You are on page 1of 20

REFERAT

RHINITIS ALERGI PADA ANAK

Disusun Oleh :
Rashellya Rasyida Rahma
1261050293

Pembimbing :
dr. Taheng Sebayang, SpA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
PERIODE 8 MEI 22 JULI 2017
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN
JAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN

Rinitis atau yang biasa dikenal sebagai hay fever merupakan salah satu
penyakit atopik dan gangguan kronis yang paling umum pada masa kanak-kanak.
Namun, penyakit ini sering terabaikan, salah diagnosis, dan tidak diterapi. Terdapat
beberapa penyebab rhinitis pada anak, namun lebih kurang setengah dari seluruh
kasus disebabkan oleh alergi.1
Rhinitis alergi yang tidak diobati dapat mengganggu kualitas hidup,
memperparah asma dan merupakan faktor utama dalam perkembangan asma.
Penyakit ini dapat mengganggu fungsi hidung itu sendiri, dan juga dapat
menimbulkan gejala pada organ yang terhubung dengan hidung1,2
Rhinitis menggambarkan penyakit yang melibatkan inflamasi epitel hidung
dan mempunyai ciri-ciri bersin, gatal, rinore, dan kongesti. Terdapat beberapa
penyebab rhinitis pada anak, namun lebih kurang setengah dari seluruh kasus
disebabkan oleh alergi. 1
Rhinitis kronik merupakan salah satu kelainan yang paling sering ditemui
pada bayi dan anak. Secara keseluruhan, rhinitis alergi terlihat pada 10-25% populasi,
dengan anak dan remaja lebih sering terkena dibandingkan dewasa. Prevelensi rhinitis
alergi yang didiagnosis dokter lebih kurang 40%.1
Prevelensi gejala rhinitis dalam International Study on Asthma and Allergies
in Childhood (ISAAC) bervariasi antara 0,8% dan 14,9% pada anak usia 6-7 tahun
dan antara 1,4% dan 39,7% pada anak usia 13-14 tahun. Indonesia sendiri merupakan
salah satu negara dengan prevalensi yang rendah selain Albania, Romania, Georgia
dan Yunani. Negara dengan prevalensi sangat tinggi antara lain Australia, Selandia
Baru dan Inggris.3
Di Indonesia sendiri, menurut RISKESDAS tahun 2007, prevalensi nasional
Rhinitis adalah 2,4% (berdasarkan keluhan responden). Sebanyak 16 provinsi
mempunyai prevalensi Rhinitis diatas prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh
Darussalam, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Bangka Belitung,
Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah,
dan Gorontalo.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi dan Klasifikasi


Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut.3
Rhinitis menggambarkan penyakit yang melibatkan inflamasi epitel hidung
dan mempunyai ciri-ciri bersin, gatal, rinore, dan kongesti. Terdapat beberapa
penyebab rhinitis pada anak, namun lebih kurang setengah dari seluruh kasus
disebabkan oleh alergi.1
Rhinitis alergi diklasifikasikan menjadi rhinitis alergi persisten dan intermiten.
Dikatakan rhinitis alergi intermiten apabila penderita mengalami gejala kurang dari 4
hari per minggu atau kurang dari 4 minggu sekal, sebaliknya jika penderita
mengalami gejala lebih dari 4 hari per minggu atau lebih dari 4 minggu di suatu
waktu maka dikatakan rhinitis alergi persisten.5
Selain itu berdasarkan tingkat keparahannya, rhinitis alergi diklasifikasikan
menjadi rhinitis alergi ringan atau sedang sampai parah. Klasifikasi ini didasarkan
pada apakah gejala rhinitis alergi menimbulkan gangguan aktivitas sehari-hari,
gangguan tidur, dan seberapa berat gejala-gejala rhinitis alergi dapat menimbulkan
masalah pada penderitanya. Gejala-gejala tersebut dipicu oleh antara lain paparan
allergen, termasuk serbuk sari, jamur, hewan peliharaan, tungau debu, kecoak, tikus,
dll.5

B. Epidemiologi
Kebanyakan data yang dicantumkan dalam literature-literatur hanya terfokus
kepada rhinitis alergi pada orang dewasa. Pediatric Allergic in Amerika (PAA) telah
melakukan survey terhadap 35.757 keluarga di AS dan mengidentifikasi penderita
rhinitis alergi pada usia 4 sampai 17 tahun. Dari penelitian tersebut PAA
mengidentifikasi sebanyak 500 anak telah didiagnosis rhinitis alergi dan yang
memiliki gejala rhinitis alergi serta yang telah mendapatkan terapi oleh dokter pada
tahun 2012. 61% anak didiagnosis dengan rhinitis alergi pada usia 6 tahun dan
sebagian besar anak-anak ini didiagnosis oleh dokter anak.5
Rhinitis kronik merupakan salah satu kelainan yang paling sering ditemui
pada bayi dan anak. Secara keseluruhan, rhinitis alergi terlihat pada 10-25% populasi,
dengan anak dan remaja lebih sering terkena dibandingkan dewasa. Prevelensi rhinitis
alergi yang didiagnosis dokter lebih kurang 40%.
Dari hasil penelitian PAA juga dilaporkan bahwa 62% pasien rhinitis alergi
alergi merupakan rhinitis alergi intermiten dan 37% nya merupakan rhinitis alergi
persisten.5
Menurut jurnal universitas brawijaya, dari seluruh pasien yang berobat selama
1997-2005 (1792 pasien) sebanyak 50 pasien menderita rinitis alergi. Rinitis alergi
ditemukan pada pasien berusia 5 bulan sampai 13 tahun 8 bulan. Rinitis alergi sering
terjadi pada masa anak-anak, remaja, dan dewasa muda, dengan puncaknya pada usia
8-11 tahun, tetapi rinitis alergi bisa menyerang semua umur. Sebanyak 80% kasus
terjadi pada usia sebelum 20 tahun.6
Pada anak, rinitis alergi lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibanding
perempuan, tetapi pada orang dewasa prevalensi laki-laki dan perempuan hampir
sama. Hasil penelitian pada pasien anak menunjukkan dari 50 pasien rinitis alergi,
proporsi laki-laki (62%) lebih banyak dibandingkan perempuan (38%).5
Sebanyak 22% pasien dengan rinitis alergi juga menderita asma bronkiale. Hal
ini sejalan dengan fakta epidemiologis yang menunjukkan ada hubungan yang erat
antara rinitis alergi dengan asma bronkiale. Berbagai penelitian menunjukkan 78-94%
penderita asma pada remaja dan dewasa juga menderita rinitis alergi, dan 38%
penderita rinitis alergi juga menderita asma. Disamping itu penderita rinitis alergi
mempunyai kepekaan pada bronkus yang lebih tinggi dibanding anak yang sehat.
Anak yang menderita asma-sedang lebih sering menderita rinitis alergi dibandingkan
penderita asma-ringan. Oleh karena itu, rinitis alergi yang terkontrol dapat mencegah
timbulnya serangan asma.6

C. Etiologi
Rhinitis alergi disebabkan oleh respon alergi tipe I, yang diperantarai oleh
igE. Rhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang
secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas
memiliki peran penting. Pada 20 30% semua populasi dan pada 10 15% anak
semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih
besar atau mencapai 50%. Peran lingkungan dalam dalam rinitis alergi yaitu alergen,
yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang
secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi.1
Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk
bersama udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu
binatang, jamur, serbuk sari, dan lain-lain.
Allergen penyebab pada bayi dan anak sering disebabkan oleh makanan
allergen ingestan, sedangkan allergen inhalan lebih berperan dengan bertambahnya
usia. Manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas tipe I pada telinga, hidung, dan
tenggorok anak menjelang usia 4 tahun jarang ditemukan.6

D. Faktor risiko
Faktor risiko terjadinya rinitis alergi meliputi (1) riwayat atopi keluarga; (2)
IgE serum lebih tinggi daripada 100 IU/mL pada anak di bawah usia 6 tahun; (3)
keluarga dengan sosial ekonomi yang tinggi; (4) paparan terhadap alergen rumah
tangga seperti hewan dan tungau debu rumah tangga; (5) uji kulit tusuk positif. Faktor
predisposisi terjadinya alergi adalah faktor genetik dan faktor lain misalnya
pemaparan dengan virus-virus tertentu. Pemaparan alergen virus jangka lama dapat
menyebabkan eksem, dermatitis atopi, hay fever dan asma. Hal ini dapat muncul
bersamaan atau salah satu muncul lebih dulu. 6
Pada penelitian didapatkan 48% pasien mempunyai riwayat atopi. Riwayat
atopi keluarga ditemukan pada ibu (42%); ayah (40%), dan pada saudara kandung
(24%). Atopi merupakan predisposisi genetik untuk membentuk antibodi alergi (IgE)
dalam memberikan respons terhadap alergen spesifik. Atopi merupakan faktor risiko
terjadinya asma dan rinitis alergi. Periode kritis sensitisasi alergen terjadi sampai usia
dua atau tiga tahun (8). Apabila didapatkan riwayat atopi pada kedua orang tuanya,
kemungkinan risiko rinitis alergi lebih besar dibandingkan apabila salah satu dari
orang tuanya yang atopi, namun perlu diketahui bahwa rinitis alergi disebabkan
multifaktorial. Seseorang tanpa riwayat keluarga atopi dapat menderita rinitis alergi.
Individu atopi mewariskan kecenderungan terjadinya respons imun limfosit Th2
dengan pembentukan IgE-sel mast.6
E. Patogenesis
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam. 7

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. 7
Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan
bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II
(Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T
helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1)
yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th 2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13. 7
IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE).
IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi
aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia
yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating
Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6,GM-CSF (Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). 7
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1(ICAM 1). 7
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung
serta pengingkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic
Derived Protein(EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik
dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca
dan kelembaban udara yang tinggi.7
Rhinitis alergi dapat bersifat musiman, persisten, atau episodik bergantung
pada allergen tertentu dan paparannya. Sebagian anak akan mengalami gejala
sepanjang tahun dengan eksaserbasi musiman. Rhinitis alergi musiman mempunyai
pola musiman. Tanaman yang diserbuki oleh serangga (bunga, pohon yang berbunga)
bukan merupakan penyebab rhinitis alergi. Biasanya pohon akan diserbuki pada
musim semi, rumput-rumput pada musim semu akhir hingga musim panas, dan gulma
pada musim panas dan musim gugur. Pollen, yang ukurannya mikroskopik, dapat
terbang ratusan mil dan dihirup dengan mudah di saluran respiratori. Rhinitis alergi
persisten biasanya disebabkan oleh allergen di dalam rumah, seperti tungau debu
rumah, bulu hewan, jamur, dan kecoa. Rhinitis alergi episodic terjadi apabila terdapat
paparan alergem secara intermiten, seperti berkunjung ke rumah teman yang
mempunyai hewan peliharaan.1
Predisposisi genetic dan paparan allergen yang berulang berperan dalam
terjadinya rhinitis alergi. Biasanya perlu waktu beberapa minggu, bulan, atau tahun
untuk mensesnsitisasi system imun untuk produksi igE spesifik antigen dalam jumlah
yang cukup. Apabila anak atopi menghirup allergen airborne, protein ini akan
penetrasi ke epitel mukosa hidung dan berinteraksi dengan igE spesifik antigen pada
jaringan sel mast. Rhinitis alergi biasanya jarang terjadi pada anak dibawah 6 bulan.
Apabila terjadi pada masa bayi, rhinitis alergi biasanya disebabkan oleh makanan atau
inhalan rumah tangga dan bukan oleh pollen yang sifatnya musiman. Biasanya rhinitis
alergi musiman muncul pada anak berusia 3 tahun atau lebih.1

F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis rhinitis alergik baru ditemukan pada anak usia diatas 4-5
tahun dan insidennya akan meningkat secara progresif dan akan mencapai 10-15%
pada usia dewasa.8
Sesuai dengan patogenesisnya, gejala rhinitis alergik dapat berupa rasa gatal di
hidung dan dan mata, bersin, sekresi hidung, hidung tersumbat baik bilateral,
unilateral atau bergantian, dan bernapas melalui mulut. Gejala bernafas dengan mulut
sering terjadi di malam hari sehingga dapat menimbulkan gejala tenggorokan kering,
mengorok, gangguan tidur serta gejala kelelahan pada siang hari. Sekret hidung dapat
keluar melalui lubang hidung atau berupa post nasal drip yang ditelan. Postnasal drip
dapat menyebabkan aktivitas pembersihan tenggorok yang sering, batuk malam hari,
dan tenggorokan yang kasar. Gejala lain dapat berupa suara sengau, gangguan
penciuman dan pengecapan, dan gejala sinusitis. Penting sekali untuk mencari
hubungan antara onset, durasi, dan beratnya gejala dengan paparan musiman atau
persisten, perubahan lingkungan rumah atau sekolah, dan paparan terhadap iritan non
spesifik, seperti asap rokok.1,8
Anak yang menderita rhinitis alergik kronik dapat mempunyai bentuk wajah
yang khas. Sering didapati warna gelap (dark circle atau shiners) serta bengkak (bags)
di bawah mata.
Pemeriksaan fisik mencapkup pemeriksaan hidung menyeluruh dan evaluasi
pada mata, telinga, tenggorok dan kulit. Temuan fisis bisa saja sangat ringan.
Pemeriksaan fisis klasik antara lain konka hidung yang berwarna merah muda pucat
atau abu-abu kebiruan dan bengkak, dengan secret hidung yang jernih. Allergic salut
suatu kondisi gatal pada hidung yang menyebabkan penderita sering menggosokan
telapak tangan pada hidung dapat menimbulkan guratan transversal pada hidung
bagian bawah. Anak-anak dapat mengeluarkan suara clucking akibat gosokan palatum
mole dengan lidah. Pemeriksaan orofaring dapat memperlihatkan adanya mucus atau
adanya hiperplasi limfoid pada palatum mole dan faring posterior atau keduanya.
Kelainan ortodontik dapat terlihat pada anak yang secara krokis bernafas melalui
mulut. Allergic shiners suatu kondisi periorbital yang berwarna gelap akibat
kongesti vena sering terjadi bersama pembengkakan kelopak mata dan peradangan
selaput lendir mata. Retraksi membrane timpani akibat disfungsi tuba eustachius atau
otitis media serosa juga dapat terjadi. Penyakit atopi lain, seperti asma atau eksim,
juga dapat terjadi, yang akan membantu klinisi untuk menegakan diagnosis yang
tepat.1
Menurut saat timbulnya, maka rhinitis alergik dapat dibagi menjadi rhinitis
alergi intermiten (seasonal acute occasional allergic rhinitis) dan rhinitis alergik
persisten (perennial chronic long duration rhinitis).8

Rhinitis alergik intermiten


Rhinitis alergik intermiten mempunyai gejala yang hilang timbul, yang hanya
berlangsung selama kurang dari 4 hari dalam seminggu atau kurang dari empat
minggu. Rhinitis alergik musiman yang sering juga disebut hay fever disebabkan oleh
alergi terhadap serbuk bunga yaitu: tree, grass serta weed yang tiap kelompok ini
berturut-turut terdapat pada musim semi, musim panas dan musim gugur.8
Penyakit ini sering terjadi yaitu pada sekitar 10% populasi biasanya mulai
masa anak dan paling sering pada dewasa muda yang meningkat sesuai bertambahnya
umur dan disertai bersin berulang, ingus encer dan hidung tersumbat. Gejala asma
dapat terjadi pada puncak musim. Gejala ini akan memburuk pada keadaan udara
kering, sinar matahari, serta di daerah pedesaan.8
Rhinitis alergik persisten
Rhinitis alergik persisten mempunyai gejala yang berlangsung lebih dari 4 hari
dalam seminggu dan lebih dari 4 minggu. Gejala rhinitis alergik ini dapat terjadi
sepanjang tahun, penyebabnya terkadang sama dengan rhinitis non alergik. Gejalanya
sering timbul, akan tetapi hanya sekitar 2-4% populasi yang mengalami gejala yang
berarti. Rhinitis alergik biasanya mulai timbul pada masa anak, sedangkan rhinitis non
alergik pada usia dewasa. Alergi terhadap tungau debu rumah merupakan penyebab
yang penting, sedangkan jamur sering pada pasien yang disertai gejala asma dan
kadang alergi terhadap bulu binatang. Allergen makanan juga dapat menimbulkan
rhinitis tetapi masih merupakan kontroversi. Pada orang dewasa sebagian besar tidak
diketahui penyebabnya.8
Gejala rhinitis persisten hampir sama dengan gejala hay fever tetapi gejala
gatal kurang, yang mencolok adalah gejala hidung tersumbat. Semua penderita
dengan gejala menahun dapat bereaksi terhadap stimulus nonspesifik dan iritan.8
Sedangkan klasifikasi rhinitis alergik yang baru menurut ARIA terdapat dua
jenis sesuai dengan derajat beratnya penyakit. Rhinitis alergik dibagi menjadi rhinitis
alergik ringan (mild) dan rhinitis alergik sedang berat (moderate-severe). Pada rhinitis
alergik ringan, pasien dapat melakukan aktivitas sehari-harinya (seperti bersekolah,
bekerja, berolahraga) dengan baik, tidur tidak terganggu, dan tidak ada gejala berat.
Sebaliknya pada rhinitis alergik sedang-berat, aktivitas sehari-hari pasien tidak dapat
berjalan dengan baik, tidur terganggu, dan terdapat gejala yang berat.8

G. Diagnosis
Anamnesis
Riwayat atopi dalam keluarga merupakan factor predisposisi rhinitis alergik
yang terpenting pada anak. Pada anamnesis kita dapat menemukan gejala rhinitis
alergi yang khas yaitu, terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin
merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak
dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses
membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila
terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC
dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. 1,8,7
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air
mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai oleh gejala konjungtivitis
alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-
kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya
gejala yang diutarakan oleh pasien. Gejala klinis lainnya dapat berupa popping of
the ears, berdeham, dan batuk-batuk lebih jarang dikeluhkan.7

Pemeriksaan Fisik
Pada anak terdapat tanda karakteristik pada muka seperti allergic salute,
allergic crease, dennies line, allergic shiner dan allergic face , namun demikian
tidak satu pun yang patognomonik. Pemeriksaan THT dapat dilakukan dengan
menggunakan rhinoskopi kaku atau fleksibel, sekaligus juga dapat menyingkirkan
kelainan seperti infeksi, polip nasal atau tumor. Pada rhinitis alegik ditemukan tanda
klasik yaitu Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat
atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas
tersedia. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah
bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala
ini disebut allergic shiner. 1,8,7
Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena
gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute.
Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis
melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut sebagai allergic
crease.7
Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga
akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding
posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding
lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue). 7

Pemeriksaan penunjang
Meskipun tes kulit dapat dilakukan pada semua anak tetapi tes kulit kurang
bermakna pada anak berusia dibawah 3 tahun. Allergen penyebab yang sering
adalah inhalan seperti tungau debu rumah, jamur, debu rumah, dan serpihan
binatang piaraan, walaupun allergen makanan juga dapat sebagai penyebab terutama
pada bayi. Susu sapi sering menjadi penyebab walaupun uji kulit sering hasilnya
negative. Uji provokasi hidung jarang dilakukan pada anak karena pemeriksaan ini
tidak menyenangkan.8
Pemeriksaan in vitro (RAST, ELISA) untuk allergen spesifik allergen spesifik
hasilnya kurang sensitive dibandingkan dengan tes kulit dan lebih mahal. Kadar
normal IgE total dan IgE spesifik pada anak lebih rendah dibandingkan dengan
dewasa. Kurang dari setengah penderita rhinitis alergi anak mempunyai kadar IgE
total yang meningkat. Adapun kadar IgE total serum pada bayi adalah 0-1 IU/ml
yang meningkat sesuai dengan bertambahnya usia dan menetap setelah usia 20-30
tahun (100-150 IU/ml), kemudian menurun sesuai dengan bertambahnya usia.8
Pemeriksaan secret hidung dilakukan untuk mendapatkan sel eosinophil yang
meningkat >3% kecuali pada saat infeksi sekunder maka sel neutrophil segmen akan
lebih dominan. Gambaran sitology secret hidung yang memperlihatkan banyak sel
basofil, eosinophil, juga terdapat pada rhinitis eosinophilia nonalergik dan
mastositosis hidung primer.8

H. Diagnosis Banding
Rhinitis dapat dibagi menjadi rhinitis alergi dan nonalergi. Rhinitis non alergi
tidak mempunyai bukti alergi ebagai etiologinya. Selanjutnya dapat dibagi lagi
berdasarkan etiologi nonanatomi dan anatomi. 1

Rhinitis non alergi, non anatomi


Rhinosinusitis infeksi
Bentuk rhinitis pada anak adalah rhinitis infeksi yang dapat bersifat akut
maupun kronik. Rhinitis infeksi akut (selesma) biasanya disebabkan oleh virus, antara
lain rinovirus dan koronavirus yang biasanya membaik dalam 7-10 hari. Rata-rata
anak akan mengalami 3-6 episode selesma pertahun, sementara anak yang paling
sering terkena adalah anak yang sering dititipkan di tempat penitipan anak. Infeksi
sebagai penyebab dapat dipikirkan apabila ada tanda-tanda sakit saat menelan,
demam, dan nafsu makan yang menurun, khususnya apabila terdapat paparan dengan
orang lain yang juga mengalami flu. Infeksi rhinosinusitis kronis atau sinusitis harus
dicurigai apabila terdapat secret nasal mukopurulen dengan gejala yang berlangsung
lebih dari 10 hari. Gejala klasik sinusitis akut pada anak yang lebih tua antara lain,
nyeri pada wajah, sakit gigi, sakit kepala, dan demam. Gejala klasik biasanya tidak
terlihat pada anak kecil, yang biasanya menunjukan gejala postnasal drainage dengan
batuk, upaya membersihkan tenggorok, halitosis, dan rinore. Karakter secret nasal
pada rhinitis infeksi dapat bervariasi dari purulent hingga minimal atau tidak ada
samasekali. Koeksistensi dengan penyakit telinga tengah, seperti otitis media atau
disfungsi tuba eustachius, dapat menjadi petunjuk tambahan kemungkinan ada
infeksi.1

Rhinitis non infeksi, non alergi


Rhinitis non infeksi, non alergi (sebelumnya dikenal sebagai rhinitis
vasomotor) dapat bermanifestasi sebagai rinore dan bersin pada anak dengan secret
hidung jernih yang banyak. Paparan terhadap iritan seperti asap rokok, debu, dan bau-
bauan yang menyengat, seperti parfum atau klorin di kolam renang, dapat memicu
gejala pada hidung ini. 1

Rhinitis non alergi dengan sindrom eosinophilia


Rhinitis non alergi dengan sindrom eosinophilia umumnya berupa secret nasal
yang jernih dengan eosinofili pada pewarnaan nasal dan biasanya jarang dijumpai
pada anak.1

Rhinitis fisis
Rhinitis fisis adalah rhinitis yang disebabkan oleh factor fisik antara lain;
udara dingin, makan makanan yang pedas/berbumbu, paparan terhadap cahaya. Dapat
digunakan ipratropium topical sebelum paparan.1

Rhinitis medikamentosa
Rhinitis medikamentosa biasanya disebabkan oleh penggunaan dekongestan
nasal topical yang berlebihan seperti oksimetazolin, fenilefrin, atau kokain, jarang
dijumpai pada anak kecil. Remaja atau dewasa muda bisa mengalami ketergantungan
pada obat-obat ini. Tatalaksana berupa penghentian dekongestan nasal, pemberian
kortikosteroid topical dan kadang-kadang diperlukan kortikosteroid oral jangka
pendek.1
Rhinitis non alergi, non anatomi
Hipertrofi adenoid
Obstruksi sekunder akibat hipertrofi adenoid merupakan masalah anatomic
yang paling sering dijumpai pada anak kecil. Dapat dicurigai hipertrofi
adenoidbapabila terdapat gejala bernafas lewat mulut, mengorok, hyponasal speech,
dan rhinitis persisten dengan atau tanpa otitis media kronik. Infeksi nasofaring dapat
terjadi sekunder akibat jaringan adenoid hipertrofi yang terinfeksi.1

Polip nasal
Polip nasal biasanya tampak sebagai kantong bilateral, keabu-abuan dan
mengkilap yang berasal dari sinus etmoidalis dan biasanya berhubungan dengan
secret nasal yang jernih atau purulent. Polip nasal jarang terjadi pada anak berusia
kurang dari 10 tahun namun apabila terjadi dapat mencerminkan proses penyakit
seperti fibrosis kistik atau dyskinesia silia primer.1

Benda asing
Biasanya lebih sering terlihat pada anak kecil yang menyembunyikan
makanan, mainan kecil, batu, atau pengapus dalam hidung mereka. Gejalanya
biasanya adanya secret nasal purulent unilateral atau bau yang busuk. Benda asing
hanya bisa terlihat melalui pemeriksaan dengan speculum nasal.1

Deviasi septum
Bersifat konginental atau terjadi akibat trauma lahir. Pada anak yang lebih
besar trauma wajah akibat olahraga kontak, otomobil, kecelakaan sepeda atau
aktivitas bermain dapat menyebabkan deformitas septum.1

I. Tatalaksana5,8
Penatalaksanaan rhinitis alergik pada anak terutama dilakukan dengan
penghindaran allergen penyebab dan control lingkungan. Medikamentosa diberikan
bila perlu, dengan antihistamin oral sebagai obat pilihan utama. Imunoterapi pada
anak diberikan secara selektif dengan tujuan pencegahan.
Antihistamin H-1 oral
Antihistamin-H1 oral bekerja dengan memblok reseptor HI sehingga
mempunyai aktivitas anti alergi. Obat ini tidak menyebabkan takifilaksis.
Antihistamin-H1 oral dibagi menjadi generasi pertama dan kedua. Generasi pertama
antara lain klorfeniramin dan difenhidramin, sedangkan generasi kedua yaitu setirizin
atau desloratadin.
Generasi terbaru antihistamin-H1 oral dianggap lebih baik karena mempunyai
rasio efektifitas/keamanan dan farmakokinetik yang baik, dapat diminum sekali
sehari, serta bekerja cepat (kurang dari 1 jam) dalam mengurangi gejala hidung dan
mata, namun obat generasi terbaru ini kurang efektif dalam mengatasi kongesti
hidung.
Efek samping antihistamin-H1 generasi pertama yaitu sedasi dan efek
antikolinergik. Sedangkan antihitamin-H1 generasi kedua sebagian besar tidak
menimbulkan sedasi, sera tidak mempunyai efek antikolinergik atau kadiotiksisitas.

Antihistamin H-1 lokal


Antihistamin-H1 lokal (misalnya azelastin dan levokobastin) juga bekerja
dengan memblok reseptor H1. Azelastin mempunyai beberapa aktivitas anti alergik.
Antihitamin-H1 lokal bekerja sangat cepat (kurang dari 30 menit) dalam mengatasi
gejala hidung atau mata. Efek samping obat ini relative ringan. Azelastin memberikan
rasa pahit pada sebagian pasien.

Kortikosteroid intranasal
Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonidm flunisolid,
flutikason, mometasonm dan triamsinolon) dapat mengurangi hiperreaktivitas dan
inflamasi nasal. Obat ini merupakan terapi medikamentosa yang paling efektif bagi
rhinitis alergik dan efektif tehadap kongesti hidung. Efeknya akan terlihat setelah 6-
12 jamm dan efek maksimal terlihat setelah beberapa hari.
Kortikosteroid topical hidung pada anak masih banyak dipertentangkan karena
efek sistemik pemakaian lama dan efek local obat ini. Namun, belum ada laporan
tentang efek samping setelah pemberian kortikosteroid topical hidung jangka panjang.
Dosis steroid topical hidung dapat diberikan dengan dosis setengah dewasa dan
dianjurkan sekali sehari pada waktu pagi hari. Obat ini diberikan pada kasus rhinitis
alergik dengan keluhan hidung tersumbat dan menonjol.
Kortikosteroid oral/IM
Kortikosteroid oral/IM (misalnya deksametason, hidrokortison,
metilprednisolon, prednisolone, prednisone, triamnisolon, dan betametason) poten
untuk mengurangi inflamasi dan hiperreaktivitas nasal. Pemberian jangka pendek
mungkin diperlukan. Jika memungkinkan, kortikosteroid intranasal digunakan untuk
menggantikan pemakaian kortikosteroid oral/IM. Efek samping local obat ini cukup
ringan, dan efek samping sistemik mempunyai batas yang luas. Pemberian
kortikoseroid sistemik tidak dianjurkan untuk rhinitis alergik pada anak. Pada anak
kecil perlu dipertimbangkan pemakaian kombinasi obat intranasal dan inhalasi.

Kromon local (local chromones)


Kromon loka, seperti kromoglikat dan nedokromil, mekanisme kerjanya
belum banyak diketahui. Kromon intraocular sangat efektif, sedangkan kromon
intranasal kurang efektif dan masa kerjanya singkat. Efek samping local obat ini
ringan dan tingkat keamanannya baik.
Obat semprot hidung natrium kromoglikat sebagai stabilisator sel mast dapat
diberikan pada akan yang kooperatif. Obat ini biasanya diberikan 4 kali sehari dan
sampai saat ini tidak dijumpai efek samping.

Dekongestan oral
Dekongestan oral seperti efedrin, feilefrin, dan pseudoefedrin, merupakan obat
simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Penggunaan obat ini
pada pasien dengan penyakit jantung harus berhati-hati. Efek samping obat ini antara
lain hipertensi,berdebar-debar, gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala,
kekeringan membrane mukosa, retensi urin, dan eksaserbasi glaucoma atau
tirotoksikosis. Dekongestan oral dapat diberikan dengan perhatian terhadap efek
sentral. Pada kombinasi dengan antihistamin-H1 oral efektifitasnya dapat meningkat,
namun efek samping juga bertambah.

Dekongestan intranasal
Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin, oksimetazolin, dan
xilometazolin) juga merupakan obat simoatomimetik yang dapat mengurangi gejala
kongesti hidung. Obat ini bekerja lebih cepat dan efektif daripada dekongestan oral.
Penggunaannya harus dibatasi kurang dari 10 hari untuk mencegah terjadinya rhinitis
medikamentosa. Efek sampingnya sama seperti sediaan oral tetapi lebih ringan.
Pemberian vasokonstriktor topical tidak dianjurkan untuk rhinitis alergi pada
anak dibawah usia 1 tahun karena batas antara dosis terapi dengan dosis toksis yang
sempit. Pada dosis toksik akan terjadi gangguan kardiovaskular dan system saraf
pusat.

Antikolinergik intranasal
Antikolinergik intranasal (misalnya ipratropium) dapat menghilangkan gejala
beringus (rhinorrhea) baik pada pasien alergik maupun non alergik. Efek samping
lokalnya ringan dan tidak terdapat efek antikolinergik sistemik. Ipratropium bromida
diberikan untuk rhinitis alergik pada anak dengan keluhan hidung beringus yang
menonjol.
Antileukotrien, seperti montelukast, pranlukast dan zafirlukast, akan memblok
reseptor CystLT, dan merupakan obat yang menjanjikan baik dipakai sendiri ataupun
dalam kombinasi dengan antihistamin-H1 oral, namun masih diperlukan banyak data
mengenai obat-obat ini. Efek sampingnya dapat ditoleransi tubuh dengan baik.
J. Komplikasi dan Prognosis
Sekitar 60% anak dengan rhinitis alergi mempunyai gejala penyakit saluran
respiratori reaktif/asma. Inflamasi alergi kronik menyebabkan terjadinya batuk kronik
dari post nasal drip; disfungsi tuba eutachius dan otitis media; sinusitis dan hipertrofi
adenoid, yang akan menyebabkan terjadinya obstructive sleep apnea. Anak dengan
rhinitis alergi dapat mengalami gangguan tidur, keterbatasan aktivitas, iritabilitas, dan
gangguan mood dan kognitif yang akan mengganggu performa anak di sekolah dan
juga kesejahteraan mereka. 1,8
Rhinitis alergik pada masa anak akan bertambah berat dengan bertambahnya
usia. Kadangkala rhinitis alergi dapat merupakan masalah pada usia tua. Dengan
mengetahui factor penyebab, dengan penghindaran terhadap allergen dapat
mengurangi kekerapan timbulnya gejala. Penggunaan beberapa jenis medikamentosa
profilaksis juga dapat mengurangi gejala yang timbul.1,8
BAB III
KESIMPULAN

Rinitis Alergi (RA) adalah inflamasi mukosa saluran hidung dan sinus yang
disebabkan alergi terhadap partikel, antara lain: debu, asap, serbuk/tepung sari yang
ada di udara. Gejala utama pada hidung yaitu hidung gatal, tersumbat, bersin-bersin,
keluar ingus cair seperti air bening. Seringkali gejala meliputi mata, yaitu : berair,
kemerahan dan gatal. RA merupakan penyakit umum dan sering dijumpai.
Pada anak kejadian rhinitis alergi sering terabaikan, salah diagnosis, dan tidak
diterapi. Hal ini dapat mengganggu kualitas hidup anak, memperparah asma dan
merupakan faktor utama dalam perkembangan asma pada anak. Selain mengganggu
fungsi hidung itu sendiri, penyakit ini juga dapat mengganggu organ lain yang
berhubungan dengan hidung.
Maka dari itu, manajemen yang tepat baik dalam mendiagnosis, diikuti dengan
menghindari alergen yang relevan, dengan tambahan farmakoterapi yang dibutuhkan
sesuai dengan derajat keparahan penderita dapat menghindari komplikasi sehingga
penderita dapat meningkatkan kualitas hidup penderita.
DAFTAR PUSTAKA

1. marcdante, karen J., Robert M. Kliegman, Hal B. Jenson, and Richard E.


Behrman. nelson ilmu kesehatan anak esensial. Jakarta: Saunders elsevier,
2011.
2. Scadding, Glenis K. "Corticosteroids in the treatment of pediatric allergic
rhinitis." J ALLERGY CLIN IMMUNOL 108, no. 1 (july 2001): 59-54.
3. world allergy organization. Rhinitis: Synopsis. 2017.
http://www.worldallergy.org/professional/allergic_diseases_center/rhinitis/
rhinitissynopsis.php (accessed june 13, 2017).
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan,
Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007. Laporan
Nasional, Jakarta: Departemen Kesehatan, Republik Indonesia , 2007.
5. Deborah Gentile, MD, Ashton Bartholow BS , and Erkka Valovirta .
"Current and Future Directions in Pediatric Allergic Rhinitis ." J
ALLERGY CLIN IMMUNOL: IN PRACTICE 1, no. 3 (2013): 214-226.
6. Harsono, Ganung. "FAKTOR YANG DIDUGA MENJADI RESIKO
PADA ANAK DENGAN RINITIS ALERGI DI RSU DR. CIPTO
MANGUNKUSUMO JAKARTA ." Jurnal Kedokteran Brawijaya 23, no.
3 (desember 2007): 116-120.
7. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi
ke Enam. 2004. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
8. munasir, Zakiudin. "Buku Ajar Alergi Imunologi Anak." In Rinitis
Alergik, by arwin AP Akib, 245-251. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2008.

You might also like