Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2.1 ANAMNESIS
a. Keluhan Utama:
Benjolan pada leher kiri muncul kurang lebih sejak 3 bulan yang lalu.
Benjolan terletak 6 cm dibawah lubang telinga kiri, ukuran 6x2cm, awalnya
berukuran kecil namun lama kelamaan semakin membesar, namun benjolan ini
dikatakan tidak nyeri apabila diberikan penekanan. Keluhan ini juga disertai dengan
2
keluhan berupa telinga berdengung yang hilang timbul. Telinga berdengung ini
dirasakan di telinga kiri. Selain itu pasien juga mengeluhkan adanya sakit kepala
yang hilang timbul sejak kurang dari 1 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluh pilek
yang tidak sembuh sembuh sejak 1 bulan yang lalu.
- Merokok : (+)
- Minum Alkohol : (+)
- Minum jamu-jamuan : (-)
- Riwayat alergi makanan : (-)
e. Tidak menggunakan gigi palsu
a. Vital Sign
3
b. Kepala : Normocephal, jejas (-), benjolan (-), nyeri tekan (-)
c. Mata : Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Pupil Isokor, Reflek
Cahaya (+/+)
d. THT : Perdarahan (-), faring hiperemis (-), Tonsil T1-T1, Mallampati 1
e. Leher : JVP 5-2 cmH2O, pembesaran KGB (+/-), pembesaran tiroid (-)
f. Thorax:
Paru :
- Inspeksi : Simetris kanan kiri, retraksi (-)
- Palpasi : Vocal Fremitus normal, kanan kiri sama
- Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
- Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung :
- Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
- Palpasi : Ictus cordis ICS V linea midclavikula
sinistra, Thrill tidak teraba
- Perkusi : Batas jantung normal
- Auskultasi : BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)
g. Abdomen :
- Inspeksi : Datar, sikatriks (-)
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepar
lien tidak teraba,
- Perkusi : Timpani
h. Ekstremitas:
- Superior : Akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-)
- Inferior : Akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-)
LABORATORIUM
4
WBC : 9,2 x 103/mm3
RBC : 3,69 x 106/mm3
HB : 11,0 g/dl
HT : 33,4 %
PLT : 271 x 103/mm3
CT : 4 menit
BT : 2 menit
GDS : 97 mg/dl
b. Fungsi Hepar: (25-5-2017)
SGOT : 23 U/L
SGPT : 28 U/L
c. Fungsi Ginjal (25-5-2017)
Ureum : 17,7 mg/dl
Kreatinin : 1,0 mg/dl
RADIOLOGI
d. Rontgen-Thorax PA
Kesan: Cor dan pulmo normal
e. Endoskopi (24-5-2017)
Kesan: tumor nasofaring
5
3. Status fisik ASA : 2 Non EMG
Maintenance (M)
M = 2 cc/KgBB/jam
M = 2 x 65 ml 130 cc/jam
6
Pengganti Puasa (P)
P = M X Lama puasa
P = 130X 6 780 cc
O = 65X 6 390 ml
EBV : 65 x BB
EBV : 65 x 65 4225 cc
7
BAB III
LAPORAN ANESTESI
8
3.2 KEADAAN SELAMA OPERASI
- Keadaan selama operasi
1) Posisi Penderita : supine
2) Penyulit waktu anestesi : tidak ada
3) Lama Anestesi : 45 menit (09.40 10.25)
4) Jumlah Cairan
Input : RL 2 Kolf 1000 ml
Total 1000 ml
Output :
Urin : tidak dapat dinilai, kateter tidak terpasang
Perdarahan : 20 cc
MONITORING
9
09.40 Fentanyl 100 g dimasukkan iv 110/70 67 100
- Obat induksi dimasukkan secara
09.45 iv:
o Propofol 140 mg
Kemudian mengecek apakah refleks
bulu mata masih ada atau sudah
hilang.
Lalu dilakukan tindakan face
mask dengan sungkup no.3, dan
diberikan:
O2 : 2 L
N2O : 2 L
sevoflurane : 1,5 vol%
09.45 Dimasukkan Atracurium 35 mg 108/60 68 98
secara iv
09.50 Dilakukan tindakan pemasangan
endotracheal tube non kinking no. 7
dengan menggunakan laringoskop
Kedua mata pasien ditutup dengan
kassa dan ivafix
09.50 Operasi dimulai 97/58 67 100
Kondisi terkontrol
09.55 Kondisi terkontrol 100/59 68 100
10.00 Kondisi terkontrol 100/58 68 100
sevoflurane diturunkan menjadi 1
vol%
10.05 Kondisi terkontrol 100/65 68 100
Dilakukan penggantian infus RL 500
cc (kolf II)
10.10 Kondisi terkontrol 112/70 68 100
10
Diberikan ketorolac 30mg +
Tramadol diberikan 100 mg secara iv
drip
10.15 Operasi selesai 108/66 74 100
dilakukan suction , dan pelepasan
endotracheal tube
10.20 Gas N2O dan sevoflurane dimatikan, 108/70 70 100
dan gas O2 dinaikkan menjadi 5 vol
% (oksigenisasi) dengan
menggunakan face mask
Gas 02 dihentikan
Pelepasan alat monitoring
Pasien dipindahkan ke ruang
recovery room
10.25 Dilakukan pemasangan alat 112/76 82 99
monitoring pada recovery room
- Aktifitas :2
- Pernafasan :2
- Warna kulit :2
- Sirkulasi :2
11
- Kesadaran :2
Jumlah : 10
12
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
13
2. Memerlukan pemantauan yang lebih holistik
3. Tidak dapat mendeteksi gangguan sistem saraf pusat misalnya perubahan
kesadaran
4. Risiko komplikasi pasca bedah lebih besar
5. Memerlukan persiapan pasien lebih seksama2
14
4.1.2 Stadium anestesi
Dibuat berdasarkan penggunaan ether oleh Arthur Ernest Guedel tahun
1937 dan disebut klasifikasi Guedel, yaitu:
1. Stadium induksi : Periode sejak masuknya obat induksi hingga
hilangnya kesadaran yang ditandai antara lain dengan hilangnya reflek
bulu mata
2. Stadium eksitasi : setelah kesadaran hilang, timbul eksitasi dan delirium.
Pernafasan menjadi ireguler, pasien dapat menahan nafas. Terjadi REM.
Timbul gerakan-gerakan involuntari dan pasien dapat muntah sehingga
membahayakan jalan nafas. Aritmia dapat terjadi pada stadium ini dan
pupil berdilatasi sebagai tanda peningkatan simpatis
3. Stadium pembedahan : terbagi atas empat pelana yakni plana satu : mata
berputar lalu terfiksasi; plana dua: refleks kornea dan laring hilang;
plana tiga: dilatasi pupil dan refleks cahaya hilang; plana 4: kelumpuhan
otot interkostal, pernafasan abdominal dan dangkal. Pada stadium ini,
otot-otot skeletal akan relaks dan pembedahan dapat dilakukan.
4. Stadium overdosis : anestesi menjadi terlalu dalam, terjadi depresi berat
semua sistem tubuh, termasuk batang otak.
Anestesia modern saat ini telah berubah, obat induksi masa kini bekerja
cepat dan telah melampaui stadium dua. Kini hanya dikenal tiga stadium dalam
anestesi yakni induksi, rumatan, dan emergensi.2
15
tanyakan mengenai gaya hidup menyangkut kebiasaan merokok, minum
alkohol, dan penggunaan obat-obat rekreasional (metemfetamin, heroin, dan
kokain). Riwayat mual muntah, gata-gatal, nyeri otot, sesak nafas pasca
pembedahan/ operasi sebelumnya juga penting untuk ditanyakan.1,2
b. Pemeriksaan fisik
Kemungkinan kesulitan intubasi dapat diperkirakan dari bentuk wajah, leher
pendek dan kaku, jarak tiromental, lidah besar, maksila yang protursif, gigi
geligi yang goyah dan sebagainya. Pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi organ secara menyeluruh juga tidak boleh dilewatkan.1
c. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium harus sesuai indikasi. Pada usia pasien diatas 50 tahun
disarankan untuk melakukan EKG dan foto toraks.
d. Kebugaran untuk anestesi
Klasifikasi yang lazim digunakan adalah berdasarkan American Society of
Anesthesiologysts (ASA) yaitu:
ASA 1 : pasien sehat yang akan menjalani operasi
ASA 2 : pasien yang memiliki penyakit sitemik ringan sedang tanpa
pembatasan aktifitas
ASA 3 : pasien dengan penyakit sistemik berat yang membatasi aktivitas
rutin
ASA 4 : pasien dengan kelainan sistemik berat yang menyebabkan
ketidakmampuan melakukan aktivitas rutin dan mengancam nyawanya setiap
waktu
ASA 5 : pasien tidak ada harapan, dengan atau tanpa pembedahan
diperkirakan akan meninggal dalam 24 jam1,2,3
e. Masukan oral
Lamanya puasa disesuaikan dengan umur pasien, kondisi fisis, dan rencana
operasinya. Umumnya pasien dewasa puasa 6-8 jam, anak besar perlu 4-6 jam,
sedangkan anak kecil dan bayi perlu 4 jam. Cairan bening dapat diminum
sedikit-sedikit hingga dua jam prabedah. Jika pasien rentan terhadap kondisi
16
dehidrasi, perlu dipertimbangkan untuk memberikan cairan intravena selama
periode ini.1,2
f. Premedikasi
Merupakan tindakan pemberian obat 1-2 jam sebelum tindakan anestesia untuk
mendapatkan kondisi yang diharapkan oleh anestesiologis. Premedikasi
bukanlah suatu keharusan karena tidak semua pasien butuh premedikasi dan
premedikasi pun tidak bisa diberikan pada semua pasien. Tujuan premedikasi
adalah mencegah ansietas, mengurangi nyeri, mengurangi kebutuhan obat-obat
anestetik, mengurangi sekresi saluran nafas, menyebabkan amnesia,
mengurangi mual-muntah pasca operasi, membantu pengosongan lambung dan
mengurangi sekresi asam lambung, mencegah reflek-refleks yang tidak
diinginkan.2,3
17
4.1.5 Tatalaksana jalan nafas
Pada pasien tidak sadar atau dalam keadaan anestesia posisi terlentang,
tonus otot jalan nafas atas, otot genioglosus hilang, sehingga lidah akan menyumbat
hipofaring dan menyebabkan obstruksi jalan nafas baik totoal maupun parsial.
Keadaan ini sering terjadi dan dapat diatasi dengan manuver tripel airway,
pemasangan pharyngeal airway, laryngeal mask airway, dan endotracheal tube.
a. Tripel manuver
b. Pharyngeal airway
Digunakan jika tripel manuver tidak berhasil membuka jalan nafas.
c. Sungkup muka
Bentuk sungkup muka sangat beragam bergantung usia dan
pembuatnya. Ukuran 03 untuk bayi baru lahir, 02, 01, 1 untuk anak
kecil, 2, 3 untuk anak besar, dan 4, 5 untuk orang dewasa.
18
Merupakan jalan nafas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar
berlubang dengan ujung menyerupai sendok dengan tepi yang dapat
dikembang kempiskan.1
e. Endotracheal tube
Pipa trakea akan mengantarkan gas anastetik langsung ke dalam trakea.
Pada bayi dan anak, penampang pipa trakea berbentuk bulat sementara
pada orang dewasa berbentuk D, dan pada bayi dibuat tanpa kaf (cuff)
dan untuk anak besar dengan kaf agar tidak bocor.
19
pada anak anak. Sedangkan untuk orang dewasa wanita digunakan
diameter 7-7,5 mm dan panjang 24 cm. Untuk laki-laki digunakan
ukuran diameter 7,5-9 mm dan panjang 24 cm.3
20
Dilakukan secara non invasif dengan menilai nadi, tekanan darah dan
jumlah pendarahan selama tidakan bedah atau anestesi berlangsung
menggunakan palpasi atau tensimeter atau mesin EKG. Secara invasif,
tindakan ini dilakukan dengan kanulasi vena sentral, kanulasi swan-
ganz, atau kanulasi arteri
b. Monitoring respirasi
Dapat dilakukan dengan mengamati naik turunnya dada pasien,
stetoskop prekordial atau esofageal, oksimetri, dan kapnometri.
c. Monitoring suhu badan
Dilakukan pada bedah lama atau pada bayi dan anak kecil
d. Monitoring ginjal
Untuk mengetahui keadaan sirkulasi ginjal. Produksi air kemih normal
minimal adalah 0,5-1 ml/kgBB/jamdimonitor pada bedah lama dan
sangat bermanfaat untuk menghindari retensi dan distensi buli-buli. Jika
produksi urin >1ml/kgBB/jam dan reduksi urin +2 dicurigai adanya
hiperglikemia.
e. Monitoring saraf
Dilakukan dnegan melihat respon pupil terhadap cahaya, terhadapa pembedahan,
terhadap otot, apakah relaksasi cukup atau tidak.1
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel
epitel nasofaring. Tumor ini bermula dari dinding lateral nasofaring (fossa
Rosenmuller) dan dapat menyebar kedalam atau keluar nasofaring menuju dinding
lateral, posterosuperior, dasar tengkorak, palatum, kavum nasi, dan orofaring serta
metastasis ke kelenjar limfe leher.4,5
21
1. Lamanya benjolan
2. Hidung tersumbat
3. Riwayat mimisan
4. Gangguan pendengaran
5. Telinga terasa tersumbat
6. Penglihatan ganda
7. Sakit kepala
8. Penurunan berat badan
9. Riwayat kemoradiasi
10. Riwayat mengkonsumsi ikan asin/makanan yang diawetkan
11. Riwayat merokok, minum alcohol
12. Riwayat keluarga yang mempunyai tumor ganas
22
3. USG abdomen, menilai ada/tidaknya metastasis jauh ke hati
4. Bone Scan, menilai ada/tidaknya metastasis jauh ke tulang
5. Serologi Virus Eptein Barr
6. Pemeriksaan laboratorium:
a. Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan hemostasis
b. Pemeriksaan fungsi ginjal dan fungsi hati
c. Pemeriksaan elektrolit
7. Pemeriksaan patologi anatomi melalui nasofaringoskopi dan biopsi
nasofaring
4.2.6 Terapi 7, 8, 9
1. Radioterapi
KNF stadium I dan IIa (T1N0M0, T2aN0M0) Radioterapi definitif pada
Nasofaring ( 70 Gy) dan elektif RT di daerah leher (N0) 40Gy)
2. Kemoradiasi
KNF Stadium IIb, III, IVa, (T1-T4, N1,2, M0) Radioterapi definitif
(70 Gy) pada nasofaring dan leher disertai kemoterapi setiap minggu
(kemoterapi sensitisiser) dengan Sisplatin 30-40 mg/m atau paclitaksel
40 mg atau dengan Nimotuzumab 200mg. Dilanjutkan Kemoterapi
Fulldose 3 siklus.
23
KNF Stadium IVB (T1-4 N3M0) neo-ajuvan kemoterapi (kemoterapi
full dose) selama 3 siklus dan dilanjutkan dengan kemoradiasi
(radioterapi definitif di daerah nasofaring dan leher masing-masing 70
Gy dan kemoterapi dosis sensitisasi setiap minggu).
3. Kemoterapi
KNF Stadium IVC (T1-4N0-3,M1) kemoterapi full dose, kombinasi
antara Sisplatin 100mg/m dan 5 FU 1000mg/m atau Paclitaksel 75
mg/m atau dengan Nimotuzumab 200mg diberikan setiap 3 minggu,
sebanyak 6- 8 siklus.
Pada metastasis tulang yang mengenai weight bearing bone (tulang yang
menyangga tubuh), daerah pergerakan ini harus di tunjang dengan
korset (konsul ke dokter spesialis rehabilitasi medis) dan diberikan
obat2 antiosteoporosis 1 bulan sekali.
Bila ada rasa nyeri akibat metastasis tulang, diberikan radioterapi lokal
sebanyak 2Gy.
4. Penanganan suportif
Bila ada nyeri hebat di kepala harus diatasi sebagai nyeri kanker sesuai
protokol nyeri (stepladder WHO)
Bila ada kesulitan makan /asupan nutrisi kurang, pasang
NGT/gastrostomy
Bila ada tanda-tanda infeksi di daerah saluran nafas atas, telinga tengah,
diberikan antibiotika sistemik (oral/injeksi) atau dan topikal tetes
telinga konsultasi ke ahli otologi.
Bila terdapat obstruksi jalan napas atas sesuai dengan protokol
obstruksi jalan napas atas.
4.2.7 Edukasi 6, 9
Penjelasan mengenai tujuan dan resiko biopsi, penjelasan tentang stadium
tumor, hasil pertemuaan tumor, rencana terapi serta akibat dan efek samping yang
dapat terjadi selama dan setelah pengobatan
24
BAB V
ANALISIS KASUS
Input : RL 1000 ml
Total 1000 ml
Output : tidak dapat dinilai, kateter tidak terpasang
Perdarahan : 20 ml
25
1. Dari biopsy dengan anastesi lokal tidak didapatkan hasil yang positif
sedangkan gejala dan tanda yang ditemukan menunjukkan ciri karsinoma
nasofaring.
Sebelumnya pada pasien ini telah dilakukan nasoendoskopi dengan
dengan menggunakan anastesi lokal (xylokain) di poli klinik tht. Dari
hasil nasoendoskopi didapatkan kavum nasi yang sempit, masa
kemerahan , rapuh dan mudah berdarah pada posterior nasofaring.
2. Penderita tidak kooperatif
Ketika pasien sadar endoskopi masuk ke cavum nasi, pasien bergerak
mengelak hal ini dapat menimbulkan trauma. Disamping itu pasien
kesulitan untuk bernafas lewat mulut, sehingga gambaran endoskopi
menjadi berembun.
Induksi anestesi adalah tindakan yang bertujuan membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehinggga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan. Tindakan induksi anestesi dapat dilakukan dengan cara intravena,
inhalasi, intramuscular atau rectal.
Induksi dengan cara intravena lebih mudah dikerjakan dan obat induksi
yang dibolus disuntikkan dalam kecepatan 30-60 detik memiliki kerja yang cepat.
Obat induksi yang dipakai yang menimbulkan efek induksi yang baik adalah
propofol. Pada pasien ini induksi dilakukan secara intravena dengan propofol 140
mg. Dosis propofol adalah 2-2,5 mg/kgBB. Dosis propofol yang seharusnya
diberikan adalah 130-162.5 mg. Dosis propofol pada pasien ini cukup tepat.
Propofol dipilih karena kelebihan propofol dari obat lain yaitu muntah pasca
operasi tidak ditemukan dan dapat bersifat antiemetik. Secara khusus, penderita
dapat beraktivitas dengan cepat setelah pemberian propofol. Propofol mengalami
biotransformasi cepat di hepar menjadi bentuk inaktif yang dieksresi oleh ginjal.
26
Sebelum dilakukan intubasi, pasien diberikan obat pelumpuh otot. Pada
kasus ini, atracurium di berikan sebanyak 35 mg. Dosis atracurium berdasarkan
berat badan adalah 0,5-0,6 mg/kgBB/iv pada pasien ini yaitu 32,5-39 mg.
Atracurium besilat (Tracium) yang merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi
yang relative baru yang mempunyai struktur benzilisoquinolon yang berasal dari
tanaman. Kelebihan obat ini dari yang lain adalah tidak mempunyai efek akumulasi
pada pemberian berulang, tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskular
secara bermakna. Atracurium aksinya memanjang pada penurunan fungsi ginjal.
Intubasi dilakukan pada operasi yang lebih dari 20 menit. Sementara
intubasi tidak diperlukan jika anestesi hanya dibutuhkan untuk waktu 10 menit atau
kurang. Pada pasien ini dilakukan intubasi karena tindakan biopsi dilakukan
melewati cavum nasi, apabila pasien bernafas melalui hidung maka akan
menganggu pandangan endoskopi, selain itu diperkirakan waktu yang dibutuhkan
untuk melakukan tindakan eksplorasi/biopsi lebih dari 20 menit. Pada pasien ini
diintubasi dengan ETT ukuran 7, Tindakan intubasi pada pasien ini berjalan
sempurna tanpa ada faktor penyulit (leher tidak pendek, gigi depan tidak menonjol,
dan mallampati grade 1 karena terlihat uvula, palatum mole, serta pilar faring).
27
5.6 Monitoring
TD awal: 130/70 mmHg, N: 68 x/I, RR: 18x/i
Jam Tindakan Tekanan Nadi Saturasi
Darah (x/menit) O2 (%)
(mmHg)
09.25 Pasien masuk ke kamar operasi, 130/70 68 100
dan dipindahkan ke meja operasi
Pemasangan monitoring tekanan
darah, nadi, saturasi O2
Infus RL drip Ondansetron 4 mg,
Ranitidin 50 mg, Asam
Traneksamat 1000 mg,
Dexametason 10 mg, terpasang
pada tangan kanan
09.40 Fentanyl 100 g dimasukkan iv 110/70 67 100
- Obat induksi dimasukkan secara
09.45 iv:
o Propofol 140 mg
Kemudian mengecek apakah refleks
bulu mata masih ada atau sudah
hilang.
Lalu dilakukan tindakan face
mask dengan sungkup no.3, dan
diberikan:
O2 : 2 L
N2O : 2 L
sevoflurane : 1,5 vol%
28
09.45 Dimasukkan Atracurium 35 mg 108/60 68 98
secara iv
09.50 Dilakukan tindakan pemasangan
endotracheal tube non kinking no. 7
dengan menggunakan laringoskop
Kedua mata pasien ditutup dengan
kassa dan ivafix
09.50 Operasi dimulai 97/58 67 100
Kondisi terkontrol
09.55 Kondisi terkontrol 100/59 68 100
10.00 Kondisi terkontrol 100/58 68 100
sevoflurane diturunkan menjadi 1
vol%
10.05 Kondisi terkontrol 100/65 68 100
Dilakukan penggantian infus RL 500
cc (kolf II)
10.10 Kondisi terkontrol 112/70 68 100
Diberikan ketorolac 30mg +
Tramadol diberikan 100 mg secara iv
drip
10.15 Operasi selesai 108/66 74 100
dilakukan suction , dan pelepasan
endotracheal tube
10.20 Gas N2O dan sevoflurane dimatikan, 108/70 70 100
dan gas O2 dinaikkan menjadi 5 vol
% (oksigenisasi) dengan
menggunakan face mask
Gas 02 dihentikan
Pelepasan alat monitoring
29
Pasien dipindahkan ke ruang
recovery room
10.25 Dilakukan pemasangan alat 112/76 82 99
monitoring pada recovery room
5.6 Ekstubasi
Sejalan dengan berkurangnya efek anestesi, dilakukan suction pada pasien.
Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika intubasi kembali
menimbulkan kesulitan dan adanya resiko aspirasi. Ekstubasi umumnya dikerjakan
pada keadaan anestesia sudah ringan dengan catatan tidak terjadi spasme laring.
Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut, laring, faring, dari sekret dan cairan
lainnya. Pada pasien ini, ekstubasi telah tepat dilakukan dimana ekstubasi dilakukan
ketika efek anestesi sudah ringan dan pasien sudah mulai bernafas spontan serta
tidak ditemukan kesulitan saat ekstubasi.
Pasien masuk pukul 10 : 25 wib dengan kesadaran compos mentis, gcs : 15,
tekanan darah 112/76mmhg, nadi : 82 x/mnt, isi dan tegangan cukup, respirasi :
18 x/mnt, pernafasan baik.
30
Skoring alderette
- Aktifitas :2
- Pernafasan :2
- Warna kulit :2
- Sirkulasi :2
- Kesadaran :2
Jumlah : 10
Instruksi anestesi post operasi :
31
BAB VI
KESIMPULAN
Pasien bernama Tn. Y didiagnosis tumor nasofaring suspek knf dan pada
pemeriksaan penunjang didapatkan status asa II, sebab penyakit yang dideritanya
merupakan penyakit sistemik ringan sampai sedang, yang tidak mengganggu
aktifitas rutinnya.
Selama proses berlangsung baik dari proses pre anestesi maupun sampai
akhir proses anestesi berlangsung tidak ditemukan penyulit. Pre anestesi dilakukan
tanggal 26 Mei 2017. Operasi dan anestesi pada tanggal 27 Mei 2017 pada pikul
09.25 WIB dan berakhir pada pukul 10.25 WIB dengan operator dr.Yulianti,
Sp.THT dengan ahli Anestesi dr. Sulistyowati,Sp.An
Selama operasi baik pada saat premedikasi maupun medikasi selama sampai
proses anestesi selesai tidak ditemukan penyulit. Dosis yang diberikan pada saat
proses anestesi sesuai dosis. Efek samping pemberian obat minimal tanpa ada
permasalahan yang berarti.
Setelah selesai proses anestesi pasien langsung pindah ke ruang recovery,
kesadaran pasien compos mentis dan tanda vital baik. Alderete score 10. Pukul
11.00 WIB pasien dipindahkan ke zal THT. Dapat disimpukan proses anestesi
berlangsung baik tanpa ditemukan komplikasi.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi
ke-2. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta: 2002. Hal.
31-2.
2. Sugiarto, Adhrie, dkk. 2012. Buku Ajar Anestesiologi. Departemen
Anstesiologi dan Intensive care Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
: Jakarta.
3. Morgan GE, Mikhail MS, Clinical anesthesiology. Stamford: Appleton &
Lange, 1996.
4. Anderson,M., Forsby,N., Klein, G.,Henle, W., 2007, Relationship between
the Epstein-Barr Viral and Undifferential Nasopharyngeal Carcinoma:
Corelated nucleic acid hybridation and histopatological examination. Int.J.
Cancer 20: 486-494.
5. Bernadette Brennan. 2009. Nasopharyngeal Carcinoma. Orphanet J rare
Disease. June 2009.
6. Christopher M Nutting , Christopher P Cottrill and William I Wei. 2009.
Tumors of the Nasopharynx in Principles and Practice of Head and Neck
Surgery and Oncology.; 2 nd ed. Informa UK Ltd. 342 254
7. Ho-Sheng et al. 2009. Malignant nasopharyngeal tumors.Chinese Journal of
Cancer. Vol V. 2009
8. Lin HS. 2013. Malignant Nasopharyngeal Tumors. Review: Annals of
Oncology. 2013
9. William IW, Daniel T.T.Chua, 2014. Nasopharyngeal Carcinoma. BJ
Bailey, et al., eds. Head and Neck Surgery Otolaryngology.Vol 2. 5th Ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Pp: 1875-97
33