You are on page 1of 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Transfusi darah secara general merupakan proses penerimaan darah
atau produk darah pada sirkulasi darah seseorang. Transfusi darah digunakan
untuk beberapa kondisi medis untuk menggantikan komponen darah yang
hilang. Pada awalnya, transfusi diberikan dengan seluruh komponen darah
(whole blood), namun pada praktek modern kedokteran seringkali
menggunakan komponen dari darah seperti : sel darah merah, sel darah putih,
plasma, faktor pembekuan, dan trombosit.
Ada banyak pertimbangan dari transfusi darah. Terutama pada pasien
yang butuh di operasi, pasien dengan keadaan penyakit serius, dan lain lain.
Namun ternyata ada beberapa keuntungan dan kerugian dari transfusi ini yang
perlu kita ketahui sebelum memberikan rencana transfusi darah. Demikian pula
dengan indikasi dari tranfusi darah, risiko transfusi darah itu sendiri. 1

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai :

1. Mekanisme kompensasi dan keputusan transfusi pada pasien trauma dan


kritis
2. Kontroversi mengenai kada optimal Hb dan transport oksigen pada situasi
kritis
3. Indikasi dari pemberian transfusi darah dan cara penggunaannya
4. Komplikasi dari transfusi
5. Cara penggunaan dan indikasi pemberian platelet, FFP, dan cryoprecipitate
pada pasien dengan perdarahan
1.2 Tujuan
1. Memahami mekanisme kompensasi pada pasien trauma dan kritis
2. Memahami indikasi, resiko, dan komplikasi dari transfusi
3. Mengetahui jenis transfusi yang diberikan pada kondisi-kondisi pasien
tertentu

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mekanisme kompensasi pada anemia dan keputusan transfusi pada pasien
trauma dan kritis
Fungsi dari sel darah merah adalah untuk mengangkut oksigen ke sel. Oleh
karena itu kadar Hb sangat penting untuk menentukan apakah seseorang perlu di
transfusi atau tidak. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keputusan transfusi
darah, yaitu :
1. Pemberian oksigen
2. Laju aliran darah (blood flow)
3. Masa Hb
4. Afinitas Oksigen dan Hb
5. Kebutuhan sel/jaringan itu sendiri (tissue demand)
6. Perkiraan mengenai apakah akan terus terjadi kehilangan darah
7. Gejala daripada kehilangan darah ketika infus kristaloid sudah tidak mampu
mengkoreksi kekurangan volume intra vaskuler
8. Kehilangan volume darah yang sangat cepat (30-40%) dari sirkulasi
9. Data dari monitor invasif dari perdarahan yang terjadi (aktif, terkontrol, tidak
terkontrol, dll)
10. Guideline daripada transfusi darah
11. Efektifitas dari mekanisme kompensasi pasien terhadap kekurangan zat
pengangkut oksigen.2,3,4,5,6

Sebuah penelitian dengan kategori I di Canada mengungkapkan bahwa


mekanisme adaptasi fisiologis tubuh dari anemia adalah :3
1. Anemia akan membuat peningkatan kadar 2,3 DPG (di pospho glycerate).
2. Cardiac Output :
a. peningkatan cardiac output akibat peningkatan stroke volume
b. peningkatan denyut jantung (Heart Rate) bervariasi tiap orangnya.
c. Peningkatan aktivitas saraf simpatis
d. Pengiriman Oksigen akan menurun pada kadar Hb dibawah 10 gr/dl,
maupun diatas 16 gr/dl.

4
e. Pada jantung dan otak :
i. Cerebral blood flow akan meningkat
ii. Coronary blood flow juga meningkat
iii. Gejala Coronary artery disease biasa muncul pada pasien
dengan anemia sedang (<9 gr/dl) akibat iskemia dari otot
jantung. Namun anemia sedang tidak menyebabkan gejala
cerebral iskemia pada pasien dengan cerebrovascular
disease.
Pasien dengan anemia sedang yang akut dan tanpa komplikasi tidak akan
mendapat pengaruh pada fungsi paru dan pemasukan oksigen ke jaringan.
Pergeseran dari kurva disosiasi Hb meningkat ketika Hb dibawah 6 gr/dl. Ini
akan memberi efek yang tidak seberapa pada saturasi arteri, namun memberi dampak
besar pada peningkatan P O2, yang menyebabkan oksigen tidak dapat terkirim ke
jaringan. Pada pasien dengan anemia akut, cardiac output akan meningkat untuk
mekanisme kompensasi. Pada pasien dengan anemia kronis, cardiac output sudah tidak
lagi menjadi mekanisme adaptasi dan justru menurun sebanyak 25% dari awal. Pada
pasien dengan usia tua juga terjadi kompenasi yang tidak adekuat. Pada pasien dengan
stenosis arteri koroner, mekanisme adaptasi dari anemia akut menjadi tidak adekuat.
Pada penilitian pada hewan, kadar hematokrit dibawah 17% akan menimbulkan
cardiac failure pada hewan yang menderita stenosis arteri koroner. Sedangkan pada
hewan yang tidak menderita stenosis arteri koroner, kadar Ht dibawah 8,6% baru
menimbulkan cardiac failure. Kadar Hb yang dianggap masih bisa ditoleransi pada
manusia yang menderita stenosi arteri koroner adalah 7,5 gr/dl. Pada pasien dengan
kadar Hb 6,5 gr/dl terjadi difungsi kontraktilitas jantung, dan dapat dikembalikan
fungsinya apabila Hb ditingkatkan sebanyak 1,9 gr/dl.3
Lalu bagaimana cara menentukan yang tercepat apakah pasien mengalami
shock atau tidak? Ternyata beberapa peneliti mengatakan bahwa tekanan darah, denyut
nadi, dan urine output bukanlah cara yang paling tepat karena tubuh sudah melakukan
mekanisme kompenasi sehingga seringkali dokter terlambat untuk melakukan
resusitasi padahal sudah terjadi depresi myocard dan peningkatan kadar laktat dalam
serum. Sehingga peneliti menyimpulkan, parameter terbaik adalah Base deficit dan
Kadar laktat dalam arteri sebagai parameter terbaik untuk menentukan apakah pasien
mengalami shock hemoragik atau tidak. 4

5
2.2 Nilai optimal Hb dan transport oksigen pada situasi kritis
Dua variable yang berkontribusi secara penting pada transport oksigen adalah
konsentrasi Hb dan cardiac output. Namun, ada kontroversi mengenai nilai optimal
pada dua variable ini selama manajemen perioperative pada pasien trauma dan sakit
kritis. Pasien dengan Hb 7-8 g/dL bisa menjalani anestesi dan bedah tanpa
meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Isovolemik hemodilusi dapat ditolerir secara
fisiologis hingga level Hb mencapai 3 g/dL karena peningkatan cardiac output dan
ekstraksi O2. Terutama saat ventilasi terkontrol, oksigen yang diinspirasi meningkat,
pasien tersedasi secara maksimal untuk menurunkan ventilasi, dan terjadi sedikit
hipotermia. Tergantung dari masalah medis yang ada, jumlah Hb 7g/dl mungkin tidak
membutuhkan transfusi darah bila volume intravaskular normal dan perfusi jaringan
terjaga.
Ada beberapa potensi resiko hemodilusi pada pasien dengan penyakit
serebrovaskular dan kardiovaskular. Transfusi pada kadar Hb yang rendah dapat
memicu kemungkinan iskemia pada pasien dengan penyakit jantung atau
kardiovaskular, cedera spinal, demam berkepanjangan, unstable angina, stenosis aorta
berat, dan hipertrofi ventrikel kiri. Pasien tersebut tidak bisa meningkatkan cardiac
output maupun aliran darah regional. Pasien dengan komensasi yang baik dengan
anemia kronis bisa mentoleransi konsentrasi Hb yang rendah terlepas dari beberapa
faktor resiko. 5
Meskipun sudah terjadi peningkatan resusitasi dan penanganan suportif pada
pasien, kegagalan organ sering terjadi pada pasien trauma. Ada hipotesis yang
mengatakan bahwa kerusakan organ tersebut terjadi akibat kurangnya pengantaran
oksigen pada organ yang sering diperparah oleh rendahnya ekstraksi O2 oleh jaringan.
Resusitasi dengan kristaloid isotonik pada pasien trauma yang mengalami
peningkatan cardiac output untuk mengatasi rendahnya pengantaran oksigen bisa
memiliki efek samping terhadap fungsi neutrofil. Terjadi peningkatan aktivasi
neutrofil setelah dilusi dengan kristaloid dan koloid. Data ini mengindikasikan bahwa
terjadi peningkatan resiko terjadi inflamasi post trauma dan kegagalan organ,
meskipun hal ini belum terbukti. Resusitasi secara cepat memberikan depresi sistem
imun lebih besar dimana resusitasi secara perlahan akan memberi restorasi depresi
sistem imun. 6
Cardiac output yang optimal bersifat time-dependent. Jika transport oksigen
bisa diperbaiki lebih dini dan kekurangan oksigen dapat terbayar secara cepat, akan

6
lebih baik bila kita tingkatkan cardiac output pada pasien. Menunggu lebih dari 24 jam
sebelum menormalkan kekurangan oksigen dan tingkat laktat pada pasien syok bukan
tindakan yang bijak. Hal ini dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien.5

2.3 Penggunaan dan indikasi transfusi darah


Indikasi tradisional dari transfusi darah adalah kadar Hb dibawah 10 gr/dl.
Namun baru-baru ini, keuntungan dari transfusi darah menjadi sebuah kontroversi dan
konsep berdasar satu hasil lab (Hb) sebagai petunjuk untuk transfusi mulai di teliti
karena ada beberapa pakar yang menyatakan keputusan transfusi darah dipengaruhi
oleh banyak faktor termasuk penyakit komorbid (terutama jantung), usia, kehilangan
darah akut, dan perkiraan apakah perdarahan akan terus terjadi, dan perubahan
fisiologis dari kehilangan darah secara akut tersebut.
Canadian Critical Care melakukan sebuah penelitian dengan membandingkan
hasil dari pemberian transfusi dan tidak di transfusi. Penelitian pertama pada pasien
kritis namun masih euvolemik, dibandingkan mortalitas nya pada sekitar 400 pasien
pada tiap group. Group pertama dilakukan transfusi bila Hb <7 gr/dl yang diberikan
72 jam setelah masuk rumah sakit, dan group kedua pasien di transfusi bila Hb <10
gr/dl. Mereka menemukan, rata-rata kematian yang terjadi 30 hari kemudian ternyata
tidak berbeda jauh (18,7% dan 23,3%). Meskipun demikian, rerata mortalitas lebih
tinggi pada pasien kritis yang mendapat restriksi transfusi darah dan berusia diatas 55
tahun. 7
Guideline dari transfusi darah oleh NIH Consensus Panel tahun 1988
menyatakan bahwa transfusi darah perlu diberikan pada pasien dengan masalah
jantung dan otak bila kadar Hb pasien dibawah 7 gr/dl. Namun Canadian Medical
Association menyatakan kadar Hb <8 gr/dl merupakan indikasi transfusi. Sementara
College of American Pathologist merekomendasikan kadar Hb <6 gr/dl, kondisi
anemia akut, dan kehilangan darah >30% membutuhkan transfusi.
Restriksi transfusi pada pasien dengan kadar Hb rendah masih dapat diterima
bila pada setting operasi elektif, namun tidak dianjurkan pada kasus perdarahan hebat
dan kasus pasien kritis. Alasan pertama, cardiac output tidak akan adekuat pada pasien
trauma perdarahan karena rendahnya volume sirkulasi darah. Kedua, pada saat cardiac
output rendah terjadi kekurangan perfusi ke organ dan mengakibatkan iskemia organ.
Ketiga, ketika terjadi ongoing blood loss, bisa terjadi yang tidak kelihatan, contoh pada

7
kasus fraktur, koagulopati, dan kasus hipotermia. Keempat, bila pasien sedang
menjalani operasi, prediksi kapan muncul shock akibat kehilangan darah selama
operasi menjadi tidak dapat diprediksi. Kelima, pada pasien dengan trauma multiple,
hormon eritropoetin akan tidak adekuat karena kondisi hipoferrin akibat adanya
mediator-mediator inflamasi setelah 12 jam post trauma yang akan bertahan hingga 9
hari post trauma.6
Dua organ utama yang berisiko mengalami gangguan paling fatal adalah otak
dan jantung. Otak tidak selalu dapat termonitor secara kuantitatif ketika ada penyakit
kritis atau saat sedang dilakukan anestesi, meskipun transcranial cerebral oxymetri dan
vena jugular oxymetri bisa termonitor, namun perubahan ini tidak dapat terdeteksi
pada kasus akut. Meskipun cardiac iskemia dapat termonitor lewat analisa segmen ST,
dan troponin analisis, namun hanya sedikit klinisi yang melakukan ini karena sibuk
melakukan resusitasi atau prosedur anestesia pada pasien dengan perdarahan yang
signifikan. Monitoring lewat kadar urine tidak membantu karena merupakan indikator
yang kurang baik untuk mengetahui keberhasilan resusitasi organ ginjal. Faktanya,
output yang tinggi pada pasien dengan gagal ginjal (yang sering digunakan untuk
penanda oliguric renal failure) seringkali munculnya dengan peningkatan aliran urin
namun terjadi penurunan kreatinin clearance. Mekanisme pencernaan untuk
melakukan autoregulasi cukup rendah, sehingga ketika terjadi penurunan tekanan
darah pada pasien anemia perdarahan, usus menjadi iskemia dan muncul peritonitis.
Organ pencernaan dapat dimonitor dengan tonometer, namun membutuhkan kalibrasi
yang harus sering dilakukan sehingga jarang dilakukan saat resusitasi pasien
perdarahan. Maka, untuk alasan ini, klinisi yang melakukan manajemen pada pasien
kritis perlu mulai berhati-hati bila kadar Hb mulai mencapai 8-10 gr/dl pada pasien
dengan perdarahan akut.4
Multicenter di Eropa melakukan sebuah penelitian pada pengambilan darah di
46 ICU dan menemukan fakta bahwa banyak pasien yang dirawat disana mengalami
anemia dan mendapat transfusi dalam jumlah yang besar. Sehingga beberapa peneliti
berpendapat pemberian darah yang berguna untuk transport oksigen pada pasien
dengan penyakit kritis. Namun hal ini masih kontroversial. Ada beberapa penelitian
yang mengevaluasi efek dari transfusi pada pasien perioperatif dan pasien dengan
penyakit kritis. Meskipun terjadi peningkatan DO2 (delivery O2) namun daya
konsumsi oksigen (VO2) hanya meningkat sesekali saja. Penurunan kadar plasma
laktat akibat transfusi juga hanya dilaporkan oleh 1 studi dalam penelitian tersebut.

8
Oleh karena itu, sangat kecil evidence yang menyatakan transfusi darah akan
mengurangi hipoksia jaringan pada pasien dengan penyakit serius. Sebuah faktor lain
yang tidak kalah pentingnya yaitu darah yang disimpan itu seringkali sudah terlalu tua
sehingga mempengaruhi kemampuan tubuh untuk mengkonsumsi Oksigen (VO2).
Transfusi darah juga sering mengakibatkan imunosupresif akibat penurunan
imunitas seluler, menurunkan aktifitas NK cell, mensupresif makrofag antigen
presentasi, dan menurunkan kadar sitokin (TNF, IFN). Beberapa evidence menyatakan
sel darah putih dari darah yang ditransfusi adalah penyebab imunosupresan tersebut.
Oleh karena itu lebih disarankan pasien post operasi diberikan cairan dan oksigenasi
yang maksimal daripada pemberian transfusi darah.
Eritropoetin adalah salah satu alternatif untuk meningkatkan kadar Hb pasien.
Rekombinan eritropoetin manusia secara signifikan mampu meningkatkan HCT dan
sel darah merah pada pasien dengan gagal ginjal kronis, baik pada pasien yang
mendapat dialisis maupun tidak. Eritropoetin diberikan selama 10-14 hari. Studi
menyebutkan pada pasien dengan luka bakar tidak signifikan peningkatan kondisi
daripada postburn anemia. Eritropetin tidak dapat memperbaiki kadar HCT dalam 10
hari pertama pada pasien dengan penyakit serius.7
Studi menyebutkan pasien dengan penyakit kritis memperoleh penurunan
angka kematian, peningkatan perfusi jaringan, komplikasi lebih sedikit, bila Hb dijaga
pada batas 7-9 gr/dl. Perlu dipertimbangkan bahwa keadaan normovolemia sangat
penting untuk mendapatkan outcome yang baik. Pemberian cairan merupakan hal
terbaik untuk memperoleh keadaan normovolemia, menjaga fungsi jantung, dan
mengatur restriksi cairan dan support inotropik.
Seperti sudah disebutkan diatas, bahwa ada korelasi antara perdarahan dan
peningkatan base deficit dibandingkan laktat. pH dan P CO2 adalah salah satu yang
terbaik untuk menentukan keberhasilan resusitasi yang adekuat. Pemeriksaan ini perlu
dengan darah dari vena central, bukan dari arteri pulmonal.

2.4 Komplikasi transfusi darah


Lebih dari 12 juta unit darah ditransfusi setiap tahunnya di Amerika Serikat.
Ada 1:676.000 kemungkinan terjangkit HIV, 1:103.000 kemungkinan terjangkit
hepatitis C, dan 1:63.000 kemungkinan terjangkit hepatitis B. Kemungkinan terjadinya
salah pemberian kantung darah akibat kesalahan manusia berjumlah sebanyak

9
1:37.000 yang berakhir pada kematian setiap 1.8 juta unit darah ditransfusi. Sebagai
hasil dari data-data tersebut, resiko transfusi darah telah berubah dan ada penurunan
trend dari transfusi darah.
Untuk menjamin keamanan pasien, sangatlah penting untuk perhatian yang
diberikan untuk menurunkan insidensi dan keparahan penyakit. Penurunan resiko
tertularnya penyakit telah sangat jauh ditekan dari 1:10 menjadi 1:100.000 di tahun
2000. Dalam 20 tahun terakhir, resiko terjangkitnya HIV juga telah mengalami
penurunan sebanyak 10.000 kali lipat. Data ini menganggap remeh resiko transfusi
yang bersifat non infeksius. Demam akibat reaksi nonhemolitik seringkali terjadi.
Studi prospektif terhadap transfusi menigdentifikasikan banyak kejadian akibat
transfusi darah tidak dilaporkan. Overload cairan merupakan masalah yang signifikan
yang diasosiasikan dengna transfusi seld arah merah. Pada 20% pasien, 1 labu darah
bisa menyebabkan pasien mengalami distress pernapasan akut.
Kerusakan paru akut akibat transfusi merupakan bentuk dari distress respirasi
yang dikarakteristikan oleh distres respirasi akut, edema paru, hipoksia, takikardia,
demam, hipertensi, dan sianosis. Hal ini terjadi satu hingga enam jam pasca transfusi.
Kerusakan paru akut akibat merupakan kasus ketiga paling umum yang terjadi terkait
dengan transfusi darah. Lebih dari 200 kasus graft-versus-host terkait transfusi telah
dilaporkan dan sebanyak 90% dari kasus tersebut berakibat fatal.
Pada neonatus, transfusi meningkatkan gangguan metabolik dan hipoglikemia.
Pasien neonates juga sering mengalami hyperkalemia, hipokalsemia dan henti jantung.
Kurangnya transfusi yang terjadi saat Hb kurang dari 6, bisa terjadi pada populasi
tertentu. Guideline khusus untuk transfusi belum ditetapkan secara pasti. Transfusi
darah tidak menurunkan resiko kematian pada pasien dengan nilai Hb antara 8 g/dl
hingga 10 g/dl. Namun, angka mortalitas menurun pada pasien dengan Hb dibawah 7
g/dl yang mendapat transfusi bila dibandingkan dengan pasien dengan Hb 8-10 g/dl.
Pada satu studi, peneliti menemukan bahwa anemia memiliki potensi mematikan pada
iskemi miokard. Kadar hematocrit kurang dari 28% juga diasosiasikan dengan iskemik
miokard dan gangguan jantung lainnya. 8

2.5 Indikasi dan penggunaan platelet, fresh frozen plasma, dan cryoprecipitate
pada pasien dengan perdarahan
Satu unit konsentrat platelet pada umumnya akan meningkatkan jumlah
platelet sebanyak 5-10x109 per liter pada orang dewasa dimana dosis terapeutik

10
sebanyak satu konsentrat per 10 kg berat badan. American Association of Blood
Banks memberi standard harus terdapat minimal 3 x 1011 /L platelet dalam sebuah
kantung. Jika satu kantung berisi lebih dari 6 x 1011 /L platelet maka kantung akan
dibagi menjadi dua dosis. Waktu paruh platelet pada umumnya berusia 2 hari.
Batas terbawah yang aman bagi transfusi platelet adalah sebanyak 10.000 x
109/L platelet. Batas 20.000 x 109 /L perlu dipakai untuk pasien dengan demam, infeksi,
dan kondisi lain. Batas transfusi untuk seting bedah adalah sebanyak 50.000 x 109 /L.
Jika trombositopenia terjadi akibat transfusi massif, maka diperlukan transfusi platelet.
Trombositopenia akibat konsumsi atau dilusi dari disfungsi platelet dapat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas post trauma dan tindakan bedah. Pada pasien
yang mendapat transfusi darah massif lebih dari 20 labu whole blood, jumlah platelet
dalam tubuh pasien biasanya tidak akan melebihi 50.000 x 109 /L. 8
ASA task force berkesimpulan bahwa kebutuhan transfusi platelet tergantung
pada banyak faktor resiko, bukan hanya nilai hitung platelet. Resiko pasien bedah
ditentukan oleh tipe dan lamanya tindakan bedah, kemampuan mengkontrol
pendarahan, konsekuensi dari pendarahan tidak terkontrol, jumlah perdarahan yang
sebenarnya, dan adanya faktor lain yang mempengaruhi fungsi platelet. Transfusi
platelet juga diwajibkan pada pasien pendarahan dengan disfungsi platelet dan
pendarahan mirkovaskuler terlepas dari jumlah platelet yang dimiliki. Keterbatasan
dan indikasi transfusi platelet dijelaskan pada tabel 8.9

Batas dan Indikasi untuk transfusi platelet


10.000 x 109 /L pada pasien stabil dan nonbedah
20.000 x 109 /L pada pasien dengan demam dan infeksi
50.000 x 109 /L pada pasien bedah
50.000-100.000 x 109 /L pada pasien gawat darurat atau pada pasien kondisi kritis
Lebih dari 20 labu darah yang ditransfusi akan menurunkan platelet <50.000 pada
75% pasien
6 Unit platelet mengandung 1.5-2 unit FFP
Trombositopenia dilusi, profilaksis transfusi platelet tidak diberi
Transfusi platelet diberikan bila perdarahan mikrovaskular terjadi terlepas nilai
platelet yang normal
Tabel 1. Batas dan Indikasi Transfusi platelet

11
Trombositopenia juga bisa diinduksi oleh heparin dan obat-obatan lain. Obat
anestesi seperti ketamine menghambat agregasi platelet dengan mensupresi
pembentukan inositol 1,4,5-triphosphate, guanosine 5-triphosphate, dan kanal kalsium
pada platelet. Agen induksi IV, gas anestesi, dan anestesi local menghambat fungsi
platelet. Sevoflurane dan propofol juga menginhibisi fungsi platelet. Di lain pihak,
aspirin tidak memiliki hubungan yang jelas pada komplikasi perdarahan meskipun
memiliki efek antiplatelet.10
Canadian Medical Association merekomendasikan transfusi Fresh Frozen
Plasma (FFP) diberikan pada 3 kondisi berikut: pada pasien dengan koagulopati
signifikan karena defisiensi faktor koagulasi yang mengalami pendarahan; pada terapi
thrombolic thrombocytopenic purpura; pada terapi defisiensi faktor dimana produk
faktor koagulan tidak ada atau tidak efektif. Konsensus NIH menyimpulkan bahwa
FFP diindikasikan pada pasien dengan defisiensi protein koagulasi (dalam penyakit
liver), pada bayi dengan enteropati yang kekurangan protein, dan pada pasien
imunodefisiensi lain. ASA task force merekomendasikan FFP sebagai koreksi
perdarahan mikrovaskular sekunder dari faktor koagulasi pada pasien yang ditransfusi
lebih dari satu labu darah atau untuk koreksi peningkatan PT/APTT lebih dari 1.5
kali.11
Pada tahun 1977 , sebanyak 816.000 unit cryoprecipitate ditransfusi.
Cryoprecipitate mengandung faktor VIII, fibrinogen, fibronectin, faktor von
willebrand dan faktor XIII. Biasanya cryoprecipitate digunakan untuk mengoreksi
koagulopati. Canadian committee merekomendasikan cryoprecipitate pada pasien
dengan perdarahan akibat hipofibrinogenemia, penyakit von illebrand, dan pasien
dengan hemophilia A. The British Committee merekomendasikan cryoprecipitate
diberikan secara massif pada pasien dengan nilai fibrinogen kurang dari 80mg/dl. ASA
task force merekomendasikan pemberian cryoprecipitate pada 3 indikasi: profilaksis
pada pasien perioperative atau peripartum dengan defisiensi fibrinogen atau faktor von
Willebrand; pasien perdarahan dengan penyakit faktor Von Willebrand; dan koreksi
perdarahan mikrovaskular pada pasien yang ditransfusi secara massif dengan
konsentrasi fibrinogen kurang dari 80-100mg/dl.12

12
BAB III
KESIMPULAN

13
Perkembangan dibutuhkan bukan hanya untuk menghindari komplikasi dari
transfusi tetapi juga dalam strategi untuk menurunkan kebutuhan terapi komponen
darah. Metode masa depan dalam mecapai hal ini termasuk metode untuk
meningkatkan hemostasis di tempat injuri spesiifk; peningkatan toleransi organ dan
jaringan terhadap hipoksia,dan memperbaiki aliran darah dan distribusi cairan untuk
mempertahankan fungsi organ vital seperti otak dan jantung.
Indikasi untuk transfusi sel darah merah, platelet, FFp, dan cryoprecipitate akan
menjadi lebih terindividualisir daripada saat ini. Jumlah penelitian akan meminimalisir
overtransfusi dan mengidentifikasi indikasi pada terapi sel darah merah dan
komponennya. Bahaya dari transfusi darah noninfeksius termasuk ABO/Rh
incompatibility akibat kesalahan manusia, toksisitas kardiopulmoner, dan kerusakan
paru akut yang berhubungan dengan transfusi menjadi lebih penting sebagaimana
infeksi dari transfusi menjadi semakin jarang.
Batas terapieutik untuk terapi platelet adalah 50.000 x 109 /L untuk banyak seting
bedah elektif. Untuk kasus gawat darurat, jumlah 100.000 x 109 /L atau bahkan lebih
tinggi bisa menjadi indikasi transfusi platelet bila terjadi perdarahan mikrovaskular.
Pada 75% pasien yang mendapat 20 labu darah, transfusi platelet akan dibutuhkan.
Dosis platelet biasanya diberikan satu konsentrat platelet per 10kg berat badan.
Cryoprecipitate diindikasikan pada pasien yang ditransfusi secara massif dengan
konsentrasi fibrinogen 80-100 mg/dl untuk mengoreksi pendarahan mikrovaskular.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. American Association of Blood Banks (24 April 2014), "Five Things


Physicians and Patients Should Question", Choosing Wisely: an initiative of
the ABIM Foundation, American Association of Blood Banks, retrieved 25
July 2014
2. Mackenzie F. Colin. Transfusion of Red Cells and Blood Components in
Stressed, Trauma, and Critical Care Patients. Baltimore, Maryland. USA. 2009
3. Nunn. JF. Nunns Applied Respiratory Phsyiology. 4th ed. Oxford :
Butterworth-Heinemann, Ltd. 1993:476-483
4. Herbert PC, Hu LC, Biro GP. Review of physiologic mechanisms in response
to anemia. Can Med Assoc J 1997; 156 (suppl 11): s27-s40
5. Stehling L, Simon TL. The red blood transfusion trigger. Arch Pathol Lab Med
1994; 118:429-434
6. Simon TL, Alverson DL, Aubuchon J, et al. Practice parameter for the use of
red blood cells transfusion. Arch Pathol Lab Med 1998; 122:130-138
7. Torrance J, Jacobs P, Restrepo A, Eschbach J, Lenfant C, Finch CA.
Intraeritrochyte adaptation to anemia. N Engl J Med 1970; 283165-170
8. Duke M, Abelman WH. The hemodynamic response to chronic anemia.
Circulation 1969; 39:503-515
9. Wo CC, Shoemaker WC, Appel PL, Bishop MH, Kram HB, Hardin E.
Unrealibility of blood pressure and heart rate to evaluate cardiac output in
emergency resucitation and critical care illness. Critical Med 1993; 21:218-223
10. Shin B, Mackenzie CF, Helrich M.Creatine clearance for early detection of
post traumatic renal dysfunction. Anesthesiology 1986; 64: 605-609
11. Dunham CM, Siegel JH, Weireter L, et al. Oxygen debt and metabolic
acidemia as quantitative predictors of mortality and severity of the ischemic
insult in hemrrhagic shocl. Crit Care Med 1991; 19: 231-243
12. Palermo G, Bove J, Katz AJ. Patterns of blood use in Conecticut. Transfusion
1980; 20: 7014-710

15

You might also like