You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN

Kira-kira 85 persen dari semua penduduk Amerika serikat pernah


menggunakan minuman yang mengandung alkohol sekurangnya satu kali selama
hidupnya, dan kira-kira 51 persen dari semua orang dewasa di amerika serikat
merupakan pengguna alkohol saat ini. Angka tersebut hanya mendukung
penggambaran bahwa minum minuman yang mengandung alkohol biasanya dianggap
sebagai kebiasaan umum dan dapat diterima. Setelah penyakit jantung dan kanker,
gangguan berhubungan dengan alkohol merupakan masalah kesehatan nomor tiga
terbesar di Amerika serikat sekarang ini, bir berjumlah untuk kira-kira setengah dari
semua konsumsi alkohol, minuman keras (Liquor) untuk kira-kira sepertiga, dan
anggur (wine) untuk kira-kira seperenam.
Kira-kira 35 samapai 45 persen dari semua orang dewasa di Amerika serikat
sekurangnya pernah mengalami satu epsode masalah berhubungan dengan alkohol
yang sementara, biasanya berupa suatu episode amnestik akibat alkohol yang
sementara, biasanya berupa suatu episode amnestik akibat alkohol (sebagai contoh,
tidak sadar), mengendarai kendaraan bermotor saatterintoksikasi, atau bolos bekerja
atau belajar karena minum yang berlebihan. Dengan criteria (DSM-III-R), 10 persen
wanita dan 20 persen laki-laki memenuhi kriteria diagnostik untuk penyalahgunaan
alkohol selama hidupnya, dan 3 smapai 5 persen wanita 10 persen laki-laki memenuhi
kriteria diagnostik untuk diagnosis ketergantungan alkohol yang lebih serius selama
hidupnya. Kira-kira 200.000 kematian setiap tahunnya berhubungan langsung dengan
orang yang memenuhi kriteria diagnostik penyalahgunaan alkohol.
Penyebab kematian yang sering diantara ornag dengan gangguan berhubungan
dengan alkohol adalah bunuh diri, kanker, penyakita jantung, dan penyakit hati.
Walaupun tidak selalu melibatkan orang yang memenuhi kriteria diagnostik untuk
suatau gangguan berhubungan dengan alkohol, kira-kira setengah dari semua

1
kecelakaan kendaraan bermotor yang mematikan melibatkan seorang pengemudi
yang mabuk, dan persentasi tersebut meningkat sampai 75 persen jika hanya di hitung
kecelakaan yang terjadi larut malam. Penggunaan alkohol dan gangguan berhubungan
dengan kira-kira 50 persen dari semua pembunuhan dan 25 persen dari semua bunuh
diri. Penyalahgunaan alkohol menurunkan harapan hidup 10 tahun. Alkohol
memimpin dari semua zat lain dalam kematian yang berhubungan dengan zat
(Kaplan, 2010).
Kira-kira 64 persen orang dewasa muda dan 62 persen orang dewasa yang
berusia 26 sampai 34 tahun pernah menggunakan alkohol dalam bulan terakhir, suatu
persentasi yang lebih besar secara bermakna dibandingkan 20 persen pemuda dan 50
persen orang dewasa yang berusia 35 tahun dan lebih (Kaplan, 2010).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Withdrawl Sindrom terjadi pada individu yang kecanduan obat dan alkohol
yang menghentikan atau mengurangi penggunaan obat pilihan mereka. Proses
menghilangkan narkoba dan alkohol dari tubuh dikenal sebagai detoksifikasi.
Kecemasan, insomnia, mual, keringat, nyeri tubuh, dan tremor adalah hanya
beberapa dari gejala fisik dan psikologis dari penghentian obat dan alkohol yang
mungkin terjadi selama detoksifikasi. Withdrawl syndrome terutama berfokus pada
Withdrawl dari etanol, sedatif hipnotik, opioid, stimulan, dan gamma-
hidroksibutirat (GHB) (Goldstein, 2009).

Gejala penghentian obat (gejala putus obat, withdrawal syndrome) adalah


munculnya kembali gejala penyakit semula atau reaksi pembalikan terhadap efek
farmakologik obat, karena penghentian pengobatan. Contoh yang banyak dijumpai
misalnya:
1. agitasi ekstrim, takikardi, rasa bingung, delirium dan konvulsi yang mungkin
terjadi pada penghentian
2. pengobatan dengan depresansia susunan saraf pusat seperti barbiturat,
benzodiazepin dan alkohol,
3. krisis Addison akut yang muncul karena penghentian terapi kortikosteroid,
4. hipertensi berat dan gejala aktivitas simpatetik yang berlebihan karena
penghentian terapi klonidin,
5. gejala putus obat karena narkotika (Goldstein, 2009).

B. Jenis NAPZA yang Disalahgunakan

3
1. Narkotika (Menurut Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1997 tentang
Narkotika).
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman
baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Narkotika dibedakan kedalam golongan-golongan :
Narkotika Golongan I
Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan,
dan tidak ditujukan untuk terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi
menimbulkan ketergantungan, (Contoh : heroin/putauw, kokain, ganja).
Narkotika Golongan II
Narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir
dan dapat digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan
ketergantungan (Contoh : morfin, petidin)
Narkotika Golongan III
Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi
atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
ringan mengakibatkan ketergantungan (Contoh : kodein)
Narkotika yang sering disalahgunakan adalah Narkotika Golongan I :
Opiat : morfin, herion (putauw), petidin, candu, dan lain-lain
Ganja atau kanabis, marihuana, hashis
Kokain, yaitu serbuk kokain, pasta kokain, daun koka.

2. Psikotropika (Menurut Undang-undang RI No.5 tahun 1997 tentang


Psikotropika).
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan
Narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan
saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku.

Psikotropika dibedakan dalam golongan-golongan sebagai berikut :

4
Psikotropika Golongan I
Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk kepentingan ilmu
pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi
amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. (Contoh : ekstasi,
shabu, LSD)
Psikotropika Golongan II
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam
terapi, dan/atau tujuan ilmu pengetahuan serta menpunyai potensi kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan . ( Contoh amfetamin,
metilfenidat atau ritalin)
Psikotropika Golongan III
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam
terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan (Contoh : pentobarbital,
Flunitrazepam).
Psikotropika Golongan IV
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam
terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan (Contoh : diazepam,
bromazepam, Fenobarbital, klonazepam, klordiazepoxide, nitrazepam,
seperti pil BK, pil Koplo, Rohip, Dum, MG).
Psikotropika yang sering disalahgunakan antara lain :
Psikostimulansia : amfetamin, ekstasi, shabu
Sedatif & Hipnotika (obat penenang, obat tidur): MG, BK, DUM, Pil
koplo dan lain-lain
Halusinogenika : Iysergic acid dyethylamide (LSD), mushroom.
3. Zat Adiktif Lain
Yang dimaksud disini adalah bahan/zat yang berpengaruh psikoaktif diluar
yang disebut Narkotika dan Psikotropika, meliputi :
Minuman berakohol
Mengandung etanol etil alkohol, yang berpengaruh menekan susunan
syaraf pusat, dan sering menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-
hari dalam kebudayaan tertentu. Jika digunakan sebagai campuran dengan

5
narkotika atau psikotropika, memperkuat pengaruh obat/zat itu dalam
tubuh manusia.
Ada 3 golongan minuman berakohol, yaitu :
o Golongan A : kadar etanol 1-5%, (Bir)
o Golongan B : kadar etanol 5-20%, (Berbagai jenis minuman
anggur)
o Golongan C : kadar etanol 20-45 %, (Whiskey, Vodca, TKW,
Manson House, Johny Walker, Kamput.)
Inhalasi (gas yang dihirup) dan solven (zat pelarut) mudah menguap
berupa senyawa organik, yang terdapat pada berbagai barang keperluan
rumah tangga, kantor dan sebagai pelumas mesin. Yang sering disalah
gunakan, antara lain : Lem, thinner, penghapus cat kuku, bensin.
Tembakau : Pemakaian tembakau yang mengandung nikotin sangat luas di
masyarakat. Pada upaya penanggulangan NAPZA di masyarakat,
pemakaian rokok dan alkohol terutama pada remaja, harus menjadi bagian
dari upaya pencegahan, karena rokok dan alkohol sering menjadi pintu
masuk penyalahgunaan NAPZA lain yang lebih berbahaya.
Bahan/ obat/zat yang disalahgunakan dapat juga diklasifikasikan sebagai berikut :
Sama sekali dilarang : Narkotoka golongan I dan Psikotropika Golongan I.
Penggunaan dengan resep dokter : amfetamin, sedatif hipnotika.
Diperjual belikan secara bebas : lem, thinner dan lain-lain.
Ada batas umur dalam penggunannya : alkohol, rokok.
Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan NAPZA dapat digolongkan
menjadi tiga golongan :
Golongan Depresan (Downer)
Adalah jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional tubuh.
Jenis ini menbuat pemakaiannya merasa tenang, pendiam dan bahkan
membuatnya tertidur dan tidak sadarkan diri. Golongan ini termasuk opioida
(morfin, heroin/putauw, kodein), sedatif (penenang), hipnotik (otot tidur), dan
tranquilizer (anti cemas) dan lain-lain.
Golongan Stimulan (Upper)
Adalah jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan
kegairahan kerja. Jenis ini membuat pemakainya menjadi aktif, segar dan

6
bersemangat. Zat yang termasuk golongan ini adalah : amfetamin (shabu,
esktasi), kafein, kokain
Golongan Halusinogen
Adalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang bersifat
merubah perasaan dan pikiran dan seringkali menciptakan daya pandang yang
berbeda sehingga seluruh perasaan dapat terganggu. Golongan ini tidak
digunakan dalam terapi medis. Golongan ini termasuk : Kanabis (ganja),
LSD, Mescalin

Penyalahgunaan dan Ketergantungan


Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan salah satu atau beberapa jenis
NAPZA secara berkala atau teratur diluar indikasi medis,sehingga menimbulkan
gangguan kesehatan fisik, psikis dan gangguan fungsi sosial.
Ketergantungan NAPZA adalah keadaan dimana telah terjadi ketergantungan fisik
dan psikis, sehingga tubuh memerlukan jumlah NAPZA yang makin bertambah
(toleransi), apabila pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan akan timbul gejala
putus zat (withdrawal symptom). Oleh karena itu ia selalu berusaha memperoleh
NAPZA yang dibutuhkannya dengan cara apapun, agar dapat melakukan kegiatannya
sehari-hari secara normal

Tingkat Pemakaian NAPZA


Pemakaian coba-coba (experimental use), yaitu pemakaian NAPZA yang
tujuannya ingin mencoba,untuk memenuhi rasa ingin tahu. Sebagian pemakai
berhenti pada tahap ini, dan sebagian lain berlanjut pada tahap lebih berat.
Pemakaian sosial / rekreasi (social / recreational use) : yaitu pemakaian
NAPZA dengan tujuan bersenang-senang, pada saat rekreasi atau santai.
Sebagian pemakai tetap bertahan pada tahap ini, namun sebagian lagi
meningkat pada tahap yang lebih berat
Pemakaian situasional (situasional use) : yaitu pemakaian pada saat
mengalami keadaan tertentu seperti ketegangan, kesedihan, kekecewaan, dan
sebagainya, dengan maksud menghilangkan perasaan-perasaan tersebut.

7
Penyalahgunaan (abuse): yaitu pemakaian sebagai suatu pola penggunaan
yang bersifat patologik / klinis (menyimpang) yang ditandai oleh intoksikasi
sepanjang hari, tak mapu mengurangi atau menghentikan, berusaha berulang
kali mengendalikan, terus menggunakan walaupun sakit fisiknya kambuh.
Keadaan ini akan menimbulkan gangguan fungsional atau okupasional yang
ditandai oleh : tugas dan relasi dalam keluarga tak terpenuhi dengan baik,
perilaku agresif dan tak wajar, hubungan dengan kawan terganggu, sering
bolos sekolah atau kerja, melanggar hukum atau kriminal dan tak mampu
berfungsi secara efektif.
Ketergantungan (dependence use) : yaitu telah terjadi toleransi dan gejala
putus zat, bila pemakaian NAPZA dihentikan atau dikurangi dosisnya. Agar
tidak berlanjut pada tingkat yang lebih berat (ketergantungan), maka
sebaiknya tingkat-tingkat pemakaian tersebut memerlukan perhatian dan
kewaspadaan keluarga dan masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan penyuluhan
pada keluarga dan masyarakat.

C. Epidemiologi
Berdasarkan data yang dihimpun Badan Narkotika Nasional, jumlah kasus
narkoba meningkat dari sebanyak 3.478 kasus pada tahun 2000 menjadi 8.401
pada tahun 2004, atau meningkat rata-rata 28,9% pertahun. Jumlah tersangka
tindak kejahatan Narkoba pun meningkat dari 4.955 orang pada tahun 2000
menjadi 11.315 kasus pada tahun 2004, atau meningkat rata-rata 28,6% pertahun.
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Puslitbang Info BNN, menyebutkan
jumlah penyalahguna narkoba yang teratur pakai dan pecandu di Indonesia tahun
2004 sekitar 3,2 juta orang dengan kisaran 2,9 sampai 3,6 juta orang. Data dari
Rumah Sakit ketergantungan obat tahun 1999, 80% pasien berusia antara 16-24
tahun. Angka kematian pecandu 1,5% per tahun.

D. Tanda dan Gejala Klinis Berdasarkan Klasifikasi


a. Perubahan fisik

8
Gejala fisik yang terjadi tergantung jenis zat yang digunakan, tapi secara
umum dapat digolongkan sebagai berikut :
Pada saat menggunakan NAPZA : jalan sempoyongan, bicara pelo
(cadel), apatis (acuh tak acuh), mengantuk, agresif, curiga
Bila kelebihan dosis (overdosis) : nafas sesak,denyut jantung dan nadi
lambat, kulit teraba dingin, nafas lambat / berhenti, meninggal
Bila sedang ketagihan (putus zat / sakau) : mata dan hidung berair,
menguap terus menerus, diare, rasa sakit diseluruh tubuh, takut air
sehingga malas mandi, kejang, kesadaran menurun
Pengaruh jangka panjang, penampilan tidak sehat, tidak peduli
terhadap kesehatan dan kebersihan, gigi tidak terawat, terhadap bekas
suntikan pada lengan atau bagian tubuh lain (pada pengguna dengan
jarum suntik)

b. Perubahan sikap dan perilaku


Prestasi sekolah menurun,sering tidak mengerjakan tugas sekolah, sering
membolos, pemalas, kurang bertanggung jawab.
Pola tidur berubah, begadang, sulit dibangunkan pagi hari, mengantuk di
kelas atau tempat kerja.
Sering berpegian sampai larut malam, kadang tidak pulang tanpa memberi
tahu lebih dulu
Sering mengurung diri, berlama-lama di kamar mandi, menghindar
bertemu dengan anggota keluarga lain dirumah
Sering mendapat telepon dan didatangi orang tidak dikenal oleh keluarga,
kemudian menghilang
Sering berbohong dan minta banyak uang dengan berbagai alasan tapi tak
jelas penggunaannya, mengambil dan menjual barang berharga milik
sendiri atau milik keluarga, mencuri, terlibat tindak kekerasan atau
berurusan dengan polisi.
Sering bersikap emosional, mudah tersinggung, marah, kasar sikap
bermusuhan, pencuriga, tertutup dan penuh rahasia

9
Sindroma withdrawal sangat terkait erat dengan penggunaan alcohol,
narkoba, serta obat-obatan lainnya, sehingga manifestasi klinis yang ditampilkan
juga dapat diklasifikasikan berdasarkan kaitannya dengan penggunakan obat-
obatan tadi (Olmedo, 2000).

Alcohol withdrawal
Biasanya pasien telah menyalahgunakan alcohol setiap hari selama 3
bulan, atau dapat pula telah mengkonsumsi alcohol dalam jumlah besar yang
biasanya dalam waktu 1 minggu (seperti pada pesta minuman keras) (Monte,
2010).
Gejala penolakan akan muncul dalam waktu 6-12 jam setelah individu
berhenti atau mengurangi konsumsi alcohol, namun akan segera menghilang jika
mengkonsumsi alcohol kembali (Monte, 2010).
Tampak gejala continuum berupa tremor ringan hingga dystonic tremor
(DT). Spectrum manifestasi klinis yang muncul sangat bervariasi, gejala dan
tanda dapat tumpang tindih dalam waktu dan durasinya, sehinga akan
didefinisikan dulu mulai dari yang ringan sampai yang berat (Bayard, 2004).
1. Penarikan atau penolakan ringan terjadi dalam waktu 24 jam setelah
penghentian konsumsi alkohol dan ditandai dengan tremor, insomnia,
kecemasan, hiperrefleksia, diaphoresis, hiperaktif otonom ringan, serta
gangguan gastrointestinal.
2. Penarikan atau penolakan moderat terjadi dalam waktu 24-36 jam setelah
penghentian konsumsi alcohol dan ditandai dengan kecemasan intens, tremor,
insomnia, dan gejala peningkatan adrenergic.
3. Penarikan atau penolakan berat terjadi dalam waktu lebih dari 48 jam setelah
penghentian konsumsi alcohol dan ditandai dengan perubahan sensorium yang
mendalam seperti disorientasi, agitasi, dan halusinasi, serta bersamaan dengan
hiperaktifitas otonom yang berat seperti tremor, takikardi, takipnea,
hipertermia, dan diaphoresis.

10
Pada 25 % pasien dengan riwayat penggunaan alcohol dalam jangka panjang
timbul manifestasi klinis berupa alkoholik halusinosis. Ini dapat terjadi 24 jam
setelah penghentian konsumsi alcohol dan akan berlanjut selama sekitar 24 jam.
Gejala biasanya berupa persekutori, auditori, atau yang paling sering adalah
halusinasi visual dan taktil, namun sensorium pasien kadang tidak begitu tampak.
Namun pada tahap lanjut, halusinasi akan dianggap nyata dan dapat menimbulkan
rasa takut yang ekstrim serta timbul kecemasan. Pasien akan merasa dapat melihat
objek yang imajiner, seperti pakaian ataupun lembaran-lembaran. Dan pada
halusinosis ini tidak selalu diikuti oleh DT (Bayard, 2004).
Pada 23-33 % pasien juga dilaporkan dapat mengalami kejang, yang biasanya
berlangsung singkat, berupa kejang umum, tonik-klonik, dan tanpa aura. Dan
pada sekitar 30-50% pasein, kejang ini dapat berkembang menjadi DT. Puncak
kejadian ini biasanya setelah 24 jam setelah konsumsi alcohol terbaru, dan sekitar
3 % dari pasien yang bermanifestasi kejang ini dapat mengalami status
epileptikus. Kejang ini biasanya dapat berhenti secara spontan atau dapat
dikontrol dengan pemberian benzodiazepine.
Tanda yang paling khas dari Alcohol withdrawal adalah DT, yang terjadi
setelah 48-72 jam konsumsi alcohol terakhir. Tampak gejala sensorium berupa
disorientasi, agitasi, dan halusinasi; gangguan otonom berat seperti diaphoresis,
takikardia, takipnea, dan hipertermia. DT ini dapat muncul meski tidak didahului
oleh kejang (Hayner, 2009).
Penghentian efek Alcohol withdrawal pada pasein biasanya adalah dengan
mengkonsumsi alcohol itu sendiri, namun jika dalam keadaan yang sulit untuk
memperoleh minuman alcohol, biasanya pasien juga dapat mengkonsumsi zat lain
yang juga mengandung alcohol, seperti isopropyl alcohol, sirup batuk, pembersih
tangan, obat kumur, methanol, dan juga etilena glikol (Hayner, 2009).

Sedative-hypnotic withdrawal syndrome

11
Withdrawal syndrome yang ditimbulkan akibat konsumsi
benzodiazepine, bariturat, dan obat penenang lain atau hipnotik dalam jangka
panjang. Ditandai dengan pronounced psikomotor dan disfungsi otonom. Gejala
biasanya muncul 2-10 hari setelah penghentian secara mendadak dari obat-obat
penenang yang digunakan, serta akan bergantung pula dari masing-masing waktu
paruh obat-obatan tersebut (Hayner, 2009).

GHB withdrawal syndrome


GHB dan prekursornya (gamma-butyrolactone, 1,4-butanadiol)
dilaporkan dapat menimbulkan induksi toleransi dan ketergantungan. Gejalanya
mirip dengan withdrawal syndrome pada sedative-hipnotik, ditandai dengan
ketidakstabilan otonom ringan dan singkat, dengan gejala psikotik yang
berkepanjangan (Wojtowicz, 2008)(Tarabar, 2004).

Opioid withdrawal
Opioid tidak secara langsung menyebabkan gejala yang mengancam
jiwa, kejang, maupun delirium. Gejala yang ditampilkan justru dapat menyerupai
penyakit seperti flu berat, yang ditandai dengan rhinorrhea, bersin, lakrimasi,
menguap, kram perut, kram kaki, piloereksi atau merinding, mual, muntah, diare,
dan pupil melebar. Serta perubahan status mental, disorientasi, halusinasi, dan
kejang yang merupakan karakteristik DT, tidak tampak pada Opioid withdrawal
ini (Olmedo, 2000).
Waktu paruh dari Opioid withdrawal ini dapat menentukan onset dan
durasi gejala yang akan muncul. Sebagai contoh, gejala penarikan pada
penggunaan heroin dan metadon akan memuncak pada 36-72 jam dan 72-96 jam,
masing-masing, dan dapat berlangsung selama 7-10 hari dan setidaknya masing-
masing 14 hari (Olmedo, 2000).

Stimulant (cocaine and amphetamine) withdrawal, atau wash-out syndrome

12
Sindrom ini menyerupai gangguan depresi berat, tampak disforia, tidur
berlebihan, kelaparan, dan keterbelakangan psikomotor yang parah, sedangkan
fungsi vitalnya terjaga dengan baik. Gejala ini dapat berlangsung hingga 2 hari,
meskipun pada yang ringan dapat bertahan hingga 2 minggu (Olmedo, 2000).

E. Penegakan Diagnosis

Gambaran umum dari keadaan putus zat (withdrawal state) adalah berupa
gangguan psikologis seperti anxietas, depresi dan gangguan tidur, sedangkan untuk
gejala fisik bervariasi sesuai dengan zat yang digunakan. Yang khas adalah pasien ini
akan melaporkan bahwa gejala putus zat akan mereda dengan meneruskan
penggunaan zat. Keadaan putus zat ini merupakan salah satu indikator dari sindrom
ketergantungan sehingga diagnosis ketergantungan zat harus turut dipertimbangkan
(Maslim, 2001).
Berikut adalah kriteria diagnostik beberapa jenis withdrawal syndrome :
1. Kriteria Diagnostik Alcohol Withdrawal Syndrome (American Psychiatric
Association, 2000):
A. Penghentian atau pengurangan penggunaan alkohol yang telah berat dan
berkepanjangan
B. Terdapat dua atau lebih gejala berikut ini beberapa jam sampai beberapa hari
setelah kriteria A :
1) Hiperaktifitas otonom (berkeringat, denyut nadi lebih dari 100 kali/menit)
2) Tremor pada tangan
3) Insomnia
4) Nausea dan vomitting
5) Transien visual, taktil, halusinasi atau ilusi auditorik
6) Agitasi psikomotor
7) Anxietas
8) Kejang Grand mal
C. Gejala gejala dalam kriteria B menyebabkan distress yang signifikan secara
klinis atau penurunan fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi fungsi lain yang
penting.
D. Gejala gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan gangguan
mental lainnya.

13
2. Kriteria Diagnostik Amphetamine Withdrawal Syndrome (American Psychiatric
Association, 2000):
A. Penghentian atau pengurangan penggunaan amphetamine (atau substansi
sejenis) yang telah berat dan berkepanjangan.
B. Mood dysphoric dan dua (atau lebih) perubahan fisiologis berikut ini beberapa
jam sampai beberapa hari setelah kriteria A :
1) Fatigue
2) Mimpi buruk
3) Insomnia atau hipersomnia
4) Nafsu makan meningkat
5) Retardasi psikomotor atau agitasi
C. Gejala gejala dalam kriteria B menyebabkan distress yang signifikan secara
klinis atau penurunan fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi fungsi lain yang
penting.
D. Gejala gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan gangguan
mental lainnya.

3. Kriteria Diagnostik Cocaine Withdrawal Syndrome (American Psychiatric


Association, 2000):
A. Menggunakan cocaine terakhir.
B. Perilaku maladaptif yang signifikan secara klinis atau perubahan psikologis
(seperti euforia atau penumpulan afektif, perubahan dalam sosialisasi,
hipervigilance, sensitifitas interpersonal, anxietas, tegang atau marah, perilaku
stereotip, gangguan penilaian, atau ganguan fungsi sosial dan pekerjaan) yang
terjadi ketika atau sesaat setelah penggunaan cocaine.
C. Dua atau lebih gejala berikut ini yang muncul ketika atau sesaat setelah
penggunaan cocaine :
1) Takikardi atau bradikardi
2) Dilatasi pupil
3) Peningkatan atau penurunan tekanan darah
4) Berkeringat atau kedinginan
5) Nausea atau vomiting
6) Berat badan menurun
7) Agitasi psikomotor atau retardasi
8) Kelemahan otot, depresi pernafasan, nyeri dada, atau aritmia
9) Bingung, kejang, dyskinesia, dystonia atau koma

14
D. Gejala gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan gangguan
mental lainnya.

4. Kriteria Diagnostik Nicotine Withdrawal Syndrome (American Psychiatric


Association, 2000):
A. Menggunakan nicotine setiap hari setidaknya dalam beberapa minggu.
B. Penghentian tiba-tiba penggunaan nicotine, atau pengurangan penggunaan
nicotine diikuti empat (atau lebih) gejala berikut ini :
1) Dysphoric atau mood depresi
2) Insomnia
3) Iritabilitas, frustasi, marah
4) Anxietas
5) Sulit berkonsentrasi
6) Gelisah
7) Penurunan denyut nadi
8) Peningkatan nafsu makan atau berat badan
C. Gejala gejala dalam kriteria B menyebabkan distress yang signifikan secara
klinis atau penurunan fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi fungsi lain yang
penting.
D. Gejala gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan gangguan
mental lainnya.

5. Kriteria Diagnostik Sedative, Hypnotic, Anxiolytic Withdrawal Syndrome


(American Psychiatric Association, 2000):
A. Penghentian atau pengurangan penggunaan sedative, hipnostic, anxiolytic yang
telah berat dan berkepanjangan
B. Terdapat dua atau lebih gejala berikut ini beberapa jam sampai beberapa hari
setelah kriteria A :
1) Hiperaktifitas otonom (berkeringat, denyut nadi lebih dari 100 kali/menit)
2) Tremor pada tangan
3) Insomnia
4) Nausea dan vomitting
5) Transien visual, taktil, halusinasi atau ilusi auditorik
6) Agitasi psikomotor
7) Anxietas
8) Kejang Grand mal

15
C. Gejala gejala dalam kriteria B menyebabkan distress yang signifikan secara
klinis atau penurunan fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi fungsi lain yang
penting.
D. Gejala gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan gangguan
mental lainnya.
Spesifik jika terdapat gangguan perseptual.

6. Kriteria Diagnostik Opioid Withdrawal Syndrome (American Psychiatric


Association, 2000):
A. Terdapat salah satu gejala berikut ini :
1) Penghentian atau pengurangan penggunaan opioid yang telah berat dan
berkepanjangan (beberapa minggu atau lebih).
2) Pemberian antagonis opioid setelah masa penggunaan opioid.
B. Terdapat tiga atau lebih gejala berikut ini beberapa menit sampai beberapa hari
setelah kriteria A :
1) Mood dysphoric
2) Nausea atau vomitting
3) Nyeri otot
4) Lakrimasi atau rinorrhea
5) Dilatasi pupil, piloereksi atau berkeringat
6) Diare
7) Menguap
8) Demam
9) Insomnia
C. Gejala gejala dalam kriteria B menyebabkan distress yang signifikan secara
klinis atau penurunan fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi fungsi lain yang
penting.
D. Gejala gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan gangguan
mental lainnya.

F. Tatalaksana

Terapi ini antara lain ditujukan untuk :


a. Terapi Terhadap Keadaan Intoksikasi
Intoksikasi opioida :
Beri Nalokson 0,4 mg IV, IM atau SC dapat pula diulang setelah 2-3 menit
sampai 2-3 kali

16
Intoksikasi kanabis (ganja):
o Ajaklah bicara yang menenangkan pasien.
o Bila perlu beri : Diazepam 10-30 mg oral atau parenteral, Clobazam
3x10 mg.
o Intoksikasi kokain dan amfetamin
o Beri Diazepam 10-30 mg oral atau pareteral,atau Klordiazepoksid 10-
25 mg oral atau Clobazam 3x10 mg. Dapat diulang setelah 30 menit
sampai 60 menit.
o Untuk mengatasi palpitasi beri propanolol 3x10-40 mg oral
Intoksikasi alkohol :
o Mandi air dingin bergantian air hangat
o Minum kopi kental
o Aktivitas fisik (sit-up,push-up)
o Bila belum lama diminum bisa disuruh muntahkan
Intoksikasi sedatif-hipnotif
o Melonggarkan pakaian
o Membarsihkan lender pada saluran napas
o Bila oksigen dan infus garam fisiologis
b. Terapi terhadap Keadaan Overdosis
Usahakan agar pernapasan berjalan lancar, yaitu :
o Lurus dan tengadahkan (ekstenikan) leher kepada pasien (jika
diperlukan dapat memberikan bantalan dibawah bahu)
o Kendurkan pakaian yang terlalu ketat
o Hilangkan obstruksi pada saluran napas
o Bila perlu berikan oksigen
Usahakan agar peredaran darah berjalan lancar
o Bila jantung berhenti, lakukan masase jantung eksternal, injeksi
adrenalin 0.1-0.2 cc IM
o Bila timbul asidosis (misalnya bibir dan ujung jari biru,hiperventilasi)
karena sirkulasi darah yang tidak memadai, beri infus 50 ml sodium
bikarbonas
Pasang infus dan berikan cairan (misalnya : RL atau NaC1 0.9 %) dengan
kecepatan rendah (10-12 tetes permenit) terlebih dahulu sampai ada
indikasi untuk memberikan cairan. Tambahkan kecepatan sesuai
kebutuhan,jika didapatkan tanda-tanda kemungkinan dehidrasi.

17
Lakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melihat kemungkinan adanya
perdarahan atau trauma yang membahayakan
Observasi terhadap kemungkinan kejang. Bila timbul kejang berikan
diazepam 10 mg melalui IV atau perinfus dan dapat diulang sesudah 20
menit jika kejang belum teratasi.
Bila ada hipoglikemi, beri 50 ml glukosa 50% IV
c. Terapi pada sindrom putus zat
Terapi putus zat opioida
Terapi ini sering dikenal dengan istilah detoksifikasi. Terapi detoksifikasi
dapat dilakukan dengan cara berobat jalan maupun rawat inap.
Lama program terapi detoksifikasi berbeda-beda :
o 1-2 minggu untuk detoksifikasi konvensional
o 24-48 jam untuk detoksifikasi opioid dalam anestesi cepat (Rapid
Opiate Detoxification Treatment)
Detoksifikasi hanyalah merupakan langkah awal dalam proses
penyembuhan dari penyalahgunaan / ketergantungan NAPZA
Beberapa jenis cara mengatasi putus opioida :
Tanpa diberi terapi apapun, putus obat seketika (abrupt withdrawal
atau cold turkey). Terapi hanya simptomatik saja :
o Untuk nyeri diberi analgetika kuat seperti tramadol, analgrtik
non-narkotik,asam mefenamat dan sebagainya
o Untuk rhinore beri dekongestan, misalnya fenilpropanolamin
o Untuk mual beri metopropamid
o Untuk kolik beri spasmolitik
o Untuk gelisah beri antiansietas
o Untuk insomnia beri hipnotika,misalnya golongan
benzodiazepin
Terapi putus opioida bertahap (gradual withdrawal)
o Dapat diberi morfin, petidin, metadon atau kodein dengan
dosis dikurangi sedikit demi sedikit. Misalnya yang digunakan
di RS
o Ketergantungan obat, diberi kodein 3 x 60 mg 80 mg
selanjutnya dikurangi 10 mg setiap hari dan seterusnya.
o Disamping itu diberi terapi simptomatik
Terapi putus opioida dengan substitusi non opioda

18
Dipakai Clonidine dimulai dengan 17 mikrogram/kg BB perhari dibagi
dalam 3-4 kali pemberian. Dosis diturunkan bertahap dan selesai
dalam 10 hari. Sebaiknya dirawat inap (bila sistol < 100 mmHg atau
diastol < 70 mmHg), terapi harus dihentikan.
Terapi putus opioida dengan metode Detoksifikasi cepat dalam
anestesi (Rapid Opioid Detoxification).
Prinsip terapi ini hanya untuk kasus single drug opiat saja,dilakukan di
RS dengan fasilitas rawat intensif oleh Tim Anestesiolog dan Psikiater,
dilanjutkan dengan terapi menggunakan anatagonist opiat (naltrekson)
lebih kurang 1 tahun.
Terapi putus zat sedatif / hipnotika dan alkohol harus secara bertahap
dan dapat diberikan diazepam. Tentukan dahulu test toleransi dengan
cara memberikan benzodiazepin mulai dari 10 mg yang dinaikan
bertahap sampai terjadi gejala intoksikasi. Selanjutnya diturunkan
kembali secara bertahap 10 mg perhari sampai gejala putus zat hilang.

Terapi putus kokain atau amfetamin


Rawat inap perlu dipertimbangkan karena kemungkinan melakukan
percobaan bunuh diri. Untuk mengatasi gejala depresi berikan
antidepresi.
Terapi untuk waham dan delirium pada putus NAPZA
o Pada gangguan waham karena amfetamin atau kokain berikan
Inj. Haloperidol 2.5-5 mg IM dan dilanjutkan peroral 3 x 2,5-5
mg/hari.
o Pada gangguan waham karena ganja beri Diazepam 20-40 mg
IM
o Pada delirium putus sedativa / hipnotika atau alkohol beri
diazepam seperti pada terapi intoksikasi sedative / hipnotika
atau alkohol
Terapi putus opioida pada neonatus
o Gejala putus opioida pada bayi yang dilahirkan dari seorang
ibu yang mengalami ketergantungan opioida, timbul dalam
waktu sebelum 48-72 jam setelah lahir. Gejalanya antara lain :

19
menangis terus (melengking), gelisah, sulit tidur, diare, tidak
mau minum, muntah, dehidrasi, hidung tersumbat, demam,
berkeringat.
o Berikan infus dan perawatan bayi yang memadai. Selanjutnya
berikan Diazepam 1-2 mg tiap 8 jam setiap hari diturunkan
bertahap,selesai dalam 10 hari
d. Terapi terhadap komorbiditas
Setelah keadaan intoksikasi dan sindroma putus NAPZA dapat teratasi, maka
perlu dilanjutkan dengan terapi terhadap gangguan jiwa lain yang terdapat
bersama-sama dengan gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat
psikoaktif (co-morbid psychopathology), sebagai berikut :
Psikofarmakologis yang sesuai dengan diagnosis
Psikoterapi individual
o Konseling : bila dijumpai masalah dalam komonikasi interpersonal
o Psikoterapi asertif : bila pasien mudah terpengaruh dan mengalami
kesulitan dalam mengambil keputusan yang bijaksana
o Psikoterapi kognitif : bila dijumpai depresi psikogen
Psikoterapi kelompok
Terapi keluarga bila dijumpai keluarga yang patologik
Terapi marital bila dijumpai masalah marital
Terapi relaksasi untuk mengatasi ketegangan
Dirujuk atau konsultasi ke RS Umum atau RS Jiwa
e. Terapi terhadap Komplikasi Medik
Terapi disesuaikan dengan besaran masalah dan dilaksanakan secara terpadu
melibatkan berbagai disiplin ilmu kedokteran.
Misalnya :
Komplikasi Paru dirujuk ke Bagian Penyakit Paru
Komplikasi Jantung di rujuk ke Bagian Penyakit Jantung atau
Interna/Penyakit Dalam
Komplikasi Hepatitis di rujuk ke Bagian Interna/Penyakit Dalam
HIV/AIDS dirujuk ke Bagian Interna atau Pokdisus AIDS
Dan lain-lain.
f. Terapi Maintenance (Rumatan)
Terapi maintenance/rumatan ini dijalankan pasca detoksifikasi dengan tujuan
untuk mencegah terjadinya komplikasi medis serta tidak kriminal. Secara
medis terapi ini dijalankan dengan menggunakan :

20
Terapi psikofarmaka,menggunakan Naltrekson (opiat antagonis), atau
Metadon
Terapi perilaku, diselenggarakan berdasarkan pemberian hadiah dan
hukum
Self-help group,didasarkan kepada beberapa fillosofi antara lain : 12-steps

G. Komplikasi

Beberapa komplikasi medis dapat timbul setelah pemakaian alkohol dan


narkoba jangka panjang. Beberapa komplikasi lebih sering ditemukan dan
menimbulkan dampak serius pada gejala putus alkohol daripada gejala putus opiat
atau zat stimulan lain. Berikut komplikasi yang dapat ditemukan pada sindrom putus
alkohol
1. Komplikasi metabolik
a. Ketoasidosis alkoholik (AKA)
b. Gangguan elektrolit ( contoh: hipomagnesemia, hipokalemia,
hipernatremia)
c. Defisiensi vitamin (contoh: thiamin, phytonadione, cynocobalamin, asam
folat)
2. Komplikasi GI
a. Pankreatitis
b. Perdarahan gastrointestinal (contoh: ulkus peptikum, varises esofageal,
gastritis)
c. Sirosis hepatis
3. Komplikasi infeksi
a. Pneumonia
b. Meningitis
c. Selulitis
4. Komplikasi neurologi
a. Sindroma Wernicke-Korsakoff
b. Atrofi serebral
c. Degenerasi serebelar
d. Subdural atau epidural hemoragia
e. Neuropati perifer
DAFTAR PUSTAKA

21
1. Buku Pedoman Praktis mengenai Penyalahgunaan NAPZA bagi petugas
Puskesmas. [Dikutip 2011 November 15]. Diunduh dari : http://dinkes-
sulsel.go.id/new/images/pdf/pedoman/pedoman%20napza.pdf
2. Asuhan Keperawatan Klien dengan Penyalahgunaan dan Ketergantungan
Narkoba (NAPZA). [Dikutip 2011 November 14]. Diunduh dari :
http://usupress.usu.ac.id/files/Asuhan%20Keperawatan%20pada%20Klien
%20dengan%20Masalah%20Psikososial%20dan%20Gangguan
%20Jiwa_Normal_bab%201.pdf
3. Martono, L.H. Membantu Pemulihan Pecandu Narkoba dan Keluarganya. Jakarta:
Balai Pustaka; 2006
4. Arif Mansjoer, Kuspuji Triyanti, Rakhmi Savitri, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek
Setiowulan. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta: Fakultas
Kedokteran UI; 2005
5. Elvira SD, Hadisukanto G. Gangguan Penggunaan Zat : Upaya Terapi dan
Pemulihan dalam Buku ajar psikiatri. Jakarta : FKUI; 2010
6. Fitri Hartanto, dr., Sp.A. Substance Abuse pada Remaja.[Dikutip 2011 November
19]. Diunduh dari : pediatrics-undip.com/journal/Substance%20abuse.doc
7. Hawari, D. Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAZA (Narkotika, Alkohol, Zat
Adiktif)

22

You might also like