Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
dr. Ryandika Aulia Oktorizal
Pembimbing :
dr. Dewi Sulistyorini
Obyektif presentasi
Keilmuan Ketrampilan Penyegaran Tinjauan
Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Pasien
Neonatus Bayi Anak Dewasa
Lansia Bumil
Bahan Bahasan
Tinjauan pustaka Riset Kasus Audit
Cara membahas
Diskusi Presentasi Email Pos
Kasus
Deskripsi : bayi 4 bulan dengan keluhan kejang berulang tanpa demam, dan tiap
BAK ujung penis menggelembung.
Tujuan : Menegakkan diagnosis, dan menetapkan manajemen kejang berulang.
2
STATUS PENDERITA
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. M. F
Umur : 4 bln
Jenis Kelamin : Laki - Laki
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pekerjaan : -
Alamat : Batan Banyudono Boyolali
No. RM : 011515
Masuk RS : 01 September 2014
Bangsal : Kelas III/ Mawar
3
MRS Pasien di bawa ke IGD RSUD Banyudono oleh keluarganya.
Kondisi sadar, aktif dan tidak dalam keadaan kejang, demam (-), batuk (-),
pilek (-), mual (-), muntah (-), bintik merah pada kulit (-), mimisan (-), gusi
berdarah (-).
E. Genogram
Keterangan :
: Laki-laki
: Perempuan
4
: Pasien
F. Riwayat Pribadi
1) Riwayat kehamilan dan persalinan
a. Riwayat kehamilan ibu pasien
Ibu G2P1A0 Hamil saat usia 30 tahun. Ibu memeriksakan kehamilannya
rutin ke bidan. Ibu tidak pernah mual dan muntah berlebihan, tidak ada
riwayat trauma maupun infeksi saat hamil, sesak saat hamil (-), Merokok
saat hamil (-), kejang saat hamil (-). Ibu hanya minum obat penambah
darah dan vitamin dari bidan. Tekanan darah ibu dinyatakan normal.
Berat badan ibu dinyatakan normal dan mengalami kenaikan berat badan
selama kehamilan. Perkembangan kehamilan dinyatakan normal.
b. Riwayat persalinan ibu pasien
Ibu melahirkan pasien dibantu oleh bidan, umur kehamilan 9 bulan,
persalinan normal, presentasi kepala, bayi langsung menangis dengan
berat lahir 3600 gram dan panjang 52 cm, tidak ditemukan cacat bawaan
saat lahir.
c. Riwayat paska lahir pasien
Bayi laki-laki BB 3600 gr, setelah lahir langsung menangis, gerak aktif,
warna kulit kemerahan, tidak ada demam atau kejang. ASI tidak langsung
keluar, bayi dilatih menetek pada hari ke 2.
2) Riwayat Makanan
0-4 bulan : ASI
5
4) Vaksinasi
Jenis I II III IV V VI
HEPATITIS B 0 bulan 2 bulan - - - -
BCG 1 bulan - - - - -
DPT 2 bulan - - - - -
6
IV. PEMERIKSAAN FISIK
7
Thorax : Simetris, retraksi (-), ketinggalan gerak (-)
Cor
- Inspeksi : ictus cordis tampak
- Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
- Perkusi : Auskultasi : BJ I-II intensitas reguler (+), bising jantung
(-)
Pulmo :
Kanan DEPAN Kiri
Simetris(+), retraksi (-) Inspeksi Simetris (+),retraksi (-)
Ketinggalan gerak (-), fremitus Palpasi Ketinggalan gerak (-), fremitus
(+) (+)
Sonor Perkusi Sonor
SDV normal, Rh (-), Wh (-) Auskultasi SDV normal, Rh (-), Wh (-)
Kanan BELAKANG Kiri
Simetris (+) Inspeksi Simetris (+)
Ketinggalan gerak (-), fremitus Palpasi Ketinggalan gerak (-), fremitus
(+) (+)
Sonor Perkusi Sonor
SDVnormal, Rh (-), Wh (-) Auskultasi SDVnormal, Rh (-), Wh (-)
8
Reflek patologis - -
Tonus Normal Normal
Klonus - -
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Laboratorium Darah
9
4. Tumor Otak
5. Gangguan Metabolik
DD preputium menggembung
1. Fimosis
2. Parafimosis
PROGRESS REPORT I
10
Subjektif Kejang 4x Kejang 1x
Objektif N : 120 x/menit N : 124 x/menit
Rr: 28 x/menit Rr: 28 x/menit
S : 37,1C S : 36,4C
Status gizi : baik Status gizi : baik
K/L : ca(-/-), si(-/-), pkgb (-) K/L : ca(-/-), si(-/-), pkgb (-)
Thorax : sdv (+/+), Rh (-/-), wh Thorax : sdv (+/+), Rh (-/-), wh
(-/-), BJ I/II murni reguler (-/-), BJ I/II murni reguler
Abdomen: distensi (-), NT (-) Abdomen: distensi (-), NT (-)
Ekstremitas : akral hangat Ekstremitas : akral hangat
X. RENCANA EDUKASI
1. Menjelaskan kepada orang tua pasien mengenai penyakit yang diderita pasien.
2. Menjelaskan kepada orang tua jika terjadi kejang sewaktu-waktu untuk tidak
panik dan menyediakan sendok untuk mencegah lidah tidak tergigit saat kejang.
3. Hindari faktor pencetus.
4. Minum obat secara teratur dan rutin
5. Kontrol pengobatan
XI. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad malam
11
TINJAUAN PUSTAKA
A. KEJANG
1. Definisi
Kejang adalah manifestasi klinis yang disebabkan oleh lepasnya muatan
listrik di neuron. Kejang dapat disertai oleh gangguan kesadaran, tingkah
laku, emosi, motorik, sensorik dan atau otonom.
2. Etiologi
Kejang dapat disebabkan oleh berbagai macam termasuk tumor otak ,
trauma, bekuan darah pada otak, meningitis, ensefalitis, gangguan elektrolit,
gejala putus alkohol dan gangguan metabolik, sebagian kejang merupakan
idiopatik.
a. Intrakranial
Asfiksia : Ensefalitis, hipoksia iskemik
Trauma (perdarahan) : Perdarahan sub araknoid, sub dural atau intra
ventricular
Infeksi : Bakteri, virus, dan parasit
b. Ekstrakranial
Gangguan metabolik :Hipoglikemia, hiponatremia, hipoksemia,
hipokalsemia, gangguan elektrolit, gagal
ginjal
12
Toksik : Intoksikasi anestesi lokal, sindrom putus obat
c. Idiopatik
3. Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak
diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk
metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah
oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru dan
diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak
adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air.
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam
adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal
membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan
sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion
klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan
sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar
sel, maka terdapat perbedaan yang disebut potensial membran dari sel neuron.
Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan
bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya :
1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
2. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau
aliran listrik dari sekitarnya.
3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 100C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%.
Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh
tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada
kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari
membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion
kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya
lepas muatan listrik.
13
Lepas muatan ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel
maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut
neurotransmiter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang
yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seseorang
anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan
ambang kejang yang rendah, kejang terjadi pada suhu 38 0C sedangkan pada
anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40 0C
atau lebih.
Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang
demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam
penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita
kejang. Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak
berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi padakejang yang
berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anaerob, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak
teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan meningkatnya aktivitas
otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat.
Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga terjadinya
kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting
adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga
meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial
lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama
dapat menjadi matang di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi
yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan
kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsi.
4. Klasifikasi kejang
Kejang yang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus
badan dan tungkai dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu : kejang,
klonik, kejang tonik dan kejang mioklonik.
a. Kejang Tonik
14
Kejang ini biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat badan
rendah dengan masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi dengan
komplikasi prenatal berat. Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa
pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan
ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi
tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi. Bentuk
kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di bedakan dengan sikap
epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat karena infeksi
selaput otak atau kernikterus.
b. Kejang Klonik
Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan
pemulaan fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Bentuk klinis
kejang klonik fokal berlangsung 1 3 detik, terlokalisasi dengan baik,
tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase
tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat
trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati
metabolik.
c. Kejang Mioklonik
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi
lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat.
Gerakan tersebut menyerupai reflek moro. Kejang ini merupakan
pertanda kerusakan susunan saraf pusat yang luas dan hebat. Gambaran
EEG pada kejang mioklonik pada bayi tidak spesifik.
5. Manifestasi Klinis
a. Kejang parsial ( fokal, lokal )
1. Kejang parsial sederhana
Kesadaran tidak terganggu, dapat mencakup satu atau lebih hal berikut
ini :
15
a.) Tanda tanda motoris, kedutan pada wajah, atau salah satu sisi
tanda atau gejala otonomik: muntah, berkeringat, muka merah,
dilatasi pupil.
b.) Gejala somatosensoris atau sensoris khusus : mendengar musik,
merasa seakan jatuh dari udara, parestesia.
c.) Gejala psikis : dejavu, rasa takut, visi panoramik.
d.) Kejang tubuh; umumnya gerakan setiap kejang sama.
2. Parsial kompleks
a.) Terdapat gangguan kesadaran, walaupun pada awalnya sebagai
kejang parsial simpleks
b.) Dapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik : mengecap
ngecapkan bibir,mengunyah, gerakan menongkel yang berulang
ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya.
c.) Dapat tanpa otomatisme : tatapan terpaku.
b. Kejang umum ( konvulsi atau non konvulsi )
1. Kejang absens
a.) Gangguan kewaspadaan dan responsivitas
b.) Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung
kurang dari 15 detik
c.) Awitan dan akhiran cepat, setelah itu kempali waspada dan
konsentrasi penuh
2. Kejang mioklonik
a.) Kedutan kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot
yang terjadi secara mendadak.
b.) Sering terlihat pada orang sehat selama tidur tetapi bila patologik
berupa kedutan kedutan sinkron dari bahu, leher, lengan atas dan
kaki.
c.) Umumnya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi dalam
kelompok
d.) Kehilangan kesadaran hanya sesaat.
3. Kejang tonik klonik
a.) Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik, kaku umum
pada otot ekstremitas, batang tubuh dan wajah yang berlangsung
kurang dari 1 menit
b.) Dapat disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih
c.) Saat tonik diikuti klonik pada ekstrenitas atas dan bawah.
d.) Letargi, konvulsi, dan tidur dalam fase postictal
4. Kejang atonik
a.) Hilangnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan
kelopak mata turun, kepala menunduk,atau jatuh ke tanah.
b.) Singkat dan terjadi tanpa peringatan.
16
6. Penatalaksanaan
B. EPILEPSI
1. Definisi
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan
tidak terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International
Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai
suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat
mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis
dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan
sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya.
Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi > 30 menit atau kejang
berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran kesadaran diantara dua serangan
kejang.
2. Etiologi
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
17
a) Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi 50% dari
penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik,
awitan biasanya pada usia > 3 tahun. Dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan dan ditemukannya alat alat diagnostik yang canggih
kelompok ini makin kecil.
b) Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf
pusat. Misalnya: post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP),
gangguan metabolik, malformasi otak kongenital, asfiksia neonatorum, lesi
desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat),
kelainan neurodegeneratif.
c) Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum
diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut
dan epilepsi mioklonik.
3. Klasifikasi
Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut International League
Against Epilepsy (ILAE) 1981:
A. Kejang Parsial (fokal)
a. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1.) Dengan gejala motorik
2.) Dengan gejala sensorik
3.) Dengan gejala otonomik
4.) Dengan gejala psikik
b. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
1.) Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
a.) Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
b.) Dengan automatisme
2.) Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang
a.) Dengan gangguan kesadaran saja
b.) Dengan automatisme
c. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik-
klonik, tonik atau klonik)
1.) Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum
2.) Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
3.) Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks,
dan berkembang menjadi kejang umum
B. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)
a. Lena/ absens
b. Mioklonik
c. Tonik
d. Atonik
e. Klonik
f. Tonik-klonik
18
C. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan
4. Patofisiologi
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan
transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter
eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan
neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf
dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih
stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-
neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan
asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma
amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas
muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan
istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada
dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi
membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik.
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui
oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan
mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik
berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh
sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi.
Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti
akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-
neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan
pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus
berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan
suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya
zat-zat yang penting untuk fungsi otak.
5. Tanda dan Gejala Klinis
1. Kejang parsial simplek
Serangan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami
gejala berupa:
- deja vu : perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama
sebelumnya.
19
- Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat
dijelaskan
- Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada
bagian tubih tertentu.
- Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu
- Halusinasi
2. Kejang parsial (psikomotor) kompleks
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya
bertahan lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan
kemungkinan besar tidak akan mengingat waktu serangan. Gejalanya
meliputi:
- Gerakan seperti mencucur atau mengunyah
- Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan
pakaiannya
- Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling
dalam keadaan seperti sedang bingung
- Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang
- Berbicara tidak jelas seperti menggumam.
3. Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal).
Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap:
tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan
jenis ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja.
Serangan jenis ini biasa didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan
yang dialami sebelum serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal,
kunang-kunang, telinga berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat:
kehilangan kesadaran, kehilangan keseimbangan dan jatuh karena otot
yang menegang, berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi bagian
dalam atau lidah. Pada saat fase klonik: terjadi kontraksi otot yang
berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air besar yang tidak
dapat dikontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa
lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.
6. Diagnosis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik
dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis.
a. Anamnesis
20
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh.
Anamnesis menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan
kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler
dan penggunaan obat-obatan tertentu. Anamnesis (auto dan aloanamnesis),
meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekuensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
b. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan
kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus
menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan
riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anakanak pemeriksa harus
memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali,
perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan
pertumbuhan otak unilateral.
c. Pemeriksaan penunjang
1.) Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
rnenegakkan diagnosis epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah gold
standard untuk diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung
oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan
umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik
atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.
a.) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di
kedua hemisfer otak.
21
b.) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat
dibanding seharusnya misal gelombang delta.
c.) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya
gelombang tajam, paku (spike) , dan gelombang lambat yang
timbul secara paroksimal.
22
23
C. FIMOSIS
Definisi
Fimosis adalah suatu kelainan dimana prepusium penis yang tidak dapat
di retraksi (ditarik) ke proksimal sampai ke korona glandis. Fimosis dialami
oleh sebagian besar bayi baru lahir karena terdapat adhesi alamiah antara
prepusium dengan glans penis.
Etiologi
Fimosis dapat timbul kemudian setelah lahir. Hal ini berkaitan
dengan tingkat higienitas alat kelamin yang buruk, peradangan kronik glans penis
dan kulit preputium (balanoposthitis kronik), atau penarikan berlebihan kulit
preputium (forceful retraction).Pada fimosis kongenital umumya terjadi akibat
terbentuknya jaringan parut di prepusium yang biasanya muncul karena
sebelumnya terdapat balanopostitis. Apapun penyebabnya, sebagian besar fimosis
disertai tanda-tanda peradangan penis distal.
Sedangkan fimosis pada bayi laki-laki yang baru lahir biasanya terjadi
karena ruang di antara kutup dan penis tidak berkembang dengan baik. Kondisi ini
menyebabkan prepusium menjadi melekat pada glans penis, sehingga sulit ditarik
ke arah proximal. Apabila stenosis atau retraksi tersebut ditarik dengan paksa
melewati glans penis, sirkulasi glans dapat terganggu hingga menyebabkan
kongesti, pembengkakan, dan nyeri distal penis atau biasa disebut parafimosis.
Sedangkan parafimosis biasanya karena menarik (retraksi) prepusium ke
24
proksimal biasanya dilakukan pada saat bersenggama/masturbasi atau sehabis
pasang kateter.
Patogenesis
Fimosis dialami oleh sebagian besar bayi baru lahir karena terdapat adesi
alamiah antara preputium dengan glans penis. Hingga usia 3-4 tahun penis
tumbuh dan berkembang dan debris yang dihasilkan oleh epitel preputium
(smegma) mengumpul didalam preputium dan perlahan-lahan memisahkan
preputium dari glans penis. Ereksi penis yang terjadi secara berkala membuat
preputium terdilatasi perlahan-lahan sehingga preputium menjadi retraktil dan
dapat ditarik ke proksimal.
Fimosis pada bayi laki-laki yang baru lahir terjadi karena ruang di antara
kutup dan penis tidak berkembang dengan baik. Kondisi ini menyebabkan kulup
menjadi melekat pada kepala penis, sehingga sulit ditarik ke arah pangkal.
Penyebabnya bisa dari bawaan dari lahir, atau didapat, misalnya karena infeksi
atau benturan.
Manifestasi Klinis
Fimosis menyebabkan gangguan aliran urin berupa sulit kencing, pancaran
urine mengecil, menggelumbungnya ujung prepusium penis pada saat miksi, dan
menimbulkan retensi urine. Higiene lokal yang kurang bersih menyebabkan
terjadinya infeksi pada prepusium (postitis), infeksi pada glans penis (balanitis)
atau infeksi pada glans dan prepusium penis (balanopositis).
Kadangkala pasien dibawa berobat oleh orang tuanya karena ada benjolan
lunak di ujung penis yang tak lain adalah korpus smegma yaitu timbunan smegma
di dalam sakus prepusium penis. Smegma terjadi dari sel-sel mukosa prepusium
dan glans penis yang mengalami deskuamasi oleh bakteri yang ada di dalamnya.
1. Penis membesar dan menggelembung akibat tumpukan urin
2. Kadang-kadang keluhan dapat berupa ujung kemaluan menggembung saat
mulai buang air kecil yang kemudian menghilang setelah berkemih. Hal
tersebut disebabkan oleh karena urin yang keluar terlebih dahulu tertahan
dalam ruangan yang dibatasi oleh kulit pada ujung penis sebelum keluar
melalui muaranya yang sempit.
25
3. Biasanya bayi menangis dan mengejan saat buang air kecil karena timbul rasa
sakit.
4. Kulit penis tak bisa ditarik kearah pangkal ketika akan dibersihkan
5. Air seni keluar tidak lancar. Kadang-kadang menetes dan kadang-kadang
memancar dengan arah yang tidak dapat diduga
6. Bisa juga disertai demam
7. Iritasi pada penis.
8. Pada kasus Parafimosis biasanya kulup tertarik ke belakang kepala penis
disertai udem, jeratan, dan nyeri pada penis
Tata Laksana
Tidak dianjurkan melakukan dilatasi atau retraksi yang dipaksakan pada
penderita fimosis, karena akan menimbulkan luka dan terbentuk sikatriks pada
ujung prepusium sebagai fimosis sekunder. Fimosis yang disertai balanitis
xerotika obliterans dapat dicoba diberikan salep deksametasone 0,1% yang
dioleskan 3 atau 4 kali. Diharapkan setelah pemberian selama 6 minggu,
prepusium dapat retraksi spontan.
Bila fimosis tidak menimbulkan ketidaknyamanan dapat diberikan
penatalaksanaan non-operatif, misalnya seperti pemberian krim steroid topikal
yaitu betamethasone selama 4-6 minggu pada daerah glans penis.
Pada fimosis yang menimbulkan keluhan miksi, menggelembungnya ujung
prepusium pada saat miksi, atau fimosis yang disertai dengan infeksi postitis
merupakan indikasi untuk dilakukan sirkumsisi. Tentunya pada balanitis atau
postitis harus diberi antibiotika dahulu sebelum dilakukan sirkumsisi.
Fimosis yang harus ditangani dengan melakukan sirkumsisi bila terdapat
obstruksi dan balanopostitis. Bila ada balanopostitis, sebaiknya dilakukan sayatan
dorsal terlebih dahulu yang disusul dengan sirkumsisi sempurna setelah radang
mereda.
Komplikasi
Ada beberapa komplikasi yang dapat timbul akibat fimosis, yaitu :
Ketidaknyamanan/nyeri saat berkemih
Akumulasi sekret dan smegma di bawah preputium yang kemudian terkena
infeksi sekunder dan akhirnya terbentuk jaringan parut.
Pada kasus yang berat dapat menimbulkan retensi urin.
26
Penarikan prepusium secara paksa dapat berakibat kontriksi dengan rasa nyeri
dan pembengkakan glans penis yang disebut parafimosis.
Pembengkakan/radang pada ujung kemaluan yang disebut ballonitis.
Timbul infeksi pada saluran air seni (ureter) kiri dan kanan, kemudian
menimbulkan kerusakan pada ginjal.
Fimosis merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kanker penis.
DAFTAR PUSTAKA
Abdoerrachman, M.H, M.B. Affandi, S. Agusman, dkk., Buku Kuliah Ilmu Kesehatan
Anak, edisi ke-3, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, Jakarta, 1991, 1229-1232.
Hardiono D. Pusponegoro, dkk., Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, edisi I,
Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta, 2004, 351-354.
Kliegman. Treatment of Epilepsy Nelson Textbook of Pediatrics. Philadelphia:
Saundres Elsevier. 2008. 593(6)
Latief A, Chair I, dkk., Diagnosis Fisis Pada Anak, edisi ke-2, Sagung Seto, Jakarta,
2003.
NurMantu, Farid. 2008. Catatn Kuliah Bedah Anak. Jakarta. EGC
Setyabudhy, Mangunatmaja I., 2013. Buku Ajar Pediatrik Gawat Darurat : Kejang.
Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
http://www.epilepsy.ca/eng/content/sheet.html diakses tanggal 10 September 2014
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15816939 diakses tanggal 10 September 2014
http://epilepsiindonesia.com/pengobatan/epilepsi-dan-anak/pahami-gejala-epilepsi-
pada-anak-2 diakses tanggal 10 September 2014
http://www.epilepsysociety.org.uk/AboutEpilepsy/Whatisepilepsy/Causesofepilepsy
diakses tanggal 10 September 2014
27
28