You are on page 1of 25

KOMUNIKASI INSEKTA DAN METODE ORIENTASI ALTERNATIF

MAKALAH

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Biofisika


Yang Dibina oleh Ibu Vita Ria Mustika S. Pd, M. Pd.
dan Ibu Novida Pratiwi S. Si. M. Sc.

Oleh
Kelompok 9 OFF B

Nikita Arista Pujianto 140351601084


Nuris Afisah 140351602170

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPA
November 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pada dasarnya komunikasi adalah suatu interaksi yang terjadi antar
satu organisme dengan organisme lainnya tetapi jika tidak ada tanggapan dari
salah satu organisme maka tidak dapat dikatakan sebuah komunikasi. Jadi,
dibutuhkan sebuah tanggapan untuk dapat dikatakan sebuah komunikasi.
komunikasi pada makhluk hidup terkadang membutuhkan energi yang cukup
besar sehingga dapat menghasilkan respon dari lawannya dan setiap
organisme memiliki cara yang unik serta berbeda-beda untuk berkomunikasi
sesuai dengan jenisnya. perbedaan cara berkomunikasi disetiap makhluk
hidup dapat terlihat antara manusia dan hewan, jika manusia berkomunikasi
dapat menggunakan bahasa dengan kata-kata yang dirangkai menjadi sebuah
kalimat serta komunikasi non verbal yang dapat berupa saling bertatapan dan
lain sebagainya, sedangkan pada hewan dapat berupa suara-suara seperti
mengaum atau menggonggong, sengatan listrik, dan gerakan-gerakan lain
yang berbeda-beda dan masih banyak jenisnya sesuai dengan apa yang akan
diekspresikan oleh hewan tersebut dan sesuai dengan kemampuan hewan
tersebut.
Komunikasi dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang dilakukan
untuk memberi informasi dengan demikian, semua metode komunikasi
melibatkan pembuatan sinyal (informasi), transmisi dan resepsi. Setiapkali
terjadi pertukaran informasi maka sukar secara langsung mengamati
pembuatan dan transmisinya tetapi yang utama adalah bahwa perpindahan
informasi itu harus terjadi. Oleh karena itu penulis membuat makalah yang
berjudul Komunikasi Insekta dan Metode Orientasi Alternatif

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana komunikasi visual dari insekta ?
2. Bagaimana komunikasi suara / gelombang bunyi pada insekta ?
3. Bagaimana komunikasi kimia pada semut ?
4. Bagaimana sistem metode orientasi alternatif pada hewan vertebrata ?
5. Bagaimana sistem orientasi alternatif migrasi pada burung ?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui komunikasi visual dari insekta
2. Mengetahui komunikasi suara / gelombang bunyi pada insekta
3. Mengetahui komunikasi kimia pada semut
4. Mengetahui sistem metode orientasi alternatif pada hewan vertebrata
5. Mengetahui sistem orientasi alternatif migrasi pada burung
BAB II
PEMBAHASAN

A. Komunikasi Visual

Informasi sinyal visual tergantung pada ukuran, bentuk, intensitas, corak,


gerakan dan variasi waktu. Ada insekta yang memancarkan sinyal visual kepada yang
lain pada jarak cukup dekat sehingga dapat dilihatnya pula dengan cara
mendekatkannya disekitar batu, tumbuhan atau insekta lain. Di dalam pasal ini akan
dibahas lebih rinci tentang dua macam sinyal visual yang digunakan untuk
komunikasi intraspesies; yaitu bioluminesensi dan tari goyang lebah madu.

a. Bioluminesensi
Beberapa familia insekta ada yang dapat memancarkan sinyal cahaya
kepada yang lain dalam spesies yang sama. Reaksi biokimianya telah
dipelajari seksama oleh McElroy dan kawan-kawannya, yang menyarankan
bahwa terjadinya cahaya itu berasal dari suatu proses sampingan yang
digunakan oleh organisme anaerobik untuk menyingkirkan oksigen beracun.
Reaksi bioluminesensi yang sudah diketahui terjadi pada kunang-kunang yaitu
oksidasi lusiferin menjadi oksilusiferin dengan katalis enzim lusiferinase.
Kelenjar yang menghasilkan cahaya biasanya berasal dari bagian perut dan
posisi, ukuran serta bentuknya.
(Shimomura, 2006)
Informasi yang diubah dalam bentuk sinyal luminesen dapat dibedakan
oleh spesies itu karena perbedaan ukuran, bentuk intensitas, corak, gerakan
dan waktu saja. Kebanyakan sinyal bioluminesen ini tidak kontinu, tetapi
berdenyut dengan aneka jumlah pulsa per satuan waktu, lama tiap pulsa dan
lain-lain. Kebanyakan sinyal transmisi sinyal bioluminesen terhalang oleh
cahaya siang atau cahaya bulan purnama; oleh karena itu biasanya transmisi
berlangsung pada malam hari atau didalam habitat tertentu seperti di dalam
gua atau jurang. Sinyal dapat diarahkan ke tempat penerima sehingga sinyal
tersebut dapat dilihatnya; misalnya, pejantan terbang yang ingin menarik
perhatian betinanya lebih suka mengurangi kedipan cahayanya. Demikian
juga, si betina dapat memberi sinyal kepada pejantan, setelah mendaki dan
bertengger di tempat yang lebih tinggi dan memutar-mutarkan perutnya agar
sinyalnya lebih mudah terlihat (Auckerman, 1998).
Penerimaan bioluminesensi, bahkan sesuai sinyal visual tergantung pada
mata insekta. Insekta luminesen, terutama betina seperti yang disebutkan
diatas, memiliki modifikasi mata sehingga dapat menambah kepekaan agar
lebih mudah berkomunikasi secara visual. Sinyal yang sudah diterima dapat
merangsang beberapa tanggapan. Karena kebanyakan sinyal berlangsung antar
pasangan yang berahi, penerimaan sinyal menyebabkan saling tertariknya
pasangan itu atau biasanya betina yang diam dikitari oleh pejantan yang
menari-nari. Kemungkinan reaksi kedua adalah perubahan sinyal yang
dikeluarkan sebagai akibat tanggapan sinyal yang diterima; misalnya seekor
betina yang sedang diam dapat mengubah sinyalnya sehingga memudahkan si
jantan untuk hinggap di dekatnya. Pada akhirnya, karena sinyal ini adalah
sinyal untuk kawin maka efeknya dapat menjadi laten pada faal reproduksi
insekta, tetapi hal ini masih sedikit sekali yang diketahui sampai sekarang
(Auckerman, 1998).
Radiasi cahaya yang dihasilkan dalam rentang panjang gelombang 400-
700 nm. Bioluminescence maksimum spesies laut berkisar antara 450-510 nm,
sedangkan organisme di darat telah didominasi warna kuning-hijau. Dalam air
laut, biru-hijau (400-500 nm) luminescence mencapai transmisi maksimum,
sedangkan spesies darat memiliki sensitivitas maksimum visual cahaya
kuning. Pigmen visual organisme laut kebanyakan paling sensitif di daerah
biru-hijau.

(Shimomura, 2006)
b. Lebah Madu
Jika makanan ditempatkan didekat sarang lebah, maka berjam-jam
bahkan berhari-hari makanan tersebut tidak diusiknya. Akan tetapi jika sudah
ada seekor lebah yang dapat menemukannya dan kembali ke sarangnya, maka
dalam waktu sekejap saja sudah banyak lebah baru datang ke tempat itu.
Bahkan peristiwa ini masih dapat terjadi walaupun lebah pertama sudah
ditangkap sebelum sempat memberi tahu kepada lebah lain. Lebah tentara
yang pertama kali menemukan makanan itu masih dapat berkomunikasi
dengan lebah lain untuk memberitahukan letak makanan (Auckerman, 1998).
Beberapa komunikasi ini tergantung pada bau tetapi seorang ahli biologi
Jerman Karl von Frisch menunjukan bahwa ada komponen visual yang berarti
untuk mentransmisikan informasi. Lebah tentara itu melakukan tari erotik di
pinggir sarang. Banyak aspek tarian itu mentransmisikan informasi.
Amplitudo pola tariannya mengkomunikasi waktu terbang, sudut predominan
terhadap garis vertikal menunjukkan arah, iramanya menunjukan jarak dan
semangat tariannya menunjukkan kualitas sumber makanan (Auckerman,
1998).

Isi informasi tarian cara lebih ditafsirkan dengan bermacam-macam. Dari


4-9 getaran informasi arah dan dari 3-6 getaran informasi jarak dipancarkan.
Jika mutu diskalakan dari 1-4 getaran, maka skala ini memberi tambahan 2
getaran lagi. Dengan demikian dapat dikomunikasikan informasi yang terdiri
dari 9-17 getaran. Menurut para peneliti, dikatakan bahwa kadang-kadang
dengan melalui bau, lebah dapat mengkomunikasikan kalimat yang terdiri
dari 25 getaran. Minimum yang dapat diperkirakan bahwa pertukaran
informasi identik dengankalimat pendek terdiri dari 10.000 kata manusia
hanya memerlukan 74 getaran (Auckerman, 1998).
Mata dan piranti penglihatan untuk tingkat yang lebih tinggi pada
serangga mampu menafsirkan tarian-tarian itu. Misalnya arah yang ditunjukan
melalui tarian adalah sudut yang dibentuk antara arah terbang dan matahari.
Walaupun sinar matahari terhalang, lebah dapat berorientasi terhadap
matahari saat itu. Lebah mempunyai lonceng biologis sehingga penyimpangan
waktunya dapat diatasi sesuai dengan perubahan posisi matahari, mereka
mempunyai kompas matahari yang dapat membuat koreksi harian terhada
posisi musiaman matahari. Ocelli atau mata sederhana hanya berguna untuk
keadaan cahaya lemah seperti saat dini atau senja hari (Auckerman, 1998).
Tanggapan terhadap sinyal tarian secara visual biasanya berarti ajakan
untuk mengungsi telah tiba, maka lebah pemandu memancarkan informasi
tentang letak sarang baru beberapa jam sebelum pengungsian berlangsung.
Arah yang ditujukan dengan tarian bersama di dalam sarang berubah sesuai
dengan perubahan posisi matahari dan begitu seterusnya walaupun matahari
telah terbenam.

B. Komunikasi dengan Suara


Menurut Borror 1996, serangga menghasilkan bunyi dalam beberapa cara
yakni :
1. Stridulasi
2. Vibrasi membran khusus yang disebut dengan tymbal
3. Adanya gesekan bagian tubuh tertentu dengan benda
4. Dengan mengeluarkan sejumlah udara atau cairan pada bagian tubuh
yang terbuka
5. Vibrasi sayap dan bagian tubuh lainnya
Aktivitas sehari hari (terbang, makan dsb.) Setiap orang yang telah
mendengar suara jengkerik sadar bahwa insekta yang relatif begitu kecil dapat
mengeluarkan suara yang cukup keras. Suatu sinyal bunyi adalah suatu
gelombang tekanan yang digerakkan oleh beberapa macam getaran. Jika seuah
generator bunyi insekta disederhanakan seperti sebuah cakram pejal yang
bergetar pada suatu bidang datar maka untuk suatu kecepatan getaran
tertentufrekuensi, v, bagi daya sinyal maksimum dihubungkan dengan r,
radius cakram dan c, laju bunyi dalam medium adalah sebagai berikut:

v . (i) (Auckerman, 1998)
Jika c = 340 m/s dan r = 3mm (ukuran pemancar bunyi belalang), maka v
harus lebih besar atau sama dengan 36 kHz. Jadi inseta hanya mempunyai
sinyal efektif dalam rentang frekuensi kHz, dan insekta kecil ada yang mampu
memancarkan bunyi dengan frekuensi yang lebih tinggi lagi (Auckerman,
1998).
Akan tetapi otot-otot insekta tidak mampu berkontraksi lebih cepat
daripada 1kHz; oleh sebab itu frekuensi kontraksi otot itu harus dilipatkan
agar dapt menghasilkan sinyal. Misalnya, jengkerik memiliki selaput suara
yang erbentuk keping lengkung yang bergetar setelah mengalami perubahan
bentuk oleh otot-otot selaput dan kembali ke bentuk asalnya. Jadi selaput
suara melipatkan frekuensi kontraksinya dan memancarkan bunyi. Contoh
yang lain adalah stridulasi. Yaitu getaran yang dihasilkan oelh gerakan suatu
cakar pada permukaan gigi kikir. Kebanyakan, bunyi tidak dihasilkan dengan
proses gesekan tetapi getaran itu ditransmisikan ke suatu pemancar bunyi.
Mungkin hal ini merupakan sebagian sayap (jengkerik) atau keseluruhan
bagian kulit (beberapa semut) (Auckerman, 1998).
Unsur terakhir suatu generator bunyi kerapkali berupa sejenis pemandu
bunyi yaitu suatu struktur anatomi (atau lingkungan) untuk mengarahkan dan
menguatkan bunyi. Pemandu bunyi semacam itu mirip dengan kotak tertutup
(jangkerik), keping (belalang) atau terompet (gangsir).
Rentang transmisi sinyal yang dapat didengar itu tergantung pada suhu,
kelembaban dan frekuensi sinyal. Jika suhu dan kelembaban dipertahnkan
konstan maka makin tinggi frekuensi sinyal, makin besar penyerapan di udara.
Ini merupakan batas frekuensi atas yang dibatas bawahi oleh persamaan (i);
misalnya, absorpsi akan membatasi transmisi sinyal 50kHz antara 10 20 m
jauhnya. Absorbsi tanah penting juga bagi insekta yang membangkitan bunyi
pada atau dekat permukaan tanah tetapi hingga kini masih belum dipelajari
secara terinci. Demikian juga, walaupun suhu dan gradien suhu
mempengaruhi transmisi bunyi, namun hanya sedikit yang dipahami terhadap
bunyi insekta (Auckerman, 1998).
Pada akhirnya, penerimaan sinyal sudah tentu membutuhkan telinga
insekta. Hanya ada satu jenis mata insekta / telinga mamalia tetapi ada
beberapa macam jenis telinga insekta.reseptor rambut yang dilekatkan secara
letur dapat bergerak oleh pengaruh setiap getaran bunyi terutama untuk
mengukur gerakkan. Organ timpani sering menggunakan selaput untuk
mencatat tekanan dan gradien tekanan apabila bunyi diterima dan ditafsirkan,
insekta dapat menghasilkan bermacm-macam tanggapan, termasuk daya tarik
seks, pertahanan wilayah, tanda bahaya dan perubahan lintasan terbang untuk
mempertahankan kelompoknya.

C. Komunikasi Kimia
Indera penciuman dan cecap pada manusia tidak terdapat pada
organisme yang lebih rendah. Molekul-molekul lingkungan bereaksi dengan
reseptor yang cocok, kemudian terjadilah alih informasi, dan proses paling
sederhana ini disebut komunikasi kimia. Komunikasi seperti ini telah dikenal
pada hampir semua spesies, namun pada beberapa spesies insekta pengertian
mendalam didasarkan atas kepentingan ekonomi. (Auckerman, 1998).
Feromon, salah satu senyawa kimia hidrokarbon, memiliki peranan
penting dalam sistem komunikasi serangga, termasuk semut. Feromon berasal
dari kata fer yang artinya membawa dan hormon sehingga feromon
berarti pembawa hormon. Feromon adalah isyarat yang digunakan di antara
hewan satu spesies dan biasanya diproduksi dalam kelenjar khusus untuk
disebarkan. Ada banyak fungsi dari feromon ini, di antaranya sebagai jejak
menuju sumber makanan dan sebagai zat tanda bahaya yang disekresikan saat
musuh menyerang. Ketika semut menggigit, dia akan meninggalkan feromon
ini sebagai penanda bagi koloninya bahwa ada bahaya.
Feromon harus dilintaskan terlebih dahulu sebelum dapat
menghasilkan rangsang. Semut mempunyai sistem pembuluh berpori yang
menghubungkan dunia luar dengan bagian dalam yang berisi zat cair dan
mengandung dendrit sel saraf. Protein dapat juga berinteraksi dengan
feromon, aktivator dendrityang sesungguhnya merupakan ikatan kuat
kompleks protein reseptor-feromon. Secara alternatif, protein yang terikat itu
dapat digunakan untuk merusak atau melumpuhkan feromon yang berlebihan.
(Auckerman, 1998).
Feromon reproduksi adalah yang paling menakjubkan, walaupun
komnikasi kimia berperan juga dalam pemberian makanan, berkelompok dan
mempertahankan diri. Pembangkitan sinyal dimulai dengan memodifikasi cara
perubahan biokimia yang melibatkan sintesis lemak. Sinyal feromon dilepas
melalui suatu saluran kelenjar luar yang seringkali terdapat di bagian perut
(feromon seks) atau dirahang bawah dan di piranti sengat ( tanda bahaya dan
pertahanan diri). Informasi yang ditransmisikan mempengaruhi karakteristik
kimianya. Misalnya feromon tanda bahaya dirahang bawah atau feromon
pertahanan diri merupakan perangsang kimia yang dirancang untuk
menghambat luka yang disebabkan oleh rahang bawah. (Auckerman, 1998).
Ketika semut menemukan bahan makanan yang ukurannya terlalu
besar untuk dibawa sendiri ke sarang, maka dia akan mengeluarkan feromon
untuk meminta bantuan teman-temannya. Jika jumlah semut telah cukup,
maka mereka akan menggotongnya beramai-ramai ke sarang.Uniknya, semut
yang menemukan jejak feromon dari semut lain untuk menuju sumber
makanan mampu menemukan jalan kembali yang lebih singkat. Biasanya
jejak semut penemu sumber makanan berkelok kelok dan panjang, tapi jejak
semut- semut berikutnya akan membentuk garis lurus yang lebih singkat.

D. Metode Orientasi Alternatif pada Hewan


1. Kelelawar
Dibandingkan dengan binatang, manusia memiliki rentang kepekaan
akustik yang lebih pendek dan batas frekuensi atas yang relatif rendah yaitu
sekitar 20 kHz. Kelelawar mempunyai kepekaan terbesar didaerah rentang
ultrasonik, yang melintas didaerah frekuensi tinggi. Penggunaan sinyal-sinyal
oleh mamalia ini sebenarnya hanya dapat direkam dengan menggunakan
piranti elektronik.
Ada dua suborde dasar kelelawar yaitu Megachiroptera dan
Microchiroptera. Kata Yunani ini membedakan jenis yang lebih besar, yaitu
jenis pemakan buah dan jenis yang lebih kecil, yaitu spesies pemakan
serangga. Diantara jenis yang lebih besar, hanya satu jenis yang diketahui
menggunakan lokalisasi gema sebagai mekanisme orientasinya. Pada saat
mencari makanan di malam hari, pemakan buah dibantu oleh mata istimewa.
Mata ini mempunyai banyak batang tiap unit sudut (ruang) visual, yang
disebabkan oleh adanya lipatan permukaan retina. Sebaliknya,
Microchiroptera adalah pemakan insekta utama yang hampir selalu
menggunakan lokalisasi gema ultrasonik untuk menjelajah atau berburu.
Pandangan matanya sangat lemah dan terkenal sebagai kelelawar buta
(Auckerman, 1998).
Jenis Sinyal
Penggunaan suara oleh kelelawar untuk menjelajah pertama kali
diramalkan oleh Spallanzani pada akhir abad ke-18. Sebenarnya ia
membutakan beberapa kelelawar kecil kemudian mengikuti perilakunya
secara berturut-turut. Binatang ini terus bergerak seperti kawannya yang tidak
dibutakan, sehingga hampir tidak bergantung pada indera penglihatannya.
Pada awal tahun 1940 di Universitas Hardvard D.R. Griffin dan kawan-
kawannya mendemonstrasikan bahwa kelelawar dapat menghindarkan diri
dari rintangan ditempat gelap dan memancarkan frekuensi ultrasonik
(Auckerman, 1998).
Kebanyakan penangkapan insekta menggunakan frekuensi lebar dengan
lama pulsa keluaran () tidak mengganggu dua buah reflektor yang
berdekatan. Untuk membuktikan hal ini, sebuah suara berfrekuensi tunggal
dianggap menghasilkan dua buah gema yang terdengar seperti sebuah jika
mereka kembali ke pemancar dengan beda waktu (r). Dengan demikian paling
sedikit beda rentang suatu pulsa frekuensi tunggal, dengan manggunakan laju
suara di udara (c), adalah

= 2

Sebaliknya, jika digunakan metode semua frekuensi, maka gema hanya


merupakan replikasi spektogram sumber. Apabila kelelawar mendengarkan
penurunan gema pertama secara monoton, maka pantulan kedua didengar
cukup jelas sebagai kenaikan nada tajam pada saat sinyal yang kembali mulai
diamati. Dengan metode ini, suatu pulsa yang relatif panjang dapat
memperbaiki karakteristika sinyal-bising sistem itu. Kadang-kadang untuk
memperbaiki teknik ini digunakan istilah sonar kicau (Auckerman, 1998).

Kelelawar pemakan insekta jarang menggunakan teknik Doppler . Hal ini


telah ditunjukkan bahwa kelelawar ladam yang lebih besar mengganti sinyal
monokromatiknya untuk mengimbangi gerak ayunan bandul. Hasil yang
sama dapat dijumpai apabila binatang itu terbang dan hinggap pada suatu
panggung tetap. Karena bunyi itu dihasilkan oleh sumber bergerak dan
diamati oleh penerima bergerak (yang sama), maka frekuensi Doppler yang
diamati (v) diberikan oleh


1+
=
1

Dengan c adalah laju suara diudara dan v adalah laju kelelawar kearah
sasaran. Diduga pada kebanyakan spesies Doppler, pergeseran frekuensi yang
dihasilkan itu mungkin dimaksudkan untuk menghasilkan resonansi tajam
pada kurva tanggapan yang dapat didengar. Penggunaan sonar Doppler
mungkin berkaitan dengan ramalan gerak mangsa sebelum diterkamnya.
Binatang-binatang ini tampaknya percaya terhadap kebebasan gerak telinga
dan intensitas sinyal untuk membantu strategi pemburuannya (Auckerman,
1998).
Sinyal klik untuk lokalisasi dimiliki kelelawar pemakan buah dan burung
yang bersarang didalam gua yang gelap. Termasuk burung minyak Venezuela
pemakan buah (Steatornis caripensis) dan bermacam binatang melata yang
hidup di gua. Spesies-spesies ini hanya percaya pada lokalisasi gema apabila
keadaan cahaya lingkungan dibawah tingkatan tertentu, karena mereka
mempunyai penglihatan yang cukup memadai. Disini dapat dilihat pada suatu
contoh evolusi penggerombolan beberapa makhluk yang berbeda tetapi
percaya pada alat penjelajah yang sama. Ada juga burung-burung yang diduga
mengguanakan metode klik untuk lokalisasi, salah satu contohnya adalah
burung rajawali malam. Burung tidak dapat mendengar di daerah ultrasonk,
sehingga membutuhkan bunyi-bunyi tertentu yang dapat didengar.
Pembangkitan dan Deteksi Suara
Kelelawar pemburu insekta memancarkan suara ultra melalui hidung dan
atau mulutnya. Rupanya susunan antena untuk memfokuskan dan
mengarahkan amat menguntungkan binatang itu. Pembangkitan suara terjadi
didalam laring pada semua kelelawar kecil, dan umumnya laju pengulangan
sinyalnya merupakan harmonik daur pernafasannya. Untuk membangkitkan
sinyal keluaran, kelelawar pemakan buah menggunakan lokalisasi gema
dengan bibir, lidah dan rongga mulutnya. Otak kelelawar amat mahir
membedakan pasangan pulsa, sehingga dua buah pulsa dengan selang 1
milidetik dapat dibedakannya. Kemampuan ini penting untuk penggunaan
lokalisasi gema dan jarang terjadi pada mamalia lain.
Laju Penerimaan dan Orientasi Ruang
Ketika seekor kelelawar mendekati objeknya, maka laju pengulangan
sinyalnya akan naik diiringi dengan memendeknya waktu tiap pulsa. Griffin
menamakan gejala ini sebagai dengung penghalang. Kelelawar kecil cokelat
(Myotis lucifugus), suatu spesies yang memancarkan frekuensi kontinu, akan
memancarkan sekitar 10 pulsa tiap detik ketika sedang menjelajah, sedangkan
pada saat menyerang dapat memancarkan beberapa ratus pulsa tiap detik. Di
dalam proses ini, lebar pita spektrograf sinyalnya menjadi lebih sempit.
Kenaikan serupa terjadi pada spesies Doppler, yaitu pengulangannya
dapat melonjak dengan orde besar satu atau dua pada saat mendarat atau
menyerang. Dalam hal yang terakhir ini, tidak terjadi perubahan frekuensi
ketika laju pulsanya naik, dimaksudkan untuk mempertahankan mekanisme
deteksi Dopplernya. Spesies yang menggunakan lokalisasi klik melakukan
juga perubahan laju pengulangan pada saat mendarat. Karena kelelawar
pemakan buah hanya menggunakan sonarnya untuk melokalisasi tempat
tidurnya dan tempat gelap di dalam gua, maka penggunaan metode
penghalang tidak pernah tepat.

Umumnya, orientasi ruang dapat diukur dengan kawat perintang yang


beraneka diameter. Seekor kelelawar kecil cokelat dengan menggunakan
sonarnya dapat mendeteksi kawat perintang berdiameter lebih kecil dari 0,12
mm, dan spesies Doppler dapat menghindarkan diri terhadap kawat perintang
berdiameter antara 0,05-0,10 mm. Jarak kawat perintang yang dapat dideteksi
oleh kelelawar itu adalah sekitar 1 m atau lebih dekat lagi. Kelelawar buah
Mesir yang menggunakan klik dapat mendeteksi kawat beukuran 0,5 mm.
Rentang sayap kelelawar adalah jauh dari cukup untuk dapat menangkap
insekta mangsanya. Dengan fotografi stroboskopik, diketahui bahwa
kelelawar menangkap insekta dengan ekor dan selaput sayapnya sebelum
melahapnya.

2. Ikan Lumba-Lumba dan Ikan Paus

Banyak jenis lokalisasi gema yang bermanfaat bagi kelelawar, juga


bermanfaat bagi ikan paus bergigi kecil maupun besar. Tulang janggut ikan
paus masih belum diselidiki secara luas untuk mengetahui penggunaannya.
Diantara bermacam-macam sinyal, ikan lumba-lumba ini menggunakan pulsa
keluaran jenis klik yang menghasilkan penurunan frekuensi termodulasi untuk
membantu pengukuran jarak yang berbeda-beda. Seperti pada kelelawar
pemakan insekta, laju pengulangan sinyal yang dikeluarkan oleh ikan lumba-
lumba berhidung seperti botol naik ketika bergerak mendekati objek yang
diminati. Seekor binatang penjelajah akan memancarkan sinyal beberapa
pulsa tiap detik, bahkan dapat mencapai 500 pulsa tiap detik pada saat
menyelidiki objeknya secara rinci di dalam tangkinya. Resolusi pasangan
pulsanya berhampiran besarnya dengan laju pengulangan sinyal
maksimumnya. Ikan lumba-lumba mempunyai keunggulan atas kelelawar,
yaitu bahwa ambang kebisingan pada frekuensi ultrasonik jauh lebih rendah di
dalam lingkungan laut. Gerakan objek kecil yang kurang cepat dan
penyusutan frekuensi tinggi oleh air membantu efek ini. (Auckerman, 1998)

Ekivalensi impedansi akustik eksternal dan internal juga menyebabkan


ikan paus tidak memerlukan bentuk telinga eksternal yang lengkap selengkap
kelelawar. Tetapi ikan paus memiliki pengamatan mata yang cukup tajam,
salah satu spesiesnya yang hidup di air tawar memiliki mata yang kurang
tajam dan hampir semua perburuannya menggunakan sonar dalam arus air
keruh di anak benua India. Binatang ini menunjukkan adanya kecenderungan
evolusi indera penglihatan yang sama seperti pada kelelawar pemakan insekta.
Penglihatannya menjadi tak berguna dalam lingkungan yang melekuk-lekuk
sehingga tidak lagi selektif (Auckerman, 1998).

Ikan lumba-lumba biasa yaitu yang berhidung seperti botol dan ikan paus
pembunuh menggunakan sinyal klik untuk bersuara gema. Ikan lumba-lumba
berhidung seperti botol juga dapat menggunakan fase sinyal balik untuk
membedakan sasaran berisi udara dan sasaran padat. Apabila impedansi
akustik sasaran itu lebih kecil daripada air, maka fase gelombang tekanan
pantulnya akan membalik, demikian pula kebalikannya apabila impedansi
sasaran itu lebih besar. Penjelasan yang lain adalah bahwa ikan lumba-lumba
berhidung seperti botol itu mampu mengenal reverberasi intrinsik di dalam
sasaran. Di samping pulsa-pulsa klik, ikan lumba-lumba berhidung seperti
botol juga dapat mengeluarkan sinyal kompleks yang bermacam-macam dan
juga nada-nada yang berfrekuensi reatif murni. Misalnya, suara sedih seekor
lumba-lumba yang menderita selalu mengundang setiap ikan lumba-lumba
lain yang mndengarnya (Hartono, 2004).

3. Kepekaan Ular terhadap Sinar Infra Merah


Sel-sel yang peka terhadap radiasi elektromagnetik infra merah (IR) telah
dimiliki oleh dua familia ular yaitu Krotalide (berbisa) dan Boide (tak
berbisa). Pada ular berbisa, kedua lubang simetri terletak sebelah menyebelah
dikepala antara mata dan mulutnya. Ular tak berbisa menggunakan pengaturan
sel-sel yang khusus sepanjang rahangnya. Agar peka terhadap energi tertentu
diperlukan suatu detektor (yang mampu menangkap radiasi infra merah dan
lainnya pada selang waktu tertentu). Bullock dan kawan-kawannya di San
Diego menunjukkan bahwa tanggapan sistem saraf pusat terhadap infra merah
berbanding lurus dengan kenaikan suhu pada organ berlubang. Perubahan
mitokondria akibat penyinaran (radiasi) dapat diamati secara mikroskopik
pada organ itu sendiri. (Auckerman, 1998)
Gamow dan Harris telah menyelidiki reaksi saraf pada ular tak berbisa
terhadap radiasi infra merah yang di pulsakan selama 8 milidetik dari laser
CO2. Pada percobaan ini semua binatang objeknya disinari dengan
menggunakan sumber kalor monokromatik. Reaksi saraf ular setiap saat
membutuhkan waktu sekitar 35 milidetik, seperti yang ditunjukkan oleh
penundaan waktu antara rangsangan dan tanggapan elektroensefalografiknya.
Tidak ada tanggapan gelombang otak yang terlihat pada familia ular lain.
Ambang tingkat radiasi yang menghasilkan tanggapan pada ular tak berbisa
berharga 5x10-6 J/cm2, meskipun bilangan ini mempunyai ketidakpastian
dengan faktor 2 atau lebih. (Auckerman, 1998)
Ular berbisa menunjukkan kegunaan sistem indera seperti itu. Jika tingkat
cahaya berkurang atau menjadi nol, maka radiasi kalor dari mamalia kecil dan
burung-burung dapat digunakan untuk melokalisasi mangsa di daerah padang
pasir yang relatif dingin pada waktu sore hari. Ular boa dapat menggunakan
pemandu serupa dalam lingkungan pohon gelap. Penggunaan yang kedua
pada sensor kalor adalah untuk kenyamanan termal. Jika ular menjumpai suhu
udara luar yang tidak nyaman, maka mereka dapat mencari keadaan
sekitarnya yang lebih cocok dengan cara melihat-lihat bermacam-macam
kemungkinan yang ada di dekatnya, seperti halnya kepekaan satelit bumi
terhadap infra merah yang mendeteksi kenaikan suhu air samudra. Cara
bertahan semacam ini mempunyai manfaat besar karena indera peraba
terhadap sekitarnya tidak lagi diperlukan. Pemeliharaan suhu telah lama
menjadi masalah bagi reptil. (Auckerman, 1998)

4. Ikan Listrik
Adanya kelompok ikan listrik kuat berkaitan dengan Darwin, karena
pada saat itu spesies yang bertegangan listrik rendah masih bekum dikenal.
Sejak tahun 1945, telah disusun pada kategori kedua yang dinamakan ikan
listrik lemah. Spesies yang tidak mengakibatkan rasa sakit (yaitu mempunyai
tegangan keluaran antara 0,1 sampai beberapa volt) akan ditempatkan pada
kelompok ikan listrik lemah. Sekarang telah diketahui bahwa ada familia ikan
bertulang rawan dan bertulang keras yang mengembangkan piranti pemancar
dan penerima listrik.
Tabel 1.1
Daftar Sebagian Ikan Listrik
Nama Jenis pelepasan Habitat
Belut listrir Kuat (600V) ; juga bersinyal Air tawar, Amerika
lemah Selatan
Sinar listrik Kuat (60V, 1 kW) Lautan
Lele listrik Kuat (sekitar 300V) Air tawar, Afrika
Gymnarchus Lemah Air tawar, Afrika
Mormyrids Lemah Air tawar, Afrika
Belut gymnotit Lemah Air tawar, Amerika
Selatan
Ikan pisau Lemah Air tawar, Amerika
Selatan
Ikan peluncur Lemah Lautan

Jenis Sinyal
Secara awam, spesies pada tabel dapat dibagi menjadi gelandangan
(bummer), penderum (hummer), dan pendengung (buzzer). Spesies bummer
menghasilkan pulsa bertegangan satu fase (seingkali diberi istilah sinyal DC)
dan berdaya listrik cukup besar. Ikan sinar dan belut listrik Amerika Selatan
(Electrophorus electricus) adalah contoh dalam kelas ini, yang hanya
mencakup ikan listrik kuat saja. (Auckerman, 1998)
Hummer didefinisikan sebagai ikan yang mempunyai keluaran tegangan
rendah dengan frekuensi konstan tetapi tanpa ada arus listrik total yang
mengalir, yang biasa disebut sinyal AC. Contohnya Gymnarchus niloticus.
Buzzer juga tidak menghasilkan arus listrik total. Mereka adalah ikan
listrik lemah yang mampu mengubah frekuensi penembakannya untuk
menyesuaikan dengan kondisi setempat. Suatu kenaikan frekuensi dapat
mengikuti gangguan pihak lain terhadap beberapa aspek lingkungannya seperti
halnya dengung kelelawar yang mengacaukan. Seperti kelelawar Doppler,
beberapa spesies pendengung (buzzer) dapat mengubah frekuensinya jika sinyal
kedua yang berasal dari laju pengulangan aslinya dipancarkan kedalam tangki.
Enggan demikian, hal yang mengacaukan dapat diatasi dan banyak temannya
bergabung lagi. (Auckerman, 1998)
Hummer dan buzzer beroperasi didalam rentang frekuensi 10 Hz sampai
1.500 Hz, dengan suatu rentang frekuensi tertentu menjadi sifat karakteristik
suatu spesies. Tiap binatang mempunyai laju sinyal yang khas, dan dapat
dikenal oleh kelompok binatang sesamanya. Meskipun demikian, kelompok
sosial yang menggunakan sinyal listrik lemah ini masih belum jelas.
Elektrosit
Sel-sel yang menghasilkan medan listrik dinamakan elektrosit (atau
elektroplak); sel-sel ini biasanya timbul akibat evolusi yang berbeda pada sel-
sel otot dan sel-sel saraf biasa. Aturan kasarnya mengatakan bahwa ikan yang
menghasilkan frekuensi rendah mempunyai sel-sel yang berasal dari otot
sedangkan binatang yang mempunyai frekuensi tinggi mempunyai elektrosit
yang berasal dari saraf. Sebuah elektrosit mempunyai ggl sekitar 0,1 V.
Bummer menghasilkan lucutan muatan listrik yang kuat dengan sederetan sel-
sel listrik yang tersusun seri dan paralel. Misalnya, pada belut listrik, puluhan
ribu elektrosit yang tersusun secara dapat menghasilkan tegangan mendekati
500 V. Mekanisme lucutan muatan listrik sel-sel ini dapat dijelaskan sebagai
berikut :
Asal mulanya terdapat dua macam selaput yang mempunyai ggl yang
berlawanan. Karena pengaruh sinya saraf, maka selaput yang terangsang itu
membalik polaritasnya, sehingga kedua ggl saling menjumlah, dan akhirnya
dihasilkan tegangan keluaran. Elektrosit yang banyak itu menembakkan
muatannya secara serentak. Jika tidak demikian, maka ikan itu tidak dapat
membangkitkan tegangan listrik yang diperlukan. Panjang jaringan saraf yang
dapat diubah-ubah (penundaan aliran listrik) dapat digunakan untuk
menyempurnakan koordinasi temporal didalam organ listrik yang panjang.
Suatu pusat pemacu yang terdapat didalam otak diduga berperan dalam
mengendalikan seluruh frekuensi pada ikan listrik lemah. Alat pemacu ini peka
terhadap suhu dan di dalam suatu gymnotid (misalnya pada Eigenmannia
virescens) alat pemacu itu dimodulasikan oleh perbedaan frekuensi neuron yang
sanggup untuk menyingkirkan frekuensi ikan dari frekuensi tetangganya.
(Auckerman, 1998)
E. Migrasi pada Burung

Pada tahun 1951 Mathews mengusulkan teori busur matahari. Tiap


burung dianggap mempunyai suatu jam internal yang digunakan untuk
mengetahui waktu dengan ketelitian sekitar 15 menit. Lagi pula, busur matahari
itu dideteksi dan diekstrapolasi ke ketinggian maksimum (tengah hari lokal)
diatas horizon. Kombinasi waktu internal dan ketinggian matahari maksimum
berturut-turut menunjukkan garis bujur dan garis lintang kepada burung itu.
Sebagai contoh, jika seekor burung dipindahkan ke arah timur, maka burung itu
akan melihat bahwa gerak angular matahari jauh mendahului waktu internalnya,
tetapi busur matahari terekstrapolasinya di langit tidak lebih tinggi daripada
dirumah. Jadi diperlukan penerbangan ke arah barat sampai waktu lokalnya.
Teknik ini serupa dengan teknik navigasi pelaut dan menyebabkan binatang itu
mampu pulang tanpa acuan data apa pun yang tersimpan dalam sistem
ingatannya.

Di pihak lain, menurut Kramer model penerbangannya memiliki jam


internal, tetapi sebagai sarana bantu penentuan arah digunakan posisi matahari.
Dalam sistem ini, jika jam internalnya menunjukkan tengah hari, maka dari
belahan bumi utara belahan matahari tampak condong ke Selatan. Akan tetapi,
pengetahuan tentang arah ini tidak cukup untuk memandu binatang itu pulang,
sehingga Kramer memperkenalkan konsep peta yang tersimpan di dalam
ingatan binatang itu. Dari peta inilah, burung dapat memastikan bahwa ia telah
dipindahkan ke arah utara dari kandangnya dan oleh karena itu ia harus terbang
menuju matahari tengah hari agar ia dapat kembali. Sifat fisis dan faal peta ini
belum dapat dijelaskan. (Auckerman, 1998)

Sejak tahun 1950, bermacam-macam eksperimen telah dilaksanakan


untuk membedakan kedua macam model itu. Eksperimen-eksperimen ini
melibatkan pengubahan jam internal pada binatang oleh cahaya binatang oleh
cahaya buatan, kemudian melepaskannya pada jarak tertentu dari sarang. Jalur
penerbangan awal burung itu dipakai sebagai indikator bagi model yang benar.
Percobaan yang lebih rinci ditemukan didalam buku acuan yang ditulis oleh
Keeton. Sebagian besar hasilnya lebih sesuai dengan teori peta-kompas
daripada dengan teori busur matahari. (Auckerman, 1998)

Seperti telah diduga bahwa teori yang mengandalkan pada peranan


matahari menyebabkan burung-burung itu tidak mencoba terbang dalam cuaca
berawan tebal. Memang hal ini berlaku bagi kebanyakan spesies, tetapi ternyata
merpati tetap mampu pulang walaupun cuaca hujan. Kemungkinan adanya
sistem pemandu kedua telah diselidiki oleh peneliti-peneliti lain. Apabila
matahari tidak tampak, maka burung-burung yang dilepaskan akan terbang
kearah yang benar kecuali jika di kepalanya ditempelkan sebatang magnet.
Dengan magnet yang ditempatkan seperti ini, maka burung-burung itu akan
terbang secara acak terhadap penunjukan kompasnya. Efek serupa dijumpai
pula pada penggunaan kumparan Helmholtz yang di pasang pada binatang itu.
Rupanya dalam keadaan demikian, sensor magnetik baru digunakan apabila
matahari tidak tampak. Sudah tentu, konsep peta ini masih berlaku, pada saat
burung itu hanya memperoleh data arah dari medan magnet bumi, yang
besarnya kira-kira 0,5 x 10-4 T. Beberapa spesies lain telah diketahui
mempunyai kepekaan medan magnetik sebesar 10-7 T, tetapi sifat organ ini
belum diketahui. Seperti halnya spesies pemakai lokalisasi gema sejauh
mungkin akan menggunakan indera penglihatannya. Namun apabila tidak
mungkin maka diperlukan sistem pengindraan kedua. (Auckerman, 1998)

Dengan teori peta-kompas, masih dijumpai beberapa masalah. Yang


paling utama adalah sifat pta itu masih gelap. Efek Coriolis pada telinga dalam
burung tidak dapat dipakai untuk mengingat peta, karena pengaruh besarnya
gerak Brown. Reaksi kelembaman rupanya tak akan membantu cara
menggunakan peta itu, karena merpati tidak mempunyai kesulitan untuk
kembali ke kandangnya pada saat mereka dibawa ke suatu tempat pelepasan
dengan sangkar yang diputar. Meskipun demikian, teori peta-kompas masih
tetap model terbaik untuk navigasi burung. (Auckerman, 1998)

Dalam bermigrasi, burung tergantung dengan medan magnet. Burung


menggerakkan kepalanya untuk mendeteksi arah medan magnet, dan penelitian
yang dilakukan di sistem saraf burung menunjukkan bahwa burung dapat
"melihat" medan magnet. Mata kanan burung migran mengandung protein
fotoreseptif yang disebut cryptochrome. Sel-sel protein aktif setiap petang
menjelang saat burung tersebut tidak dapat mengandalkan cahaya untuk melihat
benda-benda di sekitarnya. Protein ini diketahui berperan dalam mengatur jam
biologis, seperti pengaturan tahap pertumbuhan pada tanaman dan waktu
kawin.

Cahaya merangsang molekul-molekul yang ada di dalam cryptochrome


untuk menghasilkan elektron bebas yang berinteraksi dengan medan magnet
bumi, sehingga memberikan informasi tentang arah. Cryptochrome berfungsi
sepeti kompas yang digunakan sebagai penunjuk arah. Para peneliti sebelumnya
mengira cryptochrome tidak memiliki banyak keuntungan bagi manusia
sehingga tidak dapat mengenali medan magnet seperti burung. Karenanya,
manusia butuh patokan atau perangkat Global Positioning Satelite (GPS) untuk
mengetahui arah. Saat ini ilmuwan mengetahui bahwa cryptochrome pada
manusia berfungsi sebagai jam molekul, bukan sebagai kompas. Elektron dalam
molekul cryptochrome saling terkait. Medan magnet bumi menyebabkan
elektron bergoyang. Reaksi kimiawi untuk merespons goyangnya elektron
tersebut membuat burung dapat melihat medan maget dalam warna-warni. Peter
Hore dari Universitas Oxford dapat mengatur konsentrasi radikal bebas sesuai
medan magnet yang dipaparkan. Ia berpendapat, cryptochrome pada burung
mungkin diaktifkan cahaya biru yang muncul saat senja dan mulai bekerja
dengan mekanisme pelepasan radikal bebas untuk melihat medan magnet bumi.
(PRIORITAS, 2014)
BAB III
KESIMPULAN

Komunikasi visual dan audio baik perkembangannya dalam dunia insekta.


Komunikasi dapat terjadi diantara anggota suatu spesies atau antar spesies.
Komunikasi visual antaranggota satu spesies berkembang baik dalam bahasa tarian
lebah madu. Banyak sekali spesies insekta yang dapat mengeluarkan,
mentransmisikan, dan menerima bunyi.
Tidak adanya cahaya mengakibatkan perkembangan evolusi tentang teknik
lokalisasi dan orientasi alternatif. Kelelawar dan ikan paus bergigi telah diketahui
dapat mendeteksi radiasi ultrasoniknya sendiri. Ikan listrik juga memiliki piranti
pemancar dan penerimaan sinyal yang digunakan di dalam air keruh. Deteksi pasif
terhadap sinyal luar terdapat pada ular yang peka akan sinyar inframerah.
Navigasi burung berkaitan juga dengan deteksi radiasi elektromagnetik secara
pasif. Penggunaan gerakan bintang dan matahari amat berperan, tetapi banyak spesies
termasukmerpati dapat juga memanfaatkan medan magnetik bumi. Mekanisme proses
tersebut terakhir ini sampai sekarang masih belum jelas. Demikian juga sifat naluri
peta geografi pada burung sampai sekarang juga masih belum jelas dapat dipahami.
Ilmu biofisika menghadapi suatu tantangan yang sangat rumit dalam hal pengertian
sistem orientasi burung.
Daftar Pustaka
Auckerman, E. d. (1998). Ilmu Biofisika. Surabaya: Airlangga University Press.

Borror, D. d. (1996). Pengenalan Pelajaran Serangga. Yogyakarta: Gajah Mada


University press.

Hartono, C. (2004). Studi bioakustik berdasarkan tipe suara Lumba-lumba . Bogor,


Indonesia: Institut Pertanian Bogor.

PRIORITAS, U. (2014, Oktober). Buku Sumber Untuk Dosen LPTK Pembelajaran


IPA SMP di LPTK. Retrieved November 09, 2016, from
http://http://siapbelajar.com/wp-
content/uploads/2014/10/Pembelajaran_IPA_SMP_di_LPTK-C.pdf

Shimomura, O. (2006). Bioluminescence: chemical principles and methods.


Singapore: World Scientific.

You might also like