Professional Documents
Culture Documents
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Sklera
II.1.1 Anatomi Sklera
Sklera yang juga dikenal sebagai bagian putih bola mata, merupakan
kelanjutan dari kornea. Sklera berwarna putih buram dan tidak tembus
cahaya, kecuali di bagian depan bersifat transparan yang disebut kornea.
Sklera merupakan dinding bola mata yang paling keras dengan jaringan
pengikat yang tebal, yang tersusun oleh serat kolagen, jaringan fibrosa
dan proteoglikan dengan berbagai ukuran. Pada anak-anak, sklera lebih
tipis dan menunjukkan sejumlah pigmen, yang tampak sebagai warna
biru. Sedangkan pada dewasa karena terdapatnya deposit lemak, sklera
tampak sebagai garis kuning
Gambar 2. Sklera
Secara histologis, sklera terdiri dari banyak pita padat yang sejajar
dan berkas-berkas jaringan fibrosa yang teranyam, yang masing-masing
mempunyai tebal 10-16 m dan lebar 100-140 m, yakni episklera,
stroma, lamina fuska dan endotelium. Struktur histologis sklera sangat
mirip dengan struktur kornea.
II.2 Skleritis
II.2.1 Definisi
Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik
yang ditandai oleh destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular
yang mengisyaratkan adanya vaskulitis
II.2.2 Etiologi
Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skelritis murni diperantarai
oleh proses imunologi yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe
lambat) dan tipe III (kompleks imun) dan disertai penyakit sistemik.
Pada beberapa kasus, mungkin terjad invasi mikroba langsung, dan pada
sejumlah kasus proses imunologisnya tampaknya dicetuskan oleh proses-
proses lokal, misalnya bedah katarak (Eva PR, 2008).
6
Berikut ini adalah beberapa penyebab skleritis, yaitu (Eva PR, 2008)
II.2.3 Klasifikasi
Skleritis dapat diklasifikasikan menjadi anterior atau posterior. Empat
tipe dari skleritis anterior adalah (Gaeta, Theodore J, 2011) :
1. Diffuse anterior scleritis. Ditandai dengan peradangan yang meluas
pada seluruh permukaan sklera. Merupakan skleritis yang paling
umum terjadi.
2. Nodular anterior scleritis. Ditandai dengan adanya satu atau lebih
nodul radang yang eritem, tidak dapat digerakkan, dan nyeri pada
sklera anterior. Sekitar 20% kasus berkembang menjadi skleritis
nekrosis.
3. Necrotizing anterior scleritis with inflammation. Biasa mengikuti
penyakit sistemik seperti rheumatoid arthtitis. Nyeri sangat berat dan
kerusakan pada sklera terlihat jelas. Apabila disertai dengan inflamasi
kornea, dikenal sebagai sklerokeratitis.
7
II.2.4 Patofisiologi
Degradasi enzim dari serat kolagen dan invasi dari sel-sel radang
meliputi sel T dan makrofag pada sklera memegang peranan penting
terjadinya skleritis. Inflamasi dari sklera bisa berkembang menjadi
iskemia dan nekrosis yang akan menyebabkan penipisan pada sklera dan
perforasi dari bola mata (Gaeta Theodore J, 2011).
Inflamasi yang mempengaruhi sklera berhubungan erat dengan
penyakit imun sistemik dan penyakit kolagen pada vaskular. Disregulasi
pada penyakit auto imun secara umum merupakan faktor predisposisi dari
skleritis. Proses inflamasi bisa disebabkan oleh kompleks imun yang
berhubungan dengan kerusakan vascular (reaksi hipersensitivitas tipe III
dan respon kronik granulomatous (reaksi hipersensitivitas tipe IV).
Interaksi tersebut adalah bagian dari sistem imun aktif dimana dapat
menyebabkan kerusakan sklera akibat deposisi kompleks imun pada
9
II.2.5 Diagnosis
II.2.5.1 Anamnesis
Keluhan pasien akan bervariasi, tergantung dari tipe
skleritis yang dialami pasien. Pasien dengan necrotizing anterior
scleritis with inflammation akan mengeluhkan rasa nyeri yang hebat
disertai tajam penglihatan yang menurun, bahkan dapat terjadi
kebutaan. Tajam penglihatan pasien dengan non-necrotizing scleritis
biasanya tidak akan terganggu, kecuali bila terjadi komplikasi seperti
uveitis. Rasa nyeri yang dirasakan pasien akan memburuk dengan
pergerakan bola mata dan dapat menyebar ke arah alis mata, dahi, dan
dagu. Rasa nyeri juga dapat memburuk pada malam hari, bahkan
dapat membangunkan pasien dari tidurnya.
Tanda primernya adalah mata merah. Nyeri adalah gejala
yang paling sering dan merupakan indikator terjadinya inflamasi
yang aktif.. Nyeri timbul dari stimulasi langsung dan
peregangan ujung saraf akibat adanya inflamasi. Karakteristik
nyeri pada skleritis yaitu nyeri terasa berat, nyeri tajam menyebar
ke dahi, alis, rahang dan sinus, pasien terbangun sepanjang malam,
kambuh akibat sentuhan. Nyeri dapat hilang sementara
dengan penggunaan obat analgetik. Mata berair atau fotofobia pada
skleritis tanpa disertai sekret mukopurulen. Penurunan ketajaman
penglihatan biasa disebabkan oleh perluasan dari skleritis ke
struktur yang berdekatan yaitu dapat berkembang menjadi
keratitis, uveitis, glaucoma, katarak dan fundus yang abnormal.
10
Gambar 8. Skleritis
o
Untuk menentukan adanya keterlibatan secara menyeluruh atau
segmental. Injeksi yang meluas adalah ciri khas dari diffuse
anterior scleritis.
o
Pada skleritis, kongesti maksimum terdapat dalam jaringan
episkleral bagian dalam dan beberapa pada jaringan episkleral
superfisial. Sudut posterior dan anterior dari sinar slit lamp
terdorong maju karena adanya edema pada sklera dan
episklera.
o
Pemberian topikal 2.5% atau 10% phenylephrine hanya akan
menandai jaringan episklera superfisial, tidak sampai bagian
dalam dari jaringan episklera.
o
Penggunaan lampu hijau dapat membantu mengidentifikasi
area avaskular pada sklera. Perubahan kornea juga terjadi pada
50% kasus.
o
Pemeriksaan kelopak mata untuk kemungkinan blefaritis atau
konjungtivitis juga dapat dilakukan.
e) Pemeriksaan skleritis posterior (Gaeta, Theodore J, 2011)
o
Dapat ditemukan tahanan gerakan mata, sensitivitas pada
palpasi dan proptosis.
o
Dilatasi fundus dapat berguna dalam mengenali skleritis
posterior. Skleritis posterior dapat menimbulkan amelanotik
koroidal.
o
Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukan papiledema,
lipatan koroid, dan perdarahan atau ablasio retina (Thill M,
Richard G, 2005).
II.2.5.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari etiologi dari
skleritis. Beberapa pemeriksaan laboratorium dan radiologi yang
dapat dilakukan yaitu (Eva PR, 2008)
1. Pemeriksaan darah lengkap dan laju endap darah
2. Faktor rheumatoid dalam serum
3. Antibodi antinuklear serum (ANA)
4. Serum antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA)
5. PPD (Purified protein derivative/mantoux test), rontgen
toraks
6. Serum FTA-ABS, VDRL
7. Serum asam urat
12
II.2.7 Penatalaksanaan
Pengobatan pada skleritis membutuhkan pengobatan secara sistemik.
Pasien yang terdiagnosa dengan penyakit penyerta akan memerlukan
13
II.2.8 Komplikasi
Skleritis dapat mengakibatkan terjadinya beberapa komplikasi.
Makular edema dapat terjadi karena perluasan peradangan di sklera bagian
posterior sampai koroid, retina, dan saraf optik (Smolin, Gilbert et al, 2005).
Makular edema dapat mengakibatkan penurunan penglihatan. Komplikasi
lainnya yaitu perforasi dari sklera yang mengakibatkan hilangnya
kemampuan mata untuk melihat. Skleromalasia juga dapat terjadi, terutama
pada skleritis dengan rheumatoid arthritis. Obat kortikosteroid juga dapat
memicu terjadinya perforasi serta meningkatkan tekanan intraokular
sehingga beresiko merusak saraf optik akibat glaukoma. Tanpa pengobatan
segera dapat terjadi kondisi seperti katarak, ablasio retina, keratitis, uveitis,
atau atrofi optik. Uveitis anterior terjadi pada sekitar 30% kasus skleritis.
Sedangkan uveitis posterior terjadi pada hampir seluruh kasus skleritis
posterior, namun tak jarang juga dijumpai pada kasus skleritis anterior.
Skleritis dapat berulang dan berpindah ke posisi sklera yang berbeda
(Anonim, 2011).
II.2.9 Prognosis
Individu dengan skleritis ringan biasanya tidak akan mengalami
kerusakan penglihatan yang permanen. Hasil akhir cenderung tergantung
pada penyakit penyerta yang mengakibatkan skleritis. Necrotizing scleritis
umumnya mengakibatkan hilangnya penglihatan dan memiliki 21%
kemungkinan meninggal dalam 8 tahun (Anonim, 2011).
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam