You are on page 1of 13

2

BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Sklera
II.1.1 Anatomi Sklera
Sklera yang juga dikenal sebagai bagian putih bola mata, merupakan
kelanjutan dari kornea. Sklera berwarna putih buram dan tidak tembus
cahaya, kecuali di bagian depan bersifat transparan yang disebut kornea.
Sklera merupakan dinding bola mata yang paling keras dengan jaringan
pengikat yang tebal, yang tersusun oleh serat kolagen, jaringan fibrosa
dan proteoglikan dengan berbagai ukuran. Pada anak-anak, sklera lebih
tipis dan menunjukkan sejumlah pigmen, yang tampak sebagai warna
biru. Sedangkan pada dewasa karena terdapatnya deposit lemak, sklera
tampak sebagai garis kuning

Gambar 1. Anatomi Mata

Sklera dimulai dari limbus, dimana berlanjut dengan kornea dan


berakhir pada kanalis optikus yang berlanjut dengan dura. Enam otot
ekstraokular disisipkan ke dalam sklera. Jaringan sklera menerima
rangsangan sensoris dari nervus siliaris posterior. Sklera merupakan
organ tanpa vaskularisasi, menerima rangsangan tersebut dari jaringan
3

pembuluh darah yang berdekatan. Pleksus koroidalis terdapat di bawah


sklera dan pleksus episkleral di atasnya. Episklera mempunyai dua
cabang, yang pertama pada permukaan dimana pembuluh darah tersusun
melingkar, dan yang satunya lagi yang lebih di dalam, terdapat pembuluh
darah yang melekat pada sklera (Foulks GN, Langston DP, 1988).
Sklera membentuk 5/6 bagian dari pembungkus jaringan pengikat
pada bola mata posterior. Sklera kemudian dilanjutkan oleh duramater dan
kornea, untuk menentukan bentuk bola mata, penahan terhadap tekanan
dari luar dan menyediakan kebutuhan bagi penempatan otot-otot ekstra
okular. Sklera ditembus oleh banyak saraf dan pembuluh darah yang
melewati foramen skleralis posterior. Pada cakram optikus, 2/3 bagian
sklera berlanjut menjadi sarung dural, sedangkan 1/3 lainnya berlanjut
dengan beberapa jaringan koroidalis yang membentuk suatu penampang
yakni lamina kribrosa yang melewati nervus optikus yang keluar melalui
serat optikus atau fasikulus. Kedalaman sklera bervariasi mulai dari 1
mm pada kutub posterior hingga 0,3 mm pada penyisipan muskulus
rektus atau akuator (Subramanian M, 2011).

Gambar 2. Sklera

Sklera mempunyai 2 lubang utama yaitu (Galor A, Thorne J, 2011).


1) Foramen sklerasis anterior, yang berdekatan dengan kornea dan
merupakan tempat meletaknya kornea pada sklera.
2) Foramen sklerasis posterior atau kanalis sklerasis, merupakan pintu
keluar nervus optikus. Pada foramen ini terdapat lamina kribosa yang
terdiri dari sejumlah membran seperti saringan yang tersusun
transversal melintas foramen sklerasis posterior. Serabut saraf optikus
4

lewat lubang ini untuk menuju ke otak.

Gambar 3. Struktur Sklera

Secara histologis, sklera terdiri dari banyak pita padat yang sejajar
dan berkas-berkas jaringan fibrosa yang teranyam, yang masing-masing
mempunyai tebal 10-16 m dan lebar 100-140 m, yakni episklera,
stroma, lamina fuska dan endotelium. Struktur histologis sklera sangat
mirip dengan struktur kornea.

Gambar 4. Histologi Sklera


5

II.1.2 Fisiologi Sklera


Sklera berfungsi untuk menyediakan perlindungan terhadap
komponen intra okular. Pembungkus okular yang bersifat viskoelastis ini
memungkinkan pergerakan bola mata tanpa menimbulkan deformitas
otot-otot penggeraknya. Pendukung dasar dari sklera adalah adanya
aktifitas sklera yang rendah dan vaskularisasi yang baik pada sklera dan
koroid. Hidrasi yang terlalu tinggi pada sclera menyebabkan kekeruhan
pada jaringan sklera. Jaringan kolagen sklera dan jaringan pendukungnya
berperan seperti cairan sinovial yang memungkinkan perbandingan yang
normal sehingga terjadi hubungan antara bola mata dan socket.
Perbandingan ini sering terganggu sehingga menyebabkan beberapa
penyakit yang mengenai struktur artikular sampai pembungkus sklera
dan episklera

II.2 Skleritis
II.2.1 Definisi
Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik
yang ditandai oleh destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular
yang mengisyaratkan adanya vaskulitis

II.2.2 Etiologi
Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skelritis murni diperantarai
oleh proses imunologi yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe
lambat) dan tipe III (kompleks imun) dan disertai penyakit sistemik.
Pada beberapa kasus, mungkin terjad invasi mikroba langsung, dan pada
sejumlah kasus proses imunologisnya tampaknya dicetuskan oleh proses-
proses lokal, misalnya bedah katarak (Eva PR, 2008).
6

Berikut ini adalah beberapa penyebab skleritis, yaitu (Eva PR, 2008)

Penyakit Autoimun (48%) Spondilitis ankylosing, Artritis


rheumatoid, Poliartritis nodosa,
Polikondritis berulang, Granulomatosis
Wegener, Lupus eritematosus sistemik,
Pioderma gangrenosum, Kolitis ulserativa,
Penyakit Granulomatosa Nefropati IgA,Sifilis,
Tuberkulosis, ArtritisSarkoidosis,
psoriatik Lepra,
Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada (jarang)

Gangguan metabolic Gout, Tirotoksikosis, Penyakit jantung


rematik aktif
Infeksi Onkoserkiasis, Toksoplasmosis, Herpes
Zoster, Herpes Simpleks, Infeksi oleh
Pseudomonas, Aspergillus, Streptococcus,
Lain-lain (2%) Fisik (radiasi, luka bakar termal), Kimia
Staphylococcus
(luka bakar asam atau basa), Mekanis
(cedera tembus), Limfoma, Rosasea,
Idiopatik Pasca ekstraksi katarak

II.2.3 Klasifikasi
Skleritis dapat diklasifikasikan menjadi anterior atau posterior. Empat
tipe dari skleritis anterior adalah (Gaeta, Theodore J, 2011) :
1. Diffuse anterior scleritis. Ditandai dengan peradangan yang meluas
pada seluruh permukaan sklera. Merupakan skleritis yang paling
umum terjadi.
2. Nodular anterior scleritis. Ditandai dengan adanya satu atau lebih
nodul radang yang eritem, tidak dapat digerakkan, dan nyeri pada
sklera anterior. Sekitar 20% kasus berkembang menjadi skleritis
nekrosis.
3. Necrotizing anterior scleritis with inflammation. Biasa mengikuti
penyakit sistemik seperti rheumatoid arthtitis. Nyeri sangat berat dan
kerusakan pada sklera terlihat jelas. Apabila disertai dengan inflamasi
kornea, dikenal sebagai sklerokeratitis.
7

4. Necrotizing anterior scleritis without inflammation. Biasa terjadi


pada pasien yang sudah lama menderita rheumatoid arthritis.
Diakibatkan oleh pembentukan nodul rematoid dan absennya gejala.
Juga dikenal sebagai skleromalasia perforans.

Gambar 5. Diffuse Anterior Scleritis

Gambar 6. a) Nodular Anterior Scleritis. b) Penipisan dari sklera


setelah resolusi dari nodul
8

Gambar 7. Skleromalasia perforans

Di samping skleritis anterior, ada pula skleritis posterior. Skleritis


posterior ini jarang terjadi dan ditandai dengan adanya nyeri tekan bulbus
okuli dan proptosis (E Smith, Morton 1985). Terdapat perataan dari bagian
posterior bola mata, penebalan lapisan posterior mata (koroid dan sklera),
dan edema retrobulbar. Pada skleritis posterior dapat dijumpai penglepasan
retina eksudatif, edema makular, dan papiledema (Easty, DL, G
Smolin,1985).

II.2.4 Patofisiologi
Degradasi enzim dari serat kolagen dan invasi dari sel-sel radang
meliputi sel T dan makrofag pada sklera memegang peranan penting
terjadinya skleritis. Inflamasi dari sklera bisa berkembang menjadi
iskemia dan nekrosis yang akan menyebabkan penipisan pada sklera dan
perforasi dari bola mata (Gaeta Theodore J, 2011).
Inflamasi yang mempengaruhi sklera berhubungan erat dengan
penyakit imun sistemik dan penyakit kolagen pada vaskular. Disregulasi
pada penyakit auto imun secara umum merupakan faktor predisposisi dari
skleritis. Proses inflamasi bisa disebabkan oleh kompleks imun yang
berhubungan dengan kerusakan vascular (reaksi hipersensitivitas tipe III
dan respon kronik granulomatous (reaksi hipersensitivitas tipe IV).
Interaksi tersebut adalah bagian dari sistem imun aktif dimana dapat
menyebabkan kerusakan sklera akibat deposisi kompleks imun pada
9

pembuluh di episklera dan sklera yang menyebabkan perforasi kapiler dan


venula post kapiler dan respon imun sel perantara (Maza, MS. 2011)

II.2.5 Diagnosis
II.2.5.1 Anamnesis
Keluhan pasien akan bervariasi, tergantung dari tipe
skleritis yang dialami pasien. Pasien dengan necrotizing anterior
scleritis with inflammation akan mengeluhkan rasa nyeri yang hebat
disertai tajam penglihatan yang menurun, bahkan dapat terjadi
kebutaan. Tajam penglihatan pasien dengan non-necrotizing scleritis
biasanya tidak akan terganggu, kecuali bila terjadi komplikasi seperti
uveitis. Rasa nyeri yang dirasakan pasien akan memburuk dengan
pergerakan bola mata dan dapat menyebar ke arah alis mata, dahi, dan
dagu. Rasa nyeri juga dapat memburuk pada malam hari, bahkan
dapat membangunkan pasien dari tidurnya.
Tanda primernya adalah mata merah. Nyeri adalah gejala
yang paling sering dan merupakan indikator terjadinya inflamasi
yang aktif.. Nyeri timbul dari stimulasi langsung dan
peregangan ujung saraf akibat adanya inflamasi. Karakteristik
nyeri pada skleritis yaitu nyeri terasa berat, nyeri tajam menyebar
ke dahi, alis, rahang dan sinus, pasien terbangun sepanjang malam,
kambuh akibat sentuhan. Nyeri dapat hilang sementara
dengan penggunaan obat analgetik. Mata berair atau fotofobia pada
skleritis tanpa disertai sekret mukopurulen. Penurunan ketajaman
penglihatan biasa disebabkan oleh perluasan dari skleritis ke
struktur yang berdekatan yaitu dapat berkembang menjadi
keratitis, uveitis, glaucoma, katarak dan fundus yang abnormal.
10

Gambar 8. Skleritis

Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pada mata


menjelaskan adanya penyakit sistemik, trauma, obat-obatan
atau prosedur pembedahan dapat menyebabkan skleritis seperti :
a) Penyakit vaskular atau penyakit jaringan ikat
b) Penyakit infeksi
c) Penyakit miscellanous ( atopi,gout, trauma kimia, rosasea)
d) Trauma tumpul atau trauma tajam pada mata
e) Obat-obatan seperti pamidronate, alendronate, risedronate,
zoledronic acid dan ibandronate.
f) Post pembedahan pada mata
Riwayat penyakit dahulu seperti ulserasi gaster, diabetes,
penyaki hati, penyakit ginjal, hipertensi dimana mempengaruhi
pengobatan selanjutnya. Pengobatan yang sudah didapat dan
pengobatan yang sedang berlangsung dan responnya terhadap
pengobatan.
II.2.5.2 Pemeriksaan Fisik dan Oftalmologi
a) Seperti semua keluhan pada mata, pemeriksaan diawali dengan
pemeriksaan tajam penglihatan (Gaeta, Theodore J, 2011)
o
Visus dapat berada dalam keadaan normal atau menurun.
o
Gangguan visus lebih jelas pada skleritis posterior.
b) Pemeriksaan umum pada kulit, sendi, jantung dan paru paru
dapat dilakukan apabila dicurigai adanya penyakit sistemik.
c) Pemeriksaan Sklera (Maza MS, 2011).
o
Sklera tampak difus, merah kebiru biruan dan setelah
beberapa peradangan, akan terlihat daerah penipisan sklera dan
menimbulkan uvea gelap.
o
Area berwarna hitam, abu abu, atau coklat yang dikelilingi
oleh peradangan aktif menandakan proses nekrosis. Apabila
proses berlanjut, maka area tersebut akan menjadi avaskular
dan menghasilkan sequestrum berwarna putih di tengah, dan di
kelilingi oleh lingkaran berwarna hitam atau coklat gelap.
d) Pemeriksaan slit lamp ( Gaeta, Theodore J, 2011).
11

o
Untuk menentukan adanya keterlibatan secara menyeluruh atau
segmental. Injeksi yang meluas adalah ciri khas dari diffuse
anterior scleritis.
o
Pada skleritis, kongesti maksimum terdapat dalam jaringan
episkleral bagian dalam dan beberapa pada jaringan episkleral
superfisial. Sudut posterior dan anterior dari sinar slit lamp
terdorong maju karena adanya edema pada sklera dan
episklera.
o
Pemberian topikal 2.5% atau 10% phenylephrine hanya akan
menandai jaringan episklera superfisial, tidak sampai bagian
dalam dari jaringan episklera.
o
Penggunaan lampu hijau dapat membantu mengidentifikasi
area avaskular pada sklera. Perubahan kornea juga terjadi pada
50% kasus.
o
Pemeriksaan kelopak mata untuk kemungkinan blefaritis atau
konjungtivitis juga dapat dilakukan.
e) Pemeriksaan skleritis posterior (Gaeta, Theodore J, 2011)
o
Dapat ditemukan tahanan gerakan mata, sensitivitas pada
palpasi dan proptosis.
o
Dilatasi fundus dapat berguna dalam mengenali skleritis
posterior. Skleritis posterior dapat menimbulkan amelanotik
koroidal.
o
Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukan papiledema,
lipatan koroid, dan perdarahan atau ablasio retina (Thill M,
Richard G, 2005).
II.2.5.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari etiologi dari
skleritis. Beberapa pemeriksaan laboratorium dan radiologi yang
dapat dilakukan yaitu (Eva PR, 2008)
1. Pemeriksaan darah lengkap dan laju endap darah
2. Faktor rheumatoid dalam serum
3. Antibodi antinuklear serum (ANA)
4. Serum antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA)
5. PPD (Purified protein derivative/mantoux test), rontgen
toraks
6. Serum FTA-ABS, VDRL
7. Serum asam urat
12

8. B-Scan Ultrasonography dapat membantu mendeteksi adanya


skleritis posterior

Gambar 9. B-Scan Ultrasonography pada skleritis posterior menunjukkan adanya


akumulasi cairan pada kapsul tenon

II.2.6 Diagnosis Banding


Berikut ini adalah beberapa diagnosis banding dari skleritis (Maza, MS,
2011) :
1) Konjunctivitis alergika
2) Episkleritis
3) Gout
4) Herpes zoster
5) Rosasea okular
6) Karsinoma sel skuamosa pada konjunctiva
7) Karsinoma sel skuamosa pada palpebra
8) Uveitis anterior nongranulomatosa

II.2.7 Penatalaksanaan
Pengobatan pada skleritis membutuhkan pengobatan secara sistemik.
Pasien yang terdiagnosa dengan penyakit penyerta akan memerlukan
13

pengobatan yang spesifik juga. Penatalaksanaan skleritis dibagi menjadi


pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius, pengobatan pada skleritis
yang infeksius, serta konsultasi kepada bagian terkait apabila dicurigai ada
penyakit sistemik yang menyertai.
1. Pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius. NSAIDs,
kortikosteroid, atau obat imunomodulator dapat digunakan.
Pengobatan secara topikal saja tidak mencukupi. Pengobatan
tergantung pada keparahan skleritis, respon pengobatan, efek samping,
dan penyakit penyerta lainnya.
o Diffuse scleritis atau nodular scleritis

Pengobatan awal menggunakan NSAIDs. Jika gagal dapat
menggunakan 2 jenis NSAIDs yang berbeda. Untuk pasien
resiko tinggi, berikan juga misoprostol atau omeprazole
untuk perlindungan gastrointestinal.

Jika NSAIDs tidak efektif, gunakan kortikosteroid oral. Jika
terjadi remisi, dipertahankan menggunakan NSAIDs.

Jika oral kortikosteroid gagal, obat obatan imunosupresif
dapat digunakan. Methotrexate adalah obat pilihan pertama,
tapi dapat juga digunakan azathioprine, mycophenolate,
mofetil, cyclophosphamide, atau cyclosporine. Untuk
pasien dengan Wegeners granulomatosis atau polyarteritis
nodosa, cyclophosphamide adalah pilihan utama.

Jika masih gagal, dapat diberikan obat obatan
imunomodulator seperti infliximab atau adalimumab yang
diharapkan dapat efektif.
o Necrotizing scleritis

Obat obatan imunosupresif ditambahkan dengan
kortikosteroid pada bulan pertama, kemudian jika mungkin
dikurangi perlahan lahan.

Jika gagal, pengobatan imunomodulator dapat digunakan.

Injeksi steroid periokular tidak boleh dilakukan karena
dapat memperparah proses nekrosis yang terjadi.
2. Pengobatan untuk skleritis yang infeksius. Pengobatan sistemik
dengan atau tanpa antimikrobial topikal dapat digunakan. Sementara
kortikosteroid dan imunosupresif tidak boleh digunakan.
14

3. Konsultasi. Dapat dilakukan kepada ahli penyakit dalam untuk


penyakit penyerta, dan konsultasi dengan spesialis hematologi atau
onkologi untuk pengawasan terapi imunosupresif.

II.2.8 Komplikasi
Skleritis dapat mengakibatkan terjadinya beberapa komplikasi.
Makular edema dapat terjadi karena perluasan peradangan di sklera bagian
posterior sampai koroid, retina, dan saraf optik (Smolin, Gilbert et al, 2005).
Makular edema dapat mengakibatkan penurunan penglihatan. Komplikasi
lainnya yaitu perforasi dari sklera yang mengakibatkan hilangnya
kemampuan mata untuk melihat. Skleromalasia juga dapat terjadi, terutama
pada skleritis dengan rheumatoid arthritis. Obat kortikosteroid juga dapat
memicu terjadinya perforasi serta meningkatkan tekanan intraokular
sehingga beresiko merusak saraf optik akibat glaukoma. Tanpa pengobatan
segera dapat terjadi kondisi seperti katarak, ablasio retina, keratitis, uveitis,
atau atrofi optik. Uveitis anterior terjadi pada sekitar 30% kasus skleritis.
Sedangkan uveitis posterior terjadi pada hampir seluruh kasus skleritis
posterior, namun tak jarang juga dijumpai pada kasus skleritis anterior.
Skleritis dapat berulang dan berpindah ke posisi sklera yang berbeda
(Anonim, 2011).

II.2.9 Prognosis
Individu dengan skleritis ringan biasanya tidak akan mengalami
kerusakan penglihatan yang permanen. Hasil akhir cenderung tergantung
pada penyakit penyerta yang mengakibatkan skleritis. Necrotizing scleritis
umumnya mengakibatkan hilangnya penglihatan dan memiliki 21%
kemungkinan meninggal dalam 8 tahun (Anonim, 2011).
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

You might also like