You are on page 1of 47

AGAMA

Agamapada umumnya merupakan (1) satu sistem credo (tata keimanan atau tata
keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia; (2) satu sistem ritus
(tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya mutlak itu; (3) satu sistem
norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam
lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan (Anshari,
1979:158).
Agama berbeda dengan sains dan filsafat karena agama menekankan keterlibatan
pribadi. Kemajuan spiritual manusia dapat diukur dengan tingginya nilai yang tak
terbatas yang ia berikan kepada obyek yang ia sembah. Seseorang yang religius
merasakan adanya kewajiban yang tak bersyarat terhadap zat yang ia anggap sebagai
sumber yang tertinggi bagi kepribadian dan kebaikan.Agama tak dapat dipisahkan
dari bagian-bagian lain dari kehidupan manusia, jika ia merupakan reaksi terhadap
keseluruhan wujud manusia terhadap loyalitasnya yang tertinggi. Sebaiknya, agama
harus dapat dirasakan dan difikirkan: ia harus diyakini, dijelaskan dalam tindakan
(Titus, 1987:414).

Permasalahan pengaruh pengurangan (reduksi) terhadap agama dan tradisi merupakan


objek yang dikaji dalam karya-karya dan tulisan-tulisan ilmu sosiologi secara urut juga
detail. Sekulerisme, tanpa diragukan lagi merupakan objek yang rumit, dan tanpa
pengamatan yang lebih mendalam lagi akan berakhir pada penghapusan secara utuh
terhadap pemikiran dan aktivitas-aktivitas agamis; karena agama hingga kini memberikan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang eksistensi yang terlontarkan semenjak
dahulu. Dengan semua itu, sebagian besar kondisi- kondisi kehidupan masyarakat
modern tidak sejalan dan serasi dengan agama yang sebagai kekuatan yang berkuasa
atas kehidupan setiap hari. Kosmologi agamis telah memenuhi ruangnya dengan
penyaksian empiris dan pemikiran logis. Agama dan tradisi sama-sama memiliki
hubungan yang erat. Dan kebebasan berfikir yang merupakan ciri khas kehidupan
masyarakat modern berbeda secara langsung dengan tradisi, lebih banyak melemahkan
menyerang tradisi ketimbang agama.

Tradisi berbeda dari agama, di mana ia tidak merujuk kepada serangkaian khusus dari
keyakinan-keyakinan dan akibat-akibat (hasil), akan tetapi ia merujuk pada panduan dari
lembaga keyakinan dan hasil-hasil tersebut, khususnya yang berhubungan dengan waktu
(masa). Tradisi memiliki cira khas sebagai satu tunggangan yang tangguh, namun satu
tunggangan tangguh yang secara esensial bermakna dan tidak bisa disarikan dalam adat
murni. Berbeda dengan budaya modern, dalam budaya tradisional zaman dan tempat
bukannya tanpa muatan, bahkan lahan bagi esensi aktivitas-aktivitas kehidupan. Makna
dari aktivitas-aktivitas tunggangan terkandung (tersembunyi) dalam penghormatan
ataupun penghargaan seluruh manusia terhadap tradisi dan hubungannya dengan tata-
cara ibadah. Kebanyakan, tata-cara ibadah memiliki sisi tekanan dan paksaan, namun di
samping itu memberikan ketenangan secara mendalam, karena memberikan
kecondongan terhadap sekumpulan hasil-hasil tertentu dari aturan.

Kosmologi agamis juga memberikan penafsiran-penafsiran etis dan praktis terhadap


kehidupan sosial dan praktis serta dunia materi, di mana menunjukkan kepada orang-
orang mukmin sebuah lingkungan yang aman. Yang terpenting dari peranan keyakinan-
keyakinan agamis adalah, di mana kebiasaannya memasukkan kepercayaan kepada
pengalaman dari fakta-fakta dan kondisi-kondisi, juga menyiapkan bingkai yang mampu
menjelaskan fakta-fakta dan kondisi-kondisi tersebut yang terdapat di dalamnya, serta
menunjukkan perubahan di hadapan fakta-fakta dan kondisi-kondisi tersebut.

Penjelasan potensi-potensi (lahan) beragam dari kepercayaan dalam kebudayaan-


kebudayaan pra-modern bukan dengan makna bahwa lingkungan tradisional memberikan
ketengan dan dari sisi psikologis mudah untuk dibentuk, akan tetapi lingkungan modern
tidak memiliki ciri tersebut. Dari beberapa sisi tertentu, neraca (tolok-ukur) keamanan
(keselamatan) manusia yang khusus bagi dunia modern lebih tinggi ketimbang dari
kebanyakan kondisi kehidupan pra-modern. Lingkungan yang berbahaya dari budaya
tradisional pada waktu itu di bawah cengkraman fenomen-fenomena alam yang material.
Angka kematian, kematian bayi serta kematian wanita ketika melahirkan berdasarkan
neraca dunia modern cukup tinggi. Dan banyak dari orang-orang yang terserang penyakit
bawaan, juga mereka terjangkit berbagai macam penyakit infeksi. Seluruh bentuk sistem
masyarakat pra-modern kebanyakan dengan cara yang keras, di bawah pengaruh
perubahan udara dan air. Dan mereka sangat sedikit memliki penjagaan (antisipasi)
terhadap bencana-bencana alam seperti, banjir, topan, hujan lebat dan kekeringan.

Kondisi-kondisi di zaman modern, kebanyakan bahaya yang kita hadapi tidak muncul dari
alam, tentunya angin puting beliung, gempa bumi dan bencana alam lainnya hingga kini
juga terjadi, akan tetapi dalam banyak hal hubungan kita dengan alam materi secara
mendasar berbeda dengan hubungan yang terjadi pada masa-masa sebelumnya,
khususnya pada bagian yang telah diciptakan dari bumi. Ancaman-ancaman pada masa
modern mayoritas hasil dari pengetahuan dan industri modern, salah satunya yang paling
nyata adalah ancaman kekerasan militer. Hari ini, kita sibuk oleh satu pengaturan sistem
militer dunia, di mana hasilnya adalah industrisasi peperangan, tolok ukur kekuatan
dengan menghancurkan peralatan perang yang tersebar di seluruh dunia merupakan hal
yang paling menakutkan dari sebelumnya. Kita melontarkan usulan pelarangan
penggunaan atom (nuklir) yang berbahaya, di mana tidak satu pun dari generasi sebelum
kita berhadapan dengan bahaya-bahaya tersebut.[1]

Deviasi Nilai akibat Modernisme

Sampai di sini, kita telah mengetahui sebab-sebab, ciri-ciri dan hasil-hasil dari
modernisme serta hubungannya dengan agama dan tradisi dari lisan salah seorang
sosiolog Barat. Maka, telah menjadi jelas bahwa sebab kemunculan modernisme adalah
negara-negara Eropa, dan sejarahnya kembali pada setelah abad 17 dan sekarang ini
kurang lebih telah mendunia. Memperhatikan masa depan, tidak memiliki kepedulian,
pemisahan-pemisahan waktu dan tempat, kebebasan berfikir dalam segala perkara,
pelembagaan skeptis dan doksa (ihtimal) yang sebagai ganti dari keyakinan dan
kepastian, berpaling dari tradisi dan pengurangan pengaruh agama dalam kehidupan
bernalar serta sosial manusia merupakan ciri-ciri khusus dari modernisme. Di samping
itu, dampak-dampak postif modernisme adalah menghadiahkan kepada manusia
persiapan dan pencegahan terhadap fenomena-fenomena bencana alam, juga
membebankan kepada manusia kehancuran dan ancaman-ancaman yang sangat
menakutkan , di antaranya bahaya perang atom (nuklir) dan ancaman-ancaman yang
muncul dari kemajuan teknologi dalam mempersiapkan militer. Padahal, tradisi dan
agama berperan memberikan rasa aman dan kepercayaan, walaupun dalam beberapa
bagian juga dapat sebagai sebab kemunculan rasa tidak aman serta ketidakstabilan (hal-
hal yang tidak menyenangkan) dalam masyarakat.

Demikian juga, sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam pembahasan yang
berhubungan dengan saintisme dan hubungannya dengan sekulerisme, perkembangan
dan kemajuan ilmu serta pengetahuan empiris dalam fakultas teoritis dan praktis secara
esensial sama sekali tidak memunculkan pandangan dunia baik Ilahi ataupun materi, nilai-
nilai ataupun anti nilai dan berpaling dari agama ataupun keberagamaan. Modernisme,
sampai pada batas tertentu merupakan penjelas bagi perkembangan dan pertumbuhan
ilmiah serta teknologi manusia, yang terpaparkan sebatas metode dan media
pengetahuan tentang alam semesta juga manusia, dan modal bagi manusia dalam
memperoleh karunia-karunia alam, pencegahan terhadapap kejadian bencana alam
yang tidak menyenangkan serta mengembangkan ataupun memakmurkan urusan-urusan
kehidupan dan duniawi. Adapun masalah kebebasan berfikir dan pemahaman baru,
ataupun menafikan keyakinan dan kepastian dalam cakupan pengetahuan, merasa cukup
dengan skeptis dan doksa (probabiliti) serta penghapusan tradisi dan agama juga
pengelolaan serta perubahan di dalamnya, keseluruhannya kembali pada satu bentuk
pandangan dunia dan filsafat yang dipilih oleh manusia modern.; sebagaimana bentuk
tradisi-tradisi, ajaran-ajaran, hukum-hukum agama, dan metode para penanggung-jawab
urusan-urusan agama dalam masyarakat yang beragam serta pandangan manusia
modern terhadap kebudayaan pra-modern juga memberikan pengaruh bagi
pembentukan pandangan dunia dan pemikiran filosofis insan modern. Dari sini, tidak
boleh dianggap apa yang telah terjadi di dunia barat merupakan ciri khas manusia
modern, dan bersentuhan dengan perolehan-perolehan ilmu dan pengetahuan modern,
dan pada akhirnya pemikiran sekulerisme disifati sebagai sebuah pemikiran ilmiah dan
modern, serta masyarakat yang berpegang teguh pada tradisi bangsa, dasar-dasar dan
pondasi agama dianggap sebagai kemunduran, anti ilmu serta bodoh atas pemikiran
modern, sebagaimana sebagian penulis mempunyai penilaian yang tidak benar tersebut
terhadap sekulerisme dan modernisme.

Pada dasarnya, dalam masyarakat barat yang merupakan tempat kemunculan


modernisme, apa pun yang telah dijelaskan sebelum ini sebagai lambang dan contoh dari
kebudayaan serta filsafat modernisme, tidak menjadi objek yang diterima oleh seluruh
pemikir dan ilmuwan. Tidak sedikit dari para pemikir yang berada pada puncak
pengetahuan, yaitu ilmu yang dalam cakupan pengetahuan empiris yang tidak
memberikan kepastian dan keyakinan dan menerima kebebasan berfikir juga
pembaharuan pemahaman terhadap pandangan orang-orang sebelumnya, memiliki
keyakinan yang kokoh terhadap permasalahan-permasalah metafisika, permasalahan
yang di luar cakupan pengetahuan empiris, dasar-dasar dan pondasi etika yang kuat di
luar empiris serta peranan agama yang tidak bisa digantikan dalam kehidupan etis dan
pembinaan manusia. Mr Giddens, di mana telah kita sebutkan pandangannya yang
berkenaan dengan modernisme, ciri-ciri khas, dan dampak-dampaknya, setelah
menjelaskan asupan-asupan modernisme yang membawa bencana, khususnya asupan
negatif bagi masyarakat modern, ia mengatakan:

ketakutan dan kepanikan terhadap masyarakat sekarang telah meluas dan telah menjadi
pusat perhatian negara-negara di seluruh dunia. Jika kita menginginkan untuk mencegah
suatu kehancuran yang serius dan tidak dapat diganti, bukan saja kita akan berhadapan
dengan pengaruh ekstrenal dari teknologi, akan tetapi kita harus berhadapan dengan
logika pengembangan ilmiah yang tanpa kekang tersebut dan teknologi itu sendiri.
Memanusiakan teknologi lebih banyak membutuhkan apa saja dari intervensi
permasalah-permasalah etika untuk sebagai media penghubung[2] antara manusia
dengan lingkungannya.
Mr. Giddens menekankan atas keharusn hadirnya etika dalam kehidupan manusia di era
modern dan menganggap etika sebagai benteng pencegah dari dampak-dampak
perusakan modernisme. Namun, dari sisi lain, etika tanpa intervensi agama dan naungan
wahyu ia tidak akan memberikan pengaruh. Mengutip ungkapan Hoffding: tanpa jaminan
dari agama, etika hanyalah sekumpulan tindakan yang terprogram, dan kaedah,
turunnya aturan taklif merupakan hal yang baik akan sirna.[3]

Tentunya, hendaknya poin ini diperhatikan bahwa agama tidak dapat diubah menjadi
etika, sebagaimana telah diargumentasikan oleh sebagian pemikir abad 19, karena
agama mempunyai perhatian terhadap kekhawatiran-kekhawatiran dan kebutuhan-
kebutuhan manusia. Kecondongan terhadap keindahan, pencarian ilmiah dan historis,
serta kecondongan kepada aturan-aturan dan keterikatan dapat diketahui dengan bentuk
yang jelas. Akan tetapi, tidak seorang pun yang mengingkari bahwa kekhawatiran-
kekhawatiran etika sebagai poros yang paling mendasar dari sisi kehidupan agamis.[4]

Alhasil, dengan pandangan positif terhadap modernisme dan membuang hal-hal negatif
juga yang tanpa argumen darinya, dalam inti modernisme dan kebebasan berfikir
terhadap pandangan dan pemahaman terdahulu dalam ruang lingkup pengetahuan
tentang manusia, alam semesta, konsep-konsep dan hukum-hukum agamis seperti;
keberagamaan, komitmen terhadap hukum-hukum agamis dan nilai-nilai etika serta
tradisi-tradisi rasional, maka kebudayaan-kebudayaan kuno akan tetap ada. Dan tidaklah
demikian, di mana modernitas dalam fakultas pemikiran dan kebudayaan tidak serasi
dengan berpegang teguh terhadap tradisi-tradisi rasional dan ajaran-ajaran serta hukum-
hukum agamis, sehingga kita mencari jalan penyesuaiannya dalam sekulerisme.
Terkadang, muncul kepermukaan pendapat pembaharuan berkenaan dengan agama dan
hukum-hukum agamis; pendapat tersebut sampai pada batas menyesatkan.
Pembaharuan digunakan pada tempat di mana asas dan dasar sesuatu telah tumbang
dan hancur, semisal, kita dapat mengatakan berkenaan dengan agama yang berada di
tengah-tengah penyimpangan dan perubahan, selain dalam bentuk ini merupakan
sesuatu yang diterima adalah sebagai pemahaman baru dan pembaharuan pandangan
terhadap pemahaman ataupun pendapat terdahulu; sebagaimana menghidupkan
pemikiran agamis juga merupakan hal yang diterima dengan makna yang
demikian.[5] Kalimat pembenahan agama yang digunakan pada sebagian tulisan-tulisan
dan ungkapan-ungkapan memiliki dua makna yang berbeda serta dua tujuan (arah).
Pembenahan terhadap dasar-dasar agama dan teks-teks syariat merupakan hal yang
tidak masuk akal, akan tetapi pembenahan yang telah terjadi dalam pemaknaan dan
kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari agama dan syariat merupakan hal yang
diterima serta rasional. Di sini, kalimat pembenahan juga harus digunakan berdasarkan
tolok-ukur yang benar. Dan penggunaan pemahaman agamis, kesimpulan dan
pandangan sebagian ataupun keseluruhan para ilmuwan tentang salah satu dari
permasalahan kehidupan tidaklah sejalan, tidak menunjukkan atas pembenahan
pemahaman agamis yang bermotivasikan untuk menciptakan keselerasannya dengan
pandangan dan kesimpulan tersebut.

bahaya besar hari ini yang sedang mengancam agama Nasrani dan agama-agama
lainnya, adalah kepasrahan terhadap hawa nafsu, birahi dan mode trand paruh kedua
dari abad 20, dengan alasan bahwa hari ini harus telah berlalu, mereka lupa bahwa apa
pun yang hari ini adalah hari ini dan esok akan menjadi kemarin. Tentunya, pada
setiap masa pesan agama harus dijelaskan sesuai dengan bahasa masa tersebut. Dan
bersadarkan ajaran al-Quran al- Karim berbicara dengan seluruh umat sesuai dengan
bahasa dan lisan mereka, akan tetapi penjelasan terbaru atas satu hakikat yang abadi
berbeda dengan memberikan perubahan atas hakikat tersebut berdasarkan
kecenderungan satu masa atau zaman. Mungkin saja atau zaman, tidak lebih dari satu
mata rantai kesalahan-kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan tentang keindahan,
sehingga memporak-porandakan masyarakat; sebagaimana sejarah manusia
menyaksikan berkali-kali atas hal tersebut.[6]

Modernisme, dari sisi praktis juga bisa memiliki penafsiran positif dan membangun, juga
memiliki penafsiran negatif serta menghancurkan; tafsir positifnya adalah memanfaatkan
perolehan dan hasil-hasil dari ilmu pengetahuan dan industri demi menjaga dasar-dasar
dari nilai-nilai insani yang ditentukan oleh agama, akal dan fitrah; karena sesuatu yang
tidak layak dan pantas merupakan penyimpangan dari nilai-nilai insani, dan bukannya
pemanfaatan dari anugrah-anugrah alam tabiat dan ciptaan-ciptaan manusia. Walaupun,
industrisasi kehidupan bisa menyiapkan kondisi-kondisi dan lahan-lahan yang sangat
layak bagi perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan yang tidak etis, juga dengan
nisbah yang sama bisa menciptakan jalan untuk memperolah keutamaan dan makna
yang transendental lebih dekat serta lebih berpotensi. Radio dan televisi yang dalam
pengamatan kita, merupakan salah satu dari sekian perolehan ilmu pengetahuan dan
industri modern yang bisa digunakan untuk menyimpangkan hakikat-hakikat, perusakan
pola fikir dan etika masyarakat manusia, bisa juga dimanfaatkan untuk melayani
perkembangan ilmiah dan spiritual manusia. Kondisi seluruh fenomena industri adalah
sama sebagaimana yang disebutkan di atas.

Ilmu, industri dan teknologi yang tidak menghantarkan pada filsafat dan ideologi, maka
tidak akan membangun agama dan etika. Filsafat dan agama memiliki sumber dan
pengambilan yang lain, di mana jika manusia mengetahui dan komitmen terhadapnya,
maka ia bisa memanfaat ilmu dan industri sebaik-baiknya di jalan pengembangan serta
ketransendentalan dirinya.
[1] Antony Giddens, Peymadh-yi Moderniyat, terjemahan Muhsin Tsulatsy, hal. 122-
132

[2] Antony Giddens, Peymadh-yi Moderniyat, terjemahan Muhsin Tsulatsy, hal. 203

[3] Will Durant, Lazt-e Falsafeh, terjemahan Abbs Zaryb Khy, hal. 478

[4] Farhang wa Dn, maqle-ye Akhlq wa Dn, hal. 47

[5] Ayatullah Jawdi moli, Syarat dar yne-ye Marifat, hal. 125-130

[6] Sayyid Husain Nashr, Marif-e Islm dar Jahn-e Mushir, hal. 224-226
Makalah Masyarakat Modern dan Kebudayannya
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seiring dengan perkembangan zaman, kebudayaan umat manusia pun mengalami
perubahan. Menurut para pemikir post modernis dekonstruksi, dunia tak lagi berada dalam
dunia kognisi, atau dunia tidak lagi mempunyai apa yang dinamakan pusat kebudayaan sebagai
tonggak pencapaian kesempurnaan tata nilai kehidupan. Hal ini berarti semua kebudayaan
duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, dan yang ada hanyalah pusat-pusat kebudayaan tanpa
periferi. Sebuah kebudayaan yang sebelumnya dianggap pinggiran akan bisa sama kuat
pengaruhnya terhadap kebudayaan yang sebelumnya dianggap pusat dalam kehidupan manusia
modern.
Wajah kebudayaan yang sebelumnya dipahami sebagai proses linier yang selalu
bergerak ke depan dengan berbagai penyempurnaannya juga mengalami perubahan.
Kebudayaan tersebut tak lagi sekadar bergerak maju tetapi juga ke samping kiri, dan kanan
memadukan diri dengan kebudayaan lain, bahkan kembali ke masa lampau kebudayaan itu
sendiri.
Lokalitas kebudayaan karenanya menjadi tidak relevan lagi dan eklektisme menjadi
norma kebudayaan baru. Manusia cenderung mengadaptasi berbagai kebudayaan, mengambil
sedikit dari berbagai keragaman budaya yang ada, yang dirasa cocok buat dirinya, tanpa harus
mengalami kesulitan untuk bertahan dalam kehidupan.
Perubahan tersebut dikenal sebagai perubahan sosial atau social change. Perubahan
sosial merupakan bagian dari perubahan budaya, namun perubahannya hanya mencakup
kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, kecuali organisasi sosial masyarakatnya.
Perubahan sosial tersebut bardampak pada munculnya semangat-semangat untuk menciptakan
produk baru yang bermutu tinggi dan hal inilah yang menjadi dasar terjadinya revolusi industri,
serta kemunculan semangat asketisme intelektual. Menurut Prof Sartono, asketisme
dan expertise ini merupakan kunci kebudayaan akademis untuk menuju budaya yang bermutu.
Sebagai homo faber, manusia mencipta dan bekerja, untuk memperoleh kepuasan
atau self fulfillment. Dalam kaca mata agama dan unsur untuk beribadah, suatu orientasi kepada
kepuasan batin dan menuju ke arah sesuatu yang transendental. Di sinilah yang disebut etos
bangsa itu muncul.
Sebenarnya etos bangsa kita juga sudah banyak disinggung oleh para pujangga seperti
dalam Serat Wedatama karya Mangkunegoro IV yang disebutnya sebagai etos mesu
budi. Etos ini merupakan suatu ajakan untuk mementingkan penampilan yang bermutu baik
lahir, maupun batin, atau kalau dalam bahasa modern disebut juga etos intelektual.
Kemudian, etos intelektual inilah yang mendorong masyarakat untuk terus berkarya dan
terus menciptakan hal-hal baru guna meningkatkan kemakmuran hidupnya, sehingga masyarakat
tersebut menjadi masyarakat yang modern. Sedangkan proses menjadi masyarakat yang modern
disebut dengan istilah Modernisasi. Jadi dengan kata lain, modernisasi ialah suatu proses
transformasi total, suatu perubahan masyarakat dalam segala aspeknya.
B. Faktor-faktor yang Mendorong Perubahan
Masyarakat MenjadiMasyarakat yang Modern
1. perkembangan ilmu
2. perkembangan teknologi
3. perkembangan industri
4. perkembangan ekonomi
C. Gejala-gejala Modernisasi
1. Bidang IPTEK
Gejala Modernisasi di bidang IPTEK ditandai dengan adanya penemuan dan
pembaharuan unsur teknologi baru yang dapat meningkatkan kemakmuran
masyarakat.
2. Bidang Ekonomi
Gejala Modernisasi di bidang Ekonomi ialah meningkatnya produktivitas
ekonomi dan efisiensi sumber daya yang tersedia, serta pemeanfaatan SDA
yang memperhatikan kelestarian alam sekitar.
3. Bidang Politik dan Idiologi
Pada bidang ini, gejala modern ditandai dengan adanya system
pemerintahan perwakilan yang demokratis, pemerintah yang diawasi dan
dibatasi kekuasaanya, dihormati hak-hak asasinya serta dijaminnya hak-
hak sosial.
4. Bidang Agama dan Kepercayaan
Gejala Modernisasi di bidang Agama dan Kepercayaan ditandai dengan
adanya pengembangan nalar (rasio) dan kebahagiaan kebendaan (materi),
yang pada akhirnya akan menimbulkan paham sekularisasi dan
sekularisme.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Masyarakat Modern
Masyarakat modern adalah masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai
orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban masa kini. Pada umumnya
masyarakat modern tinggal di daerah perkotaan, sehingga disebut masyarakat kota. Namun
tidak semua masyarakat kota tidak dapat disebut masyarakat modern,sebab orang kota tidak
memiliki orientasi ke masa kini, misalnya gelandangan.
B. Ciri-ciri Masyarakat Modern
1. Hubungan antar manusia terutama didasarkan atas kepentingan-
kepentingan pribadi.
2. Hubungan dengan masyarakat lain dilakukan secara terbuka dengan
suasana yang saling memepengaruhi
3. Keprcayaan yang kuat akan Ilmu Pengetahuan Teknologi sebagai sarana
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
4. Masyarakatnya tergolong ke dalam macam-macam profesiyang dapat
dipelajari dan ditingkatkan dalam lembaga pendidikan, keterampilan dan
kejuruan
5. Tingkat pendidikan formal pada umumnya tinggi dan merata.
6. Hukum yang berlaku adalah hukum tertulis yang sangat kompleks
7. Ekonomi hamper seluruhnya merupakan ekonomi pasar yang
didasarkanatas penggunaan uangdan alat-alat pembayaran lain.
C. Masyarakat Modern dilihat dari berbagai Aspek
Aspek Mental Manusia :
1. Cenderung didasarkan pada pola pikirserta pola perilaku
rasionalatau logis, dengan cirri-cirimenghargai karya orang lain,
menghargai waktu, menghargai mutu, berpikir kreatif, efisien,
produktif percaya pada diri sendiri, disiplin, dan bertanggung
jawab.
2. Memiliki sifat keterbukaan, yaitu dapat menerima pandangan dan
gagasan orang lain.
Aspek Teknologi :
1. Teknologi merupakan factor utama untuk menunjang kehidupan
kearah kemajuan atau modernisasi.
2. Sebagai hasil ilmu pengetahuan dengan kemampuan produksi dan
efisiensi yang tinggi.
Aspek Pranata Sosial :
I. Pranata Agama :
Relatif kurang terasa dan tampak dalam kehidupan sehari-hari,
diaibatkan karena sekularisme
II. Pranata Ekonomi :
1. Bertumpu pada sektor Indusri Pembagian kerja yang lebih
tegas dan memiliki batas-batas yang nyata.
2. Pembagian kerja berdasarkan usia dan jenis kelamin kurang
terlihat.
3. Kesamaan kesempatan kerja antar priadan wanita sangat
tinggi.
4. Kurang mengenal gotong-royong.
5. Diobedakan menjadi tiga fungsi, yaitu: produksi distribusi, dan
konsumsi.
6. Hampir semua kebutuhan hidupmasyarakat diperoleh melalui
pasar dengan menggunakan uang sebagai alat tukar yang sah.
III. Pranata Keluarga :
1. Ikatan kekeluargaan sudah mulai lemahdan longgar, karena
cara hidup yang cenderung inidividualis.
2. Rasa solidaritas berdasarkan kekerabatan umumnya sudah
mulai menipis.
IV. Pranata Pendidikan :
Tersedianya fasilitas pendidikan formal mulai dari tingkat rendah
hingga tinggi, disamping pendidikan keterampilan khusus lainnya.
V. Pranata Politik :
Adanya pertumbuhan dan berkembangnya kesadaran berpolitik
sebagai wujud demokratisasi masyarakat.
D. Gambaran Umum Kehidupan Masyarakat Modern
Pada kehidupan masyarakat modern, kerja merupakan bentuk
eksploitasi kepada diri, sehingga mempengaruhi pola ibadah, makan, dan
pola hubungan pribadi dengan keluarga.
Sehingga dalam kebudayaan industri dan birokrasi modern pada umumnya,
dipersonalisasi menjadi pemandangan sehari-hari. Masyarakat modern mudah stres dan
muncul penyakit-penyakit baru yang berkaitan dengan perubahan pola makanan dan pola kerja.
Yang terjadi kemudian adalah dehumanisasi dan alienasi atau keterasingan, karena
dipacu oleh semangat kerja yang tinggi untuk menumpuk modal. Berger menyebutnya
sebagai lonely crowd karena pribadi menemukan dirinya amat kuat dalam kehidupan
bermasyarakat. Dalam kebudayaan industrialisasi, terus terjadi krisis. Pertama, kosmos yang
nyaman berubah makna karena otonomisasi dan sekularisasi sehingga rasa aman lenyap. Kedua
masyarakat yang nyaman dirobek-robek karena individu mendesakkan diri kepada pusat
semesta, ketiga nilai kebersamaan goyah, keempat birokrasi dan waktu menggantikan tokoh
mistis dan waktu mitologi.
Para penganut paham pascamodern seperti Lyotard pernah mengemukakan perlunya
suatu jaminan meta-sosial, yang dengannya hidup kita dijamin lebih merdeka, bahagia, dan
sebagainya. Khotbah agung-nya (metanarasi) ini mengutamakan perlunya new sensibility bagi
masyarakat yang terjebak dalam gejala dehumanisasi budaya modern.
Kebiasaan dari masyarakat modern adalah mencari hal-hal mudah, sehingga
penggabungan nilai-nilai lama dengan kebudayaan birokrasi modern diarahkan untuk
kenikmatan pribadi. Sehingga, munculah praktek-peraktek kotor seperti nepotisme, korupsi,
yang menyebabkan penampilan mutu yang amat rendah.
E. Kebudayaan Modern
Proses akulturasi di Negara-negara berkembang tampaknya beralir secara simpang siur,
dipercepat oleh usul-usul radikal, dihambat oleh aliran kolot, tersesat dalam ideologi-ideologi,
tetapi pada dasarnya dilihat arah induk yang lurus: the things of humanity all humanity
enjoys. Terdapatlah arus pokok yang dengan spontan menerima unsur-unsur kebudayaan
internasional yang jelas menguntungkan secara positif.
Akan tetapi pada refleksi dan dalam usaha merumuskannya kerap kali timbul reaksi,
karena kategori berpikir belum mendamaikan diri dengan suasana baru atau penataran asing.
Taraf-taraf akulturasi dengan kebudayaan Barat pada permulaan masih dapat diperbedakan,
kemudian menjadi overlapping satu kepada yang lain sampai pluralitas, taraf, tingkat dan aliran
timbul yang serentak. Kebudayaan Barat mempengaruhi masyarakat Indonesia, lapis demi
lapis, makin lama makin luas lagi dalam (Bakker; 1984).
Apakah kebudayaan Barat modern semua buruk dan akan mengerogoti Kebudayaan
Nasional yang telah ada? Oleh karena itu, kita perlu merumuskan definisi yang jelas tentang
Kebudayaan Barat Modern. Menurut para ahli kebudayaan modern dibedakan menjadi tiga
macam yaitu:
a. Kebudayaan Teknologi Modern
Pertama kita harus membedakan antara Kebudayan Barat Modern dan
Kebudayaan Teknologis Modern. Kebudayaan Teknologis Modern merupakan anak
Kebudayaan Barat. Akan tetapi, meskipun Kebudayaan Teknologis Modern jelas sekali
ikut menentukan wujud Kebudayaan Barat, anak itu sudah menjadi dewasa dan sekarang
memperoleh semakin banyak masukan non-Barat, misalnya dari Jepang.
Kebudayaan Tekonologis Modern merupakan sesuatu yang kompleks.
Penyataan-penyataan simplistik, begitu pula penilaian-penilaian hitam putih hanya akan
menunjukkan kekurangcanggihan pikiran. Kebudayaan itu kelihatan bukan hanya dalam
sains dan teknologi, melainkan dalam kedudukan dominan yang diambil oleh hasil-hasil
sains dan teknologi dalam hidup masyarakat: media komunikasi, sarana mobilitas fisik
dan angkutan, segala macam peralatan rumah tangga serta persenjataan modern. Hampir
semua produk kebutuhan hidup sehari-hari sudah melibatkan teknologi modern dalam
pembuatannya.
Kebudayaan Teknologis Modern itu kontradiktif. Dalam arti tertentu dia bebas
nilai, netral. Bisa dipakai atau tidak. Pemakaiannya tidak mempunyai implikasi ideologis
atau keagamaan. Seorang Sekularis dan Ateis, Kristen Liberal, Budhis, Islam Modernis
atau Islam Fundamentalis, bahkan segala macam aliran New Age dan para normal dapat
dan mau memakainya, tanpa mengkompromikan keyakinan atau kepercayaan mereka
masing-masing. Kebudayaan Teknologis Modern secara mencolok bersifat instumental.
b. Kebudayaan Modern Tiruan
Dari kebudayaan Teknologis Modern perlu dibedakan sesuatu yang mau saya
sebut sebagai Kebudayaan Modern Tiruan. Kebudayaan Modern Tiruan itu terwujud
dalam lingkungan yang tampaknya mencerminkan kegemerlapan teknologi tinggi dan
kemodernan, tetapi sebenarnya hanya mencakup pemilikan simbol-simbol lahiriah saja,
misalnya kebudayaan lapangan terbang internasional, kebudayaan supermarket (mall),
dan kebudayaan Kentucky Fried Chicken (KFC).
Di lapangan terbang internasional orang dikelilingi oleh hasil teknologi tinggi, ia
bergerak dalam dunia buatan: tangga berjalan, duty free shop dengan tawaran hal-hal
yang kelihatan mentereng dan modern, meskipun sebenarnya tidak dibutuhkan, suasana
non-real kabin pesawat terbang; semuanya artifisial, semuanya di seluruh dunia sama, tak
ada hubungan batin.
Kebudayaan Modern Tiruan hidup dari ilusi, bahwa asal orang bersentuhan
dengan hasil-hasil teknologi modern, ia menjadi manusia modern. Padahal dunia artifisial
itu tidak menyumbangkan sesuatu apapun terhadap identitas kita. Identitas kita malahan
semakin kosong karena kita semakin membiarkan diri dikemudikan. Selera kita, kelakuan
kita, pilihan pakaian, rasa kagum dan penilaian kita semakin dimanipulasi, semakin kita
tidak memiliki diri sendiri. Itulah sebabnya kebudayaan ini tidak nyata, melainkan tiruan,
blasteran.
Anak Kebudayaan Modern Tiruan ini adalah Konsumerisme: orang ketagihan
membeli, bukan karena ia membutuhkan, atau ingin menikmati apa yang dibeli,
melainkan demi membelinya sendiri. Kebudayaan Modern Blateran ini, bahkan membuat
kita kehilangan kemampuan untuk menikmati sesuatu dengan sungguh-sungguh.
Konsumerisme berarti kita ingin memiliki sesuatu, akan tetapi kita semakin tidak mampu
lagi menikmatinya. Orang makan di KFC bukan karena ayam di situ lebih enak rasanya,
melainkan karena fast food dianggap gayanya manusia yang trendy, dan trendy adalah
modern.
c. Kebudayaan-Kebudayaan Barat
Kita keliru apabila budaya blastern kita samakan dengan Kebudayaan Barat
Modern. Kebudayaan Blastern itu memang produk Kebudayaan Barat, tetapi bukan
hatinya, bukan pusatnya dan bukan kunci vitalitasnya. Ia mengancam Kebudayaan Barat,
seperti ia mengancam identitas kebudayaan lain, akan tetapi ia belum mencaploknya.
Italia, Perancis, spayol, Jerman, bahkan barangkali juga Amerika Serikat masih
mempertahankan kebudayaan khas mereka masing-masing. Meskipun di mana-mana
orang minum Coca Cola, kebudayaan itu belum menjadi Kebudayaan Coca Cola.
Orang yang sekadar tersenggol sedikit dengan kebudayaan Barat palsu itu, dengan
demikian belum mesti menjadi orang modern. Ia juga belum akan mengerti bagaimana
orang Barat menilai, apa cita-citanya tentang pergaulan, apa selera estetik dan cita
rasanya, apakah keyakinan-keyakinan moral dan religiusnya, apakah paham tanggung
jawabnya (Suseno; 1992).
F. Tantangan Kebudayaan Masyarakat Modern
1. Kebudayaan Modern Tiruan
Tantangan yang sungguh-sungguh mengancam kita adalah Kebudayaan Modern
Tiruan. Dia mengancam justru karena tidak sejati, tidak substansial. Yang ditawarkan adalah
semu. Kebudayaan itu membuat kita menjadi manusia plastik, manusia tanpa kepribadian,
manusia terasing, manusia kosong, manusia latah.
Kebudayaan Blasteran Modern bagaikan drakula: ia mentereng, mempunyai daya tarik
luar biasa, ia lama kelamaan meyedot pandangan asli kita tentang nilai, tentang dasar harga
diri, tentang status. Ia menawarkan kemewahan-kemewahan yang dulu bahkan tidak dapat kita
impikan. Ia menjanjikan kepenuhan hidup, kemantapan diri, asal kita mau berhenti berpikir
sendiri, berhenti membuat kita kehilangan penilaian kita sendiri. Akhirnya kita kehabisan darah
, kehabisan identitas. Kebudayaan modern tiruan membuat kita lepas dari kebudayaan
tradisional kita sendiri, sekaligus juga tidak menyentuh kebudayaan teknologis modern
sungguhan (Suseno;1992)
2. Bagaimana Memberi Makan, Sandang, dan Rumah
Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa, budaya adalah perjuangan manusia dalam
mengatasi masalah alam dan zaman. Permasalahan yang paling mendasar bagi manusia adalah
masalah makan, pakaian dan perumahan. Ketika orang kekurangan gizi bagaimana ia akan
mendapat orang yang cerdas. Ketika kebutuhan pokok saja tidak terpenuhi bagaimana orang
akan berpikir maju dan menciptakan teknologi yang hebat. Jangankan untuk itu, permasalahan
pemenuhan kebutuhan kita sangat mempengaruhi pola hubungan di antara manusia. Orang rela
mencuri bahkan membunuh agar ia bisa makan sesuap nasi. Sehingga, kelalaian dalam hal ini
bukan hanya berdampak pada kemiskinan, kelaparan, kematian, akan tetapi akan berpengaruh
dalam tatanan budaya-sosial masyarakat.
3. Masalah Pendidikan yang Tepat
Pendidikan masih menjadi permasalahan yang menjadi perhatian serius jika bangsa ini ingin
dipandang dalam percaturan dunia. Ada fenomena yang menarik terkait dengan hal ini, yaitu
mengenai kolaborasi kebudayaan dengan pendidikan, dalam artian bagaimana sistem
pendidikan yang ada mengintrinsikkan kebudayaan di dalamnya. Dimana ada suatu
kebudayaan yang menjadi spirit dari sistem pendidikan yang kita terapkan.
4. Mengejar Kemajuan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Problem ini beranjak ketika kita sampai saat ini masih menjadi konsumen atas produk-produk
teknologi dari negara luar. Situasi keilmiahan kita belum berkembang dengan baik dan belum
didukung oleh iklim yang kondusif bagi para ilmuan untuk melakukan penelitian dan
penciptaan produk-produk, teknologi baru. Jika kita tetap mengandalkan impor produk dari
luar negeri, maka kita akan terus terbelakang. Oleh karena itu, hal ini tantangan bagi kita untuk
mengejar ketertinggalan iptek dari negara-negara maju.
5. Kondisi Alam Global
Beberapa waktu yang lalu di halaman depan harian Kompas tanggal 12 April 2007, ada
berita menarik mengenai keadaan bumi hari ini, Pemanasan Global, Jutaan Orang akan
Teracam. Pemanasan global akan memberi dampak negatif yang nyata bagi kehidupan ratusan
juta warga di dunia. Demikianlah antara lain isi laporan kedua PBB yang sudah dipublikasikan
tahun 2007. Laporan pertama berisikan bukti ilmiah perubahan iklim, sedangkan laporan ketiga
akan membeberkan tindakan untuk menanganinya.
Laporan para pakar yang tergabung dalam Intergovermental Panel on Climate Change
(IPCC) dibeberkan dalam jumpa pers secara serentak di berbagai belahan dunia, Selasa
(10/04/2007). Laporan setebal 1.572 halaman itu ditulis dan dikaji 441 anggota IPCC.
Salah satu dampak pemanasan global adalah meningkatnya suhu permukaan bumi
sepanjang lima tahun mendatang. Hal itu akan mengakibatkan gunung es di Amerika Latin
mencair. Dampak lanjutannya adalah kegagalan panen, yang hingga tahun 2050
mengakibatkan 130 juta penduduk dunia, terutama di Asia, kelaparan. Pertanian gandum di
Afrika juga akan mengalami hal yang sama.
Laporan itu menggarisbawahi dampak pemanasan global berupa meningkatnya
permukaan laut, lenyapnya beberapa spesies dan bencana nasional yang makin meningkat.
Disebutkan, 30% garis pantai di dunia akan lenyap pada 2080. Lapisan es di kutub mencair
hingga terjadi aliran air di kutub utara. Hal itu akan mengakibatkan terusan Panama terbenam.
Naiknya suhu memicu topan yang lebih dasyat hingga mempengaruhi wilayah pantai
yang selama ini aman dari gangguan badai. Banyak tempat yang kini kering makin kering,
sebaliknya berbagai tempat basah akan semakin basah. Kesenjangan distribusi air secara alami
ini akan berpotensi meningkatkan ketegangan dalam pemanfaaatan air untuk kepentingan
industri, pertanian dan penduduk.
Asia menjadi bagian dari bumi yang akan paling parah. Perubahan iklim yang tak
terdeteksi akan menjadi bencana lingkungan dan ekonomi, dan buntutnya adalah tragedi
kemanusiaan. Laporan itu mengingatkan, setiap kenaikan suhu udara 2 derajat celsius, antara
lain akan menurunkan produksi pertanian di Cina dan Bangladesh hingga 30 persen hingga
2050. Kelangkaan air meningkat di India seiring dengan menurunya lapisan es di Pegunungan
Himalaya. Sekitar 100 juta warga pesisir di Asia pemukimannya tergenang karena peningkatan
permukaan laut setinggi antara 1 milimeter hingga 3 milimeter setiap tahun. Saat ini,
pemanasan global sudah terasa dengan terjadinya kematian dan punahnya spesies di Afrika dan
Asia
G. Dampak Negatif dari Budaya Masyarakat Modern
1. Penyalahgunaan media teknologi sebagai sarana pencarian hal-hal yang
tidak ada hubungannya dengan ilmu pengetahuan.
2. Timbulnya praktek-peraktek curang dalam dunia kerja seperti korupsi,
kolusi dan nepotisme.
3. Sekularisasi adalah sebuah proses pemisahan institusi-institusi dan simbol-
simbol politis dari initusi-institusi dan simbol-simbol religius. Kebijakan-
kebijakan Negara yang mengatur sebuah masyarakat tidak lagi didasarkan
pada norma-norma agama, melainkan pada asas-asas non-religius,
seperti: etika dan pragmatisme politik. Kelahiran Negara nasional dan
Negara konstitusional di zaman modern menandai proses ini. Konstitusi
Negara modern tidak lagi didasarkan pada doktrin-doktrin religius, seperti
pada Negara-negara tradisional di Eropa abad pertengahan, melainkan
pada prosedur-prosedur birokratis rasional yang mengakui kesamaan hak
dan kebebasan setiap warganegara. Mengapa masyarakat modern
menempuh jalan sekularisasi? Karena (1) Otoritas politis tidak merasa
cukup dengan wewenangnya atas wilayah publik dan ingin juga
memberikan regulasi dalam ruang privat seperti yang dilakukan oleh
otoritas religius; dan (2) pikiran kritis dicurigai sebagai unsur subversif
yang melemahkan kepatuhan kepada otoritas. Sekularisasi adalah upaya
memberi batas-batas di antara kedua bidang itu dengan memandang
keduanya otonom, yakni yang satu tidak dapat direduksi kepada yang lain.
Dengan sekularisasi, urusan-urusan religius dianggap beroperasi di dalam
ruang privat, tercakup dalam kebebasan subjektif individu untuk
menemukan jalan hidupnya. Efek positif sekularisasi adalah toleransi
agama, sebab doktrin-doktrin dan nilai-nilai religius tidak lagi dikalkulasi di
dalam politik.
Kita berbicara tentang sekularisme jika kita memusatkan perhatian kita
pada efek negatif sekularisasi. Sekularisasi dapat mendorong pada ekstrem
atau ekses, yakni suatu sikap berlebih-lebihan untuk menyingkirkan segala
alasan, motif atau dimensi religius sebagai omong kosong. Pandangan-
pandangan seperti ateisme, materialisme dan saintisme merupakan
berbagai aspek dalam sekularisme. Sekularisme dalam arti ini bukanlah
sebuah proses sosial-epistemologis, melainkan sebuah ideologi dengan
kesempitan berpikir yang tidak dapat mentoleransi eksistensi agama di
dalam masyarakat majemuk. Jika agama menghasilkan fundamentalisme
religius, proses sekularisasi juga dapat menghasilkan suatu
fundamentalisme tertentu, yakni fundamentalisme profane. Itulah
sekularisme.
Jadi, di sini kita dapat mengatakan bahwa sekularisasi adalah proses yang
wajar di dalam modernisasi, karena pemisahan antara agama dan Negara
memang diperlukan untuk memungkinkan kebebasan dan keadilan dalam
masyarakat majemuk, namun sekularisme harus diwaspadai. Untuk
masyarakat kita yang cenderung religius, sekularisme bukanlah ancaman
real; fundamentalisme agamalah yang merupakan ancaman real bagi
kemajemukan. Yang sebaliknya juga harus dikatakan: Sekularisme
bukanlah solusi untuk masalah kemajemukan, sebab sekularisme adalah
bentuk intoleransi terhadap agama manaupun yang merupakan anggota
masyarakat majemuk. Yang dibutuhkan masyarakat kita adalah tingkat
sekularisasi tertentu (baik secara structural maupun kultural) agar dapat
bersikap fair terhadap kemajemukan orientasi nilai di dalam masyarakat
kita. Kebijakan-kebijakan politis yang berorientasi agama tertentu,
misalnya, tidak dapat begitu saja dijadikan norma publik untuk mengatur
keseluruhan masyarakat, karena akan bersikap tidak fair terhadap
kelompok-kelompok lain bahkan dalam agama yang sama.
4. Liberalisme adalah ideologi modern, karena ia muncul bersamaan dengan
modernisasi dan segala pertentangan ideologis dalam masyarakat modern
tak lain daripada pertentangan dengan liberalisme, sehingga cerita tentang
modernitas tak kurang daripada cerita tentang liberalisme dan para
lawannya. Dalam arti ini, liberalisme sangat sensitif terhadap kolektivisme
dan absolutisme kekuasaan. Ekonomi tidak dapat tumbuh jika terus
diintervensi Negara, maka liberalisme sejak awal mendukung ekonomi
pasar bebas. Di dalam pasar orang tidak bertransaksi dengan membeda-
bedakan latar-belakang agama dan kebudayaan. Yang penting transaksi itu
fair. Dengan kata lain, di dalam transaksi orang melihat agama partner
transaksinya sebagai urusan privatnya yang tidak relevan untuk proses
pertukaran dalam pasar. Pola transaksi yang melihat agama sebagai
persoalan privat yang tidak relevan untuk proses pertukaran itu oleh
liberalisme diaplikasikan di dalam hubungan yang lebih luas, yaitu di dalam
Negara modern. Liberalisme ekonomi mengandung bahaya tertentu, yaitu
intoleransi terhadap mereka yang dimarginalisasikan secara ekonomis oleh
mekanisme pasar bebas itu. Namun liberalisme yang berkaitan dengan
pendirian intelektual dan sikap-sikap politis justru membantu sebuah
masyarakat untuk toleran terhadap kemajemukan. Jika Negara
berkonsentrasi pada the problem of justice dan tidak mengintervensi the
problem of good life yang adalah kewenangan kelompok-kelompok dalam
masyarakat itu, Negara akan menjadi milik bersama kelompok-kelompok
sosial itu dan tidak bersikap diskriminatif. Negara liberal berupaya bersikap
netral terhadap agama-agama di dalamnya, dan ini justru mendukung
kebebasan individu. Di sini liberalisme dapat juga dilihat sebagai hasil dari
sekularisasi yang tidak secara mutlak perlu bermuara pada sekularisme.
Artinya, suatu Negara liberal tidak harus sekularistis, yakni ingin
menyingkirkan agama di dalamnya. Negara liberal juga bisa memiliki
respek terhadap agama, namun regulasi-regulasinya tetap sekular. Ia
bersikap netral dari agama, namun memberi infrastruktur yang adil bagi
agama-agama untuk berkembang, sebab para anggota agama-agama itu
adalah juga warganegaranya.
5. Pluralisme adalah sebuah pandangan yang beroperasi di dalam kebudayaan
dalam bentuk sikap-sikap yang menerima kemajemukan orientasi-orientasi
nilai di dalam masyarakat modern. Dasar pluralisme adalah the fact of
plurality, yakni suatu kenyataan bahwa jika sebuah masyarakat mengalami
modernisasi, masyarakat itu mengalami pluralisasi nilai di dalam dirinya.
Pluralitas tidak serta merta memunculkan pluralisme, karena tidak semua
orang setuju pluralitas. Kaum konservatif dan rmonatis, misalnya, akan
meratapi pluralitas sebagai sindrom disintegrasi sosial dan moral. Namun
ada kelompok-kelompok yang menerima pluralitas sebagai kenyataan
hidup bersama dan mencoba hidup bersama secara toleran. Kelompok-
kelompok ini bisa berasal dari kalangan agama, cendikia, politikus atau
budayawan. Pandangan yang menerima pluralitas sebagai realitas hidup
bersama dan mencoba mengembangkan sarana-sarana moral dan
intelektual untuk membuka ruang kebebasan dan toleransi bagi aneka
orientasi nilai etnis, religius ataupun poltis di dalam mayarakat modern itu
kita sebut pluralisme.
Jika kita menilik ke belakang, ke dalam sejarah agama-agama itu, kita
tidak dapat memisahkan agama dari kebudayaan. Setiap agama
tertanam dan tumbuh dalam konteks kebudayaan dan juga sejarahnya,
maka pluralitas juga menandai sejarah setiap agama. Tidak ada hanya satu
Kristen, satu Hindhu, satu Islam atau satu Budhisme, karena di tiap
kebudayaan berkembang cara-cara dan simbol-simbol spesifik dalam
menghayati Tuhan. Simbol-simbol itu bahkan dipinjam dari konteks
kebudayaan tertentu, misalnya, Jawa, Romawi, India atau Arab. Namun
tak semua kelompok agama mau bersikap fair terhadap fakta pluralitas di
dalam agama-agama ini. Kelompok-kelompok macam ini di antara
mereka konservatif garis keras terobsesi pada sebuah fiksi bahwa agama
mereka itu homogen dan murni dari unsur-unsur kebudayaan. Fiksi itu
sudah barang tentu berbahaya sekali karena menjadi intoleran terhadap
kemajemukan kebudayaan dan agama. Kelompok-kelompok agama yang
menerima fakta kemajemukan bahkan di dalam agama mereka sendiri
serta mencoba mengembangkan sebuah teologi pluralis sering dicurigai
sebagai sesuatu yang morongrong integritas iman, padahal mereka ini bisa
saja justru mendorong cara-cara beriman yang dewasa dan terbuka
terhadap perubahan dan perbedaan di dalam masyarakat modern.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Perubahan sosial mendorong munculnya semangat-semangat untuk menciptakan
produk baru , sehinnga terjadilah revolusi industri, dan kemunculan semangat asketisme
intelektual. Kemudian, asketisme intelektual menimbulkan etos intelektual, dan inilah yang
mendorong masyarakat untuk terus berkarya dan terus menciptakan hal-hal baru guna
meningkatkan kemakmuran hidupnya, sehingga masyarakat tersebut menjadi masyarakat yang
modern. Sedangkan proses menjadi masyarakat yang modern disebut dengan istilah
Modernisasi.
I. Pengertian Masyarakat Modern
Masyarakat modern adalah masyarakat yang sebagian besar warganya
mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam
peradaban masa kini.
II. Faktor-faktor yang Mendorong Perubahan Masyarakat Menjadi Masyarakatyang
Modern
1. perkembangan ilmu
2. perkembangan teknologi
3. perkembangan industri
4. perkembangan ekonomi
III. Gejala-gejala Modernisasi
1. adanya penemuan dan pembaharuan unsur teknologi baru yang
dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat.
2. meningkatnya produktivitas ekonomi dan efisiensi sumber daya
yang tersedia, serta pemeanfaatan SDA yang memperhatikan
kelestarian alam sekitar.
3. adanya system pemerintahan perwakilan yang demokratis,
pemerintah yang diawasi dan dibatasi kekuasaanya, dihormati
hak-hak asasinya serta dijaminnya hak-hak sosial.
4. adanya pengembangan nalar (rasio) dan kebahagiaan kebendaan
(materi), yang pada akhirnya akan menimbulkan paham
sekularisasi dan sekularisme.
IV. Ciri-ciri Masyarakat Modern
1. Hubungan antar manusia terutama didasarkan atas kepentingan-
kepentingan pribadi.
2. Hubungan dengan masyarakat lain dilakukan secara terbuka
dengan suasana yang saling memepengaruhi
3. Keprcayaan yang kuat akan Ilmu Pengetahuan Teknologi sebagai
sarana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
4. Masyarakatnya tergolong ke dalam macam-macam profesiyang
dapat dipelajari dan ditingkatkan dalam lembaga pendidikan,
keterampilan dan kejuruan
5. Tingkat pendidikan formal pada umumnya tinggi dan merata.
6. Hukum yang berlaku adalah hukum tertulis yang sangat kompleks
7. Ekonomi hamper seluruhnya merupakan ekonomi pasar yang
didasarkanatas penggunaan uangdan alat-alat pembayaran lain.
V. Kebudayaan Modern
1. Kebudayaan Tekonologis Modern merupakan suatu kebudayaan bukan hanya dalam
sains dan teknologi, melainkan dalam kedudukan dominan yang diambil oleh hasil-
hasil sains dan teknologi dalam hidup masyarakat: media komunikasi, sarana
mobilitas fisik dan angkutan, segala macam peralatan rumah tangga serta
persenjataan modern.
2. Kebudayaan Modern Tiruan. Kebudayaan Modern Tiruan itu terwujud dalam
lingkungan yang tampaknya mencerminkan kegemerlapan teknologi tinggi dan
kemodernan, tetapi sebenarnya hanya mencakup pemilikan simbol-simbol lahiriah
saja
3. Kebudayaan-Kebudayaan Barat
VI. Tantangan Kebudayaan Masyarakat Modern
1. Kebudayaan Modern Tiruan
2. Bagaimana Memberi Makan, Sandang, dan Rumah
3. Masalah Pendidikan yang Tepat
4. Mengejar Kemajuan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi
5. Kondisi Alam Global
VII. Dampak Negatif dari Budaya Masyarakat Modern
1. Penyalahgunaan media teknologi
2. Timbulnya praktek-peraktek curang
3. Sekularisasi
4. Liberalisme
5. Pluralisme
B. Saran
Sebaiknya kita sebagai masyarakat modern tidak harus menyerap semua budaya
modernisasi, agar tidak terjadi dampak-dampak negative dalam kehidupan kita sebagai
masyarakat yang modern.
Daftar Pustaka
Bakker, JWM. 1999. Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius.
Davis, Kingsley. 1960. Human Society The Macmillan Company. New York.
Dewantara, Ki Hajar. 1994. Kebudayaan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa..
Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta
Sarjono. Agus R (Editor). 1999. Pembebasan Budaya-Budaya Kita. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers
Soemardjan, S dan Breazeale, K. 1993. Cultural Change in Rural Indonesia; Impact of
Village Development. Honolulu: UNS-YISS-East West Center.
Sorokin, Pitirim A. 1957. Social and Cultural Dynamics. Boston: Sargent.
Agama Dalam Pemikiran Barat Modern dan
Post-Modern
Hamid Fahmy Zarkasyi January 30, 2013 Deliberalization, Dewesternization Leave a comment

inShare

Pendahuluan
Diskursus mengenai agama dalam konteks situasi yang sekarang ini disebut modern dan post-
modern sangat marak dikalangan sosiolog, filosof dan pemikir keagamaan. Akbar S.
Ahmed,[1] Ernest Gellner,[2]David Griffin,[3] and Huston Smith[4], adalah sedikit contoh dari mereka
yang membahas masalah ini. Diskursus ini menjadi marak bukan karena semakin meningkatnya
peran agama dalam kehidupan masyarakat post-modern, akan tetapi karena post-modernisme itu
telah menjelma menjadi gerakan yang bermuatan doktrin-doktrin filsafat dan bahkan ditunggangi oleh
kepentingan politik. Yang jelas menurut Gellner post-modernisme telah mempengaruhi kajian
antropologi, kesusasteraan, filsafat dan agama.[5]
Untuk memahami makna agama dalam pemikiran Barat post-modern diperlukan elaborasi mengenai
pemikiran yang berkembang di Barat era modern. Sebab, seperti yang disinyalir Akbar, pemahaman
kita tentang Barat modern merupakan pra-kondisi bagi pemahaman Barat post-modern.[6] Bahkan
bagi Silverman makna penting post-modernisme adalah memarginalkan (to marginalize), membatasi
(delimit)dan mengesampingkan (decentre) kerja-kerja yang telah dilakukan oleh modernis.[7] Oleh
sebab itu untuk memahami pemikiran post-modern diperlukan kajian tentang pemikiran modernis,
sebab pemikiran post-modernis itu menelan pemikiran modernis. Konsekuensinya, untuk mengkaji
konsep dan makna agama dalam pemikiran post-modernis perlu menelusuri kembali pandangan
pemikir yang post-modern yang dianggap telah menyerang pemikiran keagamaan modern Barat.
Untuk itu akan dipaparkan disini pemikiran filosof post-modern yang sangat berperan dalam
meruntuhkan tradisi keagamaan melalui wacana-wacana filsafat mereka yang spekulatif itu. Filosof
seperti Nietzsche (1844-1900), Wittgenstein (1889-1951) dan Heidegger (1889-1976), adalah tokoh
penting yang memiliki pandangan cukup berpengaruh di masa itu dan karena itu cukup representatif
untuk dirujuk.
Munculnya post-modernism
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pandangan para post-modernis mengenai agama, perlu
disinggung sedikit mengenai munculnya gerakan post-modernisme di Barat. Post-modernisme
hakekatnya istilah yang masih kontorversial. Tonggak sejarah Barat yang dimulai dari aktifitas seni itu
tidak jelas kapan bermula dan dalam bentuk apa. Ia merupakan proses perubahan dan reformasi
yang panjang yang benih-benihnya telah ada pada zaman modern itu sendiri. Tapi meskipun terjadi
perdebatan tentang hal itu, asumsi yang diterima umum adalah bahwa pertanda bangkitnya post-
modernisme adalah berakhirnya modernitas. Pertanda yang menarik untuk dicermati adalah dalam
pemikiran tentang agama. Perubahan pemikiran keagamaan yang mencolok dari era pra-modern
kepada zaman modern dan post-modern nampak dari beralihnya pendekatan yang bersifat teistik
kepada pendekatan sekuler ateistik. Artinya perubahan konsep Tuhan dari era pra-modern kepada
era modern dan post-modern di Barat sangat drastis.

Pendekatan yang bersifat teistik pada pemikir Barat, menurut Huston Smith hanya berjalan hingga
abad ke sebelas dan ini ditandai oleh adanya trend pemikiran yang berkembang dikalangan filosof
dan teolog yang memposisikan konsep Tuhan secara sentral dalam berbagai diskursus.[8] Pada
abad-abad berikutnya pemikiran Barat yang kemudian disebut dengan akal modern (modern mind),
telah membawa angin baru yang ditandai oleh cara baru dalam melihat sesuatu yang menghasilkan
kelahiran sains modern. Pada saat itulah pandangan hidup orang Barat telah berubah secara
fundamental.[9]Diskursus yang meletakkan Tuhan secara sentral hanya terbatas pada para teolog,
sedangkan para filosof lebih tertarik pada sains. Modernisme terus berjalan dan berkembang pada
abad-abad berikutnya. Habermas menyatakan bahwa proyek modernisasi berkulminasi pada abad ke
18 M, di saat mana model pemikiran rasional menjanjikan liberalisasi masyarakat dari mitologi
irrasional, agama dan takhyul.[10]Inilah gerakan sekular sebenarnya yang berupaya untuk
menyuntikkan gagasan desakralisasi ilmu dan organisasi sosial. Menurut James E. Crimmins, proses
desakralisasi, atau dalam istilah Weber disenchantment ini memang sengaja diarahkan untuk
melawan agama dan digambarkan sebagai agen utama untuk menggusur dan menggeser agama
tradisional.[11] Hasil dari gerakan ini adalah desakralisasi agama itu sendiri dan peminggiran agama
dari fungsinya yang sentral dalam berbagai diskursus. Alain Finkielkraut dalam bukunya The Defeat
of the Mind menggambarkan kondisi agama pada era modern sbb:
What they called God was no longer the Supreme Being, but collective reasonFrom now on God
existed within human intelligence, not beyond it, guiding peoples action and shaping their thoughts
without their knowing it. Instead of communicating with all creatures, as His namesake did, by means
of the Revelation, God no longer spoke to man in a universal tongue; He now spoke within him, in the
language of his nation. [12]
Artinya apa yang disebut Tuhan bukan lagi Zat Yang Maha Kuasa, tapi merupakan akal kolektif.
Maksudnya, Tuhan berada dalam akal manusia itu sendiri, Ia memberi bimbingan tanpa diketahui
oleh manusia sendiri. Sarana komunikasi Tuhan dengan makhluknya bukan lagi wahyu, Tuhan tidak
lagi bicara dalam bahasa universal, Ia berbicara dalam bahasa nasional. Ini berarti bahwa Tuhan
tidak diperlukan lagi oleh manusia, karena manusia telah merasa mampu menyelesaikan masalah-
masalah dunia tanpaNya.

Gambaran ini menunjukkan bahwa dengan dihapusnya nilai-nilai transendental, maka Tuhan telah
direduksi menjadi semangat kebangsaan dan kebudayaan. Ini juga berimplikasi pada pembebasan
pemikiran rasional dari agama dan segala macam kepercayaan yang ada di masyarakat. Pada
zaman ini (yakni modern) pemikiran yang mendiskusikan apakah Tuhan itu ada atau tidak,
sebagaimana pada zaman pra-modern sudah tinggal sedikit, yang ada hanya diskusi yang justru
menggugat agama. Meskipun demikian Alain sendiri percaya bahwa pada abad ke 18 itu masih dapat
dianggap abad metafisika,[13] namun fondasi metafisis yang menjadi pembela kebenaran agama
perlahan-lahan mulai tidak dapat dipertahankan lagi dan tinggal menunggu penghapusan metafisika
pada abad berikutnya.
Abad kesembilan belas adalah era dimana modernitas mulai dipertanyakan oleh suatu gerakan
filsafat yang berpegang pada prinsip yang meragukan bahwa realitas memiliki struktur yang dapat
difahami oleh manusia. Ini adalah pengingkaran terhadap absolutisme dan sekaligus merupakan
serangan yang serius terhadap salah satu disiplin ilmu filsafat yang terpenting, yaitu metafisika
obyektif. Munculnya eksistensialisme dan filsafat analitik, yang merupakan dua gerakan yang sangat
dominan pada waktu itu, merupakan buah ciptaan akal post-modern (postmodern mind). Inilah yang
kemudian menggantikan sistim metafisika. Silverman menyatakan bahwa penutupan jalan pemikiran
metafisika bertepatan dengan berakhirnya era modernisme.[14] Sistim yang baru ini disebut dengan
Post-Modernisme, yaitu suatu sistim yang tanpa pemikiran metafisis. Namun munculnya post-
modernisme tidak hanya ditandai oleh penghapusan metafisika obyektif dengan sistim baru, tapi juga
mengesampingkan atau malah meremehkan doktrin keagamaan yang berdasarkan pada metafisika.
Titik perubahan dari metode berfikir metafisis kepada metode berfikir analitis dapat dirujuk kepada
pandangan-pandangan Karl Marx dan Nietzsche tentang agama.[15] Jadi, seperti yang telah
disebutkan diatas, di era postmodern agama didekati dengan pemikiran yang telah bersifat ateistik.
Pandangan para postmodernis tentang agama tercermin dari doktrin-doktrin mereka tentang nilai.
Konsep nilai post-modernisme
Doktrin yang dipergunakan para pemikir post-modern untuk menggugat agama adalah konsep
mereka tentang nilai. Seperti disebutkan diatas, program post-modernisme adalah penghapusan nilai
(dissolutionof value) dan penggusuran tendensi yang mengagungkan otoritas. Hal ini dilakukan
dengan mereduksi makna nilai yang dijunjung tinggi dan dinilai sebagai absolut oleh agama dan
masyarakat.[16] Doktrin penghapusan nilai yang terkenal yang di dengungkan pertama kali oleh
Nietzsche (1844-1900) adalah doktrin nihilisme. Dalam karyanya Will to Power Nietzsche
menggambarkan nihilisme sebagai situasi dimana manusia berputar dari pusat ke arah titik X,
artinya nilai tertinggi mengalami devaluasi dengan sendirinya.[17] Heidegger (1889-1976) dengan
nada yang sama mendefinisikan nihilisme sebagai suatu proses dimana pada akhirnya tidak ada lagi
yang tersisa[18] Keduanya mempunyai mindset dan kecenderungan yang sama saja. Dalam
pandangan Nietzsche proses nihilisme adalah devaluasi nilai tertinggi, yang membawa pada
kesimpulan doktrin kematian Tuhan. Dalam pandangan Heidegger nihilisme menunjukkan
penghapusan Being dengan sedemikian rupa sehingga menjelma menjadi nilai. Disini realitas tidak
lagi difahami dalam bentuk suatu susunan dimana sang pencipta berada pada puncak hirarki yang
absolut. Keduanya menuju suatu titik dimana manusia tidak lagi berpegang pada struktur nilai, nilai
tidak lagi mempunyai makna. Suatu konsep tentang apapun tidak lagi berdasarkan pada sesuatu
yang metafisis, relijius ataupun mengandung unsur ketuhanan (divine).
Meskipun doktrin yang kemudian dinamakan European nihilism ini mengusung proyek devaluasi nilai,
namun mereka masih menganggap hal ini sebagai suatu jalan baru dalam menentukan konsep nilai
yang berbeda dari kepercayaan dalam agama. Nilai tidak lagi berkaitan dengan agama dan
kepercayaan. Jadinihilisme, kata Snyder, berhubungan dengan perubahan kebenaran ke dalam nilai,
tapi nilai yang telah diwarnai oleh kepercayaan dan opini manusia.[19] Dalam terminologi Nietzsche
perubahan kebenaran menjadi sekedar nilai berbentuk apa yang dia istilahkan will to power. Ini
berarti bahwa filsafat nihilism bertujuan untuk mengkaji dan kemudian menghapuskan segala klaim
yang dilontarkan oleh pemikiran metafisika tradisional. Metafisika, dimana konsep Tuhan merupakan
fondasi pemikiran dan nilai dihilangkan atau disingkirkan. Sebab, seperti yang dinyatakan oleh
Nietzsche, ketika metafisika telah mencapai suatu poin dimana kebenaran telah dianggap seperti
Tuhan, sebenarnya itu tidak lebih dari nilai-nilai yang subyektif yang boleh jadi salah sepertimana
kepercayaan dan opini manusia yang lain. Baginya tidak ada perbedaan antara benar dan salah,
keduanya hanyalah kepercayaan yang salah (delusory) yang keduanya tidak dapat diandalkan. Maka
dari itu, kalau kita menolak kesalahan kita juga harus menolak kebenaran. Membuang yang satu
berarti juga harus membuang yang lain (to do away with one is to do away with other
too).[20] Berdasarkan pada doktrin ini maka Nietzsche mendefinisikan metafisika secara pejoratif
sebagai ilmu yang membahas tentang kesalahan manusia yang fundamental, seakan-akan semua
itu kebenaran yang fundamental.[21] Serangan doktrin nihilisme terhadap metafisika ini
menunjukkan dengan jelas serangan terhadap agama sebagai asas bagi moralitas.
Teori tentang European nihilism dapat dilihat dengan lebih jelas lagi dari apa yang kini disebut
sebagai the philosophy of difference, yang dinisbatkan kepada Nietzsche and Heidegger. Segala
perbedaan antara kepalsuan dan kebenaran, rasional dan irrasional harus di letakkan di luar
jangkauan bahasa dan konsep-konsep yang melekat dengannya. Difference adalah produk dari will
to power (kehendak untuk berkuasa) yang ada dalam diri manusia atau kehendak untuk
menafsirkan (will to interpret). Ini berarti bahwa segala sesuatu yang kita hadapi dalam pengalaman
kita di dunia tidak kurang dan tidak lebih dari suatu penafsiran; dan segala sesuatu di dunia ini selalu
ditafsiri sesuai dengan nilai-nilai subyektif dalam diri kita. Karena kecenderungan untuk selalu
menafsirkan itulah maka bagi post-modernis dunia yang dapat diketahui hanyalah dunia yang
berbeda-beda atau dunia interpretasi. The philosophy of differenceini kemudian menjadi salah satu
penghubung antara nihilisme dan hermeneutika (filsafat interpretasi).[22]
Jadi, singkatnya nihilisme dan filsafat perbedaan (philosophy of difference) merupakan tanda
berkembangnya post-modernisme yang pada perkembangan berikutnya menjadi penolakan terhadap
kebenaran transenden. Ernest Gellner menyatakan bahwa atmosfir pemikiran post-modern dapat
digambarkan melalui pernyataan bahwa segala sesuatu adalah teks, dan materi dasar teks itu yang
berupa masyarakat dan bahkan nyaris segala sesuatu difahami sebagai makna, dan makna itu harus
didekonstruksi; pernyataan tentang realitas obyektif harus dicurigai.[23] Formulasi Gellner adalah
tepat sebab dalam diskursus para pemikir post-modernis dunia ini dianggap sebagai makna. Bahkan
segala sesuatu adalah makna dan makna adalah segala sesuatu, dan hermeneutika adalah
nabinya. Dalam kondisi yang seperti ini, Gellner bahkan sampai pada kesimpulan bahwa post-
modernisme cenderung memihak kepada relativisme dan bahkan menunjukkan peperangan terhadap
ide kebenaran yang ekslusif, obyektif dan transenden. Sebab pikiran post-modern berpegang pada
pendapat bahwa kebenaran adalah sesuatu yang internal dan subyektif sifatnya, sedangkan dunia ini
bukan sebagai totalitas dari sesuatu, tapi sebagai totalitas fakta.
Singkatnya, filsafat post-modern melebur nilai tertinggi, menyingkirkan Tuhan dan rujukan segala
bentuk nilai sebagai fondasinya. Nilai baru yang diperkenalkan post-modernisme adalah nilai yang
memiliki hubungan dengan nilai-nilai lain atau bahkan saling tukar menukar, karena ia memiliki status
yang sama dalam wajah yang universal. Oleh sebab itu bentuk segala macam nilai adalah nilai yang
layak untuk saling tukar menukar antara satu peradaban dengan peradaban lain. Disini lagi-lagi
nampak bahwa metafisika tradisional mulai melebur dan tenggelam.

Masalahnya, jika dalam pandangan post-modernis segala sesuatu direduksi menjadi nilai yang relatif,
yang berimplikasi pada adanya kemungkinan penafsiran terhadap realitas secara tak terbatas, maka
di sana tidak ada lagi nilai yang diakui dan memiliki kelebihan dari nilai-nilai lain. Akibatnya setiap
orang akan terlibat dalam kerja intepretasi terhadap setiap aspek wujud yang tiada ada habisnya.
Agama tidak lagi berhak mengklaim punya kuasa lebih terhadap sumber-sumber nilai yang dimiliki
manusia seperti yang telah di formulasikan oleh para filosof. Jadi agama difahami sebagai sama
dengan persepsi manusia sendiri yang tidak mempunyai kebenaran absolut. Oleh sebab itu ia
mempunyai status yang kurang lebih sama dengan filsafat. Jika demikian maka agama dalam
pemikiran post-modern telah digambarkan dalam bentuk dan sifat yang sangat berbeda dari
sebelumnya. Bagaimana sejatinya detail tentang pandangan itu, berikut ini kita akan paparkan.

Pandangan post-modernis tentang agama


Dalam uraian di atas telah jelaslah bahwa pemikiran Barat tentang agama telah mengalami
perubahan yang menyolok: dari sifatnya yang teistik dan kemudian pada era modern difahami
dengan pendekatan sekular dan pada akhirnya pada era post-modern menjadi ateistik. Pemikiran
postmodernis di Barat itu tidak hanya diwarnai oleh sikap ateistik, tapi juga ditandai oleh
kecenderungan di kalangan filosofnya untuk mereduksi teologi menjadi antropologi,[24] yang dengan
itu Tuhan orang-orang Kristen digambarkan sebagai produk dan refleksi dari pikiran manusia yang
luar biasa (supernatural human mind). Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa gambaran
Tuhan secara antropologis berkembang menjadi penjelasan situasi sejarah manusia. Karl Marx,
misalnya, berhujjah bahwa agama itu mengekspresikan penderitaan manusia yang disebabkan oleh
perubahan ekonomi atau pemisahan kehidupan manusia yang egoistis dalam masyarakat sipil dari
kehidupannya sebagai makhluk manusia dalam masyarakat politik.[25]
Nietzsche juga beranggapan bahwa agama adalah ekspresi penderitaan, tapi penderitaan yang
jenisnya berbeda. Manusia menderita karena ia adalah hewan yang sakit (sickly animal); ia menderita
karena internalisasi instingnya sendiri oleh sebab kehidupan sosialnya. Apa yang membuat manusia
menderita adalah eksistensinya yang tidak berarti itu. Jadi, dari situ mereka berkesimpulan bahwa
manusia menderita karena problem tentang makna dirinya.[26] Ide ini menjelaskan bahwa realitas,
nilai dan kekuasaan yang absolut, yakni Tuhan, telah diremehkan dan diganti dengan nilai-nilai
kemanusiaan. Oleh karena itu Alfred North Whitehead mencatat bahwa tren pemikiran baru pada
abad ke dua puluh adalah jauh dari keimanan (away of faith).[27] Kesimpulan yang sama
digambarkan oleh Akbar, yaitu bahwa kecenderungan pemikiran post-modern adalah penolakan
terhadap agama yang telah mapan.[28]Foucoult menggambarkan keadaan era post-modern dari
melalui konsekuensi-konsekuensi logisnya:
Most of us no longer believe that ethic is founded in religion, nor do we want a legal system to
intervene in our moral, personal, private life. Recent liberation movements suffer from the fact that
they cannot find any principle on which to base the elaboration of a new ethic. They need an ethic, but
they cannot find any other ethic than an ethic founded on so-called scientific knowledge of what the
self is, what desire is, what the unconscious is and so on.[29]
Artinya, kebanyakan kita tidak lagi percaya bahwa etika itu berdasarkan pada agama. Kita juga tidak
ingin jika suatu sistim hukum mengintervensi kehidupan moral, pribadi, dan privat. Gerakan
liberalisasi yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan oleh suatu kenyataan bahwa mereka tidak dapat
menemukan prinsip apapun untuk mengelaborasi prinsip etika baru. Mereka membutuhkan etika, tapi
mereka tidak dapat menemukan etika yang lain kecuali etika yang didasarkan pada apa yang disebut
dengan pengetahuan ilmiah tentang apa itu diri, apa itu keinginan, apa itu kesadaran dan lain-lain.

Jadi gambaran yang menonjol tentang agama dalam pandangan post-modernis adalah agama yang
telah diputuskan dari status terdahulunya sebagai sumber nilai dan kebenaran bagi manusia.
Pendekatannya sekarang telah berubah menjadi konsep akal yang dipisahkan dari konsep
kepercayaan atau konsep Tuhan dan karena itu ia menjadi ateistik. Pendekatan ini akan menggoyang
konsep kepercayaan, keberagamaan, dan kebenaran yang selama ini dipegang oleh masyarakat
beragama.

Sebenarnya, pendekatan yang ateistik terhadap agama itu disebabkan oleh kegagalan para pemikir
post-modern dalam memahami konsep Tuhan. Pernyataan Nietzsche tentang kematian Tuhan yang
lebih merupakan pernyataan filosofis ketimbang teologis, merupakan bukti yang jelas tentang
kegagalan itu. Dalam bukunya Beyond Good and Evil, Nietzsche mengkiritik konsep Tuhan (para
teolog) yang kabur itu bertanggung jawab terhadap theisme di Eropa. Baginya, Tuhan dalam Kristen
tidak dapat mendengar, dan jikapun dapat, Ia tidak tahu bagaimana untuk menolong. Tuhan juga
tidak dapat menjadikan dirinya mudah dimengerti dan Ia sendiri juga kabur tentang diriNya dan
tentang apa yang Ia maksud.[30] Tapi anehnya, karena ia tidak dapat memahami Tuhan maka ia
memformulasikan konsepnya sendiri tentang Tuhan berdasarkan pada persepsinya sendiri.
Menurutnya, Tuhan adalah persepsi manusia tentang sesuatu yang kuat dan agung dalam dirinya. Ia
mengatakan:
religion is the product of a doubt concerning the unity of person, an alteration of the personality: in
so far as everything great and strong in man has been conceived as superhuman and external, man
has belittled himself he has separated the two side of himself, one very paltry and weak, one very
strong and astonishing into two sphere, and called the former man, the latter God.[31]

Artinya, agama adalah hasil dari suatu keraguan tentang kesatuan seseorang, perubahan
kepribadian: segala sesuatu yang dianggap agung dan kuat oleh manusia telah difahami sebagai
manusia super (superhuman) yang berada diluar dirinya, manusia telah merendahkan dirinya ia
telah memisahkan dua sisi yang ada dalam dirinya sendiri menjadi dua bidang, yang satu remeh dan
lemah, yang lain sangat kuat dan mengagumkan. Yang pertama disebut manusia dan yang kedua
disebut Tuhan.
Pernyataan diatas sangat jelas menggambarkan cara pandangnya yang sangat ateistik, dan
menunjukkan bahwa Nietzsche tidak percaya bahwa Tuhan itu ada, riil dan berada di luar diri
manusia, sebab bagi dia Tuhan hanyalah persepsi manusia tentang sesuatu yang kuat. Mengenai
ajaran agama Kristen, seperti yang dia tulis dalam karyanya Will to Power, ia menyatakan
keseluruhan ajaran Kristen yang harus diyakini itu dan juga keseluruhan kebenaran Kristen itu
sebenarnya adalah kepalsuan dan penipuan yang tak berarti: dan ini persis kebalikan dari apa yang
menjadi inspirasi gerakan Kristen pada permulaannya. Pandangan hidup Kristen kurang lebih sama
dengan fantasi dalam pandangan hidup Buddha: ia adalah jalan menuju kebahagiaan.[32]
Nampaknya, Nietzsche mencurahkan rasa frustrasinya terhadap agama sehingga ide-ide yang
dikemukakannya tidak jauh dari apa yang dirasakannya. Hal ini terbukti ketika ia menyatakan bahwa,
Agama Kristen masih dapat diterima kapan saja, tapi ia tidak semestiya bergantung kepada dogma,
tidak memerlukan doktrin tentang Tuhan yang personal dan juga doktrin tentang Tuhan yang azali,
tidak pula memerlukan doktrin pengampunan, doktrin keimanan dan sama sekali tidak memerlukan
metafisika [33]Barangkali agama yang diinginkan Nietzsche adalah agama dalam bentuk pandangan
hidup dan bukan sistim kepercayaan dengan konsep-konsep yang diberikan dalam bentuk doktrin.
Yaitu agama yang memberitahu manusia bagaimana melakukan sesuatu dan bukan apa yang harus
dipercayai. Dan apa yang harus dilakukan hanya terkait dengan masalah-masalah dunia ketimbang
masalah-masalah kehidupan di akherat.
Seperti Nietzsche, penolakan Heidegger terhadap Tuhan yang metafisis sejalan dengan persepsinya
tentang Tuhan secara non-metafisis. Baginya akhir dari pemikiran teologis adalah berhenti berfikir
tentang Tuhan sebagai cause sui, yaitu Tuhan yang dianggap sebagai kekuatan penyebab yang
mencipta dan menjaga alam kosmos, dan sebagai gantinya adalah Tuhan yang manusia dapat
menari dan melutut didepanNya. Inilah yang ia sebut Tuhan yang sebenarnya (Truly Divine
God).[34] Pandangan Tuhan Heidegger yang metafisis dan non-metafisis sejalan dengan pandangan
Witgenstein. Ia mengaku bahwa ia memahami konsep Tuhan sejauh hal itu menyangkut kesadaran
individu tentang dosa dan kesalahan pribadinya, tapi ia tidak memahami konsep Tuhan sebagai
Pencipta.[35] Sebagai seorang filosof Witgenstein tentu tahu apa konsekuensi filosofisnya memahami
Tuhan sebagai pencipta, penjaga dan penyebab terjadinya alam semesta ini. Penolakan konsep
Tuhan sebagai pencipta telah ada sejak zaman Aristotle dan pengikut Aristotle di kalangan Muslim.
Sebab jika Tuhan difahami sedemikian itu akan mengakibatkan rusaknya sistim filsafat mereka.
Dalam bukunya Notebooks terbit tahun 1916 Witgenstein mengatakan bahwa berbicara tentang dunia
adalah bicara tentang maknanya, dan berdoa adalah berfikir tentang arti kehidupan; dan beriman
kepada Tuhan sama dengan melihat bahwa hidup ini mempunyai suatu makna. Sebab Tuhan tidak
menampakkan diriNya di dunia ini. [36] Disini jelas sekali Witgenstein ingin mengganti keimanan
kepada Tuhan dengan makna kehidupan, dan berdoa diganti dengan berfikir tentang makna
kehidupan. Dia tidak menjelaskan makna dan esensi berdoa dalam kegiatan keagamaan, khususnya
makna berfikir itu sendiri dalam kegiatan beragama.
Dalam karyanya yang diberi judul Lecture and Conversation ia mengatakan bahwa ketika pemikiran
tentang kehidupan manusia ditemui dalam peribadatan dalam bentuk pujian dan pujaan, ia tidak
mengarah atau merujuk kepada Tuhan, ia sekedar ibadah (worship) kepada Tuhan.[37] Yang janggal
disini adalah bahwa di satu sisi ia mengakui kegiatan ritual dalam agama dan di sisi lain ia menolak
Tuhan; yang menjadi obyek, yang menjadi tujuan dari kegiatan itu. Menerima agama dan
melaksanakan peribadatan tanpa percaya akan adanya Tuhan, adalah tidak masuk akal. Yang
nampak janggal dalam pemikiran Wittgenstein dan Nietzsche adalah penolakan mereka terhadap
konsep bahwa agama itu bergantung kepada asas metafisika, tapi ketika mereka mengaplikasikan
penolakan ini dalam kehidupan beragama ataupun dalam hal-hal yang non-metafisis argumentasi
mereka tidak dapat dipertahankan.
Cara-cara pemikir post-modernis memahami Tuhan dan agama membawa berbagai
konsekuensi. Artinya jika agama difahami seperti itu maka religiusitas akan dimaknai selaras dengan
pemahaman itu. Bagi Witgenstein religiusitas bukan sifat yang diambil dari kegiatan ritual keagamaan
yang biasanya ditandai oleh banyaknya doa, tapi diandai oleh kegiatan sosial, seperti misalnya
menolong orang lain:

But remember that Christianity is not a matter saying a lot of prayers; in fact we are told not to do that.
If you and I are to live religious lives, it mustnt be that we talk a lot about religion, but that our manner
of life is different. It is my belief that only if you try to be helpful to other people will you in the end of
your way to God.[38]
Konsep keberagamaan Witgenstein secara kebetulan sama dengan pengertian Nietzsche tentang
agama. Jika bagi Witgenstein menganggap keberagamaan merujuk kepada kegiatan sosial dan
bukan ritual, Nietzsche menyatakan bahwa agama tidak semestinya berdasarkan pada keimanan,
dogma atau kepercayaan pada Tuhan yang personal. Tapi, dalam pendapat ini tidak dijelaskan apa
yang menjadi asas bagi kegiatan sosial itu. Jika kegiatan sosial hanya berdasarkan ketentuan
manusia dan tidak berhubungan dengan keseluruhan konsep agama, ia tidak lagi dapat disebut
religius, sebab agama dan Tuhan tidak ada kaitannya dengan kegiatan itu. Jika menjadi sosial
dimaksudkan sebagai ciri dari keberagamaan maka secara koseptual harus berdasarkan pada
perintah agama itu. Perintah dalam agama mengharuskan adanya konsep keimanan kepada Tuhan.
Disini problematiknya konsep Wittgenstein, sebab ia sendiri memiliki keyakian bahwa bukti filosofis
tentang eksistensi Tuhan tidak dapat membawa seseorang kepada keimanan kepadaNya. Meskipun
seseorang itu dapat membuktikan eksistensi Tuhan dalam analisa ilmiyah ia sendiri tidak akan
pernah percaya dengan pembuktian itu. Sebab, kilahnya, seseorang hanya dapat meyakinkan orang
lain tentang eksitensi Tuhan melalui proses pendidikan, dengan mengarahkan kehidupannya dengan
jalan pengamalan.[39] Selain itu pernyataan ini mengindikasikan bahwa Wittgenstein melihat
religiusitas dari kuantitas kerja, tapi masalahnya karena kerja-kerja itu dipisahkan dari konsep dan
kepercayaan, maka ia tidak lagi menjadi bagian dari konsep keimanan.
Sejalan dengan konsepnya tentang pemisahan aktifitas sosial dari agama, ia mempredikasi bahwa di
masa depan kehidupan keagamaan tidak akan bergantung kepada gereja dan pendeta lagi. Maka
dari itu nanti harus hidup nyaman tanpa terikat dengan gereja.[40] Di sini sudah mulai dapat dibaca
bahwa ia mulai menolak otoritas keagamaan. Suatu semangat post-modern yang berakar pada
doktrin nihilisme. Penyataan Snyder di atas bahwa kebenaran agama melebur menjadi nilai yang
muncul dalam bentuk kepercayaan manusia dan opini kini telah terbukti. Tapi pandangan ini
ditentang oleh Dupre, segala upaya rasional untuk mengukuhkan atau menggoyakan kebenaran
agama pada akhirnya akan membawa distorsi terhadap kebenaran itu sendiri.[41] Sekarang marilah
kita lihat bagaimana pandangan post-modernis tentang kebenaran agama.
Dalam karyanya Will to Power Nietzsche menyatakan bahwa kebenaran dalam pengertian lama
adalah benar hanya karena didukung oleh sistim moralitas lama, oleh karena itu kita saat ini tidak lagi
memerlukan kebenaran yang berlaku di masa lalu. Kebenaran itu bergantung kepada moral dan
moral adalah nilai luhur yang ditetapkan oleh adanya dekadensi. Oleh sebab itu, ia menyimpulkan,
kita harus menghapuskan nilai-nilai luhur itu dan kemudian moralitas itu sendiri. Sebagai pengganti
dari nilai-nilai metafisis dan religius ia memperkenalkan apa yang ia namakan nilai alami naturalistic
value, yang dikukuhkan oleh presupposisi tentang apa dan seperti apa seharusnya nilai itu kita
kenal.[42]
Pernyataan ini jelas sekali tidah hanya menunjukkan doktrin nihilismenya, tapi juga usahanya untuk
meleburkan kebenaran agama ke alam nilai atau mengganti kebenaran agama dengan kebenaran
filosofis. Ia ingin mengganti kualitas ontologis dan moral dari kebenaran itu dengan kualitas yang
melulu kognitif.

Pandangan ini cukup dominan di kalangan filosof post-modernis sehingga banyak yang pesimis
dengan prospek kebenaran agama. Untuk menghindarkan masalah yang akan terjadi maka mereka
terpaksa mencari dukungan dari pengetahuan empiris dan memperkenalkan suatu teori baru tentang
kebenaran yang disebut teori bahasa (linguistic theory). Reputasi Witgenstein dalam teori ini sangat
menonjol melalui karyanya Philsophical Investigation. Akan tetapi karena teori bahasa ini hanya
membenarkan suatu diskursus dalam lingkup kebahasaan saja dan terlepas dari wacana lain, maka
teori-teori itu mesti dikaitkan dengan apa yang secara tradisional difahami sebagai kebenaran agama.
Untuk itu diperlukan beberapa syarat. Diantaranya adalah bahwa teori-teori itu harus koheren, bukan
hanya dalam dirinya tapi juga dengan teori lain. Interpretasi pengalaman hendaklah sejalan atau tidak
bertentangan dengan sistim interpretasi yang lebih tinggi yang dibangun dari kebenaran agama. Di
sini para filosof itu menghadapi masalah, sebab kebanaran agama dan filsafat bagi mereka tidak
dapat disatukan. Di satu sisi, agama tidak dapat menjustifikasi kebenaran filsafat dan di sisi lain
filsafat menolak untuk menerima kebenaran agama. Di sini agama ditantang untuk berkongsi dalam
beberapa asumsi dasarnya dengan area kebenaran yang lain. Jika tidak maka istilah kebenaran di
dalamnya tidak akan dapat dipertahankan lagi.
Untuk memenuhi tantangan itu para filosof terpaksa kembali kepada wacana kebenaran ontologis.
Karena itu, Heidegger berusaha untuk menformulasikan teori kebenaran agama yang
memprioritaskan kebenaran ontologis dari kebenaran epistemis. Ia menganggap bahwa kebenaran
yang diambil dari pemahaman terhadap sesuatu, meskipun itu benar, tidak lebih penting daripada
sikap keterbukaan (openness) atau pretensi (pretense) yang berkaitan dengan eksistensi kita.
Berdasarkan hal inilah kita dapat membuat keputusan penting yang menentukan kemurnian
hubungan kita dengan orang lain. Jadi, kebenaran tidak mempunyai tempat dalam proposisi, tapi ia
ada dalam pengungkapan (disclosure) yang diwarnai oleh sikap keterbukaan.[43] Artinya esensi
kebenaran tidak berfokus pada subyek tapi pada sikap terbuka yang pada giliranya akan muncul
sesuatu apa yag disebut Being. Dengan teori ini diarahkan untuk mendekati esensi kebenaran agama
dan dianggap berasal dari agama itu sendiri. Namun karena teori ini bergantung kepada pandangan
agama yang tradisional, filsafat tidak akan menerimanya. Seakan-akan teori pengungkapan ini
(disclosure theory) menunggu kedatangan atau perkembangan filsafat hermeneutika, yang berupaya
untuk memberi justifikasi dengan suatu analisa yang cermat tentang model pemahaman (cognition)
tanpa dibatasi oleh syarat-syarat epistemologis dari sains positif.
Menyimpulkan kondisi ini Huston Smith menyatakan bahwa dalam pemikiran post-modern tidak ada
kebenaran dalam realitas, bahkan para post-modernis ragu apakah kebenaran itu mempunyai
arti.[44]Dari pembahasan di atas dan juga kesimpulan Smith dapat dinyatakan bahwa makna
kebenaran dalam pemikiran post-modern itu problematik, karena itu ia memerlukan suatu evaluasi
dan perubahan sebab kebenaran tidak lagi dianggap absolut.
Kesimpulan

Poin yang perlu dicatat di sini adalah bahwa post-modernisme membangun suatu teologi
berdasarkan pada asasnya sendiri, meskipun tidak disebut teologi. Dalam teologi ini Tuhan
dimasukkan ke dalam sistim penjelasan rasional yang tertutup (closed system of rational
explanation), seperti yang terdapat dalam pemikiran modern. Karena akal manusia tidak dapat
memahami hakekat Tuhan, pikiran post-modern merobohkan jalan berfikir matafisis. Akibatnya, post-
modernis memahami agama dengan cara yang sangat berbeda dari dan bertentangan dengan
kepercayaan yang dianut para teolog. Konsep-konsep mereka tentang Tuhan, religiusitas dan
kebenaran agama tidak sesuai lagi dengan doktrin-doktrin keagamaan. Sebenarnya, seperti halnya
modernisme, post-modernisme dihadapkan secara vis a vis dengan agama dalam bentuk yang
antagonistis dan bahkan bentuk pertarungan. Kemenangan bukan pada keduanya, namun yang
bertanggung jawab dalam hal ini adalah keduanya. Filsafat post-modern gagal memahami konsep
agama tentang Tuhan, tentang kebenaran dan tentang aktifitas keagamaan. Agama, dalam hal ini
Kristen, tidak dapat menunjukkan dirinya dalam bentuk penjelasan rasional yang terbuka sehingga
dapat dipertahankan dari serangan filsafat apapun. David Harvey menunjukkan bahwa karena akal
dalam pikiran postmodern dimaknai tanpa tujuan spiritual dan moral, maka krisis yang terjadi pada
zaman ini disebabkan oleh absennya kebenaran Tuhan. Oleh sebab itu, katanya, proyek teologis
post-modernisme adalah menegaskan kembali kebenaran Tuhan tanpa meninggalkan kekuatan
akal.[45]Jadi rekonsiliasi antara teori kebenaran para teolog dan para filosof adalah tugas yang perlu
dikerjakan agar terhindar dari malapetaka.
* Hamid Fahmy Zarkasyi, memperoleh gelar Master of Art in Education dari University of the Punjab,
Lahore Pakistan. Gelar Master of Philosophy (M.Phil) dari Department of Theology Faculty of Art,
University of Birmingham, Inggris.

[1] Akbar S.Ahmed, Postmodernisme and Islam, Routledge, London, 1992.


[2] Ernest Gellner, Postmodernism, Reason and Religion, Routledge, London, 1992.
[3] Griffin, David, God and Religion in Postmodern World, Albany, N.Y. State University of New York
Press, 1989.
[4] Smith, Huston, Beyond The Post-Modern Mind, Quest Book, The Theosophical Publishing House,
Wheaton, Illinois, USA, 1989.
[5] Ernest Gellner, Postmodernism, Reason and Religion, 23.
[6] Akbar S.Ahmed, Postmodernisme and Islam, 6.
[7] Hugh J.Silverman, The Philosophy of Postmodernism, dalam Hugh J.Silverman
(ed) Postmodernism-Philosophy and the Art, London, Routledge, 1990, 1.
[8] Smith, Huston, Beyond The Post-Modern Mind, 5.
[9] Ibid, 4.
[10] David Harvey, The Condition of Postmodernity, Cambridge, Blackwell, 1991, 12-3.
[11] James E.Crimmins, (ed) Religions, Secularizatin dan Political Thought, London, Routledge, 1990,
7.
[12] Alain Finkielkraut, The Defeat of The Mind, (trans. by Judith Friedlander, New York Columbia
University Press, 1995, 18.
[13] Ibid, 19.
[14] Hugh J.Silverman, The Philosophy of Postmodernism, 5.
[15] Untuk diskusi yang lebih detail mengenai hal ini lihat Nancy Love, Marx, Nietzsche, and
Modernity, New York, Columbia University Press, 1986, khususnya bab satu, 1-7 dan empat, 113-
134.
[16]Gianni Vattimo, The End of Modernity, 167.
[17]Nietzsche, F, Will To Power, 8-9.
[18] Gianni Vattimo, The End of Modernity, 19.
[19] Jon R.Snyder, (trans.) in Gianni Vattimo, The End of Modernity, , xi.
[20] Nietzsche, Friedrich, Twilight of the Idol, trans. R.J. Hollingdale (Harmondsworth: Penguin, 1968),
41. Dalam Will To Power, dia mengatakan, Truth is the kind of error, lihat Nietzsche, Friedrich, The
Will To Power, 493.
[21] Jon R.Snyder, in Gianni Vattimo, The End of Modernity, xii.
[22] Ibid, xiii.
[23] Pernyataan aslinya adalah sbb: everything is text, that the basic material of text, societies and
almost anything is meaning, that meaning are there to be decoded or deconstructed, that the notion
of objective reality is suspect. Lihat Ernest Gellner, Postmodernism, Reason and Religion, 23.
[24] Fuerbach, Ludwig, The Essence of Christianity, terjemahan George Eliot, New York:Harper and
Row, 1957, xii, xli.
[25] Karl Marx, Early Writing, Quinton Hoare, ed.; Gregor Benton and Rodney Livingston, trs. New
York: Random House, 1975, 1:378.
[26] Sebagaimana dikutip oleh Nancy S.Love, dalam Nancy S.Love, Marx, Nietzsche, and Modernity,
124.
[27] Huston Smith, Beyond The Post-Modern Mind, 8
[28] Akbar S.Ahmed, Postmodernisme and Islam, 27.
[29] P. Rabinow, Harmonsworth, ed. The Foucoult Reader, Penguin, 1984, seperti dikutip oleh
David Owen, dalam Maturity and Modernity, London, Routledge, 1994, 200.
[30]Nietzsche, Friedrich, Beyond Good and Evil, trans. by R.J.Hollingdale, London, Penguin Classic,
1972, 62.
[31] Nietzche, Friedrich, The Will To Power, 86-87.
[32] Cuplikan pernyataannya adalah sbb:The Christian way of life is no more a fantasy than the
Buddhist way of life: it is a means to being happy Ibid, 98.
[33] Pernyatannya penuh sbb: Christianity is still possible at any time, but it does not necessarily rely
on dogma, require neither the doctrine of personal God nor that of immortality, nor that of redemption,
nor that of faith and it has absolutely no need of metaphysics. Ibid, 124-125.
[34] John D.Caputo, Heidegger and Theology, dalam Charles B.Guignon ed. The Cambridge
Companion to Heiddeger, (Cambridge, Cambridge University Press, 1993), 285
[35] Engelmann, Paul, Letter from Ludwig Wittgenstein with a Memoir, ed. B.F.McGuinness,
diterjemahkan oleh Lfurtmuller, Oxford, Blackwell, 77. Cf. Norman Malcolm, Wittgenstein: A Religious
Point of View, ed. Peter Winch, Ithaca, Cornell University Press, 1994, 9.
[36] L.Wittgenstein, Notebooks 1914-1916 , edisi ke 2, ed. G.H.von Wright and G.E. M.Anscombe,
diterjemahkan oleh G.E. M.Anscombe, Oxford, Blackwell, 1979, 74, dikutip dalam Norman
Malcolm,Wittgenstein: A Religious Point of View, 10.
[37] L. Wittgenstein, Lecture and Conversation on Aesthetics, Psychology and Religious Belief, ed.
C.Barret, (Oxford, Blackwell, 1966), 56.
[38] Norman Malcolm, Wittgenstein: A Religious Point of View, 11.
[39] Wittgensteins Vermischte Bemerkungen, 85-6, dikutip dari Norman Malcolm, Wittgenstein: A
Religious Point of View, 19
[40] Rush Rhees (ed) Ludwig Wittgensteins Personal Collections, 129, dikutip dari by Norman
Malcolm,Wittgenstein: A Religious Point of View, 20.
[41] Louis Dupre, Truth in Religion and Truth of Religion dalam Daniel Guerriere
(ed), Phenomenology of the Truth Proper to Religion, New York, SUNY, 1990, 19, 28.
[42] Nietzsche, Will to Power, 249-255.
[43] Martin Heidegger, On The Essence of Truth diterjemahkan oleh John Sallis, dalam Basic
Writings, ed.David F.Krell (New York: Harper & Row, 1976) 129-33. Juga lihat dalam Magda
King, Heideggers Philosophy, New York, The Macmillan Company, 1964, 148-49. Cf. Ernst
Tugendhat, Heiddegers Idea of Truth, dalam Christopher Macann (ed), Martin Heidegger,
vol.III:Language, London, Routledge, , 1992, 80.
[44] Huston Smith, Beyond The Post-modern Mind, 233.
[45] David Harvey, The Condition of Postmodernity, 41.
POST-MODERN
Dalam sejarah manusia, kita kenal tiga era atau zaman yang memiliki ciri khasnya masing-masing
yaitu pra-modern, modern dan postmodern. Zaman modern ditandai dengan afirmasi diri manusia
sebagai subjek. Apalagi setelah pernyataan Rene Descartes, cogito ergo sum yang artinya aku
berpikir maka aku ada. Melalui pernyataan tersebut, manusia dibimbing oleh rasionya sebagai subjek
yang berorientasi pada dirinya sendiri sehingga rasio atau akal budi manusia menjadi pengendali
manusia terutama tingkah lakunya. Pada masa ini munculah berbagai macam teori yang berlaku
sampai sekarang. Pada akhirnya yaitu zaman dimana kita berada sekarang yaitu zaman postmodern.
Pemikiran pada periode ini menamakan dirinya postmodern, memfokuskan diri pada teori kritis yang
berbasis pada kemajuan dan emansipasi. Kemajuan dan emansipasi adalah dua hal yang saling
berkaitan, seperti yang dinyatakan oleh Habermas bahwa keberadaan demokrasi ditunjang oleh sains
dan teknologi.
Dalam makalah ini akan dikemukakan sejarah munculnya postmodern sebagai isme yang mengritik
modernitas, juga akan dipaparkan beberapa tokoh pada periode ini beserta ajarana-ajaran pokok
meraka.

II. Pengertian
Untuk memudahkan memahami postmodernisme, ada baiknya kita mengkontraskan isme ini
dengan lawan sejarah dan nuansa berpikirnya, yakni modernisme. Mengkontraskan kedua isme
tersebut dipandang perlu karena postmodernisme, dalam banyak hal, bisa dikatakan sebagai reaksi
dan kritik terhadap modernisme.
a) Modernisme
Secara etimologis modern (adj.) bermakna, pertaining to recent or present time. Dalam sub bab yang
bertemakan postmodernisme, Romo Tom Jacob mengartikan modern sebagai: (1) terbaru, mutakhir;
(2) sikap dan cara berpikir serta bertindak sesuai dengan tuntutan zaman.
Sedangkan menurut Kant menyebutnya sebagai, pencapaian transendentalisasi jauh dari imanensi
manusia. Sehingga manusia bisa mencapai tingkat yang paling tinggi. Kemampuan rasio inilah yang
menjadi kunci kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern. Di samping Kant, sejarah
kematangan kebudayaan modern ditunjukkan oleh Frederich Hegel. Melalui kedua pemikir inilah
nilai-nilai modernisme ditancapkan dalam alur sejarah dunia. Kant dengan ide-ide absolut yang
sudah terberi (kategori). Hegel dengan filsafat identitas (idealisme absolut) (Ahmad Sahal, 1994: 13).
Konstruksi kebudayaan modern kemudian tegak berdiri dengan prinsip-prinsip rasio, subjek,
identitas, ego, totalitas, ide-ide absolut, kemajuan linear, objektivitas, otonomi, emansipasi serta
oposisi biner.
Dalam perspektif seorang postmodernis yang berasal dari traadisi filsafat, modernisme bisa disebut
sebagai semangat yang diandaikan ada pada masyarakat intelektual sejak zaman renaissance (abad
ke-18) hingga paruh pertama abad ke-20. Semangat yang dimaksud adalah semangat untuk progress -
-meraih kemajuandan untuk humanisasi manusia. Semangat ini dilandasi oleh keyakinan yang
sangat optimistik dari kamum modernis akan kekuatan rasio manusia.
Di era ini rasio dipandang sebagai kekuatan yang dimiliki oleh manusia untuk memahami realitas,
untuk membangun ilmu pengetahuan dan teknologi, moralitas, dan estetika. Pendek kata, rasio
dipandang sebagai kekuatan tunggal yang menentukan segala-galanya.
Pengakuan atas kekuatan rasio dalam segenap aktivitas manusia, berarti pengakuan atas harkat dan
martabat manusia. Manusia dengan rasionya, --tentu saja sebagai subjek; pemberi bentuk dan warna
pada realitas-- adalah penentu arah perkembangan sejarah. Kenyataannya, modernisme adalah salah
satu bentuk dari humanisme. Narasi-narasi besar modernisme yang berasal dari kapitalisme,
eksistensialisme, liberalisme, idealisme, tidak bisa lain membuktikan hal itu.
Modernisme juga bisa diartikan sebagai semangat untuk mencari dan menemukan kebenaran asasi,
kebenaran esensial, dan kebenaran universial. Rasio manusia dianggapa mampu menyelami
kenyataan faktual untuk menemukan hukum-hukum atau dasar-dasar yang esensial dan universal
dari kenyataan.

b) Postmodernisme
Secara etimologis Postmodernisme terbagi menjadi dua kata, post dan modern. Kata post, dalam
Websters Dictionary Library adalah bentuk prefix, diartikan dengan later or after. Bila kita
menyatukannya menjadi postmodern maka akan berarti sebagai koreksi terhadap modern itu sendiri
dengan mencoba menjawab pertanyaan pertanyaan yang tidak dapat terjawab di jaman modern yang
muncul karena adanya modernitas itu sendiri.
Sedangkan secara terminologi, menurut tokoh dari postmodern, Pauline Rosenau (1992)
mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama,
postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-
janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan
modernitas.Yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi,
kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan
prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi
liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral,
peraturan impersonal dan rasionalitas. Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang
biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya.
Postmodernisme bersifat relatif. Kebenaran adalah relatif, kenyataan (realitas) adalah relatif, dan
keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan satu sama lain. Hal tersebut jelas mempunyai
implikasi dalam bagaimana kita melihat diri dan mengkonstruk identitas diri. Hal ini senada dengan
definisi dari Friedrich Wilhelm Nietzsche sche (1844-1900) dikenal sebagai nabi dari
postmedernisme. Dia adalah suara pionir yang menentang rasionalitas, moralitas tradisional,
objektivitas, dan pemikiran-pemikiran Kristen pada umumnya. Nietzsche sche berkata, Ada banyak
macam mata. Bahkan Sphinx juga memiliki mata; dan oleh sebab itu ada banyak macam kebenaran,
dan oleh sebab itu tidak ada kebenaran.
Menurut Romo Tom Jacob, kata postmodern setidaknya memiliki dua arti: (1) dapat menjadi nama
untuk reaksi terhadap modernisme, yang dipandang kurang human, dan mau kembali kepada situasi
pra-modernisme dan sering ditemukan dalam fundamentalisme; (2) suatu perlawanan terhadap yang
lampau yang harus diganti dengan sesuatu yang serba baru dan tidak jarang menjurus ke arah
sekularisme.

III. Perbedaan Modernisme Dan Postmodernisme


Pemikir evalengical, Thomas Oden, berkata bahwa periode modern dimulai dari runtuhnya Bastille
pada tahun 1789 (Revolusi Perancis) dan berakhir dengan kolapsnya komunisme dan runtuhnya
tembok berlin pada tahun 1989. Modernisme adalah suatu periode yang mengafirmasi keeksistensian
dan kemungkinan mengetahui kebenaran dengan hanya menggunakan penalaran manusia. Oleh
karena itu, dalam arti simbolik penalaran menggantikan posisi Tuhan, naturalisme menggantikan
posisi supernatural. Modernisme sebagai pengganti dinyatakan sebagai penemuan ilmiah, otonomim
manusia, kemajuan linier, kebenaran mutlak (atau kemungkinan untuk mengetahui), dan rencana
rasional dari social order Modernisme dimulai dengan rasa optimis yang tinggi.
Sedangkan postmodernisme adalah sebuah reaksi melawan modernisme yang muncul sejak akhir
abad 19. Dalam postmodernisme, pikiran digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan oleh
emosi, dan moralitas digantikan oleh relativisme. Kenyataan tidak lebih dari sebuah konstruk sosial;
kebenaran disamakan dengan kekuatan atau kekuasaan. Identitas diri muncul dari kelompok.
Postmodernisme mempunyai karakteritik fragmentasi (terpecah-pecah menjadi lebih kecil), tidak
menentukan (indeterminacy), dan sebuah ketidakpercayaan terhadap semua hal universal
(pandangan dunia) dan struktur kekuatan.
Dalam situs http://www.fni.com/cim/briefing/decon.doc disebutkan perbedaan mendasar mengenai
modernisme dan postmodernisme. Situs tersebut menyebutkan bahwa modernisme adalah kata lain
dari penerangan humanis.

IV. Perkembangan Sejarah dan Tokoh-tokoh Postmodern


Pada awalnya, kata postmodern tidak muncul dalam filsafat ataupun sosiologi. Wacana postmodern
ini pada awalnya muncul dalam arsitektur dan kemudian juga dalam sastra. Arsitektur dan sastra
postmodern lebih bernafaskan kritik terhadap arsitektur dan sastra modern yang dipandang
sebagai arsitektur totaliter, mekanis dan kurang human. Akhirnya, kritik terhadap seni arsitektur dan
sastra modern ini menjadi kritik terhadap kebudayaan modern pada umumnya yang dikenal sebagai
era postmodern.
Benih posmo pada awalnya tumbuh di lingkungan arsitektur. Charles Jencks dengan bukunya The
Language of Postmodern Architecture (1975) menyebut post modern sebagai upaya mencari
pluralisme gaya arsitekture setelah ratusan terkukung satu gaya. Postmodernisme lahir di St. Louis,
Missouri, 15 Juli 1972, pukul 3:32 sore. Ketika pertama kali didirikan, proyek rumah Pruitt-Igoe di St.
Louis di anggap sebagai lambang arsitektur modern. Yang lebih penting, ia berdiri sebagai gambaran
modernisme, yang menggunakan teknologi untuk menciptakan masyarakat utopia demi
kesejahteraan manusia. Tetapi para penghuninya menghancurkan bangunan itu dengan sengaja.
Pemerintah mencurahkan banyak dana untuk merenovasi bangunan tsb. Akhirnya, setelah
menghabiskan jutaan dollar, pemerintah menyerah. Pada sore hari di bulan Juli 1972, bangunan itu
diledakkan dengan dinamit. Menurut Charles Jencks, yang dianggap sebagai arsitek postmodern yang
paling berpengaruh, peristiwa peledakan ini menandai kematian modernisme dan menandakan
kelahiran postmodernisme
Akhirnya, pemikiran postmodern ini mulai mempengaruhi berbagai bidang kehidupan, termasuk
dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan, dan sosiologi. Postmodern akhirnya menjadi kritik
kebudayaan atas modernitas. Apa yang dibanggakan oleh pikiran modern, sekarang dikutuk, dan apa
yang dahulu dipandang rendah, sekarang justru dihargai.

4.1 Postmodern sebagai Filsafat


Filsafat postmodern pertama kali muncul di Perancis pada sekitar tahun 1970-an, terlebih ketika Jean
Francois Lyotard menulis pemikirannya tentang kondisi legitimasi era postmodern, dimana narasi-
narasi besar dunia modern (seperti rasionalisme, kapitalisme, dan komunisme) tidak dapat
dipertahankan lagi.
Seperti yang telah diterangkan diatas, pada awalnya lahir dari kritik terhadap arsitektur modern, dan
harus kita akui kata postmodern itu sendiri muncul sebagai bagian dari modernitas. Ketika
postmodern mulai memasuki ranah filsafat, post dalam postmodern tidak dimaksudkan sebagai
sebuah periode atau waktu, tetapi lebih merupakan sebuah konsep yang hendak melampaui segala hal
modern. Konsep postmodernitas yang sering disingkat sebagai postmodern ini merupakan sebuah
kritik atas realitas modernitas yang dianggap telah gagal dalam melanjutkan proyek pencerahannya.
Nafas utama dari postmodern adalah penolakan atas narasi-narasi besar yang muncul pada dunia
modern dengan ketunggalan terhadap pengagungan akal budi dan mulai memberi tempat bagi narasi-
narasi kecil, lokal, tersebar, dan beranekaragam untuk bersuara dan menampakkan dirinya.
C.S. Lewis ketika ia berkata, ketika memperjelas pandangan Nietzsche sche My good is my good, and
your good is your good (kebaikanku adalah kebaikanku, dan kebaikanmu adalah kebaikanmu), atau
kalau orang Jakarta bilang, gue ya gue, lo ya lo. Jadi di sini tidak ada standar absolut tentang benar
atau salah dalam postmodern. Mungkin Anda juga pernah mendengar orang berkata Mungkin itu
benar bagimu, tetapi tidak bagiku atau Itu adalah apa yang kamu rasa benar. Kebenaran, bagi
generasi postmodern adalah relatif, tidak absolut.

4.2 Tokoh-Tokoh postmodern dan Ajarannya


Tokoh-tokoh pemikir postmodern ini terbagi ke dalam dua model cara berpikir yakni dekonstruktif
dan rekonstruktif. Para filsuf sosial berkebangsaan Prancis lebih banyak mendukung cara berpikir
postmodern dekonstruktif ini. Para pemikir Perancis itu antara lain: Friedrich Wilhelm Nietzsche
sche, ean Francois Lyotard, Jacques Derrida, Michel Foucault, Pauline Rosenau, Jean Baudrillard
,dan Richard Rorty. sementara pemikiran postmodern rekonstruktif dipelopori oleh Teori Kritis
Mazhab Frankfurt seperti: Max Horkheimer, Theodor W Adorno, yang akhirnya dilengkapi oleh
pemikiran Jurgen Habermas.
1) Friedrich Wilhelm Nietzsche sche (1844-1900)
Lahir di Rochen, Prusia 15 Oktober 1884. Pada masa sekolah dan mahasiswa, ia banyak berkenalan
dengan orang-orang besar yang kelak memberikan pengaruh terhadap pemikirannya, seperti John
Goethe, Richard Wagner, dan Fredrich Ritschl. Karier bergengsi yang pernah didudukinya adalah
sebagai Profesor di Universitas Basel.
Menurutnya manusia harus menggunakan skeptisme radikal terhadap kemampuan akal. Tidak ada
yang dapat dipercaya dari akal. Terlalu naif jika akal dipercaya mampu memperoleh kebenaran.
Kebenaran itu sendiri tidak ada. Jika orang beranggapan dengan akal diperoleh pengetahuan atau
kebenaran, maka akal sekaligus merupakan sumber kekeliruan.

2) Jacques Derrida (Aljazair, 15 Juli 1930Paris, 9 Oktober 2004)


Seorang filsuf Prancis keturunan Yahudi dan dianggap sebagai pendiri ilmu dekonstruktivisme,
sebuah ajaran yang menyatakan bahwa semuanya di-konstruksi oleh manusia, juga bahasa. Semua
kata-kata dalam sebuah bahasa merujuk kepada kata-kata lain dalam bahasa yang sama dan bukan di
dunia di luar bahasa. Derrida dianggap salah satu filsuf terpenting abad ke 20 dan ke 21. Istilah-
ilstilah falsafinya yang terpenting adalah dekonstruksi, dan diffrance..
Dekonstruksi
Istilah dekontruksi untuk pertama kalinya muncul dalam tulisan-tulisan Derrrida pada saat ia
mengadakan pembacaan atas narasi-narasi metafisika Barat.
Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya.
Satu term tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah
yang Derrida sebut sebagai logosentrisme . Metode dekonstruksi merupakan proyek filsafat yang
berskala raksasa karena Derrida sendiri menunjukkan bahwa filsafat barat seluruhnya bersifat
logosentris. Dengan demikian, dekonstruksi mengkritik seluruh proyek filsafat barat.
Differance
Dalam karyanya, Of Grammatology, Derrida berusaha menunjukkan bahwa struktur penulisan dan
gramatologi lebih penting dan bahkan lebih tua ketimbang yang dianggap sebagai struktur murni
kehadiran diri (presence-to- self), yang dicirikan sebagai kekhasan atau keunggulan lisan atau ujaran.
Derrida menyatakan bahwa signifikasi selalu merujuk ke tanda-tanda lain dan kita tidak akan pernah
sampai ke suatu tanda yang hanya merujuk ke dirinya sendiri. Maka, tulisan bukanlah tanda dari
sebuah tanda, namun lebih benar jika dikatakan bahwa tulisan adalah tanda dari semua tanda-tanda.
Dan proses perujukan yang tidak terhingga (infinite) dan tidak habis-habisnya ini tidak akan pernah
sampai ke makna itu sendiri. Inilah pengertian tulisan yang ingin ditekankan Derrida. Derrida
menggunakan istilah arche-writing, yakni tulisan yang merombak total keseluruhan logika tentang
tanda. Jadi, tulisan yang dimaksud Derrida bukanlah tulisan (atau tanda) sederhana, yang dengan
mudah dianggap mewakili makna tertentu.
Dilihat dengan cara lain, tulisan merupakan prakondisi dari bahasa, dan bahkan telah ada sebelum
ucapan oral. Maka tulisan malah lebih istimewa daripada ujaran. Tulisan adalah bentuk permainan
bebas dari unsur-unsur bahasa dan komunikasi. Tulisan merupakan proses perubahan makna terus-
menerus dan perubahan ini menempatkan dirinya di luar jangkauan kebenaran mutlak (logos).
Jadi, tulisan bisa dilihat sebagai jejak, bekas-bekas tapak kaki, yang harus kita telusuri terus-menerus,
jika ingin tahu siapa si empunya kaki (yang kita anggap sebagai makna yang mau dicari). Proses
berpikir, menulis dan berkarya berdasarkan prinsip jejak inilah yang disebut Derrida sebagai
differance.
Differance adalah kata Perancis yang jika diucapkan pelafalannya persis sama dengan kata difference.
Kata-kata ini berasal dari kata differer-differance-difference, tidak hanya dengan mendengar ujaran
(karena pelafalannya sama), tetapi harus melihat tulisannya. Di sinilah letak keistimewaan kata ini,
hal inilah yang diyakini Derrida membuktikan bahwa tulisan lebih unggul ketimbang ujaran.
Proses differance ini menolak adanya petanda absolut atau makna absolute, makna transendental,
dan makna universal, yang diklaim ada oleh De Saussure dan oleh pemikiran modern pada
umumnya.
Menurut Derrida, penolakan ini harus dilakukan karena adanya penjarakan (spacing), di mana apa
yang dianggap sebagai petanda absolut sebenarnya hanyalah selalu berupa jejak di belakang jejak.
Selalu ada celah atau kesenjangan antara penanda dan petanda, antara teks dan maknanya. Celah ini
membuat pencarian makna absolut mustahil dilakukan. Setelah kebenaran ditemukan, ternyata
masih ada lagi jejak kebenaran lain di depannya, dan begitu seterusnya.
Jadi, apa yang dicari manusia modern selama ini, yaitu kepastian tunggal yang ada di depan,
tidaklah ada dan tidak ada satu pun yang bisa dijadikan pegangan. Karena, satu-satunya yang bisa
dikatakan pasti, ternyata adalah ketidakpastian, atau permainan. Semuanya harus ditunda atau
ditangguhkan (deferred) sembari kita terus bermain bebas dengan perbedaan (to differ). Inilah yang
ditawarkan Derrida, dan posmodernitas adalah permainan dengan ketidakpastian.

V. Kritik postmodern terhadap narasi-narasi modern


Postmodern dan Kapitalisme
Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang
yang bisa diperdagangkan nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa
dihasilkannya
Menurut para pemikir postmodern, modernitas itu ditandai dengan sifat totaliternya akal budi
manusia yang menciptakan sistem-sistem seperti sistem ekonomi, sosial, politik, dsb. Sistem-sistem
itu akhirnya memenjarakan manusia sendiri sebagai budak dari sistem yang tidak menghargai sama
sekali dunia kehidupan.
Postmodern dan Positivisme
Nietzsche adalah tokoh postmodern yang temasuk pengkritik pandangan positivisme August Comte.
Menurut Comte, subyek (manusia-red) mampu menangkap fakta kebenaran, sejauh hal itu faktual,
dapat didindara, positif dan eksak. Akan tetapi menurut Nietzsche , manusia tidak tidak dapat
menangkap fakta. Apa yang dilakukan manusia untuk menangkap objek itu hanyalah sekedar
interpretasi. (ST. Sunardi,1999:67-68)
Banyak pernyataan bahwa Nietzsche tidak percaya bahwa kita bisa mengetahui kebenaran. Fakta
kebenaran itu tidak ada, yang ada hanyalah interpretasi dan dan perspektif. Maka dengan dengan
sendirinya tidak ada kebenaran universal yang tunggal. Penafsiran itu tidak itu tidak menghasilkan
makna final, yang ada hanyalah pluralitas. (ST. Sunardi,1999:180) sehingga bagi Nietzsche ,
kebenaran adalah suatu kekeliruan yang berguna untuk mempertahankan arus hidup.

VI. Tanggapan Terhadap Postmodern


Konsepsi epistemologis post-modern yang belum jelas merupakan persoalan yang cukup mendasar.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam interpretasi, setiap orang mempunyai sudut pandang dan
perspektif sendiri-sendiri (berbeda-beda). Dalam perpektif, subjek-subjek tertentu bisa dianggap
benar, namun bisa jadi keliru bagi perspektif subjek yang lain.
Jika pada masa Modern, manusia mengingkari agama oleh karena pengaruh rasionalitas, namun
pada masa Postmodern ini manusia mengingkari agama dengan irrasionalitas. Pada postmodern ini
bermunculan agama-agama baru buatan manusia (--isme) yang merupakan hasil sinkritisme dan
pluralisme. Tidak ada kebenaran absolut dalam agama apapun atau mungkin bahkan dalam kitab suci
apapun, yang ada adalah kebenaran relatif, kebenaran menurut masing-masing yang memandangnya,
sehingga manusia di sini sebagai hakim penentu kebenaran, dan bukan Tuhan yang menjadi penentu
kebenaran melalui Kitab Suci yang diwahyukannya.
Derrida, melalui teori Dekonstruksi-nya, telah mengantarkan kita pada sebuah model semiotika
ketidakberaturan atau semiotics of chaos. Dekonstruksi menolak kemapanan, menolak obyektivitas
tunggal dan kestabilan makna. Karena itu, Dekonstruksi membuka ruang kreatif seluas-luasnya
dalam proses pemaknaan dan penafsiran. Itulah Dekonstruksi, yang membuat setiap orang bebas
memberi makna dan mentafsirkan suatu obyek tanpa batas. Ruang makna terbuka luas.
Penghancuran terhadap suatu makna oleh makna baru melahirkan makna-makna lain. Demikian
seterusnya. Sehingga, demikian bebas dan banyaknya makna dan tafsiran, membuat era
dekontruktivisme dianggap era matinya makna. Makna menjadi tidak berarti lagi.
Fenomena postmodernisme ini memunculkan berbagai macam persoalan tentang peran iman dan
agama. Ketika manusia tidak lagi percaya akan rasionalitas yang dianggap telah gagal melanjutkan
proyek pencerahannya, maka dunia tidak lagi diatur oleh kebenaran tunggal dan sistem mekanis.
Segala bentuk kebenaran tunggal ditolak dan direlativkan, demikian juga agama, teologi dan ajaran
iman. Pada saat itulah manusia berada dalam kotak-kotak individualisme yang berdiri sendiri. Ada
yang kemudian jatuh kepada ekstrim fundamentalisme dan yang lain ke arah sekularisme. Untuk itu,
persoalan dasar dalam dunia postmodern ini pertama-tama adalah soal hermeneutika dan
komunikasi. Bahasa menjadi medan hidup yang terus menerus dikembangkan sebagai bagian dari
proses hermeneutik dan komunikasi. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup ajaran iman agama,
teologi, ataupun narasi-narasi besar lainnya, namun juga terjadi di setiap bidang kehidupan.
Rasionalisme universal manusia modern dengan cita-cita penyempurnaan manusia oleh manusia
sendiri menemui keterbatasannya secara sangat spektakuler dalam abad ini. Rasionalitas universal itu
seolah-olah ambruk.

Kesimpulan
Postmodern yang lahir pertama-tama sebagai reaksi dan kritik terhadap modernisme yang penuh
akan kesalahan dan kegagalan di berbagai bidang (walaupun beberapa tidak sepenuhnya gagal).
Postmodernisme adalah pandangan dunia yang menyangkal semua pandangan dunia. Singkatnya,
postmodernisme mengatakan bahwa tidak ada kebenaran universal yang valid untuk setiap orang.
Individu terkunci dalam persepktif terbatas oleh ras, gender, dan grup etnis masing-masing.
Berbeda dengan filsafat sebelum zaman modern yang mendasari metodenya dengan rasionalitas.
Pada zaman ini seakan-akan tak ada lagi standar kebenaran.
Kritik post-modern terhadap modern bukanlah gugatan ilmiah dan teoritik, melainkan lebih bersifat
emosional. Ia tak membawa konsep yang jelas, hanya mengkritik konsep lama, tidak
memperbaharuinya, dan hanya phenomenon politik saja yang melatarbelakangi kemunculannya,
yakni perang dunia kedua.

Referensi

Tom Jacob, SJ, Paham Allah: Dalam Filsafat, Agama-Agama, dan Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 2002
John Gage Allee (Ed), Websters Dictionary Library, New York: Bell Publishing Company, 1980, bab.
Websters Dictionary, 1978
Stanley J. Grenz, Postmodernisme; Sebuah Pengenalan" terjemah. Wilson Suwanto
Edisi:013/III/2001, http://reformed.sabda.org/home
Eddy Peter Purwanto, Natal dan Postmodern, http://www.philadelphia-
international.com/natal%20dan%20postmodern.htm
Ari Purnomo, Narasi Kecil Sebagai Legitimasi Ilmu Pengetahuan era Postmodern Menurut Jean
Francois Lyotard: Sebuah Skripsi, Yogyakarta: FTW, 2006
Sri Rahayu, Epistimologi Friedrich Wilhelm Nietzsche sche, dalam Epistimologi Kiri, (Jogjakarta,Ar-
Ruuz,2006), Cet. II
Zainal Abidin, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat, (Bandung:PT. Remaja Rosda
Karya,2003), Cet. III
Satrio Arismunandar, Dekonstruksi Derrida dan Pengaruhnya Pada Kajian Budaya, Desember 15,
2008, http://pormadi.wordpress.com/2008/12/15/dekonstruksi-derrida-dan-pengaruhnya-pada-
budaya/
Bambang Sukma Wijaya, Kajian Kritis Semiotika Dekonstruksi Derrida, February 20, 2008,
http://en.wordpress.com/tag/Kajian-Semiotika
http://www.pursal.com/2009/04/22/s1-dstars-06-ss-postmodern-arch-language/
http://www.guruit07.blogspot.com/2009/01/pengertian-post-modern.html
http://gerakanindonesiabaru.blogspot.com/2009/04/paham-allah-dalam-era-postmodern.htm
http://komunitasembunpagi.blogspot.com/2009/03/post-modern-mitos-baru.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Dekonstruksi

MODERN DAN POST MODERN


Diposkan oleh D.ANDRIYANTO

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATARBELAKANG

dunia sekarng ini memusatkan seluruh usahanaya untuk menciptakan sarana-sarana


kehidupan. Ini adalah kebodohan dari filsafat hidup manusia modern. Teknologi tanpa arah dan
peradaban yang kosong dari cita-cita[1]

Pada zaman kita hidup saat ini dikenal dengan zaman postmodern dimana perkembangan
teknologi dan ilmu pengetahuan sangat pesat terjadi dan. Seluruh pengembangan tersebut
bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kelancaran manusia dalam melakukan aktivitasnya
sehari-hari, makan, tidur, membela diri, berketurunan dan lain sebagainya. Namun yang menjadi
dilema adalah bahwa justru dengan perkembangan ilmu pengetahuandan teknologi tersebut
memberikan kecemasan terhadap umat manusia seperti pengembangan teknologi senjata yang
bertujuan untuk memberikan keamanan bagi manusia justru menjadi ancaman bagi manusia itu
sendiri. Fenomena yang lain juga terjadi karena perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan
seperti adanya internet yang bertujuan memberikan kemudahan seseorang dalam memperoleh
informasi justru menjadi sumber ancaman bagi moral dan etika seseorang. Berkembangnya sutau
teknolgi bagi manusia untuk mendapatkan makanan cepat saji namun sumber dari berbagai
penyakit. Beberapa fenomena yang lain terjadi merupakan suatu ironi bagi manusia yang hidup
pada masa postmodern ini.

Seiring dengan perkembangan zaman, kebudayaan umat manusia pun mengalami


perubahan. Menurut para pemikir post modernis dekonstruksi, dunia tak lagi berada dalam dunia
kognisi, atau dunia tidak lagi mempunyai apa yang dinamakan pusat kebudayaan sebagai tonggak
pencapaian kesempurnaan tata nilai kehidupan. Hal ini berarti semua kebudayaan duduk sama
rendah, berdiri sama tinggi, dan yang ada hanyalah pusat-pusat kebudayaan tanpa periferi.
Sebuah kebudayaan yang sebelumnya dianggap pinggiran akan bisa sama kuat pengaruhnya
terhadap kebudayaan yang sebelumnya dianggap pusat dalam kehidupan manusia modern.

Wajah kebudayaan yang sebelumnya dipahami sebagai proses linier yang selalu bergerak
ke depan dengan berbagai penyempurnaannya juga mengalami perubahan.Kebudayaan tersebut
tak lagi sekadar bergerak maju tetapi juga ke samping kiri, dan kanan memadukan diri dengan
kebudayaan lain, bahkan kembali ke masa lampau kebudayaan itu sendiri.
2. 3. RUMUSAN MASALAH
Adapun beberapa rumusan masalah yang manjadi landasan pembahasan dalam makalah ini
adalah sebagai berikut:
1) Apakah teknologi merupakan hal yang mutlak dalam kehidupan manusia sekarng?
2) Bagaimanakah Modernisme dan postmodernisme dipahami?
3) Bagaimanakah virus modern dan post moder ini meracuni mahasiswa?

4. METODE PENULISAN
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis-
normatif. Data diperoleh dari data sekunder berupa bahan hukum (primer, sekunder dan tersier),
dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif-kualitatif.

BAB II
ISI
Kebodohan Filsafat hidup manusia modern

Perubahan tersebut diatas dikenal sebagai perubahan sosial atau social change.
Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya, namun perubahannya hanya
mencakup kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, kecuali organisasi sosial
masyarakatnya. Perubahan sosial tersebut bardampak pada munculnya semangat-semangat
untuk menciptakan produk baru yang bermutu tinggi dan hal inilah yang menjadi dasar terjadinya
revolusi industri, serta kemunculan semangat asketisme intelektual. Menurut Prof
Sartono, asketisme dan expertise ini merupakan kunci kebudayaan akademis untuk menuju
budaya yang bermutu.

Sebagai homo faber, manusia mencipta dan bekerja, untuk memperoleh kepuasan
atau self fulfillment. Dalam kaca mata agama dan unsur untuk beribadah, suatu orientasi kepada
kepuasan batin dan menuju ke arah sesuatu yang transendental. Di sinilah yang disebut etos
bangsa itu muncul.

Pada kehidupan masyarakat modern, kerja merupakan bentuk eksploitasi kepada diri,
sehingga mempengaruhi pola ibadah, makan, dan pola hubungan pribadi dengan keluarga.
Sehingga dalam kebudayaan industri dan birokrasi modern pada umumnya, dipersonalisasi
menjadi pemandangan sehari-hari. Masyarakat modern mudah stres dan muncul penyakit-
penyakit baru yang berkaitan dengan perubahan pola makanan dan pola kerja. Yang terjadi
kemudian adalah dehumanisasi dan alienasi atau keterasingan, karena dipacu oleh semangat
kerja yang tinggi untuk menumpuk modal. Berger menyebutnya sebagai lonely crowd karena
pribadi menemukan dirinya amat kuat dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kebudayaan
industrialisasi, terus terjadi krisis. Pertama, kosmos yang nyaman berubah makna karena
otonomisasi dan sekularisasi sehingga rasa aman lenyap. Kedua masyarakat yang nyaman
dirobek-robek karena individu mendesakkan diri kepada pusat semesta, ketiga nilai kebersamaan
goyah, keempat birokrasi dan waktu menggantikan tokoh mistis dan waktu mitologi.

Para penganut paham pascamodern seperti Lyotard pernah mengemukakan perlunya


suatu jaminan meta-sosial, yang dengannya hidup kita dijamin lebih merdeka, bahagia, dan
sebagainya. Khotbah agung-nya (metanarasi) ini mengutamakan perlunya new sensibility bagi
masyarakat yang terjebak dalam gejala dehumanisasi budaya modern.

Kebiasaan dari masyarakat modern adalah mencari hal-hal mudah, sehingga


penggabungan nilai-nilai lama dengan kebudayaan birokrasi modern diarahkan untuk kenikmatan
pribadi. Sehingga, munculah praktek-peraktek kotor seperti nepotisme, korupsi, yang
menyebabkan penampilan mutu yang amat rendah.

Tetapi kita tidak serta merta menyalahkan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi karena fenomena-fenomena tersebut. Tidak pula secara spontan kita meninggalkan
kehidupan postmodern ini menjadi zaman batu atau kembali ke zaman primitif dan hal itupun
sepertinya susah untuk dilakukan mengingat manusia sangat tergantung dengan kebutuhan-
kebutuhan teknologi dan ilmu pengetahuan. dengan kata lain, manusia pada zaman postmodern
ini sungguh kurang beruntung keadaanya. Meskipun siapapun yang ada di dunia ini pasti
dibelenggu oleh hukum alam, penykit, usia tua dan kematian. Penderitaan karena penyakit,
kecemasan akan usia tua dan ketakutan akan kematian

Komparasi zaman modern dan postmodern

Sebelum kehidupan modern bermula, pemikiran masa pramodern[2] selalu


menempatkan Allah sebagai pusat dari segala pemikiran, kebudayaan dan masyarakat. Pusat dari
seluruh kehidupan manusia dan semua kreatifitas artistik adalah persoalan pertemuan
(encounter) dengan Allah. Persoalan manusiawi dalam era ini tidak bersifat independen dalam
diskusi mengenai filsafat dan keagamaan. Karena penekanan yang terlalu berlebihan pada aspek
ketuhanan ini, tidak heran jika kemudian kehidupan manusia dianggap hanya sebagai duniawi,
fana, dan keadaan sementara di tengah perjalanan kepada keberadaan yang nyata dalam
kekekalan dengan Allah.

Bermula dari Renaissance dan humanisme yang berhasil membuat perubahan yang radikal, tema
yang berpusat pada Tuhan berbelok ke arah manusia. Persoalan waktu dan materi menjadi
perhatian utama manusia. Dengan demikian Renaissance bermakna sebagai sebuah kelahiran
kembali keunikan Yunani dan Roma klasik, serta perhatian mereka akan pengajaran pra-
kekristenan dimana individu-individulah yang menjadi pusat perhatian. Humanisme berkembang
dengan menemukan pokok perhatian dalam dirinya sendiri.

Antropologi humanis pada bagian yang paling dasar menemukan bahwa seorang pribadi
memiliki kemampuan untuk belajar dan dapat diajar. Pengetahuan adalah segalanya; yang paling
diperlukan. Pendidikan menjadi tujuan utama yang harus diterima oleh setiap pribadi. Karena
setiap pribadi dapat bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik, maka humanisme modern sangat
bersifat optimistik. Filsafat egosentris ini secara kritis dikembangkan oleh Rene Descartes yang
mencari kejelasan mutlak dalam konsep keraguan. Descartes bukanlah seorang peragu tanpa
prinsip yang jelas yang berusaha menghancurkan kemutlakan-kemutlakan kebenaran, Ia
sungguh-sungguh menjadi seorang skeptis yang serius mencari kebenaran melalui metodenya
sendiri berdasarkan observasi empiris atau deduksi rasional. Pada akhirnya, kejelasan yang
diperoleh oleh Descartes hanyalah ada dalam dirinya sendiri sebagai kebenaran yang tidak dapat
disangkali: Cogito, ergo sum saya berpikir, karena itu, saya ada. Pendekatan Alasan (Reasoning)
Descartes ini serupa dengan karakteristik pemikiran modern yang kemudian berkembang menjadi
antroposentris. Perumusan dari manusia yang berpikir dan dunia yang mekanis membuka jalan
bagi ledakan pengetahuan dibawah panji-panji Program Pencerahan (Enlightment Project, istilah
Jurgen Habermas).[3]

Dalam masa reformasi, Luther pun secara langsung menentang pandangan antropologi
humanisme ini dalam tulisannya, De servo arbitrio. Dalam tulisan melawan Erasmus ini, Luther
mewaspadai keadaan keterhilangan manusia (dari hadapan Tuhan) dan kebergantungan kita
kepada karya keselamatan dari Tuhan sebagai kontras atas keangkuhan Erasmus yang
menganggap bahwa adalah mungkin untuk mengubah seseorang menjadi pribadi yang baik.[4]

Berangkat dari sini, dari masa pencerahan sampai abad modern, banyak pakar sudah
meramalkan bahwa suatu saat agama pasti akan mati. Namun, ramalan ini ternyata tidak pernah
menjadi kenyataan. Abad kedua puluh dibuka dengan debat teologis antara kelompok Modernis
dengan kelompok Fundamentalis. Pemikiran modernis mulai masuk dan menguasai mayoritas
gereja dan seminari-seminari. Tidak heran jika kemudian mereka berusaha membuang segala hal
yang berbau supranatural dari Alkitab. Standar pada rasio dan ilmu pengetahuan telah menyusup
masuk ke dalam kekristenan melalui teologi liberal yang berkembang seiring dengan modernisme.
Mukjizat, wahyu ilahi dan Allah yang tidak kelihatan disingkirkan dari iman kekristenan. Prinsip
penafsiran Historis-Kritis pun menjadi prinsip utama dalam penafsiran Alkitab.[5] Dengan
demikian, Alkitab pun tidak lagi dianggap berotoritas ilahi.

Di dunia yang sedemikian, cukup sulit bagi kekristenan untuk bertahan melawan segala
perlawanan rasional atas kekristenan yang sangat menekankan iman yang bersifat abstrak. Tidak
heran jika kemudian di dunia modern pula kekristenan banyak dipengaruhi oleh peranakan-
peranakan dari pemikiran modern, e.g. gerakan jaman baru.

Dari Modernisme ke Postmodernisme

Tantangan modernisme yang sedemikian menekan kekristenan belumlah usai ketika


gereja kemudian harus berhadapan dengan filsafat baru postmodernisme. Berbeda dengan
filsafat modern yang berusaha memutlakkan kebenaran hanya berdasarkan rasio dan ilmu
pengetahuan, postmodernisme justru memberikan pernyataan bahwa tidak ada kebenaran yang
bersifat mutlak dan universal. Posisi kekristenan menjadi lebih sulit karena sesungguhnya
pengaruh modern belum sepenuhnya lepas dan postmodernisme telah mulai menancapkan akar-
akarnya semakin dalam. Kekristenan seakan dipaksa berdiri dengan berpijak pada dua perahu
yang segera akan bersilang arah. Namun, sebelum berbicara lebih lanjut mengenai implikasi
permasalahan ini bagi kekristenan, kita perlu mengetahui lebih jelas mengenai filsafat
postmodernisme ini.

Pada dasarnya, postmodern muncul sebagai reaksi terhadap fakta tidak pernah
tercapainya impian yang dicita-citakan dalam era modern. Era modern yang berkembang antara
abad kelima belas sampai dengan delapan belas dan mencapai puncaknya pada abad sembilan
belas dan dua puluh awal memiliki cita-cita yang tersimpul dalam lima kata, yaitu: reason,
nature, happiness, progress dan liberty.[6] Semangat ini harus diakui telah menghasilkan
kemajuan yang pesat dalam berbagai bidang kehidupan dalam waktu yang relatif singkat.
Nampaknya, mimpi untuk memiliki dunia yang lebih baik dengan modal pengetahuan berhasil
terwujud. Namun, tidak lama, sampai kemudian ditemukan juga begitu banyak dampak negatif
dari ilmu pengetahuan bagi dunia. Teknologi mutakhir ternyata sangat membahayakan dalam
peperangan dan efek samping kimiawi justru merusak lingkungan hidup. Dengan demikian, mimpi
orang-orang modernis ini tidaklah berjalan sesuai harapan.

Rasionalitas modern gagal menjawab kebutuhan manusia secara utuh. Ilmu pengetahuan
terbukti tidak dapat menyelesaikan semua masalah manusia. Teknologi juga tidak memberikan
waktu senggang bagi manusia untuk beristirahat dan menikmati hidup. Di masa lampau, ketika
hanya ada alat-alat tradisional yang kurang efektif, semua orang mengharapkan teknologi canggih
akan memperingan tugas manusia sehingga seseorang dapat menikmati waktu senggang. Saat ini,
teknologi telah berhasil menciptakan alat-alat yang memudahkan kerja manusia. Seharusnya,
semua orang lebih senggang dibanding dulu, tetapi kenyataannya, justru semua orang lebih sibuk
dibanding dulu. Teknologiinstan yang ada saat ini justru menuntut pribadi-pribadi untuk lebih
bekerja keras untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari efektifitas yang diciptakan. Ironis.

Berangkat dari perbedaan mimpi dan kenyataan modernism inilah postmodern muncul
dan berkembang. Modernisme sesungguhnya sudah mendapat serangan dan kritik sejak
Friederich Nietzsche (1844-1900), namun serangan tersebut belum benar-benar diperhatikan
sebelum tahun 1970-an. Gerakan untuk menyingkirkan modernisme secara langsung datang
melalui kehadiran dekonstruksi sebagai sebuah teori sastra yang mempengaruhi aliran baru
dalam filsafat.[7] Dekonstruksi merupakan sebuah gebrakan awal untuk menentang teori
strukturalis dalam sastra yang mengatakan bahwa semua masyarakat dan kebudayaan
mempunyai struktur yang sama sehingga teks (hasil sastra) dapat dibaca dan dimengerti secara
universal. Dekonstruksi, dalam hal ini, menganggap bahwa tidaklah benar demikian. Makna
tidaklah terdapat dalam teks, tetapi pemaknaan muncul dari masing-masing pribadi yang
membaca teks. Secara tidak langsung, hal ini seakan menyatakan bahwa seorang penulis tidak
dapat menuntut haknya atas pemaknaan teks yang ditulisnya, semua orang boleh membaca teks
tersebut dan memaknainya sesuai dengan penafsiran masing-masing.

Dari teori sastra dekonstruksi, filsafat postmodern menerapkannya kepada realitas. Pemaknaan
sebuah realitas sah-sah saja dinilai berbeda oleh masing-masing orang. Tidak ada standar tertentu
untuk memaknai atau memahami suatu hal tertentu. Makna tidak lagi bernilai obyektif dalam
artian diterima secara universal. Pemaknaan menjadi subyektif; dan pemaknaan subyektif
menjadi kebenaran bagi pribadi bersangkutan. Karena itu, postmodernisme tidak mengakui
adanya satu kebenaran dan modernisme dianggap sebagai suatu kebodohan. Tidak ada makna
tunggal dalam dunia, tidak ada titik pusat dari realitas secara keseluruhan.

Dalam dunia postmodern, manusia tidak lagi percaya bahwa pengetahuan itu baik. Untuk
menghindari mitos Pencerahan, postmodernisme menggantikan optimisme dengan
pesimisme.[8] Harapan untuk mendapatkan hidup yang lebih baik di masa depan pun dianggap
kebohongan. Tidak heran jika banyak dikatakan bahwa era postmodern dimulai setelah proyek
rumah Pruitt-Igoe di St. Louis yang menjadi lambang arsitektur modern diledakkan dengan
sengaja oleh para penghuninya. Bangunan yang berusaha menjanjikan kehidupan yang lebih baik
bagi para penghuni rumah-susun itu dianggap tidak dapat menjawab kebutuhan penghuninya
secara utuh. Charles Jencks seorang arsitektur postmodernis mengatakan bahwa peristiwa
peledakan Pruitt-Igoe ini menandai kematian modernisme dan kelahiran postmodernisme.[9]

Walaupun ada cukup banyak pengaruh baru yang dimunculkan oleh postmodern dalam
berbagai aspek kehidupan, sangat penting diperhatikan bahwa gerakan baru ini bukanlah anti
terhadap hasil-hasil yang dicapai oleh era modern. Yang menjadi titik perlawanan postmodern
terhadap modernsime adalah cara pandang (worldview) dan filsafat modernis yang dianggap
gagal. Yang dilakukan kaum postmodernis pada intinya adalah pembongkaran cara pandang dan
asumsi-asumsi dasar dibalik segala cita-cita modern yang dilihatnya sebagai akar permasalahan
timbulnya berbagai bencana.[10] Karena itu, tidaklah salah jika dikatakan bahwa postmodern
lebih menunjuk pada suasana intelektual dan ekspresi kebudayaan yang mendominasi
masyarakat kini.

Tantangan Mahasiswa (kaum intelektual) dalam zaman modern dan post modern

Filsafat Modern sebagai Pemberontakan Intelektual. Di satu sisi, modernitas dianggap


sebagai disintegrasi intelektual. Filsafat modern lebih menampilkan dirinya sebagai anarkhi dan
kekacauan dari pada keutuhan dan ketertiban, sebuah kemerosotan intelektual. Di lain sisi,
filsafat modern dianggap sebagai emansipasi, sebuah kemajuan berpikir, dari kemandegan dan
pendewaan pemikiran metafisis yang mendukung sistem kekuasaan gerejawi tradisional. Pihak
kedua mendukung radikalisasi lebih lanjut, pemisahan ilmu pengetahuan dari filsafat. Hancurnya
metafisika tradisional disambut gembira Nietzsche, Kant, Comte, di lain pihak, Hegel dan Marx
ingin mengembalikan integrasi metafisis itu dari puing-puingnya.

Usaha melepas diri dari tradisi, filsafat modern meluncurkan tema-tema baru,
pengetahuan yang sekarang dikenal sebagai "ilmu pengetahuan modern", yakni ilmu-ilmu alam,
seperti Galileo, Bacon dan Descartes sangat menekankan "metode" untuk mengetahui. Kalau
filsafat tradisional ramai mempersoalkan kenyataan adikodrati (Allah, roh, dst), para filsuf
modern sibuk mempersoalkan cara untuk menemukan dasar pengetahuan yang sahih tentang
semua itu. Lambat laun minat refleksi akan Allah bergeser ke refleksi atas manusia dengan segala
kemampuan kodratinya. Jadi, teosentrisme bergeser ke antroposentrisme. Kemampuan manusia
sebagai subjektivitas, seperti: rasio, persepsi, afeksi, dan kehendaknya menjadi tema-tema
refleksi baru.

Di awal zaman modern, rumusan "Cogito ergo sum" dari Descartes bersesuaian dengan
interpretasi subjektif atas iman dari Luther. Jika pengetahuan dicapai oleh dirinya sendiri dan
iman ditafsirkan sendiri, yang dilawan di sini bukan hanya ajaran-ajaran resmi tentang
pengetahuan yang benar, melainkan juga praktik-praktik totaliter gereja Abad Pertengahan yang
dilegitimasikan ajaran-ajaran itu. Di abad ke-18, John Locke dan Adam Smith merumuskan hak-
hak milik yang menandai praktik-praktik ekonomi kapitalis zaman itu. Praktik-praktik yang lama
mendapat serangan gencar dari Marx yang memperlihatkan hak milik sehagai biang keladi
penindasan dalam masyarakat.

Dalam pergaulan hidup mahasiswa sekarang inilah adalah teknologi nformasi mengenai
facebook. Facebook banyak masyarakat dan para jurnalis disebut sebagai situs jejaring sosial. Namun
menurut profesor Sherry Turkle[11], Facebook malah berpotensi menjadikan orang anti sosial. Dia
menyatakan, situs seperti Facebook atau Twitter terlalu mendominasi kehidupan, membuat manusia
terisolasi dan kurang manusiawi.

Dalam bukunya, dia berargumentasi bahwa Facebook menghadirkan ilusi kemudahan


melakukan komunikasi dengan lebih baik. Namun justru teknologi malah mengisolasi orang dari
interaksi antar manusia yang nyata. Padahal realitas di dunia cyber adalah tiruan yang buruk dari dunia
sebenarnya.[12] Beliau juga menilai situs jejaring bisa membuat orang tergila-gila dan melakukan
berbagai kebiasaan tidak pantas. Misalnya tetap sibuk facebookan saat upacara pemakaman.

[1] Baca buku Prof Chandel.dikutip oleh buku Ali Shariati.TUGAS CENDIKIAWAN MUSLIM..P.T raja Grafindo
Persada Jakarta.1994.Hal 17.

[2] Penulis menyadari banyaknya pendapat yang berbeda mengenai pembagian periode
antara pramodern, modern, dan postmodern. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa terdapat
ketidaksepahamanmengenai kapan bermula dan berakhirnya masing-masing era. Dalam tulisan ini
penulis setuju dengan pendapat Hille, yang dimaksud dengan pramodern disini secara sederhana
berarti masa abad-abad permulaan sampai abad pertengahan (Rolf Hille, From Modernity to Post-
modernity: Taking Stock at the Turn of the Century, Evangelical Review of Theology 24/2 [2000] 117-
118).

[3] Stanley Grenz, A Primer on Postmodernism (Yogyakarta: Andi, 2001) 10.

[4] Hille, From Modernity 118.

[5]Gene Edward Veith, Postmodernisme: Spiritualitas Tanpa Kebenaran disadur oleh Gunung Maston
dari Postmodern Times: A Christian Guide to Contemporary Thought and Culture

[http://www.geocities.com/reformed_movement/artikel/spiritual.html]

[6] Surya, Mengenal Postmodern.

[7] Grenz, A Primer 13.


[8] Ibid. 16.

[9] Charles Jencks, The Language of Post-Modern Architecture, 4th ed. (London: Academy Editions,
1984) 9 [sebagaimana dikutip dalam ibid. 25].

[10] Surya, Mengenal Postmodern.

[11] Pendapat itu dikemukakan profesor Sherry Turkle, akademisi di Massachusetts Institute of Technology,
Amerika Serikat. Ia menulis buku 'Alone Together', yang mengkritik pemakaian situs jejaring sosial sebagai
sebuah bentuk kegilaan di zaman modern.

[12] Dikutip detikINET dari DailyMail, Senin (10/3/2011)

Kajian Kehidupan
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Posting Lebih BaruPosting Lama

You might also like