You are on page 1of 31

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom gawat napas akut (dewasa) (ARDS) adalah bentuk khusus gagal
nafas yang ditandai dengan hipoksemia yang jelas dan tidak dapat diatasi dengan
penanganan konvensional.1 Pada tahun 1967, Ashbaugh dan kawan-kawan
mempublikasikan artikel yang menggambarkan karakteristik klinis ada dua belas
pasien yang mengalami gagal nafas akut. Tidak satupun dari pasien tersebut yang
menderita penyakit saluran nafas sebelumnya. Gagal nafas pada pasien-pasien
tersebut ternyata terjadi akibat adanya penyakit serius lainnya, misalnya trauma
yang berat, pankreatitis, dan penyalahgunaan obat.1 Acute respiratory distress
syndrome (ARDS) adalah salah satu penyakit paru akut yang memerlukan
perawatan di Intensive Care Unit (ICU) dan mempunyai angka kematian yang
tinggi yaitu mencapai 60%.2,3 Asosiasi Paru Amerika memperkirakan ada 27.000
orang yang menderita ARDS tiap tahunnya.1
Sejak tahun 1994, definisi ARDS dari American-European Consensus
Conference (AECC) merupakan definisi yang paling diterima untuk penanganan
pasien atau untuk melakukan uji klinis. ARDS di definisikan sebagai gagal napas
(respiratory failure) dengan onset akut, rasio tekanan oksigen pembuluh arteri
berbanding fraksi oksigen yang diinspirasi (PaO2/FiO2) <200 mmHg -
hipoksemia berat, radiografi dada dengan infiltrat alveolar bilateral yang sesuai
dengan edema paru, tekanan baji kapiler pulmoner (pulmonary capillary wedge
pressure) <18 mmHg, tanpa tanda klinis (rontgen dan lain-lain) adanya hipertensi
arterial kiri (tanpa adanya tanda gagal jantung kiri).4
Namun, selama 18 tahun terakhir, akurasi diagnostik definisi ARDS oleh
AECC telah dipertanyakan.4 Dalam serangkaian 138 pasien ARDS, definisi ini
memiliki spesifisitas yang relatif rendah (51%) bila dibandingkan dengan temuan
autopsi menunjukkan kerusakan alveolar difus yang dinilai oleh dua ahli patologi
independen.5 Tingkat kepercayaan terhadap kriteria radiografi dada pada pasien
ARDS telah dinyatakan dalam tingkat sedang dengan keragaman teknik
interobserver.6,7 Selain itu, kriteria hipoksemia (PaO2/FiO2 <200 mmHg) dapat

1
dipengaruhi oleh pengaturan ventilator pasien, terutama tingkat PEEP yang
digunakan.8 Pada akhirnya, tekanan kapiler baji akan lebih sulit untuk
diinterpretasi dan apabila seorang pasien dengan ARDS memiliki tekanan baji
kapiler yang tinggi, hal ini tidak seharusnya menyulitkan dalam penegakkan
diagnosis pada pasien dengan ARDS.4
Berdasarkan masalah ini, European Society of Intensive Care Medicine
dengan dukungan dari The American Thoracic Society and The Society of Critical
Care Medicine mengadakan sebuah panel ahli internasional untuk merevisi
definisi ARDS; panel bertemu pada tahun 2011 di Berlin, dan definisi baru
diciptakan yaitu definisi Berlin. Tujuan dari pengembangan definisi Berlin adalah
untuk mencoba dan meningkatkan feasibilitas, reabilitas, face validity dan
predictive validity. Yang menarik, definisi ini secara empiris dievaluasi untuk
validitas prediktif untuk mortalitas dibandingkan dengan definisi AECC.7
Sejumlah studi klinis telah dilakukan pada pasien dengan ARDS, namun
kemajuan besar dalam perawatan pasien masih kurang dan terapi suportif tetap
menjadi andalan dalam pengelolaan ARDS.4 Pendekatan terapi terkini untuk
ARDS adalah meliputi perawatan suportif, bantuan ventilator dan terapi
farmakologis.9 AECC merekomendasikan terapi ARDS melalui pembatasan
volume tidal, PEEP, dan hiperkapnea. Prinsip pengaturan ventilator pasien ARDS
meliputi volume tidal rendah (4-6 mL/kgBB) dan PEEP yang adekuat (5-12
cmH2O).9 Penelitian pertama yang dilakukan oleh Amato dkk (1996) menyatakan
bahwa strategi ventilasi perlindungan paru dengan volume tidal yang rendah pada
pasien ARDS diperoleh hasil yang lebih baik dibandingkan dengan volume tidal
yang tinggi.10
Dalam dekade terakhir, banyak mekanisme molekuler telah ditemukan yang
sangat meningkatkan pemahaman kita tentang patogenesis ARDS. Namun, tidak
satupun dari kemajuan baru menjadi terapi yang efektif untuk meningkatkan
outcome pasien ARDS. Terapi inovatif berupa terapi gen dan terapi sel induk
mesenkimal dapat menjadi pengobatan ARDS yang menjanjikan.4

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologis Sistem Pernapasan


2.1.1 Anatomi Sistem Pernapasan
Saluran pernafasan terdiri dari rongga hidung, rongga mulut, faring,
laring, trakea, dan paru. (Gambar 1). Saluran pernapasan dari hidung sampai
bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa bersilia (Gambar 2B). Udara
masuk dari hidung lalu ke faring dan menuju laring. Laring terdiri dari
rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot-otot dan
mengandung pita suara, sedangkan trakea disokong oleh cincin tulang
rawan berbentuk seperti sepatu kuda yang panjangnya kurang lebih 12,5 cm
(5 inci). Di belakang laring, trakea bercabang menjadi bronkus utama kiri
dan kanan yang masing-masing masuk ke paru kanan dan kiri.. Bronkus
utama kiri dan kanan tidak simetris. Bronkus utama kanan lebih pendek dan
lebih lebar dibandingkan dengan bronkus utama kiri dan merupakan
kelanjutan dari trakea yang arahnya hampir vertikal. Sebaliknya, bronkus
utama kiri lebih panjang dan lebih sempit dibandingkan dengan bronkus
utama kanan dan merupakan kelanjutan dari trakea dengan sudut yang lebih
tajam.1

Gambar 1. Anatomi Sistem Pernapasan.

3
Gambar 2. Sistem Pernapasan. A. Asinus; B. Membran mukosa bersilia.1
Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkus
lobaris dan kemudian bronkus segmentalis (Gambar 2). Percabangan ini
berjalan terus menjadi bronkus yang ukurannya semakin kecil sampai
akhirnya menjadi bronkiolus terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang
tidak mengandung alveoli (kantong udara). Bronkiolus terminalis memiliki
garis tengah kurang lebih 1 mm. Bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin
tulang rawan, tetapi di kelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat
berubah. Seluruh saluran udara kebawah sampai tingkat bronkiolus
terminalis disebut saluran penghantar udara ke tempat pertukaran gas
paru.1
Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit
fungsional paru, yaitu tempat pertukaran gas (Gambar 2A). Asinus terdiri
dari (1) bronkiolus respiratorius, yang terkadang memiliki kantong udara
kecil atau alveoli pada dindingnya; (2) duktus alveolaris, seluruhnya
dibatasi oleh alveolus, dan (3) sakus alveolaris terminalis, yaitu struktur
akhir paru. Asinus (lobulus primer) memiliki garis tengah kira-kira 0,5-1,0

4
cm. Terdapat sekitar 23 kali percabangan mulai dari trakea sampai sakus
alveolaris terminalis. Alveolus (dalam kelompok sakus alveolaris
menyerupai anggur, yang membentuk sakus terminalis) dipisahkan dari
alveolus didekatnya oleh dinding tipis atau septum. Lubang kecil pada
dinding ini dinamakan pori-pori Kohn. Lubang ini menghubungkan atau
aliran udara antar sakus alveolaris terminalis. Alveolus hanya mempunyai
satu lapis sel yang diameternya lebih kecil dibandingkan dengan diameter
sel darah merah. Dalam setiap paru terdapat sekitar 300 juta alveolus
dengan luas permukaan seluas sebuah lapangan tenis.1
Terdapat dua tipe lapisan sel alveolar: pneumosit tipe I, merupakan
lapisan tipis yang menyebar dan menutupi lebih dari 90% daerah
permukaan, dan pneumosit tipe II, yang bertanggung jawab terhadap
sekresi surfaktan.1

Gambar 3. Struktur mikroskopik sebuah duktus alveolaris dan alveolus-alveolus


berbentuk poligonal yang mengitarinya.1

Alveolus merupakan suatu gelembung gas yang dikelilingi oleh


jaringan kapiler sehingga batas antara cairan dan gas membentuk tegangan
permukaan yang cenderung mencegah pengembangan saat inspirasi dan
cenderung kolaps ada waktu ekspirasi. Tetapi, alveolus dilapisi zat
lipoprotein (surfaktan) yang dapat mengurangi tegangan permukaan dan

5
mengurangi resistensi terhadap pengembangan pada waktu inspirasi, dan
mencegah kolaps alveolus pada waktu ekspirasi. Pembentukan dan
pengeluaran surfaktan oleh sel lapisan alveolus (Tipe II) bergantung pada
beberapa faktor, yaitu kematangan sel-sel alveolus dan sistem enzim
biosintetik, kecepatan pergantian surfaktan yang normal, ventilasi yang
memadai, dan aliran darah ke dinding alveolus. Surfaktan disimtesis
secara cepat dari asam lemak yang diekstraksi dari darah, dengan
kecepatan pergantiannya yang cepat. Produksi surfaktan dirangsang oleh
ventilasi aktif, volume tidal yang memadai, dan hiperventilasi periodik
(cepat dan dalam) yang di cegah oleh konsentrasi O2 tinggi pada udara
yang diinspirasi. Sehingga pemberian O2 konsentrasi tinggi dalam waktu
yang lama atau kegagalan untuk bernapas cepat dan dalam pada seorang
pasien yang menggunakan ventilasi mekanik akan menurunkan produksi
surfaktan dan menyebabkan kolaps alveolar (ateletaksis). Defisiensi
surfaktan dianggap sebagai faktor penting pada patogenesis sejumlah
penyakit paru, termasuk sindrom gawat napas akut (ARDS).1

2.1.2 Fisiologi Sistem Pernapasan


Proses fisiologi pernapasan yaitu proses O2 yang dipindahkan dari udara ke dalam
jaringan-jaringan, dan CO2 dikeluarkan ke udara, seperti pada gambar di bawah
ini:

6
Gambar 4. Tahap utama proses respirasi. RV, ventrikel kanan; LV, ventrikel kiri.1
Respirasi (pernapasan) mencakup dua proses yang terpisah tetapi berkaitan:
respirasi internal dan respirasi eksternal (Gambar 5). Respirasi eksternal
merujuk kepada seluruh rangkaian kejadian dalam pertukaran O2 dan CO2 antara
lingkungan eksternal dan sel tubuh; mencakup empat langkah:
1. Udara secara bergantian dimasukkan ke dan dikeluarkan dari paru
sehingga udara dapat dipertukarkan antara atmosfer (lingkungan
eksternal) dan kantung udara (alveolus) paru. Pertukaran ini dilaksanakan
oleh tindakan mekanis bernapas, atau ventilasi;
2. O2 dan CO2 dipertukarkan antara udara di alveolus dan darah kapiler paru
melalui proses difusi;
3. Darah mengakut O2 dan CO2 antara paru dan jaringan;
4. Oksigen dan CO2 dipertukarkan antara jaringan dan darah melalui proses
difusi menembus kapiler sistemik (jaringan).
Respirasi sel atau respirasi interna merupakan proses-proses metabolik
intrasel yang dilakukan di dalam mitokondria, yang menggunakan O 2 dan
menghasilkan CO2 selagi mengambil energi dari molekul nutrien.

7
Gambar 5. Respirasi internal dan respirasi eksternal.

2.1.2.1 Ventilasi
Ventilasi merupakan proses pertukaran udara antara atmosfer dengan alveoli.
Ventilasi merupakan proses pertukaran udara antara atmosfer dengan alveoli.
Udara bergerak masuk dan keluar paru karena ada selisih tekanan yang terdapat
antara atmosfer dan alveolus akibat gerakan paru dalam rongga dada yang

8
diperkuat otot-otot pernapasan. Tekanan intrapleura menjadi lebih negatif selama
inspirasi dan kurang negatif selama ekspirasi. Udara bergerak ke dalam paru
selama inspirasi bila tekanan alveoli lebih rendah daripada tekanan atmosfer dan
udara keluar dari paru selama ekspirasi bila tekanan alveolar lebih besar daripada
tekanan atmosfer.1

2.1.2.2 Difusi
Difusi dalam respirasi merupakan proses pertukaran gas antara alveoli dengan
darah pada kapiler paru. Proses difusi terjadi karena perbedaan tekanan, gas
berdifusi dari tekanan tinggi ke tekanan rendah (Gambar 6). Salah satu ukuran
difusi adalah tekanan parsial. Proses difusi gas-gas melintasi membran alveolus
kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 m). Kekuatan pendorong untuk
pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas. Tekanan
parsial O2 (PO2) dalam atmosfer pada permukaan laut besarnya sekitar 159 mmHg
(21% dari 760 mmHg). Namun, pada waktu O2 sampai di trakea, tekanan parsial
ini akan mengalami penurunan sampai sekitar 149 mmHg karena dihangatkan dan
dilembabkan oleh jalan napas (760 - 47 x 0,21 = 149). Tekanan parsial uap air
pada suhu tubuh adalah 47 mmHg. Tekanan parsial O 2 yang diinspirasi akan
menurun kira-kira 103 mmHg pada saat mencapai alveoli karena tercampur
dengan udara dalam ruang mati anatomik pada saluran jalan napas. Ruang mati
anatomik ini dalam keadaan normal mempunyai volume sekitar 1 ml udara per
pound berat badan ideal (misal, 150 ml/150 pound laki-laki). Hanya udara bersih
yang mencapai alveolus yang merupakan ventilasi efektif.1

9
Gambar 6. Difusi gas melalui membran alveolikapiler. PCO2, PO2, tekanan parsial karbon
dioksida, oksigen; PaCO2, PaO2, PCO2 alveolus, PO2; PVCO2, PVO2, PCO2 vena campuran,
PO2.1

Tekanan parsial O2 dalam darah vena campuran (PVO2) di kapiler paru kira-
kira sebesar 40 mmHg. PO2 kapiler lebih rendah dari pada tekanan dalam alveolus
(PAO2 = 103 mmHg) sehingga O2 mudah berdifusi kedalam aliran darah dan
PaCO2 yang jauh lebih rendah (6 mmHg) menyebabkan CO 2 berdifusi ke dalam
alveolus. CO2 ini kemudian dikeluarkan ke atmosfer, yang konsentrasinya pada
hakekatnya nol. Selisih CO2 antara darah dan alveolus amat kecil namun tetap
memadai, karena dapat berdifusi melintasi membran alveolus kapiler kira-kira 20
kali lebih cepat dibandingkat O2 karena daya larutnya yang lebih besar.1
Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan antara O2 di
kapiler darah paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total waktu
kontak selama 0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru normal
memiliki cukup cadangan waktu difusi. Pada beberapa penyakit (misalnya fibrosis
paru), sawar darah dan udara dapat menebal dan difusi melambat sehingga
keseimbangan mungkin tidak lengkap, terutama sewaktu berolahraga ketika waktu
kontak total berkurang. Jadi, blok difusi dapat mendukung terjadinya hipoksemia,
tetapi tidak dianggap sebagai faktor utama. Pengeluaran CO2 dianggap tidak
dipengaruhi oleh kelainan difusi.1
2.2 Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)

10
2.2.1 Definisi
ARDS merupakan sindrom yang ditandai oleh peningkatan permeabilitas
membran alveolar-kapiler terhadap air, larutan dan protein plasma, disertai
kerusakan alveolar difus, dan akumulasi cairan dalam parenkim paru yang
mengandung protein.11 ARDS adalah kondisi pernapasan yang mengancam jiwa
ditandai dengan hipoksemia dan paru-paru kaku, tanpa ventilasi mekanik
kebanyakan pasien akan meninggal.4 Definisi ARDS yang di revisi oleh European
Society of Intensive Care Medicine dengan dukungan dari The American Thoracic
Society and The Society of Critical Care Medicine yang disebut definisi Berlin,
terdiri dari beberapa poin penting yaitu waktu onset akut, chest x-ray, penyebab
edema, dan oksigenasi.4 (Tabel 1).
Tabel 1. Definisi Berlin ARDS (Fanelli et. al, 2013).

2.2.1.1 Waktu Onset Akut


Waktu onset akut kegagalan pernapasan untuk menegakkan diagnosis ARDS
didefinisikan dengan jelas pada definisi Berlin. Definisi Berlin mendefinisikan
paparan faktor risiko yang diketahui atau memburuknya gejala pernapasan dalam
waktu satu minggu. Hal ini penting untuk mengidentifikasi faktor risiko yang
menjelaskan konteks kegagalan pernafasan akut.4

2.2.1.2 Chest X-ray

11
Radiografi dada ditandai dengan kekeruhan bilateral melibatkan setidaknya 3
kuadran yang tidak sepenuhnya dijelaskan oleh efusi pleura, atelektasis dan nodul.
Dengan tidak adanya faktor risiko yang diketahui, asal kardiogenik edema adalah
untuk dikecualikan oleh evaluasi obyektif dari fungsi jantung dengan
echocardiography. Akibatnya, pengukuran tekanan wedge ditinggalkan karena
ARDS dapat hidup berdampingan dengan edema hidrostatik yang disebabkan oleh
kelebihan cairan atau gagal jantung. Definisi ARDS Berlin itu secara empiris
dievaluasi untuk menguji validitas prediktif untuk mortalitas dengan
menggunakan database klinis besar dari multicenter dan pusat tunggal uji klinis
yang mencakup 3670 pasien. Tingkat kematian adalah 27% untuk ringan, 32%
untuk moderat dan 45% untuk ARDS parah. Selain itu, jumlah ventilator hari
bebas menurun dari ringan sampai ARDS parah, dan tahap yang lebih parah dari
ARDS dikaitkan dengan peningkatan progresif berat paru-paru sebagai dievaluasi
oleh CT scan dan fraksi shunt.4

2.2.1.3 Oksigenasi
Dalam definisi Berlin, tidak ada penggunaan istilah Acute Lung Injury (ALI).
Komite merasa bahwa istilah ini tidak tepat digunakan dalam banyak konteks.
Dalam definisi Berlin, ARDS tergolong ringan, sedang dan berat sesuai dengan
nilai rasio PaO2/FiO2 (Tabel 2). Yang penting, nilai perbandingan PaO2/FiO2
dianggap hanya dengan CPAP atau nilai PEEP minimal 5 cmH2O.4

Tabel 2. Perbedaan definisi AECC dan definisi Berlin.7

12
2.2.2 Epidemiologi
ARDS memiliki tingkat kematian mencapai 40% di Amerika Serikat, dengan
74500 kematian dan 3,6 juta hari rawat inap di rumah sakit per tahunnya. ARDS
merepresentasikan 10.4% dari total pasien yang dirawat di ICU, 23.4% dari total
pasien yang membutuhkan ventilasi mekanik, dan 42% kasus ICU dalam waktu 4
minggu di 459 ICU dari 50 negara di 5 benua (Amerika Utara, Amerika Selatan,
Asia, Afrika, dan Oceania).12

2.2.3 Etiologi
ARDS terjadi jika paru terkena cedera secara langsung maupun tidak langsung
oleh berbagai proses. Beberapa keadaan yang paling sering menyebabkan ARDS
dimuat dalam daftar pada kotak dibawah ini:1

Tabel 3. Penyebab Sindrom Gawat Napas Dewasa.1

13
2.2.4 Faktor Resiko
Faktor-faktor resiko ARDS terdiri dari faktor langsung dan tidak langsung, yaitu:
Tabel 4. Faktor-faktor Resiko ARDS4

2.2.5 Patogenesis
Mekanisme seperti mengapa ARDS yang mempunyai penyebab bermacam-
macam dapat berkembang menjadi sindrom klinis dan patofisiologis yang sama
masih belum jelas diketahui. Petunjuk umum penyebab edema alveolar yang khas
agaknya berupa cedera membran kapiler alveolar yang menyebabkan kebocoran
kapiler. Penyelidikan dengan mikroskop elektron menunjukkan sawar udara-darah
terdiri dari pneumosit tipe I (sel-sel penyokong) dan pneumosit tipe II (sumber

14
surfaktan) bersama-sama dengan membran basalis dari sisi alveolar; sawar
tersebut bersinggungan dengan membran basalis kapiler dan sel-sel endotel.
Selain itu, alveolus memiliki jaringan ikat yang bekerja sebagai pembantu dan
pengatur volume. Membran kapiler alveolar dalam keadaan normal tidak mudah
ditembus partikel-partikel. Tetapi, dengan adanya cedera maka terjadi perubahan
pada permeabilitasnya, sehingga dapat dilalui cairan, sel darah merah, sel darah
putih, dan protein darah. Mula-mula cairan akan berkumpul pada interstisium; dan
jika telah melebihi kapasitas dari interstisium, cairan akan berkumpul di dalam
alveolus, sehingga mengakibatkan atelektasis kongestif. Tempat-tempat lemah
tampaknya pada interdigitasi (ruang-ruang kecil selebar kira-kira 60 ) antara sel
endotel kapiler yang melebar, sehingga partikel-partikel kecil dapat masuk, dan
terjadi perubahan dalam tekanan onkotik. Sehingga terjadinya edema paru
bergantung pada gangguan tiap aspek hubungan normal antara daya-daya Starling:
tekanan hidrostatik, tekanan onkotik, dan tekanan jaringan. Pada keadaan normal,
filtrasi cairan ditentukan oleh hukum Starling yang menyatakan filtrasi melewati
endotel dan ruang intertisial adalah selisih tekanan osmotik protein dan
hidrostatik. Tekanan hidrostatik kapiler (Pc) meningkat akibat kegagalan fungsi
ventrikel kiri akan menyebabkan peningkatan filtrasi cairan dari kapiler ke
interstitial. Cairan kapiler tersebut akan mengencerkan protein intertsitial sehingga
tekanan osmotik interstitial menurun dan mengurangi pengaliran cairan ke dalam
vena.1

Hukum Starling:
Q = K (Pc-Pt) - D (c-t)

Keterangan:
Q : kecepatan filtrasi melewati membran kapiler
Pt : tekanan hidrostatik interstitial
K : koefisien filtrasi
c : tekanan onkotik kapiler
D : koefisien refleksi
t : tekanan onkotik interstitial
Pc : tekanan hidrostatik kapiler

15
Di samping itu, perubahan-perubahan dalam sistem surfaktan dapat
dipastikan memegang peranan penting dalam mikroatelektasis difus. Pada
kenyataannya, dengan mikroskop cahaya dapat terlihat materi-materi protein yang
membentuk membran hialin yang melapisi alveolus. Akibat dari edema difus dan
atelektasis ini adalah pirau intrapulmonal yang nyata, yang dapat memmengaruhi
lebih dari 40% curah jantung.1

2.2.6 Patofisiologi
ARDS dimulai dengan kerusakan pada epitel alveolar dan endotel
mikrovaskuler. Kerusakan awal dapat diakibatkan injuri langsung atau tidak
langsung. Kedua hal tersebut mengaktifkan kaskade inflamasi, yang dibagi dalam
3 fase yang dapat dijumpai secara tumpang tindih yaitu inisiasi, amplifikasi, dan
injuri.11
Pada fase inisiasi, kondisi yang menjadi faktor resiko akan menyebabkan sel-
sel imun dan non imun melepaskan mediator-mediator dan modulator-modulator
inflamasi didalam paru dan ke sistemik. Pada fase amplifikasi, sel efektor seperti
neutrofil teraktivasi, tertarik ke, dan tertahan di dalam paru. Di dalam organ target
tersebut, neutrofil melepaskan mediator inflamasi, termasuk oksidan dan protease,
yang secara langsung merusak paru dan mendorong proses inflamasi selanjutnya.
Fase ini disebut fase injuri. Kerusakan pada membran alveolar-kapiler
menyebabkan peningkatan permeabilitas membran dan aliran cairan yang kaya
protein masuk ke ruang alveolar. Cairan dan protein tersebut merusak integritas
surfaktan di alveolus, dan terjadi kerusakan lebih jauh. 11 Hal ini menyebabkan
kerusakan alveolus yang difus dengan pelepasan sitokin proinflamasi, seperti TNF
alfa, IL-1, dan IL-6.13 Neutrofil direkrut ke paru oleh sitokin, menjadi aktif dan
melepaskan mediator toksik, seperti oksigen reaktif dan protease.14 Banyaknya
produksi radikal bebas merangsang antioksidan endogen dan menyebabkan
kerusakan sel oksidatif.15 Aktivasi neutrofil merupakan kunci dari patogenesis
ARDS. Faktor-faktor lain, seperti endotelin 1, angiotensin 2, dan fosfolipase A-2
meningkatkan permeabilitas vaskular dan merusak struktur mikrovaskular

16
berdampak pada kerusakan paru. Akumulasi cairan di alveolus diikuti dengan fase
proliferase yang ditandai dengan resolusi edema pulmonal, proliferasi sel alveolus
tipe 2, broblas, dan miobroblas.16
Terdapat 3 fase kerusakan alveolus:11
Fase eksudatif: ditandai edema interstitial dan alveolar. Nekrosis sel pneumosit
tipe 1 dan denudasi atau terlepasnya membran basalis, pembengkakan sel endotel
dengan pelebaran sel interseluler junction, terbentuknya membran hialin pada
duktus alveolar dan ruang udara, dan inflamasi neutrofil. Juga ditemukan
hipertensi pulmoner dan berkurangnya complience paru.
Fase proliferatif: paling cepat timbul setelah 3 hari sejak onset, ditandai
proliferasi sel epitel pneumosit tipe II.
Fase fibrosis: kolagen meningkat dan paru menjadi padat karena fibrosis.

Gambar 7. Alveolus normal dan kerusakan alveolus selama fase akut.

2.2.7 Gejala Klinis


Onset akut umumnya ialah 3-5 hari sejak adanya diagnosis kondisi yang
menjadi faktor risiko ARDS (dilihat faktor resiko). Tanda pertama ialah takipnea.

17
Dapat ditemukan hipotensi, febris. Pada auskultasi ditemukan ronki basah.11
Gambaran primer meliputi pirau intrapulmonal yang nyata dengan
hipoksemia, keregangan paru yang berkurang secara progresif, dan dispnea serta
takipnea yang berat akibat hipoksemia dan bertambahnya kerja pernapasan yang
disebabkan oleh penurunan keregangan paru. Keregangan paru dan toraks yang
normal secara bersamaan adalah sekitar 100 ml/cm H2O. Pada ARDS, keregangan
ini dapat menurun hingga 15 sampai 20 ml/cm H2O. Kapasitas residu fungsional
juga berkurang. Gambaran-gambaran ini merupakan akibat edema alveolar dan
interstisial. Akibatnya timbul paru yang kaku yang sukar berventilasi. Ciri khas
dari ARDS adalah hipoksemia yang tidak dapat diatasi dengan pemberian oksigen
selama bernapas spontan.1

2.2.8 Pemeriksaan Penunjang11


2.2.8.1 Laboratorium
Analisa gas darah: hipoksemia (pe PaO2), hipokapnia (pe PCO2)
(sekunder karena hiperventilasi), hiperkapnia (pe PCO2) (pada emfisema
atau keadaan lanjut). Alkalosis respiratorik (pH > 7,45) pada awal proses, lalu
akan berganti menjadi asidosis respiratorik.
Leukositosis (pada sepsis), anemia, trombositopenia (refleksi inflamasi
sistemik dan injuri endotel), peningkatan kadar amilase (pada pankreatitis).
Gangguan fungsi ginjal dan hati, tanda koagulasi intravaskuler diseminata
(sebagai bagian dari MODS/multiple organ dysfunction syndrome).
2.2.8.2 Radiologi
Pada ARDS, terdapat infiltrasi pulmonal bilateral. Infiltrasi yang nampak
dapat berupa gambaran difus dan simetrik atau asimetrik. Infiltrat paru umumnya
mencapai tingkat keparahan maksimal selama 3 hari pertama. Infiltrat dapat
dilihat pada radiografi dada langsung setelah adanya onset abnormalitas
pertukaran udara, dapat berupa pada interstitial, ditandai dengan pengisian
alveolus.17
Infiltrat dapat terdistribusi periferal dengan gambaran patchy, namun dengan
segera akan mengalami progresifitas keterkaitan bilateral difus dengan perubahan

18
ground glass atau frank alveolar infiltrate. Pada pasien yang menunjukkan tanda
perbaikan dan fase resolusi, peningkatan abnormalitas radiografi terjadi pada hari
10-14.18

Tabel 5. Tabel Pemeriksaan Fungsi Respirasi1

Tabel 5 memuat daftar beberapa pemeriksaan yang sering dipakai oleh


dokter-dokter perawatan intensif dan perawat untuk menilai fungsi ventilasi dan
oksigenasi pada pasien-pasien dengan gagal napas. Nilai kritis yang tertera dalam
daftar tersebut dipakai sebagai kriteria untuk menentukan apakah diperlukan
ventilasi mekanik. Perlu ditekankan bahwa nilai-nilai itu hanya merupakan
penuntun. Penilaian klinis yang baik adalah penilaian yang dibuat berdasarkan
pengertian yang mendalam mengenai patofisiologi gagal napas, dan juga
observasi yang baik dari pasien dengan hasil pengukuran kuantatif.1

2.2.9 Diagnosis Banding11


Edema paru kardiogenik

19
Infeksi paru: viral, bakterial, fungal
Edema paru yang berhubungan dengan ketinggian (High-Altitude Pulmonary
Edema = HAPE)
Edema paru neurogenik
Edema paru diinduksi laringospasme
Edema paru diinduksi obat: heroin, salisilat, kokain
Pneumonitis radiasi
Sindrom emboli lemak
Stenosis mitral dengan perdarahan alveolar
Vaskulitis
Pneumonitis hipersensitivitas
Penyakit paru interstisial

2.2.10 Tatalaksana
Perkembangan terkini terhadap penanganan terapeutik pada ARDS meliputi
bantuan ventilasi mekanis dengan ventilasi paru protektif menggunakan volume
tidal rendah, PEEP tinggi untuk mendukung alveoli paru untuk membuka kembali,
posisi pronasi sebagai penanganan untuk hipoksemia berat, dan ventilasi frekuensi
cepat. Terapi suportif pada managemen ARDS meliputi kontrol pada
keseimbangan cairan, strategi transfusi terbatas, dan minimisasi penggunaan
sedatif dan neuromuscular blocking agents.19
Terapi kortikosteroid merupakan terapi bagi fase fibroproliferatif pada pasien
ARDS. Pada beberapa penelitian menunjukkan keuntungan klinis dari terapi
dengan glukokortikoid dosis sedang hingga tinggi berguna pada modifikasi dari
respon inflamasi pada ARDS.20,21

2.2.11 Komplikasi
Multiorgan dysfunction syndrome (MODS)
Pneumonia nosokomial

20
Barotrauma, pneumotoraks
Sinusitis
Trauma laring
Trakeomalasia
Fistula trakeo-esofageal
Erosi arteri inominata
Kematian

2.2.12 Prognosis
Mortalitas sekitar 40%. Prognosis dipengaruhi oleh:
Faktor resiko, ada tidaknya sepsis, pasca trauma, dan lain-lain
Penyakit dasar
Adanya keganasan
Adanya atau timbulnya disfungsi organ multipel
Usia
Riwayat penggunaan alkohol
Ada atau tidaknya perbaikan dalam indeks pertukaran gas, seperti rasio
PaO2/FiO2 dalam 3-7 hari pertama
Pasien yang membaik akan mengalami pemulihan fungsi paru dalam tiga
bulan dan mencapai fungsi maksimum yang dapat dicapai pada bulan ke-6 setelah
ekstubasi. 50% pasien tetap memiliki abnormalitas, termasuk gangguan restriksi
dan penurunan kapasitas difusi. Juga terjadi penurunan kualitas hidup.

2.3 Ventilator Mekanik22


Ventilator mekanik merupakan alat yang digunakan untuk membantu fungsi
pernapasan. Penggunaannya diindikasikan untuk pasien dengan hipoksemia,
hiperkapnia berat dan gagal napas. Ventilator mekanik merupakan salah satu
aspek yang penting dan banyak digunakan bagi perawatan pasien yang kritis di
Intensive Care Unit (ICU), dengan penggunaan di Amerika Serikat mencapai 1,5
juta per tahun. Ventilator mekanik (VM) ialah alat yang menghasilkan tekanan
positif secara ritmik untuk mengembangkan paru selama ventilasi artifisial. Pada

21
saat ini sudah tersedia ventilator elektronik canggih yang dapat mengatur secara
tepat tekanan dan aliran gas, sehingga dapat mengendalikan inspirasi dan ekspirasi
dengan sangat baik.22

Fungsi ventilator umumnya sebagai berikut:22


1. Mengembangkan paru selama inspirasi
2. Dapat mengatur waktu, dari inspirasi ke ekspirasi
3. Mencegah paru untuk menguncup sewaktu ekspirasi
4. Dapat mengatur waktu, fase ekspirasi ke fase inspirasi

Semua ventilator mekanik canggih dilengkapi oleh monitor sebagai berikut:22


1. Pengukur tekanan
2. Pembatas tekanan untuk mencegah paru dari barotrauma
3. Pengaman (alarm) tekanan tinggi dan rendah
4. Pengatur volum paru (spirometer)

Pada akhir ekspirasi, tekanan di jalan napas bisa dikontrol. Bisa dibuat sama
dengan tekanan atmosfer atau lebih. Pengaturan pengontrolan itu disebut dengan
PEEP (Positive End Expiratory Pressure). Bila PEEP = 0, berarti tekanan di jalan
napas pada akhir ekspirasi sama dengan tekanan atmosfer, dan bila positif
,misalnya 5, berarti pada akhir ekspirasi tekanan di jalan napas 5 cmH2O lebih
tinggi dibandingkan tekanan udara atmosfer.

Fase bernapas dengan ventilator adalah sebagai berikut:


a. Awal Bernapas (initiating/triggering)
Awal bernapas bisa terjadi secara otomatis karena pengaturan waktu pada
ventilator (machine triggering) atau atas picuan (rangsangan/usaha bernapas)
pasien yang merangsang mesin (patient triggering) sehingga mesin memulai
menghembuskan gas ke pasien. Rangsangan napas dari pasien bisa atas dasar
perubahan flow atau tekanan yang terjadi pada mesin. Perubahan flowatau
tekanan berapa yang bisa merangsang mesin (sensitivity/trigger) tergantung
pengaturan kita. Artinya bisa dibuat lebih sensitif atau kurang sensitif.
b. Pembatasan Variabel (limitation)
Selama inspirasi, beberapa variabel (volume, tekanan atau flow) akan
terbatasi dan tetap dipertahankan (sesuai dengan pengaturan) sebelum

22
inspirasi berakhir.
c. Siklus Perpindahan (cycling)
Cycling adalah perpindahan dari fase inspirasi ke fase awal ekspirasi.
Perpindahan ini akan terjadi sesuai dengan pengaturan. Pengaturan
tersebut bisa berdasar atas waktu (time cycle), tekanan (pressure cycle),
volume (volume cycle) atau aliran udara (flow cycle).
Time cycle, artinya fase inspirasi berakhir setelah alokasi waktu inspirasi
berdasarkan pengaturan sudah terlampaui.
Pressure/volume cycle, artinya inspirasi berakhir setelah tidak ada flow
yang masuk (flow berhenti). Flow akan berhenti kalau pressure/volume
sesuai pengaturan sudah tercapai.
Flow cycle, artinya inspirasi berakhir kalau flow mencapai pengaturan
yang dibuat. Agar lebih menyelaraskan dengan pola napas pasien,
pengaturan pada flow cycle bisa diatur berbeda dengan pengaturan pabrik.
Pengaturan ini sering disebut sebagai ETS (expiratory triggersensitivity)
atau inspiratory cycling off. Misalnya pengaturan ETS 40%, artinya bila
flow mencapai 40% dari peak flowmaka akan terjadi cycling. Pengaturan
pabrik biasanya 25%.

2.4 Prone Positioning


Posisi pronasi merupakan managemen penyelamatan yang menguntungkan
bagi pasien ARDS guna meningkatkan oksigenasi. Posisi pronasi adalah posisi
terbalik dari supinasi dimana kepala diletakkan pada posisi lateral menghadap
ventilator, tangan di fleksi, lutut dan kaki disangggah dengan menggunakan
perangkat roll yang lunak.23 Menurut Pelosi, Brazzi, dan Gattinoni (2002), tujuan
utama dari pemberian posisi pronasi adalah untuk meningkatkan oksigenasi,

23
meningkatkan mekanisme pernapasan, untuk hemogenisasi gradien tekanan
pleura, inflasi alveolar, dan distribusi ventilasi, untukrmeningkatkan volume paru-
paru dan mengurangi jumlah area paru yang mengalami atelektasis, untuk
memfasilitasi pengeluaran sekresi, dan untuk megurangii cedera paru akibat
pemakaian ventilator paru.24
Beberapa penelitian telah mengeksplorasi pengaruh posisi pronasi terhadap
peningkatan status oksigenasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa posisi pronasi
dapat meningkatkan status oksigenasi pada berbagai kondisi pasien, terutama
pasien dengan masalah pernapasan. Keuntungan menggunakan posisi pronasi
pada pasien ARDS adalah untuk meningkatkan elastisitas dinding dada,
menurunkan kompresi jaringan paru, dan rekrutmen alveolus, menciptakan
ventilasi yang homogen dikarenakan penurunan ketidaksimbangan ventilasi-
perfusi, dan menurunkan ventilator-induced lung injury.25

2.5 Terapi Inovatif ARDS


2.5.1 Mesenchymal Stem Cell
Multipoten Mesenchymal Stem Cell (MSC) merupakan salah satu terapi
yang menarik bagi pasien ARDS sehubungan dengan kemampuan MSC untuk
berinteraksi dengan jaringan yang terluka melalui pelepasan faktor bioaktif larut.
MSC memilikikemampuan untuk mengekspresi karakteristik tanda pemukaan sel
dan membedakan in vitro terhadap osteoblas, adiposit, dan kondroblas. Selain itu,
MSC juga bersifat non-imunologik dikarenakan oleh rendahnya ekspresi
konstitutif kompleks tipe 1histokompatibilitas mayor (MHC) dan absensi MHC
tipe 2 dan molekul kostimulasi T-sel. MSCs memiliki peran penting dalam
regulasi lingkungan mikrohaemopoietik di sumsum tulang dan dapat membantu
untuk mengarahkan penciptaan jaringan pembuluh darah di jaringan. Penggunaan
klinis dari MSC digambarkan sebagai terapi bagi ARDS.26

2.5.2 Terapi Gen pada Pasien ARDS


ARDS ditandai dengan akumulasi abnormal cairan edema kaya protein
didalam ruang alveolus, disebabkan oleh peningkatan perpindahan cairan dari
kapiler menuju interstitial paru dan penurunan transpor cairan keluar ruang

24
alveolus.27 Kerusakan pada epitel alveolus memegang peranan penting terhadap
patogenesis peningkatan cairan alveolus karena 99% area permukaan paru terdiri
dari epitel alveolus, dimana merupakan area mayor untuk pembuangan keluar
cairan alveolus. Sehingga, penanganan untuk meningkatkan fungsi epitel alveolus
menjadi salah satu strategi terapeutik untuk mempercepat penyembuhan dan
penurunan angka kematian pasien ARDS.28
Epitel alveolus terdiri dari sel epitel alveolus pipih tipe 1, yang meliputi
90% area permukaan alveolus, dan sel epitel alveolus kubus tipe 2, yang
memproduksi protein surfaktan, transpor ion, dan berperan sebagai sel progenitor
untuk regenerasi sel epitel yang rusak. Epithelial natrium channel (EnaC), Na,K-
ATPase, cystic fibrosis trans-membrane conductance regulator (CFTR), dan
beberapa reseptor kalium di sel alveolus tipe 1 dan 2 menciptakan gradien
osmosis trans-epitel dari ruang alveolus. Clearance dari cairan alveolus
dipengaruhi oleh transpor natrium yang memasuki sel epitel alveolus via EnaC
pada permukaan apeks dan kemudian dipompa keluar oleh Na,K-ATPase didalam
permukaan basolateral dan kemudian masuk ke sirkulasi interstisial dan paru.
Beberapa penelitian telah menyatakan overekspresi gen EnaC dan Na,K-ATPase
dengan diregulasi oleh reseptor beta adrenergik atau CAMP dapat meningkatkan
transpor aktif alveolus untuk membersihkan edema paru.29
Terapi gen dapat digunakan sebagai terapi alternatif penting untuk
penanganan dan pencegahan edema paru dengan memperbaiki kembali fungsi
epitel alveolus. Pendekatan viral dan non viral dalam overekspresi gen CFTR dan
Na,K-ATPase telah dilakukan untuk meningkatkan perbaikan edema paru pada
pasien ARDS.30 Penggunaan vektor viral pada ARDS dapat menyebabkan respon
inflamasi lebih lanjut dimana dapat membahayakan pasien dengan pre-existing
disease, dimana pendekatan non viral dengan respon inflamasi yang lebih rendah
lebih dapat diterima pada pasien ARDS.31 Pendekatan non viral dengan
menggunakan elektroporasi dapat melindungi paru dari endotoxin-induced lung
injury dan dapat digunakan untuk menangani kerusakan paru terdahulu dengan
edema paru dan infiltrasi neutrofil dengan mekanisme upregulasi pembersihan

25
edema paru. Dengan elektroporasi, tidak hanya dapat membuang cairan alveolus,
namun juga dapat menurunkan jumlah infiltrasi neutrofil dan makrofag alveolus.30

BAB III
KESIMPULAN

Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) merupakan sindrom yang


ditandai oleh peningkatan permeabilitas membran alveolar kapiler terhadap air,
larutan dan protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus, dan akumulasi
cairan yang mengandung protein dalam parenkim paru. Definisi ARDS

26
berdasarkan definisi Berlin terdiri dari beberapa poin penting meliputi waktu
onset akut, chest x-ray, penyebab edema, dan oksigenasi.
Pemberian dan pengaturan ventilator mekanik yang tepat pada pasien ARDS
dapat meningkatkan oksigenasi. Prinsip pengaturan ventilator untuk pasien ARDS
meliputi volume tidal rendah (4-6 mL/kgBB), Positive End Expiratory Pressure
(PEEP) yang adekuat (5-12 cmH2O), dan posisi pronasi untuk memberikan
oksigenasi adekuat (PaO2 >60 mmHg) dengan tingkat FiO2 aman bagi pasien
ARDS. Selain itu, juga terdapat terapi inovatif pada pasien ARDS seperti terapi
gen dan mesenchymal stem cell.

DAFTAR PUSTAKA

1. Price Sylvia, A., & Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit, edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2. Hess DR, Kacmarek RM. 1996. Adult Respiratory Distress Syndrome. In:
Navrozov M, Hefta T, eds. Essentials of mechanical ventilation. New
York: McGraw-Hill; p.83-7.

27
3. Jia, X. 2007. The effects of mechanical ventilation on the development of Acute
Respiratory Distress Syndrome (Doctoral dissertation, Massachusetts
Institute of Technology).
4. Fanelli, V., Vlachou, A., Ghannadian, S., Simonetti, U., Slutsky, A. S., &
Zhang, H. 2013. Acute respiratory distress syndrome: new definition,
current and future therapeutic options. Journal of thoracic disease, 5(3),
326-334.
5. Ferguson, N. D., Frutos-Vivar, F., Esteban, A., Fernndez-Segoviano, P.,
Aramburu, J. A., Njera, L., & Stewart, T. E. 2005. Acute respiratory
distress syndrome: Underrecognition by clinicians and diagnostic
accuracy of three clinical definitions. Critical care medicine, 33(10),
2228-2234.
6. Ashbaugh, D., Bigelow, D. B., Petty, T., & Levine, B. 1967. Acute respiratory
distress in adults. The Lancet, 290(7511), 319-323.
7. Ranieri, V. M., Rubenfeld, G. D., Thompson, B. T., Ferguson, N. D., Caldwell,
E., Fan, E., ... & Slutsky, A. S. 2012. Acute respiratory distress
syndrome: the Berlin Definition. JAMA: the journal of the American
Medical Association. 307 (23): 2526-33. Epub 2012/07/17.
8. Villar, J., Prez-Mndez, L., Lpez, J., Belda, J., Blanco, J., Saralegui, I., ... &
Kacmarek, R. M. 2007. An early PEEP/FIO2 trial identifies different
degrees of lung injury in patients with acute respiratory distress
syndrome. American journal of respiratory and critical care medicine,
176(8), 795-804.
9. Susanto, Y. S., & Sari, F. R. 2012. Penggunaan Ventilasi Mekanis Invasif Pada
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Jurnal Respirologi
Indonesia, 32(1), 44-52.
10. Amato, M.B.P., Barbas, C.S.V., Medeiros, D.M., Magaldi, R.B., Schettino,
G.P., Lorenzi-Filho, G., Kairalla, R.A., Deheinzelin, D., Munoz, C.,
Oliveira, R. and Takagaki, T.Y. 1998. Effect of a protective-ventilation
strategy on mortality in the acute respiratory distress syndrome. New
England Journal of Medicine, 338(6), pp. 347-354.

28
11. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
12. Bellani, G., Laffey, J. G., Pham, T., Fan, E., Brochard, L., Esteban, A., ... &
Ranieri, M. 2016. Epidemiology, patterns of care, and mortality for
patients with acute respiratory distress syndrome in intensive care units
in 50 countries. JAMA, 315(8), 788-800.
13. Martin, T. R. 1999. Lung Cytokines and ARDS. Chest, 116(1), 1S2-1S2.
14. Windsor, A. C. J., Mullen, P. G., Fowler, A. A., & Sugerman, H. J. 1993. Role
of the neutrophil in adult respiratory distress syndrome. British journal
of surgery, 80(1), 10-17.
15. Gadek, J. E., & Pacht, E. R. 1996. The interdependence of lung antioxidants
and antiprotease defense in ARDS. CHEST Journal, 110(6_Supplement),
273S-277S.
16. Ware, L. B., Koyama, T., Billheimer, D. D., Wu, W., Bernard, G. R.,
Thompson, B. T., & Matthay, M. A. 2010. Prognostic and
pathogenetic value of combining clinical and biochemical indices in
patients with acute lung injury. CHEST Journal, 137(2), 288-296.
17. Meade MO, Cook RJ, Guyatt GH, et al. 2000. Interobserver variation in
interpreting chest radiographs for the diagnosis of acute respiratory
distress syndrome. Am J Respir Crit Care Med;161:85-90.
18. Rubenfeld GD, Caldwell E, Granton J, et al. 1999. Interobserver variability in
applying a radiographic definition for ARDS. Chest;116:1347-53.
19. Lin, X., & Dean, D. A. 2011. Gene therapy for ALI/ARDS. Critical care
clinics, 27(3), 705-718.Charalampos
20. Ashbaugh, D. G., & Maier, R. V. 1985. Idiopathic pulmonary fibrosis in adult
respiratory distress syndrome: diagnosis and treatment. Archives of
surgery, 120(5), 530-535.
21. Meduri, G. U., Belenchia, J. M., Estes, R. J., Wunderink, R. G., El Torky, M.,
& Leeper, K. V. 1991. Fibroproliferative phase of ARDS. Clinical
findings and effects of corticosteroids. CHEST Journal, 100(4), 943-952.

29
22. Latief, S. A., Suryadi, K. A., & Dachlan, M. R. 2009. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 70-72.
23. Relvas, M. S., Silver, P. C., & Sagy, M. 2003. Prone positioning of pediatric
patients with ARDS results in improvement in oxygenation if
maintained> 12 h daily. CHEST Journal, 124(1), 269-274.
24. Pelosi P, Bottino N, Caironi P, et al. 2000. Sign in acute respiratory distress
syndrome: effects in supine and in prone position. Intensive Care Med;
26: S263.
25. Pierrakos C, Karanikolas M, Scoletta S, Karamouzos V, Velissaris D. 2012.
Acute respiratory distress syndrome: pathophysiology and therapeutic
options. J Clin Med Res.; 4(1):7-16.
26. Walter, J., Ware, L. B., & Matthay, M. A. 2014. Mesenchymal stem cells:
mechanisms of potential therapeutic benefit in ARDS and sepsis. The
Lancet Respiratory Medicine, 2(12), 1016-1026.
27. Liu, K. D., & Matthay, M. A. 2008. Advances in critical care for the
nephrologist: acute lung injury/ARDS. Clinical Journal of the American
Society of Nephrology, 3(2), 578-586.
28. Mutlu, G. M., & Sznajder, J. I. 2005. Mechanisms of pulmonary edema
clearance. American Journal of Physiology-Lung Cellular and Molecular
Physiology, 289(5), L685-L695.
29. Budinger, G. S., & Sznajder, J. I. 2006. The alveolarepithelial barrier: a
target for potential therapy. Clinics in chest medicine, 27(4), 655-669.
30. Mutlu, G. M., Machado-Aranda, D., Norton, J. E., Bellmeyer, A., Urich, D.,
Zhou, R., & Dean, D. A. 2007. Electroporation-mediated gene transfer
of the Na+, K+-ATPase rescues endotoxin-induced lung injury.
American journal of respiratory and critical care medicine, 176(6),
582-590.
31. Factor, P., Saldias, F., Ridge, K., Dumasius, V., Zabner, J., Jaffe, H. A., ... &
Sznajder, J. I. 1998. Augmentation of lung liquid clearance via
adenovirus-mediated transfer of a Na, K-ATPase beta1 subunit gene.
Journal of Clinical Investigation, 102(7), 1421.

30
31

You might also like