Professional Documents
Culture Documents
Pajak penghasilan adalah pajak yang dibebankan pada penghasilan perorangan, perusahaan
atau badan hukum lainnya. Pajak penghasilan bisa diberlakukan progresif, proporsional, atau
regresif.
Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri.
Subjek Pajak dibedakan antara Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar
negeri. Subjek Pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau
memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, sedangkan
Subjek Pajak luar negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak, sehubungan dengan penghasilan
yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau diperoleh melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang
telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan dengan pemilikan NPWP,
Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah PTKP tidak perlu
mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.
Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri
terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain :
a. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau
diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri
dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di
Indonesia.
b. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif
umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan
bruto dengan tarif pajak sepadan.
c. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagai
sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan
Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan,
karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan
pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana diatur dalam
Undang-undang ini dan Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
Subjek Pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau
bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia, baik melalui ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia kurang dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka orang tersebut
adalah Subjek Pajak luar negeri.
Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap, maka terhadap
orang pribadi atau badan tersebut dikenakan pajak melalui bentuk usaha tetap, dan orang
pribadi atau badan tersebut statusnya tetap sebagai Subjek Pajak luar negeri. Dengan
demikian bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai Subjek
Pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia.
Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha
tetap, maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada Subjek Pajak luar negeri
tersebut.
3. Objek Pajak
Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-
undang ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan (PP-132/2000);
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :
1) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2) keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena
pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota;
3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
atau pengambilalihan usaha;
4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau
pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h. royalti;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan pengguna an harta (PPHTB: PP-5/2002,
PP-29/1996);
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP-130/2000);
l. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib
Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
b. Biaya yang tidak boleh dikurangkan secara fiskal dari suatu BUT
Pembayaran yang dilakukan BUT Indonesia kepada Kantor Pusatnya yang tidak dapat
dibebankan sebagai biaya fiskal beerdasarkan ketentuan Pasal 5 UU PPh berupa:
a. Pembayaran biaya royalty atau imbalan lainnya sehubungan dengan pengguanaan Harta,
Paten, atau hak-hak lainnya.
b. Pembayaran imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya.
c. pembayaran biaya bunga, kecuali biaya bunga yang berkenaann dengan usaha BUT
dibidang perbankan.
d. pembayaran sebagaimana tersebut dalam Pasal 5 ayat (3b) yang diterima / diperoleh dari
Kantor Pusat tidak dianggap sebagai Obyek Pajak, kecuali bunga yang berkenaan dengan
BUT di Indonesia pada dasarnya merupakan satu kesatuan dengan Kantor Pusatnya,
pembyaran BUT ke Kantor Pusat merupakan perputaran dana dalam satu perushaan,
sehingga pembayaran BUT kepada Kantor Pusat antara lain pembayaran royalti, imbalan
jasa dan bunga, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan BUT di Indonesia. Kecuali
Kantor Pusat dan BUT yang bergerak dalam bidang usaha perbankkan.
Konsekuensinya : pembayaran Kantor Pusat kepada BUT tiddak dianggap sebagai Obyek
Pajak bagi BUT di Indonesia, kecuali pembayaran bunga (khusus bidang usaha perbankkan.
Konsekuensinya: pembayaran Kantor Pusat kepada BUT tidak dianggap sebagai obyek pajak
BUT bagi BUT di Indonesia, kecuali pembayaran bunga (khusus perbankan).
KOMPENSASI KERUGIAN
Dalam dunia usaha, keuntungan dan kerugian adalah dua hal yang biasa terjadi. Ada
kalanya sebuah usaha mengalami keuntungan dan ada kalanya juga sebuah usaha mengalami
kerugian. Dalam konteks Pajak Penghasilan, keuntungan yang diperoleh adalah objek Pajak
Penghasilan, sebaliknya kalau terjadi kerugian, maka Wajib Pajak tidak akan terkena Pajak
Penghasilan. Bahkan kerugian yang didapatkan dalam satu tahun pajak dapat digunakan untuk
menutupi keuntungan pada tahun-tahun berikutnya sehingga pada tahun-tahun tersebut Pajak
Penghasilan nya menjadi lebih kecil atau tidak terutang sama sekali. Nah, proses membawa
kerugian dalam satu tahun pajak ke tahun-tahun pajak berikutnya ini dinamakan sebagai
Kompensasi Kerugian (Carrying Loss).
Kompensasi kerugian dalam Pajak Penghasilan diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-
undang Pajak Penghasilan. Adapun beberapa point penting yang perlu diperhatikan dalam hal
kompensasi kerugian ini adalah sebagai berikut :
1. Istilah kerugian merujuk kepada kerugian fiskal bukan kerugian komersial. Kerugian atau
keuntungan fiskal adalah selisih antara penghasilan dan biaya-biaya yang telah
memperhitungkan ketentuan Pajak Penghasilan.
2. Kompensasi kerugian hanya diperkenankan selama lima tahun ke depan secara berturut-
turut. Apabila pada akhir tahun kelima ternyata masih ada kerugian yang tersisa maka
sisa kerugian tersebut tidak dapat lagi dikompensasikan.
3. Kompensai kerugian hanya untuk Wajib Pajak, baik badan maupun orang pribadi, yang
melakukan kegiatan usaha yang penghasilannya tidak dikenakan PPh Final dan
perhitungan Pajak Penghasilannnya tidak menggunakan norma penghitungan.
4. Kerugian usaha di luar negeri tidak bisa dikompensasikan dengan penghasilan dari dalam
negeri.
Sebagai contoh, misalnya wajib pajak PT A mengalami kerugian fiskal tahun pajak 2007,
maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal tahun
2008, 2009, 2010, 2011, dan 2012. Jika setelah kerugian tersebut dikompensasikan sampai
dengan tahun 2012 masih tersisa kerugian yang belum dikompensasikan, maka sisa kerugian
tersebut tidak dapat lagi dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal tahun 2013
atau sesudahnya.
Sebagai ilustrasi misalkan PT A dalam tahun 2007 mengalami kerugian fiskal
Rp1.200.000.000,00. Dalam lima tahun berikutnya rugi laba fiskal PT A sebagai berikut :
2008 : laba fiskal Rp200.000.000,00
2009 : rugi fiskal Rp300.000.000,00
2010 : laba fiskal NIHIL
2011 : laba fiskal Rp100.000.000,00
2012 : laba fiskal Rp800.000.000,00
1. Penyusutan
Untuk menghitung besarnya penyusutan harga tetap berwujud dibagi menjadi dua
golongan, yaitu:
a. Harta berwujud yang bukan berupa bangunan
b. Harta berwujud yang berupa bangunan
Harta berwujud yang bukan bangunan terdiri dari empat kelompok, yaitu:
a. Kelompok 1: kelompok harga berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat
4 tahun
b. Kelompok 2: kelompok harga berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat
8 tahun
c. Kelompok 3: kelompok harga berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat
16 tahun
d. Kelompok 4: kelompok harga berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat
20 tahun
Harta berwujud yang berupa bangunan dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Permanen: masa manfaatnya 20 tahun
b. Tidak permanen: bangunan yang bersifat sementara, terbuat dari bahan yang tidak tahan
lama, atau bangunan yang tidak dapat dipindah-pindahkan. Masa manfaatnya tidak lebih
dari 10 tahun.
2. Amortisasi
Amortisasi adalah pengurangan nilai aktiva tidak berwujud , seperti merek dagang , hak
cipta , dan lain-lain, secara bertahap dalam jangka waktu tertentu pada setiap periode akuntansi .
Pengurangan ini dilakukan dengan mendebit akun beban amortisasi terhadap akun aktiva .
Amortisasi adalah pengalokasian harga perolehan ke beban usaha (biaya), yang pada aktiva
tetap dikenal dengan depresiasi (penyusutan). Penghitungan maupun pencatatan atas amortisasi
sama saja dengan cara penghitungan maupun pencatatan atas penyusutan aktiva tetap berwujud.
Kelompok, metode, dan tariff amortisasi seperti disebutkan dalam tabel di atas berlaku juga
untuk :
1. Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan.
Pengeluaran ini dapat juga dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran.
2. Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial, misalnya biaya studi kelayakan
dan biaya produksi percobaan, yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun.
Pengeluaran ini dikapitalisasikan kemudian diamortisasi sesuai tabel di atas. Satu hal
yang harus diperhatikan adalah bahwa biaya operasional yang bersifat rutin, seperti biaya
rekening listrik dan telepon, gaji pegawai, dan biaya kantor lainnya, tidak boleh
dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran.
Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa
penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak
langsung. Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B. Pemilikan saham
oleh PT A merupakan penyertaan langsung. Selanjutnya apabila PT B tersebut mempunyai 50%
(lima puluh persen) saham PT C, maka PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak
langsung mempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal
demikian antara PT A, PT B dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga
memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham PT D, maka antara PT B, PT C dan PT D dianggap
terdapat hubungan istimewa. Hubungan kepemilikan seperti tersebut di atas dapat juga terjadi
antara orang pribadi dan badan.
Hubungan istimewa antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melalui
manajemen atau penggunaan teknologi, walaupun tidak terdapat hubungan kepemilikan.
Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah
penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan antara beberapa perusahaan yang berada dalam
penguasaan yang sama tersebut.