You are on page 1of 3

DELSIA APRILIASARI

ILMU POLITIK/071611333060

KEBEBASAN PENGGUNAAN SIMBOL KEAGAMAAN DI KANADA

Kanada adalah salah satu negara yang multikultur dengan sifat terbukanya terhadap
imigran dan juga kebebasan individual. Namun, salah satu hal yang menarik adalah hubungan
antara negara dan agama yang dinamis dan juga masih banyak menuai pujian maupun
kontroversi mengenai kontrol dan tindakan pemerintah terhadap isu-isu atau permasalahan yang
terkait dengan agama. Kebebasan agama adalah suatu hal yang dilindungi dan dijamin dalam
konstitusi negara. Salah satu landasan yang paling utama membahas akan hak warga negara
termasuk dalam kebebebasan beragama terdapat pada Canadian Charter of Rights and Freedom
1982 atau yang lebih sering disebut sebagai the charter. Meskipun memperoleh kemerdekaan
dari Inggris pada tahun 1931, Kanada tidak memperoleh otoritas terhadap konstitusi yang
berlaku hingga tahun 1982 dengan menghilangkan ketergantungan legal kepada Parlemen
Inggris untuk mendapatkan kedaulatan secara penuh.

Kebebasan beragama menjadi fokus utama pada bagian 2 didalam the charter karena
tertulis bahwa hal tersebut menjadi kebebasan mendasar atau fundamental disamping kebebasan
berpikir, ekspresi, press dan juga kebebasan hati nurani. Selain itu pada bagian 15 dimana
perlakuan yang sama di bawah hukum dan dalam perlindungan yang sama tanpa adanya
diskriminasi. Namun, yang patut diperhatikan adalah pada bagian 29, Canada secara konstitusi
masih menjamin hak-hak sekolah denominasi atau separate schools yang dimiliki oleh kaum-
kaum Katolik Roma dan Protesta serta tidak menjamin untuk agama-agama lainnya. Hal inilah
yang patut dipertanyakan mengenai Canada, apakah mereka benar-benar menjamin kebebasan
beragama atau masih menunjukkan adanya diskrimasi untuk beberapa kaum beragama.

Hal yang ingin saya bahas adalah mengenai pengaturan penggunaan pakaian beragama
atau menggunakan simbol-simbol keagamaan di publik. Meskipun dengan berlakunya the
Charter, masih terlihat adanya penolakan ataupun pertentangan baik dari masyarakat Canada
maupun pemerintah mengenai penggunaan simbol keagamaan di publik. Salah satunya adalah
kasus yang baru saja terjadi pada bulan Februari lalu kepada Rania El-Alloul yang ditolak
tuntutannya oleh juri di Quebec dikarenakan dia menggunakan hijab. Dalam rekaman yang di
liput oleh CBC News dimana Juri Eliana Marengo yang mengatakan Hats and sunglasses for
example, are not allowed. And I dont see why scarves on the head would be either,. Dari
pernyataan itu banyak yang berkomentar bahwa ruang sidang adalah ruang yang sekuler namun
dari perlakuan yang diterima oleh Rania, tak heran jika banyak yang menyatakan bahwa adanya
diskriminasi terhadap kaum beragama di Canada terutama di kota Quebec. Apalagi saat juri
tersebut membandingkan aksesori seperti kaca mata dan topi dengan salah satu simbol
keagamaan yang seharusnya tetap dihargai. Hal ini dikarenakan menurut pernyataan Raina
bahwa saat dia pertama kali tiba di Canada dan menjadi warga negara dengan mengucapkan
sumpah didepan juri, dia juga menggunakan hijab. Raina menyatakan kekecewaannya dengan
menyatakan bahwa perlakuan juri Eliana tidak humanis dan merasa kecewa sebagai warga
Canada. Bahkan Perdana Menteri Justin Trudeau juga menyatakan bahwa kejadian ini sangat
disayangkan dan tidak bisa diterima. Melalui Twitternya, Trudeau menyatakan All Canadians
deserve to have their rights protected, especially in a court of law. Lets remember who we are.

Sayangnya kasus ini bukanlah yang pertama terjadi di Canada meskipun telah berlakunya
the Charter. Pada tahun 1994, gadis 14 tahun Emilie Ouimet yang dikeluarkan oleh pihak
sekolah karena menolak untuk melepaskan hijabnya. Hal ini pun menarik perhatian media dan
bahkan mendapatkan dukungan dari Federasi Guru Quebec yang mendukung keputusan sekolah.
Kepala sekolah itu pun juga menyatakan bahwa menggunakan hijab dan simbol neo-Nazi bisa
mempolarisasi murid-murid disekolah. Hal itu berarti sama saja kepala sekolah membandingkan
penggunaan hijab dengan otoriarianisme dan rasisme yang menyebabkan ketakuran serta represi.
Kasus ini menuai banyak perhartian dan juga terlihat kontras antara media bahasa Inggris dan
juga Perancis. Media berbahasa Inggris menjadi supporter Emilie dengan menyatakan akan
kebutuhan untuk menghargai hak asasi dan hak individu. Menjadi perwakilan kelompok
minoritas Inggris yang menjadi subyek hegemoni warga keturunan Prancis di Quebec, press
Inggris menggunakan kasus Emilie sebagai kritik politik untu kepentingannya sendiri akan
kelompok Prancis dan gagalnya nasionalisme warga Quebec terhadap hukum Kanada.

Bukan hanya dengan hijab, pengalaman pelarangan turban terjadi kepada Baltej Singh
Dhillon yang merupakan imigran dari Malaysia. Saat dia mendaftaekan diri untuk menjadi polisi
RCMP dan menggunakan topi Stetson, dia harus memilih antara kepercayaannya dan
pekerjaannya. Namun, akhirnya dia diizinkan untuk menggunakan turbannya saat mengikuti
pelatihan kepolisiaan. Pada tahun 1990, pemerintah mengakhiri l arangan untuk menggunakan
Sikh di RCMP. Meskipun ada protes, tapi Dhillon mengatakan bahwa dia "bersedia menemui
orang-orang ini secara langsung dan mengatakan bahwa saya tidak berbeda dari mereka."

Sayangnya masih banyak kasus mengenai penggunaan simbol keagamaan di Canada dan
hal ini karena banyaknya masyarakat yang menganggap dirinya menjadi bagian komunitas
sekuler dan penggunaan simbol keagamaan seperti hijab dan turban itu merupakan suatu hal
yang tidak pantas. Tapi, harus tetap diperhatikan bahwa pelarangan-pelarangan tersebut adalah
pelanggaran hak individual dan selama orang tersebut tidak mengganggu ataupun menghina
kelompok lain.

You might also like