Professional Documents
Culture Documents
ISSN 1907-3232
Oleh
Heri Wahyudi (heriw@ut.ac.id)
Sudrajat
Wayan Meter
UPBJJ-UT Denpasar
Abstract
This study aims to analyze the factors that cause low student academic
achievement. To achieve these objectives, this study used a survey design to collect
data from respondents. Before the first study researchers conducted pre-survey
interview technique to several respondents in order to obtain information to
formulate a construct that will be analyzed and research instruments.
The context of this study conducted in UPBJJ-UT Denpasar with
respondents of Non-Pendas Program student that low academic achievement.
Respondents in this study was 71 students with a response rate of 92.5%.
To analyze the factors that lead to low academic achievement and
determine the level of influence with confirmatory factor analysis and descriptive
statistics using SPSS 16.0 software support for windows.
1
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
2
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
3
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
4
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
pula menekankan pentingnya hasil kognitif. Hal ini membawa pengaruh terhadap
kesimpulan yang diperoleh
Kesulitan Belajar
Kesulitan merupakan suatu kondisi tertentu yang ditandai dengan adanya
hambatan-hambatan dalam kegiatan mencapai suatu tujuan, sehingga memerlukan
usaha yang lebih keras lagi untuk dapat mengatasi kesulitan itu. Kesulitan belajar
dapat diartikan sebagai suatu kondisi dalam proses belajar yang ditandai oleh adanya
hambatan-hambatan tetap untuk mencapai hasil belajar. Hambatan ini mungkin
disadari mungkin juga tidak disadari oleh orang yang mengalaminya dan dapat
bersifat psikologis, sosiologis, ataupun fisiologis dalam keseluruhan proses
belajarnya. Orang yang mengalami kesulitan belajar akan mengalami hambatan
dalam proses mencapai hasil belajarnya, sehingga prestasi yang dicapainya berada di
bawah yang semestinya.
Kesulitan belajar mempunyai pengertian yang luas dan kedalamannya
termasuk pengertian seperti learning disorder (kekacauan belajar), learning
disfunction (proses belajar yang tidak berfungsi), under echiever (prestasi belajar
rendah), slow learner (lambat belajar) dan sebagainya. Menurut Ngalim Purwanto
(1998), ada empat hal atau kategori dalam belajar, yaitu: (1). Ada perubahan tingkah
laku yang lebih baik, atau mungkin lebih buruk, (2). Perubahan yang terjadi dapat
melalui latihan atau pengalaman, (3). Perubahan itu relatif mantap, dan (4).
Perubahannya menyangkut aspek kepribadian.
Sementara itu Skinner (1997) menyatakan bahwa belajar adalah suatu
proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif.
Adaptasi tersebut akan mendatangkan hasil yang optimal apabila ia diberi penguat.
Hal ini merupakan dasar dari teori belajar conditioning dari Skinner, yaitu bahwa
timbulnya tingkah laku lantaran adanya hubungan antara stimulus (rangsangan)
dengan respons.
5
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
6
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
keseluruhan, yakni individu yang dinamis dan senantiasa dalam keadaan berinteraksi
dengan dunia sekitarnya dalam mencapai tujuan-tujuannya. Menurut teori ini,
seseorang akan belajar jika ia mendapat suatu insight. Dalam hal ini, timbulnya
insight tergantung pada kesanggupan, pengalaman, sifat atau taraf kompleksitas,
latihan dan trial and error. Selain itu, masih menurut teori ini, belajar harus
dirangsang dengan adanya permasalahan.
Gejala kesulitan belajar akan dimanifestasikan baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam berbagai bentuk tingkah laku. Tingkah laku yang
dimanifestasikannya ditandai dengan adanya hambatan-hambatan tertentu. Kesulitan
belajar ini akan nampak dalam aspek-aspek motoris, kognitif, afektif baik dalam
proses maupun hasil belajar yang dicapainya. Beberapa ciri tingkah laku yang
merupakan manifestasi gejala kesulitan belajar antara lain : (1). Menunjukkan hasil
belajar yang rendah dibawah nilai yang dicapai kelompoknya atau di bawah potensi
yang dimilikinya, (2). Hasil yang dicapai tidak sesuai dengan usaha yang telah
dilakukan, (3). Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajar, (4).
Menunjukkan sikap yang kurang wajar seperti : acuh tak acuh, menentang, berpura-
pura dan sebagainya, (5). Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar seperti:
pemurung, mudah tersinggung, pemarah dan sebagainya.
Untuk dapat menetapkan gejala kesulitan belajar dan menandai individu
yang mengalaminya, diperlukan adanya patokan atau kriteria sebagai batas untuk
menetapkannya. Dengan kriteria ini dapat ditetapkan batas dimana seseorang dapat
diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Kemajuan belajar seseorang dapat dilihat
dari segi tujuan yang harus dicapai, kedudukannya dalam kelompok yang memiliki
potensi yang sama, tingkat pencapaian hasil belajar dibandingkan dengan potensi
(kemampuannya) dan dari segi kepribadiannya.
Terjadinya kesulitan belajar pada seseorang dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain: (1). Faktor-faktor yang terdapat dalam diri seseorang :
(a). Kelemahan secara fisik antara lain: susunan syaraf yang tidak berkembang
secara sempurna/cacat/sakit sehingga sering membawa gangguan emosional, panca
7
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
8
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
9
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
10
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
11
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
12
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
karena pemahaman terhadap materi kurang dan tidak mempunyai kontribusi nilai
akhir.
Belajar mandiri bukan berarti belajar sendirian tetapi belajar atas insiatif
sendiri. Belajar mandiri dapat belajar sendiri maupun belajar berkelompok dengan
cara membentuk kelompok belajar. Keuntungan belajar berkelompok salah satunya
dapat berdiskusi terhadap suatu masalah yang tidak bisa diselesaikan sendiri.
Mahasiswa yang membentuk kelompok belajar akan mempunyai teman yang bisa
diajak belajar bersama, mempunyai teman yang bisa dimintai penjelasan jika ada
kesulitan belajar dan mempunyai teman yang bisa diajak berdiskusi. Sehingga
mahasiswa yang tidak membentuk kelompok belajar akan menyebabkan prestasi
akademik rendah.
Ujian akhir semester merupakan evaluasi terhadap hasil belajar mahasiswa
selama mengikuti perkuliahan satu semester. Untuk mendapatkan nilai ujian yang
baik atau lulus, kiranya perlu dipersiapkan mahasiswa baik secara materi maupun
mental jauh hari sebelumnya. Persiapan yang matang dan baik akan dapat
memberikan kepercayaan diri bagi mahasiswa dalam menghadapi ujian. Sebaliknya
mahasiswa yang kurang persiapan ujian akhir maka tidak memberikan kepercayaan
diri bahwa mereka mampu mendapatkan nilai baik dan dapat ujian dengan baik dan
tenang. Sehingga kurangnya persiapan ujian ini dapat menyebabkan rendahnya
prestasi akademik.
Selain belajar mandiri dengan menggunakan buku materi pokok atau
modul, mahasiswa dapat melakukan pengayaan materi kuliah dengan mempejalari
media lain seperti VCD, web supplemen, siaran radio atau buku-buku lain yang
relevan. Dengan melakukan pengayaan materi maka akan dapat menambah
wawasan, pemahaman dan pengetahuan terhadap suatu matakuliah yang sedang
dipelajari. Sehingga mahasiswa yang kurang pengayaan materi dapat menyebabkan
rendahnya prestasi akademik.
Agar sesorang dapat belajar dengan baik maka perlu pada situasi dan
kondisi yang mendukung. Belajar di tempat yang terlalu ramai, pencahayaan kurang,
13
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
tidak pada tempat belajar yang khusus maka berpengaruh terhadap pemahaman
materi yang sedang dipelajari. Bisa saja mahasiswa yang belajar pada situasi dan
kondisi seperti itu sangat sulit untuk menyerap dan memahami materi yang sedang
dipelajari. Sehingga tidak mendukungnya situasi dan kondisi belajar akan
menyebabkan rendahnya prestasi akademik mahasiswa tersebut.
Untuk mencapai suatu tujuan tertentu, biasanya dimulai dengan melakukan
perencanaan. Begitu juga dengan mengikuti suatu perkuliahan atau studi, agar dalam
studi mencapai hasil yang maksimal, indeks prestasi yang baik, lulus tapat waktu
dan menambah ilmu pengetahuan maka perlu adanya perencanaan studi yang baik.
Dengan adanya perencanaan yang baik maka akan lebih terarah dalam proses
belajarnya. Salah satu contoh mahasiswa dapat mengikuti paket arahan sehingga
tidak asal saja dalam mengambil matakuliah. Sehingga kurangnya perencanaan
dapat menyebabkan rendahnya prestasi akademik.
V. KESIMPULAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
baik tentang respon mahasiswa Program Non-Pendas terhadap faktor-faktor yang
menyebabkan prestasi akademik rendah. Seperti telah dibahas sebelumnya,
penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan: Faktor-faktor apa saja yang
menyebabkan prestasi akademik rendah pada mahasiswa Program Non-Pendas di
UPBJJ-UT Denpasar? Bagaimana faktor-faktor tersebut pengaruhnya terhadap
prestasi akademik rendah pada mahasiswa Program Non-Pendas di UPBJJ-UT
Denpasar?
Untuk menjawab kedua pertanyaan penelitian tersebut, peneliti melakukan
cross-sectional survey untuk mendapatkan data primer menggunakan kuesioner.
Keusioner didesain dari hasil wawancara dengan beberapa mahasiswa pada saat pra-
survei. Kuesioner tersebut digunakan untuk mengukur persepsi mahasiswa terhadap
faktor-faktor yang menyebabkan prestasi akademik rendah. Total 39 item pernyataan
digunakan dalam penelitian ini.
14
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
DAFTAR RUJUKAN
Ali, M., Sukarman, M., dan Rahmad, C. 1984. Bimbingan Belajar, Penuntun Sukses
di Perguruan Tinggi Dengan Sistem SKS. Bandung: Sinar Baru.
Ali, M., 1987. Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru.
Cooper, D.R. and Schindler, P.S. 2006. Business Research Methods. 9th edition. New
York: McGraw-Hill.
15
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Oleh
Ni Nyoman Murniasih
Program Studi Pendidikan Ekonomi
FP IPS IKIP PGRI BALI
Abstract
Learning is a process to grow behaviour or attitude of someone according to
practical or certain experience. Learning experience which makes motivation grew
is the experience where the university student actively participate in facing the
nature. Through CTL (Contextual Teaching Learning) approach in The Development
of Village Society University Subject, the university student will have a meaningful
learning The subject material given linked with situation in real world and support
University Student to make a correlation between the knowledge they have with the
implementation in everydays life.
To make the learning process more effective, it is the lecturers job to facilitate
so that the student can implementate the ideas that they have. On The development
of village society subject, university students are directed to have the spirit of
entrepreneurship. Enterpreneurship is the implementation of creativity and
innovation to solve problems and and the effort to use the chance that they have. As
University student who majoring economical science, will not only be job seeker,
but also able to create job opportunity in order to support village development and
national development to reduce unemployment.
I. LATAR BELAKANG
Kegiatan belajar mengajar melibatkan beberapa komponen yaitu
pembelajar, pendidik, tujuan pembelajaran, isi pelajaran, metode mengajar, media
dan evaluasi. Tujuan pembelajaran adalah perubahan prilaku dan tingkah laku yang
positif dari pembelajar setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar seperti :
perubahan yang secara psikologis akan tampil dalam tingkah laku (behaviour) yang
dapat diamati oleh orang lain melalui alat indra baik tutur kata motorik dan gaya
hidupnya.
Tujuan pembelajaran yang diinginkan tentu yang optimal untuk itu ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pendidik. Salah satu diantaranya adalah
pendekatan yang dipergunakan dalam proses belajar mengajar. Hal ini sesuai dengan
16
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
yang dikemukakan oleh Zainal Aqib yaitu ada sepuluh pendekatan; pendekatan
lingkungan, penemuan, konsep, ketrampilan proses, pemecahan masalah, induktif-
deduktif, sejarah, nilai, komunikatif, tematik. Sedangkan Udin S Winataputra
berpendapat bahwa pendekatan terdiri dari; pendekatan lingkungan, ketrampilan
proses, penemuan dan terpadu.
Pendekatan pembelajaran yang sesuai adalah pendekatan yang berorientasi
pada kepentingan siswa atau siswa sentries. Hal ini sesuai dengan pendekatan
penemuan (discovery and inquiry) yang menunjukkan dominasi pembelajar selama
proses pembelajaran dan fungsi pendidikan hanya sebagai fasilitator. Di samping
berfungsi sebagai fasilitator pendidik juga berfungsi sebagai planner yaitu dengan
memiliki program kerja yang jelas mulai dari merencanakan setiap pembelajaran
yang dilakukan sehingga berhasil maksimal. Hal ini dilakukan dengan merubah pola
lama yang tidak memberikan hasil maksimal menuju pola baru dalam pembelajaran
yang memungkinkan untuk mencapai pendidikan yang lebih berkualitas efektif dan
cepat. Pendidikan bukan sekedar mencetak tenaga kerja yang siap pakai, pendidikan
adalah proses pembentukan generasi yang siap memerankan kehidupan.
Dalam kurikulum pendidikan ekonomi yang telah diperbaharui salah satu
mata kuliah yang relevan dengan mengaplikasikan pendekatan di atas adalah mata
kuliah; Pembangunan Masyarakat Desa, yang materinya kebanyakan bersentuhan
dengan dunia nyata di pedesaan antara lain; Masalah-masalah yang dihadapi desa,
faktor penyebabnya, teknik pendekatan terhadap masyarakat desa, potensi-potensi
desa yang bisa dikembangkan, industri kecil dipedesaan. Salah satu pendekatan
pembelajaran yang cocok untuk diterapkan berkaitan dengan materi ajar di atas
adalah pendekatan konnstektual. Contextual Teaching and Learning (CTL)
merupakan konsep belajar yang mengkaitkan antara materi yang diajarkan dengan
situasi dunia nyata yang mampu mendorong mahasiswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimiliki dengan penerapan kehidupan sehari-hari. Kondisi ini
sekaligus menyiapkan mahasiswa sedini mungkin tertarik berwiraswasta, mengingat
desa memiliki potensi-potensi yang siap digarap dan dikembangkan sehingga
masyarakat desa tingkat kesejahteraannya dapat ditingkatkan. Peran mahasiswa pada
17
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
jurusan pendidikan ekonomi sangat strategis dalam turut serta membuka kesempatan
kerja, bukan sebagai pencari kerja.
II. PEMBAHASAN
Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya,
bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi
terbukti berhasil dalam kompetensi mengingat dalam jangka pendek tetapi gagal
dalam membekali anak memecahkan masalah dalam jangka panjang. Kebanyakan
pembelajar tidak mampu membuat kaitan antara apa yang diajarkan dengan
bagaimana pengetahuan itu dimanfaatkan. Dalam pendekatan konstektual (CTL)
pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk mahasiswa bekerja dan mengalami
dan bukan transfer pengetahuan dari dosen ke mahasiswa. Proses dan strategi
pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil (learning by process) dalam
konteks ini mahasiswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya dan
bagaimana mencapainya. Jika mahasiswa sadar bahwa apa yang mereka pelajari
berguna bagi hidupnya nanti maka siswa akan memposisikan diri sebagai diri sendiri
yang memerlukan suatu bekal untuk hidupnya. Mahasiswa akan lebih tertarik
mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Dalam
upaya inilah diperlukan kehadiran dosen sebagai pembimbing dan pengarah.
Agar pembelajaran dengan pendekatan CTL berhasil dengan baik ada 7
prinsip yang harus diikuti :
1. Belajar berbasis masalah (problem based learning) belajar bukanlah sekedar
drill informasi tetapi bagaimana menggunakan informasi dan berpikir kritis
yang ada untuk memecahkan masalah yang ada di dunia nyata.
2. Pengajaran autentik (autentik instruction) pendekatan pembelajaran yang
mempelajari konteks bermakna sesuai dengan kehidupan nyata.
3. Belajar berbasis inquiri (inqury based learning) belajar adalah kegiatan
memproduksi bukan mengkonsumsi belajar untuk mengetahui kebutuhan apa
yang ingin diketahui dan mencari sendiri jawabannya.
4. Belajar berbasis proyek/tugas terstruktur (proyek based learning) belajar bukan
sekedar menyerap hal kecil sedikit demi sedikit dalam waktu yang panjang
18
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
19
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
20
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
21
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
22
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
III. PENUTUP
Melalui pendekatan CTL dalam mata kuliah pembangunan masyarakat
desa, mahasiswa diajak belajar melalui pengalaman langsung bukan hanya
menghafal, karena CTL adalah konsepsi pembelajaran yang menghubungkan materi
pembelajaran dengan situasi dunia nyata. CTL telah mampu menggugah motivasi
dan meningkatkan aktivitas melalui berbagai diskusi dan yang bermuara pada
berbagai permasalahan di lapangan. Hal ini diharapkan akan mendorong jiwa
kewiraswastaan bagi mahasiswa, sehingga pada gilirannya setelah tamat bukan saja
menambah antrean pencari kerja tetapi mampu ikut menciptakan berbagai peluang
untuk menciptakan kesempatan kerja di masyarakat. Sehingga secara otomatis ikut
23
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
24
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Oleh
Ketut Yarsama
IKIP PGRI BALI
ABSTRACT
During this time, teachers apply lecture and question and answer
method in teaching drama appreciation. The result, the ability to play
drama is still low. Therefore, teachers implementing cooperative method
jigsaw type to improve the ability to play drama. The purpose of this study
is to improve students' ability to play drama the students of class XI
science 2 SMA Negeri 1 Sukawati with the application of Cooperative
Learning jigsaw type.
The design of this implementation uses a class action research. The
research was planned two cycles with the stages of planning,
implementation and reflection observations. Data collected by testing and
observation method.
From the results of data analysis found that the application of the
type of jigsaw cooperative learning can enhance students' ability to play
drama in class XI IPA 2 SMA N 1 Sukawati Academic Year 2010/2011.
25
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
26
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Kajian Pustaka
27
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Landasan Teori
28
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
29
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
tingkah laku manusia yang mendasar, drama baru dapat disusun dan
dipentaskan dengan berhasil jika diikuti pengamatan yang teliti baik oleh
penulis maupun para pemainnya.
Johnson (2007 : 296) menyatakan, seperti halnya pembuatan
proyek dan portofolio, pertunjukan drama juga bisa dipakai sebagai alat
ajar sekaligus alat penilaian. Dalam pertunjukan, para siswa
mempertontonkan dihadapan khalayak bahwa mereka telah menguasai
tujuan belajar tertentu.
Tarigan (1990 : 74-78) menyatakan agar dapat mengevaluasi suatu
lakon, maka terlebih dahulu harus dikenal unsur-unsur drama yang baik.
Unsur-unsur drama antara lain: (1) alur, (2) penokohan, (3) dialog, dan (4)
aneka sarana kesastraan dan kedramaan.
Tokoh atau lakon sangat berperan penting dalam kesuksesan
pergelaran suatu drama. Dalam suatu pergelaran drama, biasanya ada
beberapa jenis tokoh. Beberapa jenis pelaku yang biasa dipergunakan
dalam teater/pergelaran drama diantaranya : (1) The Foil: tokoh yang
kontras dengan tokoh lainnya dan berfungsi memerankan suatu bagian
penting dalam lakon tersebut, tetapi secara insidental bertindak sebagai
seorang pembantu. (2) the Type Character: tokoh yang dapat berperan
dengan tepat dan tangkas. Kemampuan tokoh tipeini serba bisa.
Dapatlah diketahui bahwa keberhasilan suatu pentas drama
bergantung pada kemampuan tokoh dalam berperan atau kemampuannya
dalam menunjukkan karakter tokoh (Tarigan, 1990 : 76)
Dalam setiap lakon, dialog itu haruslah memenuhi dua hal, yaitu :
(1) dialog haruslah dapat mempertinggi nilai gerak. Maksudnya seorang
dramawan haruslah dapat berbuat lebih banyak. Selain membuat dialognya
menarik hati, dia harus membuatnya baik dan selalu wajar; (2) dialog
haruslah baik dan bernilai tinggi. Yang dimaksud dengan baik dan bernilai
30
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
tinggi di sini ialah dialog itu haruslah lebih terarah dan teratur daripada
percakapan sehari-hari.
Jadi, dialog merupakan pembicaraan antar pelaku. Dalam hal ini,
diperlukan kemampuan berbicara yang relevan dengan tema (Tarigan,
1990 : 77)
Berbagai sarana yang terdapat dalam bidang kesastraan dan
kedramaan merupakan unsur yang amat pentingdan tarut pula menentukan
keberhasilan suatu lakon. Beberapa unsur tersebut diantaranya : (1)
Perulangan, (2) Gaya dan Atmosfer, (3) Simbolisme, (4) Empati dan Jarak
Estetik, secara artistik, (Tarigan, 1990 : 78)
Sehubungan dengan apresiasi drama, perlu diketahui tentang
naskah dan lakon. Setiawan (1988 : 5.33) menyatakan naskah berbeda
dengan lakon. Naskah merupakan urutan cerita sebelum dipentaskan.
Urutan itu dalam drama modern berbentuk tulisan sedangkan dalam drama
tradisional biasanya berbentuk lisan (ludruk, ketoprak, lenong, dan lain-
lain). Lakon adalah cerita dari naskah yang terlihat saat dipentaskan.
Dengan begitu, meskipun naskah drama yang sama dipentaskan dalam
waktu yang berlainan atau oleh grup drama yang berbeda, lakon yang
muncul akan berbeda. Perbedaan itu lebih ditentukan oleh imajinasi sang
sutradara, gaya para aktor, tatapentas, tatarias, dan sebagainya.
Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang
mengupayakan seorang siswa mampu mengajarkan kepada peserta lain.
Mengajar teman sebaya memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mempelajari sesuatu dengan baik pada waktu yang bersamaan, ia menjadi
nara sumber bagi peserta lainnya. Pengorganisasian pembelajaran dicirikan
siswa yang bekerja dalam situasi pembelajaran kooperatif untuk bekerja
sama dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan
tugasnya. Mereka akan berbagi penghargaan bila mereka berhasil sebagai
kelompok.
31
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
32
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Kerangka Berpikir
Ketrampilan bermain drama harus dikuasai siswa kelas XI SMA
(sesuai dengan KTSP tahun 2006). Bermain drama dapat meningkatkan
mental, moral dan wawasan sastra di kalangan siswa. Dalam bermain drama
diperlukan kelompok masing-masing anggota memegang peran sesuai
dengan keahlian/kesanggupannya. Anggota dalam kelompok saling bekerja
sama positif sehingga terwujudlah kesan yang benar-benar dramatis dalam
permainan.
Karena kemampuan siswa dalam bermain drama belum tuntas maka
pemanfaatan metode kooperatif tipe jigsaw dipandang layak untuk
33
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
METODE PENELITIAN
Produser PTK
Penelitian ini dilakukan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1
Sukawati Gianyar pada siswa kelas XI IPA 2 beserta guru pengajar.
Keduanya mendapat perhatian yang sama karena pada dasarnya
pembelajaran merupakan suatu interaksi yang terjadi antara guru dan siswa.
Penelitian ini tergolong penelitian tindakan kelas.
Penelitian ini dalam pelaksanaannya dirancang dalam n siklus
penelitian, mengingat keterbatasan peneliti. Adapun hasil temuan nanti
merupakan hasil penelitian yang perlu di bahas. Secara umum produser
PTK dapat digambarkan sebagai berikut.
Refleksi Awal
34
Memutuskan Tindakan Terbaik
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
35
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Hasil Penelitian
Pada bagian ini dikemukakan hasil penelitian dari siklus I dan
siklus II. Semua subjek penelitian yang terdiri dari siswa kelas XI IPA 2
yang berjumlah 38 orang. Ternyata semua siswa memiliki data lengkap.
Dipilihnya siswa kelas XI IPA 2 sebagai subjek penelitian, karena
berdasarkan observasi dan wawancara dengan guru pengajar kelas XI IPA 2
dan Kepala Sekolah diperoleh informasi bahwa siswa kelas XI IPA 2 pada
umumnya pasif dan rendah prestasi belajarnya dalam pembelajaran,
khususnya pembelajaran bermain peran. Oleh karena itu peneliti cenderung
untuk mengadakan penelitian tindakan kelas pada siswa kelas XI IPA 2
yang terdiri dari 38 orang.
Untuk menjawab masalah penelitian ini diadakan dua siklus. Dalam
dua siklus itu, peneliti menyajikan dua kali pembelajaran bermain peran.
Kedua siklus tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
Siklus I
Dari langkah yang telah dilakukan pada siklus I diperoleh hasil
sebagai berikut.
36
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
37
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Siklus II
Hasil yang diperoleh dari langkah-langkah pelaksanaan siklus II
dapat dilihat tabel 03 di bawah ini.
Skor Skor
No Nama Siswa
Mentah Standar
1 2 3 4
1 Adeprima Adiluhur Made 85 90
2 Adi Putra I Made 75 80
3 Agus Oka Wirjaya I Gusti 80 80
4 Agus Purna Jaya I Gede 75 80
5 Agus Putra Wiratmaja I Made 90 90
6 Andi Aries Tenaya Kadek 75 80
7 Anggy Samantha Putra I Wayan 75 80
8 Asih Arini Ni Luh Gede 75 80
38
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
39
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
X
=
N
Keterangan:
M = Nilai rata-rata siswa;
X = Jumlah nilai siswa
N = Jumlah siswa.
Dengan demikian, pada siklus I nilai rata-rata siswa adalah:
2670
M= = 70,26
40
Keterangan:
P = persentase peningkatan/penurunan prestasi siswa;
X = nilai rata-rata siswa siklus I;
T = selisih nilai rata-rata siswa siklus I dan siklus II.
Dari perumusan di atas, dapat diketahui bahwa peningkatan
prestasi siswa antara siklus I dan II dalam aspek bermain drama dengan
menggunakan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah sebesar:
1
P= x 11,58 x 100% = 16,48%
70,26
40
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Simpulan
Berdasarkan hasil observasi nilai tugas dan respon siswa setelah
pembelajaran bermain drama melalui pembelajaran kooperatif dengan
teknik jigsaw dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa mengalami
peningkatan dari rata-rata 70,26 menjadi 81,84 pada siklus II. Ini
menggambarkan bahwa metode pembelajaran yang diterapkan cukup efektif
untuk meningkatkan kemampuan belajar siswa yang bermuara pada hasil
belajar.
Respon siswa sangat positif terhadap pembelajaran ini, karena
suasana belajar menyenangkan, siswa menjadi lebih tertarik terhadap
proses pembelajaran.
Saran-saran
Guru-guru di SMA Negeri 1 Sukawati agar memanfaatkan
pembelajaran kooperatif dengan teknik jigsaw ini sebagai alternatif untuk
meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. Penerapan pembelajaran
kooperatif dengan tipe jigsaw ini tidak hanya untuk pembelajarana bermain
peran, tetapi juga dapat diterapkan untuk materi pembelajaran yang
lainnya.
41
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
42
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
43
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
By:
I Wayan Citrawan
Nyoman Rajeg Mulyawan
ABSTRACT
The aim of this research is to know about the influence of rector
leadership to motivate lecturer achievement of IKIP PGRI Bali. The
approach that used in this research is empiric approach, because the
symptom that examine already exists naturally is rector leadership to
motivate lecturer achievement. This survey is held at IKIP PGRI Bali. The
subjects of the research amount to 73 people based by Krejcie table with
proportional random sampling that meant the appointment of the sample to
give attention to the balance amount of the lecturer every faculty in
addition the election of all the lecturers have same chance to be samples.
This technique is choosed because the taking of samples consider lecturer
amount of each faculty, remembering the lecturer amount of each faculty is
not the same. This meant to be the characteristic of the population
optimally represented if not, the conclution error is getting bigger. The
sample withdrawal is use draw technique. In collecting data questioner is
used to get rector leadership and lecturer achievement motivation.
From data analyzis that use signification rank 5 % and N = 73 the
value of rejection that use zero hypothesis in product moment value table
is 0,227, if compare the result of the research is 0,312, the result of the
research is bigger then the value of rejection, so the zero hypothesis is
denied and this research is significant.
The denial of the zero hypotesis says that there is no influence
between rector leadership to motivate lecturer achievement of IKIP PGRI
Bali, the alternative hypothesis that says in this research is acceptable. So
the conclution is that there is significant influence between rector
leadership to motivate lecturer achievement of IKIP PGRI Bali.
1. LATAR BELAKANG
44
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
45
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
46
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
47
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
2. DESKRIPSI TEORETIS
Motivasi Berprestasi
Motivasi merupakan faktor penting di dalam memahami perilaku
manusia dalam hubungannya dengan manusia lain, seperti dalam kehidupan
bermasyarakat dan berorganisasi. Motivasi adalah faktor pemicu timbulnya
perilaku manusia, dimana manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan dan
secara sadar ataupun tidak berusaha memenuhinya. Motivasi yang ada pada
seseorang akan mewujudkan suatu perilaku untuk memenuhi keinginan atau
kebutuhannya itu. Jadi perilaku manusia pada dasarnya berorientasi pada
tujuan, yaitu dimotivasi oleh keinginan untuk mencapai tujuan tertentu.
(Hersey dan Blanchard, 1988:18)
Di dalam organisasi, pemahaman tentang motivasi adalah masalah
yang tidak sederhana karena kebutuhan dan keinginan individu sebagai
anggota organisasi tidak homogeny, tetapi sebagai acuan dapat dikatakan
bahwa motivasi merupakan sesuatu di dalam diri manusia yang memberi
energi, aktivasi dan gerakan yang mengarahkan perilaku untuk mencapai
tujuan (Koontz, dkk, 1982: 632) Dengan memahami pengertian motivasi
serta mengetahui motivasi manusia lain maka kita dapat mengambil sikap
48
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
49
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Kebutuhan
Perilaku
Tak
Ketegangan Dorongan Pencarian
Terpuaskan
Ketegangan Kebutuhan
Berkurang dipuaskan
50
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
jika hal itu tidak dapat dikerjakan secara bersama-sama maka manusia
harus memilih kegiatan mana yang akan dilakukannya terlebih dahulu. Di
dalam proses pemilihan kegiatan ini pertimbangan manusia di dasarkan
oleh motivasinya, karena itu motivasi dapat dikatakan sebagai sekumpulan
faktor yang mendorong, menopang dan mengarahkan perilaku menuju
pencapaian tujuan. Jika melihat proses ini maka motivasi dapat pula
dikatakan sebagai suatu dorongan di dalam diri individu yang
menggerakkan individu untuk melakukan tindakan untuk mencapai tujuan
tertentu (Terry dan Franklin, 1985: 298)
Motivasi dapat ditimbulkan oleh faktor internal dan eksternal,
tergantung dari mana suatu kegiatan dimulai. Motivasi internal adalah
dorongan yang berasal dari dalam diri seseorang, sedangkan motivasi
eksternal adalah dorongan yang berasal dari luar diri manusia. Walaupun
sebetulnya motivasi dibangun di atas motivasi internal(Hadiprojo, dan
Handoko, 1986: 257). Kebutuhan dan keinginan yang ada di di dalam diri
akan menimbulkan motivasi internal, menjadi sesuatu kekuatan yang
mengarah perilaku, tetapi dalam kenyataan tidak semua motivasi internal
menjadi suatu kekuatan yang dapat memuaskan kebutuhan, terkadang jika
tujuan tidak tercapai maka terjadi mekanisme pertahanan diri pada
manusia, misalnya ia melakukan rasionalisasi, berkompromi,
mengundurkan diri, tetapi dapat pula menjadi regresi atau agresif.
Teori Kebutuhan Manusia yang iperkenalkan oleh Maslow,
mengatakan bahwa ada lima tingkatan kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan
fisik, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan sosialisasi, kebutuhan akan
penghargaan dan aktualisasi diri (Maslow, 1970:35) Pertama adalah
kebutuhan fisik (psysiological needs), yang merupakan kebutuhan manusia
tingkat pertama yang paling bawah. Termasuk di dalam kebutuhan fisik ini
adalah sandang, pangan, papan dan seks. Ke dua adalah kebutuhan akan
rasa aman (safety and security needs), dimana yang termasuk di dalam
51
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
kebutuhan ini adalah rasa aman di dalam diri, keselamatan diri, bebas dari
ketakutan, bebas dari ancaman dan yang lainnya. Ketiga adalah kebutuhan
akan sosialisasi yaitu kebutuhan untuk dicintai, dikasihi, diterima oleh
teman dan lingkungan sosial.
Kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman bersama-sama dengan
kebutuhan sosialisasi dogolongkan sebagai kebutuhan tingkat rendah.
Sedangkan dua tingkatan selanjutnya digolongkan sebagai kebutuhan
tingkat tinggi. Keempat adalah kebutuhan untuk dihargai ( esteem needs),
dimana di dalam kebutuhan ini antara lain : kebutuhan untuk mendapat
penghargaan, dihargai hasil kerjanya, rasa percaya diri. Kelima adalah
kebutuhan mengaktualisasikan diri (self actualization needs), merupakan
kebutuhan tingkat tertinggi dimana termasuk diantaranya adalah kebutuhan
untuk menunjukkan kemampuan diri, mewujudkan eksistensi, ekspresi
kreatif dan lain-lain (Maslow, 1970: 35-46)
Hirarki kebutuhan manusia menurut Maslow harus dipenuhi secara
berurutan, mulai dari kebutuhan paling rendah yaitu kebutuhan tingkat
pertama. Manusia memerlukan kebutuhan yang lebih rendah untuk dapat
dipuaskan pertama-tama sebelum menginjak pada upaya pemenuhan
kebutuhan selanjutnya. Pada kondisi dimana kebutuhan lebih rendah belum
terpuaskan maka kebutuhan dengan tingkat lebih tinggi akan terdesak ke
belakang, demikian pula sebaliknya.
McClelland yang dikutip oleh Harold Koontz dkk, menyebutkan di
dalam teorinya bahwa kebutuhan manusia dapat dikelompokkan menjadi
tiga yaitu kebutuhan untuk berkuasa (need for power), kebutuhan untuk
berafiliasi (need for affiliation) dan kebutuhan untuk berprestasi (need for
achievement). (1) Manusia yang mempunyai keinginan berkuasa tinggi
mempunyai keinginan berkuasa tinggi mempunyai keinginan yang besar
untuk menanamkan pengaruhnya dan mengendalikan orang lain, dimana
selalu mencari posisi untuk memimpin, penuh daya, pintar bicara, keras
52
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
53
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah proses mendorong dan membantu orang lain
untuk bekerja secara antusias ke arah tujuan (Davis dan Newsterm, 1985:
158) Kepemimpinan adalah sebuah bagian yang penting dari manajemen
tetapi bukan merupakan keseluruhan dari manajemen itu sendiri. Pemimpin
antara lain diwajibkan untuk merencanakan dan mengorganisasikan, tetapi
peran utama pemimpin adalah mempengaruhi orang lain orang lain untuk
berusaha mencapai tujuan dengan antusias. Hal ini berarti bahwa jika
perencanaan mereka jelek, sehingga menyebabkan kelompoknya menuju
54
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
55
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
56
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
57
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
58
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Tentu saja, satu asumsi fundamental diletakkan pada teori ciri-ciri dan
perilaku bahwa seorang individu yang memiliki ciri-ciri pantas atau
mempertonton perilaku yang pantas akan muncul sebagai pemimpin dalam
kelompok apapun ia berada. Berpikir dan riset yang terbaru menyandarkan
pendekatan ketiga terhadap sebuah perspektif situasional. Disini periset
mengubah perhatiannya untuk mengidentifikasikan faktor-faktor situasional
tertentu yang menentukan bagaimana sebuah gaya kepemimpinan khusus
akan menjadi efektif.
Kepemimpinan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi
sekelompok orang untuk tercapainya tujuan tertentu. Dari pengertian
kepemimpinan sebagai suatu proses mempengaruhi aktivitas seseorang atau
sekelompok orang untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu maka dapat
diketahui bahwa kepemimpinan adalah fungsi dari pemimpin, pengikut dan
variabel situasional lainnya. Sumber dari pengaruh di dalam kepemimpinan
bisa formal, misalnya yang disediakan oleh pemilikan tingkat manajerial
dalam suatu organisasi, seseorang menjadi pemimpin karena kedudukannya
yang formal. Sumber kepemimpinan dapat pula berasal dari luar struktur
formal, yaitu kemampuan untuk mempengaruhi walaupun tidak berada dari
struktur formal organisasi.
Keberhasilan pemimpin tergantung pada perilaku, tindakan yang
tepat dan keterampilan. Ada dua katagori utama perilaku kepemimpinan
yaitu struktur inisiasi (iniating structure) dan konsiderasi (consideration).
Struktur inisiasi mengacu pada perilaku pemimpin dalam menggambarkan
hubungan antara diri pemimpin sendiri dengan anggota kelompok kerja dan
dalam upaya membentuk pola organisasi, saluran komunikasi dan metode
atau prosedur yang ditetapkan dengan baik. Sebaliknya konsiderasi
mengacu pada perilaku yang menunjukkan persahabatan, kepercayaan
timbal balik, rasa hormat dan kehangatan dalam hubungan antara pemimpin
dengan anggota stafnya. (Agus Darma, 1996: 153)
59
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
3. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini bersifat expost facto atau non eksperimen, karena
tidak melakukan manipulasi terhadap gejala yang diteliti dan gejalanya
sudah ada secara wajar di lapangan.
Semua data yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan data
primer. Data ini dikumpulkan melalui pengukuran secara langsung terhadap
60
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
61
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
N XY X Y
N X 2 X 2 N Y 2 Y 2
rxy
62
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Keterangan :
X = Kepemimpinan Rektor
( Arikunto, 2000)
4. ANALISIS DATA
63
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
64
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
65
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
N XY X Y
N X 2 X 2 N Y 2 Y 2
rxy
33332311 33240576
=
471188434 46703556 23866766 23658496
91735
=
414878 208270
91735
=
86406641060
91735
= 0,312
293950
r xy = 0,312
R 2 = 0,1033
Menguji nilai r xy
Berdasarkan taraf signifikansi 5 % dan N =73, besarnya angka
batas penolakan hipotesis nol yang didapatkan dari tabel nilai-nilai Product
Moment adalah = 0,227. Jika dibandingkan dengan besarnya angka yang
didapatkan dari hasil penelitian yang besarnya 0,312, maka nilai r xy yang
diperoleh dari hasil penelitian lebih besar atau melebihi angka bata
penolakan hipotesis nol yang didapatkan dari tabel nilai-nilai product
moment, sehingga hipotesis nol yang diajukan ditolak. Ini berarti nilai r xy
yang didapatkan dari hasil penelitian signifikan. Dengan ditolaknya
hipotesis nol yang berbunyi bahwa tidak ada pengaruh kepemimpian rektor
terhadap motivasi berprestasi dosen baik dosen Dpk maupn dosen yayasan
IKIP PGRI Bali, maka hipotesis alternatif yang diajukan dalam penelitian
ini diterima. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa ada pengaruh yang
66
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
DAFTAR RUJUKAN
67
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
68
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
ABSTRACT
This research was done to improve understanding and insight into the
education of Biology students of the plants diversity and the use of biological
compounds contained in plants for control of plant diseases. Beleng crop cultivars,
which is one of the betel plant (Piper betle L.) is able to inhibit the growth of the
fungus Fusarium oxysporum f.sp. vanillae cause stem rot disease in vanilla.
In order to find other alternatives for controlling the disease, Beleng leaf
were studied for their bioactivity against F. oxysporum f. sp. vanillae. The result of
the study indicated that the crude extract of Beleng leaf at concentration 0.05%;
0.1%; 0.15%; 0.2%; 0.25%; 0.3% and 0.35% was able to inhibit the radial growth of
F. oxysporum f.sp. vanillae on Potato Dextrose Agar (PDA) medium. The variation
of crude extract concentration was found to influence the fungal growth on vanilla
stem cutings on PD Broth medium. In addition, the crude extract of Beleng leaf was
able to inhibit the spore germination and spore formation of F. oxysporum f. sp.
vanillae on PD Broth medium.
The fractination of Beleng leaf crude extract with Column Chromatography
and Thin Layer Chromatography produced 15 fractions of compound, the fraction
number VI which is made of three compounds with Rf value : 0.35; 0.55 and 0.78
efectively inhibited the growth of F. oxysporum f. sp. vanillae on PDA medium.
Utilization of biological compounds of plant extracts are preservation of the
environment, so that it can be used as an alternative in the activities of the practice
of Environmental Education and can be applied to the community.
Key words : Environmental education, biological compounds, Fusarium oxysporum
f. sp.vanillae fungus
69
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
studi tertentu, misalnya Jurusan Pendidikan Biologi IKIP PGRI Bali. Pelaksanaan
pembelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup lebih menekankan pada penerapan
dalam kehidupan sehari-hari (Sastrawijaya, 2000). Pemanfaatan senyawa hayati
merupakan salah satu materi praktikum sebagai dasar aplikasi penanggulangan
penyakit tanaman, misalnya penyakit jamur Fusarium yang menyerang tanaman
vanili.
Fusarium sangat merugikan petani di kawasan tropika, karena dapat
menimbulkan berbagai penyakit di antaranya penyakit busuk batang panili, penyakit
busuk kering pada umbi kentang dan penyakit layu pada pisang. Penyakit busuk
batang panili disebabkan oleh Fusarium oxysporum f.sp. vanillae, yang juga disebut
F. batatatis (Semangun, 1991), penyakit busuk kering pada umbi kentang
disebabkan oleh jamur F. solani var. coeruleum (Semangun, 2000) dan penyakit layu
pada pisang disebabkan oleh jamur F. oxysporum f.sp. cubense (Borges et al., 2004).
Penyakit panili yang terpenting adalah penyakit busuk batang (Semangun,
1991). Masalah kerugian dan kerusakan oleh penyakit busuk batang panili dapat
berakibat langsung terhadap kematian tanaman serta akibat tidak langsung terhadap
penurunan produksi. Produksi panili di Bali mencapai puncaknya tahun 1988
sebesar 324,314 ton polong kering dan menurun pada tahun berikutnya. Tahun 1995
hanya mencapai 64,967 ton polong kering. Secara nasional ekspor panili di
Indonesia pada tahun 2001 hanya 339 ton polong kering, sedangkan pada tahun
1998 sekitar 729 ton polong kering, ketika pertumbuhan tanaman panili relatif masih
baik (Ruhnayat, 2004).
Usaha pengendalian penyakit yang dilakukan oleh petani selama ini masih
bertumpu pada penggunaan pestisida sintetis. Penggunaan pestisida sintetis yang
kurang bijaksana sering menimbulkan dampak negatif, baik terhadap lingkungan
maupun terhadap jamur itu sendiri karena dapat terjadi resistensi dan resurgensi
(Suprapta et al., 2002).
Langkah yang perlu ditempuh untuk mengatasi dampak negatif yang
ditimbulkan oleh penggunaan pestisida sintetis, dengan pengadaan pestisida
70
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
alternatif yang dapat dihasilkan secara lokal terjangkau oleh sebagian besar petani
dan aman bagi lingkungan, baik pestisida yang berasal dari mikroba antagonis
(biopestisida) maupun pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Pestisida yang
mendapat perhatian adalah pestisida dari tumbuh-tumbuhan, sering disebut dengan
pestisida nabati. Secara evolusi, tumbuhan telah mengeluarkan bahan kimia sebagai
alat pertahanan alami terhadap pengganggunya yaitu sebagai respon invasi patogen
ke tanaman inang (Kardinan, 2005). VanEtten at al. (1994) dalam Suprapta (2001)
mengusulkan istilah fitoantisipin untuk membedakan senyawa yang sudah ada pada
tumbuhan sehat dengan fitoaleksin yang terbentuk sebagai respon terhadap serangan
patogen.
Tanaman Beleng (Bahasa Bali) merupakan salah satu varietas dari tanaman
sirih. Habitat maupun habitus tanaman Beleng sama dengan sirih, perbedaannya
warna Beleng lebih hijau, tangkai daun, tulang daun dan batang berwarna hijau
kemerahan. Aroma daun Beleng lebih sengak daripada sirih.
71
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
72
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
73
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
74
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
lebih banyak dibandingkan dengan daun sirih tua. Heyne (1987) mengatakan bahwa
sepertiga dari minyak atsiri dalam daun sirih terdiri dari fenol dan sebagian besar
dari fenol tersebut adalah kavikol. Kavikol ini memberikan aroma khas sirih dan
memiliki daya pembunuh bakteri lima kali daripada fenol biasa.
Kandungan fenol pada tanaman dapat menahan serangan jamur, tetapi
ketahanan ini bersifat khas pada jamur tertentu (Robinson, 1995). Sifat anti mikroba
pada sirih dihasilkan oleh senyawa-senyawa yang terdapat pada sirih tersebut.
Adanya fenol dalam suatu bahan dapat menyebabkan lisis pada sel mikroba (Yanti
et al., 2000).
75
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
dengan tujuan untuk menarik zat aktif pada bahan yang akan diujikan pada jamur
patogen. Filtrat diperoleh dengan penyaringan rendaman daun Beleng melalui dua
lapis kain kasa dan kertas saring Whatman No.2, kemudian diuapkan dengan
menggunakan vacuum rotary evaporator pada suhu 40 0C, sehingga diperoleh ekstrak
kasar. Ekstrak kasar ini siap diujikan pada jamur F. oxysporum f.sp. vanillae
76
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
77
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
78
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Tabel 1. Daya Hambat Ekstrak Daun Beleng terhadap Pertumbuhan Koloni Jamur
Fusarium oxysporum f.sp.vanillae pada Media PDA
4.2 Pengujian Aktivitas Anti Jamur Ekstrak Daun Beleng pada Bagian
Tanaman terhadap Jamur Fusarium oxysporum f.sp. vanillae
Ekstrak kasar daun Beleng mampu menghambat pertumbuhan jamur F.
oxysporum f.sp. vanillae pada potongan batang vanili yang direndam dalam media
PD Broth. Makin tinggi konsentrasi ekstrak, intensitas serangan jamur terhadap
potongan batang vanili semakin kecil (Tabel 2).
79
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Keterangan :
(-) = jamur tidak tumbuh pada batang atau pada media
(+) = jamur tumbuh pada permukaan potongan batang panili
(++) = jamur tumbuh mengelilingi seluruh batang
(+++) = jamur tumbuh pada media
(++++) = jamur tumbuh memenuhi media
80
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
81
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
82
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
sebesar 0,35; 0,55; dan 0,78, menunjukkan aktivitas yang positif terhadap jamur F.
oxysporum f.sp. vanillae
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat dibuat simpulan sebagai berikut :
5.2 Saran
1. Tanaman Beleng memiliki fungsi yang sama seperti tanaman sirih sebagai
bahan fungisida nabati, maka perlu dibudidayakan sebagai tanaman sela pada
perkebunan.
2. Perlu dilakukan pengujian ekstrak kasar daun Beleng terhadap jamur F.
oxysporum f. sp. vanillae di lab kaca atau di lapangan, sehingga peranannya
secara nyata dapat bermanfaat untuk penanggulangan penyakit tanaman yang
bersifat ramah lingkungan
3. Perlu dilakukan analisis lebih lanjut untuk mengetahui jenis senyawa aktif yang
terkandung dalam daun Beleng.
DAFTAR RUJUKAN
83
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Agrios, G.N. 1988. Plant Pathology. San Diego, California : Academic Press.
Inc.803p.
Borges, A. A, A. Borges-Perrez, M. Fernandez-Falcon. 2004. Induced Resistance to
Fusarial Wilt of Banana by Menadione Sodium Bisulphite Treatments.
Crop Protection 23 : 1245-1247.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II. Jakarta : Yayasan Sarana
Wana Jaya. 631 h.
Kardinan, A. 2005. Pestisida Nabati Ramuan & Aplikasi. Jakarta : Penebar Swadaya.
88 h.
Moeljanto, R. D. dan Mulyono. 2003. Khasiat & Manfaat Daun Sirih Obat Mujarab
dari Masa ke Masa. Jakarta : Agromedia Pustaka. 77 h.
Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung : ITB. 367 h.
Rustini, N. L. 2004. Aktivitas Fungisida Ekstrak Rimpang Dringo (Acorus calamus
L.) Terhadap Jamur Botryodiplodia theobromae Penyebab Penyakit
Busuk Buah Pisang (tesis). Denpasar : Universitas Udayana. 50 h.
Salleh, B. 1989. Perkembangan Mutakhir Penelitian Fusarium di Kawasan Tropika,
Naskah Lengkap Kongres Nasional X dan Seminar Ilmiah
Perhimpunan Fitopatologi Indonesia Denpasar. Denpasar 14 16
Nopember 1989 :11 18.
Sastrawijaya, A. T. 2000. Pencemaran Lingkungan. Jakarta : PT Rineka Cipta. 274
h.
Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura Di Indonesia.
Yogyakarta : Gajah Mada University Press. 850 h.
Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta : Gajah Mada
University Press. 754 h.
Sudana, I M. 2004. Identifikasi Patogen Penyebab Penyakit Layu Pisang dan
Tingkat Patogenesitasnya Pada Beberapa Jenis Pisang Lokal Bali.
Agritrop 23 :82-87.
Suprapta, D. N. 2001. Senyawa Antimikroba dan Pertahanan Tumbuhan Terhadap
Infeksi Jamur. Agritrop. 20 : 52-55.
Suprapta, D. N., I G. A. N. A. Suwari, N. Arya and K. Ohsawa. 2002. Pometia
pinnata Leaves Extract to Control Late Blight Disease of Tomato.
Journal of ISSAAS 8 : 31-36.
84
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
85
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
By
I Wayan Suanda
FPMIPA IKIP PGRI Bali
ABSTRACT
Fables are stories that inspire people in closer between parent and children,
while inserting lesson and preservation of cultural manners. In school, learning
stories can also provide attraction to students to pay attention and from a scientific
attitude and to improve the character of students. In this paper described Fairy tale
with a coalition of a monkey that can grow tiger scientific attitude and character of
students.
Of this fairy tale, comes innovative idea and creative students to prove fairy
tales through simple scientific research. In this paper emphasized at trial that the
applicable leaf (Artocarpus elastica) do not want to be eaten by termites
(Macrotermes gilvus (Hagen)).
Termite is cellulose-eating insects that are dangerous to buildings made of
materials containing cellulose such as wood and wood derived products. Termite rest
control efforts so far have focused on the use of synthetic insecticides in excessive
and less selective toward the target, giving rise to side effect such as resistance,
harmful to the user and environmental pollution, it should be pursued to find a way
control pest termites (M. gilvus (Hagen)) is safe for the environment.
Purpose of making this work is to develop scientific attitude and character as
well as on students, cultural preservation. Through myth and evidence of learning
with a simple experiment insecticidal activity of leaf extract applicable (A. elastica)
of the termite pest (M. gilpus (Hagen)).
The results showed that the leaf extract applicable (A. elastica) has
insecticidal activity against pest termites (M. gilvus (Hagen)) with properties that
reduce appetite antifidant of insects termites.
86
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Dongeng merupakan cerita rakyat yang tumbuh subur di bumi Nusantara ini
hingga tahun 1970-an. Saat itu dongeng dijadikan media pendidikan antara orang
tua dengan anaknya, antara guru dengan siswa di sekolah. Melalui dongeng orang
tua dan guru memasukkan pendidikan yang menekankan unsur sikap dan perilaku
berupa budi pekerti yang baik. Cara seperti ini akan memudahkan pelajaran
diterima, sehingga mudah dimengerti oleh peserta didik.
Nusantara ini sangat kaya dengan cerita rakyat berupa dongeng dan ada
beberapa dongeng yang sampai saat ini masih dikenal dan dijadikan tuntunan hidup
di masyarakat, sehingga dipelihara dan dilestarikan sebagai warisan budaya. Seperti
dongeng Malinkundang, I Bawang dan I Kesuna, dongeng Tangkuban Perahu dari
Jawa Barat, dongeng Lutung Kesarung dari Jawa Timur serta dongeng I Lutung
dengan I Macan, I Kancil dengan I Kakul dan masih banyak dongeng yang lainnya.
Berbekal dari pengalaman itu maka penulis sebagai guru Pembina
ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja (KIR) SMP Ganesha Denpasar, dalam proses
pembelajaran ekstrakurikuler KIR juga memberikan cerita berupa dongeng
KOALISI I LUTUNG DENGAN I MACAN. Dalam cerita dongeng ini
dikisahkan I Lutung (bangsa Kera) dan I Macan (bangsa Harimau) berteman sangat
baik, sehingga muncul keinginan untuk membuat suatu persatuan yang dinamakan
Koalisi. Koalisi yang terbangun sangat rekat dan saling pengertian, namun
belakangan menjadi kurang kondusif, yang diawali dengan hadiah seekor penyu
yang diperoleh dari suatu sayembara. Hadiah tersebut kemudian disembelih menjadi
sate untuk merayakan kemenangangan dalam sayembara. Pembuatan sampai
pembagian sate penyu inilah yang menjadi bibit keretakan dalam kelangsungan
koalisi.
Keretakan mulai nampak kepermukaan setelah sate penyu itu matang (siap
dimakan), sate tersebut semuanya dibawa oleh I Lutung ke atas pohon Terap besar,
sambil memakannya satu persatu sampai habis. Sementara I Macan dengan
keterbatasannya yaitu tidak bisa memanjat pohon, hanya berada di bawah pohon
sambil menunggu belas kasihan I Lutung, namun impian I Macan menikmati sate
87
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
penyu tidak pernah kesampaian dan ia menjadi geram namun tetap sabar dan
mengalah. Namun I Lutung tetap tutup telinga dan tutup mata serta pikiran menjadi
gelap tanpa menghiraukan tuntutan I Macan.
Pada suatu ketika, tiupan angin mamiri yang sepoi-sepoi basa menyebabkan I
Lutung ngantuk dan tertidur nyenyak dengan mimpi indahnya, maka pada saat itu
pula I Macam mengaum dengan nada menggeletar, seolah-olah pohon ikut terkejut,
sehingga I Lutung tanpa sadar jatuh ke bawah pohon dan langsung dihampiri oleh I
Macan. Saat itu I Lutung yang dalam keadaan bahaya dan terjepit, dengan akal
muslihatnya secepat kilat berkata, ampun I Macan, beribu ampun, saya salah dan
menyesal, mari kita rajut pertemanan yang lebih akrab dan lebih bermoral serta
berkarakter diucapkan dengan nada manis, sehingga I Macan tidak jadi marah dan
memaafkan, sehingga tidak jadi membunuh I Lutung dan hanya mengikat I Lutung
dengan tali pada pohon, sehingga tidak bisa berkutik. Akal dan tipu muslihat yang
dimiliki, I Lutung berteriak minta tolong agar bisa lepas dari jeratan tali, dengan
janji-janji manis yang pro pada semua kehidupan di bumi dan berjanji memberikan
hadiah yang sangat menarik serta gratis ini dan gratis itu. Ternyata jeritan itu
didengar oleh bangsa Rayap (Macrotermes gilvus (Hagen)) (Tetani = bahasa Bali).
Rayap pun mendekat untuk membantu melepaskan I Lutung dari ikatan tali. Bangsa
Rayap dengan hati yang tulus secara bergotong royong memakan tali pengikat
hingga putus. Setelah lepas dari ikatan tali, I Lutung yang memiliki akal jahat dan
tidak berkarakter tersebut, langsung mengobrak abrik bangsa Rayap dengan
memakannya, tentu saja bangsa Rayap lari untuk menyelamatkan diri, namun tetap
dikejar sampai jauh.
Di suatu tempat ada daun Terap (Artocarpus elastica), dan di sinilah
beberapa rayap itu bersembunyi sambil meminta bantuan agar dilindungi supaya
tidak diketahui oleh I Lutung, sambil berjanji bahwa bangsa rayap beserta
keturunannya kelak tidak akan berani memakan daun terap beserta kayunya untuk
selama-lamanya. Berdasarkan cetrita itu, penulis selaku guru pembina KIR
88
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
mengatakan daun terap tidak berani dimakan oleh bangsa rayap, mari kita buktikan
cerita tersebut melalui percobaan ilmiah, sehingga menjadi suatu teori baru.
Pengalaman baru juga diberikan oleh guru Pembina KIR, yaitu siswa diajak
melihat keranjang sampah yang di bagian dasarnya dialasi dengan daun terap.
Ternyata daun Terap tidak sedikitpun termakan hama rayap, namun keranjang
sampah yang terbuat dari bambu itu menjadi indah akibat terukir oleh gigitan rayap,
hingga menjadi compang-camping, dan contoh lainnya yang juga pernah siswa lihat
di lingkungan tempat tinggalnya.
Cerita dongeng ini memberikan motivasi dan menumbuhkan sikap ilmiah
peserta didik, sebagai basis dari pelajaran KIR. Terbentuknya sikap ilmiah peserta
didik, mulai dari rasa ingin tahu, mencari masalah di lingkungan tempat tinggalnya
yang nanti diwujudkan dalam penelitian ilmiah sederhana, selanjutnya dibuat dalam
bentuk tulisan ilmiah.
89
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
tangga melalui pengujian ekstrak tumbuh-tumbuhan, yaitu ekstrak daun Terap (A.
elastica).
Indonesia merupakan negara yang sangat subur, dengan keanekaragaman
jenis flora dan fauna yang memperkaya khazanah alam Indonesia. Diperkirakan
terdapat 100 sampai dengan 150 jenis family tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di
Indonesia. Dari jumlah tersebut sebagaian besar tumbuh-tumbuhan mempunyai
potensi untuk dimanfaatkan sebagai tanaman industri, tanaman buah-buahan,
tanaman rempah-rempahan dan berpotensi sebagai bahan pestisida (pestisida
nabati). Pestisida secara umum adalah senyawa kimia yang digunakan untuk
membunuh organisme yang mengganggu atau merusak tanaman, dapat berupa jamur
(fungi), bakteri, maupun serangga. Pestisida yang digunakan untuk membunuh atau
mengendalikan serangga pengganggu, disebut insektisida. Insektisida ada yang
berasal dari senyawa kimia, dikenal dengan insektisida sintetis, sedangkan
insektisida yang bahan dasarnya berasal dari metabolit sekunder tumbuh-tumbuhan,
sering disebut insektisida nabati.
Beberapa jenis tumbuh-tumbuhan tertentu memiliki suatu zat metabolit yang
dapat berupa racun, sehingga dapat digunakan sebagai bahan insektisida nabati
(Nasution, 1992). Tumbuh-tumbuahan yang berpotensi sebagai insektiisda nabati
diantaranya adalah tanaman tembakau, kenikir, pandan, kemangi, cabai rawit,
kunyit, bawang putih, gadung, sereh, brotowali dan lain-lain (Anonim, 2009).
Insektisida nabati secara umum diartikan sebagai suatu insektisida yang
bahan dasarnya berasal dari tumbuhan yang relatif mudah dibuat dengan
kemampuan terbatas. Oleh karena terbuat dari bahan alami atau nabati, maka jenis
insektisida ini bersifat mudah terurai (bio-degradable) di alam, sehingga tidak
mencemari lingkungan, dan relatif aman bagi manusia termasuk ternak peliharaan
karena residunya mudah hilang (Hutton and Reilly, 2001). Insektisida nabati adalah
bahan aktif tunggal atau majemuk yang berasal dari tumbuhan yang dapat digunakan
untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Insektisida ini dapat
90
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
91
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
92
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
93
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
selulosa seperti kayu, dan produk turunan kayu (papan partikel, papan serat,
plywood, blockboard, dan laminated board). Rayap merusak bangunan tanpa
memperdulikan kepentingan manusia. Rayap mampu merusak bangunan gedung,
bahkan juga menyerang barang-barang yang disimpan. Untuk mencapai sasaran,
Rayap dapat menembus tembok yang tebalnya beberapa senti meter (cm),
menghancurkan plastik, dan kabel penghalang fisik lainnya (Nandika dan Farah
Diba, 2003).
Semula agak mengherankan para pakar bahwa Rayap mampu makan atau
menyerap selulosa karena manusia sendiri tidak mampu mencerna selulosa,
sedangkan Rayap mampu melumatkan dan menyerapnya sehingga sebagian besar
ekskremen (zat sisa) hanya tinggal lignin saja. Keadaan menjadi jelas setelah
ditemukan berbagai protozoa flagellata dalam usus bagian belakang dari berbagai
jenis Rayap (terutama Rayap tingkat rendah: Mastotermitidae, Kalotermitidae dan
Rhinotermitidae), yang ternyata berperan sebagai simbion untuk melumatkan
selulosa, sehingga Rayap mampu mencerna dan menyerap selulosa. Bagi Rayap
yang tidak memiliki protozoa seperti famili Termitidae, bukan protozoa yang
berperan tetapi bakteria. Beberapa jenis Rayap seperti Macrotermes, Odontotermes
dan Microtermes memerlukan bantuan jamur perombak kayu yang dipelihara di
kebun jamur dalam sarangnya.
1. Sistematika Rayap
Secara umum, ada 4 jenis Rayap yang berpotensi merusak bangunan
yaitu dari genus Macrotermes, Coptotermes, Macrotermes dan Cyrptotermes.
Diantara keempat jenis ini, hanya jenis Coptotermes sp. yang paling tangguh
dan mempunyai kecepatan merusak paling cepat. Menurut Tarumingkeng
(1990), kedudukan sistematika Rayap (M. gilvus Hagen) adalah:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Isoptera
94
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Family : Termitidae
Genus : Makrotermes
Spesies : Macrotermes gilvus Hagen
Macrotermes Criptotermes
Microtermes Coptotermes
Gambar 1. Jenis-Jenis Rayap Perusak Kayu
2. Morfologi Rayap
Rayap merupakan serangga sosial yang hidup dalam suatu komunitas yang
disebut koloni. Komunitas tersebut bertambah efisien dengan adanya spesialisasi
(kasta) dimana masing-masing kasta mempunyai bentuk dan peran yang berada
dalam kehidupannya. Rayap memiliki tubuh yang lunak dengan warna putih dan
memiliki antena yang lurus dan berbentuk manik-manik. Dada dan perut rayap
bergabung dengan ukuran yang hampir sama. Individu Rayap yang bersayap disebut
Laron (sulung, alata, alates) memiliki sepasang sayap yang dalam keadaan diam
sayap diletakkan datar pada abdomen. Cara melipatnya memanjang dan lurus ke
95
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
belakang. Sayap depan dan belakang memiliki bentuk, ukuran dan pola pertulangan
yang sama (Nandika dan Farah Diba, 2003).
96
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
97
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
2. Kandungan Kimia
Penelitian mengenai kandungan kimia tanaman ini belum banyak
dilakukan sehingga kandungan kimianya masih belum diketahui.
98
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
ke alam (back to natural) mencari dan meneliti beberapa tanaman yang berpotensi
sebagai insektisida nabati. Tersedianya kekayaan dan keanekaragaman hayati
Indonesia yang cukup, peraturan pendaftaran pestisida alami yang sederhana serta
tersedianya berbagai teknologi sederhana merupakan peluang yang besar untuk
mengembangkan pestisida alami di Indonesia (Suprapta, 2001).
Insektisida nabati memiliki kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh
insektisida sintetik. Secara umum Pestisida alami diartikan sebagai suatu pestisida
yang bahan dasarnya berasal dari tumbuh-tumbuhan (Suanda, 2002). Pada umumnya
pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan masih mengandung senyawa
kompleks yang relatif kurang stabil terhadap lingkungan dibandingkan dengan
senyawa kimia sintetis. Jenis pestisida ini biasanya hanya terdiri dari C, H, O dan
kadang-kadang N yang mudah terdegradasi oleh alam dan relatif aman bagi
lingkungan (Kardinan,1999) Selain dampak negatif yang ditimbulkan pestisida
sintetik seperti resistensi, resurgensi dan terbunuhnya jasad bukan sasaran, dewasa
ini harga insektisida sintetik relatif mahal dan terkadang sulit untuk memperolehnya.
Di sisi lain ketergantungan akan pentingnya penggunaan insektisida cukup tinggi.
Hal ini menyebabkan orang terus mencari pestisida yang aman atau sedikit
membahayakan lingkungan serta mudah memperolehnya. Alternatif yang bisa diker-
jakan di antaranya adalah memanfaatkan tumbuhan yang memiliki khasiat
insektisida khususnya tumbuhan yang mudah diperoleh dan dapat diramu sebagai
sediaan insektisida.
99
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
100
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
warna teh) yang diduga mengandung metabolit sekunder dari daun Terap (A.
elastica), selanjutnya disebut ekstrak kasar daun Terap (crude extrac) konsentrasi
20%. Ekstrak daun Terap tersebut di tuangkan pada beker gelas.
101
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
P0 a P0 b P0 c
P1 a P1 b P1 c
Gambar 6. Aktivitas Ekstrak Daun Terap (A. elastica) sebagai Antifidan
terhadap Rayap (M. gilvus (Hagen)).
102
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
103
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Tabel 2.
Rata-Rata Berat Kayu yang dimakan Rayap 24 Jam
Setelah Aplikasi (mg)
Ulangan (gram)
Perlakuan I II III
Berat kayu Berat kayu Berat kayu
B. Pembahasan
Berdasarkan Tabel 1 di atas, dapat dijelaskan bahwa pada perlakuan kontrol
(P0) jumlah Rayap yang mati tidak ada (0%), sedangkan pada perlakuan ekstrak
daun Terap jumlah Rayap yang mati berjumlah 1 ekor atau sebesar 0,33%. Adanya
kematian Rayap sebesar 0,33 % belum bisa dikatagorikan senyawa kimia yang
terkandung dalam ektrak daun Terap sebagai racun atau pembunuh Rayap. Hal ini
sesuai dengan pendapat Prijono dkk. (1998) bahwa mortalitas larva Croccidolomia
binotalis instar III yang mencapai 33,9% sampai dengan 43,9% pada pemberian
ekstrak biji mahoni, belum cukup sebagai pembunuh, tetapi lebih bersifat
menghambat pertumbuhan. Lebih lanjut dinyatakan oleh Muron dan Norton (1984)
dalam Laba dan Soekarna (1986), melaporkan bahwa suatu senyawa dikatakan
efektif bila mampu membunuh 80% atau lebih serangga uji.
Berdasarkan Tabel 2 di atas, dapat dijelaskan pada perlakuan kontrol terjadi
berat kayu yang dimakan sebesar rata-rata 1,73 gram selama 24 jam setelah aplikasi,
sedangkan pada perlakuan ektrak daun Terap terjadi berat kayu yang dimakan Rayap
rata-rata 0,09 gram. Adanya selisih berat kayu yang dimakan Rayap antara
perlakuan kontrol (P0) dengan perlakuan ektrak daun Terap (P1) sebesar 1,64 gram
sebagai tanda terjadinya penurunan berat kayu yang dimakan oleh Rayap selam 24
104
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
jam setelah aplikasi. Penurunan berat kayu yang dimakan Rayap selama 24 jam
setelah aplikasi sebesar 1,64 gram dari berat kayu awal yaitu 2 gram menunjukkan
perbedaan yang sangat signifikan (sangat nyata). Penurunan berat kayu yang
dimakan oleh Rayap sebesar 1,64 gram terhadap kontrol menunjukkan bahwa pada
perlakuan (P1) mengandung senyawa aktif yang bersifat antifidan (penurunan nafsu
makan) Rayap pada kayu yang dicelupkan ke dalam ekstrak daun Terap, sehingga
ekstrak terap berpotensi dijadikan sebagai bahan tir (cat) kayu.
C. Simpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan tersebut di atas, maka dapat
diambil suatu simpulan bahwa
1. Dongeng yang diberikan dalam pembelajaran di sekolah dapat
menumbuhkan sikap ilmiah dan pendidikan karakter serta pelestarian
budaya.
2. Ektrak daun Terap (A. elastica) dapat bersifat antifidan dengan
menurunkan nafsu makan Rayap, sebesar 1,64 gram.
D. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tersebut di atas dapat
disarankan bahwa :
1. Perlu diberikan pelajaran Dongeng di sekolah untuk meningkatkan
pelestarian budaya dan pendidikan karakter serta tumbuhnya ide inovatif
untuk mengembangkan sikap ilmiah siswa, sehingga siswa kreatif untuk
mencoba dan menghasilkan suatu pengetahuan baru berupa teori baru.
2. Ekstrak daun Terap dapat direkomendasikan untuk dijadikan bahan Teer
agar serangan Rayap tidak terjadi pada perabotan rumah tangga
DAFTAR RUJUKAN
105
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
106
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Oleh
I Gusti Ayu Rai
Dosen FPMIPA IKIP PGRI BALI
ABSTRACT
Gambier plant (Uncaria gambier) and aloe vera (Aloe vera) may be used as
a natural preservative, especially for the shelf life of fruit. This is possible because
the gambier plant contains catechins, flavonoids, tanning substances, a number of
alkaloids like gambirtanin allegedly capable of inhibiting the damage caused by
microorganisms and oxidation degradation. Similarly, aloe vera and wax coating
containing oxidase which acts as an antioxidant that has the potential to slow down
and inhibit the growth of microorganisms in food.
The purpose of this study was to determine the effects difference gambier
extract, aloe vera gel and mix gambier extract and aloe vera gel to keep the big red
chilies. Furthermore this study aims to determine the most optimal effect of the
extract on the shelf life of red chilies.
Data collected in this study is a quantitative difference chilies weight
(grams) on the first day by day 14, and the qualitative data about the signs of decay
in pepper fruit such as texture (wrinkles), blacking, the growth of mold, and
discharge. To obtain the data used the method of observation and recording of direct
observations. Data on the weight of a large red chilies, analyzed with a statistical
hypothesis testing using the One Way ANAVA. Based on the analysis of data was
obtained F0 value is 11.40029, where the value is greater than the rejection of the
null hypothesis at 5% significance level is 4.49, and at 1% significance level is 5.95.
It can therefore be interpreted that there are differences in the influence of gambier
extract and aloe vera gel to keep the big red chilies (C. annuum). Among the three
natural preservatives, which gives the best effect on the shelf life of red chilies are
the aloe vera gel. This can be supported by qualitative data during the observation,
that the signs of decay that occurs at least chilies are given treatment with extracts of
aloe vera gel (Aloe vera), and the most common on pepper fruit extracts are not
given the treatment (control).
Key words : gambier extract, aloe vera gel, the shelf life of red chilies.
107
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
menangani hasil pertanian tersebut, terutama saat pasca panen. Di samping itu
kerusakan juga disebabkan oleh mikroba, baik yang berasal dari tanah, air, udara,
serangga maupun hewan. Mikroba dapat tumbuh pada permukaan buah tanaman.
Apabila ada kerusakan fisik, maka kerusakan oleh mikroba dapat berkembang
dengan cepat. Cara pemanenan yang kurang baik menyebabkan keluarnya cairan
buah yang berisi nutrien, sehingga cairan tersebut dapat digunakan oleh mikroba
yang menyebabkan mikroba cepat tumbuh dan memudahkan penetrasi ke dalam
jaringan tanaman, termasuk pada buah cabai (Dwiari, 2008).
Cabai merupakan salah satu komoditas pangan yang keberadaannya tidak
dapat ditinggalkan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Bumbu dapur,
industri saos, industri bubuk cabai, industri mie instan, sampai industri farmasi
menggunakan cabai sebagai bahan baku utamanya. Kandungan gizi buah cabai
sangat tinggi dan baik bagi kesehatan karena mengandung banyak karbohidrat,
lemak, protein, vitamin, dan mineral. Namun karena adanya kandungan minyak
atsiri yang bersifat membakar maka cabai berasa pedas dan dilupakan kandungan
gizinya. Bisa dikatakan bahwa cabai, yang paling pedas sekalipun kandungan
gizinya relatif setara dengan sayur dan buah-buahan lain (Warisono, 2010). Dari
kandungan gizi dan organoleptik yang terdapat pada cabai, maka kebutuhan akan
cabai terus meningkat.
Produksi cabai dapat dipengaruhi oleh iklim seperti iklim hujan yang
berkepanjangan, sehingga perlu adanya teknologi pangan sebagai upaya untuk
mengawetkannya. Teknologi pangan sangat dibutuhkan untuk mencegah aktivitas
mikroorganisme ataupun mencegah proses peluruhan yang terjadi sesuai dengan
pertambahan waktu, agar kualitas makanan senantiasa terjaga sesuai dengan harapan
konsumen. Walaupun banyak pengawet sintetis yang bisa digunakan namun
penggunaannya sering tanpa mengindahkan dampaknya terhadap kesehatan
konsumen. Untuk menghindari dampak negatif yang ditimbulkan oleh bahan
pengawet sintetis maka perlu adanya alternatif lain yang dapat menggantikan
pengawet sintetis, salah satunya adalah ekstrak gambir (Uncaria gambir) dan gel
108
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
lidah buaya (Aloe vera). Gambir memiliki kandungan katekin yang dapat
mengawetkan bahan pangan dari kerusakan akibat mikroorganisme dan degradasi
reaksi oksidasi (Anonim, 2011). Lidah buaya juga memiliki kandungan berupa
enzim oksidase yang dapat dimanfaatkan sebagai anti oksidan, yang menekan reaksi
yang terjadi pada saat pangan berkontak dengan oksigen, sinar panas, dan beberapa
logam sehingga dapat mencegah terjadinya kebusukan (Anonim, 2011). Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh pelapisan antara yang
menggunakan ekstrak gambir (Uncaria gambir) dengan yang menggunakan gel
lidah buaya (Aloe vera) terhadap daya simpan cabai merah besar (Capsicum anuum).
109
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Bunga tanaman cabai juga bervariasi, namun memiliki bentuk yang sama
yaitu berbentuk bintang. Ini menunjukkan tanaman cabai termasuk dalam sub kelas
Asteridae (berbunga bintang). Bunga biasanya tumbuh pada ketiak daun dalam
keadaan tunggal atau bergerombol di dalam tandan.
Buah cabai merupakan bagian tanaman yang tidak dapat dipisahkankan
dari kebutuhan manusia sehari-hari, terutama sebagai bumbu karena buah cabai
dapat memberikan organoleptik yang dapat menentukan rasa dalam masakan. Dalam
buah cabai terkandung karbohidrat, lemak, protein, vitamin C, vitamin E, vitamin K,
fitosterol, betakaroten, betacryptoxanthin, mineral, dan minyak atsiri yang
memberikankan rasa pedas.
110
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
bunga berbentuk lonceng. Tanaman ini di Indonesia terkenal sebagai bahan baku
kosmetik, terutama sebagai penyubur rambut.
Berdasarkan hasil penelitian tanaman ini kaya akan kandungan zat-zat
seperti enzim, asam amino, mineral, vitamin, polisakarida dan komponen lain yang
sangat bermanfaat bagi kesehatan. Selain itu, Lidah Buaya berkhasiat sebagai anti
inflamasi, anti jamur, anti bakteri, dan membantu proses regenerasi sel (Wahyono
dan Kusnandar, 2002).
Salah satu zat yang terkandung dalam lidah buaya adalah aloe emoidin
sebuah senyawa organik dari golongan antrokuinon yang mengaktivasi jenjang
sinyal insulin seperti pennyerap insulin-beta dan -substrat1, fosfatidil insitol-3
kinase dan meningkatkan laju sintetis glikogen dengan menghambat glikogen
sintase kinase3beta sehingga sangat berguna untuk mengurangi rasio gula darah.
Khasiat lainnya adalah sebagai antibakteri (Staphylococcus aureus, Streptococcus
pyogens), sebagai antiinflamasi, dan antiviral HIV).
Potensi lidah buaya sangat baik untuk terus dikembangkan, salah satunya
adalah sebagai bahan pengawet alami. Kandungan enzim oksidase yang ada
didalamnya dapat dimanfaatkan sebagai antioksidan dalam peningkatan daya simpan
bahan pangan, sehingga bahan pangan menjadi lebih awet atau tahan lama.
Pengawetan sendiri bertujuan untuk menghambat terjadinya pembusukan bahan
pangan dan menjamin kualitas bahan pangan agar tetap terjaga selama mungkin.
Lidah buaya sebagai antioksidan yang mengandung beragam antibiotik dan zat-zat
pengawet akan menekan reaksi yang terjadi pada saat pangan berkontak dengan
oksigen, sinar panas dan beberapa logam sehingga dapat mencegah terjadinya
kebusukan dan munculnya noda-noda hitam pada produk pangan. Di samping itu gel
lidah buaya yang mengandung lapisan lilin mampu menjaga kualitas pangan dengan
baik (Wahyono dan Kusnandar, 2002).
111
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
112
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
113
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Tabel 01
Selisih Berat Buah Cabai antara Hari Pertama
dengan Hari ke 14 (gram)
No Ulangan Po P1 P2 P3 Total
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1 Percobaan I 181 146 106 149
2 Percobaan II 180 78 60 111
3 Percobaan III 168 81 45 87
4 Percobaan IV 162 72 39 90
Jumlah 691 377 250 437 1755
Keterangan :
Po : Cabai yang tidak dilapisi apa-apa (kontrol).
P1 : Cabai yang dilapisi Ekstrak gambir (U. gambir)
P2 : Cabai yang dilapisi gel lidah buaya (A. vera)
P3 : Cabai yang dilapisi campuran ekstrak gambir (U. gambir) dan gel lidah
buaya (A.vera).
Tabel 02
Data Tentang Tekstur Buah Cabai pada Percobaan I sampai IV (biji)
Hari
Pengamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kelompok I 4 16 31 55 70 83 99 117 129 137 140
Kelompok II 9 30 34 54 61 77 87 101
Kelompok III 4 18 30 37 60
Kelompok IV 11 37 46 60 69 88 102 114 120
Tabel 03
Data Tentang Plek-plek Hitam Buah Cabai pada
Percobaan I sampai IV (biji)
Hari
Pengamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kelompok I 3 4 10 17 42 60 71 82 88
Kelompok II 1 6 12 15 23
Kelompok III 4 10 16
Kelompok IV 1 3 6 16 23 30 43
114
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Tabel 04
Data Tentang Tumbuhnya Jamur pada Buah Cabai
pada Percobaan I sampai IV (biji)
Hari
Pengamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kelompok I 19 56 65 65
Kelompok II 10 19 24
Kelompok III 5 6 14
Kelompok IV 14 27 34
Tabel 05
Data Tentang Keluarnya Cairan pada Buah Cabai
pada Percobaan I sampai IV (biji)
Hari
Pengamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kelompok I 15 28 31 45
Kelompok II 4 6 10 13
Kelompok III 1 3 5
Kelompok IV 6 8 12 24
115
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
CABAI
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 25768.188 3 8589.396 11.355 .001
Within Groups 9077.250 12 756.438
Total 34845.438 15
116
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
X1 X2 X3 X4
X1 X 78,5 110,25 63,5
X2 78,5 X 31,75 15
X3 110,25 31,75 X 46,75
X4 63,5 15 46,75 X
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis data ternyata diperoleh nilai Fo adalah 11,40029
sedangkan nilai batas penolakan hipotesis nol (Ho)v 1=3 dan v2=12 dengan taraf
signifikan 5% adalah 3,49 dan taraf signifikan 1% adalah 5,95. Hal ini menunjukkan
117
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
bahwa Fo yang diperoleh lebih besar dari batas penolakan Ho, sehingga, Ho yang
diajukan ditolak dan H1 diterima. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa ada
perbedaan pengaruh ekstrak gambir (U. gambir) dan gel lidah buaya (A. vera)
terhadap daya simpan buah cabai merah besar (C. annuum). Hasil pengujian
dengan SPSS 10 for windows juga menunjukan kesesuaian yaitu sebesar 11,355.
Hasil yang ditunjukkan oleh analisis lanjutan ANAVA, yang sering disebut
dengan Pasca Anava (post hoc), yaitu Tukeys HSD adalah sebesar 57,642. Hal ini
berarti, diperoleh nilai yang lebih besar dari HSD (57,642), sehingga dapat dikatakan
mempunyai perbedaan secara signifikan, yang ditunjukkan oleh gel lidah buya (X3)
dengan hasil perbedaan rata-rata antar kelompok sebesar 110, 25. Dilanjutkan
dengan ekstrak gambir (X2) dengan hasil perbedaan rata-rata antar kelompok
sebesar 78,5 dan campuran ekstrak gambir dan gel lidah buaya (X4) dengan hasil
perbedaan rata-rata antar kelompok sebesar 63,5. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa yang memberikan pengaruh yang paling baik terhadap daya
simpan buah cabai merah besar adalah gel lidah buaya (A. Vera).
Dari data kualitatif yang diperoleh melalui observasi menunjukkan adanya
kesesuaian, bahwa tanda-tanda kebusukan secara berturut-turut mulai dari yang
paling ringan sampai yang paling parah adalah buah cabai yang diberikan ekstrak
lidah buaya yang diikuti dengan buah cabai yang diberikan ekstrak gambir, buah
cabai yang diberikan campuran ekstrak lidah buaya dan ekstrak gambir, dan buah
cabai yang tidak diberikan perlakuan (kontrol).
Buah cabai yang dilapisi dengan gel lidah buaya memiliki pengaruh yang
paling baik dalam menjaga kualitas cabai dalam penyimpanan. Gel lidah buaya
mampu mempertahankan keawetan buah karena gel lidah buaya memiliki
kandungan enzim oksidase yang berperan sebagai antioksidan. Sebagai antioksidan,
zat-zat pengawet akan menekan reaksi yang terjadi pada saat pangan berkontak
dengan oksigen, sinar panas dan beberapa logam sehingga dapat mencegah
terjadinya kebusukan dan munculnya noda-noda hitam pada produk pangan. Gel
lidah buaya dapat membuat lapisan seperti lilin sehingga buah tetap dapat terjaga
kualitasnya dan menjadi lebih awet (Wahyono dan Kusnandar, 2002). Berbeda
118
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
III. PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut.
1. Ada perbedaan pengaruh ekstrak gambir (U. gambir) dan gel lidah buaya
(A.vera) terhadap daya simpan buah cabai merah besar (C. annuum).
2. Di antara ketiga bahan pengawet alami tersebut yang memberikan pengaruh
paling optimal terhadap daya simpan buah cabai merah besar (C. annuum),
adalah gel lidah buaya (A. vera).
3.2 Saran-saran
Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat dikemukakan beberapa saran
yaitu :
1. Bagi masyarakat disarankan untuk menggunakan gel lidah buaya (A. Vera) dan
ekstrak gambir (U. gambir) sebagai salah satu upaya untuk mengawetkan buah,
karena disamping lebih ekonomis bahan pengawet alami ini aman bagi
kesehatan dan lingkungan.
2. Karena dalam penelitian ini hanya meneliti selisih berat dan tanda-tanda
kerusakan pada buah cabai yang dilapisi ekstrak gambir, gel lidah buaya dan
campuran ekstrak gambir dan gel lidah buaya, maka penulis menyarankan
kepada peneliti lain untuk melakukan penelitian lanjutan agar dapat menemukan
dan mengungkap pengaruh variabel-variabel lainnya.
119
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
DAFTAR RUJUKAN
Bukcle, Edwards, Fleet dan Wooton, 2007. Ilmu Pangan, Universitas Indonesia (UI-
Press), Jakarta.
Dwiari, 2008 pada Warisono, 2010. Peluang dan Usaha Budidaya Cabai, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Hasan, Iqbal, 2004. Analisi Data Penelitian dengan Statistik, Bumi Aksara, Jakarta.
Irianto, Agus, 2009. Statistik Konsep Dasar dan Aplikasinya, Kencana, Jakarta.
Sanders, 1998. dalam Warisono, 2010. Peluang Usaha dan Budidaya Cabai,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Wahyono dan Kusnandar, dalam Warisono, 2010. Peluang Usaha dan Budidaya
Cabai, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Warisono, 2010. Peluang Usaha dan Budidaya Cabai, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
120
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
By
I Wayan Adnyana
IKIP PGRI BALI
Abstract
I. INTRODUCTION
Complexity and changes has become an important feature of contemporary
industrial society. Complexity that permeates all aspects of life, such as trading
systems, global marketing, long-distance communication via electronic networks are
very sophisticated, all of which make this world more and more narrow.
Globalization in relations to products that will dominate the market, are products
that have quality and global prices. Products that are not served by the quality and
global prices will tend to be abandoned and eliminated from the market (Revrison
Baswir, 1999: 83). Small businesses continue to experience marginalization, which
in turn will create a small society increasingly driven by efforts that are much more
highly capitalized, with instant service. Socio-economic and cultural transformation
is a very interesting study. The technological revolution of electronic and
communication technologies have a connection with various parts of the world. As a
result, the "consumer culture" trend growth in the cities. In this process of
consumption, it is an important factor in the change order and the order of symbolic
121
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
value. In this trend of identity and subjectivity do transformation, both related to the
issue of integration and nationalism.
Logic of late capitalism no longer needs to produce objects as much as
possible with minimum cost, but produces the need through the creation of images
(image) by advertising agencies. Mass culture or popular culture is the culture that
produced for ordinary people, ordinary people in this approach is considered as a
share of the market, consumers in a focus group of pop culture described certain
commodities (Adlin, 2006:121).
In today's consumer society, various new logic of consumption model developed and
that development fundamentally changed the relationship between the consumer and
the object or product. In a developing society, object is no longer bound to the logic
of utility, functionality and requirements (needs), but on what is called as the logic
of signs (logic of sign) and image logic (logic of image). Indonesias consumptive
behavior is excessive compared with the nations of Southeast Asia. This can be seen
from the low level of private savings. Consumerism is often defined as lavish
consumption.
Denpasar as the metropolis and center of Bali, is certainly experiencing a
numerous variety of social, cultural and economic developments. To meet the needs
of society, with economic activity of nearly 24 hours a day, in which the consumer
has changed from buying products to buying the image of the product, it is certainly
the opportunity which not wasted by the owners of capital, to open a minimarket.
With instan standard products and services. Consumption process is now dominated
by the pleasure principle, in which the essential meaning is no longer that important.
A commodity became popular is not because for whom the goods were producted,
but rather due to how it is interpreted in the cultural meaning of a commodity, which
is determined in the socio-economic process.
122
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
struggle for market share between mini market and particularly to the old-
fashioned small traders who conduct activities in traditional markets and grocery
shops. This competition is certainly will ended up with the glory of modern store in
terms of better management, capital and a range of services and quality products.
The spread of modern shop in Denpasar can be seen in the following table.
Table 1
The Spread of Modern Store in Denpasar
From the table above can be seen that Southern Denpasar district has the biggest
number of Modern Stores, which are 133 stores. That is the reason why Southern
Denpasar chosed as the research area.
Table 2
Top Ten Minimarket in Denpasar (according to the number of the store)
123
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
On the Law no. 20 of 2008, Micro, Small and Medium Enterprises, are all
included in the category of small businesses. Small businesses are economically
productive, conducted by an individual or business entity that is not a subsidiary or
branch of a company and also not owned, controlled, or a part, either directly or
indirectly from medium or large business. Meanwhile, the Mayor Regulation No. 9
of 2009 confirmed again by adding the element of wealth owned by small
businesses is; have a net worth of Rp 50.000.000, - (fifty million rupiah) up to a
maximum of Rp 500 million, - (five hundred million rupiah) excluding the value of
land and building where the business conducted.
124
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
On the other hands, the definition of Modern store is store with independent way of
payment, such as Minimarket, Supermarket, Department Store, Hypermarket. The
network manager is a businessman who do business in the field of Minimarket,
through a system of unified management and distribution of goods to a network
outlet.
The presence of minimarket encourage consumerism. The community is no
longer think rationally to meet his needs, as they already persuade by the media
which advertising it widely, so that consumers continue to be influenced by the not
only psychological interest but also involves political economy (Mursito, 2005: 21).
"Discipline mall" (a term used to describe the shopping centre condition is very
persuading customer to be consumptive, which starts from arrival at a mall that
begin with take the trolley, often called a stroller that serves as a shopping bag, then
select the item and put it on a trolley, which filled properly by the customer, as full
as possible. The full contents of the trolley looks wow, and when arrived at
cashier counter with a long queue, the customer queue up with discipline. On the
monitor screen, the cash register shown the amount, the bigger the number, the
bigger pride for the customer. For the young urban, the cool image of minimarket is
attached, so it is not rare to find young people who do not want to buy goods in
small stalls or traditional markets because the image will not be look cool, and
prodly shop at the 24 hours minimarket. It is all because they felt a pleasure in an
objective and subjective way, as it can boost the image of themselves, that they have
became contemporary society. As a consequence, small scale enterprise can not win
the competition and some even have to close their enterprise.
Research conducted by global companies Meadwestvaco in 2000 at 12 K-
Mart stores with the title "Display of merchandise affect sales." K-Mart is the main
outlet for your writing tools. An experiment was designed in which 12 K-Mart store.
Six stores were randomized assigned to implement the new system in the display of
merchandise, while six other stores displaying merchandise with the old way. The
experiment was conducted over six months. In conclusion: The sale of products that
125
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
implement the new system has a 7% higher sales than the sales of stores that use the
old system (Malhotra, 2005: 101).
The Journal of Product & Brand Management Vol 15 No 2 mentioned about
brand awareness and image impact on satisfaction and trust to increase future sales.
This would appear to: (1) brand awareness has a positive effect on current purchase
(2) brand image has a positive efeect on current purchase (3) brand awareness has a
positive efeect on future purchase and (4) brand image has a positive effect on future
purchase (Franz Rudolf Esch and Lagner Tobian et. al, 2006 : 98-105).
In European Journal of Marketing Vol.40 No. , stated that one thing that
is important to foster relationships between the seller and the buyer is "trust" (trust).
Confidence arising from a long training process until both parties trust each other.
Both party will be honest, fair and reliable in carrying out activities in the future. In
this connection the high level of seller and buyer confidence is influenced by: (1)
increase commitment, (2) enhance cooperation, (3) harness satisfaction and (4)
reduce conflicts (Leonidas.C. Et.al., 2006: 145).
Research conducted by Enciety Focus - 37 with the title Big City Lifestyle
Changes which took place in Surabaya concluded that lifestyle changes, especially
in big cities, suppose to make the traditional stores change the old pattern of their
business smartly. Development of the convenience store and mini market not only
requires adjustment of the operating hours, but also the adjustment and payment of
merchandise. Application of the supply chain as an alternative. Traditional store
merchandise scale according to the variation of a being sold is 7.1% for <20 product
number, 66.3% for 21 to 25 product number and 26.5% for > 25 products (Jawa
Post, 2010). This study provides the basis of marketing strategy for the minimarket.
In details, Williams in his book Keywords (1983: 87) states about culture
in three broad definitions, namely (1) a general process of intellectual, spiritual, and
aesthetic development, (2) a special way of life for people, a period, or a group,
called the lived cultures or cultural practice, and (3) the works and practices
primarily aesthetic and intellectual activity, called the signifying practices. The
126
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
127
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
128
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
129
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
130
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
it was found, adopted or created, developed, and used to show action in order to
achieve certain goals (of calendar, 2006: 36-39).
III. CONCLUSION
Development of a minimarket in Denpasar is very rapid, so it can be said to
be poorly controlled and have marginalized the small merchants who sell on
traditional markets and stalls, need to get special attention from economic actors and
governments. It should be understood that the minimarket as a modern store that can
provide a variety of facilities and services can satisfy the consumer, especially for
urban communities. Minimarket are heavily promoted by the advertising media,
which is recognized by the consumer that has built a variety of imaging which is the
urban lifestyle.
In this research, there is a purpose to understand and transform structures of
domination in capitalist society, which in this case represented by the minimarket.
Industrialization has rise the production of goods and services in a very large
amount, that must be combined with high number of consumers. That is the reason
why consumer culture on society should be examined critically.
REFERENCES
Alfathri Adlin, 2006. Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Gaya Hidup.Yogyakarta:
Jala Sutra
Baswir, Revrison. 1999. Dilema Kapitalisme Perkoncoan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Baudrillard J P.2009. Masyarakat Konsumsi.Yogyakarta : Kreasi Wacana
Chaney, David.2009. Lifestyle: Sebuah Pengantar Komprehensif. Penerjemah
Nurhaeni. Yogyakarta: Jalasutra.
Leonidas C, Leonidou, Dayananda Palihawadana, Marios Theodosious, 2006. An
Integrated Model Of The Behavioural Dimensions Of Industrial
Buyer-Seller Relationships. European Journal Of Marketing/ Vol. 40
No. 1/2
131
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Lynda, W.K.N dan Cyinthia, T.L.M. 2005. Managing the Brick-and-Mortar Retail
Stories. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer
James F. Engel dkk.1994. Prilaku Konsumen. Jakarta : Binarupa Aksara
Malhotra, Naresh K, 2005. Riset Pemasaran Pendekatan Terapan, Jakarta :PT
Indeks
Mary F. Rogers.2009. Barbie Cultural Ikon Budaya Konsumerisme. Yogyakarta:
Relief
Mursito,BM.2005. Mall Pintu Gerbang menuju Konsumerisme. Salatiga: Merdeka.
Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-Batas
Kebudayaan. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra.
Ritzer, George And Douglas. 2006. Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi.
Yogyakarta : Universitas Atmajaya
Rudolf Esch,Franz and Tobias Lagner,Berd H. Schmitt, Patrick Geus,2006. Are
brands forever? How brand knowledge and relationships affect current
and future purchases. Journal of Product & Brand Management.
Vol.15. No.2
Takwin, Bagus.2006. Habitus Perlengkapan dan Kerangka Panduan Gaya
Hidup. Dalam Alfathri Adlin (ed):Menggeledah Hasrat : Sebuah
Pendekatan Multi Perspektif. Yogyakarta& Bandung: Jalasutra.Hal.:
35-54.
Document and Electronic Sources
Camat Denpasar Selatan, 2010. Monografi Kecamatan Denpasar Selatan
Dinas Perijinan Kota Madya Denpasar, 2009. Peraturan Wali Kota Denpasar
Nomor 9 Tahun 2009 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar
Tradisional, Pusat Pembelanjaan, dan Toko Modern.
Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah R.I.,2008. Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah.
Tim Redaksi Radar Bali. 2010 a. Minimarket Sisihkan Usaha Rakyat. Dalam
Radar Bali, 16 Juni 2010.
Tim Redaksi Jawa Post. 2010 b. Pemkot Segel Tujuh Minimarket. Dalam Jawa
Pos, 13 Juli 2010.
132
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Tim Redaksi Radar Bali 2011c. Ijin Toko Modern Distop. Dalam Radar Bali, 8
April 2011.
www.circlek.com.
Oleh
Ni Nyoman Parmithi
Dosen FPMIPA IKIP PGRI Bali
ABSTRACT
133
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
This study aims to determine the types and varieties of coconuts are used
for the benefit Yadnya, as well as to determine the morphological aspects of the
philosophy and meaning of coconuts used, and to determine the classification of
coconut plantations in ethnobotany. The research was conducted in the village of
Marga Dajan Puri Tabanan. The method used is the method of observation and
interviews with informants like Sulinggih, stakeholders and artisan offerings.
These results indicate that the types of coconuts used there are two types,
namely: (1) of the type Typika coconut (coconut), and (2) palm of the type Nana
(early maturing coconut). Local designation is nyuh mulung coconut, nyuh bojog,
nyuh Rangda/nyuh Bingin, nyuh tiger, nyuh bejulit, solar nyuh, nyuh Sudamala,
nyuh shrimp, nyuh ivory, nyuh months, and nyuh sieve. Morphological aspects of
the coconut fruit is used to upakara yadnya is the color of the fruit, the child form
the structure of leaves, leaf midrib, fruit shape, fruit sheath/keloping, color
mesokarp/fibers, shape and petals color/pockmark/mosquito, and the color filter.
Philosophical significance of coconuts in general is alit and the globe symbolizes the
great Huana. While the classification is based on the ethnobotany community
interests consumption/economy and the interests upakara/ ceremony.
134
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
memang beraneka ragam ada yang lonjong, bulat atau bulat lonjong. Begitu juga
warnanya ada yang hijau, merah, coklat, ataupun jingga.
Desa Marga Dajan Puri adalah desa yang penduduknya berjumlah 612 KK
(2109 jiwa), dan terdiri dari 4 (empat) banjar, yakni Banjar Tengah Semeton, Banjar
Tengah Nyendoan, Banjar Anyar, dan Banjar Bugbugan yang hampir semua
masyarakatnya beragama Hindu. Frekuensi pelaksanaan upacara setiap tahunnya
relatif tinggi, seperti upacara Dewa Yadnya ngodalin di Paibon/Merajan, ngusaba
nini dan nganteg linggih. Pada tingkat keluarga seperti meotonan, nelubulanin,
ngeraja swala (upacara meningkat dewasa), metatah (upacara potong gigi) dan
masih banyak lagi upacara-upacara yang lainnya. Pelaksanaan upacara yadnya yang
variatif dan tinggi tersebut membutuhkan banyak bahan upakara, salah satu
diantaranya adalah buah kelapa. Penggunaan buah kelapa untuk upakara yadnya
tersebut juga bervariasi dilihat dari usia, warna dan bentuknya (jenis kelapa).
Penggunaan berbagai macam jenis dari buah kelapa tersebut disesuaikan dengan
jenis dan tingkatan upacara itu sendiri yakni mulai dari tingkatan upacara yang
paling kecil/sederhana (nista), biasa/menengah (madya) serta tingkatan upacara
yang paling besar/utama (utama).
Desa-Kala-Patramenunjukkan bahwa pelaksanaan dan penggunaan sarana
upakara yang ada di daerah yang satu dengan daerah yang lain berbeda, namun
tetap mempunyai maksud dan tujuan yang sama yaitu menghaturkan bakti suci
dengan perwujudan yadnya. Hal ini terkait dengan pengertian "Desa" adalah tempat
dimana kita berada, yang dalam hal ini berarti bahan upakara dapat disesuaikan
dengan keadaan setempat ; "Kala" adalah waktu ; dan "Patra" adalah keadaan, yang
memiliki makna bahwa upakara yang dilakukan menyesuaikan dengan waktu dan
kemampuan seseorang.
Hasil observasi yang penulis lakukan di Desa Marga Dajan Puri Tabanan
menunjukkan bahwa banyak masyarakat yang belum mengetahui jenis-jenis kelapa
yang diperlukan dalam upakara yadnya. Jenis kelapa yang dipergunakan dalam
upakara kadang-kadang sulit untuk dicari dan dipenuhi karena masyarakat tidak
135
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
mengetahui bagaimana ciri-ciri yang ada pada kelapa tersebut. Dewasa ini hanya
orang-orang yang berkecimpung dalam upakara yadnya saja yang mengetahuinya,
seperti tukang banten (sutri), pemangku, dan sulinggih.
Masyarakat khususnya umat Hindu, tidak dapat lepas dari pelaksanaan
upacara yadnya. Upakara merupakan bagian dari kerangka Agama Hindu, di
samping Tatwa (filsafat) dan Susila (etika). Sarana upacara biasanya menggunakan
bagian-bagian tertentu dari tanaman seperti batang, daun, bunga dan buah yang
sering disertai dengan identitas khusus. Berdasarkan latar belakang pemikiran di
atas peneliti memfokuskan penelitian pada satu aspek tanaman upakara dengan
judul Studi Tentang Diversitas Kelapa (Cocos sp) untuk Upakara Yadnya di Desa
Marga Dajan Puri Tabanan".
136
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
137
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Tabel 01
Jenis-jenis Kelapa yang Digunakan untuk Upakara Yadnya
di Desa Marga Dajan Puri Tabanan
Penggunaan dalam
Nama Nama
No Nama Daerah Suku Upacara Yadnya
Indonesia Ilmiah
1 2 3 4 5
1. Kelapa Raja Nyuh Gading Cocos nucivera Araceae -
var.Regia
2. Kelapa Nyuh Bulan Cocos nucivera Araceae - -
Gading var.Ebunea
3. Kelapa puyuh Nyuh Gadang Cocos nucivera Araceae - -
/ kelapa bagi var.Pumila
138
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
2.1.2 Data tentang Makna Filosofis dan Aspek Morfologi Buah Kelapa dalam
Kaitannya dengan Nama Banten atau Upakara
Tabel 02
Makna Filosofis Buah Kelapa dalam Kaitannya
dengan Nama Banten/Upakara
Digunakan dalam upacara serta nama
Aspek
Semua jenis banten/upakara Bagian yang
morfologi / Maknanya
kelapa Dewa Rsi Manusa Pitra Bhuta digunakan
Anatomi buah
Yadnya Yadnya Yadnya Yadnya Yadnya
Jenis kelapa Daksina Buah/biji Bentuk Melambang
dalam (tall kelapa tua bulat kan bumi
variety) (nyuh)
serta dari Banten Biji kelapa Bentuk Melambang
jenis kelapa penyam tua (nyuh) bulat kan bumi
genjah butan
(dwarf variet Sesantun Buah Bentuk Melambang
kelapa tua buah kan alam
yang besar semesta
(nyuh)
Dandanan Buah Bentuk Melambang
kelapa tua bulat kan bumi
yang kecil
(nyuh)
139
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
140
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Lanjutan Tabel 02
Digunakan dalam upacara serta nama
Aspek
Semua jenis banten/upakara Bagian yang
morfologi / Maknanya
kelapa Dewa Rsi Manusa Pitra Bhuta digunakan
Anatomi buah
Yadnya Yadnya Yadnya Yadnya Yadnya
Pegeni Tempurung Endokarp Lambang
an kelapa sebagai ke-kuatan /
arang sakti Dewa
Wisnu
Banten Biji kelapa Bentuk yang Melambang
suci tua (nyuh) membulat kan bumi
Banten Daging Putih Lambang
celemik kelapa tua lembaga persembah
pat dapat an
dimakan
141
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
bulan), arah Tenggara berstana Dewa Maheswara yang merupakan simbul warna
dadu/barak baag (nyuh surya), arah Selatan berstana Dewa Brahma yang merupakan
simbul warna merah (nyuh udang), arah Barat Daya berstana Dewa Rudra yang
merupakan simbul warna jingga (nyuh rangda), arah Barat berstana Dewa
Mahadewa yang merupakan simbul warna kuning (nyuh gading), arah Barat Laut
berstana Dewa Sangkara yang merupakan simbul warna hijau (nyuh bojog), arah
Utara berstana Dewa Wisnu yang merupakan simbul warna hitam (nyuh mulung),
arah Timur Laut berstana Dewa Sambhu yang merupakan simbul warna biru (nyuh
bejulit), dan arah tengah berstana Dewa Ciwa yang merupakan simbul warna
campuran/brumhun (nyuh sudamala).
Masing-masing kelapa yang digunakan dalam upakara yadnya terdiri dari
kelapa yang telah tua (nyuh) dan kelapa yang masih muda (kelungah). Nyuh
mempunyai makna sebagai lambang Bhuwana Agung (alam semesta) dan Bhuwana
Alit (tubuh manusia). Sedangkan kelungah mempunyai makna sebagai lambang
pebersihan dan kesucian.
Aspek Morfologis Tanaman Kelapa yang Digunakan dalam Upacara Yadnya
di Desa Marga Dajan Puri Tabanan adalah sebagai berikut.
b. Nyuh Gading
Nyuh gading berwarna kuning emas, pelepah dan lidah daun berwarna kekuning-
kuningan dan bentuk buahnya bulat hingga lonjong.
c. Nyuh Bulan
Nyuh bulan adalah buah berwarna kuning gading atau kuning keputihan.
Sebagian daunnya juga berwarna kuning.
d. Nyuh Gadang
Nyuh gadang berwarna hijau tua.
e. Nyuh Mulung
Nyuh mulung berwarna hijau muda pekat/gadang sabilulung. Kelopak bunga
(tapuk/nyamuk) berwarna merah muda, pelepah dan lidah daun berwarna hijau.
142
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
f. Nyuh Bojog
Nyuh bojog mesokarpnya (sabut kelapa) berwarna abu-abu sehingga,
dipersonifikasikan seperti warna bulu pada kera /bojog.
g. Nyuh Rangda/Nyuh Bingin
Nyuh rangda/nyuh bingin buahnya berwarna jingga, susunan anak daun pada
ujung pelepah menjurai vertikal, kemudian pelepah daun bagian bawah menjurai
menutupi buah dan buahnya diselimuti oleh tapis.
h. Nyuh Macan
Nyuh macan adalah buah berwarna jingga atau hijau kekuningan. Pada kulit
buah terdapat bercak-bercak (bertotol-totol) loreng seperti kulit macan.
i. Nyuh Bejulit
Nyuh bejulit buahnya berwarna hijau kebiruan. Rangkaian anak daun satu sama
lain pada pelepah menempel/gempel dan pelepah daunnya pipih.
Dipersonifikasikan seperti perawakan bejulit/ikan sidat yaitu ikan panjang
seperti ular yang bentuknya pipih.
j. Nyuh Surya
Nyuh surya adalah buah berwarna merah dadu/merah kecoklatan.
k. Nyuh Sudamala
Nyuh sudam kulit buahnya berwarna hijau. Mempunyai seludang buah/keloping
bertumpuk dua, dan ada pula yang memiliki sepasang kelopak bunga/tapuk.
l. Nyuh Udang/Nyuh Brahma
Nyuh udang/nyuh brahma buahnya berwarna hijau kekuningan, kelopak bunga
(tapuk/nyamuk) dan mesokarpnya (sabut kelapa pada saat muda) berwarna
merah.
143
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
2.2 Pembahasan
Bagi umat Hindu jenis dan varietas buah kelapa dalam kaitannya dengan
pelaksanaan upakara yadnya memiliki makna filosofi dan penggunaannya
berdasarkan bentuk atau aspek morfologi dan nama banten/upakara.
a. Nyuh Gading
Nyuh gading merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa genjah (dwarf
variety) dengan nama Indonesia kelapa raja (C. nucivera var. regia). Kelapa jenis ini
digunakan dalam Upacara Dewa yadnya, yang terdiri dari upakara/banten sesayut
prayascita luwih, prayascita sakti, prayascita biasa, dan pedudusan agung
(pedarinan, pengenteg, penyegjeg). Pada upacara Manusa Yadnya kelapa raja atau
144
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
nyuh gading digunakan dalam upakara/banten pewintenan, peras potong gigi, eteh-
eteh pengelukatan, eteh-eteh pedudusan alit, dan sebagai tempat pembuangan
pedanggal.
Pada upacara Pitra Yadnya nyuh gading dipergunakan sebagai tempat abu
puspa sarira dan caru panca sato dalam upacara Bhuta Yadnya. Bagian yang
digunakan dalam upakara adalah kelungah (kelapa yang masih muda), nyuh (kelapa
tua), dan janur nyuh gading. Keterkaitan antara aspek morfologi buah dalam upakara
yadnya, yaitu kandungan air dan warna buah nyuh gading bermakna sebagai
lambang kesucian, pebersihan, serta sebagai simbul perwujudan manifestasi Ida
Sang Hyang Widi Wasa sebagai Dewa Mahadewa dalam kontek Dewata Nawa
Sanga (Dewa penguasa 9 penjuru arah mata angin).
b. Nyuh Bulan
Nyuh bulan merupakan sebutan lokal dari kelapa gading (Cocos nucivera var.
ebunea) termasuk ke dalam jenis kelapa genjah (dwarf varied). Kelapa gading atau
nyuh bulan digunakan dalam upacara Dewa Yadnya sebagai sarana upakara
pedudusan agung (pedarman, penyegjeg, pengenteg). Pada upacara Manusa Yadnya
nyuh hulas digunakan sebagai upakara eteh-eteh pedudusan alit, banten pewintenan,
dan banten pangulapan. Digunakan pula pada caru panca sato dalam upacara Bhuta
Yadnya, bagian yang digunakan adalah kelungah dan nyuh. Keterkaitan aspek
morfologi buah dalam upakara yadnya adalah kandungan air dan warna buah yang
dimiliki. Buah berwarna kuning gading/kuning keputihan bermakna sebagai
lambang kesucian dan pebersihan serta sebagai simbol perwujudan Ida Sang Hyang
Widi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Iswara (arah timur).
c. Nyuh Gadang
Nyuh gadang merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa genjah (dwarf
variety) dengan nama Indonesia kelapa puyuh/kelapa bagi. Nyuh gadang digunakan
dalam upacara Dewa Yadnya digunakan sebagai sarana upakara pedudusan agung
(pedarman, penyegjeg, pengenteg). Kemudian pada upacara Manusa Yadnya
digunakan dalam etch-eteh pedudusan alit. Pada upacara Bhuta Yadnya digunakan
145
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
dalam upakara tebasan durmengala dan upakara caru panca sato. Bagian yang
digunakan kelungah dan nyuh. Keterkaitan aspek morfologi buah dalam upakara
yadnya adalah kandungan air dan warna buah yang dimiliki. Maknanya sebagai
lambang kesucian dan pebersihan.
d. Nyuh Mulung
Nyuh mulung merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa dalam (tall variety)
dengan nama indonesia kelapa hijau (Cocos veridis). Nyuh mulung digunakan
dalam upacara Manusa Yadnya sebagai sarana upakara banten mewinten, dan eteh-
eteh pedudusan alit. Untuk upakara tebasan durmengala dan caru panca sato
digunakan dalam upacara Bhuta yadnya.Bagian yang digunakan ialah kelungah
nyuh mulung. Keterkaitan aspek morfologi buah dalam upakara yadnya ialah
kandungan airnya, bermakna sebagai lambang kesucian dan pebersihan serta
sebagai simbul perwujudan Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam manifestasinya
sebagai Dewa Wisnu (arah utara).
e. Nyuh Bojog
Nyuh bojog merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa dalam (tall variety)
dengan nama Indonesia kelapa hijau (Cocos veridis). Dalam upacara Dewa Yadnya
nyuh bojog digunakan sebagai sarana upakara pedudusan agung (pedarman,
penyegjeg, pengenteg). Bagian yang digunakan untuk upakara adalah kelungah nyuh
bojog. Keterkaitan antara aspek morfologi buah dalam upakara yadnya adalah
kadungan air dan warna buah yang dimiliki, bermakna sebagai lambang kesucian
dan pebersihan serta sebagai simbol perwujudan Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam
manifestasinya sebagai Dewa Sangkara (arah barat laut).
f. Nyuh Rangda/Nyuh Bingin
Nyuh rangda atau nyuh bingin merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa
dalam (tall variety) dengan nama Indonesia kelapa merah (Cocos rubescen). Nyuh
rangda/Nyuh bingin digunakan pada upacara Dewa Yadnya sebagai sarana upakara
pedudusan agung (pedarman, pengenteg penyegjeg). Bagian yang digunakan dalam
146
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
upakara yadnya ialah nyuh (kelapa tua). Keterkaitan aspek morfologi buah dalam
upakara yadnya adalah kandungan air dan warna buah yang dimiliki bermakna
sebagai lambang kesucian dan pebersihan serta sebagai simbol perwujudan Ida Sang
Hyang Widi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Rudra (barat daya).
g. Nyuh Macan
Nyuh macan merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa dalam (tall variety)
dengan nama Indonesia kelapa merah (Cocos rubescen). Nyuh macan digunakan
pada upacara Dewa Yadnya sebagai sarana upakara/banten catur (upacara nganteg
linggih), pedudusan agung (pedarman, pengenteg, penyegjeg). Bagian yang
digunakan dalam upakara yadnya adalah nyuh (kelapa tua). Keterkaitan antara aspek
morfologi buah dalam upakara yadnya ialah kandungan air, warna buah, sebagai
lambang kesucian dan pebersihan serta karakter dari sifat macan yang bermakna
sebagai lambang kekuatan yang kokoh sebagai simbol/nyasa agar ajeg dan tegteg.
h. Nyuh Bejulit
Nyuh bejulit merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa dalam (tall variety)
dengan nama Indonesia kelapa hijau (Cocos veridis). Nyuh bejulit digunakan pada
upacara Dewa Yadnya sebagai sarana upakara pedudusan agung (pedarman,
pengenteg, penyegjeg). Bagian yang digunakan dalam upakara ialah nyuh (kelapa
tua). Keterkaitan antara aspek morfologi buah dalam upakara yadnya ialah
kandungan air dan warna buah yang miliki. Maknanya sebagai lambang kesucian
dan pebersihan serta sebagai simbol perwujudan Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam
manifestasinya sebagai Dewa Sambhu (arah timur laut).
i. Nyuh Surya
Nyuh surya merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa dalam (tall variety)
dengan nama Indonesia kelapa merah (Cocos rubescen). Nyuh surya digunakan
pada upacara Dewa Yadnya sebagai sarana upakara pedudusan agung (pedarman,
penyegjeg, pengenteg) serta pada upacara Manusa Yadnya digunakan dalam upakara
147
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
pewintenan. Bagian yang digunakan dalam upakara yadnya ialah kelungah (kelapa
yang masih muda) dan nyuh (kelapa tua). Keterkaitan antara aspek morfologi buah
dalam upacara yadnya ialah kandungan air dan warna buah yang dimiliki, bermakna
sebagai lambang kesucian dan pebersihan serta sebagai simbul perwujudan Ida Sang
Hyang Widi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Maheswara (arah tenggara).
j. Nyuh Sudamala
Nyuh sudamala merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa dalam (tall
variety) dengan nama Indonesia kelapa hijau (Cocos veridis). Nyuh sudamala
digunakan pada upacara Dewa Yadnya sebagai sarana upakara pedudusan agung
(pedurman penyegjeg, pengenteg). Pada upacara Manusa Yadnya digunakan dalam
upakara etch-eteh pedudusan alit serta digunakan pada upacara Bhuta Yadnya dalam
upakara caru panca sato. Bagian yang digunakan dalam upakara yadnya ialah
kelungah dan nyuh. Keterkaitan antara aspek morfologi buah dalam upacara yadnya
ialah kandungan air dan warna buah yang dimiliki, bermakna sebagai lambang
kesucian dan pebersihan serta sebagai simbul perwujudan Ida Sang Hyang Widi
Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Ciwa (arah tengah).
k. Nyuh udang/Nyuh brahma
Nyuh udang atau Nyuh brahma merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa
dalam (tall variety) dengan nama Indonesia kelapa merah (Cocos rubescen). Nyuh
udang atau Nyuh brahma digunakan pada upacara Dewa Yadnya sebagai sarana
upakara pedudusan agung (pedarman, penyegjeg, pengenteg). Pada upacara Manusa
Yadnya digunakan dalam upakara eteh-eteh pedudusan alit, dan banten byakala serta
digunakan pada upacara Bhuta Yadnya dalam upakara caru panca sato. Bagian yang
digunakan dalam upakara yadnya ialah kelungah (kelapa yang masih muda) dan
nyuh (kelapa tua). Keterkaitan antara aspek morfologi buah dalam upakara yadnya
adalah kandungan air dan warna buah yang dimiliki, bermakna sebagai lambang
kesucian dan pebersihan serta sebagai simbul perwujudan Ida Sang Hyang Widi
Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Brahma (arah selatan).
Deskripsi morfologi buah kelapa yang digunakan untuk upakara yadnya di
148
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Desa Marga Dajan Puri Tabanan dapat dilihat berdasarkan atas ciri-ciri morfologi
yang ada pada kelapa tersebut. Dimulai dari warna buah, kelapa yang digunakan
untuk upakara yadnya memiliki warna kuning emas, merah kecoklatan (warna
dadu), kuning gading/kuning keputihan, hijau muda pekat, hijau kebiruan, hijau
kekuningan dengan sedikit warna merah pada pangkal buah, jingga (orange), hijau,
hijau tua, dan hijau kekuningan.
Dilihat dari struktur anak daun, jenis kelapa untuk upakara yadnya tersebut
ada yang mempunyai susunan anak daun pada pelepah saling menempel (nyuh
bejulit). Ada pula memiliki susunan anak daun pada ujung pelepahnya menjurai
vertikal (nyuh rangda). Pada nyuh sudamala mempunyai struktur seludang buah/
spata (keloping) bertumpuk dua, ada pula yang memiliki sepasang kelopak bunga.
Melalui hasil pengamatan struktur anatomi dengan membelah buah kelapa menjadi
dua tampak mesokarp (sabut) ada yang berwarna merah (nyuh udang/nyuh brahma)
dan abu-abu (nyuh bojog).
Pengklasifikasian etnobotani oleh masyarakat didasarkan atas manfaat atau
fungsi buah kelapa dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Berdasarkan manfaat
atau fungsinya dapat dibagi menjadi 2 (dua) golongan yaitu berdasarkan
konsumsi/ekonomi, dan berdasarkan kepentingan upakara/upacara.
Semua bagian dari buah kelapa, mulai dari sabut, tempurung, daging buah,
dan air dapat dimanfaatkan untuk upakara yadnya. Buah kelapa yang dimanfaatkan
dalam upakara yadnya adalah kelungah dan nyuh. Secara umum makna filosofis
kelungah adalah sebagai lambang penyucian jasmani dan rohani, sedangkan makna
filosofis nyuh adalah sebagai lambang bumi/alam semesta (Bhuwana Agung) dan
tubuh manusia (Bhuwana Alit) (Nala, 2004).
Pada upakara yang menggunakan sarana kelungah, menggunakan jenis
kelungah dengan warna yang berbeda-beda, makna filosofis dari berbagai jenis
kelungah yang digunakan tersebut melambangkan kekuasaan Tuhan (Ida Sang
Hyang Widi Wasa) dalam manifestasinya sebagai Dewa-Dewa penguasa seluruh
penjuru mata angin (Dewata Nawa Sanga).
149
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
150
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
dengan kuud atau nyuh. Hal ini dapat dilihat dari komposisi air kelungah adalah
sebagai berikut, gula : 1,7 %; kandungan mineral tinggi; kandungan protein tinggi;
kandungan sitokinin juga tinggi; dan memiliki pH 5,0. sedangkan komposisi air
kuud adalah gula 3 %, kandungan protein berkurang, kandungan mineral bertambah,
hormon sitokinin berkurang, dan memiliki pH 6,5 dan komposis air nyuh adalah
gula 2,5 %, protein 0,55 %, mineral dan pH 5,5 (Warisno, 2003).
Menurut (Suwita Utami, dalam Kumpulan Publikasi Tanaman Upacara
Adat Bali 2004) dikatakan jika kelapa dimaknai sebagai Bhuwana Alit (tubuh
manusia) buah kelapa tersusun atas tujuh lapisan. Lapisan luar dari kelapa
melambangkan kulit luar manusia, lapisan dalam melambangkan kulit dalam
manusia. Serabut basah pada buah kelapa melambangkan urat-urat pada tubuh
manusia. Batok kelapa sebagai lapisan keras merupakan lambang tulang, isi atau
daging kelapa melambangkan daging. Air yang ada di dalamnya melambangkan
darah, dan kesucian yang ada dalam air kelapa melambangkan atma yang
memberikan manusia hidup.
Selain itu, dalam pustaka rontal "Aji Sangkhya" dalam (Arwati, 2002) alam
semesta (Buana Agung) dinyatakan terdiri dari 14 lapisan, terdiri dari 7 (tujuh)
lapisan dalam pertiwi, disebut "Sapta Petala, " dan 7 (tujuh) lagi yang termasuk ke
dalam angkasa disebut "Sapta Loka. Adapun lambang "Sapta Loka" pada kelapa
adalah 1) Air sebagai lambang mahalala; 2) Isinya yang lembut sebagai lambang
tala-tala; 3) Isinya sebagai lambang lala; 4) Lapisan pada isi sebagai simbol antala;
5) Lapisan isinya yang keras sebagai lambang sutala; 6) Lapisan tipis paling dalam
sebagai lambang nitala; 7) Batoknya sebagai lambang patala.
Lambang "Sapta Loka" pada kelapa disebutkan sebagai berikut. 1) Bulu
batok kelapa sebagai lambang bhur Loka; 2) Serat saluran sebagai lambang bhwah
Loka; 3) Serat serabut sebagai lambang swah Loka; 4) Serabut basah sebagai
lambang maha Loka; 5) Serabut kering sebagi lambang jnana Loka; 6) Kulit serat
kering sebagai lambang tapa Loka; dan 7) Kulit keras kering sebagai lambang setia
Loka.
151
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
III. PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
3.1.1 Jenis-jenis kelapa yang digunakan untuk upakara yadnya di Desa Marga
Dajan Puri Tabanan ada 2 jenis yaitu; (1) kelapa dari jenis Typika (kelapa
dalam); dan (2) kelapa dari jenis Nana (kelapa genjah). Sebutan lokal
kelapa tersebut yaitu nyuh mulung, nyuh bojog, nyuh rangda/nyuh bingin,
nyuh macan, nyuh bejulit, nyuh surya, nyuh sudamala, nyuh udang, nyuh
gading, nyuh bulan, dan nyuh gadang.
3.1.2 Aspek morfologi buah kelapa yang digunakan untuk upakara yadnya
adalah warna buah, struktur bentuk anak daun, pelepah daun, bentuk buah,
seludang buah/keloping, warna mesokarp/serabut, bentuk dan warna
kelopak bunga/ tapuk/nyamuk, dan warna tapis. Makna filosofis buah
kelapa secara umum adalah melambangkan buana alit dan huana agung.
3.1.3 Pengklasifikasian etnobotani oleh masyarakat adalah berdasarkan
kepentingan konsumsi/ekonomi dan kepentingan upakara/upacara.
3.2 Saran-saran
3.2.1 Kepada Pemerintah Daerah, khususnya Pemerintah Daerah Bali, mengingat
banyaknya jenis dan varietas kelapa yang diperlukan untuk kepentinyan
Upakara Yadnya, maka diharapkan adanya program pelestarian tanaman
kelapa, misalnya dengan penanaman secara mengkhusus pada suatu areal
atau tempat, sehingga ke depannya dapat mempermudah masyarakat dalam
memperoleh informasi tentang jenis-jenis kelapa yang dapat digunakan
untuk kepentingan upakara Yadnya.
3.2.2 Dalam pembelajaran Biologi yang berorientasi pada kearifan lokal, maka
bagi guru diharapkan dapat mensinergikan antara pembelajaran di kelas
dengan pengetahuan lokal yang ada di masyarakat yang terkait dengan
152
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
DAFTAR RUJUKAN
Anonim. 2000. Obyek Peningkatan Sarana dan Prasaruna Kehidupan Beragama
Panca Yadnya (Dewa Yadnya, Bhuta Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra
Yadnya, Manusa Yadnya). Denpasar : Pemerintah Provinsi Bali
Mantera. 2004. Tanaman Upacara Adat Bali Sebagai Upaya Mendukung
Pelestarian Tanaman Bali. Baturiti : Kebun Raya Eka Karya Bali-LIPI.
Nala, Ngurah. 2004. Prosiding Seminar Tanaman Upacara Adat Bali. Bali : UPT
Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka Karya Bali LIPI
______, 2004. Filosofis Pemanfaatan dan Keanekaragaman Tanaman Upacara
Agama Hindu di Bali. Makalah Seminar Konservasi Tumbuhan
Upacara Agama Hindu : Kebun Raya Ekakarya Bali
Purwanto. 2008. Etnobotani Ilmu Interdisipliner dan Holistik : Labotatorium
Etnobotani Bidang Botani Pusat Penelitian Bogor.
Surayin, I.A.P. 2002 Melangkah Kearah Persiapan Upakara-Upacara Yadnya.
Surabaya : Paramita Surabaya.
Sudarsaria, I.B.P. 2001. Ajaran Agama Hindhu, Upacara Manusa Yadnya
Magedong-Gedongan. Denpasar : Yayasan Dharma Acarya Mandara
Sastra.
Sudarsana, I. B. P. 2002 . Ajaran Agama Hindu Filsafat Yadnya. Denpasar : Yayasan
Dharma Acarya
Suwita Utami. 2004. Kumpulan Publikasi Tanaman Upacara Adat Bali. Baturiti
Kebun Raya Eka Karya Bali-LIPI
Tantra, Sri Mpu Nabe Dwi. 1984. Penuntun Upacara Panca Yadnya. Singaraja :
Pengurus Pusat Maha Gotra Sanak Sapta Rsi.
Wahyu, Astiti. 2005. Etnobotani Buah Kelapa (Cocos sp) yang digunakan dalam
upakara Yadnya. Singaraja : Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas
MIPA Skripsi, tidak diterbitkan
Walujo, E. B. 2004. Tumbuhan Upacara Adat Bali dalam Persepektif Penelitian
Etnobotani. Makalah Seminar Konscrvasi Tumbuhan Upacra Agama
Hindu. Kebun Raya Eka Karya Bali.
153
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
154
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
I. LATAR BELAKANG
Perubahan morfologis secara garis besar dibedakan menjadi dua bagian,
yaitu infleksi dan pembentukan kata (Matthews, 1974 : 38). Perubahan morfologis
mencakup pemajemukan, afiksasi, konversi, derivasi balik, perubahan bunyi,
suplesi, perpaduan (blending), dan pengakroniman. Proses pembentukan kata
dengan penambahan afiks pada akar atau dasar (pangkal) kata sehingga
menghasilkan bentuk baru, baik secara leksikal maupun gramatikal disebut afiksasi.
Afiksasi yang menghasilkan bentuk baru secara leksikal disebut derivasi, sedangkan
afiksasi yang menghasilkan bentuk baru yang secara leksikal tetap sama, tetapi
berbeda secara gramatikal dinamakan infleksi. Infleksi tidak hanya terjadi melalui
afiksasi, tetapi dapat juga terjadi melalui konversi dan perubahan vocal (Huddleston,
1984 : 22-25).
Setakat ini pembicaraan afiksasi Bahasa Indonesia pada umumnya hanya
dikaitkan dengan derivasi. Misalnya, Ramlan dalam salah satu pembicaraannya
tentang proses morfologis, afiksasi hanya dibicarakan dari sudut asli tidaknya suatu
afiks dan produktif tidaknya suatu afiks (Ramlan 1987 : 54-62). Sementara itu,
Kridalaksana justru mengatakan bahwa afiks infleksional sangat tidak relevan
dibicarakan dalam bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia tidak tergolong bahasa
fleksi (1984 : 17). Pada bagian lain, Kridalaksana mengatakan bahwa perbedaan
derivasi dan infleksi dalam Bahasa Indonesia tidak sejelas perbedaan derivasi dan
infleksi dalam bahasa Inggris. Oleh karena itu, ia menunda pembicaraan infleksi
sampai ada penelitian yang meyakinkan (1989 : 11).
155
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
156
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
dihasilkan oleh afiks infleksi. Kajian ini dilakukan terhadap ragam bahasa Indonesia
baku. Ragam bahasa baku menurut Bawa dkk. (1988 : 31) adalah ragam bahasa
yang digunakan pada komunikasi resmi, wacana teknis seperti laporan resmi dan
karangan ilmiah (populer), pembicaraan di depan umum, dan pembicaraan dengan
yang dihormati.
157
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
158
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
ditemukan dalam kajian tersebut adalah tidak adanya deskripsi tentang afiks derivasi
dan infleksi. Di samping itu, ia juga tidak menjelaskan bagaimana proses afiksasi itu
terjadi, dan apakah dalam proses afiksasi ini tidak menemukan kendala. Atas dasar
kelemahan itu, maka kajian Ramlan belum dapat dianggap sempurna. Walaupun
demikian, deskripsi tentang fungsi afiks, jenis bentuk dasar yang dapat diikatnya,
dan sejumlah makna afiks yang muncul dalam proses afiksasi merupakan hal yang
sangat berharga dalam kaitannya dengan kajian ini.
Pendekatan khas yang membedakan kajian proses morfologis Kridalaksana
(1989) dalam Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia dengan kajian-kajian
lainnya adalah adanya interaksi antara leksikon dan gramatika dan pemanfaatan
konsep leksem. Meskipun ia bukan penganut aliran transpormasi generatif, model
proses dimanfaatkan dengan dasar bahwa model proses ini cocok untuk
menggambarkan morfologi bahasa Indonesia secara keseluruhan. Konsep afiksasi
menurut Kridalaksana adalah proses yang mengubah leksem menjadi kata
kompleks. Dalam proses ini, leksem (1) berubah bentuknya, (2) menjadi kategori
tertentu sehingga berstatus kata (atau setelah berstatus kata berganti kategori),dan
(3) sedikit banyak berubah maknanya. Sekilas, tampak telaah yang dilakukan oleh
Kridalaksana cukup mendalam dan menyeluruh karena dapat menampilkan 89
bentuk afiks dan sekitar 274 kemungkinan makna atau petanda yang bisa
diungkapkan, belum terhitung perubahan-perubahan kelas yang dilibatkannya.
Selain itu, ia telah mengklasifikasikan secara jelas fungsi afiks. Keunggulan yang
lain tentang kajian ini adalah proses pembentukan kata yang dipaparkan tidak hanya
mencakup kata-kata baku (ragam standar), tetapi juga yang nonbaku (nonstandar)
(1989 : 25-85). Jadi, dalam ulasan ini, Kridalaksana banyak menampilkan hal yang
baru yang belum pernah dibahas oleh ahli lain (1989 : 25-85). Di balik keunggulan-
keunggulan tersebut, terdapat juga kelemahan dalam kajian ini, yakni tidak adanya
pembagian yang eksplisit tentang afiks yang berfungsi derivasi dan yang berfungsi
infleksi. Kridalaksana justru mengatakan bahwa afiks infleksional sangat tidak
relevan dibicarakan dalam bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia tidak
159
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
2.2. Konsep
Ada dua konsep yang perlu diuraikan pada subbab ini, yaitu derivasi dan
infleksi.
Aronoff (1976: 1-2) mengatakan bahwa secara tradisional gejala morfologi
dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu gejala derivasional dan gejala infleksional.
Gejala derivasional berkaitan dengan kategori leksikal. Artinya, proses derivasional
menyangkut proses pembentukan kata baru. Gejala infleksional berkaitan dengan
kategori gramatikal. Itu berarti dalam proses infleksional tidak terjadi proses
160
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
pembentukan kata baru, tetapi terjadi pemrosesan kata sehingga dapat berfungsi
dalam satuan gramatikal tertentu.
Malmkjaer dkk. (1991: 317-318) mengatakan bahwa infleksi menyangkut
proses perubahan bentuk kata, sedangkan derivasi menyangkut proses pembentukan
kata, baik yang mengubah kelas maupun yang mempertahankan kelas. Proses
infleksi baru dapat dilakukan apabila suatu bentuk telah mengalami proses derivasi
atau pemajemukan. Oleh karena itu, infleksi merupakan proses yang menutup kelas.
Kategori infleksi mencakup kala, diatesis, jenis kelamin, dan jumlah yang
merupakan kaidah terpenting dalam sintaksis dan sering disebut kategori
morfosintaksis. Proses infleksi sangat produktif dan biasanya dilakukan pada stem
(bentuk dasar) dan bukan root (bentuk asal). Makna infleksi teratur dan teramalkan.
Spencer (1991 : 20-21)berpendapat bahwa infleksi adalah varian dari satu
kata yang sama dan cenderung tidak mengubah kelas. Derivari merupakan proses
pembentukan kata, pada umumnya mengubah kategori bentuk dasar. Istilah derivasi
zero atau morfologi konversi atau null atau zero afixation adalah untuk menandai
proses pembentukan kata yang tidak menunjukkan adanya perubahan bentuk dasar.
Proses infleksi menyangkut proses penambahan unsur ekstra pada kata, misalnya
penambahan makna (kala, aspek, modus, negasi, dan lain-lain) dan juga terjadi
penambahan atau perubahan fungsi gramatikal. Dua prinsip dasar yang mencirikan
infleksi adalah kesesuaian dan kepenguasaan (agreement and goverment).
Robins (1959 dan 1998) dalam tulisannya tentang sistem dan struktur
bahasa Sunda yang diterjemahkan oleh Kridalaksana berpendapat bahwa sebagian
besar pembentukan kata dapat diklasifikasikan sebagai derivasi, dalam hal kata itu
dihasilkan dengan kelas yang tidak sama atau kelas yang berbeda dengan kata asal
atau akar. Proses morfologis dalam bahasa Sunda berikut ini dapat dimasukkan
dalam proses infleksi, yaitu (a) nasalisasi verba, sebagai penanda aktif; (b) prefiksasi
di- dan ka- untuk verba pasif; (c) Afiksasi yang menandai beberapa persona; (d)
pembentuk nomina jamak; (e) pembentuk verba jamak (1983 : 80,83).
161
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Prinsip dasar derivasi adalah proses pembentukan kata, apakah kata yang
terbentuk itu berubah kelas atau tidak. Prinsip dasar infleksi adalah pemrosesan kata
menjadi satuan yang dapat digunakan dalam tataran gramatikal tertentu. Tidak
menjadi soal, apakah proses itu mengakibatkan perubahan bentuk kata atau tidak.
Secara umum, infleksi selalu berkaitan dengan masalah kala, diatesis, jenis
kelamin, dan jumlah. Oleh karena itu, proses infleksi--khususnya dalam bahasa
Inggris--pada umumnya dikaitkan dengan pemakaian kata dengan kala yang
berbeda, aktif-pasif, maskulin-feminim, dan tunggal-jamak. Bertolak dari prinsip
dasar itu, maka Robins (1959) mengatakan bahwa nasalisasi verba sebagai penanda
aktif, prefiksasi penanda pasif, afiksasi persesuaian persona, pembentuk nomina
jamak, dan pembentuk verba jamak tergolong proses infleksi.
Dalam telaah afiksasi verbal bahasa Indonesia, konsep dasar infleksi yang
diterapkan dalam penelitian ini, bersumber pada konsep dasar infleksi dalam bahasa
Inggris yang telah dikemukakan para ahli di atas. Prinsip dasar ini akan disesuaikan
dengan kenyataan yang ada dalam bahasa Indonesia. Atas dasar itu, maka telaah
infleksi dalam afiksasi verbal bahasa Indonesia mencakup infleksi aktif, infleksi
pasif, infleksi aksidental, infleksi aksesif, infleksi jamak (iteratif), dan infleksi
ketidakteraturan (irregular) (Bandingkan dengan Tampubolon, 1977 : 235-285).
Dari sejumlah pendapat yang dipetakan di atas, dapat disimpulkan bahwa
a) secara umum afiks dapat diklasifikasikan ke dalam afiks derivasional dan afiks
infleksional, b) afiks derivasional dapat membentuk leksem baru, sedangkan afiks
infleksional tidak, c) bentuk-bentuk yang sudah mengalami proses derivasi masih
dapat mengalami proses infleksi, tetapi tidak bisa terjadi sebaliknya, d) pada
umumnya, proses derivasi terjadi lebih dulu sebelum mengalami proses infleksi, dan
e) proses derivasi bersifat kurang produktif (ada beberapa idiosinkrasi), sedangkan
proses infleksi bersifat produktif (hampir tidak ditemukan kendala).
162
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Penelitian ini berpegang pada prinsip kerja teori morfologi generatif, yang
semula dicetuskan oleh Chomsky (1970), Halle (1973), Aronoff (1976), Scalies
(1984), dan dimodifikasi Dardjowidjojo (1988). Pemilihan teori ini didasarkan atas
pertimbangan bahwa teori morfologi generatif berpatokan pada cara kerja yang
menekankan proses (Item and Proces) (IP) sehingga mampu menjelaskan bagaimana
proses terbentuknya suatu kata baru. Cara kerja seperti ini mencakup semua proses
yang lazim, mungkin, dan tidak mungkin. Oleh karena itu, pembahasan menyangkut
produktivitas dan kendala produktivitas, sedangkan kajian afiksasi bahasa Indonesia
yang telah dilakukan sebelumnya sebagian besar menggunakan teori struktural
khususnya struktural Amerika yang menerapkan model Item and Arrangement (IA)
sehingga kurang memberi penjelasan bagaimana proses terjadinya suatu bentuk.
Menurut Halle (1973), morfologi terdiri atas tiga komponen yang saling
terpisah: (1) list of morphemes (daftar morfem, selanjutnya disingkat DM); (2) word
formation rules (kaidah/aturan pembentukan kata, selanjutnya disingkat APK); dan
(3) filter (saringan, penapis, tapis) (Halle, 1973 :3-8).
Dalam DM ditemukan dua macam anggota, yaitu akar kata (yang dimaksud
adalah dasar) dan bermacam-macam afiks, baik derivasional maupun infleksional.
Butir leksikal yang tercantum dalam DM tidak hanya diberikan dalam bentuk urutan
segmen fonetik, tetapi harus dibubuhi beberapa informasi gramatikal yang relevan.
Misalnya, write dalam bahasa Inggris harus diberi keterangan : termasuk verba dasar
bukan berasal dari bahasa Inggris dan lain-lain.
Komponen kedua adalah APK, yaitu komponen yang mencakup semua
kaidah tentang pembentukan kata dari morfem-morfem yang ada pada DM. APK
bersama DM menentukan bentuk-bentuk potensial dalam bahasa. Oleh karena itu,
APK menghasilkan bentuk-bentuk yang memang merupakan kata dan bentuk-
bentuk potensial yang belum ada dalam realitas. Bentuk-bentuk potensial
sebenarnya dihasilkan dari kemungkinan penerapan APK dan DM, tetapi bentuk-
bentuk itu tidak ada atau belum lazim digunakan. Misalnya, bentuk mencantik dan
berbus dalam bahasa Indonesia dan ngejuk dan *nyelem dalam bahasa Bali adalah
hasil APK karena semua bentuk itu memenuhi syarat dalam penerapan APK.
163
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
DIAGRAM I
164
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
165
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Kata dasar
a
Bebas
b
Terikat
c
d g
A h
i
f
i e
k j
s f
k
166
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
167
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Verba menombak pada kalimat (1) dibentuk dari dasar verba tombak dan
prefiksasi meN-. Verba tombak diturunkan dari nomina tombak melalui proses
derivasi zero atau konversi. Perubahan tombak menjadi menombak merupakan
proses infleksi karena di samping menombak sebagai verba, juga ditemukan verba
tombak. Misalnya, Tombak babi itu !. Jadi, proses prefiksasi nasal bukan membentuk
kata secara leksikal, tetapi membentuk satuan yang berfungsi untuk menandai
diatesis aktif.
Verba mematuki pada kalimat (2) memiliki kedekatan makna dengan verba
patuki yang dibentuk dari dasar verba patuk dan sufiksasi -i. Perubahan dari patuki
menjadi mematuki bersifat gramatikal. Bentuk mematuki muncul dalam konstruksi
gramatikal yang mementingkan subjek sebagai pelaku, sedangkan konstruksi patuki
mementingkan predikat sebagai tindakan atau perbuatan. Oleh karena itu, sufiks -i
pada mematuki disebut afiks infleksional. Hal ini sama dengan contoh kalimat (3)
yang memiliki bentuk perintah sebagai verba dasar dan sufiksasi -kan, dan
kemudian dibubuhkan prefiks meN-.
Dalam kalimat (4), verba dicegah berasal dari dasar verba cegah dan
prefiksasi di-, sedangkan bentuk aktif ditandai oleh meN-, yaitu mencegah. Jadi, di-
termasuk afiks infleksional.
Afiks pada kalimat (5), (6), (7), dan (8) juga tergolong afiks infleksional,
yaitu sebagai penanda resiprokal, penanda eksesif, dan penanda aksidental. Masing-
masing ditemui pada verba berdebat (5), berpelukan, (6), kehausan dan kelaparan
(7), dan terpelanting (8). Afiks infleksional yang ditemukan pada keempat verba itu
adalah ber-, ber-an, ke-an, dan ter-.
Berdasarkan analisis seluruh kalimat di atas (1--8) dapat disimpulkan
bahwa dalam afiksasi verbal bahasa Indonesia terdapat afiks infleksional. Adapun
afiks infleksional ini meliputi : meN-, di-, kan-, -i, ber-, ber-an, ke-an, dan ter-.
Jenis-jenis makna infleksi yang ditandai oleh masing-masing afiks tersebut akan
diuraikan berikut ini.
168
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
169
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Verba infleksi
(dasar) (dasar + aktif)
Verba imperatif meN - + verba imperatif aktif
Contoh lain dapat dilihat di bawah ini
(12) Ia menombak babi hutan itu tepat pada lambungnya
(13) Dia (kerbau) sering menanduk badanku hingga rusak dan rata dengan tanah.
Pada kedua kalimat di atas, ditemukan verba menombak (12) dan
menanduk (13). Kedua verba ini masing-masing dibentuk dari dasar verba tombak +
prefiks meN- dan dasar verba tanduk + prefiks meN-. Verba dasar tombak dan
tanduk ini masing-masing merupakan hasil derivasi zero atau konversi dari nomina
tombak dan tanduk.
Berdasarkan data yang ditemukan, ternyata tidak semua nomina (alat)
dapat dibentuk menjadi verba. Untuk itu, perhatikan kalimat berikut ini.
(14) Ia merencong Tuanku Patih
Secara morfologis, semestinya verba di atas dapat diterima. Akan tetapi,
verba itu tidak pernah muncul dalam pemakaian. Setidak-tidaknya bentuk itu
dianggap janggal. Di sini perlu dibedakan bentuk berterima (acceptable) dan bentuk
gramatikal (gramatical). Tampaknya, tidak semua bentuk yang gramatikal dapat
dijumpai dalam pemakaian. Ketidak-munculan verba di atas disebabkan oleh adanya
kendala dalam proses produktivitas. Untuk mengganti bentuk *merencong yang
berasal dari rencong dalam bahasa Indonesia ditemukan padanannya yang lebih
tepat, yakni menikam. Tindakan yang dilakukan dengan menggunakan alat seperti di
atas diungkapkan dengan kata menikam. Karena itu, bentuk *merencong tidak
pernah dijumpai dalam pemakaian bahasa Indonesia.
170
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
perubahan fungsi sintaksis, yaitu konstituen yang berfungsi objek pada kalimat aktif
berubah menjadi fungsi subjek pada kalimat pasif. Dalam bahasa Indonesia infleksi
pasif secara teratur ditandai oleh hadirnya prefiks di-, (-kan, -i), ter-, dan klitik pada
verba transitif. Kalimat (15), (16), (17), (18), (19), (20), (21), (22), dan (23) berikut
adalah kalimat pasif yang ditandai oleh hadirnya prefiks di-, (-kan, -i), ter-, dan
klitik ku-, kami, kita, dan kau.
(15) Tapi, akhirnya Cah Saimin dapat diringkus oleh para pengawal kerajaan
Tampuh.
(16) Setelah usianya cukup dewasa, ia dinikahkan dengan seorang gadis cantik
dari Kebayoran Lama (oleh orang tuanya).
(17) Kebun itu ditanami tebu yang tumbuh dengan suburnya (oleh Oheo).
(18) I Gusti Gede Pasekan sangat terkejut mendengar suara gaib itu.
(19) Kedatangan si Kulup di desanya terdengar oleh kedua orang tuanya.
(20) Engkau tadi dapat kukalahkan karena engkau memakai tanduk sehingga
larimu lambat.
(21) Jika tuan berhasil mengangkat perahu kami, sebagian isi muatan perahu akan
kami serahkan kepada Tuan sebagai upahnya.
(22) Kalau begitu, kita hancurkan kerajaan Lodaya.
(23) Kau jemput aku besok saja sebab aku belum mandi.
Kalimat (15), (16), dan (17) memperlihatkan bahwa pasif ditandai oleh prefiks di-
(-kan, -i), kalimat (18) dan (19) ditandai oleh prefiks ter-, dan kalimat (20), (21),
(22), dan (23) masing-masing ditandai oleh klitik ku-, kami, kita, dan kau. Verba
pada kalimat di atas (15--22), yaitu diringkus, dinikahkan, ditanami, terkejut,
kukalahkan, kami serahkan, kita hancurkan, dan kau jemput masing-masing berasal
dari ringkus, nikah, tanam, kejut, kalah, serah, hancur, dan jemput.
Semua kalimat pasif di atas dapat dikembalikan ke dalam bentuk aktifnya
seperti di bawah ini.
(15a) Tapi, akhirnya para pengawal kerajaan Tampuh dapat meringkus Tampuh.
171
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
(16a) Setelah usianya cukup dewasa, orang tuanya menikahkan anaknya dengan
seorang gadis cantik dari Kebayoran Lama.
(17a) Oheo menanami kebun itu dengan tebu yang tumbuh dengan suburnya.
(18a) Suara gaib itu sangat mengejutkan I Gusti Gede Pasekan.
(19a) Kedua orang tuanya mendengar kedatangan si Kulup di desanya.
(20a) Aku tadi dapat mengalahkan engkau karena engkau memakai tanduk
sehingga larimu lambat.
(21a) Jika Tuan berhasil mengangkat perahu kami, kami akan menyerahkan
sebagian isi muatan perahu (ini) kepada Tuan sebagai upahnya.
(22a) Kalau begitu, kita akan menghancurkan kerajaan Lodaya.
(23a) Kau menjemput aku besok saja sebab aku belum mandi.
Tampaknya, baik prefiks di- (-kan, -i), ter-, maupun klitik ku-, kami, kita
dan kau dapat digunakan secara bergantian. Itu berarti baik prefiks di- (-kan, -i),
ter-, maupun klitik ku-, kami, kita, dan kau memiliki fungsi yang sama, yakni sama-
sama pembentuk pasif. Akan tetapi, apabila dikaji lebih mendalam ternyata afiks dan
klitik tersebut memiliki perbedaan prilaku sintaksis. Pelaku pada kalimat pasif yang
ditandai dengan klitik adalah pronomina persona, sedangkan pasif yang ditandai
oleh di- pelakunya nomina nonpronomina, dan ter- bisa kedua-duanya. Prefiks di-
dan ter- bisa diikuti oleh prefosisi oleh, sedangkan klitik tidak. Prefiks ter-
digunakan untuk mengungkapkan suatu proses yang tidak disengaja, sedangkan
prefiks di- dan klitik sebaliknya.
Kalimat pasif (15), (16), (17), (18), (19), (20), (21), (22), (23) dan padanan
aktifnya (15a), (16a), (17a), (18a), (19a), (21a), (22a), (23a) di atas memiliki
hubungan, baik secara sintaksis maupun secara semantik. Secara sintaksis,
penentuan subjek pada kalimat pasif berkaitan dengan objek pada kalimat aktif.
Secara semantik, agen pada kalimat pasif sama dengan agen pada kalimat aktif.
Demikian pula, pasien pada kalimat pasif sama dengan pasien pada kalimat aktif.
Walaupun demikian, kalimat pasif dan kalimat aktif memiliki perbedaan, terutama
pada cara pengemasan informasi yang dikaitkan dengan masalah tematikalisasi. Hal
172
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
itu, selaras dengan pernyataan Gruber (1976 : 157) yang mengatakan bahwa bentuk
pasif tidak mengubah semua unsur makna kalimat aktif.
Sehubungan dengan kalimat pasif, Palmer (1987) mengatakan bahwa
konstruksi pasif adalah konstruksi yang agentless atau tidak menonjolkan konstituen
pada urutan pertama sebagai pemegang peran agen (Periksa kembali kalimat pasif di
atas). Konstruksi pasif berkaitan dengan ketransitifan verba. Artinya, konstruksi
yang dapat dipasifkan adalah konstruksi yang verbanya tergolong verba transitif.
Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa pemasifan berkaitan dengan topikalisasi (1987 :
77-83).
Dalam kaitan dengan topikalisasi Brown dan Miller mengatakan bahwa
konstituen yang dikedepankan ditekankan sebagai pusat pengisahan. Dalam kalimat
aktif subjek agen sebagai pusat pengisahan, sedangkan dalam kalimat pasif subjek
pasien sebagai pusat pengisahan (1980 : 103).
Berkaitan dengan pengedepanan konstituen sebagai pusat pengisahan,
Chafe menyebut konstituen yang dikedepankan sebagai old (informasi lama) dan
konstituen yang mengikutinya sebagai new (informasi baru). Kedua konsep itu dapat
disejajarkan dengan tema-tema atau topik-komen (1970 : 211 ; Bandingkan dengan
Lyons, 1977 : 500-511).
Di atas telah disinggung bahwa aktif-pasif berkaitan dengan ketransitifan
verba. Artinya, pemasifan hanya dapat dilakukan apabila verba pada kalimat itu
tergolong verba transitif. Apabila verba pada kalimat yang bersangkutan tergolong
verba intransitif, maka pemasifan tidak dapat dilakukan. Jadi, kalimat dengan verba
intransitif berikut ini tidak dapat dipasifkan.
(24) Keesokan harinya raksasa sakti mengamuk
(25) Ia menangis minta makan
(26) Putri Nini menikah dengan Gama Dena
(27) Timun Emas pun ikut menyanyi sampai larut malam.
Mengenai masalah ketransitifan verba, Lyons berpendapat bahwa apa yang
secara tradisional disebut verba transitif adalah verba yang memiliki dua valensi dan
173
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
menguasai objek langsung (Lyons, 1977 : 486 ; Bandingkan dengan Spencer, 1991 :
10). Oleh karena verba pada kalimat (24), (25), (26) dan (27) tergolong verba
intransitif, maka dapat dikatakan bahwa keempat verba pada kalimat itu memiliki
satu valensi.
Meskipun kalimat pasif memiliki kaitan dengan kalimat aktif, akan tetapi
tidak semua kalimat aktif dapat dipasifkan. Hal itu disebabkan adanya beberapa
kendala dalam hubungannya dengan aktif-pasif. Dalam bahasa Inggris, Quirk
mencatat adanya lima kendala dalam aktif pasif : (a) kendala verba, (b) kendala
objek, (c) kendala agen, (d) kendala makna, dan (e) kendala frekuensi pemakaian
(Quirk at al., 1985 : 162-126).
Dari semua kendala yang disebutkan di atas, penulis melihat adanya
kendala aktif-pasif dalam bahasa Indonesia, yaitu kendala verba dan kendala makna.
Kendala verba yang dimaksudkan di sini adalah pemasifan tidak dapat dilakukan
karena sejumlah verba yang hanya memiliki bentuk aktif dan tidak memiliki bentuk
pasif, seperti kalimat berikut.
(28) Sang Raja ingin sekali mempunyai seorang anak putri.
(28a) * Seorang anak putri ingin sekali dipunyai oleh Sang Raja
(29) Putri Cermin Cina menjerit kesakitan
(29a) * Kesakitan dijerit oleh Putri Cermin Cina.
Kendala verba yang lain adalah ada (beberapa) kalimat yang berverba pasif
tidak dapat dikembalikan pada konstruksi aktif seperti kalimat berikut.
(30) Dusun Aroempi banyak ditumbuhi tanaman sagu.
(30a) * Tanaman sagu banyak menumbuhi Dusun Aroempi
(31) * Ia benar-benar terpukul hatinya melihat peristiwa tadi
(31a) Melihat peristiwa tadi hatinya benar-benar memukulnya
Di samping kendala verba, dalam bahasa Indonesia juga ditemukan kendala
makna sehingga pemasifan tidak dapat dilakukan. Kendala makna yang
dimaksudkan adalah makna kalimat aktif tidak persis sama dengan kalimat pasif.
174
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Misalnya, kalimat (31) dan (31a), (32), (32a), dan (32b) berikut ini tidak memiliki
makna yang sama.
(31) Suatu ketika Sanggmaima berburu babi hutan
(31a) * Suatu ketika babi hutan diburu oleh Sanggmaima.
(32) Ibu mau menanam padi dulu
(32a) * Padi mau ditanam dulu oleh ibu
(32b) * Padi mau ibu tanam dulu
Proses infleksi pasif dalam bahasa Indonesia dapat dirumuskan sebagai
berikut.
Verba dasar/pangkal Infleksi
(Verba aksi/pangkal) (dasar/pangkal + pasif)
Verba aksi/pangkal di- (-kan, -i) / ter- / klitik +
verba aksi/pangkal pasif
175
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Verba berdebat (33), bertempur (34) masing-masing berasal dari ber- dan
debat (verba dasar), ber- dan tempur (bentuk prakategorial atau pangkal), sedangkan
verba berkenalan (35), berpelukan (36), dan berpapasan (37) masing-masing
berasal dari kenal (pangkal), peluk (verba dasar, biasa dipakai sebagai imperatif),
dan papas (bentuk prakategorial). Ketiga bentuk tersebut mendapat konfiks ber-an
sehingga membentuk verba seperti pada (35), (36), dan (37). Secara semantik,
kelima verba di atas telah menyiratkan adanya dua pelaku atau lebih karena tindakan
berdebat, bertempur, berkenalan, berpelukan, dan berpapasan tidak dapat dilakukan
oleh seorang pelaku.
Kaidah resiprokal prefiks ber- dan ber-an dapat disajikan sebagai berikut
Pangkal /verba dasar Infleksi
(pangkal atau verba dasar) Pangkal/verba dasar + resiprok)
Pangkal/dasar ber-/ber-an + pangkal/dasar
saling, beralasan
176
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
(41) Ia jatuh
(42) Balik !
(43) Lempar batu itu !
Berdasarkan data yang ada, infleksi aksidental dapat dilakukan pada verba
intransitif. Proses infleksi aksidental dalam bahasa Indonesia dapat dikaidahkan
sebagai berikut.
Verba dasar/pangkal Infleksi
(Verba aksi / pangkal) (dasar / pangkal + aksidental)
Verba dasar / pangkal ter- + dasar/pangkal
tiba-tiba/tidak disengaja
177
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
178
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
179
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
V. PENUTUP
4.1. Simpulan
Kajian Afiksasi Infleksional dalam Bahasa Indonesia ini mengungkapkan
permasalahan seputar proses morfologis khususnya proses pembubuhan afiks
infleksi yang menghasilkan verba bahasa Indonesia. Permasalahan yang berhasil
dipecahkan dalam penelitian ini dapat dipilah menjadi dua bagian pokok: (1)
pengelompokan afiks infleksi dan (2) makna infleksi yang disebabkan oleh
pembubuhan afiks. Kajian ini dilakukan terhadap bahasa Indonesia standar ragam
tulis. Sumber datanya adalah kumpulan cerita rakyat dari seluruh Indonesia yang
berjudul Dongeng Rakyat Se- Nusantara.
Kajian ini berpatokan pada prinsip kerja teori morfologi generatif, yang
semula dicetuskan oleh Chomsky (1970), Halle (1973), Aronoff (1976), Scalise
(1984), dan dimodifikasi oleh Dardjowidjojo (1988). Konsep dasar infleksi yang
diterapkan dalam penelitian ini bersumber pada konsep dasar infleksi dalam bahasa
Inggris yang dikemukakan oleh Aronoff (1976), Malmkjaer (1991), Spencer (1991),
180
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
dan Robins (1959 dan 1998). Prinsip dasar ini disesuaikan dengan kenyataan yang
ada dalam bahasa Indonesia.
Teori morfologi generatif adalah teori yang paling mutahir untuk kajian
morfologi. Teori ini sangat tepat digunakan untuk menganalisis afiksasi bahasa
Indonesia karena teori morfologi generatif berpatokan pada cara kerja yang
menekankan proses (Item and Proces) (IP) sehingga mampu menjelaskan bagaimana
proses terbentuknya suatu kata baru. Cara kerja seperti ini mencakup semua proses
yang lazim, mungkin, dan tidak mungkin. Oleh karena itu, pembahasan menyangkut
produktivitas dan kendala produktivitas.
Berdasarkan hasil analisis data, ada sejumlah afiks yang tergolong afiks
infleksi dalam bahasa Indonesia: (1) prefiks meN-, ber-, di-, dan ter-; (2) sufiks -i
dan -kan; dan (3) konfiks ber-an dan ke-an. Makna infleksi yang timbul sebagai
akibat pembubuhan afiks dalam bahasa Indonesia adalah (1) aktif, yang ditandai
oleh prefiks meN- (-kan, -i); (2) pasif, yang ditandai oleh prefiks di- (-kan, -i), ter-
dan pronomina persona/klitik (ku-, kau, kami, kita); (3) resiprokal
(saling/berbalasan), yang ditandai oleh prefiks ber- dan konfiks ber-an; (4)
aksidental (tiba-tiba/tidak disengaja), yang ditandai oleh prefiks ter-; (5) eksesif
(sifat atau keadaan yang berlebihan), yang ditandai oleh konfiks ke-an; (6) iteratif
(jamak/berulang-ulang), yang ditandai oleh sufiks -i atau konfiks ber-an; dan (7)
irregular (ketidakteraturan aksi/tindakan ke sana ke mari), yang ditandai oleh ber-an.
4.2. Saran
Penelitian mengenai afiksasi infleksional bahasa Indonesia ini merupakan
kajian yang sangat terbatas, baik mengenai ruang lingkup pembahasannya maupun
mengenai sumber datanya. Oleh karena itu, sangat diperlukan kajian lebih lanjut
tentang hal ini. Jika memungkinkan sangat penting sekali dilakukan penelitian
terhadap proses morfologis bahasa Indonesia yang lebih luas dan mendalam
berdasarkan teori morfologi generatif mengingat kajian morfologi bahasa Indonesia
dengan menggunakan pendekatan ini masih sangat terbatas sekali.
181
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
DAFTAR RUJUKAN
182
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
183
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Oleh
I Wayan Gunartha
e-mail: W.gunartha@yahoo.com
Abstract
184
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
185
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
186
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
dimaksud dengan asesmen portofolio? (2) Apakah tujuan dan fungsi asesmen
portofolio? (3) Apa kelebihan dan kekurangan asesmen portofolio? dan (4)
Bagaimanakah aplikasi asesmen portofolio dalam pembelajaran Bahasa Indonesia ?
B. Pembahasan
1. Pengertian Asesmen Portofolio
Istilah portofolio pertama kali digunakan oleh kalangan fotografer dan
artis (Arifin, 2009: 197). Melalui portofolio, fotografer dapat memperlihatkan
prosfektif pekerjaan mereka kepada pelanggan dengan menunjukkan koleksi
pekerjaan yang dimilikinya. Dalam dunia pendidikan, portofolio dapat digunakan
guru melihat perkembangan peserta didik dari waktu ke waktu berdasarkan
kumpulan hasil karya sebagai bukti suatu kegiatan pembelajaran. Menurut para ahli,
portofolio memiliki beberapa pengertian. Ada yang memandang sebagai benda/alat,
dan ada yang memandang sebagai metode/teknik/cara. Portofolio sebagai wujud
kumpulan benda fisik, yakni kumpulan dokumentasi atau hasil pekerjaan peserta
didik yang disimpan dalam suatu bendel. Portofolio ini merupakan karya terpilih
dari peserta didik, baik perseorangan, maupun kelompok.
Popham (1994) menjelaskan asesmen portofolio merupakan penilaian
secara berkesinambungan dengan metode pengumpulan informasi atau data secara
sistematik atas hasil pekerjaan peserta didik dalam kurun waktu tertentu. Definisi
ini hampir sama dengan yang disampaikan oleh Depdiknas (2006: 167), yang
mendefinisikan penilaian portofolio sebagai penilaian berkelanjutan yang didasarkan
pada kumpulan informasi yang menunjukkan perkembangan kemampuan peserta
didik dalam suatu periode tertentu. Informasi tersebut dapat berupa karya peserta
didik dari proses pembelajaran yang dianggap terbaik oleh peserta didik, hasil tes
(bukan nilai) atau bentuk informasi lain yang terkait dengan kompetensittn dalam
suatu mata pelajaran. Menurut Reckase (1995), portofolio adalah kumpulan karya
peserta didik yang menunjukkan usaha, kemajuan, dan prestasi peserta didik dalam
suatu bidang (dalam Mardapi, 2005: 7).
187
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
188
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
prestasi peserta didik dalam belajar dalam kurun waktu tertentu (Arifin, 2009: 200).
Menurut Surapranata dan Hata (2004), penilaian portofolio dapat digunakan untuk
mencapai beberapa tujuan, yaitu menghargai perkembangan yang dialami peserta
didik, mendokumentasikan proses pembelajaran yang berlangsung, memberi
perhatian pada prestasi kerja peserta didik yang terbaik, merefleksikan kesanggupan
mengambil risiko dan melakukan refleksi diri, membantu peserta didik dalam
merumuskan tujuan.
Sedangkan, fungsi portofolio dapat kita lihat dari berbagai segi, yaitu:
a. Portofolio sebagai sumber informasi bagi gudan orang tua untuk
mengetahui pertumbuhan dan perkembangan kemampuan peserta didik,
tanggung jawab dalam belajar, perluasan demensi belajar dan inovasi
pembelajaran.
b. Portofolio sebagai alat pembelajaran merupakan komponen kurikulum
karena portofolio mengharuskan peserta didik untuk mengoleksi dan
menunjukkan hasil kerja mereka.
c. Portofolio sebagai alat penilaian otentik (authentic assessment).
d. Portofolio sebagai sumber informasi bagi peserta didik untuk
melakukan self-assessment. Maksudnya, peserta didik mempunyai
kesempatan yang banyak untuk menilai diri sendiri dari waktun ke
waktu.
Selanjutnya, Direktorat PLP-Ditjen Dikdasmen-Depdiknas (2003)
mengemukakan bahwa penilaian portofolio dapat digunakan untuk: (a) memperlihat
perkembangan pemikiran atau pemahaman siswa pada periode waktu tertentu, (b)
menunjukkan suatu pemahaman dari beberapa konsep, topik, dan isu yang
diberikan, (c) mendemonstrasikan perbedaan bakat, (d) mendemonstrasikan
kemampuan untuk memproduksi atau mengkreasi suatu pekerjaan baru secara
orisinal, (e) mendokumentasikan kegiatan selama periode waktu tertentu, (f)
mendemonstrasikan kemampuan menampilkan suatu karya seni, (g)
189
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
190
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
191
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
untuk penilaian, tetapi digunakan juga oleh peserta didik sendiri. Dengan
melihat portofolionya peserta didik dapat mengetahui kemampuan,
keterampilan, dan minatnya.
2. Tentukan bersama peserta didik sampel-sampel portofolio apa saja yang
akan dibuat. Portofolio antara peserta didik yang satu dengan yang lain bisa
sama bisa berbeda. Misalnya untuk kemampuan menulis peserta didik
mengumpulkan karangan-karangannya, sedangkan untuk kemampuan
menggambar, peserta didik mengumpulkan gambar buatannya.
3. Kumpulkan dan simpanlah karya-karya tiap peserta didik dlam satu map
atau folder di rumah masing-masing atau loker masing-masing di sekolah.
4. Berilah tanggal pembuatan pada setiap bahan informasi perkembangan
peserta didik sehingga dapat dilihat perbedaan kualitas dari waktu ke
waktu.
5. Sebaiknya tentukan kriteria penilaian sampel portofolio dan botnya dengan
peserta didik sebelum mereka membuat karyanya. Misalnya, kriteria
kemampuan menulis karangan, yaiyu: penggunaan tata bahasa, pilihan kata,
kelengkapan gagasan, dan sistematika penulisan. Dengan demikian, peserta
didikmengetahui harapan (standar) guru dan berusaha mencapai standar
tersebut.
6. Minta peserta didik menilai karyanya secara berkesinambungan. Guru
dapat membimbng peserta didik, bagaimana cara menilai dengan member
keterangan tentang kelebihan dan kekurangan karya tersebut, serta
bagaimana cara memperbaikinya. Hal itu dapat dilakukan pada saat
membahas portofolio.
7. Setelah suatu karya dinilai, dan nilainya belum memuaskan, maka peserta
didik diberi kesempatan untuk memperbaiki. Namun, antara peserta didik
dan guru, perlu ada kontrak atau perjanjian mengenai jangka waktu
perbaikan, misalnya dua minggu harus diserahkan kepada guru.
192
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Kriteria
Tata Kosa Kelengkapan Sistematika Ket.
No. SK/KD Periode
Bahasa kata gagasan Penulisan
1 Menulis 30/7
karangan 10/8
deskriptif
Dst.
2 Membuat 1/9
resensi 30/9
buku
10/10
dst
Catatan:
Setiap karya siswa sesuai Standar Kompetensi/Kompetensi dasar yang masuk
dalam portofolio dikumpulkan dalam satu file (tempat) untuk setiap peserta
didik sebagai pekerjaannya. Skor untuk setiap kriteria menggunakan skala 0-
10 atau 0-100. Semakin baik hasil yang terlihat dari tulisan peserta didik,
semakin tinggi skor yang diberikan. Kolom keterampilan diisi dengan catatan
guru tentang kelemahan dan kekuatan tulisan yang dinilai.
193
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Kelas : II
Rentangan Waktu : Satu semester
Nama Siswa : ..
Isi Portofolio
Bagian 1 (Kumpulan karya siswa dan tahapan prosesnya)
Bagian I berisi sejumlah proses penyusunan dan hasil akhir karya siswa.
Jumlah dan jenis kompetensi menulis yang akan didokumentasikan disesuaikan
dengan KD dalam kurikulum. Proses dan hasil karya dipaparkan sebagai berikut.
A. Kompetensi Menulis puisi
- Perencanaan penulisan (topik yang dipilih, cara pembatasan topik)
- Buram puisi
- Hasil penyuntingan-penyuntingan yang dilakukan
- Hasil akhir prnulisan puisi
B. Kompetensi menulis Cerpen
- Perencanaan penulisan cerpen (pokok persoalan yang dipilih)
- Buram cerita pendek
- Hasil penyuntingannya
- Hasil akhir penulisan cerpen
C. Kompetensi ..
D. Kompetensi(dan seterusnya)
194
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
dan alasan-alasan yang mendukungnya. Selain dari pihak siswa, bagian 3 ini juga
berisi simpulan dari pihak guru tentang proses dan produk karya yang dihasilkan
siswa.
Sebagai mana disinggung di bagian sebelumnya, portofolio diharapkan
dapat memberikan balikan bagi siswa maupun guru serta dapat menggambarkan
pertumbuhan kemampuan siswa. Untuk itu, penilaian portofolio harus dilakukan
pada awal, tengah, dan akhir pembelajaran. Guru dan siswa harus menyepakati
kapan penilaian awal, tengah, dan akhir dilakukan. Penilaian karya produktif
(menulis dan berbicara) memerlukan bantuan rubrik agar penilaian lebih terpokus.
Portofolio dinilai dengan cara menganalisis, membandingkan, dan
menyimpulkan bukti proses penulisan. Untuk tujuan memberikan balikan, setiap
karya dianalisis kemudian disimpulkan apakah karya tersebut membuktikan bahwa
siswa telah belajar sesuatu. Simpulan ini disampaikan kepada siswa sebagai
balikan. Hasil penilaian portofolio haru ditindaklanjuti dengan berbagai latihan
tambahan yang diperlukan sesuai dengan hasil penilaian. Misalnya, siswa perlu
diberi kesempatan berlatih menyusun kerangka karangan karena portofolio
menunjukkan bahwa kemem siswa dalam menyusun kerangka karangan belum
memadai.
195
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
C. Kesimpulan
Asesmen Portofolio adalah asesmen berkelanjutan yang didasarkan
kumpulan informasi yang menunjukkan perkembangan kemampuan peserta didik
dalam satu periode tertentu. Informasi tersebut dapat berupa karya peserta didik dari
proses pembelajaran yang dianggap terbaik oleh peserta didik, hasil tes (bukan
nilai), atau bentuk informasi lain yang terkait dengan kompetensi tertentu dalam satu
196
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
mata pelajaran. Asesmen portofolio pada dasarnya menilai karya-karya siswa secara
individu pada satu periode untuk suatu mata pelajaran. Akhir suatu periode, karya
tersebut dinilai oleh guru dan peserta didik. Berdasarkan informasi perkembangan
tersebut, guru dan peserta didik sendiri dapat menilai perkembangan kemampuan
peserta didik dan terus melakukan perbaikan. Dengan demikian, portofolio dapat
memperlihatkan perkembangan kemajuan belajar peserta didik melalui karyanya,
antara lain: karangan, puisi, surat, hasil membaca buku/literatur, hasil penelitian,
hasil wawancara, dan lain-lain. Karya siswa harus merupakan karyanya sendiri,
bukan dibuatkan orang lain.
Adapun tujuan asesmen portofolio ini adalah untuk memberikan informasi
kepada orang tua siswa tentang perkembangan peserta didik secara lengkap dengan
dukungan data dan dokumen yang akurat. Portofolio ini boleh dikatakan lampiran
dari rapor peserta didik. Disamping itu, portofolio ini bertujuan untuk menghargai
perkembangan yang dialami peserta didik, mendokumentasikan proses
pembelajaran, memberikan perhatian pada prestasi kerja peserta didik yang terbaik,
meningkatkan efektivitas proses pembelajaran, dan lain-lain. Sedangkan fungsi
portofolio adalah sebagai sumber informasi bagi guru dan orang tua untuk
mengetahui pertumbuhan dan perkembangan kemampuan peserta didik, sebagai alat
penilaian otentik (authentic assessment), sebagi sumber informasi bagi peserta didik
untuk melakukan self-assessment.
Asesmen portofolio memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan
asesmen konvensional, antara lain: (1) dapat melihat pertumbuhan dan
perkrmbangan kemampuan peserta didik dari waktu ke waktu, (2) membantu guru
dalam melakukan penilaian secara adil, objektif, transparan, dan dapat
dipertanggungjawabkan tanpa mengurangi kreativitas peserta didik di kelas, (3)
melatih peserta didik bertanggung jawab, (4) meningkatkan peran serta peserta didik
secara aktif dalam pembelajaran,dan (5) member kesempatan kepada peserta didik
untuk meningkatkan kemampuan mereka. Kekurangannya antara lain:
membutuhkan waktu dan kerja ekstra, dianggap kurang reliabel, belum banyak guru
197
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
yang memahaminya, kriteria penilaian tidak jelas, sulit diterapkan untuk ujian
nasional.
Dalam aplikasinya dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, asesmen
portofolio dapat dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah (1) Jelaskan kepada
peserta didik bahwa penggunaan portofolio tidak hanya untuk guru, tetapi juga
untuk siswa sendiri, (2) Tentukan bersama siswa sampel portofolio apa saja yang
akan dibuat, (3) Simpanlah karya setiap peserta didik dalam suatu map atau folder di
rumah masing-masing atau di sekolah, (4) Beri tanggal pembuatan pada tiap bahan
informasi perkembangan peserta didik, (5) Tentukan kriteria penilaiannya serta
bobot nilainya dengan peserta didik sebelum mereka membuat karya, (6) Minta
siswa menilai karyanya secara berkesinambungan, atas bimbingan guru, (7) beri
kesempatan kepada peserta didik utu memperbaiki karya yang belum memuaskan,
(8) Jadwalkan (bila perlu) pertemuan untuk membahas portofolio dengan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zaenal. 2009. Evaluasi Pembelajaran Prinsip, Teknik, Prosedur. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Arter, Judith A. and Vicki Spandel. Using Portofilio of Student Work in Instruction
and Assessment. ITEM.
Depdiknas. 2006. Pedoman Model Penilaian Kelas Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan TK-SD-SMP-SMA-SMK-MI-MTs-MA-MAK. Jakarta: BP
Cipta Jaya.
Harsiati, Titik. 2003. Penilaian otentikdlm pembelajaran Bahasa Indonesia.
Makalah.
Johnson, D. W., Johnson, R. T. 2002. Meaningful assessment. Boston: Allyn and
Bacon.
Mardapi, Djemari. 2005. Penilaian model portofolio pada pembelajaran berbasis
kompetensi di perguruan tinggi. Makalah disampaikan pada Seminar
Penilaian Portofolio untuk Pembelajaran Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian Universitas Sebelas Maret 30 Maret 2005 di Surakarta.
Supranata, S. dan Hatta, M. 2004. Penilaian Portofolio. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
198
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Biodata Penulis:
- Penulis adalah Lektor Kepala dalam Bidang Evaluasi Pendidikan dan Bekerja
Sebagai Dosen Kopertis Wilayah VIII, Dpk Pada Program Studi Pendidikan
Bahasa Indonesia dan Daerah, FPBS IKIP PGRI Bali Denpasar.
- Saat ini penulis masih tercatat sebagai mahasiswa Program Doktor sejak tahun
akademik 2010/2011, dan sedang menyelesaikan disertasi tentang
Pengembangan Model Evaluasi Program Pembelajaran Anak Usia dini.
Oleh
Dewa Ayu Widiasri
199
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
200
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
diajarkan. Bahasa Bali diajarkan mulai dari taman kanak-kanak, SD, SMP, SMA,
juga dalam universitas yang berkaitan dengan pembelajaran bahasa Bali.
Pembelajaran bahasa Bali meliputi empat aspek keterampilan yakni
keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan
keterampilan menulis. Semua aspek tersebut sangat penting untuk dipelajari, akan
tetapi di dalam lingkungan masyarakat salah satu aspek dari ke empat aspek tersebut
ada yang paling penting yaitu aspek berbicara. Dalam kehidupan sehari-hari ternyata
manusia dihadapkan dengan berbagai kegiatan yang menuntut keterampilan
berbicara. Seperti pengajaran tata karma dan adat istiadat dalam masyarakat selalu
diajarkan dengan cara lisan. Hal ini tidak hanya berlaku dalam kalangan masyrakat
tradisional tetapi masih berlaku juga dikalangan masyarakat modern. Jadi, semua
kalangan masyarakat perlu memiliki keterampilan berbicara.
Keterampilan berbicara bisa ditampilkan dengan berbagai macam
kreativitas. Salah satu bentuk kreativitas dalam berbicara yaitu berpidato. Banyak
kegiatan dalam kehidupan masyarakat Bali yang memakai pidato. Seperti, dalam
acara lamaran, pernikahan, peresmian, dan lain sebagainya. Berpidato merupakan
suatu keterampilan berbicara yang memerlukan keahlian berbicara dan mental yang
bagus karena, berpidato itu selalu dilakukan di depan umun atau di depan orang
banyak.
Keterampilan berpidato sangat penting dalam kehidupan masyarakat Bali.
Memandang hal tersebut, pemerintah di bidang pendidikan mencantumkan
keterampilan berpidato bahasa Bali kedalam kurikulum pembelajaran bahasa Bali.
Hal itu dibuktikan dalam pembelajaran bahasa Bali di kalangan siswa SMA dari
kelas X hingga kelas XII semester satu dan dua yang pertama tercantum dalam
silabus adalah pelajaran pidato. Dalam pembelajaran pidato tersebut terdapat
indikator-indikator yaitu siswa dapat memahami isi pidato, siswa dapat
menyampaikan isi pidato, dan yang terakhir siswa mampu berpidato bahasa Bali.
Metode pemodelan merupakan suatu metode yang menggunakan seorang
model di depan kelas. Model yang ditampilkan dalam pengajaran pidato bahasa Bali
201
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
adalah seseorang yang sudah terampil dalam berpidato bahasa Bali. Setiap metode
pasti ada kekurangan dan kelebihannya. Begitu pula dengan metode pemodelan.
Adapun kelemahan atau kekurangan dari metode pemodelan ini yaitu, susahnya
mencari orang yang benar-benar terampil dalam berpidato bahasa Bali. Sedangkan
kelebihan daripada metode pemodelan tersebut adalah dengan melihat model yang
di tampilkan, siswa dapat memahami secara langsung apa itu pidato dan bagaimana
cara penyampaiannya. Selain itu guru juga lebih praktis dalam mengajar. Dalam
mengajar pidato tersebut guru tidak mengahabiskan tenaga banyak untuk
menjelaskan. Guru hanya perlu menjawab pertanyaan siswa apabila ada yang
mereka tidak ketahui atau tidak mereka mengerti mengenai pidato bahasa Bali
tersebut.
Metode pemodelan merupakan suatu metode yang baru bagi siswa. Dengan
adanya perubahan metode dalam pengajaran berpidato bahasa Bali siswa akan lebih
antusias dalam belajar. Semangat yang baik dalam belajar merupakan awal dari
suatu keberhasilan. Keberhasilan yang dimaksud adalah peningkatan keterampilan
berpidato siswa melalui penerapan metode pemodelan.
Tujuan Penelitian ini adalah :
1. Tujuan Umum
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran
umum mengenai metode pemodelan terhadap pembelajaran berpidato bahasa Bali di
SMA Negeri1 Petang. Baik itu perencanaan, pelaksanaan, dan keberhasilan dari
kegiatan pembelajaran itu sendiri serta pembaharuan-pembaharuan yang digunakan
untuk meningkatkan keterampilan anak atau siswa di dalam berpidato. Dalam hal ini
secara implisit juga bertujuan untuk dapat memberikan sumbangan pemikiran dan
memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan yang
berhubungan dengan pemilihan metode pembelajaran dalam meningkatkan
keterampilan berpidato bahasa Bali siswa di dalam penelitian selanjutnya.
2. Tujuan Khusus
202
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Secara khusus tujuan yang ingin dicapai dalam penelitia ini adalah sebagai
berikut.
1) Untuk meningkatkan kemampuan berpidato bahasa Bali siswa kelas X1
SMA Negeri 1 Petang, Badung tahun pelajaran 2010/2011 melalui
penerapan metode pemodelan.
2) Untuk mengetahui respon siswa kelas X1 SMA Negeri 1 Petang, Badung
tahun pelajaran 2010/2011 dalam berpidato bahasa Bali melalui penerapan
metode pemodelan.
Manfaat dari Penelitian ini adalah sebagai berikut,
1) Bagi guru bahasa daerah Bali, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai
umpan balik atas kemampuan siswanya dalam berpidato bahasa Bali.
Dengan demikian, guru akan dapat memperbaiki strateginya terutama
dalam pemilihan metodenya.
2) Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai suatu bentuk
pengalaman dalam memilih strategi pembelajaran pidato bahasa Bali.
3) Bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang
positif dalam meningkatkan mutu sekolah dan efektifitas pembelajaran
bahasa Bali pada umumnya.
4) Bagi pengembang kurikulum, hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan
dalam rangka penyusunan kurikulum berikutnya terutama berkenaaan
dengan penataan materi pidato bahasa Bali dalam kerangka pembelajaran
bahasa dan sastra Bali.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas atau classroom action
research, yang memiliki tujuan untuk memperbaiki kualitas pembelajaran,
menanggulangi permasalahan yang dihadapi siswa dalam proses belajar mengajar,
serta mengujicobakan langkah-langkah pembelajaran yang baru untuk meningkatkan
nilai yang maksimal bagi siswa.
203
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
204
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
siklus dilaksanakan dua kali pertemuan. Dalam satu siklus terdiri dari perencanaan,
pelaksanaan tindakan, observasi-evaluasi, dan refleksi.Siklus yang direncanakan ini
tidaklah mutlak. Siklus bisa saja ditambah sampai ditemukan adanya peningkatan
dalam berpidato bahasa Bali.
Rancangan penelitian juga berfungsi untuk menjelaskan atau
mendeskripsikan tentang pemanfaatan pemodelan dalam berpidato bahasa Bali
siswa kelas X1 SMA Negeri 1 Petang tahun pelajaran 2010/2011. Adapun rancangan
penelitian seperti bagan di bawah ini.
RANCANGAN
PENELITIAN TINDAKAN KELAS
Perencanaan
(1)
205
Observasi-evaluasi
(3)
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
206
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
P = x 100
Keterangan :
P = Persentil
X = Skor standar yang dicapai
SMI = Skor Maksimal Ideal
Setelah SMI dan skor mentah masing-masing siswa ditetapkan, maka pengubahan
skor mentah menjadi skor standar untuk masing-masing siswa dapat dihitung seperti
contoh berikut.
Contoh mengubah skor mentah menjadi skor standar :
207
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
1) Misalkan seorang siswa x memperoleh skor mentah 15, maka skor standarnya
adalah :
15
P= x 100
25
= 60
2) Misalkan seorang siswa x memperoleh skor mentah 22, maka skor standarnya
adalah :
25
P= x100
25
= 88
Data tentang aktivitas berpidato bahasa Bali siswa dianalisis dengan
statistik deskriptif dan penyimpulannya didasarkan atas skor rata-rata (mean) dengan
pedoman konversi sebagai berikut.
Interval Kualifikasi
0 39,9 Sangat kurang
40,0 54,9 Kurang
55,0 69,9 Cukup
70,0 84,5 Baik
85,0 100 Sangat baik
Dengan demikian, aktivitas berpidato bahasa Bali siswa selama proses pembelajaran
dikatakan memiliki aktivitas baik jika dari analisis diperoleh aktivitas siswa minimal
baik.
Langkah selanjutnya setelah mengubah skor mentah menjadi skor standar
dalam pengolahan adata adalah mencari nilai rata-rata. Rata-rata (mean) ini didapat
dengan mengumpulkan skor standar kemudian dibagi jumlah subjek.
Untuk memperoleh rata-rata hasil belajar, dipergunakan rumus sebagai berikut :
fx
M=
N
208
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Keterangan :
M = mean (nilai rata-rata)
fx = jumlah skor
N = jumlah individu
(Nurkancana dan Sumartana, 1992:152)
Kriteria ini dibuat untuk mengklasifikasikan keterampilan siswa dalam berpidato
bahasa Bali melalui penerapan metode pemodelan, dalam materi pidato bahasa Bali.
Berdasarkan perolehan nilai setiap siswa, maka akan lebih jelas diketahui
dimana tingkat keberhasilan siswa dalam berpidato bahasa Bali melalui penerapan
metode pemodelan.
Langkah terakhir dalam mengolah data adalah menentukan simpulan.
Apakah penerapan metode pemodelan dalam meningkatkan keterampilan berpidato
bahasa Bali dapat berhasil atau tidak, semua itu dapat dicari dengan cara
membandingkan rata-rata dari masing-masing siklus. Apabila rata-rata dari masing-
masing siklus mengalami peningkatan, maka penerapan metode pemodelan untuk
meningkatkan keterampilan berpidato bahasa Bali siswa kelas X1 SMA Negeri 1
Petang dapat dinyatakan berhasil.
209
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
siswa, pertemuan ke dua untuk pelaksanaan tes.Materi yang dibahas pada siklus I
mengenai pidato bahasa Bali.
Sesuai dengan rancangan penelitian yang dikemukakan, maka hasil
penelitian pada siklus I dapat disajikan sebagai barikut.
Pada perencanaan siklus I, kegiatan yang dilakukan peneliti adalah
penyusunan rencana pembelajaran (terlampir), penyusunan instrumen (terlampir),
apersepsi mengenai kegiatan pembelajaran berpidato bahasa Bali melalui penerapan
metode pemodelan.
Pada tahap pelaksnaan tindakan ini, guru bidang studi bahasa daerah Bali
melaksanakan pembelajaran berdasarkan rencana pembelajaran (terlampir) yang
telah disusun pada tahap perencanaan yaitu rencana pembelajaran yang mengacu
pada penerapan metode pemodelan untuk meningkatkan keterampilan berpidato
bahasa Bali. Adapun langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan pada tahap ini
adalah sebagai berikut.
1) Sebelum melaksanakan pembelajaran di kelas, guru terlebih dahulu
mengucapkan salam sesuai dengan salam yang dipakai oleh umat Hindu
(mengingat para siswa umumnya berada pada lingkungan masyarakat Hindu).
2) Guru melaksanakan apersepsi, yaitu memberikan motivasi belajar dengan
tujuan agar siswa memiliki kesiapan dalam proses belajar.
3) Guru memberikan penjelasan kepada siswa sesuai dengan materi yang terkait
yakni tentang pidato bahasa Bali. Selanjutnya guru menghadirkan seorang
model, dalam hal ini siswa ditugaskan berpidato sesuai dengan model yang
telah disajikan.
4) Berdasarkan hasil berpidato siswa setelah menyimak model orator yang
diperoleh, kemudian guru mengarahkan siswa untuk mencermati kembali
beberapa hal yang penting sehingga diperoleh simpulan yang berupa materi
atau konsep yang mesti dipelajari.
Kegiatan observasi dan evaluasi dilaksanakan secara continue setiap
pertemuan. Guru mengadakan observasi selama proses belajar berlangsung, dengan
mencatat segala peristiwa yang terjadi ketika berlangsungnya proses pembelajaran.
210
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
211
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
212
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Keterangan :
M = nilai rata-rata
fx = jumlah skor
N = jumlah siswa
Dengan demikian, nilai rata-rata siswa pada tahap pre-test adalah:
1868
M =
32
= 58,375 = 58 (dibulatkan)
Nilai rata-rata siswa pada siklus I adalah:
2420
M =
32
= 75,6 = 76 (dibulatkan)
= 87,13 = 87 (dibulatkan)
214
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
pemodelan dapat meningkatkan keterampilan berpidato bahasa Bali oleh siswa kelas
X1 SMA Negeri 1 Petang tahun pelajaran 2010/2011 dapat diterima.
4. PENUTUP
Berdasarkan analisis dan pembahasan penelitian yang penelitiannya
dilaksanakan pada kelas X1 SMA Negeri 1 Petang dalam pembelajaran bahasa Bali
khususnya apresiasi berpidato bahasa Bali, dapat disimpulkan sebagai berikut.
1) Metode pemodelan dapat meningkatkan keterampilan berpidato bahasa Bali
oleh siswa kel,as X1 SMA Negeri 1 Petang, Badung tahun pelajaran
2010/2011. Ini dibuktikan dengan meningkatnya kemampuan siswa dalam
berpidato bahasa Bali yang terlihat dari observasi awal, siklus I, dan siklus II
dimana nilai rata-rata pada observasi awal sebesar 58 ; pada siklus I sebesar 76
dan pada siklus II meningkat menjadi 87. Dari hasil tersebut, dinyatakan
bahwa siswa kelas X1 SMA Negeri 1 Petang memperoleh predikat baik dalam
berpidato bahasa Bali melalui penerapan metode pemodelan.
2) Respon siswa kelas X1 SMA Negeri 1 Petang terhadap penerapan metode
pemodelan dalam upaya peningkatan keterampilan berpidato bahasa Bali
sangatlah baik, siswa merasa sangat terbantu dengan diterapkannya metode
pemodelan guna menggali dan mengasah kemampuan, minat, serta bakat siswa
dalam hal berpidato bahasa Bali.
Berdasarkan simpulan (1) di atas, disarankan kepada guru bahasa daerah
Bali untuk dapa tmenerapkan metode pemodelan dalam meningkatkan keterampilan
berpidato bahasa Bali siswa. Karena penerapan metode pemodelan sudah terbukti
dapat meningkatkan hasil belajar berpidato bahasa Bali mulai dari observasi awal,
siklus I, siklus II yang sudah mengalami peningkatan yang cukup besar.
Berdasarkan simpulan (2) di atas, disarankan kepada guru bahasa Bali untuk
menerapkan metode pemodelan untuk dapat lebih meningkatkan respon siswa
dalam mengikuti proses belaja rmengajar terutama dalam pembelajaran bahasa
daerah Bali. Karena berkat penerapan metode pemodelan respon siswa telah
215
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, Suharasimi,1997. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.
-------------------------, 2006. Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Jakarta : Bumi
Aksara.
Daryanto. 1999. Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.
Deberah A. Mellrath dan Wlliam G Hait. 2009. Teori Pembelajaran dan
Pengajaran.
Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Bali.2004. Kurikulum Standar Kompetensi
Muatan Lokal Mata Pelajaran Bahasa Daerah Bali
Evendhy Siregar, dkk. 1998. Teknik Berpidato. Jakarta : Sarana Aksara Pelita
Etik Elfi Endrawati. Peningkatan Kemampuan Bermain Drama dengan Teknik
Pemodelan di kelas V SD Negeri Karangsono 02 Kecamatan Kanigoro
Kabupaten Blitar. Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas
Negeri Malang
Gulo,W. 2000. Metodologi Penelitian. Jakarta : PT.Gramedia Widiasarana.
Prof. W. James, Pengertian Berpidato ( http/www.Goegle. come.)
Narbuko,Cholid. 2001. Metodologi Penelitian. Jakarta : Bumi Akasara
Nurkancana. 1983. Evaluasi Pendidikan. Surabaya : Usaha Nasional
----------------. Nurkancana dan Sumartana, 1992. Evaluasi Hasil Belajar. Surabaya:
Uasaha Nasional
Poerwadarminta. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional. Balai Pustaka.
----------------. 2003. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional. Balai Pustaka.
Suarjana, I Nyoman Putra. 2008. Sor Singgih Basa Bali Ke-Bali-an Manusia Bali
Dalam Dharma Papandikan, Pidarta, Sambrama Wecana dan Dharma
Wecana (Sebuah Renungan untuk Perhatian). Denpasar : PT.Tohpati
Grafika Utama.
216
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
ABSTRACT
217
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
218
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
pendidikan karena diharapkan agar siswa memahami tentang struktur bahasa yang
diajarkan (Samsuri, 1985: 43). Pengajar atau guru mengajarkan keterampilan
berbahasa kepada siswa agar mengerti dan memahami bahasa yang diajarkan serta
terampil menggunakan bahasa yang sedang dipelajari oleh siswa. Keterampilan
berbahasa yang diajarkan tersebut baik keterampilan menyimak, berbicara,
membaca, maupun menulis.
Proses dalam arti katanya adalah suatu runtutan perubahan atau peristiwa
dalam perkembangan sesuatu, misalnya perkembangan jiwa statis menjadi dinamis
(Poerwadarminta, 1976: 769). Terkait dengan kajian tulisan ini dimaksudkan bahwa
proses mengajar menyimak yang efektif yakni bagaimana mengajar yang baik dan
benar dengan runtutan tertentu sesuai dengan perkembangan jiwa anak dari beberapa
konsep yang ada. Diharapkan pada kegiatan menyimak, siswa mampu memahami
secara menyeluruh materi yang diajarkan oleh guru di kelas.
II. PEMBAHASAN
Keterampilan berbahasa (language skills) mencakup 4 segi yakni
keterampilan menyimak (listening skills), keterampilan berbicara (speaking skills),
keterampilan membaca (reading skills), dan keterampilan menulis (writing skills).
Keterampilan menyimak dan berbicara dipelajari sebelum memasuki usia sekolah,
sedangkan keterampilan membaca dan menulis dipelajari di usia sekolah. Keempat
keterampilan tersebut merupakan satu kesatuan yang disebut sebagai catur tunggal.
Melatih keterampilan berbahasa berarti pula melatih keterampilan berpikir (Tarigan,
1980: 2).
Kegiatan menyimak dan berbicara merupakan komunikasi 2 arah yang
dilakukan secara langsung atau tatap muka dengan istilah face to face
communication. Keduanya memiliki hubungan yang sangat erat seperti dalam
mengajarkan ujaran (speech) biasanya dipelajari melalui menyimak dan meniru
karena contoh yang disimak oleh siswa sangat penting dalam kecakapan berbahasa
lisan. Berbicara dengan bantuan alat peraga (visual aids) akan mendapatkan
219
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
220
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
221
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Beberapa hal yang harus dipahami oleh guru dalam mengajar seperti: (1)
waktu mengajar jangan terlalu lama; (2) ada pergantian bagi siswa antara
mendengarkan dan bekerja; (3) bahan pengajaran wajib menarik perhatian siswa; (4)
suara guru berirama, hidup dan tidak menjemukan; dan (5) antara pelajaran satu
dengan yang lain ada selingan menyanyi, sekedar bergurau, melawak, dan
sebagainya sebagai pelepas lelah (Soejono, 1983: 90).
Dalam kenyataannya mendengarkan sesungguhnya kegiatan yang sulit bagi
siswa. Hal ini dibuktikan bahwa banyak suruhan yang dilaksanakan salah. Banyak
orang menulis diktat yang didiktekan tidak tepat. Dengan berbagai latihan maka
guru wajib melatih siswa agar pandai mendengarkan. Latihan mendengarkan dapat
dilakukan dengan 2 cara yakni: (1) latihan mendengarkan tidak sengaja dan (2)
latihan mendengarkan disengaja. Latihan mendengarkan dengan tidak sengaja
bertujuan tidak untuk melatih mendengarkan tetapi untuk keperluan lain. Pelajaran
berbagai bidang studi tidak untuk melatih mendengarkan tetapi untuk melatih
menambah pengetahuan bidang studi IPS, IPA, Matematka dan sebagainya. Secara
tidak sengaja siswa dilatih untuk mendengarkan. Selanjutnya latihan mendengarkan
disengaja bertujuan untuk melatih siswa pandai mendengarkan dengan berbagai
macam latihan seperti pada pelajaran bahasa yakni: dikte pikir dan guru bercerita.
Pada dikte pikir, guru memberi suatu perintah atau mengatakan suatu kalimat. Siswa
disuruh mengerjakan atau menirukannya. Sukar atau mudah perintah tersebut
disesuaikan dengan tingkat kepandaian siswa. Pada saat guru bercerita, guru
membacakan sesuatu. Siswa disuruh mendengarkan dengan baik. Isi cerita
merupakan alat pelatih. Siswa sengaja dilatih mendengarkan. Selanjutnya siswa
diberikan pertanyaan tentang cerita tersebut dengan menghubungkan bagian-bagian
dalam cerita yang dibaca oleh guru. Hal ini bertujuan untuk melatih ingatan dan
kecerdasan siswa dalam menarik kesimpulan cerita tersebut (Soejono, 1983: 91).
Mengingat begitu berat dan kompleks tanggung jawab sebagai guru dalam
mengajar terutama aktivitas siswa dalam mendengarkan maka perlu adanya sifat dan
sikap guru yang baik dalam mengajar siswa di sekolah. Di samping pengetahuan dan
222
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
223
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
224
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
pelajaran; (4) guru mampu menggunakan strategi dan kegiatan pengajaran; (5) guru
mampu berinteraksi siswa dengan baik; serta (6) guru mampu memotivasi siswa
belajar pada materi yang dijarkan. Selanjutnya langkah-langkah yang dilakukan oleh
guru pada pengajaran menyimak adalah; (1) guru mampu menentukan tujuan umum
dan tujuan khusus dari pengajaran terkait dengan materi yang diajarkan; (2) guru
menentukan topik dan sub topik dari materi yang akan diajarkan oleh guru; (3) guru
menentukan alokasi setiap materi yang diajarkan; (4) guru menentukan strategi
pengajaran dengan memberikan tugas-tugas kepada siswa di kelas; dan (5) guru
menentukan prosedur penilaian dalam pengajaran sesuai dengan materi yang
dijarkan ( Rahim, 2005: 17).
Dengan demikian, mengajar menyimak yang efektif di sekolah diharapkan
guru mampu memahami kegiatan menyimak seperti: pengertian menyimak secara
menyeluruh, tujuan menyimak, manfaat menyimak, tahap-tahap penyimak serta
proses menyimak yang baik, dan langkah-langkah yang dilakukan oleh guru terkait
dengan perencanaan pembelajaran menyimak serta cara pengajarannya. Di samping
hal tersebut, guru juga sangat menentukan berhasil atau tidaknya kegiatan
menyimak yang dilakukan oleh siswa di sekolah. Guru yang kreatif dan profesional
merupakan kunci dari segala sesuatu yang dilakukan terhadap siswa.
III. KESIMPULAN
Menyimak sesungguhnya bermakna mendengarkan dengan penuh
pemahaman dan perhatian serta penuh apresiasi. Selanjutnya menyimak juga
dikatakan merupakan proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan
penuh perhatian. Melatih siswa mendengarkan bermaksud agar siswa dapat cepat
dan tepat mengikuti jalan pikiran orang yang sedang berbicara. Di samping itu siswa
diharapkan dapat menangkap dengan baik segala sesuatu yang tercantum dalam
cerita atau uraian yang didengarkan.
Kegiatan mendengarkan sesungguhnya berat dan memenatkan, karena
memerlukan pemusatan perhatian secara terus menerus. Di dalam kelas, siswa hanya
225
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
226
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
DAFTAR RUJUKAN
Asfandiyar, Andi Yudha. 2009. Kenapa Guru Harus Kreatif. Jakarta: PT Mizan
Pustaka.
Jendra, I Wayan. 1980. Pengantar Ringkas Linguistik Umum Jilid 1.Denpasar:
Lembaga Penelitian Dokumentasi Dan Publikasi Fakultas Sastra
Universitas Udayana.
Ghazali, Syukur. 2010. Pembelajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: PT
Refika Aditama.
Kentjono, Djoko. 1982. Dasar-Dasar Linguistik Umum. Jakarta: Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.
Rahim, Farida. 2005. Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Poerwadarminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai
Pustaka.
Soejono, Ag. 1983. Metodik Khusus Bahasa Indonesia. Bandung: Bina Karya.
Samsuri. 1985.Analisis Bahasa. Jakarta: PT. Erlangga.
Sudaryanto. 1986. Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Tarigan, Henry Guntur.1980. Menyimak Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.
Bandung. PT Angkasa.
Verhaar, J.W.M. 1984. Pengantar Linguistik Jilid I. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Witherington, H.C.dkk. 1982. Teknik-Teknik Belajar Dan Mengajar. Bandung:
Jemmars.
227
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Pengantar Redaksi
228
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
dosen luar IKIP PGRI Bali. Adanya sumbangan tulisan dari luar
kampus IKIP PGRI Bali diharapkan memperluas cakrawala ilmiah
komunitas akademik.
Semoga penerbitan jurnal pendidikan Widyadari ini
menjadi wahana yang baik untuk membangun atmosfer akademik.
Akhirnya, sumbangan pemikiran, kritik, dan saran dari pembaca
diharapkan dapat memperbaiki terbitas edisi selanjutnya.
Redaksi
ii
229
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..........................................................................
ii
Daftar Isi....................................................................................
iii
230
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Perbedaan Pengaruh Ekstrak Gambir (Uncaria gambir) dan Gel Lidah Buaya
(Aloe vera) Terhadap Daya Simpan Buah Cabai Merah Besar (Capsicum
annuum)
Gusti Ayu Rai ............................................................................
108
Minimarket and Consumer Culture in Denpasar Society
I Wayan Adnyana ......................................................................
122
Studi Tentang Diversitas Kelapa (Cocos sp.) Untuk Upakara Yadnya di Desa
Marga Dajan Puri Tabanan
Ni Nyoman Parmithi...................................................................
134
231
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Pelindung :
Penanggung Jawab
Dr. I Made Suarta, S.H., M.Hum.
(Rektor IKIP PGRI Bali)
Ketua Redaksi
I Wayan Citrawan, M.Pd.
Sekretaris Redaksi
Drs. Ketut Yarsama, M.Hum.
232
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
Bendahara
Ni Putu Siti Firmani, M.Hum.
Distribusi
I Ketut Sudana
Ni Luh Putu Ayu Suati
Alamat Redaksi
Kampus IKIP PGRI Bali
Jalan Seroja-Tonja Denpasar Utara
Telp. (0361) 431434
233