You are on page 1of 60

LAPORAN KASUS BESAR

SEORANG PRIA 72 TAHUN DENGAN COMMUNITY ACQUIRED


PNEUMONIA CURB-65 SCORE 2, PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF
KRONIK EKSASERBASI AKUT, HIPERTENSI STAGE I, OLD
MYOCARDIAL INFARCTION ANTEROSEPTAL DAN DISLIPIDEMIA

Diajukan guna memenuhi tugas kepaniteraan senior


Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Disusun oleh:
Auliya Husen
22010116210062

Dosen Pembimbing:
dr. Fathur Nurkholis, Sp.PD

Residen Pembimbing:
dr. Enrico Morley

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2017

i
ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga laporan kasus besar Seorang Pria
72 Tahun dengan Community Acquired Pneumonia CURB-65 SCORE 2,
Penyakit Paru Obstruktif Kronik Eksaserbasi Akut, Hipertensi Stage I, Old
Myocardial Infarction Anteroseptal dan Dislipidemia ini dapat penulis
selesaikan.

Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi tugas dan syarat dalam
menempuh kepaniteraan senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasi kepada:


1. dr. Fathur Nurkholis, Sp.PD, selaku dosen pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu dan memberikan masukan yang berharga
2. dr. Enrico Morley, selaku residen pembimbing yang telah memberikan
masukan, petunjuk, serta bantuan dalam penyusunan tugas ini
3. Tn. S beserta keluarga, atas keramahan dan keterbukannya dalam kegiatan
penyusunan laporan
4. Keluarga dan teman-teman Coass serta semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan laporan kasus ini.

Akhir kata, penulis berharap agar laporan ini dapat bermanfaat bagi
pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya.

Semarang, Maret 2017

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
BAB I LAPORAN KASUS ................................................................................. 1
1.1. Identitas Penderita .......................................................................................... 1
1.2. Data Dasar ..................................................................................................... 2
1.3. Daftar Abnormalitas ...................................................................................... 11
1.4. Daftar Masalah ............................................................................................... 12
1.5. Rencana Pemecahan Masalah ....................................................................... 12
1.6. Catatan Kemajuan .......................................................................................... 15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 18
2.1. Community Acquired Pneumonia .................................................................. 18
2.2. Penyakit Paru Obstruktif Kronik ................................................................... 24
2.3. Hipertensi ....................................................................................................... 33
2.4. Infark Miokard ............................................................................................... 40
2.5. Dislipidemia ................................................................................................... 50
BAB III PEMBAHASAN ..................................................................................... 53
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 55

iv
ABSTRAK
SEORANG PRIA 72 TAHUN DENGAN COMMUNITY ACQUIRED
PNEUMONIA CURB-65 SCORE 2, PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF
KRONIK EKSASERBASI AKUT, HIPERTENSI STAGE I, OLD
MYOCARDIAL INFARCTION ANTEROSEPTAL DAN DISLIPIDEMIA
Auliya Husen1, dr. Fathur Nurkholis, Sp. PD2

Seorang laki-laki 72 tahun datang ke RSDK dengan keluhan sesak napas +


1 minggu. Sesak dirasakan terus menerus semakin lama semakin memberat. 3 hari
terakhir sesak membuat pasien hanya mampu berbaring di tempat tidur, bunyi
ngik-ngik (-). Sesak dirasakan semakin memberat bila pasien batuk dan
beraktivitas, pasien tidur dengan 1 bantal, sesak tidak dipicu dengan udara dingin.
Sesak disertai batuk selama 1 minggu ini, dahak (+) sulit keluar warna putih
kental, batuk darah (-), nyeri dada (-), berdebar-debar (-), terbangun malam hari
karena sesak (-), demam (+) 1 minggu nglemeng, keringat malam hari (-), pusing
(-) nafsu makan turun (-), mual (-), muntah (-), BB turun (+) tapi pasien tidak tahu
berapa kilogram, BAK tidak ada keluhan, kuning jernih. BAB lembek 1 kali
sehari.
Pasien mengeluh sering sesak napas lebih dari 2 tahun yang lalu. Pasien
juga memiliki riwayat pengobatan TB paru 2 tahun yang lalu selama 6 bulan dan
dinyatakan sembuh. Selain itu pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 6 bulan
lalu dan rutin minum obat.
Pada tanggal 10 Februari 2016, dilakukan pemeriksaan fisik pada pasien.
Keadaan umum pasien tampak lemah dan sesak. Tekanan darah 130/90 mmHg,
nadi 105x/menit, laju napas 26x/menit, dan suhu 37,40C. Pada pemeriksaan
thoraks didapatkan bentuk thoraks emfisematous, sela iga melebar, sudut
costosternal >900, terdapat retraksi suprasternal dan intercostal serta hipertrofi m.
sternocleidomastoideus. Paru redup di SIC II-IV dan basal kanan dan kiri serta
pada auskultasi didapatkan suara dasar bronkial dan suara tambahan berupa ronki
basah kasar serta eksperium yang diperpanjang.
Pada pemeriksaan EKG tanggal 9 Februari 2017 didapatkan hasil
normosinus ritme dan OMI anteroseptal. Pemeriksaan foto thoraks 9 Februari
2017 didapatkan corakan vaskular tampak kasar dan meningkat, tampak bercak
pada lapangan atas paru kanan dan bawah paru kiri, tampak fibrotic line pada
lapangan tengah bawah paru kanan kiri, tampak kalsifikasi pada lapangan tengah
paru kanan serta didapatkan hemidiafragma kanan setinggi costa 11 posterior,
tampak flattening dengan kesan gambaran infiltrat (pneumonia), TB paru lama
dan thorak emfisematous. Pada pemeriksaan profil lipid tanggal 13 Februari 2017
didapatkan trigliserida pasien meningkat dan LDL direk pasien meningkat
sehingga disimpulkan pasien memiliki dislipidemia.

Kata kunci : Community Acquired Pneumonia, Penyakit Paru Obstruktif Kronik,


Hipertensi, OMI anteroseptal, Dislipidemia

v
BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 72 tahun
Alamat : Sidawung RT 01 RW 03 Kaligading, Boja, Kendal
Agama : Islam
Pendidikan : Tamat SD
Pekerjaan : Petani
Bangsal : Rajawali 3B
Masuk RS : 9 Februari 2017
No. CM : C623399
Status : BPJS PBI

DAFTAR MASALAH

No. Masalah Aktif Tanggal Masalah Pasif


Community Acquired Pneumonia
1 10 Februari 2017
CURB-65 SCORE 2
2 PPOK Eksaserbasi Akut 10 Februari 2017
3 Hipertensi Stage I 10 Februari 2017
4 OMI Anteroseptal 10 Februari 2017
5 Dislipidemia 10 Februari 2017

1
II. DATA DASAR
A. SUBJEKTIF
Autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 10 Februari 2017 pukul 19.00 di
bangsal Rajawali 3B
Keluhan Utama : Sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang
+ 1 minggu SMRS pasien mengeluh sesak nafas, sesak dirasakan terus menerus
semakin lama semakin memberat. 3 hari terakhir sesak membuat pasien hanya
mampu berbaring di tempat tidur, bunyi ngik-ngik (-), pasien dapat bicara dalam
kalimat utuh. Sesak dirasakan semakin memberat bila pasien batuk dan
beraktivitas, pasien tidur dengan 1 bantal, sesak tidak dipicu dengan udara dingin.
Sesak disertai batuk selama 1 minggu ini, dahak (+) sulit keluar warna putih
kental, batuk darah (-), nyeri dada (-), berdebar-debar (-), terbangun malam hari
karena sesak (-), demam (+) 1 minggu nglemeng, keringat malam hari (-), pusing
(-) nafsu makan turun (-), mual (-), muntah (-), BB turun (+) tapi pasien tidak tahu
berapa kilogram, BAK tidak ada keluhan, kuning jernih. BAB lembek 1 kali
sehari.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sering sesak sejak 2 tahun terakhir, sering berobat ke Puskesmas dan
dokter praktek
Riwayat pengobatan TB paru 2 tahun yang lalu selama 6 bulan dan dinyatakan
sembuh
Riwayat tekanan darah tinggi (+) pernah naik 180/100 mmHg 6 bulan lalu
Riwayat asma (-)
Riwayat alergi (-)
Riwayat kencing manis (-)
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat keganasan (-)
Riwayat merokok 2 bungkus/hari sejak usia muda sampai sekarang

2
Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat kencing manis (-)


Riwayat darah tinggi (-)
Riwayat asma (-)
Riwayat alergi (-)
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat keganasan (-)

Riwayat Sosial Ekonomi :


Pasien bekerja sebagai petani. Pasien memiliki 6 orang anak yang sudah mandiri.
Pembiayaan pengobatan pasien menggunakan BPJS PBI. Kesan sosial ekonomi
kurang.

B. OBJEKTIF
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak lemah, dyspneu (+) terpasang nasal kanul 3 lpm
Kesadaran : Compos mentis, GCS: E4M6V5= 15
Tanda vital :
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi : 105 x / menit, reguler, isi tegangan cukup
RR : 26 x / menit, kussmaul (-)
Suhu : 37,40 C (axillar)
BB : 51 kg
TB : 165 cm
BMI : 18,73 (normoweight)
Kulit : turgor cukup, ikterik (-)

Mata : konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)

Hidung : napas cuping hidung (-), epistaksis (-), discharge (-)


Telinga : discharge (-/-), nyeri tekan tragus (-/-)
Mulut : pursed lip breathing (-), sianosis (-), bibir pucat (-), hipertrofi

3
ginggiva (-), perdarahan gusi (-), atrofi papil lidah (-),
stomatitis (-)
Tenggorokan : faring hiperemis (-), tonsil T1-T1
Leher : JVP R+0, deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thoraks
Dada : simetris, bentuk thoraks barrel chest, sela iga melebar (+), sudut
costosternal > 90o, retraksi intercostal (+), retraksi suprasternal
(+), hipertrofi m. sternocleidomastoideus (+)

Paru Anterior
Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis
xx xx
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : redup di SIC II-IV dan basal paru kanan dan kiri xx xx
Auskultasi : suara dasar bronkial (+/+), suara tambahan (+/+)
RBK, eksperium diperpanjang

Paru Posterior xx xx
Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
xx xx
Perkusi : redup di T5-T7 dan basal paru kanan dan kiri x
x
Auskultasi : suara dasar bronkial (+/+), suara tambahan (+/+) RBK, eksperium
diperpanjang

Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba di SIC V 2 cm medial linea midclavicula
sinistra, kuat angkat (-), pulsasi parasternal (-), pulsasi epigastrial
(-), sternal lift (-)

4
Perkusi : Batas atas : SIC II linea parasternal sinistra
Batas kanan : linea parasternalis dextra
Batas kiri : sesuai iktus kordis
Pinggang jantung : cekung
Auskultasi : bunyi jantung I dan II murni, bising (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : datar, venektasi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, pekak sisi (+) normal, pekak alih (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar tak teraba, lien tak teraba

Ekstremitas Superior Inferior


Edema -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Capillary refill time <2s <2s
Clubbing finger -/-

CURB-65 SCORE

CURB-65
Symptom Points
Confusion 0
BUN>7 mmol/l (28mg/dL) 1
Respiratory rate>=30 0
SBP<90mmHg, DBP=<60mmHg 0

Age>=65 1

Skor : 2. Berdasarkan kriteria ini, perlakuan pada pasien CAP yaitu


2 : Rawat inap atau rawat jalan dengan monitoring yang ketat

5
mMRC Dyspnea Scale

6
Pemeriksaan Penunjang

HEMATOLOGI (8 Februari 2017)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan Ket


Hemoglobin 14,7 g/dL 13,00-16,00
Hematokrit 44,4 % 40-54
Eritrosit 5,08 106/uL 4,4-5,9
MCH 28,9 pg 27,00-32,00
MCV 87,4 fL 76-96
MCHC 33,1 g/dL 29,00-36,00
Leukosit 5 103/uL 3,8-10,6
Trombosit 198 103/uL 150-400
RDW 12,3 % 11,60-14,80
MPV 10,5 fL 4,00-11,00

KIMIA KLINIK (8 Februari 2017)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan Ket


Glukosa Sewaktu 92 mg/dL 80-160
Ureum 28 mg/dL 15-39
Kreatinin 1 mg/dL 0,6-1,3
Albumin 4,1 g/dL 3,4-5,0

ELEKTROLIT (8 Februari 2017)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan Ket


Natrium 136 mmol/L 136-145
Kalium 3,9 mmol/L 3,5-5,1
Chlorida 99 mmol/L 98-107

7
EKG (9 Februari 2017)

8
INTERPRETASI EKG (9 Februari 2017)
Irama Sinus
Frekuensi 100x/menit
Deviasi sumbu Normoaksis
Posisi elektrik Isoelektrik
Gelombang P 0,08 detik, P pulmonal (-), P mitral (-)
Interval PR 0,16 detik
Gelombang QRS 0,04 detik, Q patologis (+) V1 V2 V3 V4, R/S di V1 <1, S di
V1/V2 + R di V5/V6 < 35
Segmen ST ST depresi (-), ST elevasi (-)
Gelombang T 0,12 detik, Tall T (-), T inverted (+) V1 V2 V3 V4
Kesimpulan Normosinus ritme, OMI anteroseptal

9
X-FOTO THORAKS (9 Februari 2017)

KLINIS: PPOK, INFILTRAT PARU, RIWAYAT PENGOBATAN TB

COR: Bentuk dan letak jantung nomal

Retrocardiac dan retrosternal space tak menyempit

Elongatio aorta

PULMO: Corakan vaskuler tampak kasar dan meningkat

Tampak bercak pada lapangan atas paru kanan dan


bawah paru kiri

Tampak fibrotic line pada lapangan tengah bawah paru


kanan kiri

Tampak kalsifikasi pada lapangan tengah paru kanan

Hemidiafragma kanan setinggi costa 11 posterior, tampak flattening


Sinus costofrenikus kanan kiri tumpul

10
KESAN: Cor tak membesar
Elongatio aorta
Gambaran TB paru
Gambaran thorak emfisematous
Efusi pleura dupleks minimal

III. DAFTAR ABNORMALITAS


1. Sesak nafas
2. Batuk
3. Demam
4. Dahak (+) sulit keluar
5. Riwayat merokok
6. Penurunan BB
7. TD 130/90 mmHg
8. Barrel chest
9. Sela iga melebar
10. Retraksi interkostal
11. Retraksi suprasternal
12. Sudut costosternal > 90o
13. Hipertrofi m. sternocleidomastoideus
14. CURB-65 SCORE: 2
15. mMRC Dyspneu Scale: 5
16. SD bronkial (+), ronki basah kasar (+)
17. Eksperium diperpanjang
18. EKG: OMI anteroseptal
19. X-Foto Thoraks: Riwayat TB paru

11
ANALISIS SINTESIS
1, 2, 3, 4, 14, 16, 19 : CAP
5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 15, 17 : PPOK
7 : Hipertensi Stage I
18 : OMI anteroseptal

IV. DAFTAR MASALAH

No. Masalah Aktif Tanggal Masalah Pasif


Community Acquired Pneumonia
1 10 Februari 2017
CURB-65 SCORE 2
2 PPOK Eksaserbasi Akut 10 Februari 2017
3 Hipertensi Stage I 10 Februari 2017
4 OMI Anteroseptal 10 Februari 2017

V. RENCANA PEMECAHAN MASALAH


Problem 1. Community Acquired Pneumonia CURB-65 SCORE 2

Assessment : - Spesifik
- Non Spesifik
Initial Plan

Dx : Cek sputum (gram, jamur, BTA 3x, kultur)

Rx : O2 3 lpm nasal kanul bila sesak


Infus RL 20 tpm
Paracetamol 500 mg/8 jam p.o (bila suhu >38OC)
Inj Ceftriaxone 2 g/24 jam iv
Mx : KU dan TTV/8 jam, ronkhi, keluhan batuk, sesak, RR, saturasi O2,
demam
Ex : - Menjelaskan kepada pasien bahwa pasien menderita peradangan paru
yang disebabkan oleh infeksi bakteri dan dilakukan pemeriksaan dahak
untuk mengetahui penyebabnya secara pasti

12
- Menjelaskan kepada pasien bahwa pasien diberikan antibiotic
spectrum luas untuk menekan pertumbuhan bakteri. Antibiotik harus
dihabiskan meki gejala sudah tidak ada.

Problem 2. PPOK Eksaserbasi Akut

Assessment : Faktor pencetus: infeksi

Derajat obstruksi

Initial Plan

Dx : spirometri
Rx : O2 3 lpm nasal kanul bila sesak

Infus RL 20 tpm

Inj Ceftriaxone 2 g/24 jam iv


Nebulizer (berotec; atrovent; bisolvon; NaCl 0,9%/4jam dan flixotide/12
jam) bila sesak

Salbutamol 2mg/8 jam PO


Methylprednisolon 16mg-0-16mg
N-asetil sistein 200 mg/8 jam PO
Breathing exercise
Berhenti merokok
Mx : KUTV, keluhan sesak, RR, saturasi O2
Ex : - Menerangkan pada pasien dan keluarga mengenai penyakit pernafasan
yang diderita pasien
- Menghimbau pasien dan keluarga untuk patuh terhadap pengobatan yang
telah direncanakan, menjelaskan manfaat dan efek samping dari
pengobatan yang diberikan
- Menghimbau kepada pasien untuk berhenti merokok karena merupakan
faktor risiko terbesar terjadinya penyakit paru yang diderita
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga untuk segera lapor kepada
dokter ataupun perawat apabila pasien bertambah sesak

13
Problem 3. Hipertensi Stage I

Assessment : Faktor risiko IHD

Komplikasi: retinopati

Initial Plan

Dx : trigliserida, kolesterol, HDL, LDL, asam urat, funduskopi

Rx : - diet rendah garam 2gr/hari


- amlodipine 5mg/hari
Mx : Tekanan darah/8 jam
Ex : - Menjelaskan pada pasien dan keluarga untuk minum obat penurun
tekanan darah secara rutin.
- Menjelaskan pada pasien untuk menghabiskan makanan dari RS dan
mengurangi makanan asin.

Problem 4. Old Myocardial Infarction Anteroseptal

Assessment : IHD

Disfungsi sistolik

Initial Plan

Dx : Echocardiography

Rx : - O2 3 lpm nasal kanul bila sesak


- aspilet 500 mg/24 jam
Mx : KU, TV, sesak napas
Ex : - Menjelaskan pada pasien dan keluarga untuk minum obat secara rutin
dan efek samping yang dapat terjadi pada konsumsi obatnya
- Menjelaskan pada pasien bawa akan dilakukan pemeriksaan
echocardiography untuk mengetahui keadaan jantung pasien

14
VI. CATATAN KEMAJUAN

13 Februari 2017
Problem 1. Hipertensi Stage I
S: -
O: Tekanan darah 120/70 mmHg
Jawaban konsul mata
V OD: 3/60 tonometri digitalis: N
V OS: 3/60 tonometri digitalis: N
Palpebra: edema (-), spasme (-)
Konjungtiva: injeksi (-), sekret (-)
Kornea: jernih
COA: kesan kedalaman cukup
Iris: kripte (+), atrofi (-)
Pupil: bulat, sentral, regular, diameter 5mm, refleks pupil (-),
relative afferent pupillary defect (-)
Lensa: keruh tak merata
Fundus reflex: (+) < cemerlang
Funduscopy:
papil N. II: bulat, batas tegas, CDR 0,3, warna kuning
kemerahan
vasa: arteriospasmic (+), arteri vena ratio 1/3, crossing
phenomen (+), copper wire (+), silver phenomen (-)
retina: eksudat (-), break (-), detach (-), blot (-), clot (-),
perdarahan (-)
macula: reflex fovea (+) cemerlang
Kesimpulan: ada tanda retinopati hipertensi stadium II dan ODS katarak
senilis imatur
Saran: kontrol hipertensi
kontrol ke poli mata

15
Pemeriksaan Laboratorium

KIMIA KLINIK

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan Ket


Kolesterol Total 199 mg/dL <200
Trigliserida 170 mg/dL <150 H
HDL Cholesterol 44 mg/dL 40-60
LDL Direk 119 mg/dL 0-100 H
Asam Urat 4,5 mg/dL 3,5-7,2

A: Hipertensi stage I terkontrol


P: - diet rendah garam 2 gr/hari
- amlodipine 5 mg/hari

Problem 5. Dislipidemia
S: -
O: Kolesterol total 199 mg/dL
Trigliserida 170 mg/dL*
HDL Cholesterol 44 mg/dL
LDL Direk 119 mg/dL*
Asam Urat 4,5 mg/dL
A: peningkatan trigliserida, peningkatan LDL
P: - diet seimbang
- olahraga
- perbaikan pola hidup

15 Februari 2017
Problem 1. Community Acquired Pneumonia CURB-65 SCORE 2
S: batuk (-), sesak (-)
O: KU baik
TD 110/70 mmHg

16
HR 84x/menit
RR 20x/menit
t0 36,60
PF paru perkusi redup di SIC II-IV dan basal paru kanan kiri, auskultasi
ronkhi basah kasar (+)
A: Community Acquired Pneumonia
P: Infus RL 20 tpm
Inj Ceftriaxone 2 gr/24 jam iv

Problem 2. PPOK Eksaserbasi Akut

S: batuk (-), sesak (-)


O: KU baik
TD 110/70 mmHg
HR 84x/menit
RR 20x/menit
t0 36,60
PF paru barrel chest, eksperium diperpanjang
A: PPOK Eksaserbasi Akut perbaikan
P: Infus RL 12 tpm
Salbutamol 2mg/8jam p.o
N-asetil sistein 200mg/8jam p.o
Seretide discus 250 mg II puff/12 jam

16 Februari 2017
Pasien pulang dengan mendapatkan obat:
Seretide discus 250 mg II puff/12 jam
Amlodipine 5 mg/hari

17
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Community Acquired Pneumonia (CAP)


2.1.1 Definisi
Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan
peradangan paru yang disebabkan oleh non mikroorganisme (bahan kimia, radiasi,
aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis.
Community Acquired Pneumonia (CAP) adalah pneumonia yang didapat
di masyarakat. CAP ini merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan angka
kematian tinggi di dunia.
2.1.2 Etiologi
Etiologi CAP bervariasi menurut tingkat keparahan penyakitnya, meliputi
bakteria, fungi, virus, protozoa, dan lain-lain. Namun sebagian besar kasus CAP
etiologinya adalah kuman atau bakteri patogen. Beberapa studi di negara barat
mengidentifikasi Streptococcus pneumoniae sebagai patogen etiologi yang paling
sering teridentifikasi. Patogen etiologi lain yang juga banyak teridentifikasi adalah
Mycoplasma pneumoniae, Haemophylus influenzae, agen viral, dan lain-lain.
Kebanyakan patogen penyebab CAP baik pada usia lanjut maupun dewasa
muda adalah sama, yaitu Streptococcus pneumoniae. Infeksi oleh Mycoplasma
pneumoniae dan Legionella jarang pada usia lanjut. Pada suatu studi, infeksi
Mycoplasma pneumoniae dan patogen atipikal lainnya lebih sering ditemukan
pada penderita usia <60 tahun. Pada usia lanjut, bakteri enterik gram negatif juga
sudah jarang ditemukan, sedangkan Haemophylus influenza menjadi lebih sering
teridentifikasi.
2.1.3 Diagnosis
Diagnosis CAP didapatkan dari anamnesis, gejala klinis pemeriksaan fisis,
foto toraks dan laboratorium. Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika
pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2

18
atau lebih gejala di bawah ini:
Batuk-batuk bertambah
Perubahan karakteristik dahak / purulen
Suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam
Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas
bronkial dan ronki
Leukosit > 10.000 atau < 4500
2.1.4 Patogenesis dan Patofisiologi
Dalam keadaan sehat tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang
biak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada
kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran
nafas. Ada beberapa cara mikrooganisme mencapai permukaan:
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi di permukaan mukosa
Pada pneumonia, mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau
aspirasi. Pneumonia jarang tejadi lewat penyebaran hematogen (misalnya dari
endokarditis trikuspid) atau infeksi lanjutan dari infeksi pleura atau ruang
mediastinum.
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan
reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN
dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum
terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan
dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik mengelilingi
bakteri tersebut kemudian dimakan. Pada waktu terjadi peperangan antara host
dan bakteri maka akan tampak 4 zona pada daerah parasitik tersebut yaitu:
1. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.

19
2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi
sel darah merah.
3. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif
dengan jumlah PMN yang banyak.
4. Zona resolusi : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri
yang mati, leukosit dan alveolar makrofag.
Red hepatization ialah daerah perifer yang terdapat edema dan perdarahan,
sedangkan gray hepatization ialah konsolodasi yang luas.
2.1.5 Gambaran Klinik
Beberapa gejala dan tanda klinik yang pada umumnya ditemukan pada
pasien CAP:
Tabel 1. Gejala dan tanda yang biasa terdapat pada pasien dengan CAP
Gejala Tanda
Batuk 90% Demam 80%
Dyspneu 66 % Takipneu 70%
Sputum 66% Takikardi 50%
Nyeri pleuritik 50% Penemuan fisik paru (dari ronchi suara
bronchial) 90%

Tanda dan gejala pada pneumonia bervariasi sesuai etiologinya. Beberapa


sindrom pneumonia:
1. Sindrom pneumonia tipikal
Pneumonia ini disebabkan oleh bakteri tipikal seperti Streptococcus
pneumoniae, Haemophylus influenzae, dan Pseudomonas aeruginosa.
Gambaran kliniknya adalah keluhan maupun tanda kliniknya timbul
mendadak. Keluhannya antara lain: malaise, demam tinggi, dan simptom
pulmonal yang mencolok (sesak nafas, rasa tidak enak di dada, nyeri pleuritik,
batuk produktif dengan sputum berdarah atau purulen). Tanda klinik: demam
tinggi, takipneu, takikardi, sianosis, dan kesadaran menurun (bila berat).
Kelainan fisik paru: terjadi konsolidasi paru (tergantung bagian paru mana
yang terkena), stem fremitus mengeras, perkusi pekak, ronki basah

20
(tergantung stadiumnya), suara nafas vesikuler diperkeras atau bronkial, dan
lain-lain.
2. Sindrom pneumonia atipikal
Pneumonia yang disebabkan oleh organisme atipikal meliputi Mycoplasma
pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, Rickettsia, Legionella sp, dan juga
berbagai virus respirasi lain seperti virus influenza, adenovirus, dan
respiratory synctial viruses (RSV).
Keluhan dan tanda kliniknya timbul perlahan. Keluhannya demam serta
batuk non-produktif. Tampak ada konstitusional yang mencolok: sakit kepala,
malaise mialgia. Kelainan fisik tanda adanya infiltrat paru berupa ronki basah
(halus sampai sedang), sedangkan tanda fisik lain jarang.
2.1.6 Gambaran Radiologis
Salah satu kriteria minimal untuk dapat mendiagnosis CAP adalah
ditemukannya gambaran radiologis infiltrat paru. Tetapi gambaran infiltrat paru
tersebut tidak selalu terlihat pada pemeriksaan radiologis pertama kali pada
penderita CAP. Pada kasus ini seharusnya dilakukan pengulangan pemeriksaan
radiologis setelah 24 sampai 48 jam bila gejala khas dengan hasil negatif.
Efusi pleura dapat muncul pada pemeriksaan radiologis dada. Efusi pleura
tersebut sangat peting untuk membedakan empiema dengan simple
parapneumonic effusion dengan pemeriksaan cairan efusi pleura. Pneumonia
pneumokokus adalah infeksi yang paling sering menimbulkan terjadinya efusi
pleura (pada 36 - 57% penderita). Sedangkan kuman lain yang dapat
menyebabkan efusi pleura termasuk Haemophylus influenzae, Mycoplasma
pneumoniae, Legionella sp, dan Mycobacterium tuberculosis.
2.1.7 Penilaian Derajat Keparahan
Penilaian derajat keparahan penyakit CAP dapat dilakukan dengan
menggunakan kriteria sistem skor seperti Pneumonia Severity Index, CURB- 65,
dan lain-lain. Sistem skoring CURB-65 menggunakan pengukuran sederhana
berdasarkan 5 gambaran klinik meliputi:
1. Confusion
2. Urea (BUN >19 mg/dL atau 7 mmol/L)

21
3. Frekuensi napas >30 kali permenit
4. Tekanan darah sistolik <90mmHg atau diastolik <60mmHg
5. Umur >=65 tahun
CURB Score dengan nilai 0-1: risiko rendah, skor 2-5: risiko tinggi.
Menurut ATS kriteria pneumonia berat yang membutuhkan perawatan di
ICU bila dijumpai minimal 1 kriteria mayor dan setidaknya 3 kriteria minor.
Tabel 2. Kriteria CAP berat
Kriteria minor Kriteria mayor
Frekuensi nafas > 30 kali/menit Gagal nafas akut yang
Rasio PaO2/FiO2 < 250 membutuhkan intubasi atau
Infiltrat multilobus ventilasi mekanik
Confusio/ disorientasi Syok sepsis yang membutuhkan
Uremia (BUN level > 20 mg/dl) vasopressor

Leukopenia (Leukosit < 4000


sel/mm2
Trombositopeni (Trombosit <
100.000/mm2
Hipotermi (suhu tubuh < 360 C)
Hipotensi dan membutuhkan
resusitasi

2.1.8 Terapi Antibiotik


Pemberian antibiotik penting dalam tata laksana pengobatan CAP.
Kesulitan penentuan diagnosis etiologi, terbatasnya antibiotik yang tersedia, dan
penigkatan resistensi terhadap antibiotik pada umumnya dilakukan secara empirik
berdasarkan pedoman tertentu.
Pada prinsipnya diperlukan pemberian antibiotik dengan spektrum
sesempit mungkin, dan menghindari pemberian antibiotik dengan spektrum
berlebihan bila tidak diperlukan. Oleh sebab itu antibiotika sebaiknya diberikan
sesuai dengan patogen etiologi yang teridentifikasi dari pemeriksaan mikrobiologi

22
(pathogen-directed therapy). Tujuannya adalah supaya menghindari terjadinya
resistensi kuman terhadap antibiotik.
Tabel 3. Terapi antibiotik empirik yang direkomendasikan menurut ATS
(American Thoracic Society)/IDSA (Infectious Disease Society of America).
Tipe Perawatan Rekomendasi Antibiotik Empirik
Rawat jalan
- Kondisi pasien sebelumnya sehat Makrolida, Doksisiklin
dan tidak ada riwayat pemakaian
antibiotik dalam 3 bulan terakhir
- Ada penyakit komorbid atau ada Fluorokuinolon, -Laktam
riwayat pemakaian antibiotik dalam dan Makrolida
3 bulan terakhir

Rawat inap (non-ICU) Fluorokuinolon, -Laktam


dan Makrolida
Rawat inap (ICU) -Laktam (cefotaxime,
ceftriaxone, atau ampisilin-
sulbaktam) plus azitromisin
atau fluoroquinolone
Fluorokuinolon dan
aztreonam direkomendasikan
untuk pasien alergi penisilin

2.1.9 Komplikasi
Pneumonia biasanya dapat obati dengan baik tanpa menimbulkan
komplikasi. Bagaimanapun, komplikasi dapat terjadi pada beberapa pasien
terutama penderita yang termasuk ke dalam kelompok resiko tinggi (faktor
risiko):
Akumulasi cairan : cairan dapat menumpuk diantara pleura dan bagian
bawah dinding dada (disebut efusi pleura) dan dapat pula terjadi empiema.

23
Chest tube (atau drainage secara bedah) mungkin dibutuhkan untuk
mengeluarkan cairan.
Abses : pengumpulan pus (nanah) pada area yang terinfeksi pneumonia
disebut dengan abses. Biasanya membaik dengan terapi antibiotik, namun
meskipun jarang terkadang membutuhkan tindakan bedah untuk
membuangnnya.
Bakteremia : Banteremia muncul bila infeksi pneumonia menyebar dari
paru masuk ke peredaran darah. Ini merupakan komplikasi yang serius
karena infeksi dapat menyebar dengan cepat melaui peredaran darah ke
organ-organ lain.
Kematian : walaupun sebagian besar penderita dapat sembuh dari
pneumonia, pada beberapa kasus dapat menjadi fatal. Kurang dari 3 %
penderita yang dirawat di rumah sakit dan kurang dari 1 % penderita yang
dirawat di rumah meninggal dunia oleh peneumonia atau komplikasinya.

2.2 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


2.2.1 Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik
yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif
nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan
emfisema atau gabungan keduanya.
2.2.2 Faktor Risiko
1. Kebiasaan merokok merupakan penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih
penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu
diperhatikan:
a. Riwayat merokok
Perokok aktif
Perokok pasif
b. Bekas perokok Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB),
yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan
lama merokok dalam tahun:

24
Ringan : 0-200
Sedang : 200-600
Berat :>600
2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
3. Hipereaktiviti bronkus
4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia
2.2.3 Patogenesis dan Patofisologi
Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus,
metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi
akibat fibrosis. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus
terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.
2.2.4 Diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala
ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan
tanda inflasi paru . Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan:
A. Gambaran Klinis
1. Anamnesis
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga (terdapat faktor predisposisi pada
masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah, infeksi saluran napas
berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara)
Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
2. Pemeriksaan fisis PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
a. Inspeksi
Pursed lip breathing
Barrel chest
Penggunaan otot bantu napas

25
Hipertrofi otot bantu napas
Pelebaran sela iga
Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis
leher dan edema tungkai
Penampilan pink puffer atau blue bloater
b. Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
c. Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah
d. Auskultasi
suara napas vesikuler normal, atau melemah
terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
ekspirasi memanjang
bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer: Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit
kemerahan dan pernapasan pursed lip breathing
Blue bloater: Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis,
terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
Pursed lip breathing : sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan
ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.
B. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP , VEP1/KVP
o Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau
VEP1/KVP ( % ). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) <

26
80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
o VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
o Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan,
APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif
dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari
20%
Uji bronkodilator
o Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter.
o Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 -
20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE,
perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
o Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2. Darah rutin : Hb, Ht, leukosit
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain Pada emfisema terlihat gambaran :
o Hiperinflasi
o Hiperlusen
o Ruang retrosternal melebar
o Diafragma mendatar
o Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop
appearance)
Pada bronkitis kronik :
o Normal
o Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
2.2.5 Diagnosis Banding
o Asma
o SOPT (Sindroma Obstruksi Pasca Tuberculososis) adalah penyakit

27
obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita
pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal.
o Pneumotoraks
o Gagal jantung kronik
o Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal: bronkiektasis,
destroyed lung.

2.2.6 Klasifikasi Penyakit


Tabel 4. Klasifikasi PPOK
Klasifikasi Gejala Spirometri
Penyakit
RINGAN Tidak ada gejala waktu istirahat VEP > 80% prediksi
atau bila eksersais VEP/KVP <75%
Tidak ada gejala waktu istirahat
tetapi gejala ringan pada latihan
(misal sedngan berjalan cepat
dan naik tangga)
SEDANG Tidak ada gejala waktu istirahat VEP 30-80% prediksi
tetapi mulai terasa pada latihan / VEP/KVP <75%
kerja ringan ( mis : berpakaian)
Gejala ringan pada istirahat
BERAT Gejala sedang pada waktu VEP1<30% prediksi
istirahat VEP1/KVP <75%
Gejala berat pada saat istirahat
Tanda-tanda korpulmonal

2.2.7 Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan umum PPOK
Tujuan penatalaksanaan :
o Mengurangi gejala
o Mencegah eksaserbasi berulang
o Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
o Meningkatkan kualiti hidup penderita
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi edukasi, obat obatan, terapi
oksigen, ventilasi mekanik, nutrisi, dan rehabilitasi.
PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel,

28
sehingga penatalaksanaan PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan
stabil dan (2) penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil.Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada
asma.Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif,
inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan
mencegah kecepatan perburukan fungsi paru.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
1. Pengetahuan dasar tentang PPOK
2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktivitas
2. Obat - obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit.
Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan
pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan
pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau berefek panjang ( long
acting ).
Macam - macam bronkodilator :
o Golongan antikolinergik
o Golongan agonis beta - 2
o Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
o Golongan xantin
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka

29
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat
perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250
mg.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
Lini I :amoksisilin, makrolid
Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin,kuinolon,
makrolid baru
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup,
digunakan N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan
eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
d. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik
dengan sputum yang viscous. Tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
e. Antitusif
3. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan.Pemberian terapi oksigen
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi
seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ
lainnya.
Indikasi :
PaO2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%

PaO2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor


Pulmonal, perubahan P pulmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal
jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain
4. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan

30
gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada
pasien PPOK derajat berat dengan napas kronik.
5. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena
bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang
meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi
hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK
karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan
analisis gas darah.
6. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan
ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan
pengobatan optimal yang disertai :
Simptom pernapasan berat
Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
Kualitas hidup yang menurun

B. Penatalaksanaan PPOK stabil


Kriteria PPOK stabil adalah :
Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik
Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas
darah menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg
Dahak jernih tidak berwarna
Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil
spirometri)
Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan
Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil :
o Mempertahankan fungsi paru

31
o Meningkatkan kualitas hidup
o Mencegah eksaserbasi
Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi
berkala atau dirumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan
mencegah eksaserbasi.

C. Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut


Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan
kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya
seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi.
Gejala eksaserbasi :
Sesak bertambah
Produksi sputum meningkat
Perubahan warna sputum
Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :
Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi
saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan
batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20%
baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline
Penyebab eksaserbasi akut :
Primer : Infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus)
Sekunder :
Pneumonia
Gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia
Emboli paru
Pneumotoraks spontan
Penggunaan oksigen yang tidak tepat
Penggunaan obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat

32
Penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit)
Nutrisi buruk
Lingkunagn memburuk/polusi udara
Aspirasi berulang
Stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi)
Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk
eksaserbasi yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat)
D. Terapi Pembedahan
Bertujuan untuk :
Memperbaiki fungsi paru
Memperbaiki mekanik paru
Meningkatkan toleransi terhadap eksaserbasi
Memperbaiki kualitas hidup

2.2.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah:
Gagal napas
o Gagal napas kronik
o Gagal napas akut pada gagal napas kronik
Infeksi berulang
Kor pulmonal kronikum

2.3 Hipertensi
2.3.1 Definisi
Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah sistolik 140 mmHg dan
atau diastolik 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu 5 menit
dalam keadaan cukup istirahat (tenang). Hipertensi didefinisikan oleh Joint
National Committee on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood
Pressure sebagai tekanan 140/90 mmHg.
Hipertensi merupakan penyakit yang timbul akibat adanya interaksi
berbagai faktor risiko yang dimiliki seseorang. Faktor pemicu hipertensi

33
dibedakan menjadi yang tidak dapat dikontrol seperti riwayat keluarga, jenis
kelamin, dan umur. Faktor yang dapat dikontrol seperti obesitas, kurangnya
aktivitas fisik, perilaku merokok, pola konsumsi makanan yang mengandung
natrium dan lemak jenuh.
Hipertensi dapat mengakibatkan komplikasi seperti stroke, kelemahan
jantung, penyakit jantung koroner (PJK), gangguan ginjal dan lain-lain yang
berakibat pada kelemahan fungsi dari organ vital seperti otak, ginjal, dan jantung
yang dapat berakibat kecacatan bahkan kematian. Hipertensi atau yang disebut the
silent killer yang merupakan salah satu faktor risiko paling berpengaruh penyebab
penyakit jantung (kardiovaskuler).

2.3.2 Klasifikasi
Hipertensi dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu hipertensi sistolik,
hipertensi diastolik, dan hipertensi campuran. Hipertensi sistolik (isolated systolic
hypertension) merupakan peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan
tekanan diastolik dan umumnya ditemukan pada usia lanjut. Tekanan sistolik
berkaitan dengan tingginya tekanan pada arteri apabila jantung berkontraksi
(denyut jantung). Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) merupakan
peningkatan tekanan diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik,
Hipertensi campuran merupakan peningkatan pada tekanan sistolik dan diastolik.
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan:
1) Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya,
disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor
yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan
saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan
Na dan Ca intraselular, dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko, seperti
obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia.
2) Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab
spesifiknya diketahui seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi
vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom Cushing,

34
feokromositoma, koartasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan
kehamilan, dan lain-lain.
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC
VII), klasifikasi hipertensi pada orang dewasa dapat dibagi menjadi kelompok
normal, prehipertensi, hipertensi derajat I dan derajat II.

Tabel 5. Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VII

2.3.3 Patofisiologi
Tubuh memiliki sistem yang berusaha untuk mempertahankan kestabilan
tekanan darah dalam jangka panjang melalui sistem saraf termasuk sistem kontrol
yang bereaksi segera. Kestabilan tekanan darah jangka panjang dipertahankan
oleh sistem yang mengatur jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ
terutama ginjal.
1) Perubahan anatomi dan fisiologi pembuluh darah
Aterosklerosis adalah kelainan pada pembuluh darah yang ditandai
dengan penebalan dan hilangnya elastisitas arteri. Aterosklerosis merupakan
proses multifaktorial. Terjadi inflamasi pada dinding pembuluh darah dan
terbentuk deposit substansi lemak, kolesterol, produk sampah seluler, kalsium
dan berbagai substansi lainnya dalam lapisan pembuluh darah. Pertumbuhan
ini disebut plak. Pertumbuhan plak di bawah lapisan tunika intima akan
memperkecil lumen pembuluh darah, obstruksi luminal, kelainan aliran darah,
pengurangan suplai oksigen pada organ atau bagian tubuh tertentu.
Sel endotel pembuluh darah juga memiliki peran penting dalam
pengontrolan pembuluh darah jantung dengan cara memproduksi sejumlah

35
vasoaktif lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi
endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer.
2) Sistem renin-angiotensin
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya
angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I-convertingenzyme (ACE).
Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan
darah melalui dua aksi utama.
a. Meningkatkan sekresi Anti-Diuretic Hormone (ADH) dan rasa haus. Dengan
meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh
(antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk
mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan
cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah
meningkat, yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Untuk mengatur
volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl
(garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya
konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan
volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan
volume dan tekanan darah.
3) Sistem saraf simpatis
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini
bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan
keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan
abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang
bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini,
neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut
saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya
norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah.

36
2.3.4 Faktor Risiko
1) Usia
Tekanan darah cenderung meningkat dengan bertambahnya usia. Pada laki-laki
meningkat pada usia > 45 tahun sedangkan pada wanita meningkat pada usia >
55 tahun.
2) Ras/etnik
Hipertensi bisa mengenai siapa saja. Bagaimanapun, biasa sering muncul pada
etnik Afrika Amerika dewasa daripada Kaukasia atau Amerika Hispanik.
3) Jenis kelamin
Pria lebih banyak mengalami kemungkinan menderita hipertensi daripada
wanita.
4) Kebiasaan gaya hidup tidak sehat
Gaya hidup tidak sehat yang dapat meningkatkan hipertensi antara lain minum
minuman beralkohol, kurang berolahraga, dan merokok.
a. Merokok
Merokok merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan hipertensi
sebab rokok mengandung nikotin. Menghisap rokok menyebabkan nikotin
terserap oleh pembuluh darah kecil dalam paru-paru dan kemudian akan
diedarkan hingga ke otak. Di otak, nikotin akan memberikan sinyal pada
kelenjar adrenal untuk melepas epinefrin atau adrenalin yang akan
menyempitkan pembuluh darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih
berat karena tekanan darah yang lebih tinggi.
Tembakau memiliki efek cukup besar dalam peningkatan tekanan darah
karena dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Kandungan
bahan kimia dalam tembakau juga dapat merusak dinding pembuluh darah.
Karbon monoksida dalam asap rokok akan menggantikan ikatan oksigen
dalam darah. Hal tersebut mengakibatkan tekanan darah meningkat karena
jantung dipaksa memompa untuk memasukkan oksigen yang cukup ke
dalam organ dan jaringan tubuh lainnya.

37
b. Kurangnya aktifitas fisik
Aktivitas fisik sangat mempengaruhi stabilitas tekanan darah. Pada orang
yang tidak aktif melakukan kegiatan fisik cenderung mempunyai frekuensi
denyut jantung yang lebih tinggi. Hal tersebut mengakibatkan otot jantung
bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras usaha otot jantung
dalam memompa darah, makin besar pula tekanan yang dibebankan pada
dinding arteri sehingga meningkatkan tahanan perifer yang menyebabkan
kenaikkan tekanan darah. Kurangnya aktifitas fisik juga dapat
meningkatkan risiko kelebihan berat badan yang akan menyebabkan risiko
hipertensi meningkat. Studi epidemiologi membuktikan bahwa olahraga
secara teratur memiliki efek antihipertensi dengan menurunkan tekanan
darah sekitar 6-15 mmHg pada penderita hipertensi. Olahraga banyak
dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi, karena olahraga isotonik dan
teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan
darah. Olahraga juga dikaitkan dengan peran obesitas pada hipertensi.

2.3.5 Diagnosis
Diagnosis hipertensi dengan pemeriksaan fisik paling akurat menggunakan
sfigmomanometer air raksa. Sebaiknya dilakukan lebih dari satu kali pengukuran
dalam posisi duduk dengan siku lengan menekuk di atas meja dengan posisi
telapak tangan menghadap ke atas dan posisi lengan sebaiknya setinggi jantung.
Pengukuran dilakukan dalam keadaan tenang. Pasien diharapkan tidak
mengonsumsi makanan dan minuman yang dapat mempengaruhi tekanan darah
misalnya kopi, soda, makanan tinggi kolesterol, alkohol dan sebagainya.
Pasien yang terdiagnosa hipertensi dapat dilakukan tindakan lebih lanjut
yakni:
1) Menentukan sejauh mana penyakit hipertansi yang diderita
Tujuan pertama program diagnosis adalah menentukan dengan tepat sejauh
mana penyakit ini telah berkembang, apakah hipertensinya ganas atau tidak,
apakah arteri dan organ-organ internal terpengaruh, dan lain-lain.

38
2) Mengisolasi penyebabnya
Tujuan kedua dari program diagnosis adalah mengisolasi penyebab
spesifiknya.
3) Pencarian faktor risiko tambahan
Aspek lain yang penting dalam pemeriksaan yaitu pencarian faktor-faktor
risiko tambahan yang tidak boleh diabaikan.
4) Pemeriksaan dasar
Setelah terdiagnosis hipertensi maka akan dilakukan pemeriksaan dasar,
seperti kardiologis, radiologis, tes laboratorium, EKG (elektrokardiografi)
dan rontgen.
5) Tes khusus
Tes yang dilakukan antara lain:
a. X-ray khusus (angiografi) yang mencakup penyuntikan suatu zat warna
yang digunakan untuk memvisualisasi jaringan arteri aorta, renal, dan
adrenal.
b. Memeriksa saraf sensoris dan perifer dengan suatu alat
elektroensefalografi (EEG), alat ini menyerupai elektrokardiografi
(EKG).

2.3.6 Komplikasi
Hipertensi yang terjadi dalam kurun waktu yang lama akan berbahaya
sehingga menimbulkan komplikasi. Komplikasi tersebut dapat menyerang
berbagai target organ tubuh yaitu otak, mata, jantung, pembuluh darah arteri, serta
ginjal.
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Beberapa penelitian menemukan bahwa
penyebab kerusakan organ-organ tersebut dapat melalui akibat langsung dari
kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena efek tidak langsung, antara lain
adanya autoantibodi terhadap reseptor angiotensin II, stress oksidatif, down
regulation, dan lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi
garam dan sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan

39
organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi
transforming growth factor- (TGF-).
Umumnya, hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Kerusakan organ-organ yang umum
ditemui pada pasien hipertensi adalah:
1) Jantung
- hipertrofi ventrikel kiri
- angina atau infark miokardium
- gagal jantung
2) Otak
- stroke atau transient ishemic attack
3) Penyakit ginjal kronis
4) Penyakit arteri perifer
5) Retinopati

2.4 Infark Miokard


2.4.1 Definisi
Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot jantung yang
disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Klinis
sangat mencemaskan karena sering berupa serangan mendadak umumya pada pria
35-55 tahun, tanpa gejala pendahuluan.

2.4.2 Etiologi dan Faktor Risiko

Infark miokard terjadi oleh penyebab yang heterogen, antara lain:


1. Infark miokard tipe 1
Infark miokard secara spontan terjadi karena ruptur plak, fisura, atau
diseksi plak aterosklerosis. Selain itu, peningkatan kebutuhan dan
ketersediaan oksigen dan nutrien yang inadekuat memicu munculnya
infark miokard. Hal-hal tersebut merupakan akibat dari anemia, aritmia
dan hiper atau hipotensi.

40
2. Infark miokard tipe 2
Infark miokard jenis ini disebabkan oleh vaskonstriksi dan spasme arteri
menurunkan aliran darah miokard.
3. Infark miokard tipe 3
Pada keadaan ini, peningkatan pertanda biokimiawi tidak ditemukan. Hal
ini disebabkan sampel darah penderita tidak didapatkan atau penderita
meninggal sebelum kadar pertanda biokimiawi sempat meningkat.
4. a. Infark miokard tipe 4a
Peningkatan kadar pertanda biokimiawi infark miokard (contohnya
troponin) 3 kali lebih besar dari nilai normal akibat pemasangan
percutaneous coronary intervention (PCI) yang memicu terjadinya infark
miokard.
b. Infark miokard tipe 4b
Infark miokard yang muncul akibat pemasangan stent trombosis.
5. Infark miokard tipe 5
Peningkatan kadar troponin 5 kali lebih besar dari nilai normal. Kejadian
infark miokard jenis ini berhubungan dengan operasi bypass koroner.

Ada empat faktor resiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah,
yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Resiko aterosklerosis koroner
meningkat seiring bertambahnya usia. Penyakit yang serius jarang terjadi sebelum
usia 40 tahun. Faktor resiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat
memperlambat proses aterogenik. Faktor- faktor tersebut adalah abnormalitas
kadar serum lipid, hipertensi, merokok, diabetes, obesitas, faktor psikososial,
konsumsi buah-buahan, diet dan alkohol, dan aktivitas fisik.
Wanita mengalami kejadian infark miokard pertama kali 9 tahun lebih
lama daripada laki-laki. Perbedaan onset infark miokard pertama ini diperkirakan
dari berbagai faktor resiko tinggi yang mulai muncul pada wanita dan laki-laki
ketika berusia muda. Wanita agaknya relatif kebal terhadap penyakit ini sampai
menopause, dan kemudian menjadi sama rentannya seperti pria. Hal diduga
karena adanya efek perlindungan estrogen.

41
Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor resiko adalah
hiperlipidemia. Hiperlipidemia adalah peningkatan kadar kolesterol atau
trigliserida serum di atas batas normal. The National Cholesterol Education
Program (NCEP) menemukan kolesterol LDL sebagai faktor penyebab penyakit
jantung koroner. The Coronary Primary Prevention Trial (CPPT) memperlihatkan
bahwa penurunan kadar kolesterol juga menurunkan mortalitas akibat infark
miokard.
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140
mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Peningkatan tekanan darah
sistemik meningkatkan resistensi vaskuler terhadap pemompaan darah dari
ventrikel kiri. Akibatnya kerja jantung bertambah, sehingga ventrikel kiri
hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan pompa. Bila proses aterosklerosis terjadi,
maka penyediaan oksigen untuk miokard berkurang. Tingginya kebutuhan
oksigen karena hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan rendahnya kadar oksigen
yang tersedia.
Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung kororner sebesar
50%. Seorang perokok pasif mempunyai resiko terkena infark miokard. Di
Inggris, sekitar 300.000 kematian karena penyakit kardiovaskuler berhubungan
dengan rokok. Penggunaan tembakau berhubungan dengan kejadian miokard
infark akut prematur di daerah Asia Selatan.
Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner. Sekitar
25-49% penyakit jantung koroner di negara berkembang berhubungan dengan
peningkatan indeks masa tubuh (IMT). Overweight didefinisikan sebagai IMT >
25-30 kg/m2 dan obesitas dengan IMT > 30 kg/m2. Obesitas sentral adalah
obesitas dengan kelebihan lemak berada di abdomen. Biasanya keadaan ini juga
berhubungan dengan kelainan metabolik seperti peninggian kadar trigliserida,
penurunan HDL, peningkatan tekanan darah, inflamasi sistemik, resistensi insulin
dan diabetes melitus tipe II.
Faktor psikososial seperti peningkatan stres kerja, rendahnya dukungan
sosial, personalitas yang tidak simpatik, ansietas dan depresi secara konsisten
meningkatkan resiko terkena aterosklerosis.

42
Resiko terkena infark miokard meningkat pada pasien yang
mengkonsumsi diet yang rendah serat, kurang vitamin C dan E, dan bahan-bahan
polisitemikal. Mengkonsumsi alkohol satu atau dua sloki kecil per hari ternyata
sedikit mengurangi resiko terjadinya infark miokard. Namun bila mengkonsumsi
berlebihan, yaitu lebih dari dua sloki kecil per hari, pasien memiliki peningkatan
resiko terkena penyakit.

2.4.3 Patofisiologi

Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya aterosklerosis yang


kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah. Penyakit aterosklerosis
ditandai dengan formasi bertahap fatty plaque di dalam dinding arteri. Lama-
kelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam lumen, sehingga diameter lumen
menyempit. Penyempitan lumen mengganggu aliran darah ke distal dari tempat
penyumbatan terjadi.
Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes mellitus tipe II,
hipertensi, reactive oxygen species dan inflamasi menyebabkan disfungsi dan
aktivasi endotelial. Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas menimbulkan injury
bagi sel endotel. Akibat disfungsi endotel, sel-sel tidak dapat lagi memproduksi
molekul-molekul vasoaktif seperti nitric oxide, yang berkerja sebagai vasodilator,
anti-trombotik dan anti-proliferasi. Sebaliknya, disfungsi endotel justru
meningkatkan produksi vasokonstriktor, endotelin-1, dan angiotensin II yang
berperan dalam migrasi dan pertumbuhan sel.
Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel teraktivasi.
Kemudian leukosit bermigrasi ke sub endotel dan berubah menjadi makrofag. Di
sini makrofag berperan sebagai pembersih dan bekerja mengeliminasi kolesterol
LDL. Sel makrofag yang terpajan dengan kolesterol LDL teroksidasi disebut sel
busa (foam cell). Faktor pertumbuhan dan trombosit menyebabkan migrasi otot
polos dari tunika media ke dalam tunika intima dan proliferasi matriks. Proses ini
mengubah bercak lemak menjadi ateroma matur. Lapisan fibrosa menutupi
ateroma matur, membatasi lesi dari lumen pembuluh darah. Perlekatan trombosit
ke tepian ateroma yang kasar menyebabkan terbentuknya trombosis. Ulserasi atau

43
ruptur mendadak lapisan fibrosa atau perdarahan yang terjadi dalam ateroma
menyebabkan oklusi arteri.
Penyempitan arteri koroner segmental banyak disebabkan oleh formasi
plak. Kejadian tersebut secara temporer dapat memperburuk keadaan obstruksi,
menurunkan aliran darah koroner, dan menyebabkan manifestasi klinis infark
miokard. Lokasi obstruksi berpengaruh terhadap kuantitas iskemia miokard dan
keparahan manifestasi klinis penyakit. Oleh sebab itu, obstruksi kritis pada arteri
koroner kiri atau arteri koroner desendens kiri berbahaya.
Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke jaringan
miokard menurun dan dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi mekanis,
biokimia dan elektrikal miokard. Perfusi yang buruk ke subendokard jantung
menyebabkan iskemia yang lebih berbahaya. Perkembangan cepat iskemia yang
disebabkan oklusi total atau subtotal arteri koroner berhubungan dengan
kegagalan otot jantung berkontraksi dan berelaksasi.
Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas metabolisme,
fungsi dan struktur sel. Miokard normal memetabolisme asam lemak dan glukosa
menjadi karbon dioksida dan air. Akibat kadar oksigen yang berkurang, asam
lemak tidak dapat dioksidasi, glukosa diubah menjadi asam laktat dan pH intrasel
menurun. Keadaaan ini mengganggu stabilitas membran sel. Gangguan fungsi
membran sel menyebabkan kebocoran kanal K+ dan ambilan Na+ oleh monosit.
Keparahan dan durasi dari ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen menentukan apakah kerusakan miokard yang terjadi reversibel (<20
menit) atau ireversibel (>20 menit). Iskemia yang ireversibel berakhir pada infark
miokard.
Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri
koroner, maka terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI).
Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak menimbulkan STEMI karena
dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk pembuluh darah kolateral. Dengan
kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat cepat.
Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST yang
disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak. Erosi dan ruptur

44
plak ateroma menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.
Pada Non STEMI, trombus yang terbentuk biasanya tidak menyebabkan oklusi
menyeluruh lumen arteri coroner.
Infark miokard dapat bersifat transmural dan subendokardial
(nontransmural). Infark miokard transmural disebabkan oleh oklusi arteri koroner
yang terjadi cepat yaitu dalam beberapa jam hingga minimal 6-8 jam. Semua otot
jantung yang terlibat mengalami nekrosis dalam waktu yang bersamaan. Infark
miokard subendokardial terjadi hanya di sebagian miokard dan terdiri dari bagian
nekrosis yang telah terjadi pada waktu berbeda-beda.

2.4.4 Gejala Klinis

Nyeri dada penderita infark miokard serupa dengan nyeri angina tetapi
lebih intensif dan berlangsung lama serta tidak sepenuhnya hilang dengan istirahat
ataupun pemberian nitrogliserin. Angina pektoris adalah jeritan otot jantung
yang merupakan rasa sakit pada dada akibat kekurangan pasokan oksigen
miokard. Gejalanya adalah rasa sakit pada dada sentral atau retrosentral yang
dapat menyebar ke salah satu atau kedua tangan, leher dan punggung. Faktor
pencetus yang menyebabkan angina adalah kegiatan fisik, emosi berlebihan dan
terkadang sesudah makan. Hal ini karena kegiatan tersebut mencetuskan
peningkatan kebutuhan oksigen. Namun, sakit dada juga sering timbul ketika
pasien sedang beristirahat.
Rasa nyeri hebat sekali sehingga penderita gelisah, takut, berkeringat
dingin dan lemas. Pasien terus menerus mengubah posisinya di tempat tidur. Hal
ini dilakukan untuk menemukan posisi yang dapat mengurangi rasa sakit, namun
tidak berhasil. Kulit terlihat pucat dan berkeringat, serta ektremitas biasanya
terasa dingin.
Pada fase awal infark miokard, tekanan vena jugularis normal atau sedikit
meningkat. Pulsasi arteri karotis melemah karena penurunan stroke volume yang
dipompa jantung. Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark
miokard berat nadi menjadi kecil dan lambat. Bradikardi dan aritmia juga sering
dijumpai. Tekanan darah menurun atau normal selama beberapa jam atau hari.

45
Dalam waktu beberapa minggu, tekanan darah kembali normal.
Dari ausklutasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang
melemah. Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior, terdengar
pulsasi sistolik abnormal yang disebabkan oleh diskinesis otot-otot jantung.
Penemuan suara jantung tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas suara
jantung dan paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan pertanda disfungsi
ventrikel jantung. Jika didengar dengan seksama, dapat terdengar suara friction
rub perikard, umumnya pada pasien infark miokard transmural tipe STEMI.

2.4.5 Diagnosis

Diagnosis IMA ditegakkan bila didapatkan dua atau lebih dari 3 kriteria,
yaitu:
1. Adanya nyeri dada
Nyeri dada terjadi lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan pemberian
nitrat biasa.
2. Perubahan elektrokardiografi (EKG)
Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal miokard
infark akut, EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri koroner
menunjukkan elevasi segmen ST. Kemudian gambaran EKG berupa
elevasi segmen ST akan berkembang menjadi gelombang Q. Sebagian
kecil berkembang menjadi gelombang non-Q. Ketika trombus tidak
menyebabkan oklusi total, maka tidak terjadi elevasi segmen ST. Pasien
dengan gambaran EKG tanpa elevasi segmen ST digolongkan ke dalam
unstable angina atau Non STEMI.
3. Peningkatan petanda biokimia
Pada nekrosis miokard, protein intraseluler akan masuk dalam ruang
interstitial dan masuk ke sirkulasi sistemik melalui mikrovaskuler lokal
dan aliran limfatik. Oleh sebab itu, nekrosis miokard dapat dideteksi dari
pemeriksaan protein dalam darah yang disebabkan kerusakan sel. Protein-
protein tersebut antara lain aspartate aminotransferase (AST), lactate
dehydrogenase, creatine kinase isoenzyme MB (CK-MB), mioglobin,

46
carbonic anhydrase III (CA III), myosin light chain (MLC) dan cardiac
troponin I dan T (cTnI dan cTnT) (Samsu, 2007). Peningkatan kadar
serum protein-protein ini mengkonfirmasi adanya infark miokard (Nigam,
2007).

2.4.6 EKG sebagai Penegakan Diagnosis Infark Miokard

Kompleks QRS normal menunjukkan resultan gaya elektrik miokard


ketika ventrikel berdepolarisasi. Bagian nekrosis tidak berespon secara elektrik.
Vektor gaya bergerak menjauhi bagian nekrosis dan terekam oleh elektroda pada
daerah infark sebagai defleksi negatif abnormal. Infark yang menunjukkan
abnormalitas gelombang Q disebut infark gelombang Q. Pada sebagian kasus
infark miokard, hasil rekaman EKG tidak menunjukkan gelombang Q abnormal.
Hal ini dapat terjadi pada infark miokard dengan daerah nekrotik kecil atau
tersebar. Gelombang Q dikatakan abnormal jika durasinya0,04 detik. Namun hal
ini tidak berlaku untuk gelombang Q di lead III, aVR, dan V1, karena normalnya
gelombang Q di lead ini lebar dan dalam.
Pada injury miokard, area yang terlibat tidak berdepolarisasi secara
sempurna. Area tersebut lebih positif dibandingkan daerah yang normal pada
akhir proses depolarisasi. Jika elektroda diletakkan di daerah ini, maka potensial
yang positif akan terekam dalam bentuk elevasi segmen ST. Jika elektroda
diletakkan di daerah sehat yang berseberangan dengan area injury, maka terekam
potensial yang negatif dan ditunjukkan dalam bentuk ST depresi. ST depresi juga
terjadi pada injury subendokard, dimana elektroda dipisahkan dari daerah injury
oleh daerah normal. Vektor ST bergerak menjauhi elektroda, yang menyebabkan
gambaran ST depresi.
Iskemik miokard memperlambat proses repolarisasi. Area iskemik
menjadi lebih negatif dibandingkan area yang sehat pada masa repolarisasi.
Vektor T bergerak menjauhi daerah iskemik. Elektroda yang terletak di daerah
iskemik merekam gerakan ini sebagai gelombang T negatif. Iskemia subendokard
tidak mengubah arah gambaran gelombang T, mengingat proses repolarisasi
secara normal bergerak dari epikard ke arah endokard. Karena potensial elektrik

47
dihasilkan repolarisasi subendokardium terhambat, maka gelombang T terekam
sangat tinggi. Pada infark miokard dengan elevasi segmen ST, lokasi infark dapat
ditentukan dari perubahan EKG.
Diagnosis STEMI ditegakkan jika ditemukan angina akut disertai elevasi
segmen ST. Nilai elevasi segmen ST bervariasi, tergantung kepada usia, jenis
kelamin, dan lokasi miokard yang terkena. Bagi pria usi4a0 tahun, STEMI
ditegakkan jika diperoleh elevasi segmen ST di V1-V3 2 mm dan 2,5 mm
bagi pasien berusia < 40 tahun. ST elevasi terjadi dalam beberapa menit dan dapat
berlangsung hingga lebih dari 2 minggu.
Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika terdapat angina dan tidak disertai
dengan elevasi segmen ST yang persisten. Gambaran EKG pasien Non STEMI
beragam, bisa berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T
yang datar atau pseudo-normalization, atau tanpa perubahan EKG saat presentasi.
Untuk menegakkan diagnosis Non STEMI, perlu dijumpai depresi segmen ST
0,5 mm di V1-V3 dan 1 mm di sandapan lainnya. Selain itu dapat juga dijumpai
elevasi segmen ST tidak persisten (<20 menit), dengan amplitudo lebih rendah
dari elevasi segmen ST pada STEMI. Inversi gelombang T yang simetris 2 mm
semakin memperkuat dugaan Non STEMI.

2.4.7 Pertanda Biokimia Troponin T pada Infark Miokard

Troponin adalah suatu protein regulator yang terdapat pada filamen tipis
aparatus kontraktil otot bergaris. Troponin terdiri dari 3 subunit, yaitu troponin T,
troponin I, dan troponin C. Troponin C berikatan dengan ion Ca2+ dan berperan
dalam proses pengaturan aktifasi filamen tipis selama kontraksi otot jantung.
Troponin I yang berikatan dengan aktin, berperan menghambat interaksi aktin
miosin. Troponin T yang berikatan dengan tropomiosin dan memfasilitasi
kontraksi, bekerja meregulasi kontraksi otot. Struktur asam amino troponin T dan
I yang ditemukan pada otot jantung berbeda dengan struktur troponin pada otot
skeletal dalam hal komposisi imunologis, sedangkan struktur troponin C pada otot
jantung dan skeletal identik.

48
Cardiac troponin T (cTnT) berada dalam miosit dengan konsentrasi yang
tinggi pada sitosol dan secara struktur berikatan dengan protein. Sitosol, yang
merupakan prekursor tempat pembentukan miofibril, memiliki 6% dari total
massa troponin dalam bentuk bebas. Sisanya (94%), cTnT berikatan dalam
miofibril. Dalam keadaan normal, kadar cTnT tidak terdeteksi dalam darah.
Keberadaan cTnT dalam darah diawali dengan keluarnya cTnT bebas bersamaan
dengan sitosol yang keluar dari sel yang rusak. Selanjutnya cTnT yang berikatan
dengan miofibril terlepas, namun hal ini membutukan waktu lebih lama.
Karena pelepasan cTnT terjadi dalam 2 tahap, maka perubahan kadar
cTnT pada infark miokard memiliki 2 puncak (bifasik). Puncak pertama
disebabkan oleh keluarnya cTnT bebas dari sitosol. Puncak kedua terjadi karena
pelepasan cTnT yang terikat pada miofibril. Oleh sebab itu, pelepasan cTnT
secara sempurna berlangsung lebih lama, sehingga jendela diagnostiknya lebih
besar dibanding pertanda jantung lainnya.
Berat dan lamanya iskemia miokard menentukan perubahan miokard yang
reversible atau irreversible. Pada iskemia miokard, glikolisis anaerob dapat
mencukupi kebutuhan fosfat energi tinggi dalam waktu relatif singkat.
Penghambatan proses transportasi yang dipengaruhi ATP dalam membran sel
menimbulkan pergeseran elektrolit, edema sel dan hilangnya integritas membran
sel. Dalam hal kerusakan sel ini, mula-mula akan terjadi pelepasan protein yang
terurai bebas dalam sitosol melalui transpor vesikular. Setelah itu terjadi difusi
bebas dari isi sel ke dalam interstisium yang mungkin disebabkan rusaknya
seluruh membran sel. Peningkatan kadar laktat intrasel disebabkan proses
glikolisis. pH intrasel menurun dan kemudian diikuti oleh pelepasan dan aktifasi
enzim-enzim proteolitik lisosom. Perubahan pH dan aktifasi enzim proteolitik
menyebabkan disintegrasi struktur intraseluler dan degradasi protein terikat.
Manifestasinya adalah jika terjadi kerusakan miokard akibat iskemia, cTnT dari
sitoplasma dilepaskan ke dalam aliran darah. Keadaaan ini berlangsung terus
menerus selama 30 jam sampai persediaan cTnT sitoplasma habis. Bila terjadi
iskemia yang persisten, maka sel mengalami asidosis intraseluler dan terjadilah
proteolisis yang melepaskan sejumlah besar cTnT terikat ke dalam darah. Masa

49
pelepasan cTnT ini berlangsung 30-90 jam, lalu perlahan-lahan kadarnya turun .
Peningkatan kadar cTnT terdeteksi 3-4 jam setelah jejas miokard. Kadar
cTnT mencapai puncak 12-24 jam setelah jejas. Peningkatan terus terjadi selama
7-14 hari. cTnT tetap meningkat kira-kira 4-5 kali lebih lama daripada CKMB.
cTnT membutuhkan waktu 5-15 hari untuk kembali normal. Diagnosis infark
miokard ditegakkan bila ditemukan kadar cTnT dalam 12 jam sebesar 0.03 g/L,
dengan atau tanpa disertai gambaran iskemi atau infark pada lembaran EKG dan
nyeri dada.

2.5 Dislipidemia
Dislipidemia merupakan kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan
peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid
yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total (K-total), kolesterol LDL (K-
LDL), trigliserida (TG), serta penurunan kolesterol HDL (K-HDL).
Dislipidemia diklasifikasikan menjadi:
1. Dislipidemia Primer: dislipidemia akibat kelainan genetik. Pasien dislipidemia
sedang disebabkan oleh hiperkolesterolemia poligenik dan dislipidemia
kombinasi familial. Dislipidemia berat umumnya karena hiperkolesterolemia
familial, dislipidemia remnan, dan hipertrigliseridemia primer
2. Dislipidemia Sekunder: dislipidemia yang terjadi akibat suatu penyakit lain
misalnya hipotiroidisme, sindrom nefrotik, diabetes melitus, dan sindrom
metabolik.
Pengelolaan pasien dislipidemia dimulai dengan melakukan penapisan
pada kelompok yang berisiko melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
laboratorium. Anamnesis dan pemeriksaan fisik terutama dilakukan pada:
1. Usia (laki-laki 45 tahun, wanita 55 tahun)
2. Riwayat keluarga dengan PJK dini (infark miokard atau sudden death < 55
tahun pada ayah atau < 65 tahun pada ibu
3. Perokok aktif
4. Hipertensi (TD 140/90 mmHg atau dengan pengobatan antihipertensi)
5. Kadar kolesterol HDL yang rendah (< 40 mg/dL)

50
Sedangkan pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan adalah:
1. Total kolesterol
2. Kolesterol LDL
3. Trigliserida
4. Kolesterol LDL

Pengelolaan pasien dislipidemia terdiri dari terapi non farmakologis dan


farmakologis. Terapi non farmakologis meliputi perubahan gaya hidup, termasuk
aktivitas fisik, terapi nutrisi medis, penurunan berat badan, dan penghentian
merokok. Sedangkan terapi farmakologis dengan memberikan obat anti lipid.
Tabel 6. Obat-obat hipolipidemik
Golongan Efek Terhadap Efek Samping Kontraindikasi
Obat Lipid

Statin LDL 18-55% Miopati, Absolut: penyakit hati


HDL 5-15% peningkatan akut atau kronik
TG 7-30% enzim hati Relatif: penggunaan
bersama obat tertentu
Bile acid LDL 15-30% Gangguan Absolut:
sequestrant HDL 3-5% pencernaan, disbetalipoproteinemia
TG tidak konstipasi, TG > 400 mg/dL
berubah penurunan Relatif: TG > 200
absorbs obat mg/dL
lain
Asam LDL 5-25% Flushing, Absolut: penyakit liver
nikotinat HDL 15- hiperglikemia, kronik, penyakit gout
35% hiperuricemia, yang berat
TG 20-30% gangguan Relatif: diabetes,
pencernaan, hiperuricemia, ulkus
hepatotoksik peptikum

Fibrat LDL 5-20% Dispepsia, Absolut: penyakit


HDL 10- batu empedu, ginjal dan hati yang
20% miopati berat
TG 20-50%

51
Tabel 7. Klasifikasi Statin menurut ACC/AHA 2013 berdasarkan
kemampuan menurunkan K-LDL
Terapi Statin High Terapi Statin Moderate Terapi Statin Low
Intensity Intensity Intensity

Memiliki rerata Memiliki rerata Memiliki rerata


kemampuan kemampuan kemampuan
menurunkan menurunkan kolesterol menurunkan kolesterol
kolesterol LDL 50% LDL 30% sampai LDL < 30%
dengan < 50%
Atorvastatin 40-80 mg Atorvastatin 10-20 mg Simvastatin 10 mg
Rosuvastatin 20-40 Rosuvastatin 5-10 mg Pravastatin 10-20 mg
mg Simvastatin 20-40 mg Lovastatin 20 mg
Pravastatin 40-80 mg Fluvastatin 20-40 mg
Lovastatin 40 mg Pitavastatin 1 mg
Fluvastatin XL 80 mg
Fluvastatin 40 mg
(2x1)
Pitavastatin 2-4 mg

52
BAB III

PEMBAHASAN

Pasien seorang laki-laki 72 tahun datang ke RSDK pada tanggal 9 Februari


2017 didiagnosis menderita CAP, PPOK eksaserbasi akut, dan hipertensi stage I.
Hal tersebut didapatkan berdasarkan kesimpulan dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang sebagai berikut.
Pasien didiagnosis CAP CURB-65 score 2 oleh karena dari anamnesis
didapatkan pasien sesak nafas, batuk (+) berdahak warna puti sulit keluar, dan
demam. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suara dasar bronkial dan suara
tambahan ronki basah kasar. Dari pemeriksaan penunjang berupa foto toraks
didapatkan gambaran riwayat TB paru. Pasien diberikan terapi injeksi
Ceftriaxone 2 g/24 jam iv. Terapi suportif yakni O2 3lpm nasal kanul bila
sesak dan Paracetamol 500 mg/ 8 jam p.o (bila suhu >38OC).
Pasien didiagnosis PPOK eksaserbasi akut oleh karena dari anamnesis
didapatkan sesak nafas dan tidak dipengaruhi cuaca. Pasien terbangun malam
hari karena sesak nafas. batuk (+) berdahak warna puti sulit keluar. Riwayat
merokok (+) sejak usia muda hingga sekarang, 2 bungkus/hari. Pasien juga
mengalami penurunan berat badan namun tidak tahu berapa kilogram. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan bentuk thorax barrel chest, sudut costosternal >
90o ,retraksi intercostal (+), sela iga melebar (+), retraksi suprasternal (+),
hipertrofi otot SCM (+/+). Pada auskultasi paru suara dasar bronkial dan
eksperium diperpanjang (+/+). Pada pasien ini diberikan terapi berupa
Nebulizer (atrovent; berotec; bisolvon; NaCl 0,9%/4jam dan flexotid/12 jam)
bila sesak, salbutamol 2mg/8jam p.o, methylprednisolon 16mg-0-16mg,
seretide discus 250 mg II puff/12 jam, dan n-asetil sistein 200mg/8jam p.o.
Terapi suportif yakni O2 3 lpm nasal kanul bila sesak. Dianjurkan Breathing
exercise, latihan batuk efektif, dan berhenti merokok.
Pasien didiagnosis hipertensi stage I oleh karena dari anamnesis didapatkan
pasien memiliki riwayat penyakit dahulu berupa riwayat darah tinggi (+).
Tekanan darah pasien pernah mencapai 160/100 mmHg pada 6 bulan yang

53
lalu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 130/90 mmHg. Selain
itu pasien di konsulkan ke bagian mata untuk pemeriksaan funduskopi untuk
mencari komplikasi berupa retinopati dan dilakukan pemeriksaan lab untuk
trigliserid, kolesterol, HDL, LDL dan asam urat. Pada pasien diberikan terapi
berupa amlodipine 5mg/hari dan diet rendah garam 2 gr/hari.
Pasien didiagnosis OMI anteroseptal berdasarkan gambaran EKG berupa Q
patologis dan T inverted pada V1, V2, V3, dan V4.
Pasien didiagnosis dislipidemia berdasarkan pemeriksaan laboratorium yaitu
peningkatan trigliserida 170 mg/dL dan peningkatan LDL Direk 119 mg/dL.
Pasien menderita PPOK yang mengalami eksaserbasi karena infeksi
pneumonia. Etiologi dari infeksi tidak diketahui hingga pasien pulang karena
rencana diagnosis untuk cek sputum tidak dilakukan. Gambaran EKG pasien juga
menunjukkan adanya OMI anteroseptal. Faktor risiko pasien ini untuk terjadinya
OMI adalah karena pasien menderita hipertensi dan dislipidemia. Untuk itu pasien
dianjurkan minum obat anti hipertensi secara teratur dan memperbaiki pola hidup.

54
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komuniti: Pedoman


Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2003.
2. Mendel LA, Wuderink RG, Anzueto A, Bartlett JG, Campbell GD, Dean
NC, Dowell SF, et all. Infectious disease society of america / american
thoracic society consensus guidelines on the management of
communityacquired pneumonia in adults. Clinical Infectious Disease.
2007;44:527- 72.
3. W S Lim, S V Baudouin, R C George, et all. BTS guidelines for the
management of community acquired pneumonia in adults: update 2009.
Thorax. 2009; 64: iii1-iii55
4. Amrita. Evaluasi Penggunaan Antibiotik Empirik pada Penderita
Community-acquired pneumonia (CAP) yang Dirawat di RSUP dokter
Kariadi Semarang. Semarang: Universitas Diponegoro. 2010.
5. Pedoman Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular Edisi
Pertama. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia
(PERKI). 2015.
6. James PA, Oparil S, Carter BL, Cushman WC, et al. 2014 Evidence Based
Guideline for the Management of High Blood Pressure in Adults: Report
from the Panel Members Appointed to the Eighth Joint National
Committee (JNC 8). 2014
7. Reiner Z, Catapano AL, Backer GD, Graham I, Taskiner MR, Wiklund O,
et al. ESC/EAS Guidelines for Management of Dyslipidemias. The Task
Force for The Management of Dyslipidemias of The European Society of
Cardiology (ESC) and The European Atherosclerosis Society (EAS).
European Heart Journal. 2013;32:1769-818.

55

You might also like