You are on page 1of 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang
disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-
Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, tidak saja
karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga karena pada
mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan.
Dalam makalah ini, penulis hanya membatasi pemaparan mengenai Al-Ghazali,
seorang ulama besar yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap Islam dan filsafat
Dunia Timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang teolog yang mendapat julukan
Hujjah al- Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan banyak, mulai dari pikiran
beliau dalam bidang teologi (kalam), tasawuf, dan filsafat. Dalam Hal ini akan dibahas
tentang filsafat Al-Ghazali yang berkaitan dengan biografi, hasil karya, pemikirannya dan
kritik terhadap filosof Muslim lainnya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana biografi Al-Ghazali ?


2. Bagaimana corak pemikiran filsafat Al-Ghozali ?
3. Apa latar belakang pemikiran Al-Ghazali ?
4. Apa metode pemikiran Al-Ghozali ?

1.3 Tujuan Pembelajaran


1. Untuk mengetehui biografi Al-Ghazali
2. Untuk mengetahui corak pemikiran filsafat Al-Ghazali
3. Untuk mengetahui latar belakang pemikiran Al-Ghazali
4. Untuk mengetahui pemikiran Al-Ghazali

1
BAB II
ISI

2.1 Biografi Al-Ghazali


Al-Ghazali yang nama lengkapnya Abu Hammid Muhammad bin Muhammad
Al-Ghazali, dilahirkan di Thus, salah satu khurasan (Persia) pada pertengahan abad
kelima Hijriyah (450H/1058).1 Ia adalah salah seorang pemikir besar islam yang
dianugrahi gelar Hujjat Al-Islam (bukti kebenaran Agama Islam) dan zayn ad-din
(perhiasan Agama).2
Al-Ghazali meninggal di kota kelahirannya, Thus pada tangga 14 Jumadil
Akhir 505 H (19 Desember 1111 M). Al-Ghaali petama-tama belajar agama di kota
Thus, kemudian meneruskan di kota Jurjan, da akhirnya di Naisabur pada Imam
Juwani sampai yang terakhir ini wafat pada tahun 478 1085 .
Ayah Al-Ghazali adalalh seorang wara yang hanya makan dari usaha
tangannya sendiri, pekerjaannya sebagai peminta dan penjual wol. Pada waktu-waktu
senggangnya, menurut cerita, ia selalu mendatangai tokoh-tokoh agama dan para ahli
Fiqh di berbagai majlis dan khalawat mereka utuk mendengarkan nasihat-nasihatnya.
Tampaknya sifat-sifat pribadai ayah Al-Ghazali ini banyak ditulis orang, kecuali sikap
pengabdiannya yang mengagumkan terhadapa para tokoh agama dan ilmu
pengatahuan.
Sang ayah wafat ketika Al-Ghazali dan saudara kandungnya, Ahmad masih
dalam usia anak-anak. Ketika hendak wafat, sang ayah berwasiat kepada salah
seorang teman dekatnya dari ahli sufi untuk mendidik dan membesarkan kedua
anaknya tersebut. Ia berkata kepadanya,saya sangat menyesal dulu tidak belajar.
Untuk itu, saya berharap agar keinginan itu terwujud pada kedua anak saya ini maka
didiklah keduanya,dan pergunakanlah sedikit harta yang saya tinggalkan ini untuk
mengurus keperluannya.
Sang sufi itu memegang kuat wasiat yang diamanatkan kepadanya. Dia begitu
serius memerintahkan kepentingan pendidikan dan moralitas ekdua anak temannya ini
sampai peninggalan harta dari ayahnya habis. Ketika sang sufi merasa tidak mampu
lagi membiayai kehidupan kedua anak itu, ia berkata kepada Al-Ghazali dan

1
Ahmad Badawi Thabanah, Muqhadimah Al-Ghazali wa ihya Ulum AdDin dalam ihya Ulum AdDin, Juz I
, (jakatra: Martabat Daru Ihyai Al-Kutub Al-Arabiyah t.t), hlm. 7
2
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam. (Jakarta, Bulan Bintang, 1986), Hlm. 97`

2
saudaranya, Ahmad ketahuilah bahwa saya sudah membiayai kalian sesuia dengan
harta kelian berdua yang dititipkan kepada saya. Kalian tahu bahwa saya adlah orang
miskin yang hidup mengasingkan diri hingga saya tida mempunyai harta benda yang
bisa di pergunakan untk membiayii kalian beruda. Untuk itu, saya sarankakn kalian
berdua untuk pergi kesekolah yang menyediakan beasiswa. Sebab, kalian berdua
adalah orang yang menuntut ilmu. Semoga kalian berdua dapat berhasil sesuai dengan
bekal yang kalian miliki.
Setelah belajar dari teman ayahnya itu, Al-hazali melanjutkan pendidikannya
ke salah satu sekolah agama di daerahnya, Thus. Disini , ia belajar ilmu fiqh bersama
ulama yang bernama Ahmad bin Muhammad Ar-Razakani Ath-Thusy. Setelah itu, ia
melanjutkan sekolahnya ke jurjan untuk belajar kepada Al-Iman Al-allamah Abu
Nashr Al-Ismaily.
Di jurjan, Al-Ghazali memulai menuliskan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh
gurunya, ia sendiri menulis komentar tentang fiqh. Akan tetapi, menurut sebuah cerita
di tempat ini, ia mengalami musibah. Semua barang-barang yang dibawa oleh Al-
Ghazali yang berisi buku-buku catatan dan tulisannya di rampas oleh para perampok,
meskipun pada akhirnya barang-barang tersebut dikembalikan seteah Al-Ghazali
berusaha keras untuk memintanya kembali.
Kejadian tersebut mendorong Al-Ghazali untuk mneghapal semua pelajran
yang diterimanya. Akan tetapi, pengetahuan-pengetahuannya yang ada di Thus,
agaknya tidak cukup memadai untuk membekali Al-Ghazali. Untuk itu, ia kemudian
pergi ke Naisbur. Disini, ia belajar ilmu-ilmu yang populer pada saat tu, seperti
belajar tentang mazhab-mazhab ilmu kalam dan ushul, filsafat logika, dan ilmu-ilmu
agama yang lainnya kepada imam Al-Haramain Abu Al-Maali Al-Juwaini. Seorang
ahli teknology asyariyah paling terkenal pada masa itu dan profesor terpandang d
sekolah tinggi Nidhamiyah di Naisabur.
Al-Ghazali belajr di Naishabur hingga Imam Al-Haramain wafat pada tahun
478H/1085 M. Setelah wafat Imam Al-Hamanain, Al-Ghazali meninggalkan
Nashaibur menuju Muaskar,3 untuk menghindari pertempuran dari majelis yang
diadakan oleh Nidham Al-Muluk, perdana menteri daulah bani saljuk. Di majelis
tersebut, karena banyak berkumpul di dalamnya para ulama dan fuqaha, Al-Ghazali
ingin berdiskusi dengan mereka. Disana, ia dapat melebihi kemampuan lawan-

3
Muaksar adalah suatu lapangan luas di dekat kota Nashaibur yang di dalamnya didirikan barak-barak militer
oleh Nidham Al-Muluk.

3
lawannya dalam berdiskusi dan berargumentasi. Karena kemampuannya mengalahkan
para ulama setempat dalam muhadharah Al-Ghazali diterima dengam penuh
kehormatan oleh Nidham Al-Muluk.4 Begitu besar penghormatan itu, sehingga
Nidham Al-Muluk memberikan kepercayaan untuk mengolah madrasah Nidhamiyah
di Baghdad.
Kemudian, AL-Ghazali pergi ke Baghdad untuk mengaja di madrasah
Nidhamiyah itu pada tahun 484 H/1090 M. Di Baghdad inilah, Al-Ghazali menikmati
pangkat, kehormata, harta, dan kedudukan yang dikutip oleh zainal Abidin
mengatakan bahwa Al-Ghazali sebagai seorang imam atau pemuka agama, pada tahun
1085 M pernah di undang untuk datang ke istana pemerintahan malik syah dari bani
saljuk. Negarawan ini mengakui keahlian ilmiah Al-Ghazal, sehingga pada tahun
1090 M, ia mengangkatnya menjadi guru besar dalam bidang hukum Universitas
Nidhamiyah di Baghdad. Disamping itu juga dijadikan sebagai konsultas (Mufti) oleh
para ahli hukum islam dan oleh pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan
yang muncul di masyarakat.5 Akan tetapi, kemulian dan keduudkan yang ia peroleh di
Baghdad tidak berlangsung lama akibat berbagi peristiwa atau musibah yang
menimpa baik pemerintahan ota Baghdad maupun pemerintah daulah bani Saljuk,
diantaranya ialah :
1. Pada tahun 484 H/ 1092 M, tidak lama sesudah pertemuan Al-Ghazali dengan
permaisuri raja bani saljuk. Suaminya, Raja Malik Syah yang terkenal adil dan
bijaksana meninggal dunia
2. Pada tahun yang sama (485 H/ 1092 M), perdana menteri Nidham Al-Muluk yang
menjadi sahabat karib Al-Ghazali mati dibunuh oleh seorang pembunuh bayaran
di daerah dekat Nahawad, Persi.
3. Dua tahun kemudian, pada tahun 487H/ 1094M, wafat pula kalifah Abbasiyah,
Muqtadi bi Amrillah.

4
Abdurrahman Al-Asnawi, Thabaqat Asy-Syafiiyah, Juz II. ( beirut: Dar Al-Kutb Al-ilmiyyah, 1987). Hlm. 112.
5
Zainal Abidin, Riwayat...., Hlm, 39-40

4
2.2 Pemikiran Filsafat Al-Ghazali

.A. Metafisika

Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat


terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil
kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti
mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.

Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara


mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka
(para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah
mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.

Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang
mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni
bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya
sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode
rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang
meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang
fisika (thabiiyat) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali
tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti
logika dan matematika.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat
metafisika yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para
filosof dinyatakan kafir. Hal ini akan lebih dijelaskan dalam bagian selanjutnya.

B. Iradat Tuhan

Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal
dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan
itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu
pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom)

5
yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang
itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.

Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang
diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia,
terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah
transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki
dari segala kejadian.6

Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan
akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asyari berpendapat bahwa
suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk
menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas
tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan
adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena
kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi
Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali
dengan menghilangkan sifat membakar dari api ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim
menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.7

C. Etika

Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori
tasawufnya dalam buku Ihya Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah
teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan
tasawuf yang terkenal Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf
Bi Shifat al-Rahman Ala Thaqah al-Basyariyah. Maksudnya adalah agar manusia sejauh
kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan
sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.

Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang
aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian

6
Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: CV ROSDA, 1988), hal. 172
7
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 176

6
alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai
kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia,
dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.

Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-
mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan
jangan berlebihan.

Bagi Al-Ghazali, taswuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari syariat,
hal ini nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam kitab Ihyanya yang merupakan
perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti kewajiban agama
haruslah dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah
dengan penuh rasa yakin dan pengertian tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya.

2.3 Pandangan Al-Ghazali terhadap Filsafat

Mengenai pandangan al Ghazali, para ilmuwan berpendapat bahwa ia bukan seorang


filosof, karena ia menentang dan memerangi filsafat dan membuangnya. Tentangan yang di
lontarkan al-Ghazali ini tercermin dari bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah, yakni
sebagai berikut

...sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-nama filsuf besar
seperti Socrates, Epicurus, Plato, Aristoteles dan lain-lainnya ..., mereka mendengar perilaku
pengikut filsuf dan kesesatannya dalam menjelaskan intelektualitas dan kebaikan prinsip-
prinsipnya, ketelitian ilmu para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam, dan telogi ...,
mereka mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari semua syariat dan agama, tidak
percaya pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf menyakini bahwa agama adalah
ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi keindahan ...

Jikalau melihat ungkapan di atas, terlihat bahwa al-Ghazali lebih tepat digolongkan
dalam kelompok pembangunan agama yang jalan pemikirannya didasarkan pada sumber
ajaran Islam yaitu al-Quran dan al-Hadits. Apabila memakai sumber lain dari Islam maka
sumber-sumber ini hanya dijadikan sebagai alat untuk maksud menghidupkan ajaran-ajaran
agama dan untuk membantu menerangi jalan menuju Allah SWT. Hal ini dikuatkan dengan
kitabnya IhyaUlum Ad-din. Dalam buku Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga diterangkan
tentang keremehan pemikiran-pemikiran filsafat. Sehingga apakah mungkin filsafat justru

7
menghukumi atas dirinya sendiri? Al-Ghazali dengan beberapa kali menyatakan, bahwa
tujuan penyusunan buku tersebut untuk menghancurkan filsafat dan menggoyahkan
kepercayaan orang terhadap filsafat. Dari sinilah, apakah tepat orang yang menetapkan
kegagalan filsafat disebut sebagai seorang filosof?.

Dalam bukunya pula yang berjudul Munqiz min al-Dhalal, al-Ghazali


mengelompokkan filsosof menjadi 3 (tiga) golongan:

1. Filosof Materialis (Dhariyyun)


Mereka adalah para filosof yang menyangkal adanya Tuhan. Sementara itu, kosmos
ini ada dengan sendirinya.
2. Filosof Naturalis (Thabiiyyun)
Mereka adala para filosof yang melaksanakan berbagai penelitian di alam ini.
Melalui penyelidikan-penyelidikan tersebut mereka cukup banyak menyaksikan
keajaiban-keajaiban dan memaksa mereka untuk mengakui adanya Maha Pencipta di
alam raya ini. Kendatipun demikian, mereka tetap mengingkari Allah dan Rasul-Nya
dan Hari berbangkit. Mereka tidak mengenal pahala dan dosa sebab mereka hanya
memuaskan nafsu seperti hewan.
3. Filosof Ke-Tuhanan (Ilahiyun)
Mereka adalah filosof Yunani, sperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Aristoteles telah
menyanggah pemikiran filosof sebelumnya (Materialis dan Naturalis), namun ia
sendiri tidak dapat membebaskan diri dari sia-sia kekafiran dan keherodoksian. Oleh
karena itu, ia sendiri termasuk orang kafir dan begitu juga al-Farabi dan Ibnu Sina
yang menyebarluaskan pemikiran ini di dunia Islam.
Dalam bidang Ke-Tuhanan, al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahl al-
bidat dan kafir. Kesalahan para filosof tersebut diterangkan oleh al-Ghazali dalam
bukunya Tahafut al-Falasifah.
Dalam bukunya Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga mengatakan; banyak
hadits yang mengatakan bahwa roh-roh manusia merasakan adanya kebaikan atu
siksa kubur dan lainnya. Semua ini sebagai indikasi adanya kekekalan jiwa.
Sedangkan kebangkitan jasmani secara eksplisit telah ditegaskan dalam syara, yakni
berarti jiwa dikembalikan pada tubuh, baik tubuh semula maupun tubuh yang lain,
atau tubuh yang baru dijadikan. Ini dikarenakan tubuh manusia dapat berganti
bentuk, seperti dari kecil menjadi besar, kurus menjadi gemuk, dan seterusnya.
Namun, hal yang terpenting ada satu tubuh berbentuk jasmani yang dapat merasakan

8
kepedihan dan kebahagiaan. Allah Mahakuasa menciptakan segala sesuatu. dan
dengan KeMahakuasaan-Nya tidak merasa sulit bagi-Nya menjadikan setetes sperma
menjadi aneka macam organ tubuh, seperti tulang, daging, kulit, urat saraf, otoit,
lemak, dan sebagainya. Dari hasil ini detik berganti menit, menit berganti jam, dan
jam berganti hari. Akhirnya menjadi mata, gigi, perasaan yang berbeda antara setiap
manusia. Justru itu, Allah jauh lebih mudah mengembalikan rohani pada badan
(jasmani) di akhirat ketimbang penciptaan-Nya pertama kali.
Sungguh pertentangan antara al-Ghazali dengan filosof Muslim kalau di kaji
secara mendalam, maka pertentangan tersebut hanya sebuah perbedaan Interprestasi
karena bedanya titik pijak. Al-Ghazali seorang teolog al-Asyari, ia aktif
mengembangkan Asyarisme selama delapan tahun (1077-1085) pada Universitas
Nizhamiyah Baghdad, tentu saja pemikirannya dipengaruhi oleh aliran ini, yakni
dengan kekuasaan kehendak mutlak Tuhan dan interprestasinya tidak seliberal para
filosof. Sementara itu, pemikiran para filosof Muslim dipengarhui oleh pemikiran
rasional, tentu saja interprestasi mereka lebih liberal dari al-Ghazali. Namun, antara
kedua pihak sependapat bahwa di akhirat nanti ada kebangkitan.8

2.4 Latar Belakang Pemikiran Filosofis Al-Ghazali

Dengan menjadi seorang tokoh intelektual yang besar, Al-Ghazali meninggalkan


kesan dan pengaruh abadinya dalam otak an hati jutaan manusia yang berfikir didunia. Hal
tersebut akan terus menerus seperti itu hingga sampai keabadian. Falsafahnya tentang ilmu
pengetauan dan belajar merupakan sebagian pandangan umumnya mengenai dunia yang
dengan kebijaksanaan dan kecerdasannya, telah dia tuangkan kedalam berbagi bukunya yang
sangat banyak. Untuk kepentingan menguaraikan falsfah ilmu pengetahuannya, kita perlu
menelusuri latar belakang politik, budaya, agama, dan pendidikan pada masa hidupnya
karena dia merupakan sebagian produk dari masa tersebut. Hal tersebut bertujun agar berbgi
kecendrungan dn kemungkinan yang membantu pencatatan atas pndangan dan wawasannya
dapat dipahami secar sempurna.

8
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam , hlm. 173

9
A. Latar Belakang Politik

Pada pertengahan abad kelima hijrh, Islam sebagai kekuatan moral dan gerakan
spritual berada dalm posisi yang paling rendah. Rezim pengusa yang otokrtis, berbagai
peperngan dahsyat yang membinasakan , dan kemegahan serta kemakmuran yang tidak
terkendali dari luar, secara serius telah berpengaruh besar kepadanya. Secara politis bani
Umayah dan bani Abbas, dengan berturut-turut telah membangun rezimyang sewenang-
wenang, diktator, dan otoriter dengan keemasan Islam yang sangat tipis. Zman setiap Khlifah
adalah hal lain, tetapi relatif aman. Perang intrik tipu daya, komplotan rahasia, persaingan
pribadi, dan perseteruan keluarga, mengikuti masa-masanya secara pasti hampir tnpa sela.
Kehidupan umum juga melintasi fase yang sangat bervriasi tanpa henti, sebagaimana yang
digambarkan dalam pemikiran pada waktu itu, baik dengan pesimis ataupun dengan
penyimpangan dari dasar-dasar Islam. Setelah bani Abbas dunia muslim diubah menjadi
bagian-bagian kecil dan banyak pihak menuntut atas mahkota telah menaikan bagian mereka
yang amat besar. Bahkan, beberapa orang dari mereka menggunkan cara penipuan dan
merasa optimis menuntaskan jalan mereka menuju istana. Namun, banyak pula diantara
mereka, karena dalam keadaan lemah dan mudah diserang, secara praktis telah menjadi
boneka di tangan raja-raja (bani) Saljuk. Kerajaan Turki juga mengikuti dan meniru bani
Umayyah dan bani Abbas.

Sebelum lahirnya Ghazali, konflik agama dan politik serta pertentangan antara Eropa
dan dunia Islam telah terjadi. Sebagai kelanjutannya, telah terjadi pembasmian sedikit demi
sedikit sepanjang periode 300 tahun. Stabilitas politik, perluasan wilayah, kemegahan
duniawi, dan kedaulatan serta kekuasaan Muslim yang tak tertandingi, sebagaimana
fenomena meterial lainnya, hanya bgaikan orang yang menumpang sementara waktu. Tidak
ada perwujudan sempurna yang dicapai lebih cepat dari pada ciri-ciri negatif yang
menggiurkan dan berbagai kekuatan secara spontan mengkhinati diri mereka melalui
serentetan peristiwa perganitian. Gejala-gejala aneh dari berbagai materi menimbulakan
sumbatan dalam perkembangan rohani, moral, dan agama khalayak secara luas. Hal ini
karena keseimbangan yang bukan duniawi telah menghilang. Dua hal yang bertolak
belakang, yaitu desakan menuju rsionlisme dan kebahgiaan tasawuf yang tidak sehat yang
mengarah pada amalan dan kepercayaan yang tidak berdasar, telah melemahkan energi
kretivitas dari semua orang. Dengan demikian, terjadilah krisis moral.

10
B. Suasana Keagamaan

Masa Ghazali berjalan dengan menyertai pertentangan keagamaan. Cara beribadah


orang-orang rasionalisme yang tumbuh lebih berani berlanjut dengan mencabangkan
tambahan-tambahn palsu atas dasar Islam.

Dengan munculnya Mutazilah, suatu aliran agama filsofis yang menegaskan


rasionalisme dalam menafsirkan ajaran-ajaran Islam, masa perbidahan, dan kebohongan
membuka permulaan yang pasti. Orang-orang yang baru meningkat dalam filsafat dan
intelektual telah mengalihkan perhatian dari khalayak dari ajaran dan amalan yang pokok
pada hal-hal yang sekunder, bahkan yang tertier.

2.5 Metodologi Pemikiran Al-Ghazali

Sebelum membahas cara yang telah diajukan dan dipertimbngkan, izinkan saya untuk
menyinggung terlebih dahulu bahwa ghazali tidak menentukn keyakinannya dengan kekuatan
yng ada di orang lain, tetapi justru dia bersandar pada kekuatan yang ada dalam
keyakinannya. Dia membahas topik ini dengan serentetan keterus terangan yang menarik.
Itulah sebabnya argumen yang dikemukakannya tidk mengandung kesukaran dalam meliht dn
memprlihatkan bahw di adalah pencari kebenaran yang jujur dan berterus terang. Baik dalam
bentuk maupun dalam isi, dia tidak muluk-muluk, juga tidak berbuat-buat. Dengan
penentangan yang berani, dia bermaksud menghilangkan semua penambahan yang dibuat-
buat dalam teori dan praktik Islam dan memiliki argumen yang jelas yang mengancam
semua altar para penymar agama dan filsafat.

Ghazali bukanlah apa-apa kalau tidak agung intuisinya dn mendalam logikanya, dan
meyakinkan serta tajam didalam pertempuran umumnya. Dia meminjm seluruh argumennya
dari Al-Quran mengurikannya dari hadis sahih Nabi Muhammad SAW. Dan selnjutnya
menjelaskan dari mutiara-mutiara emas amalan orang-orang suci, para sufi, dan para ulama,
dia melakukan dedukasi dari Ijma (kesepakatan) umat. Ketetapan-ketetapan agama,
keputusan dan pertimbangan yng mendalam dari pendahulu termasyurnya tidak hanya
merupakan sumber inspirasi (ilham) dan limpahan hikmh baginya, tetapi juga menjadi
gudang logika dan juga dialetika yang tiada habis-habisnya. Akan tetapi, sumber dan gudang
yang paling besar bagi pertimbangan sehatnya adalh pikiran dari lawan yang ia hadapi dalam
debat. Dia mempelajari pemikiran dengan membuat para pesaingnya tidak berdaya lagi.
Bakat berbicara, ketajajaman otak yang alamiah, kecermatan, dan wawasan yang menembus

11
batas yang membuatnya mudah untuk menemukan kekurangan dalam argumen pihak
lawannya dan ia mengencamnya pada latar yang sama. Dlam debat dan berpolemik, dia
menembus dan mengrah secara seksama. Logikany tnpa omong kosong yang fantastik berupa
kata-kata klise yng berganti-ganti, ungkpan-ungkapan dahsyat, pengulangan, kelonggaran
pengungkapan, dan jug tidak ad ucapan yang berlebihan.

Sebaliknya, sikap duka yang berkabut, terpotong-potong, bertumpuk, dan penyusunan


kta-kata sepele sepenuh mulut telah membuat risalah dan pembicaraan lawannya menjdi tisu
senda gurau yang aneh. Pada setiap kesempatan, terdapat semacam persediaan aliran hikmah
dan kesan bagi pikiran Ghazali seakan tiada yang dapat membendungnya. Dia menemui
tempat para pengkritiknya ditempat yang sama. Dia menyerang para pesaingnya, bukan
dengan keinginan untuk menonjolkan keilmuannya, tidak pula untuk mencari-cari alasan,
melainkan melakukannya secara spontan. Perihal utama dalam metodologinya adalah
keinklusifan dan kelengkapan, yaitu kemampuannya untuk membicarakan apapun,
kekuatannya yang luar biasa untuk berkonsentrasi pada bidang yang tunggal, dan ketebalan
jaringannya pemikirnnya. Semua sifat tersebut membuatnya menjadi seorang pemikir yang
agung.

Dengan sifat mendengarkan kata hati secara memdai dan debat yang singkat, tetapi
pada isinya, yng diperlembut dalamnya pemahaman, dia langsung meluncur pada isi-isi
pokok, mengukur butiran-butiran gagasan atau isi moral dalam hal-hal tertenyu, dan
mendasarkan penaksirnnya pada elemen-elemen batin. Dia menyusun berbagai argumen
dengan ketenangan intelektual dan intuisi. Dia tidak hanya pandai pidato dimimbar saja,
tetapi juga berselera berorasi yang muncul dari sumber-sumber intelektual dan intuisi yang
asli, subur dan tidak terbatas.

Al-Ghazali memperkuat, membuat penting dan membangun kembali banyak argumen


dari para pelopornya dengan wawasan, ketajaman, dan kecendekiaan yang baru, sehingga ia
memberi pertanda bagi pandngan kosmos para penerusnya.

Barangkali Ghozali adalah satu-satunya filosofi suci yang keimanannya tidk surut dan
perrtimbangan akalnya selalu berjalan dengan beriringan satu dan lainnya. akalnya adalah
kebanggan ilmuwan dan agamanya ada diposisi keimanan Nubuwwah. Dia benar-benar
istimewa, baik karena imajinasi, intuisi dan keimanan maupun karena pertimbngan yang
mendalam, lagika dan akal sehat. Belum pernah ada ahli logika yang samar kedudukannya

12
karena keimanan, dan tidak penuh keimanannya disingkirkan oleh ahli logika. Baik keimanan
maupun pertimbangan akal tersebut tidak begitu saja ada dalam dirinya, melainkan ia
memperoleh kedua-duanya dengan perjuangan dan penguraian dengan cara bijaksana.
Pertimbangan akalnya, dia pelajari dari buku-buku serta dengan diskusi dan debat dengan
lawan-lawannya atau berfikir secara dingin, tidak memihak, dan bijaksana, serta memusatkan
perhatiannya pada isu-isu hidup. Akan tetapi keimanan datang kepadanya dengan cara yng
lebih sulit. Memang benar bahwa ia sudah mempunyai keimanan karena turunan namun dia
melengkapinya dengan pengamatan, pengalaman, dan pandanfgan sendiri.

Pada usia mudanya, yaitu sekitar 32 tahun, dia telah menjadi wakil ketua penanggung
jawab Madrasah Nizamiyah Baghdad. Dia menderita karena krisis rohani yang krisis. Itu
adalah masa yang sangat penting dan bersejarah dalam hidupnya. Dia dapat mempertahankan
hidupnya kemudian mencetuskan filsafat qadha dan qadar. Dia meninggaaaalkan jabatannya
pada tahun 488 Hijriah, meninggalkan kehidupan, dan menjadi penempuh cara hidup Al-
Masih. Dia hidup kurang lebih selama 11 tahun sebagai pensiunan yng rjin belajar dengan
gaya hidup rahib yang compang-camping, merasa cukup dengan diri sendiri, dan mengikuti
urusan pikirannya. Dia shalat, berkhotbah, dan berperilaku dengan keshalehan yang kuat dan
kritis. Dia mengembara sendirian diliputi dengan kehangatan matahari, di naungi oleh langit,
dibuai diperbukitan, berjalan-jalan tanpa alas kaki didingin dan panasnya pasir hutan rimba
dan sahara. Dia bahagia sepenuhnya dengan perenungan yang dalam dan beribadah kepada
Tuhnan sehingga secara rohani dia menjadi seorang pelarut. Dari keterangan yang tangguh
tersebut, dia muncul keindahan yang tiada tandingnya dan dalam sisa-sisa usianya, dia hidup
tahan banting.

13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Al-Ghazali adalah seorang teolog
sekaligus seorang pemikir Islam yang banyak menyumbangkan pikirannya sampai ke
generasi sekarang.
Al-Ghazali mengktitik para filosof tentang tiga persoalan tentang kekeliruan para
filosof yaitu; (1) Bahwa materi dapat merusak sedangkan jiwa tidak, karena materi adalah
entitas material yang terpisah dan hanya jiwa yang abadi yang karena inilah esensi logos yang
merupakan ruh (2) Menolak klaim bahwa pengetahuan yang khusus berubah jelas mungkin.
Tuhan tidak mungkin berubah, dan (3) Al-Ghazali mengatakan tidak ada satu kasus pun yang
tidak abadi,mulai dari yang abadi.

14

You might also like