You are on page 1of 24

I PUTU JUNIARTHA SEMARA PUTRA

xpresikan aksimu

Skip to content

Beranda
My Blog
I PUTU JUNIARTHA SEMARA PUTRA POLTEKKES DENPASAR JURUSAN
KEPERAWATAN
Blog Rujukan

MADURA DENGAN
MASALAH KESEHATAN
Juniartha Semara Putra
BAB I PENDAHULUAN
1. Masalah budaya Madura dengan kesehatan
Berbicara mengenai masyarakat Madura, fenomena yang hingga saat ini berkembang
adalah stereotypingmasyarakat tersebut sebagai masyarakat marginal, terbelakang dalam
hampir berbagai aspek kehidupan. Mereka nyaris diidentikkan dengan orang yang kurang
berpendidikan, kasar, keras, kurang tahu tata pergaulan sosial, bahkan disimplifikasi sebagai
tukang carok yang selalu menyebarkan kekerasan. Anekdot dan humor yang
merepresentasikan keterbelakangan mereka ini sering muncul dalam perbincangan di
berbagai forum santai maupun serius.
Masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang khas, unik, dan, identitas
budayanya itu dianggap sebagai jati diri individual etnik Madura dalam berperilaku dan
berkehidupan masyarakat. Madura, salah satu etnis di Indonesia yang cukup banyak diteliti
dan dibicarakan. Sebagai salah satu etnis di Indonesia.
Madura dikenal sebagai masyarakat yang patriarkal, di mana perempuan tidak
memiliki posisi yang signifikan, hal ini dapat dilihat dengan lemahnya posisi tawar
perempuan Madura terhadap laki-laki. Lemahnya posisi tawar perempuan rupanya membawa
konsekuensi yang jauh lebih besar, yaitu perempuan tidak memiliki akses terhadap kesehatan,
bahkan ketika mereka sedang mengandung. Tentu saja tidak adanya akses terhadap kesehatan
membawa implikasi yang lebih besar, yaitu bahaya yang dapat menimpa ibu hamil, mulai
dari kekurangan asupan gizi, bahaya sewaktu hamil, ketika melahirkan bahkan
pascamelahirkan. Tentu saja ketiadaan akses terhadap kesehatan dapat menyebabkan
kematian, bukan hanya terhadap ibu namun juga anak yang akan dilahirkannya. Persoalannya
menjadi lebih pelik ketika memperhatikan kurangnya sarana kesehatan yang disediakan oleh
pemerintah dan swasta, bagaimana sarana yang disediakan tidak mampu mengurangi angka
kematian bayi secara signifikan dan membantu meningkatkan kualitas kesehatan pada ibu
hamil, di mana kedua hal ini sangat dipengaruhi oleh kultur Madura yang menjadikan laki-
laki memiliki kekuasaan atas perempuan, baik atas tubuhnya maupun atas kesehatannya.
Salah satu persoalan krusial yang mendera masyarakat Madura umumnya adalah
masalah kesehatan. Dibandingkan daerah-daerah lainnya di Jawa Timur, kita harus
mengakui dengan jujur bahwa pembangunan kesehatan di Madura ketinggalan. Daerah ini
serba ketinggalan dalam banyak hal. Tingkat penyebaran penyakit menular cukup tinggi,
sementara ketersediaan prasarana dan sarana kesehatan terbatas. Banyak warga, terutama
yang miskin dan yang tinggal di daerah pedesaan terpencil, lebih-lebih di kepulauan, tidak
dapat menikmati pelayanan kesehatan yang pantas. Mereka hidup terlantar dan berjuang
sendiri mengatasi penyakit-penyakit yang menggerogoti tubuh dan lingkungan tempat tinggal
mereka.
Daerah Madura adalah daerah yang kering dengan ketersediaan air yang sangat
terbatas. Kondisi ini membuat warga rentan sekali terhadap serangan wabah penyakit. Belum
lagi ancaman berbagai persoalan kesehatan lain yang kini menggerogoti masyarakat seperti
penyakit menular baru dan yang kembali bermunculan, kedaruratan kesehatan masyarakat,
perubahan iklim, serta krisis energi dan pangan. Rendahnya kesadaran masyarakat akan pola
hidup sehat, ketersediaan fasilitas kesehatan termasuk obat-obatan yang terbatas dan
langkanya tenaga kesehatan memperburuk situasi itu.
Problem lain adalah tidak meratanya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.
Rakyat pedesaan dan yang tinggal di kepulauan belum mendapatkan pelayanan kesehatan
sebagaimana mestinya. Di beberapa kecamatan, hak rakyat untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan dasar sekalipun tidak terpenuhi. Ini yang menyebabkan masalah penyakit menular
dan gizi buruk bermunculan. Angka kematian ibu dan bayi baru lahir juga masih tinggi.

Madura dengan empat kabupaten merupakan wilayah dengan


jumlah penduduk yang sangat besar dibandingkan dengan wilayah lain di Jawa
Timur, dan angka kematian bayi di Madura sangat tinggi dibandingkan dengan
wilayah lain di Jawa Timur. Sedangkan para ibu hamil di Madura lebih banyak
mengkonsumsi nasi dan sedikit jenis sayuran, dan sangat jarang mengkonsumsi
telur dan susu, konsumsi daging pun sangat kurang, barangkali hanya ikan
yang mereka konsumsi, itu pun jumlahnya sangat tidak mencukupi. Dan
terbebani dengan berbagai aktivitas rumah tangga, sehingga seringkah mereka
merasa lebih cepat lelah, hal ini sebagai 'efek samping' dari anemia yang
mereka alami, selain itu juga menyebabkan bayi lahir secara prematur dan
bayi lahir dengan berat badan rendah. Selain masalah nutrisi, hal yang
menyebabkan angka kematian ibu dan anak tinggi di Madura adalah ketidak
percayaan masyarakatnya terhadap tenaga kesehatan professional, mereka
lebih memilih ke para dukun beranak yang berjenis kelamin perempuan karena
Islam yang melarang seorang perempuan untuk berdekatan dengan laki-laki
yang bukan kerabatnya (mahram = orang yang diharamkan untuk dinikahi).
Selain itu faktor Ekonomi menjadi faktor pendorong mengapa banyak ibu hamil
di Madura lebih memilih untuk mendatangi dukun dan tenaga kesehatan non-
profesional
Selain masalah kematian ibu dan bayi yang tinggi, masyarakat
Madura juga cenderung mengalami hipertensi karena terlalu banyak
mengkonsumsi garam, akan berdampak pada risiko penyakit tekanan darah
tinggi atau hipertensi. Risiko tinggi hipertensi ini pula yang terjadi di
masyarakat Pulau Madura, yang dikenal dengan Pulau Garam karena merupakan
sentra industri garam. Hipertensi yang diidap Reng Madure ternyata juga
tinggi.

2. Banyaknya kasus
Angka Kematian Bayi di Madura Tahun 2003-2006

KABUPATEN TAHUN ANGKA KEMATIAN BAYI


Bangkalan 2004 62,80

2005 61,72

2006 61,72
Sampang 2004 80,00

2005 71,66

2006 70,26
Pamekasan 2004 57,85

2005 60,84
2006 59,73
Sumenep 2004 66,53

2005 55,59

2006 54,54
Sumber: BPS Jawa Timur (2007)

Data di atas menunjukkan fluktuasi angka kematian bayi di


empat kabupaten di Madura. Dapat dilihat bahwa Sampang pada tahun 2003
adalah kabupaten yang memiliki angka kematian bayi paling tinggi, meskipun
angka tersebut dapat ditekan hingga pada tahun 2006 jumlah menurun. Hal
yang sama juga terjadi di Sumenep dan Bangkalan, hanya Sampang dan Sumenep
yang berhasil menekan angka kematian bayi secara signifikan, berbeda dengan
Bangkalan dan Pamekasan. Pamekasan justru mengalami kenaikan angka kematian
bayi pada tahun 2005 meskipun angka tersebut kembali turun pada tahun 2006.
Jika angka kematian bayi memberikan gambaran yang mengkhawatirkan,
setidaknya hal ini tidak terlihat pada angka harapan hidup bayi, di mana
trend yang terjadi adalah peningkatan harapan hidup bayi. Pada tahun 2006,
seluruh kabupaten di Madura memiliki angka harapan hidup bayi yang cukup
baik, sebagaimana yang terlihat dalam Tabel 2. di bawah ini.

Tabel 2. Angka Harapan Hidup Bayi Tahun 2004-2006

KABUPATEN TAHUN ANGKA HARAPAN HIDUP BAYI


Bangkalan 2004 62,40

2005 62,00

2006 62,20
Sampang 2004 58,55

2005 59,80
2006 60,10
Pamekasan 2004 64,45

2005 62,20

2006 62,45
Sumenep 2004 62,20

2005 63,40

2006 63,65
Sumber: BPS Jawa Timur (2007a)

Persoalannya adalah, apa yang menyebabkan tingginya angka


kematian bayi di Madura, apakah hanya faktor pelayanan kesehatan dan
kesehatan ibu ketika hamil atau kah terdapat faktor-faktor lain yang
menyebabkan hal ini terjadi, dan persoalan ini lah yang menjadi fokus dalam
makalah ini.
Persoalan lain yang melingkupi jika berbicara mengenai angka
kematian bayi (AKB) adalah angka kematian ibu (AKI). Sangat disayangkan,
baik BPS maupun Dinas Kesehatan Jawa Timur tidak merilis data mengenai
angka kematian bayi dan persoalan
Penyakit hipertensi atau tekanan darah tinggi ternyata banyak diderita orang Madura. Faktor
genetik atau keturunan merupakan penyebab tertinggi, disamping kadar garam yang cukup
tinggi dalam sebagian besar makanan yang dikonsumsi masyarakat pulau Garam menjadi
pemicu penyakit yang menjadi salah satu silent killer disease atau penyakit pembunuh secara
diam-diam di Indonesia.
Menurut Yuliono, Selain penyakit Diabetes Melitus (DM) yang juga cukup tinggi,
bahkan dari 250 penderita yang berobat ke rumah sakit terdapat 11 orang meninggal dunia.
Demikian pula dengan penyakit hipertensi angkanya juga tinggi, berdasarkan data di bagian
medical record sebanyak 126 penderita yang mendapatkan perawatan medis di November ini.
Sedangkan dari Sumenep dilaporkan, kunjungan pasien hipertensi ke Rumah Sakit (RS) dr
Moh Anwar Kabupaten Sumenep tergolong tinggi. Setiap bulannya, angka kunjungan rata-
rata antara 150 sampai 200 orang. Angka kunjungan pasien yang mengalami hipertensi masih
menempati urutan satu dan dua dari pasien umum
Belakangan ini, kata dia, kunjungan pasien hipertensi cenderung meningkat.
Mayoritas dari kalangan dewasa hingga umur tua. Pasien yang sudah terkena stroke
dibandingkan dengan hipertensi, lebih banyak yang sudah terkena stroke. Angka kunjungan
pasien stroke sudah mengkuatirkan para tenaga medis di rumah sakit ini.
3. Proses terjadinya
Kesehatan Ibu Hamil dalam Budaya Madura AKI dengan berbagai
alasan. Di tingkat nasional, angka kematian ibu di Indonesia mencapai
posisi pertama di ASEAN, yakni sebesar 307 per 100.000 kelahiran pada tahun
2007.
Persoalan mengenai tingginya angka kematian bayi dan angka
kematian ibu dikatakan memiliki kaitan dengan kesehatan, baik itu layanan
kesehatan hingga kesehatan individual seorang perempuan yang sedang hamil,
tapi benarkah masalah layanan kesehatan menjadi momok bagi tingginya AKB
dan AKI di Indonesia, atau lebih khususnya di Madura.
Secara sangat gamblang dan jelas pemerintah RI melalui
Departemen Kesehatan telah menerbitkan suatu keputusan yang penting
mengenai standar pelayanan kesehatan, yakni dengan terbitnya Surat
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 1457/MENKES/SK/X/2003 tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota, di mana hal ini
meliputi pula pelayanan kesehatan ibu dan anak. Dalam SK tersebut juga
ditetapkan bahwa setiap Kabupaten/Kota diwajibkan memiliki empat buah
puskesmas yang dilengkapi dengan Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergensi
Dasar (PONED) dan Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergensi Kompresensif
(PONEK) bagi rumah sakit rujukan (Rachman, 2007:44-45).
Meskipun pemerintah pusat telah secara tegas mewajibkan
adanya standar pelayanan kesehatan, namun hal ini tidak akan berjalan tanpa
adanya fasilitas kesehatan yang baik, setidaknya secara kuantitas. Di
Madura sendiri, pada tahun 2003, terdapat empat Rumah Sakit Umum, 91
Puskesmas, 236 Puskesmas Pembantu, 93 Puskesmas Keliling, 3.854 Posyandu
dan 581 Pondok Bersalin, namun hal ini rupanya tidak membantu.
Terselenggaranya pelayanan kesehatan yang baik, tentu saja
hal ini terlihat dengan tingginya angka kematian bayi di Madura. Menurut
data yang dirilis oleh BPS, tidak terdapat penambahan signifikan terhadap
jumlah fasilitas kesehatan yang ada di Madura, bahkan dalam beberapa
fasilitas pelayanan kesehatan terdapat penurunan jumlah yang cukup
signifikan (lihat Tabel 3. dan Tabel 4.).
Tabel 3. Banyaknya Rumah Sakit Umum, Puskesmas dan Puskesmas Pembantu 2002-
2003
KABUPATEN TAHUN Jumlah Rumah Jumlah Jumlah
Sakit Umum Puskesmas Puskesmas
Pembantu

Bangkalan 2002 1 22 69

2003 1 22 69

Sampang 2002 1 20 51

2003 1 20 51

Pamekasan 2002 1 20 39

2003 1 20 47

Sumenep 2002 1 29 68

2003 1 29 69

Sumber: BPS Jawa Timur (2007b)

Tabel 4. Banyaknya Puskesmas Keliling, Posyandu dan Pondok Bersalin 2002-


2003
KABUPATEN TAHUN Jumlah Posyandu Pondok
Puskesmas bersalin
keliling

Bangkalan 2002 24 1.035 171

2003 24 1.003 145

Sampang 2002 20 839 102

2003 20 839 134

Pamekasan 2002 16 776 134


2003 23 742 134

Sumenep 2002 26 1.236 214

2003 26 1.236 168

Sumber: BPS Jawa Timur (2007)


Persoalannya setidaknya menjadi lebih jelas, bahwa terdapat
kesenjangan antara jumlah penduduk dengan jumlah sarana kesehatan yang
tersedia. Meskipun demikian, kesenjangan ini dapat diatasi dengan menambah
jumlah sarana kesehatan. Sarana kesehatan yang tersedia memang tidak
mencukupi untuk melayani kebutuhan semua masyarakat, bahkan jika
dibandingkan dengan jumlah pasangan usia subur yang ada di masing-masing
kabupaten. Di Kabupaten Sumenep misalnya, hanya terdapat 198 sarana
kesehatan yang dapat melayani kelahiran (RSU, Puskesmas dan Pondok
Bersalin), sedangkan di kabupaten tersebut terdapat pasangan usia subur
yang mencapai 230.821 (Pemprov Jatim-BKKBN 2005), jika setiap pasangan
melahirkan seorang anak dalam satu tahun yang sama, artinya terdapat 633
kelahiran setiap harinya, suatu jumlah yang sangat besar, dan hal ini hanya
membutuhkan jumlah sarana kesehatan yang besar pula.
Namun persoalannya tidak lah semudah itu, penambahan jumlah
sarana kesehatan yang diperkirakan dapat membantu menekan angka kematian
bayi nampaknya tidak terlalu berhasil menekan angka kematian tersebut.
Persoalan lain yang harus dipertimbangkan adalah kultur orang Madura.
Seringkah para ibu di Madura secara sengaja, dengan berbagai alasan, tidak
datang ke rumah sakit atau pun pondok bersalin untuk melahirkan, melainkan
mereka lebih memilih untuk datang ke bidan atau pun dukun bayi. Secara
umum, bidan dan dukun bayi tidak pernah dihitung sebagai tenaga pembantu
kelahiran, sehingga tidak terdapat data berapa banyak jumlah bidan yang ada
di setiap kabupaten, demikian pula dengan dukun bayi.
Persoalan layanan kesehatan memang titik penting dalam
membahas mengenai angka kematian bayi dan angka kematian ibu, mengingat
layanan kesehatan menjadi hak bagi setiap warga negara, maka penyediaan
layanan kesehatan menjadi prioritas utama pemerintah. Persoalannya, layanan
kesehatan yang tersedia dalam berbagai varian tidak tersebar secara merata.
Para tenaga medis tidak tersebar sehingga banyak masyarakat yang memilih
tenaga non-medis untuk membantu persalinan mereka.
Pada umumnya, perempuan Madura tidak memiliki banyak pilihan
pada siapa mereka akan meminta pertolongan ketika akan melahirkan.
Persoalannya menjadi lebih mudah jika mereka datang ke RSU, Puskesmas atau
pun ke pondok bersalin (demikian pula jika ke bidan yang
terlatih).Pemerintah telah mencanangkan suatu program yang dikenal dengan
MPS atau Making Pregnancy Safer, di mana pemerintah berupaya menekan AKB
dan AKI dengan jalan mendorong masyarakat untuk memeriksakan kehamilannya
sebanyak minimum empat kali dan pertolongan kelahiran yang ditangani oleh
bidan atau tanaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan. Program MPS
tersebut nampaknya tidak berjalan dengan baik, hal ini dapat dilihat dengan
belum dilaksanakannya program ini di berbagai daerah (Rachman, 2007:45).
Pertolongan kelahiran menjadi persoalan yang krusial, tidak
hanya karena pertolongan kelahiran membantu menekan angka kematian bayi,
namun juga dapat menekan angka kematian ibu. Dalam laporan yang dirilis
oleh SDKI (dalam Rachman, 2007:42-43), banyak ibu hamil yang memilih untuk
melakukan persalinan di rumah dengan bantuan dukun atau pun ke tempat
praktik dukun, meskipun mayoritas sudah beralih ke bidan untuk melahirkan,
namun dukun sebagai tenaga pembantu persalinan masih banyak dibutuhkan.
Data yang dirilis pun menampilkan suatu gambaran baru, yakni mereka yang
datang ke dukun dengan prosentasi yang tinggi adalah mereka yang berusia
kurang dari dua puluh tahun, dan mereka yang berumur 20-34 tahun cenderung
untuk memilih bidan, sedangkan mereka yang berumur 35-49 memilih antara
bidan dan dukun bayi dengan perbedaan prosentasi yang tidak terlalu besar
(lihat Tabel 5.)

Tabel 5. Tenaga Pertolongan Persalinan dan Usia Ibu Hamil 2002-2003


Umur Dokter Perawat/ Dukun/ Keluarga/
bidan lainnya lainnya

<20 1.0 4.5 52.7 40.2

20-34 0.6 10.9 57.6 28.5

35-49 1.2 11.6 44.8 39.9

Sumber: SDKI ([2005] dalam Rachman, 2007: 42)

Menurut data tersebut di atas, dapat diketahui mengenai


posisi tenaga kesehatan profesional (dokter dan bidan) dengan tenaga
kesehatan non- profesional (dukun). Posisi dukun dalam membantu persalinan
juga terkait erat dengan wilayah tempat ibu tersebut. SDKI telah merilis
data bahwa para ibu yang ada di wilayah pedesaan cenderung untuk datang ke
dukun bayi, meskipun cukup banyak juga yang datang ke bidang. Kepada siapa
para ibu meminta bantuan persalinan rupanya pun terpengaruh oleh anak
keberapa yang dikandungnya. Semakin tinggi kandungan anak, maka ibu
tersebut cenderung meminta bantuan kepada tenaga kesehatan non-
profesional, atau dalam hal ini dukun bayi.
Pertolongan ketika akan bersalin tidak semata persoalan
kepada siapa para ibu hamil akan meminta pertolongan, namun juga ditentukan
oleh kemampuan ekonomi ibu dan lingkungan sosialnya. Secara umum, sesuai
dengan data yang dikeluarkan oleh BPS, dari empat kabupaten di Madura,
hanya Sumenep yang memiliki jumlah Seluarga Pra Sejahtera Alasan Ekonomi (K
Pra-S ALEK) dan Keluarga Sejahtera 1 Alasan Ekonomi (KS1 ALEK) paling
rendah, yakni 29.31%; sedangkan Pamekasan menempati posisi pertama dengan
jumlah KP-S ALEK dan KS1 ALEK denga total 78.51% dari total penduduk.
Ekonomi menjadi faktor pendorong mengapa banyak ibu hamil di
Madura lebih memilih untuk mendatangi dukun dan tenaga kesehatan non-
profesional dalam membantu proses persalinan, dan alasan ekonomi pula lah
yang mendorong mereka untuk sedapat mungkin menjauhi RSU, selain tentunya
RSU hanya terdapat di wilayah pusat kabupaten yang sulit dijangkau oleh
mereka yang tinggal di pedesaan. Alasan ekonomi yang menyebabkan banyak
para ibu hamil datang ke dukun, tidak hanya karena biaya untuk melahirkan
di dukun lebih murah secara biaya, mereka pun tidak direpotkan dalam
mendatangi atau mendatangkan dukun ke rumah mereka.
Meskipun demikian, bukan hanya alasan ekonomi yang mendorong
para ibu untuk mendatangkan dukun, namun juga oleh lingkungan sosial
mereka. Persoalan ini menjadi semakin menyudutkan para ibu yang
sedang hamil, bahwa mereka tidak diperkenankan ke dokter atau tenaga
kesehatan yang profesional dengan jenis kelamin laki-laki, mereka hanya
boleh memeriksakan kandungannya dan membantu proses persalinan hanya kepada
tenaga kesehatan perempuan.
Sebagian masyarakat Madura berada dalam lingkungan Keluarga
Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera 1 Alasan Ekonomi (ALEK). Tidak
mengherankan jika banyak terjadi kasus kehamilan, sedangkan kondisi ibu
hamil tidak terlalu baik. Sekurang-kurangnya terdapat dua hal utama yang
berkait dengan kesehatan ibu hamil, yaitu: (1) usia kawin, dan (2)
kesehatan ibu ketika sedang hamil.
Usia menikah yang terlalu dini menurut penelitian yang
dilakukan oleh Hendrawati (1993), angka menarche di Pamekasan adalah 12.62,
tentu saja usia menarche ini memiliki beragam variasi, baik berdasarkan
tingkat ekonomi, lingkungan, tingkat konsumsi gizi, maupun tingkat
pendidikan orang tua perempuan atau ibu.
Analisis demografis yang tertulis dalam situs resmi
pemerintah Provinsi Jawa Timur (2004), dikatakan bahwa seorang perempuan
memasuki usia subur pada usia 15 tahun dan melampaui batas reproduksi pada
usia 49 tahun. Jika seorang perempuan sudah dinikahkan pada usia menarche
atau pada usia subur, dapat dipastikan perempuan tersebut memiliki anak
dengan jumlah yang cukup banyak, mengingat luasnya rentang waktu reproduksi
yang dimiliki. Persoalannya adalah, tidak adanya data resmi mengenai berapa
jumlah perempuan yang sudah menikah sebelum 15 tahun, data yang tersedia di
Pemerintah Provinsi Jawa Timur, dalam hal ini merupakan data BKKBN, jumlah
perempuan yang menikah dalam usia di bawah 20 tahun cukup bervariasi, namun
untuk di Madura sendiri, jumlah perempuan yang menikah di bawah 20 tahun
terrendah ada di Sampang dan tertinggi di Sumenep.
Persoalannya menjadi lebih rumit, karena ibu hamil dengan
usia di bawah 20 tahun sangat rawan mengalami kekurangan gizi atau lebih
dikenal dengan istilah Kekurangan Energi Kronis (KEK), di mana penderita
KEK pada remaja di bawah 20 tahun mencapai 37%. Perempuan Madura, karena
faktor kemiskinan akhirnya mengalami kekurangan gizi, sebagian besar dari
mereka malah mengalami anemia. Dalam cakupan yang lebih luas, ibu hamil
yang terkena anemia di tingkat nasional cukup tinggi, yakni mencapai 50,3%
dari total kehamilan. Dalam survei yang dilakukan oleh SKRT (Survei
Kesehatan Rumah Tangga), diketahui bahwa 52% dari remaja putri mengalami
anemia (Rachman, 2007:44). Kekurangan gizi selama masa kehamilan sangat
berbahaya, tidak hanya bagi bayi yang berada dalam kandungan, namun juga
bagi ibu yang sedang hamil. Persoalan gizi buruk ketika masa kehamilan di
Madura sebenarnya adalah masalah yang 'klasik'.
Sebagaimana diketahui, suku Madura mempunyai watak yang
sangat temperamental, sehingga gampang naik darah. Kondisi tersebut dapat
menjadi pemicu terjadinya penyakit hipertensi, karena tekanan darah akan
naik ketika emosinya meningkat. Pernyataan itu disampaikan Humas Rumah
Sakit Daerah (RSD) Sampang, dr Yuliono, ketika dikonfirmasi terkait
meningkatnya jumlah penderita hipertensi di Sampang.
Penderita hipertensi ada yang multifaktoral atau penyebabnya tidak jelas, namun
ada juga karena kehamilan dan usia lanjut. Dia menambahkan, faktor genetik juga cukup
dominan dalam memberi kontribusi meningkatnya angka penderita hipertensi tersebut.
Pihak rumah sakit, kata dia, tidak hanya sekedar memberi pelayanan pada pasien
dalam pengobatan, tetapi juga sering memberikan penyuluhan, sehingga penderita hipertensi
bisa ditekan seminimal mungkin. Bagi yang sudah stroke, pihak RS terus melakukan
rehabilitas dengan baik. Para dokter sudah siap melayani seprima mungkin.
Namun, yang berhubungan dengan jantung, pihak RS Sumenep tidak mungkin
menangani sehingga harus dirujuk ke RD dr Soetomo Surabaya. Selama ini, memang ada
pasiei yang sudah kronis dan berhubungan jantung, ya terpaksa harus di rujuk ke Surabaya
Kepala Dinas Kesehatan Pamekasan Drs Apt Ismail Bey MSi mengatakan hipertensi
merupakan penyakit keturunan dan terkait dengan pola kebiasan makan yang tidak baik,
sehingga bisa mengakibatkan berat badan berlebih dan bisa bergula tinggi.
Upayanya harus dengan diet atau olah raga yang teratur dan juga dengan terapi
pengobatan. Menurut dia penyakit hipertensi itu gejalanya sama se Indonesia, tidak ada
kaitannya dengan masalah ekonomi dan SDM. Bagi warga Madura, hipertensi juga bisa
terjadi karena faktor garam yang banyak terkandung di dalam air dan makanan.
4. Dampak
Kesehatan ibu ketika hamil tidak hanya penting bagi bayi
yang berada di dalam kandungan, namun juga bagi ibu itu sendiri, baik
sebelum proses persalinan maupun sesudah proses persalinan. Salah satu
penyebab tingginya angka kematian ibu di Indonesia adalah karena terjadinya
pendarahan dan keterlambatan dalam proses pertolongan dari dokter atau
tenaga kesehatan profesional. Pendarahan tidak hanya terjadi dalam proses
persalinan, tapi juga terjadi sesudah melahirkan atau post partum.
Pendarahan yang terjadi ketika masa persalinan dan masa sesudah persalinan
dapat terjadi sebagai akibat dari buruknya gizi ibu hamil dan minimnya
fasilitas medis yang tersedia ketika masa persalinan, hal ini umumnya
terjadi karena persalinan ditolong oleh dukun atau tenaga media non-
profesional.
Perempuan Madura, Terpuruk Dalam Kesehatan Sebagaimana telah
diungkapkan sebelumnya, perempuan Madura adalah milik laki-laki sepenuhnya,
mereka tidak memiliki posisi tawar terhadap laki-laki, atau dalam hal ini
suami mereka. Mereka 'harus rela' untuk
tidak mendapatkan perawatan kesehatan ketika mereka sedang hamil, dalam
proses persalinan, dan setelah proses persalinan. Posisi laki-laki Madura
yang banyak mengatur terhadap perempuan tidak hanya berdampak pada
kesehatan perempuan, namun juga memiliki dampak terhadap keselamatan jiwa
perempuan dan anak yang sedang dalam kandungannya. Tidak mengherankan jika
Madura memiliki angka kematian bayi yang begitu tinggi dan angka harapan
hidup bayi yang rendah. Hal ini dikarenakan budaya Madura mempengaruhi
berbagai keputusan yang diambil yang terkait dengan kehamilan.
Seorang perempuan, terutama yang tinggal di pedesaan, tidak
memiliki banyak pilihan mengenai kesehatan mereka. Mereka tidak dapat
mengajukan keberatan ketika hak mereka atas kesehatan yang lebih baik
akhirnya harus hilang karena kekhawatiran suami atau ayah bahwa dokter yang
memiliki kompetensi ternyata berjenis kelamin laki-laki. Mereka tidak dapat
mengajukan keberatan jika ayah atau suami mereka memaksa mereka untuk
melahirkan di rumah dan hanya ditolong oleh seorang dukun bayi dengan
sarana kesehatan yang sangat minim. Mereka pun tidak dapat mengajukan
keberatan ketika terjadi kematian anaknya karena kesalahan dukun dalam
membantu proses persalinan, bahkan mereka tidak dapat mengajukan keberatan
jika ternyata mereka menjadi korban karena proses persalinan terjadi
pendarahan dan infeksi yang menyebabkan kematian mereka.
Tidak hanya secara fisik ketika dalam proses persalinan,
mereka juga terbebani oleh tanggungjawab domestik yang menumpuk sehingga
mereka terlalu lelah, dan akibatnya hal ini berpengaruh sangat besar
terhadap bayi yang sedang dikandungnya. Tugas domestik tidak hanya dibebani
ketika masa kehamilan, bahkan setelah melahirkan. Tugas-tugas domestik yang
harus dilakukan oleh seorang perempuan Madura adalah representasi dari
lemahnya posisi mereka dalam relasi antara laki-laki dan perempuan. Dalam
konteks relasi antara laki-laki dan perempuan, kepemimpinan ada di tangan
laki-laki. Melalui kekerabatan, politik ruang dan budaya kekerasan, di mana
seluruh isu berputar pada persoalan kepemilikan perempuan oleh laki-laki.
Posisi perempuan tertata dalam norma dan berbagai aturan dan
praktik sosial yang berlaku, hal ini terlihat dalam posisi peletakan
perempuan dalam rumah dan posisinya adalah sebagai 'makhluk yang berada
dalam pengawasan ketat laki-laki. Di bawah kepemimpinan laki-laki Madura,
para perempuan Madura mengalami suatu keterpurukan dalam bidang kesehatan,
yang pada gilirannya justru mengantarkan mereka dan anak-anak yang sedang
mereka kandung pada posisi yang sangat tragis, yakni posisi yang menjadikan
nyawa sebagai taruhannya.
Pola makan masyarakat Madura pada dasarnya perlu diperbaiki.
Yakni harus menjaga keseimbangan gizi dan pola hidup sehat. Pada saat yang
sama, mengurangi konsumsi garam, disertai mengurangi makanan berkomponen
garam, seperti ikan asin. Sehingga, tidak memicu tekanan darah tinggi. Saat
tekanan darah sudah mulai tinggi, harus secepatnya mengkonsumsi makanan
yang dibutuhkan tubuh untuk menstabilkannya, sehingga tekanan kembali
stabil
BAB II TINJAUAN TEORI
1. Konsep transculture
Kazier Barabara ( 1983 ) dalam bukuya yang berjudul Fundamentals of Nursing
Concept and Procedures mengatakan bahwa konsep keperawatan adalah tindakan perawatan
yang merupakan konfigurasi dari ilmu kesehatan dan seni merawat yang meliputi
pengetahuan ilmu humanistic , philosopi perawatan, praktik klinis keperawatan , komunikasi
dan ilmu sosial . Konsep ini ingin memberikan penegasan bahwa sifat seorang manusia yang
menjadi target pelayanan dalam perawatan adalah bersifat bio psycho social spiritual .
Oleh karenanya , tindakan perawatan harus didasarkan pada tindakan yang komperhensif
sekaligus holistik.
Budaya merupakan salah satu dari perwujudan atau bentuk interaksi yang nyata
sebagai manusia yang bersifat sosial. Budaya yang berupa norma , adat istiadat menjadi
acuan perilaku manusia dalam kehidupan dengan yang lain . Pola kehidupan yang
berlangsung lama dalam suatu tempat , selalu diulangi , membuat manusia terikat dalam
proses yang dijalaninya . Keberlangsungaan terus menerus dan lama merupakan proses
internalisasi dari suatu nilai nilai yang mempengaruhi pembentukan karakter , pola pikir ,
pola interaksi perilaku yang kesemuanya itu akan mempunyai pengaruh pada pendekatan
intervensi keperawatan ( cultural nursing approach ).
Budaya mempunyai pengaruh luas terhadap kehidupan individu . Oleh sebab itu ,
penting bagi perawat mengenal latar belakang budaya orang yang dirawat ( Pasien ) .
Misalnya kebiasaan hidup sehari hari , seperti tidur , makan , kebersihan diri , pekerjaan ,
pergaulan social , praktik kesehatan , pendidikan anak , ekspresi perasaan , hubungan
kekeluargaaan , peranan masing masing orang menurut umur . Kultur juga terbagi dalam
sub kultur . Subkultur adalah kelompok pada suatu kultur yang tidak seluruhnya mengaanut
pandangan keompok kultur yang lebih besar atau member makna yang berbeda . Kebiasaan
hidup juga saling berkaitan dengan kebiasaan cultural.
Nilai nilai budaya Timur , menyebabkan sulitnya wanita yang hamil mendapat
pelayanan dari dokter pria . Dalam beberapa setting , lebih mudah menerima pelayanan
kesehatan pre-natal dari dokter wanita dan bidan . Hal ini menunjukkan bahwa budaya Timur
masih kental dengan hal hal yang dianggap tabu.
Dalam tahun tahun terakhir ini , makin ditekankan pentingknya pengaruh kultur
terhadap pelayanan perawatan . Perawatan Transkultural merupakan bidang yang relative
baru ; ia berfokus pada studi perbandingan nilai nilai dan praktik budaya tentang kesehatan
dan hubungannya dengan perawatannya . Leininger ( 1991 ) mengatakan bahwa transcultural
nursing merupakan suatu area kajian ilmiah yang berkaitan dengan perbedaan maupun
kesamaan nilai nilai budaya ( nilai budaya yang berbeda ras , yang mempengaruhi pada
seseorang perawat saat melakukan asuhan keperawatan kepada pasien.
Perawatan transkultural adalah berkaitan dengan praktik budaya yang ditujukan untuk
pemujaan dan pengobatan rakyat (tradisional) . Caring practices adalah kegiatan
perlindungan dan bantuan yang berkaitan dengan kesehatan.
Menurut Dr. Madelini Leininger , studi praktik pelayanan kesehatan transkultural
adalah berfungsi untuk meningkatkan pemahaman atas tingkah laku manusia dalam kaitan
dengan kesehatannya . Dengan mengidentifikasi praktik kesehatan dalam berbagai budaya (
kultur ) , baik di masa lampau maupun zaman sekarang akan terkumpul persamaan
persamaan . Lininger berpendapat , kombinasi pengetahuan tentang pola praktik transkultural
dengan kemajuan teknologi dapat menyebabkan makin sempurnanya pelayanan perawatan
dan kesehatan orang banyak dan berbagai kultur.
Budaya memiliki beberapa elemen atau komponen, menurut ahli antropologi Cateora,
yaitu :

Kebudayaan material

Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret.
Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu
penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan
material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga,
pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.

Kebudayaan nonmaterial

Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke


generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.

Lembaga social

Lembaga social dan pendidikan memberikan peran yang banyak dalam kontek berhubungan
dan berkomunikasi di alam masyarakat. Sistem social yang terbantuk dalam suatu Negara
akan menjadi dasar dan konsep yang berlaku pada tatanan social masyarakat. Contoh Di
Indonesia pada kota dan desa dibeberapa wilayah, wanita tidak perlu sekolah yang tinggi
apalagi bekerja pada satu instansi atau perusahaan. Tetapi di kota kota besar hal tersebut
terbalik, wajar seorang wanita memilik karier

Sistem kepercayaan

Bagaimana masyarakat mengembangkan dan membangun system kepercayaan atau


keyakinan terhadap sesuatu, hal ini akan mempengaruhi system penilaian yang ada dalam
masyarakat. Sistem keyakinan ini akan mempengaruhi dalam kebiasaan, bagaimana
memandang hidup dan kehidupan, cara mereka berkonsumsi, sampai dengan cara bagaimana
berkomunikasi.

Estetika
Berhubungan dengan seni dan kesenian, music, cerita, dongeng, hikayat, drama dan
tari tarian, yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat. Seperti di Indonesia
setiap masyarakatnya memiliki nilai estetika sendiri. Nilai estetika ini perlu dipahami
dalam segala peran, agar pesan yang akan kita sampaikan dapat mencapai tujuan dan
efektif. Misalkan di beberapa wilayah dan bersifat kedaerah, setiap akan membangu
bagunan jenis apa saj harus meletakan janur kuning dan buah buahan, sebagai
symbol yang arti disetiap derah berbeda. Tetapi di kota besar seperti Jakarta jarang
mungkin tidak terlihat masyarakatnya menggunakan cara tersebut.
Bahasa
Bahasa merupakan alat pengatar dalam berkomunikasi, bahasa untuk setiap walayah,
bagian dan Negara memiliki perbedaan yang sangat komplek. Dalam ilmu
komunikasi bahasa merupakan komponen komunikasi yang sulit dipahami. Bahasa
memiliki sidat unik dan komplek, yang hanya dapat dimengerti oleh pengguna bahasa
tersebu. Jadi keunikan dan kekomplekan bahasa ini harus dipelajari dan dipahami agar
komunikasi lebih baik dan efektif dengan memperoleh nilai empati dan simpati dari
orang lain.

2. Budaya Suku Madura


Para ibu yang hamil, terutama di wilayah pedesaan di Madura
umumnya masuk dalam lingkungan permukiman keluarga batih, atau lebih di
kenal dengan tanean lanjhang. Salah satu alasan utama mengapa para
perempuan tidak melahirkan pada tenaga profesional, di luar faktor ekonomi,
adalah ketakutan para suami terhadap tenaga medis profesional atau para
dokter yang berjenis kelamin laki-laki. Hal ini tentu saja merupakan
keuntungan tersendiri bagi para dukun yang hampir seluruhnya perempuan.
Bagi laki-laki Madura, perempuan (istri) adalah 'hak milik laki-laki
(suami) sepenuhnya, dengan demikian, mereka akan merasa tersinggung jika
seorang laki-laki, meskipun dia seorang dokter, yang menyentuh istrinya.
Perasaan todus dan malo yang muncul akibat gangguan terhadap
istri. Seorang dokter kandungan laki-laki tidak diperbolehkan untuk
menyentuh seorang perempuan karena dua alasan:
1. hal tersebut adalah gangguan terhadap istri, dan
2. si istri bukan lah mahram dari dokter itu. Konsep mahram diambil
dari terminologi agama
Islam yang melarang seorang perempuan untuk berdekatan
dengan laki-laki yang bukan kerabatnya (mahram = orang yang diharamkan
untuk dinikahi).
Laki-laki Madura sangat menjunjung tinggi rasa hormat, tidak mengherankan
jika muncul kasus-kasus carok sebagai 'ganti rugi' atau 'pembayaran' secara
sosial untuk mengembalikan harga diri dan menghapus todhus dan/atau malo'
pada seseorang yang membuat diri orang Madura tersebut merasa malu. Jika
todhus berarti malu dalam pengertian etika, maka malo berarti malu dalam
kaitannya dengan penghinaan dan harga diri. Dalam penelitian yang dilakukan
oleh Wiyata (2002), terungkap bahwa seringkah, bahkan mayoritas (60,4%)
kasus carok terjadi karena rasa malo yang terkait dengan masalah perempuan,
sehingga jika orang lain terkait dengan urusan perempuan, maka hal tersebut
dianggap menginjak-injak harga dirinya, dan hanya ada satu jalan dalam
memperbaiki harga diri: carok. Tindakan carok yang dilakukan karena motif
pelecehan istri tidak hanya mendapatkan izin sosial, tetapi juga dorongan
dari lingkungan sekitarnya.
Perempuan menjadi 'milik' si suami sepenuhnya, berada di
bawah pengawasannya. Kepemimpinan mutlak ada di tangan suami (laki-laki).
Laki- laki lah yang berhak menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak
boleh dilakukan oleh perempuan karena perempuan adalah miliknya. Karena
perempuan menjadi pusat harga diri laki-laki, maka perempuan menjadi
makhluk yang diproteksi, diawasi, dan dimiliki oleh laki-laki. Pengawasan
terhadap perempuan dapat terlihat dengan jelas pada pola permukiman tanean
lanjhang yang merupakan kelompok pemukiman yang dihuni oleh keluarga batih
yang isolatif dari kelompok pemukiman lain.
Tentu saja adanya opresi terhadap perempuan semakin
menyudutkan perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan, bahkan dalam
bidang kesehatan. Kurangnya bidan atau tenaga kesehatan profesional
perempuan menjadikan dukun sebagai alternatif utama, terutama bagi ibu
hamil yang bermukim di wilayah pedesaan. Persoalan lainnya adalah,
kepercayaan terhadap kualitas seorang dukun dibandingkan tenaga medis
profesional diturunkan dari generasi ke
generasi melalui proses sosialisasi, dengan demikian, seorang ibu hamil
akan lebih memilih seorang dukun bayi ketimbang seorang tenaga medis
profesional.
Seakan sudah menjadi suatu tradisi, perempuan Madura, khususnya yang berada di
pedesaan menikah pada usia yang sangat muda, bahkan menurut hukum masih dalam
kategori anak-anak. Kebiasaan ini pada dasarnya ditunjukkan dengan adanya ikatan
pertunangan bagi anak perempuan yang sudah memasuki usia menstruasi atau setelah anak
perempuan tersebut sudah mengalami menstruasi yang pertama kali atau menarche.
Penyebab utama dari gizi buruk yang 'menimpa' ibu hamil di Madura adalah
tidak seimbangnya asupan gizi. Para ibu hamil di Madura lebih banyak
mengkonsumsi nasi dan sedikit jenis sayuran, dan sangat jarang mengkonsumsi
telur dan susu, konsumsi daging pun sangat kurang, barangkali hanya ikan
yang mereka konsumsi, itu pun jumlahnya sangat tidak mencukupi.
Tidak hanya kekurangan dalam asupan gizi, mereka pun terbebani dengan berbagai
aktivitas rumah tangga, sehingga seringkah mereka merasa lebih cepat lelah, hal ini sebagai
efek samping dari anemia yang mereka alami.
Orang Madura gampang marah atau bludrek, apalagi airnya secara relative
mengandung kadar garam sangat tinggi, sehingga tensi darahnya cepat tinggi
3. Penyakit Akibat Budaya Madura
Akibat budaya tanean lanjhang dan tradisi todus dan malo
yang mereka anut dan mereka cenderung memilih dukun daripada tenaga
kesehatan professional. Maka kemungkinan terjadinya infeksi akan lebih
besar. Seringkah, seorang dukun karena bukan tenaga medis profesional
menyebabkan terjadinya infeksi ketika proses persalinan dan ketika masa
setelah persalinan. Pengobatan medis harus segera diberikan kepada ibu yang
mengalami infeksi ketika masa persalinan, dan jika hal ini tidak segera
dilakukan maka akan sangat berbahaya bagi kondisi ibu itu sendiri. Hal yang
sama juga terjadi pada bayi yang dilahirkan, di mana bayi yang dilahirkan,
jika terjadi infeksi dapat menyebabkan kematian. Infeksi ketika masa
persalinan dan sesudah persalinan tidak hanya menyebabkan tingginya angka
kematian ibu, namun juga angka kematian bayi.
Usia menikah yang terlalu dini memiliki konsekuensi logis,
yaitu: masa subur yang lebih panjang. Dengan masa subur yang lebih panjang,
mereka memiliki kesempatan untuk memiliki anak dalam jumlah yang lebih
besar, apalagi jika mereka tidak mengikuti program KB. Adanya usia
pernikahan yang semakin dini pun tidak dapat dilepaskan dari faktor
meningkatnya kesejahteraan selama tiga dekade ini, hal ini terlihat dengan
usia menarche sebesar 0.145/dekade (Hendrawati dan Glinka 2003).
Anemia tentu saja membawa implikasi yang lebih jauh, tidak
hanya menyebabkan mudah lelah, namun juga menyebabkan bayi lahir secara
prematur dan bayi lahir dengan berat badan rendah. Perempuan Madura umumnya
telah disosialisasikan bahwa apapun kondisi mereka, mereka tidak boleh
melepaskan berbagai aktivitas rumah tangga sebagai 'kewajiban' mereka.
Mereka pun harus 'mengalah' pada suami dan anak-anak mereka ketika dalam
asupan gizi meskipun mereka sedang hamil dan membutuhkan asupan gizi yang
cukup. Perempuan Madura memang tidak memiliki posisi tawar yang bagus
terhadap laki-laki Madura, baik ketika mereka sehat maupun sakit, baik
ketika tidak hamil maupun sedang hamil.
Orang yang gampang marah seperti masyarakat Madura, disertai nyeri kepala maupun
ditengkuk, serta mengalami mual dan muntah-muntah kemungkinan besar mengalami
hipertensi.

BAB III KASUS DAN PEMECAHAN


Berbagai persoalan yang terjadi akibat budaya Madura itu sendiri seperti infeksi yang
tinggi yang terjadi pada ibu dan bayi sehingga menyebabkan angka kematian yang tinggi pula
serta penderita hipertensi di Madura yang selalu naik dari tahun ke tahun.
Untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut dibutuhkan pemimpin kuat yang dapat
menetapkan kebijakan dan mewujudkannya dalam aksi nyata secara komprehensif pada
sektor kesehatan. Apa yang perlu dilakukan untuk mengubah kondisi tersebut? Perubahan
harus dimulai dengan membangun suatu sistem kesehatan Kabupaten Sumenep. Kemudian,
ditetapkan program-program kesehatan yang berkesinambungan, sehingga siapa pun yang
menjadi pemimpin di sektor kesehatan, program-program itu tetap jalan.
Peran pemerintah daerah dalam sistem kesehatan tersebut adalah sebagai regulator
dan pengawas. Pemda harus bisa mengatur distribusi tenaga kesehatan termasuk dokter dan
dokter spesialis agar merata. Pemerintah mengelola pembiayaan kesehatan untuk setiap
kecamatan, dan meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Semua
program kesehatan tidak bisa dilakukan hanya berdasarkan keinginan pengambil kebijakan,
tetapi harus sesuai dengan blue print sistem kesehatan nasional.
Langkah selanjutnya adalah menentukan target-target kesehatan dan fokus untuk
mencapai sasaran-sasaran itu. Target-target yang hendak dicapai dalam bidang kesehatan
antara lain penurunan angka kematian ibu saat melahirkan, penurunan angka kematian bayi,
penurunan jumlah penderita gizi kurang, dan peningkatan angka harapan hidup. Dengan
menentukan target di depan, pemerintah lebih fokus pada promosi untuk menghindari
penyakit. Langkah ini untuk mengikis habis sumber penyakit yang ada. Ini merupakan
langkah preventif. Problemnya, yang terjadi selama ini, kebijakan kesehatan menunggu orang
sakit, sehingga ongkosnya lebih mahal. Sementara upaya promotif dan preventif lebih murah.
Prioritas berikutnya adalah mendongkrak anggaran untuk kesehatan. Sehebat apapun
program-program yang dirancang, jika tidak dibarengi dengan dukungan anggaran yang
memadai, tidak akan jalan. Porsi besaran anggaran bidang kesehatan adalah bentuk perhatian
pemerintah terhadap perbaikan pelayanan kesehatan masyarakat. Peningkatan anggaran
bidang kesehatan akan memberikan kemajuan yang positif dalam pelaksanaan program-
program kesehatan.
Idealnya, alokasi dana untuk kesehatan setara dengan anggaran pendidikan. Dengan
anggaran yang makin besar, pemerintah bisa menambah rumah sakit, puskesmas dan
kelengkapannya, serta pengembangan sarana kesehatan lainnya. Dengan anggaran yang
makin besar, pemerintah dapat meningkatkan peranan rumah sakit daerah (RSD), puskesmas,
dan puskesmas pembantu (pustu). Bertambahnya anggaran juga memungkinkan peningkatan
jumlah dokter umum dan dokter spesialis, serta tenaga paramedic, sehingga mereka dapat
tersebar sampai ke desa-desa.
Solusi selanjutnya adalah pemberian kompensasi bagi para tenaga kesehatan. Untuk
meningkatkan mobilitas mereka, para tenaga kesehatan harus disediakan fasilitas kendaraan
bermotor sehingga mereka bisa melayani lebih cepat dan menjangkau semua kecamatan dan
desa. Para tenaga kesehatan (dokter dan perawat/bidan) yang bekerja di daerah kepulauan
pun perlu diberi insentif untuk meningkatkan semangat kerja dan kesejahteraan mereka.
Di samping itu, perlu dikembangkan kebijakan strategis untuk meningkatkan layanan
kesehatan masyarakat. Sebut saja, misalnya, program desa siaga kesehatan. Pemda perlu
menentukan beberapa Kecamatan yang akan menjadi modelnya. Desa siaga kesehatan
merupakan satu wilayah di mana segenap komponen yang ada selalu siap siaga terhadap
adanya gangguan khususnya dalam bidang kesehatan. Di wilayah siaga kesehatan disediakan
pusat informasi kesehatan, pusat rujukan (dokter keluarga/rumah sakit). Selain itu, juga
dilakukan surveilens berbasis masyarakat, penggalangan dana sehat, kegawatdaruratan serta
penerapan perilaku hidup bersih dan sehat.
Sementara untuk membantu daya beli rakyat miskin, Pemda harus menyediakan dana
khusus untuk subsidi obat generik. Pemda juga perlu mempersiapkan peraturan pendukung
yang menjamin ketersediaan obat generik dengan harga terjangkau. Kebijakan subsidi obat
generik menjamin ketersediaan, keterjangkauan, dan pemerataan obat dalam masyarakat.
Kebijakan subsidi ini diprioritaskan untuk beberapa obat generik yang bersifat esensial dan
pergerakannya di pasar cepat (fast moving), obat-obat program dan obat yang diperlukan
untuk menyelamatkan nyawa (life saving).
Terobosan lainnya adalah menjalin kerja sama langsung dengan distributor obat. Ini
untuk mempercepat dan memperlancar pengadaan obat. Konsekuensinya, Dinas Kesehatan
tidak perlu lagi menggunakan sistem lelang. Jika mengikuti Keppres 80/2003 tentang
mekanisme lelang, pemerintah daerah kerap kesulitan untuk pengadaan obat-obatan guna
meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat secara cepat. Keuntungan lain dari kerjasama
langsung dengan distributor prosesnya cepat dan memungkinkan untuk mengontrol tipe dan
jumlah obat karena pembelian dilakukan melalui farmasi berizin. Juga, dengan kerja sama
langsung, jumlah obat kadaluwarsa dapat diminimalisir karena ada jaminan dari produsen.
Namun, untuk memperlancar kerja sama ini diperlukan aturan pendukung.
Sebetulnya kesehatan masyarakat tidak bergantung pada pelayanan kesehatan yang
disediakan pemerintah, tetapi lebih pada bagaimana budaya hidup sehat dapat dibangun
bersama di tingkat masyarakat. Untuk itu, perlu dilakukan peningkatan kapasitas masyarakat
dalam menjaga kesehatan diri dan lingkungannya. Masyarakat perlu memiliki gaya hidup
sehat. Mereka perlu digerakkan untuk melakukan perbaikan dan peningkatan kebersihan di
lingkungannya, di samping memperhatikan makanan sehat dan bergizi. Ini hanya mungkin
jika mereka memiliki kesadaran hidup sehat. Dan jangan lupa menjadikan RSUD sebagai
Badan Layanan Umum.
BAB IV KESIMPULAN
Budaya yang begitu kental di Madura dan pengaruh laki-laki
yang sangat berperan besar dalam keluarga mengakibatkan perempuan ragu-ragu
mengambil tindakan untuk kesehatan diri dan anaknya. Hal tersebut
mengakibatkan tingginya angka kematian ibu dan anak di Madura.
Terlalu banyak mengkonsumsi garam akan menyebabkan darah tinggi. Bukan hanya
besar pada masyarakat Madura yang banyak garam, tapi juga daerah lain bisa juga besar
karena faktor keturunan. Penyakit ini biasanya banyak menyerang pada manusia usia 40
tahun keatas.
Ketidak percayaan akan tim medis professional menyebabkan banyak masalah timbul,
tidak hanya di Madura banyak daerah yang lain mengalami hal serupa seperti ini.
DAFTAR PUSTAKA

http://www.bkkbn.go.id/jatim/news_detail. php?nid=1 5

http://jatim-dev. bps.go. id//index.php ?


option=com_content&task=view&id=48&ltemid=37

http://jatim-dev. bps.go. id//index .ph p?


option=com_content&task=view&id=35&ltemid=38

http://jatim-dev. bps. go. id//index.php ?


option=com_content&task=view&id=36&ltemid=38

http://www.jatim.go.id/emap/analisis_demografi.php

http://www.jatim.go.id/bankdata/jumlah%20pasanaan%20usia%20subur.peserta%20
kb%20dan%20bukan %20peserta%20kb-bkkbn-2005.pdf
Anak Menanga
I Putu Juniartha Semara Putra
Tentang iklan-iklan ini

Share this:

Twitter
Facebook

Terkait

KONSEP SEHAT, SAKIT DAN PENYAKIT DALAM KONTEKS SOSIAL


BUDAYAdalam "I PUTU JUNIARTHA SEMARA PUTRA POLTEKKES DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN"
KONSEP SEHAT, SAKIT DAN PENYAKIT DALAM KONTEKS SOSIAL
BUDAYAdalam "I PUTU JUNIARTHA SEMARA PUTRA POLTEKKES DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN"

PENYAKIT KUSTA DAN MASALAH YANG DITIMBULKANNYAdalam "I PUTU


JUNIARTHA SEMARA PUTRA POLTEKKES DENPASAR JURUSAN
KEPERAWATAN"

Juni 21, 2012 by I Putu Juniartha Semara Putra Categories: I PUTU JUNIARTHA SEMARA
PUTRA POLTEKKES DENPASAR JURUSAN KEPERAWATAN Meninggalkan komentar

Navigasi pos
KABUPATEN BANGLI DAN FLU BURUNG
Hello world!

Berikan Balasan

Denpasar
Cari:

My Posting
PENGUMUMAN KELULUSAN ADMINISTRASI PELAMAR UMUM CPNS
TAHUN 2014
Konsep dasar Keperawatan Medikal Bedah
1656
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA PASIEN DENGAN PERILAKU
KEKERASAN (PK)
Juri Rakyat: Daftar Artis Remaja ABG Indonesia Paling Cantik

Arsip
Oktober 2014
Juli 2014
Juni 2014
Januari 2014
November 2013
Oktober 2013
September 2013
Juli 2013
Juni 2013
Mei 2013
April 2013
Maret 2013
Februari 2013
Januari 2013
Desember 2012
November 2012
Oktober 2012
September 2012
Agustus 2012
Juli 2012
Juni 2012
Mei 2012
April 2012
Maret 2012
Februari 2012

Kategori
Catatan Harian
I PUTU JUNIARTHA SEMARA PUTRA POLTEKKES DENPASAR JURUSAN
KEPERAWATAN
Uncategorized

Meta
Mendaftar
Masuk log
RSS Entri
RSS Komentar
Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com. Tema Snaps.


Ikuti

Ikuti I PUTU JUNIARTHA SEMARA PUTRA

Kirimkan setiap pos baru ke Kotak Masuk Anda.

Buat situs dengan WordPress.com

You might also like