You are on page 1of 23

LAPORAN KASUS MEDIS

SIROSIS HEPATIS

Oleh:
dr. Oni Juniar Windrasmara

Pembimbing :
dr. Dewi Sulistyorini

DOKTER INTERNSIP PERIODE XVIII


RSUD BANYUDONO
B O Y O LA L I
2016
LAPORAN KASUS MEDIK
Borang portofolio
Nama peserta : dr. Oni Juniar Windrasmara
Nama Wahana : RSUD Banyudono Boyolali
Topik : Sirosis Hepatis
Tanggal (kasus) : Desember 2016
Pendamping : dr. Dewi Sulistyorini

Obyektif presentasi
Keilmuan Ketrampilan Penyegaran Tinjauan
Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa

Pasien
Neonatus Bayi Anak Dewasa
Lansia Bumil

Bahan Bahasan
Tinjauan pustaka Riset Kasus Audit

Cara membahas
Diskusi Presentasi Email Pos

Kasus
Deskripsi : Wanita usia 70 tahun, perut kembung dan membesar, mual, muntah, dan
kaki kanan dan kiri bengkak.
Tujuan : Menegakkan diagnosis, menetapkan manajemen sirosis hepatis, dan
mencegah komplikasi lebih lanjut

2
STATUS PENDERITA

I. Identitas Penderita
Nama : Nn. S
Umur : 70 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status nikah : Menikah
Alamat : Gerogol, Kecamatan Kemusu, Kabupaten Boyolali
No. RM : 0384xx
Masuk RS : 16 November 2016 (pukul 10.45 WIB)
Bangsal : Melati/II/Bed 6

II. Anamnesis
A. Keluhan Utama
Kembung
B. Keluhan Penyerta
Mual, muntah, dan kaki kanan-kiri bengkak

C. Riwayat Penyakit Sekarang (Autoanamnesis di IGD) :


Pasien wanita, usia 70 tahun, datang dibawa ke IGD RSUD Banyudono
pada tanggal 16 November 2016 dengan keluhan kembung. Kembung dirasakan
sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Kembung berlangsung terus menerus
dan tidak membaik. Kembung yang dirasakan pasien juga disertai perut semakin
membesar dan terasa penuh. Keluhan tersebut disertai mual dan muntah. Mual
dirasakan oleh pasien sepanjang hari sejak keluhan perut kembung muncul.
Pasien juga muntah setiap kali makan, pasien mengeluhkan setiap makan
perutnya terasa sangat penuh sehingga selalu muntah. Muntah berisi makanan
yang pasien konsumsi, muntah tidak bercampur darah, muntah juga tidak
berwarna kehijauan. Pasien mengaku tidak ada keluhan saat BAB. Riwayat

3
perdarahan saat BAB tidak ada dan BAB berwarna kehitaman seperti aspal tidak
ada. Pasien juga mengeluhkan BAK yang berwarna sedikit kemerahan seperti
teh sejak 2 hari SMRS. Keluhan ini baru dirasakan pertama kali oleh pasien
tersebut. Pasien tidak mengeluh nyeri saat BAK dan BAK bercampur darah
disangkal. Selain itu, pasien juga mengeluh kedua kaki kanan dan kiri
membengkak sejak 1 hari SMRS, keluhan ini dirasakan tiba-tiba oleh pasiennya.
Batuk dan pilek (-). Keluhan demam (-), penurunan nafsu makan (+).
Pasien mengaku keluhan seperti ini baru dirasakan oleh pasien pertama
kali. Sebelumnya belum pernah berobat di klinik maupun rumah sakit. Tidak
ada riwayat penyakit serupa dan penyakit lain sebelumnya. Pasien juga
mengaku tidak pernah menderita penyakit kuning sebelumnya. Pasien juga
mengaku tidak memiliki riwayat konsumsi jamu-jamuan, alkohol, obat-obat
nyeri dan obat-obat terlarang. Pasien mengaku bahwa keluhannya semakin
bertambah dan badan terasa semakin lemas. Kemudian pasien dan keluarganya
memutuskan untuk membawa pasien ke IGD RSUD Banyudono.

D. Riwayat Penyakit Dahulu :


1. Riwayat keluhan serupa : disangkal
2. Riwayat mondok : disangkal
3. Riwayat operasi sebelumnya : disangkal
4. Riwayat trauma : disangkal
5. Riwayat maag : disangkal
6. Riwayat hipertensi : disangkal
7. Riwayat DM : disangkal
8. Riwayat asma : disangkal
9. Riwayat transfusi darah : disangkal
10. Riwayat donor darah : disangkal

E. Riwayat Kebiasaan
1. Riwayat minum alkohol : disangkal
2. Riwayat minum jamu : disangkal
3. Riwayat minum obat bebas : disangkal
4. Riwayat merokok : disangkal

F. Riwayat Penyakit pada Anggota Keluarga


a. Riwayat penyakit dengan keluhan serupa : disangkal

4
b. Riwayat penyakit jantung : disangkal
c. Riwayat sakit liver : disangkal
d. Riwayat sakit gula : disangkal
e. Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal

G. Riwayat Gizi
Pasien makan jarang teratur 3 kali per hari, terkadang pasien hanya makan
sehari 1 kali dengan makanan utamanya adalah nasi, lauk-pauk, sayur, tempe,
dan sambal goreng. Semenjak sakit ini, nafsu makan pasien semakin berkurang.

H. Riwayat pekerjaan
Pasien adalah ibu rumah tangga dan terkadang membantu suami berkebun di
ladang.

I. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah seorang istri yang sehari-hari sebagai ibu rumah tangga
dirumah. Pasien tinggal di Gerogol, Kecamatan Kemusu, Kabupaten Boyolali.
Suami pasien bekerja sebagai petani di ladang.

III. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 16 November 2016 jam 10.45 WIB saat di
Bangsal Melati

5
A. Keadaan Umum : Tampak lemas, kesadaran compos mentis, gizi kesan
kurang, GCS : E4V5M6
B. Tanda Vital : Tensi : 90/60 mmHg
Nadi: 86 x/ menit, regular, isi dan tegangan cukup
Laju pernafasan : 28 x/menit
Frekuensi Respirasi : Suhu : 37,6 0C (per axiller)
C. Kulit : Warna sawo matang, turgor cukup, hiperpigmentasi
(-), kering (-), petechie (-), ikterik (-), bekas garukan
(-), pucat (-).
D. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, uban (-),
mudah rontok (-), luka (-), rontok (-), atrofi
M.Temporalis (-/-).
E. Mata : Mata cekung (-/-), konjunctiva pucat (-/-), sklera
ikterik (-/-), perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil
isokor dengan diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya
(+/+), edema palpebra (-/-), eksophtalmos (-/-),
strabismus (-/-).
F. Telinga : Membran timpani intak, sekret (-/-), darah (-/-), nyeri
tekan mastoid (-/-), nyeri tekan tragus (-/-), gangguan
fungsi pendengaran (-/-). Penurunan pendengaran (-/-)
G. Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-/-), epistaksis (-/-),
fungsi penghidu baik.
H. Mulut : Sianosis (-), gusi berdarah (-), bibir kering (-), pucat
(-), lidah tifoid (-), papil lidah atrofi (-), stomatitis (-),
luka pada sudut bibir (-).
I. Leher : trachea ditengah, simetris, pembesaran tiroid (-),
pembesaran limfonodi cervical (-), JVP tidak meningkat
J. Thorax : Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada
kanan = kiri, retraksi intercostal (-), spider nevi (-),
pernafasan torakoabdominal, sela iga melebar (-),
pembesaran KGB axilla (-/-), rambut ketiak rontok (-),
ginekomastia (-/-)
Jantung :
Inspeksi Iktus kordis tidak tampak
Palpasi Iktus kordis tidak teraba dan tidak kuat angkat
Perkusi Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal, reguler,
bising (-)
Pulmo :
Inspeksi Normochest, simetris, sela iga melebar (-), iga
mendatar (-), retraksi intercostal (-)
Palpasi Simetris. Pergerakan dada kanan=kiri, fremitus raba
kanan=kiri
Perkusi Sonor / Sonor
Auskultasi Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (-/-)
K. Punggung : kifosis (-), lordosis
6 (-), skoliosis (-), nyeri ketok
kostovertebra (-/-)
L. Abdomen
IV. Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan Laboratorium Darah
Pemeriksaan 9 Juni 2016 Satuan Rujukan
Hb 11,5 g/dl 12-16
Hct 36 % 36-47
AE 4,7 106 /mm3 3,5-5
AL 9,4 103 /mm3 4-10
AT 389 103/ mm3 150-400
M. Pembekuan menit <7
M. Perdarahan menit 1-3
Hitung Jenis Leukosit
Basofil % 0-1
Eosinofil % 1-4
Batang % 3-5
Segmen % 38-70
Limfosit % 20-40
Monosit % 2-10
Kimia
GDS g/dL 70-150
SGOT U/L <37
SGPT U/L <42
Ur Mg/dl 10-50
Cr Mg/dl 0,6-1,1
HbsAg
Serologi
Widal : O 1/320
H -

V. RESUME
Pasien datang dengan keluhan demam. Demam dirasakan sejak 5 hari yang
lalu dan berlangsung sepanjang hari dan memburuk (lebih tinggi) pada sore-malam
hari. Demam tersebut disertai nyeri kepala, nyeri ulu hati, mual dan muntah. Pasien
juga belum BAB sejak 4 hari yang lalu. Riwayat perdarahan tidak ada. Batuk, pilek

7
tidak ada. Pasien juga sulit BAB. BAB terakhir malam 4 hari SMRS, keras(-),
kehitaman(-). Keluhan demam (+), mual (+), muntah (+), penurunan nafsu makan
(+).
Pasien mengaku sering membeli jajanan di pinggir jalan dekat dengan
kampusnya. Terkadang pasien memiliki kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum
makan. Pasien kemudian memeriksakan diri ke dokter dua hari sebelum masuk RS.
Namun pasien mengaku tidak ada perbaikan..
Riwayat keluhan serupa dan riwayat makan tidak teratur diakui, riwayat
mondok, operasi, trauma, hipertensi, DM dan asma disangkal.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum penderita tampak lemah,


composmentis, gizi kesan cukup. Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan:
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 88 x/ menit, regular, isi dan tegangan cukup
Laju pernafasan : 22 x/ menit
Suhu : 37,7 0C (per axiller)
Pada pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan di epigastrium , hepar dan
lien tidak teraba. Dari pemeriksaan laboratorium darah didapatkan widal O adalah
1/320. Untuk pemeriksaan darah rutin, hitung jenis leukosit, kimia darah dalam batas
normal.

VI. DAFTAR MASALAH


Anamnesis
1. Demam 5 hari terutama sore-malam hari
2. Nyeri kepala
3. Nyeri ulu hati
4. Mual dan muntah
5. Sulit BAB
6. Penurunan nafsu makan
Pemeriksaan Fisik
7. Nyeri tekan di epigastrium
Pemeriksaan Penunjang
8. Widal O : 1/30.

8
VII. DIAGNOSIS BANDING
1. Dengue Fever
2. Malaria
VIII. DIAGNOSIS KERJA
Demam tifoid

IX. PENATALAKSANAAN
1. Modok RS (Rawat interna)
2. IVFD RL 20 tpm makro
3. Inj Ranitidin 1ampul 50mg/ 8jam
4. Inj ondansetron 1 ampul 4mg
5. Paracetamol 3x500mg
6. Kloramfenikol 4x500mg

X. PLANNING
Diagnosis
Konsul Dokter Spesialis Interna
Monitoring
Keadaan umum dan tanda vital tiap 12 jam
Balans cairan
Pemeriksaan penunjang laboratorium darah lengkap
Edukasi
Bedrest
Diet tinggi kalori tinggi protein bebas serat, mengutamakan lunak dan
mudah dicerna
Jaga kebersihan makanan dan perorangan

XI. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : ad bonam

9
PROGRESS REPORT

10 Juni 2016 11 Juni 2016


Subjektif Badan demam, lemas, pusing, Lemas, pusing, nyeri perut,
nyeri perut, mual (+) mual (+)
Objektif KU: tampak lemas, CM KU: sedang, CM
VS: VS:

10
T : 120/80 mmHg T : 130/80 mmHg
N : 120 x/menit N : 88 x/menit
Rr: 24 x/menit Rr: 20 x/menit
S : 39oC S : 37,8oC
Mata: CA (-/-), SI (-/-) Mata: CA (-/-), SI (-/-)
Cor: BJ I-II Reg Bising (-) Cor: BJ I-II Reg Bising (-)
Pulmo: SDV(+/+) ,ST (-/-) Pulmo: SDV(+/+) ,ST (-/-)
Abdomen: NT (+) epigastrium Abdomen: NT (+) berkurang di
Ektremitas : epigastrium
akral dingin - - Ektremitas :
- - akral dingin - -
Oedem - - - -
- - Oedem - -
- -

DIAGNOSIS - Demam tifoid - Demam tifoid

TERAPI - Inf RL 20tpm - Inf RL 20 tpm


- Inj ceftriaxone 1gr/12jam - Injeksi ceftriaxone 1 gr /12 jam
- Inj ondansetron 1ampul/12 jam - Inj ondansetron 1 amp/12 jam
- Paracetamol 3x500 mg - Ranitidine 2x150mg
- Ranitidine 2x150mg - Neurobat 3x1

12 Juni 2016 13 Juni 2016


Subjektif Lemas, pusing berkurang, mual Lemas (-), pusing (-), mual
beerkurang. sedikit
Objektif KU: sedang, CM KU: sedang, CM
VS: VS:
T : 130/80 mmHg T : 120/70 mmHg
N : 88 x/menit N : 88 x/menit

11
Rr: 24 x/menit Rr: 20 x/menit
S : 38,5oC S : 38,0oC
Mata: CA (-/-), SI (-/-) Mata: CA (-/-), SI (-/-)
Cor: BJ I-II Reg Bising (-) Cor: BJ I-II Reg Bising (-)
Pulmo: SDV(+/+) ,ST (-/-) Pulmo: SDV(+/+) ,ST (-/-)
Abdomen:NT(-) Abdomen:NT(-)
Ektremitas : Ektremitas :
akral dingin - - akral dingin - -
- - - -
Oedem - - Oedem - -
- - - -

DIAGNOSIS Demam Tifoid Demam Tifoid

TERAPI - IVFD RL 20 tpm - cefixime 2x100mg


- Inj Ceftriaxon 1 gram/ 12 jam - Ranitidin 2x150mg
- Inf Ondansetron 1amp/12 jam - Vometa FT 3x 10mg
- Ranitidin 2x150mg - Neurobat 3x1
- Neurobat 3x1

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Penyakit sistemik akut yang ditandai demam akut akibat infeksi
Salmonella sp (lebih dari 500 sp). Spesies yang sering dikenal di klinik adalah
Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, B, C

B. Epidemiologi
Demam tifoid masih dijumpai secara luas di berbagai negara
berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini
juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena

12
penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan
lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri
pengolahan makanan yang masih rendah.
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan
karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang
sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan
terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi
600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid
dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan
sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan
rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di
seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000
penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/tahun atau
sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.

C. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi), basil gram
negatif, berflagel, dan tidak berspora. S. typhi memiliki 3 macam antigen yaitu
antigen O (somatik berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel), dan
antigen Vi. Dalam serum penderita demam tifoid akan terbentuk antibodi
terhadap ketiga macam antigen tersebut.

Gambar 1. Salmonella Typhi

D. Patofisiologi
Masuknya kuman Salmonella
Typhi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi
kuman. Penelitian yang dilakukan terhadap sukarelawan menunjukkan dosis
infeksi organism adalah 105-109 organisme, dengan masa inkubasi berjarak

13
selama 4-14 hari, bergantung jumlah kuman yang dapat masuk. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk kedalam usus dan
selanjutnya berkembang biak. Seperti yang diketahui S.typhi menginvasi tubuh
dengan menembus mukosa usus ileum terminal, yang mungkin melalui antigen
sample sel yang dikhususkan yang diketahui sebagai sel M, yang melapisi usus,
berhubungan dengan jaringan limfoid, melalui enterosit atau melalaui rute
paraselular. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka
kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke
lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-
sel fagosit terutama olah makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak
didalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum distal dan
kemudian ke kelenjar getah bening mesenterica. Selanjutnya melalui duktus
torasikus kuman yang terdapat didalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi
darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke
seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ
ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar
sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi
mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan
gejala penyakit infeksi sitemik.
Didalam hati kuman masuk kedalam kandung empedu, berkembang
biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intemiten ke dalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi
kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis
kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi infeksi sitemik seperti demam,
malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental
dan koagulasi.
Didalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasia jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas
tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna
dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague peyeri yang sedang
mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear

14
didinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga
kelapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat
menempel direseptor endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti
gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan dan gangguan organ
lainnya.

Gambar 2. Patofisiologi Demam Tifoid


E. Manifestasi klinis
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 7-14 hari, namun ini
juga bergantung dosis infeksi (3-30 hari). Gejala-gejala klinis yang timbul

15
sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga
gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi.

Gambar 3. Perjalanan Penyakit Demam Tifoid


Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan
gejala serupa infeksi akut pada umumnya yaitu
Demam sekitar interminten/remiten
Lidah kotor, mulut kering, mual muntah
Gambaran gejala saluran nafas atas
Sakit kepala hebat, tampak apatis, lelah
Tidak enak di perut dan mungkin kontipasi/ diare, ditemukan splenomegali/
hepatomegali
Raseola mungkin ditemukan

Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa


Demam kontinyu
Bradikardi relatif (peningkatan suhu 1C tidak diikuti peningkatan denyut
nadi 8 kali permenit)
Keadaan penderita semakin menurun, apatis, bingung
Hepatomegali dan splenomegali,
Lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor)
dan kehilangan nafsu makan
Nyeri, distensi perut, meteorismus

Pada minggu ketiga dapat ditemukan gejala antara lain:


Suhu turun jika berhasil diobati tanpa komplikasi
Jika keadaan memburuk:
- Disorientasi, bingung, insomnia,
- Komplikasi perdarahan dan perforasi.

16
F. Penegakan diagnosis
Penegakan diagnosis demam tifoid dapat dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Namun diagnosis pasti dapat
ditegakkan dari hasil kultur darah. Hasil kultur darah menunjukkan 40-60%
positif pada pasien di awal penyakit dan kultur feses dan urin akan positif
setelah minggu pertama infeksi. Hasil kultur feses kadang-kadang juga positif
pada masa inkubasi. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk
menegakkan diagnosis demam tifoid tidak terlalu spesifik. Pada pemeriksan
darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, namun dapat pula terjadi
leukositosis atau kadar leukosit normal. Pemeriksaan widal juga dilakukan
dalam membantu penegakan diagnosis demam tifoid. Uji widal dilakukan
dengan mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Salmonella Typhi,
namun tes ini kurang spesifik dan sensitive. Karena bnyak hasil tes false-
negative dan false-positif terjadi.

Tes Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.typhi. pada
uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan
antibody yang disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah
suspense Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah dilaboratorium. Tujuan
uji widal adalah untuk menentukan adanya agluitinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu :
a). agglutinin O (dari tubuh kuman)
b). agglutinin H (flagella kuman)
c). agglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan
untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada
akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai
puncak pada minggu keempat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada
fase akut mula-mula timbul agglutinin O, kemudian diikuti dengan agglutinin H.
Pada orang yang telah sembuh agglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6
bulan, setelah agglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan.
Sekurang-kurangnya diperlukan dua bahan serum, yang diperoleh
dengan selang waktu 7-10 hari, untuk membuktikan adanya kenaikan titer

17
antibody. Serum yang tidak dikenal diencerkan berturut-turut (dua kali lipat) lalu
dites terhadap antigen Salmonella. Hasilnya ditafsirkan sebagai berikut :
1) Titer O yang tinggi atu kenaikan titer O ( 1 : 320) menunjukkan adanya
infeksi aktif.
2) Titer H yang tinggi ( 1 : 640) menunjukkan bahwa penderita itu
pernah divaksinasi atau pernah terkena infeksi.
3) Titer Vi yang tinggi terdapat pada beberapa pembawa bakteri

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu :


1) Pengobatan dini dengan antibiotik
2) Gangguan pembentukan antibodk dan pemberian kortikosteroid
3) Waktu pengambilan darah
4) Daerah endemik atau non endemik
5) Riwayat vaksinasi
6) Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan
demam tifoid akibat demam tifoid masa lalu atau vaksinasi
7) Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang
dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspense antigen.

Kultur darah
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S.
typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum.
Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah
ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada
stadium berikutnya di dalam urine dan feses.
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi
hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan
oleh hal-hal sebagai berikut :
1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah
telah mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media biakan
terhambat dan hasil mungkin negatif.
2) Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah
yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil
sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu
(oxgall) untuk pertumbuhan kuman

18
3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi dimasa lampau menimbulkan antibody dalam
darah psien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga
biakan darah dapat negatif.
4) Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin
semakin meningkat.

G. Penatalaksanaan
Penegakan diagnosis awal demam tifoid dan penatalkasaan yang tepat
merupakan hal yang penting. Sebagian besar anak-anak dengan tifoid dapat
dirawat dirumah dengan antibiotic oral dan dilakukan follow-up utnuk
mengikuti perkembangan penyakit dan melihat apakah ada komplikasi atu
kegagalan terapi. Pasien dengan muntah yang persisten, diare berta dan distensi
abdomen memerlukan perawatan di rumah sakit dan terapi antibiotic parenteral.
Secara umum terdapat tiga prinsip penatalaksanaan demam tifoid.
Istirahat yang adekuat, hydrasi dan pengobatan penting untuk mengoreksi
ketidakseimbangan cairan-elektrolit. Terapi antipiretik (aceminophen 120-750
mg stiap 4-6 jam PO) harus diberikan jika diperlukan. Makanan yang lunak,
harus dilanjutkan pada pasien distensi abdomen atau ileus. Terapi antibiotic
penting untuk meminimalisir komplikasi. Pengggunaan chloramphenicol atau
amoxicillin diketahhui mempunyai angka kekambuhan masing-masing 5-15%
dan 4-14%. Penggunaan antibiotik untuk demam tifoid pada anak juga
dipengaruhi oleh prevalensi dari resistensi antimikroba. Berikut adalah antibiotik
yang biasa digunakan pada demam tifoid. Sebagai tambahan untuk antibiotik,
terapi suportif juga penting dan pemeliharaan keseimbangan cairan dan
elektrolit juga harus diperhatikan.
Pemberian terapi tambahan dengan dexametason(3mg/kgBB dosis awal,
diikuti 1 mg/kg setiap 6 jam selama 48 jam) telah diekomendasikan pada pasien
dengan syok, penurunan kesadaran, stupor atau koma, hal ini harus dilakukan
dengan pengawasan .

19
Gambar 4. Pengobatan pada demam tifoid

20
Gambar 5. Antibiotik yang direkomendasi untuk demam tifoid

H. Komplikasi
Komplikasi pada demam tifoid dibagi menjadi komplikasi intestinal dan
ekstraintestinal.
- Intestinal : peritonitis, perdarahan intestinal dan perforasi
- Ekstraintestinal : ensefalitis, pneumonia, meningitis, osteomielitis,
hepatitis.

I. Pencegahan
- Higiene peorangan dan lingkungan
Demam tifoid ditularkan melalui rute fekal-oral, maka pencagahan utama
memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan higiene perorangan dan
lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih,
dan penanganan pembuangan limbah feses.

- Imunisasi
Imunisasi aktif terutama diberikan bila terjadi kontak dengan pasien demam
tifoid, terjadi kejadian luar biasa dan untuk turis yang bepergian ke daerah
endemik.
o Vaksin polisakarida (capsular Vi polysacharide), pada usia 2 tahun atau
lebih diberikan secara intramuscular dan diulang setiap 3 tahun.
o Vaksin tifoid oral , diberikan pada usia >6 tahun dengan interval selang
sehari (hari 1,3 dan 5), ulangan setiap 3-5 tahun. Vaksin ini belum
beredar di Indonesia, terutama direkomendasikan untuk turis yang
bepergian ke daerah endemik.

21
J. Prognosis
Prognosis terhadap pasien demam tifoid bergantung kepada kecepatan
penegakan diagnosis dan ketepatan terapi antibiotik. Faktor lain yang
mempengaruhi meliputi umur pasien, status kesehatan dan nutrisi, serotype
Salmonella dan munculnya komplikasi. Meskipun terapi yang didapat tepat, 2-
4% anak yang terinfeksi dapat kambuuh setelah respon awal terapi. Individu
yang mengekskresikan S.typhi 3bulan setelah infeksi dianggap sebagai karier
kronik. Bagaimanapun resiko untuk menjadi karier rendah pada anak-anak dan
meningkat dengan bertambahnya umur, namun secara umum < 2% dari semua
anak yang terinfeksi.

DAFTAR PUSTAKA

Background Document.2003.The Diagnosis, Treatment and Prevention of


Thypoid Fever. Comunicable Disease Surveillance and Response
Vaccinase and Biologicals. WHO.

Bhutta ZA. 2006.Clinical Review. Current Concepts in the Diagnosis and


Treatment of Thypoid Fever. BMJ; 333: 78-82

Braunwald. 2008.Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th Edition, New


York,

Brush, John L. 2009. Typhoid Fever, in http:// emedicine.medscape.com/article


231135-overview dikunjungi pada 20 Februari 2011.

Jawetz Ernest et al. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Alih Bahasa : Nugroho Edi,
Maulani RF. Jakarta EGC

Ranjan L.Fernando et al. 2001. Tropical Infectious Diseases Epidemiology,


Investigation, Diagnosis and Management, London,;45:270-272

22
Widodo Djoko. 2007. Demam Tifoid didalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III edisi IV. Jakarta FKUI

23

You might also like