Professional Documents
Culture Documents
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Abad pertengahan dalam sejarah filsafat dianggap sebagai masa ketika filsafat
mengalami kemunduran. Ini dikarenakan filsafat lebih menjadi sekadar bidang yang tunduk
kepada agama (gereja). Kondisi ini memang tidak dapat dielakkan karena kekuatan gereja
dan negara sangat besar, sehingga kebebasan berpikirpun sangat terbatas, perkembangan
sains amat sulit dan perkembangan filsafatpun menjadi tersendat-sendat.
Berikutnya, bergantilah pada zaman modern. Masa inilah yang ditunggu-tunggu oleh
para pemikir manakala mengingat zaman kuno ketika peradaban demikian bebas dan tidak
dikekang oleh tekanan-tekanan dari luar. Kondisi inilah yang hendak dihidupkan kembali
pada zaman modern, zaman alternatif untuk menuangkan dengan bebas segala pemikiran.
Sehingga berbagai ilmu pengetahuan mengalami perkembangan, termasuk filsafat. Dan
dalam perkembangan lebih lanjut muncullah aliran-aliran filsafat yang menunjukkan atas
semakin berkembangnya pemikiran, termasuk positivisme dan fenomenologi.
Tiga tahap ini menurut Comte bukanlah suatu zaman yang berlaku bagi
perkembangan rohani manusia tetapi juga berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat
manusia, bahkan berlaku bagi perorangan, ketika muda ia seorang metafisikus dan ketika
dewasa ia menjadi seorang fisikus. Ketika seorang masih perpandangan metafisikus ataupun
teologis berarti ia masih berfikiran primitif walaupun ia hidup dizaman yang modern. Dan
ketika orang berfikiran fisikus maka ia adalah seorang yang modern dimana pun ia berada.
Pendapat ini didasarkan pada kecendrungan pernyataannya yang lebih menjurus kepada tahap
dalam keyakinan manusia dari pada tahap zaman manusia.
Selain itu tahap dalam 3 zaman ini bukan hanya berlaku dalam hal itu saja tetapi juga
bias terjadi dalam ilmu pengetahuan itu sendiri. Yang asal mulanya ketika ilmu pengetahuan
masih dikuasai oleh pengertian-pengertian teologis, sesudah itu dikeruhkan oleh pemikiran-
pemikiran metafisis hingga akhirnya tiba pada zaman positif yang cerah yang mana
meninggalkan bahkan melepaskan dari keberadaan unsur-unsur teologis dan metafisika. Oleh
karena itu baginya Teologi dan filsafat barat abad tengah merupakan pemikiran primitive.
Karena masih pada taraf pertanyaan tentang teologi dan metafisis.
Baginya manusia tidak dapat mengetahui hakikat dari segala sesuatu, tetapi manusia
dapat mengetahui keadaan-keadaan yang mempengaruhi terjadinya peristiwa.
Pengetahuan positivisme mengandung arti sebagai pengetahuan yang nyata (real),
berguna (useful), tertentu (certain) dan pasti (extact). Kaidah kaidah alam tidak pernah
disederhanakan menjadi satu kaidah tunggal dan kaidah itu terdiri dari perbedaan-perbedaan.
Akal dan ilmu menurutnya harus saling dihubungkan karena ilmu yang menurutnya
cerapan dari sesuatu yang positif tetaplah harus memakai akal dalam pembandingannya, dan
etika dianggap tinggi dalam hirarki ilmu-ilmu.
Comte membagi ilmu pengetahuan berdasarkan gejala-gejala dan penampakan-
penampakan, yang mana ilmu pengetahuan harus disesuaikan oleh itu semua. Segala gejala
yang dapat diamati hanya akan dapat dikelompokan dalam beberapa pengertian saja.
Pengelompokkan itu dapat dilakukan sedemikian rupa sehingga penelitian tiap kelompok
menjadi dasar bagi penelitian kelompok berikutnya. Sehingga terjadilah dikotomi ilmu
pengetahuan yang mana asal mualanya adalah satu. Lalu terjadi dikotomi dari ilmu
pengetahuan itu berdasarkan gejala yang diamati lalu muncullah kelompok peneliti lain yang
memungkinkan dikotomi yang lain hingga mencapai gejala yang paling sederhana. Gejala
yang sederhana ini adalah gejala yang tidak memiliki kekhususan hal-hal yang individual.
Comte membagi-bagikan segala gejala yang pertama-tama dalam dua hal yaitu gejala
yang bersifat organis dan yang tidak bersifat anorganis. Yang dimaksud dengan sifat organis
adalah segala hal yang bersifat makhluk hidup. Dan sifat anorganik adalah yang tidak bersifat
hidup. Menurutnya dalam mempelajari yang organis harus terlebih dahulu mempelajari hal-
hal yang bersifat anorganis, karena dalam makhluk hidup terdapat hal-hal yang kimiawi dan
mekanis dari alam yang anorganis, contoh: manusia yang makan, yang mana didalamnya
terdapat proses kimiawi dari sesuatu yang anorganis yaitu makanan.
Ajaran tentang segala sesuatu yang anorganis dibagi menjadi dua hal yaitu tentang
astronomi, yang mempelajari segala gejala umum yang ada dijagat raya dan tentang fisika
serta kimia yang mempelajari segala gejala umum yang terjadi dibumi. Menurutnya,
pengetahuan tentang fisika harus didahulukan, sebab proses-proses kimiawi lebih rumit
dibanding dengan proses alamiah dan tergantung daripada proses alamiah.
Dan ajarannya tentang yang organis juga dibagi menjadi dua bagian yaitu: proses-
proses yang berlangsung dalam individu-individu dan proses-proses yang berlangsung dalam
jenisnya yang lebih rumit. Ilmu yang diusahakan disini adalah ilmu biologi, yang menyelidiki
proses dalam individu. Kemudian muncul sosiologi yang menyelidiki gejala-gejala dalam
hidup kemasyarakatannya dan ilmu social baru harus dibentuk atas dasar pengamatan dan
pengalaman (pengetahuan positif).
Dari pembagian tersebut, Comte menyebutkan enam ilmu-ilmu yang bersifat
fundamental artinya dari ilmu-ilmu tersebut diturunkan ilmu-ilmu lain yang bersifat terapan.
Diantaranya; matematika, astronomi, fisika, kimia, fisiologi, biologi, dan fisika sosial
(sosiologi).[8]
Positivisme dianggap sebagai tonggak kemajuan sains di dunia. Sebagai aliran
filsafat, positivisme mendasarkan diri pada pengetahuan empiris (pengetahuan yang diangkat
dari pengalaman nyata dan dapat diuji kebenarannya). Ilmu pengetahuan kemudian diarahkan
untuk membangun peradaban manusia dengan cara penguasaan terhadap alam semesta.
Teknologi-teknologi canggih diciptakan, penelitian-penelitian besar dilakukan dan omong
kosong yang tidak berguna dijauhi.[9]
2.2 Fenomenologi
2.2.1 Pengertian Umum
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, yang asal katanya adalah
phainomai yang berarti menampak. Phenomenon merujuk pada yang menampak.[10]
Phenomenologi berarti studi tentang phenomenon, atau yang muncul dengan sendirinya.
Fenomenologi berarti uraian tentang phenomenon. Atau sesuatu yang sedang menampilkan
diri, atau sesuatu yang sedang menggejala. Dengan keterangan ini mulai tampaklah tendensi
yang terdalam dari aliran phenomenologi yang sebenarnya merupakan jiwa dan cita-cita dari
semua filsafat, yaitu mendapatkan pengertian yang benar, yang menangkap realitas itu
sendiri.
Objek fenomenologi adalah fakta atau gejala, atau keadaan, kejadian, atau benda, atau
realitas yang sedang menggejala. Phenomenologi berpegang atau berpendirian bahwa segala
pikiran dan gambaran dalam pikiran kesadaran manusia menunjuk pada sesuatu, hal atau
keadaan seperti ini, yaitu pikiran dan gambaran yang tertuju atau mengenai sesuatu tadi
disebut intensional.
Secara umum dapat dikatakan bahwa fenomenologi adalah cara dan bentuk berpikir,
atau apa yang disebut dengan the styie of thingking. Biasanya dikatakan bahwa dasar
pikiran itu ialah intensionalisme. Menurut Edmund Husserl sebagai salah satu tokoh filsafat
fenomenologi bahwa, intention, kesengajaan mengarahkan kesadaran dan reduksi. Edmund
Husserl memang berbagi jenis reduksi ; reduksi fenomenologis, editis, dunia dan kebudayaan
menjadi lebenswelt, dan reduksi transedental. Akan tetapi tokoh fenomenologi yang lain,
seperti Martin Heidegger dan Maurice Morleau Ponty menolak reduksi-reduksi itu.
Ungkapan fenomenologi adalah slogan gerakan dalam pemikiran filsafat dan
penelitian ilmiah. Walaupun di kalangan ilmuwan bisa saja terdapat banyak variasi antara
satu dengan lainnya, namun semuanya cukup representatif. Dalam hal tertentu, fenomenologi
adalah berkenaan dengan kesadaran di mana manusia mendapat dunia, mendapatkan selain
dirinya dan mendapatkan dirinya sendiri.
Fenomenologi di satu pihak adalah hubungan antara menusia dengan dunia, dan di
pihak lain, ia merupakan hubungan antara dirinya dengan dirinya sendiri. Dalam masalah
keagamaan, fenomenologi adalah cara untuk memahami hal ekspresi manusiawi terhadap
latar belakang hubungan yang fundamental. Sebagai suatu usaha pemikiran, fenomenologi
mencoba memahami manusia dalam kerangka filsafat antropologi. Sebagai suatu usaha riset
ilmiah, fenomenologi berusaha untuk mengklarisifikasikan seluk-beluk kumpulan fenomena,
termasuk fenomena keagamaan. Dengan cara demikian, fenomenologi menentukan terhadap
pengertian mereka sendiri.
Program utama fenomenologi adalah mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-
hari subjek pengetahuan. Kembali ke kekayaan pengalaman manusia yang konkret, lekat dan
penuh penghayatan. Selain itu, fenomenologi juga menolak klaim representasionalisme
epistimologi modern. Fenmenologi yang dipromosikan Husserl sebagai ilmu tanpa
presuposisi. Ini bertolak belakang dengan modus filsafat sejak Hegel menafikan
kemungkinannya ilmu pengetahuan tanpa presuposisi. Presuposisi yang menghantui filsafat
selama ini adalah naturalisme dan psikologisme. Pengaruuh fenomenologi sangat luas.
Hampir semua disiplin keilmuan mendapatkan inspirasi dari fenomenologi. Psikologi,
sosiologi, sntropologi, sampai arsitektur semuanya memperoleh nafas baru dengan
munculnya fenomenologi.[11]
3 Kesimpulan
Menurut positivisme ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-
fakta saja yang menjadi objek pengetahuan. Positivisme menolak keberadaan segala kekuatan
atau subjek di luar fakta, dan menolak penggunaan metode di luar yang digunakan untuk
menelaah fakta.
Comte seorang tokoh positivisme mengatakan bahwa; perkembangan pengetahuan
manusia menjadi tiga tahap: 1) tahap teologis terbagi dalam tiga sub-bagian; fetisisme,
politeisme dan monoteisme, 2) tahap metafisik, mausia mulai mempertanyakan dan mencoba
mencari bukti-bukti yang meyakinkannya tentang sesuatu dibalik fisik, dan 3) tahap ilmiah
atau positif, manusia berusaha untuk menemukan hukum segala sesuatu dari berbagai
eksperimen yang akhirnya menghasilkan fakta-fakta ilmiah, terbukti dan dapat dipertanggung
jawabkan.
Termasuk dalam aliran filsafat modern adalah fsnomologi yang di prakarsai oleh
husserl. Adapun pokok-pokok pikiran husserl mengenai fenomenologi adalah sebagai
berikut:
- Fenomena adalah realitas sendiri (realitas in se)
- Tidak ada batas antara subjek dengan realitas
- Kesadaran bersifat intensional/kesenjangan, yaitu orientasi pikiran terhadap objek tertentu
- Terdapat interaksi antara tindakan kesadaran (neosis) dangan objek yang disadari (neoma).
Daftar Rujukan
Adian, Donni Gahral . 2002. Pilar-Pilar Filsafat Kontemporer . Jogjakarta: Jalasutra
Akhmadi, Asmoro. 2008. Filsafat Umum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Hardiman, F. Budi. 2004. Filsafat modern; Dari machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama
http://id.wikipedia.org/wiki/Fenomenologi
Kanisius. 1998. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Kusworo, Engkus. 2009. Fenomenologi; Metodologi Penelitian Komunikasi Konsepsi, Pedoman
Dan Contoh Penelitian. Bandung: Widya Padjajaran
Poedjawijatna, I. R. 1980. Pembimbingan ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: PT. Pembangunan
Syadali, Ahmad. 2004. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia
www.anneahira.com/sejarah-perkembangan-filsafat.html diakses 20 maret 2011
[1] F. Budi hardiman, Filsafat Modern; Dari machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: PT.
Gramedia Pusaka Utama, 2004), 204
[2] Asmoro Akhmadi, Filsafat Umum (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), 120
[3] Ahmad Shadali, Filsafat Umum (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 133
[4] F. Budi hardiman, Filsafat Modern; Dari machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: PT.
Gramedia Pusaka Utama, 2004), 203
[5] Kanisius, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta: penerbit Kanisius, 1998), 72
[6] I.R. Poedjawijatna, Pembimbingan ke Arah Alam Filsafat (Jakarta: PT. Pembangunan,
1980), 115
[7] F. Budi hardiman, Filsafat Modern; Dari machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: PT.
Gramedia Pusaka Utama, 2004), 206
[8] Ibid, 209
[9] www.anneahira.com/sejarah-perkembangan-filsafat.html diakses 20 maret 2011
[10] Engkus Kuswarno, Fenomenologi; Metodologi Penelitian Komunikasi Konsepsi,
Pedoman dan Contoh Penelitian (Bandung: Widya Padjajaran, 2009), 1
[11] Donni Gahral Adian, Pilar-Pilar Filsafat Kontemporer (Jogjakarta: Jalasutra, 2002)
[12] http://id.wikipedia.org/wiki/Fenomenologi
[13] Engkus Kuswarno, Fenomenologi; Metodologi Penelitian Komunikasi Konsepsi,
Pedoman dan Contoh Penelitian (Bandung: Widya Padjajaran, 2009), 9
[14] Ibid, 48
Diposkan 18th February 2015 oleh rahmah anjwah
http://rahmah-anjwah.blogspot.co.id/2015/02/makalah-pengetahuan-dalam-filsafat.html