pelaksana dengan beban

kerja yang tinggi sehingga sasaran kinerja yang harus dicapai belum

optimal. Penilaian kinerja perawat merupakan merupakan umpan balik bagi

para manajer dan staf perawat untuk melakukan introspeksi dan meninjau

kembali perilaku selama ini untuk membantu pengembangan ke arah yang

lebih baik dan professional. Manfaat penilaian kinerja ini juga untuk

pengembangan jenjang karir namun penilaian kinerja ini belum dilakukan

dengan baik

B. Pembahasan Hasil Penelitian Bivariat

Hasil bivariat menunjukkan adanya hubungan yang sangat signifikan antara

penerapan metode tim dengan kinerja perawat dalam memberikan asuhan

keperawatan dengan p value = 0.000 dan hasil OR : 112.0 Penerapan metode


92

tim yang baik mempunyai peluang 112.0 kali menunjukan kinerja perawat

yang baik dalam memberikan asuhan keperawatan dibandingkan dengan

penerapan metode tim yang kurang baik.

Menurut peneliti adanya hubungan yang bermakna antara penerapan metode

tim dengan kinerja perawat dapat disebabkan karena peran kepala ruangan

dalam penerapan model asuhan keperawatan tim sangat penting dalam hal

perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan dijalankan,

maka kinerja perawat dalam memberikan asuhan keperawatan semakin baik,

ketua tim mendapat dukungan dari anggota tim, maka tercipta kinerja perawat

yang lebih baik. Ketua tim bersama anggota tim secara rutin melakukan

evaluasi tindakan keperawatan dan berperan aktif dalam pengawasan kegiatan

tim sehingga berdampak kepada peningkatan kinerja perawat. Anggota tim

melaksanakan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya sebagai

perawat tanpa memandang status, ras, agama dan golongan dari pasien yang

dirawatnya. Juga karena anggota tim adalah perawat dengan latar belakang D-

III dimana memiliki pengetahuan tentang metode tim yang sudah didapatkan

pada kurikulum sekolah

Di samping itu ada factor yang menyebabkan penerapan metode tim kurang

baik dan kinerja perawat kurang baik hal ini disebabkan karena kepala

ruangan kurang optimal dalam pengawasan terhadap rencana asuhan yang

dibuat oleh ketua tim, kepala ruangan juga merangkap menjadi pelaksana
93

karena keterbatasan tenaga, sehingga tidak maksimal pelaksanaan metode

asuhan keperawatan tim, juga peran ketua tim yang kurang dalam melakukan

pre dan post conference, serta anggota tim karena factor individunya yang

menganggap pekerjaannya sebagai rutinitas sehingga kurang

mengembangkan ide-idenya untuk kemajuan tim. Anggota tim tidak murni

melakukan asuhan keperawatan namun lebih banyak mengerjakan tugas non

keperawatan. Faktor penting lainnya adalah belum ada pelatihan khusus

tentang metode tim untuk anggota tim.

Penelitian ini sesuai dengan Main line health (2012) MPKP mendukung

keyakinan akan pentingnya perawatan pasien unggul berdasarkan kemitraan

antara perawat dengan dokter, pasien, keluarga, dan masyarakat (Main line

health, 2012). Selain itu penerapan MPKP juga dapat meningkatkan kerjasama

antar tim kesehatan sehingga MPKP dapat menyatukan praktik keperawatan di

seluruh sistem. Hoffar & Woods (1996) dalam Sitorus (2006) salah satu faktor

yang mempengaruhi kinerja perawat dalam implementasi MPKP yaitu sistem

kompensasi dan penghargaan. Dengan penerapan MPKP memungkinkan

perawat mendapatkan kompensasi dan penghargaan yang sesuai dengan sifat

layanan profesionalnya.

You might also like