Professional Documents
Culture Documents
ANALISIS
Sosok Setya Novanto seakan tidak pernah lepas dari pertentangan. Bahkan
munculnya kontroversi sudah dimulai sejak politikus gaek Partai Golkar itu
terpilih menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada awal Oktober 2014
lalu. Abraham Samad, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ketika itu, blak-
blakan mengungkapkan keprihatinan dan kekecewaannya atas terpilihnya pria
yang akrab disapa Setnov itu. Saat itu Abraham secara terbuka menyatakan
terpilihnya Setnov sebagai orang nomor satu di parlemen berpotensi mempunyai
masalah hukum dan dapat merusak citra DPR sebagai lembaga terhormat.
Tentunya bukan tanpa alasan kalau Abraham menyesalkan terpilihnya
Setnov. Sederetan kasus dugaan korupsi pernah memaksa Setnov harus bolak
balik menjalani pemeriksaan sebagai saksi. KPK sendiri pernah beberapa kali
memeriksa Setnov. Tak hanya KPK, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Jakarta juga memintai keterangan Setnov.
Kasus Setya Novanto telah ditinjau dari berbagai teori-teori komunikasi
politik, 4 teori yang dapat dikaitkan. Yaitu:
1. Teori Retorika Ajakan dan Teori Pencitraan (Sudirman Said)
Adanya dugaan penggunakan strategi Retorika Ajakan oleh Sudirman
Said dalam mengungkapkan kasus pencantutan nama presiden dan wakil
presiden, terlihat bahwa ia secara langsung melaporkan sendiri transkrip
rekaman tersebut ke MKD, kemudian menjadi berita paling hangat belakangan
ini, masyarakat secara tidak sadar telah terpengaruh oleh retorika ajakan
Sudirman Said. Disini terlihat bahwa tindakan Sudirman Said menginginkan
lapisan-lapisan masyarakat, baik itu pemerintahan, akademisi, politikus untuk
mempertimbangkan perspektif yang ia bangun dengan mengungkap kasus
tersebut. Berkaitan dengan strategi pencitraan, berdasarkan hasil analisa
penulis, Sudirman Said memungkinkan melakukan pencitraan dengan metode
refocussing. Dalam strategi ini, telah disebutkan citra buruk yang melekat
padanya soal BBM dan Mafia Migas kemudian dialihkan dengan membanjiri
publik dengan mengungkap kasus pencatutan nama presiden dan wakil
presiden.
2. Teori Disonansi Kognitif (Setya Novanto)
Disonansi Kognitif berkaitan antara perasaan Konsisten dan Inkonsisten
oleh seorang komunikator. Seorang komunikator seperti Setya Novanto,
menunjukkan adanya inkonsistensi yang ia lakukan dalam menanggapi kasus
yang melilitnya. Pernyataan sebelumnya ia membantah telah mencantumkan
nama presiden Jokowi Dodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla di dalam
transkrip tersebut dan akan menuntut balik Sudirman Said. Namun, dihari
berikutnya saat dikonfirmasi di media massa, ia membatalkan tuntutannya ke
Sudirman Said. Disini terlihat antara pernyataan pertama dan kedua bersifat
inkonsisten.
3. Teori Konspirasi (Antara Sudirman Said dan Maroef Sirajuddin)
Adanya dugaan konspirasi yang dilakukan oleh Sudirman Said bersama
Maroef Sirajuddin untuk menjebak Setya Novanto. Hal ini dikuatkan oleh
bukti dan pengakuan Maroef bahwa rekaman transkrip terasal darinya dan
membenarkan isi transkrip tersebut.
ANALISIS KASUS
1. Pada Tahun 2011.
Jauh sebelumnya, nama Setnov juga sempat berurusan dengan hukum.
Kasus dugaan korupsi yang ikut menyeret-nyeret nama Setnov yaitu
pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis nomor induk
kependudukan secara elektronik (e-KTP) tahun anggaran 2011-2012. Dalam
kasus di proyek Kementerian Dalam Negeri itu nama Setnov disebut oleh
bekas Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.
Nazaruddin ketika itu menyebut ada aliran dana yang mengalir ke sejumlah
anggota DPR di antaranya Setya Novanto. Kala itu Setnov yang menjabat
sebagai Bendahara Umum Partai Golkar disebut-sebut menerima Rp300 miliar
dari proyek besar e-KTP. Nazaruddin waktu itu juga menyebut bahwa salah
satu pengedali proyek E-KTP adalah Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR yaitu
Setnov.
2. Pada Tahun 2013.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar kubu Aburizal Bakrie itu pernah
diperiksa perkara suap terkait pembangunan lanjutan venue Pekan Olahraga
Nasional (PON) XVIII. Tersangkanya dalam kasus itu ada bekas Gubernur
Riau Rusli Zainal. Penyidik KPK bahkan pernah menggeledah ruang kerja
Setnov pada 19 Maret 2013.
3. Pada Bulan September 2015.
Belum lama ini nama Setnov kembali menjadi sorotan buruk. Bukan
dalam perkara dugaan korupsi namun menyangkut pelanggaran etika sebagai
ketua Dewan. Pada awal September lalu, Setnov bersama pimpinan DPR lain
yaitu Fadli Zon menemui kandidat calon presiden Amerika Serikat, Donald
Trump. Keduanya kemudian diperkarakan ke Majelis Kehormatan Dewan.